IRMA RITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Proses Emulsifikasi dan Analisis Biaya Produks i Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
Irma Rita
IRMA RITA. Emulsification Process and Cost Analysis of Beverage Emulsion
Production of Red Palm Oil. Under Supervision of SUGIYONO, TIEN R. MUCHTADI and SUPRIHATIN.
Beverage emulsion of red palm oil is one of the diversification of food products which has the advantage of high pro-vitamin A content. This beverage emulsion is an alternative product in preventing vitamin A deficiency that suffers many children. Beverage emulsion formulations had been studied previously by several researchers. This study was aimed to obtain a proper emulsification process condition and production cost analysis of red palm oil emulsion. In the emulsification process, the variable treatments were rotating speed of homogenizer of 6000 rpm, 8000 rpm, 10000 rpm and homogenization time of 1 minute, 3 minutes and 4 minutes. In the process of pasteurization, the variable
treatments were temperature of 70oC, 80oC during 10 minutes and 15 minutes.
The parameters observed were the emulsion stability, diameter of emulsion
droplet (μm), microstructure and color. The results showed that the homogenizer rotation speed and the homogenization time affected the stability and emulsion droplet size. At rotating speed of homogenizer of 10000 rpm and homogenization time of 3 minutes the emulsion stability was the highest (98,59%) and the emulsion droplet size was the smallest (2,04 µm). Eligibility criteria for investments were the NPV Rp. 1.111.711.032, IRR 38%, the net B/C 1,18. The BEP was 29075 units (bottles) or Rp. 319.819.738.
IRMA RITA. Proses Emulsifikasi dan Analisis Biaya Produksi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah. Dibimbing oleh SUGIYONO, TIEN R. MUCHTADI dan SUPRIHATIN.
Sejak tahun 2008, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia dengan produksi minyak sawit kasar (CPO) 19,2 juta ton dengan luas areal
perkebunan sawit mencapai 7,1 juta hektar. Pada tahun 2009 produksi CPO
Indonesia meningkat menjadi 20,5 juta ton dan pada tahun 2010 menjadi 21,2 juta ton.
Minyak sawit memiliki zat gizi mikro yang dapat dimanfaatkan untuk kesehatan. Zat gizi mikro yang terkandung dalam minyak sawit adalah karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid, skualen, triterpenil, dan hidrokarbon alifatik. Kandungan karotenoid dan tokoferol yang tinggi merupakan keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. Kandungan karotenoid di dalam minyak sawit berkisar antara 500 – 700 µg/g sedangkan tokoferol dan tokotrienol berkisar antara 600 – 1000 µg/g.
Beta karoten dari kelompok karotenoid telah lama diketahui berfungsi sebagai provitamin A dan tokoferol berfungsi sebagai vitamin E. Penelitian membuktikan bahwa pemberian minyak sawit merah sebanyak 4 g per anak per hari dapat mencegah terjadinya defisiensi vitamin A. Untuk memanfaatkan produksi minyak sawit yang tinggi dan untuk meningkatkan nilai tambah minyak sawit dapat dilakukan pembuatan minuman emulsi kaya beta karoten..
Penelitian minuman emulsi kaya beta karoten dari minyak sawit merah telah dilakukan beberapa peneliti antara lain tentang formulasi produk minuman emulsi kaya beta karoten dengan bahan baku CPO, formulasi minuman emulsi minyak sawit merah yang telah dideodorisasi, dan rheologi minuman emulsi minyak sawit merah.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang proses emulsifikasi dan analisis biaya produksi minuman emulsi minyak sawit
merah. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh kondisi proses emulsifikasi
yang menghasilkan produk minuman emulsi minyak sawit merah dengan kestabilan yang tinggi dan melakukan analisis biaya produksi minuman emulsi
minyak sawit merah. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan
minuman emulsi minyak sawit merah dengan kestabilan yang tinggi sebagai sumber beta-karoten dan dapat diterapkan di industri sehingga dihasilkan produk minuman emulsi sawit yang dapat dikonsumsi masyarakat sebagai sumber pemenuhan kebutuhan beta karoten.
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap, yaitu (1) Proses emulsifikasi minuman emulsi minyak sawit merah; (2) Analisis biaya produksi minuman emulsi minyak sawit merah. Proses emulsifikasi minuman emulsi dilakukan menggunakan rasio minyak dan air 7:3, emulsifier tween 80 1%, fruktosa 10%, flavor jeruk 1%, kalium sorbat 0,1%, dan BHT 200 ppm.
menit, 3 menit dan 4 menit; (2) Proses pasteurisasi dengan perlakuan suhu
pasteurisasi 70oC, 80o
Penelitian tahap dua, dilakukan analisis biaya produksi yang meliputi biaya investasi, biaya operasional, biaya bahan baku, biaya pemeliharaan dan penyusutan, biaya pokok produksi dan kriteria kelayakan investasi yang meliputi
Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Break Even Point (BEP) dan analisis sensitivitas.
C dan waktu pasteurisasi 10 menit dan 15 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stabilitas emulsi semakin tinggi dengan semakin meningkatnya kecepatan putaran homogenizer dan waktu homogenisasi. Kecepatan putaran homogenizer dan waktu homogenisasi berpengaruh terhadap distribusi ukuran partikel dan diameter droplet emulsi. Semakin meningkatnya kecepatan putaran homogenizer, partikel emulsi yang dihasilkan semakin kecil. Ukuran diameter droplet emulsi berkisar antara 2,04-3,05µm. Pada kecepatan putaran homogenizer 10000 dan waktu homogenisasi 4 menit, proses emulsifikasi lebih baik dibandingan dengan penggunaan kecepatan putaran homogenizer 6000 rpm dan 8000 rpm dan waktu 1 menit dan 3 menit.
Meskipun berbeda secara signifikan pada distribusi ukuran droplet emulsi dan diameter partikel emulsi, hasil pengamatan mikroskopik emulsi tidak menunjukkan perbedaan. Suhu pasteurisasi berpengaruh nyata terhadap stabilitas emulsi sedangkan waktu pasteurisasi tidak berpengaruh nyata terhadap stabilitas emulsi (P<0.05). Peningkatan suhu dan waktu pasteurisasi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kecerahan (L) dan nilai b emulsi (P<0.05). Jumlah mikroba
pada semua perlakuan suhu dan waktu pasteurisasi adalah kurang dari 2,5 x 102
Usaha minuman emulsi minyak sawit merah membutuhkan biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan pada saat usaha belum berproduksi seperti biaya lahan dan bangunan, mesin dan alat serta perlengkapan. Biaya investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 507.040.420, sedangkan biaya operasional dalam satu tahun sebesar Rp. 1.176.604.896.
koloni/ml.
Biaya tetap untuk kapasitas produksi emulsi minyak sawit merah 100 liter/hari atau 30.000 liter/tahun sebesar 166.474.896/tahun dan biaya variabel sebesar Rp. 791.130.000/tahun. Total biaya produksi selama satu tahun sebesar Rp. 957.604.896. Biaya pokok produksi emulsi sebesar Rp. 6.384/ 200 ml emulsi. Asumsi-asumsi yang menjadi dasar perhitungan analisis kelayakan finansil adalah: umur proyek 10 tahun, tingkat suku bunga pinjaman 15 %, kapasitas produksi 100 liter/hari, total hari kerja 300 hari/tahun, tingkat produksi pada tahun pertama 80% dan tahun kedua 90%, tahun berikutnya sampai tahun kesepuluh 100%, harga jual produk adalah Rp.11.000,- per kemasan (200 ml), biaya pemeliharaan mesin, alat dan bangunan 2% dari harga awal. Biaya penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus dengan nilai sisa mesin dan peralatan sebesar 10 persen dari nilai investasi awal.
Kriteria kelayakan investasi dapat dihitung setelah proyeksi arus kas ditentukan. NPV atau nilai kini bersih adalah manfaat bersih tambahan yang
diterima proyek selama umur proyek pada tingkat discount rate tertentu. Nilai
lebih dari satu, proyek ini layak untuk direalisasikan dan jika nilainya kurang dari satu maka proyek ini tidak layak untuk direalisasikan. Nilai net B/C untuk proyek ini sebesar 1,18. Perhitungan BEP (break even point) dilakukan untuk mengetahui jumlah minimal unit produk yang harus terjual untuk mencapai titik impas sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian. Nilai BEP yang diperoleh 29075 unit (botol) atau Rp. 319.819.738.
