• Tidak ada hasil yang ditemukan

Label Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Label Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

LABEL INDIKATOR BESI (II) SULFAT (FeSO4)

PENDETEKSI KEBUSUKAN DAGING

ALDYANZA YUSUF SHYNA ISKANDAR

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Label Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Aldyanza Yusuf Shyna Iskandar

(4)

ABSTRAK

ALDYANZA YUSUF SHYNA ISKANDAR. Label Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging. Dibimbing oleh ENDANG WARSIKI.

Kemasan cerdas adalah kemasan yang dapat mengawasi dan memberikan informasi tentang kualitas produk terkemas. Penelitian ini bertujuan untuk membuat label indikator berbahan FeSO4 sebagai indikator keberadaan gas H2S yang dihasilkan oleh daging busuk dan mempelajari respon perubahan warna label terhadap paparan gas H2S. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa label dibuat dengan menggunakan teknik oles dan formula terbaik adalah campuran kitosan 3 gram, asam asetat glasial 1% 70 ml, akuades 30 ml dan FeSO4 sebanyak 2,5 gram. Adapun konsentrasi gas H2S semakin meningkat seiring dengan lama penyimpanan daging pada suhu ruang, yakni dari 0 ppm pada jam ke-0 menjadi 18,3 ppm pada jam ke-120. Respon perubahan warna label yakni nilai L, a dan b dan ºhue dipengaruhi secara signifikan oleh konsentrasi H2S. Tingkat kecerahan warna label bergerak ke arah lebih gelap dari 34,265 di jam ke-0 menjadi 7,44 di jam ke-120. Nilai a bergerak secara positif ke warna merah dari 17,17 pada jam ke-0 hingga 32,45 di jam ke-120. Adapun nilai b juga bergerak ke arah negatif menuju warna biru dari 51,67 pada jam ke-0 menjadi 10,26 pada jam ke-120. Nilai ºhue pada jam ke-0 hingga jam ke-24 menunjukkan kategori warna kromatis kuning-merah, pada jam selanjutnya hingga jam ke-96 indikator menunjukkan kategori warna kromatis merah dan pada jam ke-120 menunjukkan kategori merah-ungu. Penelitian utama menunjukkan bahwa daging yang disimpan selama 24 jam pada suhu ruang sudah mengalami penurunan kualitas. Selain itu daging juga mengalami peningkatan jumlah mikroba selama penyimpanan. Mikroba terdapat pada daging di jam ke-0 sebanyak 7 × 105 cfu/g meningkat menjadi 71,5 × 105 cfu/g. Sementara itu batas jumlah mikroba pada SNI sebesar 10 × 105 cfu/g. Besi (II) sulfat dapat digunakan sebagai pendeteksi kebusukan daging dengan merubah warna label dari kuning kemerahan menjadi coklat gelap.

Kata kunci: label cerdas, indikator, H2S, FeSO4

ABSTRACT

ALDYANZA YUSUF SHYNA ISKANDAR. Ferrous (II) Sulphate (FeSO4) Indicator Label As Spoiled Meat Detector. Supervised by ENDANG WARSIKI.

(5)
(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

LABEL INDIKATOR BESI (II) SULFAT (FeSO4)

PENDETEKSI KEBUSUKAN DAGING

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(8)
(9)

Judul Skripsi : Label Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging

Nama : Aldyanza Yusuf Shyna Iskandar NIM : F34090143

Disetujui oleh

Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu “Label Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging”. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada:

1. Orang tua tersayang beserta keluarga tercinta atas doa dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi.

2. Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si selaku pembimbing akademik atas perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi.

3. Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si dan Ir. Sugiarto, M.Si atas kritik dan sarannya dalam menyempurnakan skripsi.

4. Komunitas Fotografi Bogor serta Sahabat Macro Bogor atas canda tawa dan semangat di kala susah.

5. Sarah Soraya, Intan Ayu Lestari dan Muhamad Haris atas semangat dan dukungannya.

6. Keluarga besar TIN 46, pondok pesantren Al-Jaddah dan Roommate 207 atas kenangan indah tak terlupakan

7. Mutiaraku Ardissa Utami untuk motivasi, dukungan serta doanya. 8. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Bahan 2

Alat 2

Metodologi 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Label Indikator dengan Metode Casting 6

Label Indikator dengan Teknik Oles 7

Aplikasi Label Indikator Pada Daging Ayam 9

Potensi Aplikasi Label Indikator 17

SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 21

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kode formula berdasarkan komposisi bahan 3

2 Kode formula pada pembuatan label indikator dengan teknik oles 4

3 Penampakan film dari berbagai formula 7

4 Hasil formulasi indikator dengan teknik oles 8

5 Hasil pengamatan perubahan warna label indikator 11 6 Nilai warna label indikator terhadap lama penyimpanan daging ayam 12

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir pembuatan label indikator 3

2 Kitosan (a) 100 mesh, (b) 80 mesh 4

3 Pembuatan label indikator dengan teknik oles 4

4 Aplikasi label indikator pada pengemasan daging ayam 5

5 Pengemasan daging ayam 5

6 Aplikasi indikator pada penyimpanan daging ayam 10

7 Konsentrasi H2S terhadap lama penyimpanan 10

8 Nilai L label indikator 12

9 Nilai a label indikator 13

10 Nilai b label indikator 13

11 Nilai ºhue label indikator 14

12 Nilai kekerasan daging ayam terhadap lama penyimpanan 15 13 Hasil uji total plate count (TPC) terhadap lama penyimpanan daging 16 14 Degradasi perubahan warna indikator terhadap konsentrasi gas H2S 17