Analisis sensitivitas pada penurunan harga jual produk 9,1% diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 537.586.228, nilai IRR 19%, Net B/C 1,09 dan nilai BEP 35227 unit (botol) atau Rp. 352.268.179. Analisis sensitivitas pada kenaikan harga bahan baku minyak sawit merah 15% diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 657.503.676, nilai IRR 24%, Net B/C 1,10 dan nilai BEP 33736 unit (botol) atau Rp. 371.093.479.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
IRMA RITA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Mayor Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Irma Rita
NIM : F251070171
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc.
Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS
Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Eng
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Harsi Dewantarikusumaningrum, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul Proses Emulsifikasi dan Analisis Biaya Produksi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Sugiyono M.AppSc selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi dan Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl Eng selaku anggota pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis untuk kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala pengorbanan curahan waktu dan tenaga, serta ilmu yang diberikan kepada penulis.
2. Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr selaku penguji ujian tesis yang telah banyak
memberi masukan dan saran yang berharga untuk lebih menyempurnakan karya ilmiah ini.
3. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi atas pendanaan penelitian ini melalui Program Hibah Pascasarjana.
4. Staf Laboratorium Departemen ITP FATETA IPB, teknisi Balai Besar
Pascapanen dan staf Masyarakat Perkelapasawitan Indonesi (MAKSI).
5. Suami tercinta Rommy Sn dan anakku Muhammad Fachry, Mama, Papa, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya, serta teman-teman IPN 2007-2008.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca umumnya.
Bogor, Agustus 2011
Penulis dilahirkan di Tanjung Jati pada tanggal 21 Juni 1980 dari ayah Mustanir (Alm) dan ibu Hasni. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara.
DAFTAR ISI
1. Proses Emulsifikasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah ... 25
a. Proses Homogenisasi ... 26
b. Proses Pasteurisasi ... 26
2. Analisis Biaya Produksi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah H ... 28
Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 28
Proses Emulsifikasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah ... 33
3. Biaya Bahan Baku ... 50
4. Biaya Pemeliharaan dan Penyusutan ... 51
5. Biaya Pokok Produksi ... 51
6. Kriteria Kelayakan Investasi ... 52
7. Analisis Sensitivitas ... 53
KESIMPULAN DAN SARAN ... 46
Kesimpulan ... 46
Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 48
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Standar mutu minyak sawit kasar (CPO) ... 6
2 Komposisi asam lemak minyak sawit dan titik cairnya ... 6
3 Komposisi karotenoid pada minyak sawit kasar ... 7
4 Karakteristik minyak sawit merah jenis NRPO dan NDRPO ... 9
5 Karakteristik minyak sawit merah ... 10
6 Aktivitas vitamin A beberapa jenis karoten ... 13
7 Perbandingan tipe homogenizer ... 18
8 Komposisi minuman emulsi minyak sawit merah ... 25
9 Keterangan warna Hue ... 31
10 Rerata diameter partikel emulsi (d32) ... 39
11 Jumlah mikroba pada perlakuan suhu dan waktu pasteurisasi ... 49
12 Rekapitulasi biaya investasi ... 49
13 Rekapitulasi biaya operasional ... 50
14 Kebutuhan dan biaya bahan pembantu pada produksi minuman emulsi minyak sawit merah 100 liter/hari ... 51
15 Rekapitulasi biaya pokok produksi ... 52
16 Hasil perhitungan kriteria kelayakan investasi ... 52
17 Analisis sensitivitas pada penurunan harga jual produk 9,1% ... 54
18 Analisis sensitivitas pada kenaikan harga bahan baku 15% ... 54
1 Buah sawit ... 5
2 Struktur molekul karotenoid ... 11
3 Jenis-jenis kerusakan emulsi ... 14
4 Struktur tween 80 ... 16
5 Produk minuman emulsi minyak sawit merah ... 26
6 Diagram alir pembuatan minuman emulsi minyak sawit merah ... 27
7 Proses pengecilan ukuran partikel pada homogenizer rotor stator ... 33
8 Hubungan antara kecepatan putaran homogenizer dan waktu homogenissasi terhadap stabilitas emulsi ... 34
9 Distribusi ukuran partikel emulsi pada kecepatan putaran homogenizer 6000 rpm ... 36
10 Distribusi ukuran partikel emulsi pada kecepatan putaran homogenizer 8000 rpm ... 37
11 Distribusi ukuran partikel emulsi pada kecepatan putaran homogenizer 10000 rpm ... 38
12 Distribusi ukuran partikel emulsi pada waktu homogenisasi 4 menit ... 39
13 Rerata diameter partikel emulsi (d32) pada berbagai kecepatan putaran
homogenizer dan waktu homogenisasi ... 40
14 Partikel emulsi dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi
perbesaran 200x, dengan kecepatan putaran homogenizer A. 6000 rpm B. 8000 rpm C. 10000 rpm dan lama homogenisasi a) 1 menit b) 3 menit c) 4 menit ... 42
15 Pengaruh suhu dan waktu pasteurisasi terhadap stabilitas emulsi ... 44
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Hasil ANOVA dan Uji Lanjut Duncan untuk pengaruh homogenisasi terhadap stabilitas emulsi ... 63
2 Hasil ANOVA dan Uji Lanjut Duncan untuk pengaruh homogenisasi terhadap rerata diameter partikel emulsi (d32) ... 64
3 Hasil ANOVA dan Uji Lanjut Duncan untuk pengaruh suhu dan waktu
pasteurisasi terhadap stabilitas emulsi ... 65
4 Hasil ANOVA dan Uji Lanjut Duncan untuk pengaruh suhu dan waktu
pasteurisasi terhadap nilai L (kecerahan) emulsi ... 66
5 Hasil ANOVA dan Uji Lanjut Duncan untuk pengaruh suhu dan waktu
pasteurisasi terhadap nilai a emulsi ... 67
6 Hasil ANOVA dan Uji Lanjut Duncan untuk pengaruh suhu dan waktu
pasteurisasi terhadap nilai b emulsi ... 68
7 Perincian modal investasi minuman emulsi minyak sawit merah ... 69
8 Perincian biaya operasional minuman emulsi minyak sawit merah ... 70
9 Perincian biaya penyusutan, pemeliharaan dan pajak ... 71
10 Perhitungan harga pokok produksi ... 72
11 Rencana pengembalian pinjaman ... 73
12 Proyeksi arus kas minuman emulsi minyak sawit merah ... 74
13 Proyeksi laba rugi minuman emulsi minyak sawit merah ... 75
14 Analisisi kelayakan minuman emulsi minyak sawit merah ... 76
15 Proyeksi arus kas minuman emulsi minyak sawit merah pada penurunan harga jual produk 9,1% ... 77
16 Proyeksi laba rugi minuman emulsi minyak sawit merah pada penurunan harga jual produk 9,1% ... 78
17 Analisisi kelayakan minuman emulsi minyak sawit merah pada penurunan harga jual produk 9,1% ... 79
18 Proyeksi arus kas minuman emulsi minyak sawit merah pada kenaikan harga bahan baku 15% ... 80
19 Proyeksi laba rugi minuman emulsi minyak sawit merah pada kenaikan harga bahan baku 15% ... 81
20 Analisisi kelayakan minuman emulsi minyak sawit merah pada kenaikan harga bahan baku 15% ... 82
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Produksi
dan luas areal sawit Indonesia telah melampaui Malaysia. Produksi minyak sawit
kasar (CPO) Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun
2008, produksi CPO Indonesia 19,2 juta ton dengan luas areal perkebunan sawit
mencapai 7,1 juta hektar (Ditjenbun 2009). Pada tahun 2009 produksi CPO
Indonesia meningkat menjadi 20,5 juta ton. Pada tahun 2010 produksi CPO
menjadi 21,2 juta ton, meningkat 14,23% dari tahun sebelumnya (Ditjenbun
2011).
Produksi minyak sawit di Indonesia sebagian besar didukung oleh
perkebunan kelapa sawit rakyat. Lebih kurang 37% dari seluruh areal kelapa
sawit di Indonesia adalah perkebunan rakyat, sedang sisanya diusahakan oleh
pemerintah dan swasta. Devisa yang diperoleh dari ekspor minyak kelapa sawit
dan turunannya pada tahun 2011 mencapai US$ 11,61 milyar, naik 17,75% atau
US$ 2,5 milyar pada tahun sebelumnya (Ditjenbun 2011).
Menurut WHO (World Health Organization), konsumsi per kapita minyak
dan lemak pangan minimal 12 kg per tahun dan kebutuhan konsumsi Indonesia
adalah sebesar 13 kg per tahun pada tahun 2006 dan meningkat sebesar 1% setiap
tahunnya (Goei 2008). Peningkatan konsumsi dan produksi ini perlu didukung
oleh pengolahan minyak sawit untuk menghasilkan komoditas sawit yang
beraneka ragam.
Minyak sawit memiliki banyak keunggulan. Keunggulan utama minyak
sawit adalah kandungan mikronutriennya yang tinggi sehingga memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi healthy oil, yang diproses dan dikendalikan
sedemikian rupa sehingga kandungan nutrisi yang ada di dalamnya dapat
dimanfaatkan untuk kesehatan. Zat gizi mikro yang terkandung dalam minyak
sawit mentah yaitu karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid, skualen,
2
Kandungan karotenoid di dalam minyak sawit berkisar antara 500 – 700
µg/g sedangkan tokoferol dan tokotrienol berkisar antara 600 – 1000 µg/g (Choo
1994). Beta karoten dari kelompok karotenoid telah lama diketahui berfungsi
sebagai provitamin A dan tokoferol berfungsi sebagai vitamin E.
Karotenoid pada minyak sawit antara lain berfungsi untuk menanggulangi
kebutaan karena xeroftalmia, mencegah timbulnya penyakit kanker, mencegah
proses penuaan dini, meningkatkan imunitas tubuh dan mengurangi terjadinya
penyakit degeneratif (Berger 1988). Namun karotenoid mempunyai sifat mudah
rusak pada pengolahan suhu tinggi, cahaya seperti yang terjadi pada proses
pengolahan minyak sawit menjadi bahan baku minyak makan yang memiliki
beberapa tahapan pemurnian, yaitu proses degumming, deasidifikasi, pemucatan
(bleaching), deodorisasi, dan fraksinasi. Dalam proses ini semua pengotor berupa senyawa fosfatida (gum), asam-asam lemak bebas, produk-produk oksidasi,
logam, komponen-komponen bau, termasuk warna dihilangkan/ dikurangi untuk
mendapatkan minyak yang jernih, tidak berbau, berwarna keemasan, serta bersifat
stabil.
Minyak sawit merah merupakan hasil ekstraksi serabut daging (mesokarp)
buah tanaman kelapa sawit dengan melakukan pengendalian pada beberapa
parameter proses seperti tanpa proses pemucatan (bleaching) dan tanpa melalui
proses suhu tinggi sehingga diperoleh minyak sawit yang berwarna merah dan
kandungan karotenoid dan vitamin E khususnya, dapat dipertahankan. Untuk
memanfaatkan produksi minyak sawit yang tinggi dan untuk meningkatkan nilai
tambah minyak sawit merah dapat dilakukan dengan pembuatan minuman emulsi.
Penelitian Muhilal (1991) membuktikan bahwa pemberian minyak sawit merah
sebanyak 4 g per anak per hari dapat mencegah terjadinya defisiensi vitamin A.
Penelitian minuman emulsi kaya beta karoten dari minyak sawit merah
telah dilakukan oleh Saputra (1996) tentang formulasi produk minuman emulsi
kaya beta karoten dengan bahan baku minyak sawit yang masih berupa minyak
sawit kasar (CPO). Produk yang dihasilkan cukup kental sehingga secara
Surfiana (2002) melakukan formulasi minuman emulsi menggunakan
minyak sawit merah yang telah dideodorisasi sehingga memiliki aroma yang lebih
disukai dan Sabariman (2007) tentang rheologi minuman emulsi minyak sawit
merah. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang
proses emulsifikasi dan analisis biaya produksi minuman emulsi minyak sawit
merah.
Tujuan Penelitian
1. Memperoleh kondisi proses emulsifikasi yang tepat untuk menghasilkan
produk minuman emulsi minyak sawit merah dengan kestabilan yang
tinggi
2. Memperoleh biaya produksi minuman emulsi minyak sawit merah
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan minuman emulsi minyak
sawit merah dengan kestabilan yang tinggi sebagai sumber beta-karoten dan dapat
diterapkan di industri sehingga dihasilkan produk minuman emulsi sawit yang
dapat dikonsumsi masyarakat sebagai sumber pemenuhan kebutuhan beta-karoten
yang direkomendasikan (vitamin A : 200.000 IU/gram/bulan/orang dan lutein : 6
mg/hari).
Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat :
1. Meningkatkan nilai tambah minyak sawit merah dan diversifikasi produk
hilir berbahan baku minyak sawit
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Sawit
Minyak sawit berasal dari ekstraksi buah tanaman kelapa sawit. Buah
kelapa sawit terdiri dari 80% bagian perikarp (epikarp dan mesokarp) dan 20%
biji (endokarp dan endosperm). Dari kelapa sawit, dapat diperoleh dua jenis
minyak yang berbeda sifatnya, yaitu minyak dari inti (endosperm) sawit disebut
dengan minyak inti sawit dan minyak dari sabut (mesokarp) sawit disebut minyak
sawit (Ketaren 2005). Perbedaan antara minyak sawit dan minyak inti sawit
adalah adanya pigmen karotenoid pada minyak sawit sehingga berwarna kuning
merah. Komposisi karotenoid yang terdeteksi pada minyak sawit terdiri dari α-, β
-, γ-, karoten dan xantofil, sedangkan minyak inti sawit tidak mengandung
karotenoid. Gambar buah sawit dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Buah sawit
Pengolahan serabut kelapa sawit menjadi minyak sawit dilakukan melalui
tahap ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi. Secara umum, ekstraksi dilakukan
dengan cara pengepresan, pemurnian dilakukan dengan cara menghilangkan gum
dan kotoran lain, penyabunan untuk memisahkan asam lemak bebas, pemucatan
untuk menghilangkan warna merah minyak, dan selanjutnya deodorisasi untuk
menghilangkan bau minyak; dan fraksinasi untuk memisahkan fraksi padat
dengan fraksi cair minyak yang dilakukan melalui proses pendinginan (Ketaren
2005). Standar kualitas minyak sawit kasar (CPO) menurut Standar Nasional
6
Tabel 1 Standar mutu minyak sawit kasar (CPO)
Karakteristik Persyaratan mutu
Warna Kadar air
Asam lemak bebas (sebagai asam palmitat)
Kadar β-karoten
Komponen utama dari CPO adalah triasilgliserol (94%), sedangkan
sisanya berupa asam lemak bebas (3-5%), dan komponen minor (1%) yang terdiri
dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid dan glikolipid, squalen,
gugus hidrokarbon alifatik, dan elemen sisa lainnya. Keunggulan minyak sawit
dibandingkan dengan minyak nabati lainnya yaitu memiliki komposisi asam
lemak jenuh dan tidak jenuh yang berimbang, terutama asam palmitat (40-46%)
dan asam oleat (39-45%) (Ooi et al. 1996). Asam lemak palmitat merupakan
asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang
tinggi yaitu 64oC, sehingga pada suhu ruang minyak sawit berbentuk semi padat
(Belitz & Grosh 1999). Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat
minyak sawit lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding jenis minyak
lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan rantai
C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah
dibanding dengan asam palmitat yaitu 14oC (Ketaren 2005). Komposisi asam
lemak minyak sawit secara lengkap disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi asam lemak minyak sawit dan titik cairnya Asam Linolenat (C18:3)
Selain memiliki komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang
berimbang, minyak sawit juga memiliki komponen zat gizi minor yang memiliki
peran fungsional, terutama yaitu karotenoid dan tokoferol (termasuk tokotrienol).
Kadar karotenoid dalam CPO adalah 500-700 ppm. Sebagian besar karotenoid
dalam CPO terdiri dari β-karoten dan α-karoten (jumlahnya mencapai 90% dari
total karotenoid CPO); dan sejumlah kecil γ-karoten, likopen dan xantofil (Ooi et
al. 1996). Komposisi karotenoid dalam CPO dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi karotenoid pada minyak sawit kasar
Komponen Jumlah (%)
Secara umum, minyak sawit merah dibuat dengan proses yang hampir sama
dengan minyak goreng yaitu melalui serangkaian proses pemurnian CPO seperti
tahap degumming, neutralizing, bleaching, dan deodorizing (Anderson 1996).
Pada proses pemurnian CPO, terkadang satu atau lebih dari tahapan tersebut tidak
dilakukan tergantung tujuan dan jenis minyak yang diinginkan. Untuk
mendapatkan minyak sawit merah, proses bleaching tidak dilakukan dengan
maksud untuk mempertahankan karoten secara maksimal (Riyadi 2009).Menurut
Kataren (2005) arang aktif (bleacing agent) sebesar 0,1-0,2% dari berat minyak
dapat menyerap zat warna sebanyak 95-97% dari total zat warna yang terdapat
dalam minyak sawit kasar.