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jaminan keamanan pangan adalah mutlak untuk produk pangan. Namun demikian jaminan ini belum seluruhnya didapatkan oleh konsumen karena masih adanya kerusakan produk yang sulit dilihat oleh para konsumen secara kasat mata. Produk dapat rusak selama masa penyimpanan, distribusi serta penjualannya walaupun masa kedaluarsa belum terlampaui. Kesulitan mengindentikasi kerusakan produk pangan tersebut disebabkan karena produk tersebut tidak memberikan perubahan nyata pada bentuk visual, melainkan terjadi reaksi yang menghasilkan gas maupun senyawa kimia lain. Berbagai bentuk kerusakan yang tidak kasat mata ini dapat disiasati dengan penggunaan kemasan cerdas bersensor atau berindikator.

Kemasan cerdas adalah kemasan yang mampu memantau kondisi makanan dalam kemasan dan memberikan informasi kualitas makanan kemasan tersebut selama transportasi dan penyimpanan (Ahvenainen et al. 2013). Label indikator merupakan sensor yang terdapat pada kemasan cerdas. Penelitian Warsiki et al.

(2012) telah membuat label indikator warna dengan pewarna alami dan sintetis. Label tersebut sangat prospektif untuk mendeteksi penurunan mutu produk pangan yang ditunjukan dengan perubahan pH produk. Selain itu, Nofrida et al.

(2013) juga membuat label indikator warna daun erpa yang dapat mendeteksi penurunan mutu karena paparan suhu tinggi.

Salah satu produk makanan sehari-hari yang dapat dikemas dengan menggunakan kemasan cerdas adalah daging ayam. Seperti yang sudah diketahui daging dan olahan daging sangat mudah rusak dan busuk. Frazier and Westhoff (1981) menyatakan bahwa pembusukan adalah dekomposisi protein oleh bakteri yang menghasilkan senyawa yang berbau busuk, seperti indol, skatol, merkaptan aminamin dan H2S serta NH3. Kemasan cerdas dapat dibuat untuk mendeteksi senyawa hasil pembusukan daging tersebut. Lestari (2013) telah membuat label indikator pendeteksi Escherichia coli pada daging. Label tersebut dapat mendeteksi mutu daging selama penyimpanan.

Pada penelitian sebelumnya Kato et al. (2011) telah membuat indikator yang dapat mendeteksi gas H2S dengan menggunakan FeSO4. Indikator tersebut dapat mendeteksi gas H2S sebesar 100 ppm atau lebih dengan menunjukkan perubahan warna FeSO4 menjadi kehitaman. Namun, pada proses pembusukan daging belum diketahui berapa banyak gas H2S yang terbentuk. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian jumlah H2S yang terbentuk selama penyimpanan daging ayam serta pengaruhnya terhadap indikator gas H2S yang dibuat.

Perumusan Masalah

(14)

2

daging ayam yang mampu mendeteksi keberadaan gas H2S dengan memberikan respon perubahan warna. Konsumen dapat melihat warna dari indikator secara visual untuk mengetahui mutu dari produk tersebut. Oleh karena itu pembuatan indikator kemasan cerdas H2S merupakan upaya penting untuk mengetahui tingkat keamanan pangan pada daging ayam segar.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:  Membuat label indikator H2S

 Mengetahui konsentrasi gas H2S yang diproduksi oleh daging ayam selama penyimpanan

 Mempelajari respon perubahan warna indikator kemasan cerdas terhadap konsentrasi gas H2S

 Mengetahui perubahan mutu daging ayam selama penyimpanan

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah pembuatan label indikator dengan menggunakan FeSO4 yang dapat berubah warna karena paparan gas H2S. Respon perubahan warna label indikator ini diamati seiring dengan peningkatan konsentrasi gas H2S yang terbentuk pada daging selama penyimpanan di suhu ruang. Mutu daging juga dianalisis selama penyimpanan.

METODE

Alat-alat yang digunakan yaitu gelas piala, coloni counter Quebec, magnetic stirer, hot stirer, termometer, kuas, neraca analitik, mikro pipet, cawan petri. Selain itu juga dibutuhkan sudip alumunium, autoklaf, colorimeter, penetrometer,

gas analyzer, syringe dan oven.

Metodologi

Pembuatan Label Indikator dengan Metode Casting

Pada tahap ini dilakukan pembuatan label indikator dengan cara memvariasikan jumlah asam asetat pada larutan formulasi. Metode casting

(15)

3 suhu yaitu suhu ruang dan 50ºC. Tabel 1 menunjukan kode formula berdasarkan perlakuan. Pemilihan formulasi terbaik didasarkan pada sifat fisik label yang meliputi tingkat elastisitas, warna dan tekstur yang diamati secara visual. Adapun pembuatan label indikator didasarkan pada penelitian Kato et al. (2011) yang dimodifikasi (Gambar 1).

Tabel 1 Kode formula berdasarkan komposisi bahan

Kode

Keterangan : Penggunaan gliserol ditambahkan dari awal

Gambar 1 Diagram alir pembuatan label indikator

Pembuatan Label Indikator dengan Teknik Oles

(16)

4

(a) (b)

Gambar 2 Kitosan (a) 100 mesh, (b) 80 mesh

Setelah cairan formulasi terbentuk, dilakukan pengolesan dan dikeringkan pada suhu ruang. Teknik pengolesan didasarkan pada penelitian Nofrida (2013) dan dibedakan menjadi pengolesan tipis, sedang dan tebal. Pengolesan tipis dilakukan dengan cara mengoles cairan formulasi indikator pada kertas glossy

sebanyak satu kali, sedang sebanyak dua kali dan tebal sebanyak tiga kali. Teknik pengolesan dapat dilihat pada Gambar 3, sementara kode formula, komposisi bahan dan teknik oles yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Pemilihan formulasi terbaik didasarkan pada penampakan visual indikator setelah pengeringan yang meliputi tekstur dan warna.

Gambar 3 Pembuatan label indikator dengan teknik oles

Tabel 2 Kode formula pada pembuatan label indikator dengan teknik oles

Kode

Keterangan : * = menggunakan kitosan kasar (80 mesh)

Kuas

Kertas glossy

(17)

5

Plastic wrap

Styrofoam Daging ayam Label indikator

Aplikasi Label Indikator Pada Daging Ayam

Label terbaik diaplikasikan pada daging dengan cara meletakkan label indikator berukuran 1 cm × 1 cm disisi dalam styrofoam. Kemudian sebanyak 50 gram daging diletakkan pada styrofoam dan ditutup dengan cling wrap film yang sebelumnya telah direkatkan label indikator (Gambar 4). Daging disimpan selama 120 jam pada suhu ruang. Uji yang dilakukan meliputi perubahan warna label, konsentrasi H2S pada kemasan dan penurunan mutu daging yang terdiri dari kekerasan dan total plate count (TPC). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1. Pengujian dilakukan setiap 24 jam hingga jam ke-120.

Gambar 4 Aplikasi label indikator pada pengemasan daging ayam

1. Uji Perubahan Warna Label Indikator

Respon perubahan warna indikator terhadap H2S diuji setiap 24 jam dengan colorimeter. Label indikator dianalisis warna (Hunter 1958) sesuai dengan prosedur pengujian pada Lampiran 1.

2. Pengukuran Konsentrasi Gas H2S

Uji konsentrasi gas dilakukan dengan menggunakan gas analyzer. Kemasan hasil aplikasi penyimpanan dibuka sedikit untuk memasukan sensor gas analyzer. Hasil pengukuran akan tertera pada panel layar dan ditunggu hingga menunjukan nilai stabil.

3. Uji Perubahan Mutu Daging Ayam

3.1 Uji Kekerasan

(18)

6

NH3 + H2S Protein daging Asam-asam amino

bakteri deaminasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Label Indikator dengan Metode Casting

Pembuatan label indikator pada tahap awal dilakukan dengan metode

casting. Berdasarkan literatur sudah banyak dibuat indikator dalam bentuk film

berbahan dasar kitosan, antara lain indikator warna untuk mendeteksi kesegaran buah nanas potong selama penyimpanan (Putri 2012) dan pembuatan film

indikator warna dengan pewarna alami dan sintetis (Warsiki 2012). Hal ini juga telah dilakukan oleh Nofrida (2013) dengan menggunakan pewarna dari daun erpa untuk mendeteksi kerusakan susu.

Adapun bahan utama yang digunakan dan berperan sebagai indikator utama H2S adalah besi (II) sulfat (FeSO4). Besi (II) sulfat atau ferri sulfat adalah senyawa kimia dengan rumus FeSO4 dan memiliki bentuk umum heptahidrat biru-hijau (USPDI 1989). Besi (II) sulfat dipilih karena dapat bereaksi dengan gas hidrogen sulfida yang muncul dari proses pembusukan daging. Gas H2S terbentuk akibat penguraian zat-zat organik oleh bakteri (Salle 1961):

Gas ini merupakan gas tidak berwarna, beracun dan sangat mudah terbakar (USEPA 2003). FeSO4 akan bereaksi dengan H2S menjadi FeS dan H2SO4 (Kato

et al. 2011). FeS memiliki warna hitam sehingga seolah-olah terjadi perubahan warna FeSO4 dari yang sebelumnya berwarna hijau-biru. Hasil formulasi yang telah dilakukan ditunjukan pada Tabel 3.

Formula A1 memiliki wujud fisik yang bening dan tidak menjadi padatan. Hal tersebut menyebabkan formula A1 tidak dapat digunakan. Formula B1 dan B2 merupakan hasil dari modifikasi formula A1 yang dilakukan berdasarkan prosedur pembuatan film oleh Putri (2012). Pada B1 dan B2 dilakukan proses pengeringan dengan dua perlakuan suhu. Hasilnya menunjukkan bahwa keduanya membentuk

film yang kurang baik karena pecah. Ketika pencampuran asam asetat dengan kitosan, larutan berubah menjadi gel sehingga FeSO4 menjadi sulit untuk larut. Hal tersebut menyebabkan FeSO4 bereaksi dengan udara sehingga film menjadi mudah pecah ketika proses pengeringan.