Proses degumming pada pemurnian CPO bertujuan untuk memisahkan
getah atau lendir-lendir yang terdiri dari fosfatida, protein dan resin tanpa
mengurangi asam lemak bebas pada minyak (Allen 1997). Kemudian dilakukan
8
dengan menggunakan suatu alkali (Anderson 1996). Degumming perlu dilakukan
sebelum proses neutralisasi, sebab sabun yang terbentuk dari hasil reaksi asam
lemak bebas dengan alkali pada proses netralisasi akan menyerap gum (getah atau
lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun dari minyak (Ketaren
2005). Widarta (2008) melakukan proses degumming dengan memanaskan CPO
hingga suhu 80oC, kemudian ditambahkan larutan asam fosfat 85% sebanyak
0,15% dari berat CPO sambil di aduk perlahan (56 rpm) selama 15 menit. Setelah
proses degumming, dilakukan proses deasidifikasi. Proses yang optimum untuk
deasidifikasi, yaitu pada suhu 61 ± 2oC selama 26 menit dengan penambahan
larutan NaOH konsentrasi 16o
Selanjutnya NRPO yang dihasilkan dilakukan proses deodorisasi yang
bertujuan untuk menghilangkan komponen volatil yang menimbulkan bau pada
minyak (Anderson 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Riyadi (2009)
mendapatkan hasil bahwa proses deodorisasi NRPO yang optimum dilakukan
dengan menghomogenisasikan NRPO dalam tangki deodorizer selama 10 menit
pada suhu 46 ± 2
Be. Dari tahap ini didapatkanlah NRPO
(neutralized red palm oil).
oC kemudian dipanaskan dalam kondisi vakum hingga suhu
140oC selama 1 jam dan laju alir N2 dijaga konstan pada 20 L/jam. Lalu
dilakukan pendinginan sampai suhu 60o
Karakteristik minyak sawit merah jenis NDRPO (Neutraliized Deodorized
Red Palm Oil) hasil penelitian Riyadi (2009) yang diperoleh dari CPO yang
diolah lebih lanjut melalui proses deasidifikasi dengan NaOH 16
C pada kondisi vakum, maka dihasilkan
NDRPO (neutralized and deodorized red palm oil).
o
Be pada suhu
61oC selama 20 menit dan diikuti proses deodorisasi untuk menghilangkan
komponen volatil yang mengakibatkan bau yang tidak dikehendaki dengan
Tabel 4 Karakteristik minyak sawit merah jenis NRPO dan NDRPO
Parameter NRPO NDRPO
Kadar air (%)
Kadar asam lemak bebas (%)
Kadar β-karoten (mg/kg) Bilangan peroksida (meq/kg)
NDRPO yang dihasilkan masih mengandung fraksi olein dan stearin. Oleh
sebab itu perlu dilakukan proses fraksinasi yaitu proses pemisahan berbagai
trigliserida menjadi satu atau lebih fraksi dengan menggunakan perbedaan
kelarutan trigliserida, yang tergantung pada berat molekul dan derajat
ketidakjenuhan. Fraksinasi dilakukan dengan cara peningkatan suhu sampai 50o
Asmaranala (2010) melakukan optimasi proses fraksinasi membran filter
press. Kondisi proses fraksinasi yang digunakan yaitu pemanasan hingga 75 C
dan penurunan suhu perlahan-lahan sampai tercapai suhu kamar sambil diagitasi.
Pada suhu kamar terjadi kristalisasi fraksi stearin sehingga fraksi olein yang
masih bersifat cair dapat diperoleh dengan penyaringan vakum (Weiss 1983).
o
C
selama 30 menit dengan kecepatan agitasi 30 rpm, holding pada 75oC selama 15
menit dengan kecepatan agitasi 30 rpm, pendinginan hingga 35oC selama 3 jam
dengan kecepatan agitasi 8 rpm, holding 35oC selama 3 jam dengan kecepatan
agitasi 8 rpm, pendinginan hingga 15oC selama 3 jam dengan kecepatan agitasi 8
rpm, holding pada 15o
Fraksinasi dengan kondisi proses ini menghasilkan olein dengan rendemen
45,15%, kadar air 0,02%, kadar asam lemak bebas 0,14%, total karotenoid 382,60
ppm, bilangan peroksida 3,94 meq O2/kg sampel, dan bilangan iod 54,85g
iod/100 g sampel. Karakteristik minyak sawit merah dapat dilihat pada Tabel 5. C selama 6 jam dengan kecepatan agitasi 8 rpm, dan
10
Tabel 5 Karakteristik minyak sawit merah
Parameter Jumlah
Kadar air (%)
Kadar asam lemak bebas (%) Total karotenoid (ppm)
Produk-produk yang dihasilkan dari prosedur pemurnian khusus dan diberi
label sebagai minyak makan merah (red cooking oil) terdapat di pasaran asia:
”Carotino Cooking Oil dan Nutrolein Golden Palm oil” merupakan produk
utamanya. Nutrolein sebagai contoh (yang dihasilkan oleh Unitata Berhad di
Malaysia) adalah suatu superolein yang dihasilkan lewat fraksionasi kering, CPO
berkualitas tinggi yang dirafinasi secara kimia. Kadar karotenoidnya dilaporkan di
atas 800 ppm, dengan konsentrasi vitamin E superior mencapai 900 ppm. Kualitas
minyak yang sama juga terdapat di pasaran Amerika Latin seperti Sioma Oil
(dihasilkan oleh Danec S.A. di Ekuador), yaitu minyak sawit dengan kandungan
asam lemak tak jenuh yang lebih tinggi, yang diperoleh dari varietas sawit
hibrida. Gambar 2 berikut memperlihatkan produk Carotino yang dihasilkan oleh
Malaysia.
Minyak sawit merah kaya β-karoten telah digunakan dalam studi intervensi
dietary untuk meningkatkan kemungkinan peranannya dalam pencegahan defisiensi vitamin A. Di India, anak-anak 5-10 tahun dengan keratomalacia
diberikan 2 kali sehari emulsi yang mengandung minyak sawit merah. Setiap
dosis mengandung 0,6 ml minyak sawit merah dan terapi dilanjutkan selama 15
hari. Perlakuan minyak sawit merah menunjukkan hasil yang baik dibandingkan
hasil yang diperoleh dari perlakuan kelompok pasien lain dengan menggunakan
minyak hati ikan yang mengandung dosis vitamin A yang serupa. Berdasarkan
hasil yang diperoleh telah direkomendasikan bahwa negara berkembang
seharusnya tidak ada keraguan dalam membuat strategi untuk meningkatkan
penggunaan minyak sawit merah dalam menghadapi defisiensi vitamin A
Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga,
merah jingga yang larut dalam minyak serta tersebar luas di alam (Meyer, 1982).
Karotenoid mempunyai struktur alifatik, alifatik-asiklik, atau aromatik yang
terdiri dari lima karbon unit isoprene, umumnya delapan, dimana kedua gugus
metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan
gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5. Struktur molekul karotenoid
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur molekul karotenoid
Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya, karotenoid dibagi menjadi dua
golongan utama, yaitu (1) golongan karoten yang tersusun dari unsur-unsur atom
C d an H, sep erti α-karoten, β-karoten, γ-karoten dan likopen, (2) golongan oksikaroten atau xantofil yang tersusun oleh unsur C,H dan OH seperti lutein,
violasantin, neosamtin, zeasantin, kriptosantin, kapsantin, dan torulahordin.
12
bersifat nutrisi aktif seperti β-karoten dan non nutrisi aktif seperti fukosantin,
neosantin, dan violasantin (Klaui dan Bauernfeind, 1981).
Menurut Meyer (1982), karotenoid memiliki beberapa sifat fisika dan
kimia antara lain bersifat larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut
dalam kloroform, benzene, karbon disulfide, dan petroleum eter, tidak larut dalam
etanol dan methanol dingin, tahan dalam keadaan panas apabila dalam keadaan
vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, dan mempunyai ciri
khas absorpsi cahaya.
Menurut Klaui dan Bauernfeind (1981), faktor utama yang mempengaruhi
karotenoid selama pengolahan pangan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh
oksigen udara maupun perubahan struktur oleh panas. Karotenoid memiliki ikatan
ganda sehingga sensitif terhadap oksidasi. Oksidasi karoten dipercepat dengan
adanya cahaya, logam, panas, peroksida, dan bahan pengoksidasi lainnya. Reaksi
oksidasi dapat menyebabkan hilangnya warna karotenoid dalam makanan. Panas
akan mendekomposisi karotenoid dan mengakibatkan perubahan stereoisomer.