(19)

7 Tabel 3 Penampakan film dari berbagai formula

Kode Formula Hasil Formulasi Hasil pengamatan

A1 Bening, basah

B1 Kuning, kering

B2 Coklat, kering

C1 Jingga, basah

C2 Coklat, kering

Label Indikator dengan Teknik Oles

Pada penelitian utama, label indikator dibuat dengan teknik oles. Pembuatan larutan formula dilakukan dengan cara yang sama seperti membuat larutan pada metode casting. Pada metode casting,label indikator dibuat dengan cara mencetak larutan sehingga membentuk film, sedangkan pada teknik oles dibuat dengan cara mengoles larutan formula dengan kuas pada kertas glossy. Kertas glossy

merupakan kertas dengan sifat mengkilap, putih dan mampu menghasil cetakan sesuai dengan standar (Wijarnoko 2010). Warna putih membuat warna indikator lebih kontras dan kertas glossy sangat baik untuk digunakan sebagai media merekatnya warna indikator. Kertas ini juga memiliki ketebalan 2 mm yang cukup untuk menahan media indikator agar tidak bermigrasi ke produk ketika digunakan pada aplikasi nyata.

(20)

8

karena menurut Sumarto (2008) polimer yang berupa larutan encer memiliki rantai bebas bergerak sehingga kemungkinan terbentuk konfigurasi rantai yang beragam, sementara polimer yang berbentuk padat memiliki rantai tidak teratur sehingga gerakan dan konfigurasinya terbatas. Hal ini menjelaskan bahwa formulasi yang dioleskan pada kertas glossy memiliki warna dan bentuk yang lebih stabil dibandingkan dengan formulasi yang langsung dicetak pada cawan petri. Hasil formulasi ditunjukan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil formulasi indikator dengan teknik oles Kode Formula Hasil Formulasi Penampakan Visual

D1 Merah gelap, pecah

D2 Jingga kemerahan,

permukaan kasar

D3 Jingga, permukaan kasar

E1 Merah gelap, permukaan

halus

E2 Jingga kemerahan,

permukaan halus

E3 Jingga, permukaan halus

F1 Merah gelap, permukaan

kasar, berbintik-bintik hitam

F2 Jingga kemerahan,

permukaan kasar, berbintik-bintik hitam

F3 Jingga, permukaan kasar,

(21)

9

Setelah proses pengeringan dapat dilihat bahwa D1, D2 dan D3 masih menghasilkan bentuk yang kurang baik. D1 terlihat terlalu gelap dan pecah, sedangkan D2 dan D3 sudah cukup baik namun masih sangat kasar. Tekstur kasar tersebut dapat menyulitkan penilaian perubahan warna indikator secara visual.

Formula E1, E2 dan E3 merupakan formula yang menggunakan bahan dan cara hampir sama seperti D1, D2 dan D3. Perbedaannya terletak pada jenis kitosan yang digunakan, yaitu kitosan kasar berukuran 80 mesh. Dapat dilihat setelah proses pengeringan, formula E1 menghasilkan label yang baik dari segi tekstur dan kejernihan, hanya saja warna yang dihasilkan terlalu gelap. Pada formula E3 menunjukan hasil yang sama seperti formula E1, perbedaannya terletak dari warna yang terlalu muda. Selain itu formula E3 memiliki tekstur yang halus namun tipis sehingga dikhawatirkan mudah rusak. Formula E2 menghasilkan indikator yang diinginkan dilihat dari warna tidak terlalu gelap ataupun tidak terlalu muda. Selain itu label indikator yang dihasilkan halus, tidak rapuh serta cukup jernih. Oleh karena itu E2 merupakan label yang dinilai layak untuk diaplikasikan sebagai label indikator.

Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa penyebab hasil formula D1, D2 dan D3 terletak dari mutu kitosan yang digunakan. Kitosan halus menghasilkan label yang kasar dan mudah pecah. Sedangkan kitosan yang lebih kasar menghasilkan indikator yang halus dan lebih jernih. Hal ini disebabkan setiap bahan memiliki ukuran minimum agar dapat larut dalam suatu pelarut. Dalam penelitian ini tampaknya kitosan lebih mudah larut pada ukuran 80 mesh. Oleh karena itu bahan kitosan yang sebaiknya digunakan adalah kitosan yang kasar berukuran 80 mesh. Selain itu mutu kitosan sangat ditentukan oleh kemurnian produk. Kitosan dengan bahan pengotor akan menghasilkan film kasar. Hal tersebut tercemin pada film yang diperoleh dari kitosan berukuran 100 mesh.

Dalam proses formulasi selanjutnya dilakukan penambahan gliserol sebanyak 1 % pada formulasi E1, E2 dan E3. Diharapkan dengan penambahan gliserol, label akan lebih elastis dibandingkan formula sebelumnya. Setelah dilakukan percobaan, ternyata FeSO4 tidak dapat larut sempurna dengan gliserol sehingga pada formulasi F1, F2 dan F3 menghasilkan bintik-bintik hitam pada permukaan label dan memiliki tekstur kasar. Bintik-bintik tersebut dirasa cukup mengganggu. Penilaian secara visual terhadap seluruh formulasi yang dihasilkan menunjukkan bahwa indikator yang sesuai untuk aplikasi lebih lanjut adalah formula E2.

Aplikasi Label Indikator Pada Daging Ayam

Label indikator E2 diaplikasikan pada daging ayam seperti yang terlihat pada Gambar 6. Pengemasan ini dibuat semirip mungkin dengan kemasan daging ayam ketika dijual di supermarket. Penyimpanan dilakukan pada suhu ruang agar proses pembusukan lebih cepat sehingga mudah diamati. Selain itu, dengan cara ini perubahan warna label indikator dapat dilihat secara langsung. Beberapa uji dilakukan untuk mengetahui kinerja label indikator terhadap perubahan konsentrasi H2S dan mutu daging.

(22)

10

Gambar 6 Aplikasi indikator pada penyimpanan daging ayam

Respon Warna Label Indikator Terhadap Konsentrasi Gas H2S

Kebusukan daging dapat menyebabkan gas beraroma tidak sedap. Hal ini disebabkan bakteri yang mendekomposisi protein menjadi asam amino dan terdeaminasi menjadi senyawa berbau busuk. Beberapa organisme tersebut adalah

Pseudomonas, Citrobacter, Aeromonas, Salmonella, and Escherichia coli. Gas H2S yang dihasilkan daging selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Konsentrasi H2S terhadap lama penyimpanan

Gas H2S yang dihasilkan oleh daging akan ditangkap oleh FeSO4 yang terdapat pada indikator. FeSO4 merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi gas H2S (Duncan 2005). Hasil pengamatan respon perubahan warna ditunjukan oleh Tabel 5. Terjadi perubahan warna indikator dari kuning menjadi lebih gelap disertai perubahan fisik daging ayam. Warna kuning pada indikator berubah menjadi gelap karena terpapar oleh gas H2S. Reaksi perubahan FeSO4 akibat paparan H2S adalah (Kato et al 2011):

Fe(SO4) + H2S FeS (s) + H2SO4

(kuning kemerahan) (hitam)

Warna pada FeSO4 berubah dari kuning menjadi hitam karena bakteri mampu mendesulfurasi asam amino menghasilkan gas H2S yang bereaksi dengan Fe2+ sehingga menghasilkan FeS berupa endapan warna hitam (Raihana 2011). Adapun perubahan nilai dapat dilihat pada Tabel 6.

Plastic wrap

(23)

11 Tabel 5 Hasil pengamatan perubahan warna label indikator

Lama penyimpanan

(jam)

Konsentrasi gas H2S (ppm)

Penampakan

label indikator Penampakan daging ayam

0 0

24 2,2

48 8,7

72 14,4

96 16,45

120 18,3

(24)

12

Tabel 6 Nilai warna label indikator terhadap lama penyimpanan daging ayam Lama penyimpanan

daging ayam (jam) Nilai L Nilai a Nilai b Nilai ºhue

0 34,27 17,17 51,67 71,59

24 21,98 17,76 35,49 63,30

48 12,91 18,37 19,85 46,16

72 8,80 21,65 12,70 29,59

96 7,97 27,16 10,94 21,14

120 7,44 32,45 10,26 17,81

Dari tabel 6 dapat diketahui respon perubahan warna label indikator selama penyimpanan daging ayam. Apabila nilai L pada tabel diatas dihubungkan dengan konsentrasi gas H2S yang terproduksi seiring penyimpanan daging ayam, maka bisa diperoleh grafik seperti Gambar 8.

Gambar 8 Nilai L label indikator

Nilai L menunjukan tingkat kecerahan suatu sampel dengan interval nilai 0 (hitam) hingga 100 (putih). Semakin tinggi nilai L maka sampel memiliki warna yang semakin cerah (Nofrida 2013). Sampel indikator pada jam ke-0 memiliki tingkat kecerahan dengan nilai 34,26. Pada jam ke-24 terjadi penurunan nilai L menjadi 21,9. Nilai L semakin menurun hingga 7,4 pada penyimpanan terakhir. Perubahan nilai L ini menunjukan bahwa indikator berubah ke arah yang lebih gelap.

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat pula bahwa seiring dengan penambahan gas H2S yang terbentuk, nilai L juga semakin menurun. Penurunan nilai L setiap penambahan gas H2S sebanyak 1 ppm adalah sebesar 1,2989, ditunjukkan dengan nilai slope dari grafik tersebut. Nilai L mengalami penurunan karena gas H2S yang terbentuk mengalami reaksi dengan FeSO4 pada label indikator sehingga berubah warna menjadi gelap.

(25)

13

Gambar 9 Nilai a label indikator

Pada jam ke-0 indikator menunjukan nilai a positif (+a) sebesar 17,17. Setiap jamnya nilai (a+) semakin bertambah, menjadi 17,76 pada jam ke-24 dan menjadi 32,45 pada jam ke-120. Hal ini menunjukan bahwa indikator menjadi lebih merah dari hari ke hari.

Perubahan nilai a juga dipengaruhi oleh konsentrasi H2S. Ketika konsentrasi H2S 0 ppm, nilai a yang ditunjukkan sebesar 17,17. Sementara ketika konsentrasi 18,3 ppm, nilai a sebesar 32,45. Semakin meningkat paparan H2S akan semakin meingkat nilai a. Kecenderungan kenaikan nilai a dapat dilihat dari slope sebesar 0,6999 dari grafik tersebut.

Selain nilai a, pengukuran perubahan warna pada label indikator juga ditunjukkan dengan nilai b. Nilai b adalah nilai yang menunjukan derajat kekuningan dan kebiruan suatu sampel. Nilai b positif (+b) menunjukan sampel memiliki derajat kekuningan, sedangkan nilai b negatif (-b) menunjukan sampel memiliki derajat kebiruan (Nofrida 2013). Grafik perubahan nilai b dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Nilai b label indikator

Dari hasil uji nilai b mengalami penurunan selama penyimpanan. Pada jam ke-0 nilai b menunjukan 51,67 dan berubah pada jam ke-24 menjadi 35,49. Pada jam terakhir pengujian nilai b menunjukan 10,26. Hal ini berarti derajat kekuningan pada label indikator berubah ke arah negatif.