Pemanasan sampai dengan suhu 60o
Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat
pada bahan-bahan nabati seperti pada sayuran berwarna hijau, buah-buahan
berwarna kuning dan merah serta minyak sawit. Minyak sawit merupakan sumber
karotenoid terbesar untuk bahan nabati. Kadar karotenoid dalam minyak sawit
yaitu 60.000 µg/100 g atau 500-700 ppm di dalam minyak sawit mutu regular.
Karotenoid minyak sawit terdiri dari α-karoten (30-35%), β-karoten (60-65%),
dan karoten lain seperti γ-karoten, likopen, xanthofil, γ-zeakaroten (5-10%) (Ketaren 2005 ).
C tidak mengakibatkan terjadinya
dekomposisi karotenoid tetapi stereoisomer mengalami perubahan.
Tubuh mempunyai kemampuan mengubah sejumlah karoten menjadi
vitamin A (retinol) sehingga karoten disebut provitamin A (Winarno 1997).
Aktivitas karotenoid sebagai provitamin A berbeda sesuai jenis karotenoidnya. β -karoten memiliki aktivitas provitamin A yang paling tinggi dibandingkan dengan
karoten lainnya. Beberapa jenis karoten beserta aktivitas vitamin A nya dapat
Tabel 6 Aktivitas vitamin A beberapa jenis karoten
Jenis karotenoid Aktivitas vitamin A (%)
β-karoten
α-karoten
γ-karoten
β-zeakaroten
3,4 dehidro-β-karoten
Β-karoten-5,6-mono epoksida
(vitamin A) dengan bantuan enzim 15’15 β-karotenoid oksigenase sedangkan
25% dari β-karoten akan diabsorpsi dalam bentuk utuh pada mukosa usus. Fungsi utama vitamin A adalah dalam proses penglihatan (Fennema 1996). Selain itu,
karoten juga berfungsi untuk mencegah kebutaan (xerophtalmia) dan penyakit
katarak; mencegah penyakit kanker terkait dengan fungsinya sebagai antioksidan;
mengurangi risiko penyakit jantung koroner; memusnahkan radikal bebas dan anti
penuaan dini; dan meningkatkan imunitas tubuh (Sundram 2007).
Sistem Emulsi dan Emulsifier
Emulsi merupakan sistem heterogen yang terdiri atas dua fase cairan yang
tidak tercampur tetapi cairan yang satu terdispersi dengan baik dalam cairan yang
lain dalam bentuk butiran (droplet/globula) dengan diameter biasanya lebih dari
0,1 µm atau 0,1-50 μm. Fase yang berbentuk butiran disebut fase terdispersi atau
fase internal atau disebut juga fase diskontinyu, sedangkan fase cairan tempat
butiran terdispersi disebut fase pendispersi atau fase eksternal atau fase kontinyu
(deMan 1997).
Terdapat dua tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (o/w) dan emulsi
air dalam minyak (w/o). Jika fase lipolitik merupakan fase terdispersi maka
emulsi yang terbentuk adalah emulsi minyak dalam air dan sebaliknya jika fase
hidrofilik merupakan fase terdispersi maka emulsi yang terbentuk adalah emulsi
air dalam minyak (Noerono 1990). Dispersibilitas atau daya larut emulsi
ditentukan oleh medium dispersinya. Bila medium dispersinya air, emulsinya
dapat diencerkan dengan air, dan sebaliknya bila medium dispersinya lemak,
14
Suryani (2000) menyebutkan bahwa suatu sistem emulsi pada dasarnya
adalah suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai
kecenderungan untuk bergabung dengan partikel sesama lainnya membentuk
suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi tersebut pecah.
Kekuatan dan kekompakan lapisan antar muka adalah sifat yang penting yang
dapat membentuk stabilitas emulsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem
emulsi akan berdampak apabila dilakukan perubahan atau modifikasi pada lapisan
antar muka tersebut.
Kerusakan atau destabilisasi emulsi terjadi melalui tiga mekanisme utama
yaitu kriming, flokulasi dan koalesen. Kriming merupakan proses pemisahan yang
terjadi akibat terjadi karena gerakan-gerakan ke atas/ke bawah, hal ini terjadi
karena gaya gravitasi terhadap fase-fase yang berbeda densitasnya. Flokulasi
merupakan agregasi dari droplet. Pada flokulasi tidak terjadi pemusatan film antar
permukaan sehingga jumlah dan ukuran globula tetap, terjadinya flokulasi akan
mempercepat terjadinya kriming. Koalesen adalah penggabungan globula-globula
menjadi globula yang lebih besar. Pada tahap ini terjadi pemusatan film antar
permukaan sehingga ukuran globula berubah. Jenis-jenis kerusakan emulsi dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Jenis-jenis kerusakan emulsi (McClements 2004)
Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang besarnya
bergantung pada komposisi emulsi dan metode pengolahan. Faktor-faktor internal
yang mempengaruhi stabilitas emulsi terdiri dari tipe dan konsentrasi bahan
pengemulsi, jenis dan konsentrasi komponen-komponen fasa terdispersi dan fasa
fasa pendispersi, dan ukuran partikel. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
stabilitas emulsi terdiri dari pengadukan atau pengocokan, penguapan dan suhu.
Emulsi merupakan sistim yang tidak stabil. Oleh karena itu dibutuhkan
dua hal untuk membentuk emulsi stabil, yaitu penggunaan alat mekanis untuk
mendispersikan sistem dan penambahan bahan penstabil/pengemulsi untuk
mempertahankan sistem tetap terdispersi ( Bergenstahl dan Claesson 1990).
Pemilihan pengemulsi atau emulsifier sangat penting dalam pembentukan emulsi.
McClements (2004) menyatakan bahwa ada beberapa peranan penting emulsifier
selama proses homogenisasi yakni menurunkan tegangan antar muka antara fase
air dengan fase minyak sehingga mengurangi energi bebas yang diperlukan untuk
mengubah dan mengacaukan droplet, serta membentuk coating yang protektif
disekeliling droplet yang akan mencegah koalesen.
Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang
dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut lebih larut
atau terikat pada air maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak
dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w). Untuk lebih
menjelaskan bagaimana kerja emulsifier akan diberikan ilustrasi sebagai berikut:
bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga mekanik (pengocokan),
maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebut segera terselubungi oleh selaput
tipis emulsifier. Bagian molekul emulsifier yang nonpolar larut dalam lapisan luar
butir-butir lemak, sedangkan bagian yang polar menghadap ke pelarut (air).
Emulsifier yang banyak terdapat di alam adalah fosfolipida, lesitin
(fosfatidilkolina) dan fosfatidil etanolamina yang dikenal sebagai emulsifier
alami. Selain itu gelatin dan albumin (putih telur) adalah protein yang bersifat
sebagai emulsifier dengan kekuatan biasa dan kuning telur sebagai emulsifier
yang kuat.
Emulsifier buatan terdiri dari monogliserida, misalnya gliseril
monostearat. Emulsifier biasanya dibuat dbuat dengan cara alkoholisis atau
esterifikasi secara langsung. Beberapa contoh emulsifier buatan antara lain ester
dari asam lemak sorbitan yang dikenal dengan SPANS yang dapat membentuk
16
asam lemak yang dikenal sebagai TWEEN yang dapat membentuk emulsi minyak
dalam air (o/w).
Emulsifier tween 80 merupakan nama komersial dari polysorbate 80 atau
polyoxyethylene 20 sorbitan monooleat (C64H124O26
Tween 80 merupakan cairan kental dengan nilai kekentalan 300-500
centistokes, berwarna kuning, bersifat sangat larut dalam air, larut dalam minyak,
dan pelarut lain seperti etnol, etil asetat, methanol dan toluene. Struktur molekul
tween 80 dapat dilihat pada Gambar 4.
). Tween 80 adalah surfaktan
non ionic yang dibuat dengan mereaksikan span dengan etilen oksida. Span
merupakan pengemulsi lipofilik dan ionic yang dibuat dengan mereaksikan
sorbitol dengan asam lemak. Tween 80 mempunyai gugus hidrofilik yaitu grup
polioksietilen yang merupakan polimer dari etilen oksida dan gugus lipofilik yaitu
asam oleat. Istilah tween 80 menunjukkan bahwa emulsifier ini memiliki jumlah
gugus hidrofilik 20% dan gugus lipofilik 80%.
Gambar 4 Struktur tween 80
Tween 80 digunakan sebagai emulsifier dalam produk pangan seperti es
krim untuk meningkatkan homogenitas adonan, melembutkan tekstur dan
menjaga es krim agar tidak cepat meleleh [Anonim 2009]. Selain itu, tween 80
juga dapat digunakan sebagai emulsifier dalam produk minuman emulsi. Surfiana
(2002) dan Sabariman (2007) menggunakan tween 80 sebagai emulsifier dalam
pembuatan produk minuman emulsi dari minyak sawit merah. Tween 80 aman
biasanya mengkonsumsi tween 80 yang ada dalam produk pangan hingga
0,1 gram/hari.
Homogenisasi
Homogenisasi merupakan proses mengubah dua cairan yang sifatnya
immisible (tidak bercampur) menjadi sebuah emulsi. Homogenisasi didalam
teknologi pencampuran, emulsifikasi dan suspensi dikenal sebagai operasi yang
pada dasarnya terdiri dari dua tahap yaitu pertama pengecilan ukuran droplet pada
fase bagian dalam dan kedua yang merupakan tahap simultan pendistribusian
droplet kedalam fase kontinu (Wirakartakusumah 1992). Alat yang dirancang
untuk melakukan proses emulsi disebut homogenizer (Loncin & Merson dalam
McClements 2004).
Menurut Widodo (2003) hal-hal yang perlu dipertimbangkan selama
proses homogenisasi yaitu: (1) diameter globula lemak yang dihasilkan dari
proses homogenisasi tidak boleh terlalu kecil (terlalu luas permukaan globula
baru yang dihasilkan, (2) homogenisasi dilakukan pada suhu yang relatif tinggi
(68-70o
Menurut McClements (2004) beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran
droplet yang dihasilkan oleh homogenisasi antara lain tipe emulsi yang
digunakan, suhu, karakter komponen fasa-fasanya, dan masukan energi. Ukuran
droplet yang kecil yang dihasilkan oleh homogenisasi dapat meningkatkan fasa
terdispersi. Sebagai akibatnya viskositas semakin meningkat dan penyerapan
emulsifier dapat meningkat. Ketidakcukupan emulsifier dalam menyelubungi
permukaan droplet-droplet akan menyebabkan koalesen. Pengemulsian juga
membutuhkan waktu homogenisasi yang tepat. Intensitas dan lama proses
pencampuran tergantung waktu yang diperlukan untuk melarutkan dan
mendistribusikannya secara merata.
C). Semakin tinggi suhu homogenisasi maka akan semakin sedikit
material pembentuk membran yang diperlukan untuk membentuk membran baru,
(3) penambahan material pembentuk membran.
Pemilihan homogenizer untuk aplikasi bergantung beberapa faktor, yaitu
volume sampel yang dihomogenisasi, keluaran yang diinginkan, konsumsi energi,
18
homogenizer yang cocok, kemudian dicari kondisi operasi yang optimum untuk
alat tersebut, diantaranya yaitu aliran, tekanan, perbedaan kekentalan, suhu, waktu
homogenisasi dan kecepatan putaran (McClements 2004).
Penggunaan homogenizer untuk menyatukan fasa minyak dan air pada
emulsi yang memiliki droplet diatas 2µ m dapat menggunakan homogenizer
high-speed blender. Untuk aplikasi industri yang menggunakan cairan berviskositas
tinggi (0,1 < c < 1 Pa.s), tipe homogenizer coloid mill sangat efisien digunakan.
Untuk bahan cairan yang memiliki kekentalan rendah dapat menggunakan
homogenizer tipe high presure atau ultra sonic jet homogenizer. Perbandingan
tipe homogenizer dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Perbandingan tipe homogenizer
Tipe Produksi Energi Droplet
minimum
Menurut Wirakartakusumah (1992) rotor-stator homogenizer bekerja pada
tekanan yang lebih rendah sehingga membutuhkan energi yang lebih sedikit, bila
partikel ingin lebih dikecilkan ukurannya, sejumlah energi tambahan tetap harus
diberikan dari luar. Energi yang dibutuhkan untuk memecah droplet atau partikel
datang dari rotor yang juga memutar alat pengaduk (disc).
Prinsip kerja homogenizer rotor stator adalah mengecilkan ukuran partikel
emulsi dengan menggerus dan memotong partikel emulsi yang besar dengan rotor
(bergerak) dan stator (diam) menjadi partikel yang lebih kecil. Menurut
Tangsuphoom dan Coupland (2005) ukuran minimum droplet dalam emulsi yang
Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah
Minuman emulsi ini diklasifikasikan sebagai emulsi minyak dalam air
(O/W). Pada fase minyak terdapat komponen utama minyak, sedangkan pada fase
air biasanya terdapat pengemulsi/penstabil, asam, pengawet, flavor, dan pewarna.
Formula dasar untuk pembuatan minuman emulsi terdiri dari air, minyak, dan
bahan pengemulsi (emulsifier), sedangkan bahan lainnya tergantung kebutuhan
sesuai dengan produk emulsi akhir yang diinginkan.
Produk minuman emulsi dengan bahan dasar minyak sawit merah yang
kaya β-karoten telah diteliti oleh Saputra (1996), Surfiana (2002) dan Sabariman (2007). Penelitian Saputra (1996) membuat minuman emulsi dengan bahan baku
CPO, dari segi penerimaan panelis rasa minuman emulsi tersebut kurang disukai.
Penelitian Surfiana (2002) membuat minuman emulsi dengan bahan baku
minyak sawit merah dan menghasilkan minuman emulsi yang stabil sebagai
berikut : pengemulsi tween-80 1% (rasio minyak dan air 7 : 3) atau pengemulsi
sukrosa ester asam lemak tipe S-1570, P-1570, dan campuran ester asam lemak
ber-HLB 15 masing-masing 1% (rasio minyak dan air adalah 6 : 4); bahan
tambahan lainnya adalah pengawet benzoate (0,2%), antioksidan BHT (200 ppm),
pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis sirup fruktosa (10-15%), dan flavor jeruk
(1-1,5%).
Penelitian Sabariman (2007) menghasilkan formulasi minuman emulsi
minyak sawit merah yang terbaik sebagai berikut : pengemulsi sukrosa ester asam
lemak HLB-15 baik campuran maupun tunggal (tipe S-1570 dan P-1570) dengan
rasio minyak dan air 6 : 4. Bahan tambahan makanan yang ditambahkan adalah
pengawet benzoate (0,2%), antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200
ppm), pemanis sirup fruktosa (10%), dan flavor jeruk (1,5%).
Hasil pengamatan dipasaran terdapat jenis minuman emulsi dengan bahan
dasar minyak ikan kod yang kaya vitamin A dengan nama dagang “Scott’s
Emulsion dan “Curcuma Plus Emulsion”. Selain itu terdapat juga minuman
20
Analisis Biaya
Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dengan uang
yang telah terjadi atau kelak terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Biaya dapat
digolongkan dalam beberapa cara, antara lain penggolongan atas objek
pengeluaran, penggolongan atas dasar fungsi pokok pada perusahaan,
penggolongan atas hubungannya dengan pusat biaya dan penggolongan biaya
berdasarkan perubahan biaya terhadap perubahan volume produk atau kegiatan
(Simangunsong, 1989 dalam
Berdasarkan fungsi pokok dalam perusahaan, biaya digolongkan atas
biaya produksi, biaya pemasaran, biaya administrasi dan umum. Biaya langsung
dan biaya tidak langsung adalah penggolongan biaya berdasarkan hubungan
dengan produk, sedangkan penggolongan biaya menurut perubahannya terhadap
volume produksi adalah biaya tetap, biaya variabel dan biaya semi variabel. Revinaldo, 1992).
Selanjutnya William (1973) dalam
Analisis biaya merupakan suatu kegiatan meliputi identifikasi biaya,
pengukuran, alokasi dan pengendalian yang merupakan kegiatan penting dalam
suatu perusahaan.
Revinaldo (1992) menyatakan, bahwa
biaya tetap adalah biaya yang totalnya tetap sampai batas kapasitas tertentu,
meskipun volume produksi berubah. Biaya variabel merupakan biaya yang
sebanding dengan perubahan volume produksi, sedangkan biaya semi variabel
berubah tidak sebanding dengan volume produksi.
Biaya Pokok Produksi
Menurut Manullang (1980) dalam Adhipratiwi (2001), biaya pokok
produksi adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang,
ditambah biaya lainnya sehingga barang tersebut dapat digunakan. Sedangkan
menurut Wasis (1988) dalam
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa biaya pokok adalah jumlah
biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang dan jasa sampai barang
tersebut dapat digunakan atau dijual di pasar. Menurut Wasis (1988) Adhipratiwi (2001), biaya pokok adalah biaya yang
tidak dapat dihindarkan yang dapat dipakai dalam proses produksi yang dapat
diperhitungkan.