(26)

14

sebesar 18,3 ppm nilai b turun menjadi 10,26. Dari grafik dapat dilihat nilai slope

yang sebesar -2,0828. Hal ini dikarenakan pergerakan nilai b merupakan perubahan warna dasar dari indikator, yakni kuning, dan warna tersebut umumnya terlihat lebih jelas perubahannya.

Setelah mengetahui nilai a dan b, dapat ditentukan nilai °hue. Nilai hue merupakan bagian dari pengujian yang menunjukan derajat warna yang dilihat indra penglihatan. Dalam sebuah skala warna yang seragam, perbedaan antara titik-titik plot dalam ruang warna dapat disamakan untuk melihat perbedaan warna yang direncanakan (Hunter 1958). Nilai hue dihitung dari invers tangen perbandingan nilai b dan nilai a (Lampiran 1). Nilai °hue merupakan gambaran dari sumbu 360º di mana daerah kuadran 1 menunjukkan warna kemerahan, daerah kuadran 2 menunjukkan warna kuning hijau, daerah kuadran 3 menunjukkan warna hijau biru, dan kuadran 4 menunjukkan warna ungu (MacDougall 2002).

Dari nilai ºhue yang telah didapatkan terhadap lama penyimpanan, maka dapat diketahui warna kromatik visual yang terlihat apabila dihubungkan dengan jumlah gas H2S yang terbentuk selama penyimpanan daging ayam. Grafik perubahan nilai ºhue dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Nilai ºhue label indikator

Pada jam ke-0, ºhue menunjukan 71,59º dan jam ke-24 menunjukan 63,30º. Berdasarkan hubungan nilai ºhue dan daerah warna kromatik visual, nilai tersebut berada dalam kategori warna kuning-merah. Namun terjadi perubahan kategori warna pada jam ke-48 dengan nilai ºhue sebesar 46,16º dan semakin menurun hingga jam ke-96 dengan nilai 21,14º. Indikator dengan penyimpanan selama 48 jam hingga 96 jam memiliki kategori warna merah. Sementara itu pada penyimpanan jam ke-120 diperoleh nilai ºhue sebesar 17,81º, yakni sedikit berubah menuju kategori merah-ungu.

Nilai ºhue juga dipengaruhi oleh konsentrasi H2S. Pada saat konsentrasi H2S 0 ppm nilai ºhue sebesar 71,59. Hal ini menunjukkan bahwa warna kromatis indikator label pada mulanya adalah kuning-merah. Semakin tinggi konsentrasi gas H2S maka ºhue semakin menurun. Hal ini dapat dilihat ketika konsentrasi H2S 18,3 ppm, nilai ºhue turun menjadi 17,81º. Dari data tersebut dapat diperoleh nilai

(27)

15

Kekerasan Daging Ayam Selama Penyimpanan

Uji kekerasan daging ditujukan untuk mengetahui kualitas dan kesegaran daging. Kekerasan daging banyak ditentukan oleh struktur miofibrial, status kontraksi, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, water holding capacity, dan jus daging. Selain itu, kekerasan daging juga bervariasi pada spesies dan otot yang sama (Soeparno 1992). Sehubungan dengan variasi tersebut, nilai kekerasan tidak tercantum sebagai salah satu parameter pada SNI daging ayam (BSN 2009). Hasil uji kekerasan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Nilai kekerasan daging ayam terhadap lama penyimpanan Hasil pengujian tersebut menunjukan pada jam ke-0 nilai kekerasan adalah 31,6 mm/10s dan semakin menurun hingga jam ke-120 menunjukan nilai 13,4 mm/10s. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama proses penyimpanan maka kekerasan daging semakin berkurang.

Nilai kekerasan merupakan nilai yang menunjukkan kedalaman jarum penetrometer dapat masuk ke dalam sampel selama 10 detik. Oleh karena itu, semakin dalam jarum, maka semakin tinggi nilai kekerasan yang dihasilkan. Sementara semakin dalam jarum dapat masuk, maka tekstur sampel semakin empuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai kekerasan berbanding terbalik dengan tingkat keempukan sampel.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kekerasan tertinggi diperoleh saat awal penyimpanan. Menurut Palupi (1986) sesaat setelah hewan dipotong, perubahan biokimia dalam jaringan masih terjadi. Setelah itu terjadi kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme yang menempel pada daging. Mikroorganisme mendegradasi protein dan lemak menjadi gas, air dan senyawa kecil. Perubahan struktur tersebut mengakibatkan terurainya komponen daging dan perubahan tekstur menjadi lebih lunak. Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan nilai TPC yang akan dibahas pada sub bab berikutnya. Namun air yang dihasilkan dari proses degradasi protein dan lemak akan menguap apabila daging tidak disimpan dalam suhu rendah. Hal tersebut membuat tekstur daging menjadi keras kembali.

(28)

16

24 jam. Penurunan kelunakan secara signifikan mengakibatkan daging sudah tidak layak untuk dikonsumsi.