Adhipratiwi (2001), tujuan perhitungan biaya pokok adalah (a) menentukan harga
penjualan, (b) menentukan laba atau rugi perusahaan, (c) menetapkan
kebijaksanaan perusahaan, (d) memberikan penilaian di dalam neraca, dan (e)
menentukan efisiensi perusahaan.
Pramudya dan Dewi (1992) menyebutkan bahwa biaya pokok adalah
biaya yang diperlukan untuk memproduksi tiap unit produk yang dihasilkan.
Biaya poko dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
BP = Biaya Pokok (Rp/tahun)
B = Biaya Total (Rp/tahun)
PT = Produksi Total (Rp/tahun)
Analisis Titik Impas
Titik impas (break event point) adalah suatu titik dimana terjadi
keseimbangan antara dua alternatif yang berbeda. Di luar titik tersebut, kondisi
alternatif tersebut berbeda sehingga akan mempengaruhi pengambilan keputusan
(Pramudya dan Dewi, 1992). Titik impas disebut juga batas kritis usaha.
Maksudnya adalah kapasitas atau volume produksi yang dapat menghasilkan
pemasukan atau pendapatan sekedar cukup untuk menutupi biaya total.
Analisis Kelayakan Finansial
Pembangunan proyek bertujuan untuk memperoleh berbagai manfaat
(termasuk keuntungan) yang nilainya lebih besar dari nilai faktor produksi yang
ditanamkan pada proyek tersebut. Analisis finansial dilakukan untuk kepentingan
individu atau lembaga yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut.
Menurut Gray et al. (1993) untuk mencari ukuran yang menyeluruh
sebagai dasar penerimaan atau penolakan suatu proyek telah dikembangkan
berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Beberapa kriteria investasi yang
sering digunakan adalah Break Even Point (BEP), Net Present Value NPV),
22
a. Net Present Value
Net Present Value (NPV) yaitu seluruh angka net cash flow yang
digandakan dengan discount faktor yang telah ditentukan. Menurut Gray et al.
(1985), untuk menghitung NPV dapat digunakan rumus:
Keterangan:
Jika : NPV > 0 proyek menguntungkan
NPV = 0 proyek tidak menguntungkan / merugi
NPV < 0 proyek merugikan
b. Internal Rate of Return
Internal Rate of Return (IRR) atau tingkat pengembalian internal, yaitu suatu tingkat pengembalian yang dinyatakan dalam persen yang identik
dengan biaya investasi.
Keterangan:
IRR = Internal Rate of Return (IRR) i1
i
= Tingkat bunga pada saat NPV yang didapat positif (%)
2
IRR adalah tingkat bunga yang membuat NPV = 0
= Tingkat bunga pada saat NPV yang didapat negatif (%)
Jadi, bila IRR ≥ discount factor proyek menguntungkan sehingga proyek
layak untuk dikembangkan
Dan, bila IRR < discount factor proyek merugikan sehingga proyek tidak
c. Benefit Cost Ratio (B/C)
Benefit Cost Ratio (B/C), yaitu nilai perbandingan antara jumlah nilai manfaat dan nilai biaya. Nilai manfaat didapat dari hasil penjualan dan nilai
sisa alat. Sedangkan nilai biaya adalah didapat dari biaya investasi dan biaya
tahunan untuk perawatan dan pemeliharaan.
Benefit Cost Ratio (B/C) terdiri dari dua jenis, yaitu Net B/C dan Gross B/C. Namun Gross B/C dianjurkan untuk tidak digunakan
dalamanalisis benefit cost. Menurut Gray et al. (1993), untuk menghitung Net
B/C dapat digunakan rumus:
Dimana:
Net B/C merupakan nilai perbandingan antara jumlah nilai sekarang
(NPV) yang bernilai positif dengan jumlah nilai sekarang (NPV) yang bernilai
negatif
Jika: B/C > 1 proyek menguntungkan
B/C = 1 proyek tidak menguntungkan dan tidak merugikan, manfaat yang
diperoleh hanya cukup untuk menutup biaya (tercapai titik impas)
B/C < 1 proyek merugikan, sehingga proyek tidak layak untuk
dikembangkan
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas bertujuan untuk mempelajari kemungkinan terjadinya
perubahan dalam penyelesaian optimal sebagai akibat adanya perubahan dari
model semula. Pramudya dan Dewi (1992) menyatakan bahwa analisis ini
24
kemungkinan terjadi perubahan suatu unsur harga pada saat proyek tersebut
dilaksanakan. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat sampai berapa persen
peningkatan atau penurunan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan
perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak (Gittinger
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2010 sampai Januari 2011 di
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Cimanggu Bogor,
Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB,
Laboratorium Pilot Plant Seafast Center Institut Pertanian Bogor dan
Laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu minyak sawit merah yang
diperoleh dari Seafast Center IPB, emulsifier Tween 80, flavor jeruk, pemanis
sirup fruktosa, pengawet kalium sorbat, antioksidan butil hidroksi toluen (BHT),
air mineral.
Alat-alat yang digunakan adalah homogenizer rotor stator untuk
pembuatan minuman emulsi, partikel size analyzer merk Coulter LS 100Q,
timbangan, stopwatch dan alat-alat gelas.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan sebagai berikut:
1. Proses Emulsifikasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah
Minuman emulsi minyak sawit merah dibuat dengan menggunakan
formula Surfiana (2002). Komposisi minuman emulsi minyak sawit merah dapat
dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Komposisi minuman emulsi minyak sawit merah
Komponen Emulsifier Tween 80
26
Proses emulsifikasi minuman emulsi minyak sawit merah dilakukan dengan
perlakuan sebagai berikut:
a. Proses Homogenisasi
Tahap kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan kecepatan putaran
homogenizer dan waktu homogenisasi yang terbaik. Perlakuan homogenisasi
yang diuji yaitu : (a) kecepatan putaran homogenizer : 6000, 8000, dan 10.000
rpm dan (b) waktu homogenisasi : 1, 3 dan 4 menit. Parameter yang diukur yaitu
stabilitas emulsi, distribusi dan ukuran partikel emulsi serta gambar mikroskopik
partikel emulsi. Dari perlakuan homogenisasi ini, dipilih perlakuan terbaik untuk
masuk ke tahap pasteurisasi. Produk emulsi minyak sawit merah dapat dilihat
pada Gambar 5.
b. Proses Pasteurisasi
Tahap kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan suhu dan waktu
pasteurisasi terbaik. Perlakuan pasteurisasi yang diujikan yaitu : (a) suhu
pasteurisasi : 70oC dan 80oC dan (b) waktu pasteurisasi : 10 dan 15 menit.
Parameter pengamatan yang diukur yaitu kestabilan emulsi, warna (Nilai L, a, b)
dan TPC/keawetan. Diagram alir pembuatan emulsi minyak sawit merah dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram alir pembuatan minuman emulsi minyak sawit merah
Mixing (± 1 menit) Mixing (± 1 menit)
Homogenisasi (1 menit, 8000 rpm)
Homogenisasi ( 1 menit, 8000 rpm)
Ditambahkan perlahan-lahan sambil dihomogenisasi
Air
+ BHT (200 ppm) Olein sawit merah
+ Sirup fruktosa (15%) + flavor jeruk (1,5%)
Pemanasan hotplate T 40oC
Perlakuan Homogenisasi Kecepatan: 6000, 8000 dan 10000 rpm
Waktu : 1, 3 dan 4 menit
Perlakuan Pasteurisasi Suhu : 70, 80oC Waktu : 10 dan 15 menit
+ Kalium sorbat 0,1% + Emulsifier 1%
28
2. Analisis Biaya Produksi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah
Tahap ini bertujuan untuk menganalisis biaya dan kelayakan usaha
minuman emulsi minyak sawit merah. Prosedur penelitian yang dilakukan adalah
asumsi dan pendekatan sebagai dasar dalam melakukan perhitungan dan analisis.