Total Plate Count (TPC) Daging Ayam Selama Penyimpanan

Proses pembusukan pada daging salah satunya disebabkan oleh mikroba. Menurut Sunarlim (1983) proses enzimatik yang berlangsung terus menerus pada daging (post mortem) akan mengundang mikroorganisme yang mengakibatkan pembusukan pada daging. Daging ayam mudah mengalami penurunan kualitas, salah satunya, sebagai akibat dari pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme dalam jumlah banyak selama penyimpanan (Sams 2001). Analisis mikrobiologis dapat dilakukan dengan analisis Total Plate Count (TPC). Hasil pengujian TPC pada daging ayam dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Hasil uji total plate count (TPC) terhadap lama penyimpanan daging Hasil pengujian menunjukan bahwa peningkatan nilai TPC terjadi dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Pada awal penyimpanan, jumlah mikroba yang terdeteksi sebesar 7 × 105 cfu/g. Sementara itu peningkatan mikroba terus terdeteksi hingga pada penyimpanan daging ayam jam ke-120 diperoleh 71 × 105 cfu/g. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan daging, maka semakin banyak mikroba yang tumbuh. Hal tersebut disebabkan karkas ayam merupakan media yang baik untuk perkembangan bakteri (Frazier dan Westhoff 1981). Brown (1982) juga menjelaskan bahwa aktivitas dan pertumbuhan bakteri menjadi salah satu faktor terjadinya pembusukan pada daging.

Anggraeni (2012) menyebutkan bahwa pengukuran seberapa jauh tingkat kerusakan daging dapat dilihat dari banyaknya bakteri yang tumbuh dan berkembang pada daging. Dalam penelitian ini, pengujian TPC daging ayam telah melewati ambang batas SNI untuk daging yang layak dikonsumsi pada lama penyimpanan 24 jam. Hal ini sesuai dengan penelitian Sukarya (2009) bahwa daging ayam mengalami kebusukan setelah penyimpanan 12 jam pada temperatur ruang.

(29)

17 daging ayam normal disimpan pada suhu kamar dengan penanganan kurang baik ditemukan mikroorganisme kelompok psikotrofik dan mesofilik. Mikroorganisme kelompok tersebutlah yang diduga mendominasi pada pengujian TPC ini.

Dari hasil pengujian kekerasan dan TPC diketahui bahwa daging sudah tidak layak dikonsumsi setelah disimpan selama 24 jam. Sementara itu, perubahan tingkatan mutu daging selama penyimpanan dapat dilihat dari perubahan warna yang tampak secara visual. Pada tabel 5 diketahui bahwa daging ayam di awal penyimpanan bebas dari memar sehingga masuk pada tingkatan mutu I. Pada daging yang disimpan antara 24-120 jam daging sudah masuk dalam kategori rusak. Hal ini disebabkan muncul lendir serta terjadi perubahan warna menjadi lebih gelap pada daging yang disimpan lebih dari 24 jam. Munculnya lendir disebabkan oleh pertumbuhan mikroba yang melebihi batas SNI. Selain itu bau busuk juga muncul pada daging tersebut. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), munculnya lendir, bau busuk dan perubahan warna pada daging ayam merupakan tanda-tanda pembusukan pada keadaan aerobik.

Potensi Aplikasi Label Indikator

Label indikator dapat digunakan sebagai pendeteksi gas H2S pada kebusukan daging. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada label indikator. Dari penampakan indikator secara visual terlihat degradasi warna seiring dengan peningkatan konsentrasi gas H2S (Gambar 14).

0 24 48 72 96 120 (jam)

0 2,2 8,7 14,4 16,5 18,3 (ppm)

(30)

18

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Label indikator gas H2S dibuat dengan menggunakan kitosan dan FeSO4. Teknik pembuatan indikator menggunakan cara oles sedang. Formula terbaik yang digunakan adalah campuran kitosan sebanyak 3 gram, asam asetat glasial 1% 70 ml, akuades 30 ml dan FeSO4 sebanyak 2,5 gram.

Warna indikator berupa nilai L, a dan b dan ºhue dipengaruhi secara signifikan oleh perbedaan lama penyimpanan daging ayam. Tingkat kecerahan warna indikator bergerak ke arah lebih gelap dari 34,265 di jam ke-0 menjadi 7,44 di jam ke-120. Nilai a bergerak secara positif ke warna merah dari 17,17 pada jam ke-0 hingga 32,45 di jam ke-120. Adapun nilai b juga bergerak ke arah negatif menuju warna biru dari 51,67 pada jam ke-0 menjadi 10,26 pada jam ke-120. Nilai ºhue pada jam ke-0 hingga jam ke-24 menunjukkan kategori warna kromatis kuning-merah, pada jam selanjutnya hingga jam ke-96 indikator menunjukkan kategori warna kromatis merah dan pada jam ke-120 menunjukkan kategori merah-ungu.

Daging yang disimpan selama 120 jam mengalami peningkatan kekerasan dari 31,6 mm/10s di jam ke-0 menjadi 13,4 mm/10s di jam ke-120. Selain itu daging juga mengalami peningkatan jumlah mikroba selama penyimpanan. Mikroba terdapat pada daging di jam ke-0 sebanyak 7 × 105 cfu/g meningkat menjadi 71,5 × 105 cfu/g pada jam ke-120. Mikroba yang terdapat pada daging menjadi salah satu penyebab munculnya gas H2S. Jumlah gas H2S semakin meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan, yakni dari 0 ppm menjadi 18,3 ppm.