Asumsi dan pendekatan yang digunakan terdiri dari: (1) Umur ekonomis
homogenizer rotor stator adalah 10 tahun dengan nilai akhir mesin 10% dari harga awal, (2) Umur ekonomis fasilitas bangunan adalah 10 tahun, (3) Umur
proyek diasumsikan sesuai dengan umur ekonomis alat (10 tahun), (4) Investasi
terdiri dari 30% modal sendiri dan 70% modal kredit, (5) Harga yang digunakan
dalam perhitungan adalah harga yang berlaku sebelum penelitian dan sebelum
terjadi perubahan selama penelitian, (6) Tingkat suku bunga (dicount rate) adalah
tingkat bunga yang diperkirakan dan dipakai untuk mendiskon pembayaran dan
penerimaan dalam satu periode. Besarnya tingkat suku bunga adalah 15% didekati
dari tingkat suku bunga kredit usaha non program Bank Rakyat Indonesia (BRI)
tahun 2010.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Proses pembuatan minuman emulsi minyak sawit merah didisain dengan
rancangan acak lengkap dengan dua peubah serta dilakukan dengan dua
pengulangan. Uji statistik menggunakan software SAS untuk analisis sidik
ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95%. Proses
homogenisasi didisain dengan rancangan sebagai berikut:
Yijk= µ+ αi + βj + ε
Dimana :
ijk
Yijk
µ = nilai tengah umum
= nilai pengamatan pada faktor kecepatan putaran homogenisasi (rpm)
taraf ke-i dan faktor waktu taraf ke-j dan ulangan ke k
αi = pengaruh utama faktor kecepatan putaran homogenisasi (6000 rpm,
βj
ε
= pengaruh utama faktor waktu (1, 3, 4 menit)
ijk
Proses pasteurisasi didisain dengan rancangan sebagai berikut : = galat percobaan
= nilai pengamatan pada faktor suhu taraf i dan faktor waktu taraf
ke-j dan ulangan ke k
= pengaruh utama faktor waktu (10 menit, 15 menit)
ijk = galat percobaan
Analisis
1. Stabilitas Emulsi (Modifikasi Metode Yasumatsu et al. 1972)
Pengukuran stabilitas emulsi dengan metode ini berdasarkan pada
mengukur kemampuan pembentukan emulsi setelah dilakukan pemanasan dan
sentrifugasi. Prosedur penentuannya adalah sampel emulsi dipanaskan dalam
penangas air bersuhu 80oC selama 30 menit, kemudian disentrifugasi pada
kecepatan 1300 rpm selama 10 menit. Volume campuran yang masih membentuk
emulsi diukur dan stabilitas emulsi ditetapkan dengan persamaan sebagai berikut:
Stabilitas emulsi (%) =
Volume total campuran (ml) x 100
volume campuran yang teremulsi (ml)
2. Ukuran Droplet Emulsi
Ukuran droplet emulsi ditentukan dengan pengamatan menggunakan
30
plot grafik persentase volume droplet pada setiap diameter droplet emulsi.
Diameter globula yang semakin kecil menandakan produk emulsi semakin stabil.
3. Penampakan Mikroskopik Emulsi / Pengamatan Ukuran Partikel
Sampel emulsi diteteskan sebanyak satu tetes pada microscope slide
kemudian ditutup dengan cover slip dan diamati pada perbesaran 200x pada
mikroskop berkamera NIKON FX 35. Pengukuran ukuran droplet dilakukan
dengan mengukur pada skala mikroskop (pada perbesaran 200x, skala dari satu
unit pengukuran-jarak antar garis unit pengukuran terpendek-yaitu 5µ m)
kemudian dihitung jumlah droplet pada ukuran 1-10µ m, 11-20µm, 21-30 µm dari
gambar hasil penelitian.
4. Warna
Analisa warna dilakukan dengan menggunakan alat chromameter minolta
CR-310. Sebelum dilakukan pengukuran nilai L, a dan b perlu dikalibrasi dengan
menggunakan standar warna putih (L = 97.51, a = 5.35, b = -3.37). Setelah proses
kalibrasi selesai, dilanjutkan dengan pengukuran warna sampel. Sisten warna
yang digunakan adalah L, a, b.
Sampel dituang kedalam wadah, lalu tekan tombol measure. Hasil
pengukuran dikonversi kedalam sistem Hunter dengan L menyatakan parameter
kecerahan dari hitam (0) hingga putih (100). Notasi a menyatakan warna kromatik
campuran merah-hijau dengan nilai a positif dari 0 sampai 100 untuk warna
merah dan a negatif dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan
campuran biru-kuning dengan nilai b positif dari 0 hingga 70 untuk warna kuning
dan nilai b negatif dari 0 hingga -80 untuk warna biru. Berdasarkan nilai a dan b
maka dapat dinyatakan nilai oHue dengan persamaan :
Nilai yang dihasilkan menyatakan warna pada sampel. Berikut ini
berbagai nilai oHue dan keterangan warna dapat dilihat pada Tabel 9.
o
Tabel 9 Keterangan warna oHue
5. TPC (Total Plate Count)
Analisa kuantitatif mikrobiologi yang dilakukan adalah penentuan total
mikroba atau total plate count (TPC). Media yang digunakan untuk menghitung
total mikroba adalah PCA (Plate Count Agar). Sebanyak 23,5 gram PCA
ditambahkan kedalam satu liter air destilata, kemudian dipanaskan sambil diaduk
untuk melarutkan media. Setelah agar larut dan bening, media disterilkan dalam
otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Sebagai pengencer digunakan larutan
garam fisiologis 0,85%. Sebanyak 1 ml emulsi dimasukkan kedalam tabung
reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer steril, diperoleh pengenceran 10-1.
Selanjutnya dibuat pengenceran 10-2 dan 10-3. Dari masing-masing tingkat
pengenceran tersebut dilakukan pemupukan pada cawan petri steril (duplo).
Kemudian kedalam cawan tersebut dituangkan ± 15 ml media. Cawan petri
diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 hari.
o
Keterangan Hue
18o – 54o Merah
54o – 90o Kuning Merah
90o – 126o Kuning
126o – 162o Kuning Hijau
162o – 198o Hijau
198o – 234o Biru Hijau
234o – 270o Biru
270o – 306o Biru Ungu
306o – 342o Ungu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Emulsifikasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah
Proses emulsifikasi minuman emulsi minyak sawit merah dilakukan
dengan perlakuan proses homogenisasi dan proses pasteurisasi
1. Proses Homogenisasi
Homogenisasi merupakan proses mengubah dua cairan yang sifatnya
immisible (tidak bercampur) menjadi sebuah emulsi. Prinsip kerja homogenizer
rotor stator adalah mengecilkan ukuran partikel emulsi dengan menggerus dan
memotong partikel emulsi yang besar dengan rotor (bergerak) dan stator (diam)
menjadi partikel yang lebih kecil. Emulsi akan tertarik oleh dorongan pusaran
rotor stator kemudian masuk kedalam batang rotor stator. Emulsi kemudian
didorong keluar oleh pemotong partikel (rotor) homogenizer setelah penggerusan
(shear force). Frekuensi droplet masuk kedalam rotor stator homogenizer sejalan dengan lamanya homogenisasi. Proses pengecilan ukuran partikel pada
homogenizer rotor stator dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Proses pengecilan ukuran partikel pada homogenizer rotor stator
Efektifitas pengurangan ukuran partikel oleh homogenizer rotor stator
dapat dipengaruhi oleh jumlah bahan yang dihomogenisasi, waktu homogenisasi
dan kecepatan putaran homogenisasi. Semakin banyak bahan yang
dihomogenisasi maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencampurkan kedua fasa bahan. Semakin lama waktu homogenisasi maka
semakin banyak aliran cairan yang masuk menuju rotor stator untuk pengecilan
34
a. Pengaruh Homogenisasi terhadap Stabilitas Emulsi
Homogenisasi didalam teknologi pencampuran, emulsifikasi dan suspensi
dikenal sebagai operasi yang pada dasarnya terdiri dari dua tahap yaitu pertama
pengecilan ukuran droplet pada fase bagian dalam dan kedua yang merupakan
tahap simultan pendistribusian droplet kedalam fase kontinu (Wirakartakusumah
1992).
Kestabilan emulsi merupakan proses pemisahan emulsi yang berjalan
lambat sehingga proses tersebut tidak teramati selama selang waktu yang
diinginkan (Frieberg et al. 1990). Pengaruh perlakuan kecepatan putaran
homogenizer dan waktu homogenisasi terhadap stabilitas emulsi diukur dengan
mengukur kemampuan pembentukan emulsi setelah dilakukan pemanasan dan
sentrifugasi. Pemisahan fase air dari sistim emulsi merupakan indikasi penurunan
stabilitas emulsi. Volume campuran yang masih membentuk emulsi diukur dan
stabilitas emulsi ditetapkan dengan persamaan. Pada Gambar 8 dapat dilihat
hubungan antara kecepatan putaran homogenizer dan waktu homogenisasi
terhadap stabilitas emulsi.
Gambar 8 Hubungan antara kecepatan putaran homogenizer dan waktu homogenisasi terhadap stabilitas emulsi.
Gambar 8 menunjukkan kurva stabilitas emulsi yang dinyatakan dalam %
pada berbagai kecepatan putaran homogenizer dan waktu homogenisasi dengan
menggunakan metode Yasumatsu et al. Gambar ini menunjukkan pada kecepatan