Berdasarkan hasil penelitian, warna label indikator dapat berubah sesuai konsentrasi gas H2S pada kemasan. Namun perubahan warna label indikator tidak secepat perubahan mutu daging sehingga label indikator H2S ini belum dapat digunakan untuk mendeteksi kebusukan daging ayam.

Saran

Disarankan untuk formulasi label indikator agar dapat menunjukkan perubahan warna lebih sensitif terhadap tingkat kebusukan daging. Diperlukan agen pendeteksi lain seperti myoglobin.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni E. 2012. Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami Terhadap Mutu Daging Ayam Segar Selama Penyimpanan Suhu Ruang [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(31)

19 Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 3924:2009 Daging Ayam. Jakarta (ID):

Bada Standardisasi Nasional.

Beauchamp RO, Bus JS, Popp JA, Boreiko CJ, Andjelkovich DA, and Leber P. 1984. “A critical review of the literature on hydrogen sulfide toxicity.” Critical Reviews in Toxicology 13 (1): 25-97.

Brown MH. 1982. Meat Microbiology. London: Applied Science Publishers. Duncan F. 2005. MCB 1000L Applied Microbiology Laboratory Manual 4th Ed.

New York (US): The McGraw-Hill Companies.

Frazier WC and Westhoff DC. 1981. Food Microbiology, 3 Ed. New Delhi: Mc. Graw Hill Pub. Co. Ltd.

Hunter RS. 1958. Photoelectric colour difference meter. J. of the optical Society of America 48 : 985-995 Di dalam : MacDouggall DB. 2002. Colour in Food : Improving Quality. Washington (US): CRC Press.

Hutching JB. 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Maruland (US): Chapman Hall Food Sci.

Jay JM. 1978. Modern Food Microbiology. Second Edition. New York (US): Van Nostrand Reinhold Company.

Jensen L. 1987. Microbiology of Meats. Third Edition. Illnois (US): The Garrard Press Publishers.

Kato ET, Yoshida CMP, Reis AB, Melo IS and Franco TT. 2011. Fast Detection of Hydrogen Sulfide Using A Biodegradable Colorimetric Indicator System. Polymer International Journal 60: 951-956.

Lestari IA. 2013. Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Escherichia Coli [Skripsi]. Bogor (ID): Insstitut Pertanian Bogor.

MacDougall. 2002. Colour in Food: Improving quality. Washington (US): CRC Press.

Nofrida R. 2013. Film Indikator Warna Daun Erpa (Aerva sanguinolenta) sebagai Kemasan Cerdas untuk Produk Rentan Suhu dan Cahaya [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nofrida R, Warsiki E dan Yuliasih I. 2013. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Perubahan warna Label Indikator Daun Erpa (Aerva sanguinolenta). Jurnal Teknologi Industri Petanian 23 (3): 232-241.

Noureddini HS, Dailey WR, and Hunt BA. 1998. Production of glycerol ether from crude glycerol – the by-product of biodiesel production. Papers. Chemical and Biomolecular Engineering Research and Publication

Nareswari AR. 2006. Identifikasi dan Karakterisasi Ayam Tiren [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Palupi WOE. 1986. Tinjauan Literatur Pengolahan Daging. Jakarta (ID): Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Putri CDW. 2012. Kemasan Cerdas Indikator Warna Untuk Mendeteksi

Kesegaran Buah Nanas Potong Selama Penyimpanan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Raihana N. 2011. Profil Kultur dan Uji Sensitivitas Bakteri Aerob dari Infeksi Luka Operasi Laparatomi di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang [Artikel]. Padang (ID): Universitas Andalas Padang.

Salle AJ. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. Ed ke-5. New York: McGraw-Hill.

(32)

20

Sukarya R. 2009. Aplikasi Bakteriosin dari Lactobacillis sp. Galur SCG 1223 Sebagai Pengawet Daging Ayam Segar [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sumarto. 2008. Mempelajari Pengaruh Penambahan Asam Lemak dan Natrium Benzoat Terhadap Sifat Fisik, Mekanik, dan Aktivitas Antimikroba Film Edibel Kitosan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sunarlim R. 1983. Penggunaan Chlor Untuk Memperpanjang Daya Simpan Karkas [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

USEPA. 2003. Integrated Risk Information System Toxicity Summary for Hydrogen Sulfide. USA: USEPA.

USPDI. 1989. Drug Information for the Health Care Professional. Edisi 9. Vol. IA. USA: United States Pharmacopeial Convention, Inc.

Warsiki E dan Putri CDW. 2012. Pembuatan Label/Film Indikator Warna Dengan Pewarna Alami dan Sintetis. E-Jurnal Agroindustri Indonesia Oktober 2012 1(2): 82 – 87.

Wijarnoko L. Macam-Macam Jenis Kertas Digital Photo Printing [Internet].[di unduh 2013 10 Okt] Tersedia pada http://www.ahlidesain.com/macam-macam-jenis-kertas-digital-photo-printing.html.

(33)

21 Lampiran 1. Prosedur pengujian

1. Uji Kekerasan dengan Penetrometer

1. Penetrometer dihubungkan pada arus listrik dan diubah posisi switch ke ON 2. Atur posisi jarum dengan menekan tombol CLUTCH.

3. Daging yang akan diuji diletakkan pada tempat yang disediakan

4. Ujung jarum diatur hingga menyentuh batas permukaan sampel dengan memutar knop

5. Tekan tombol RUN dan biarkan alat menghitung hingga 10 detik. 6. Atur pengukur hingga menyentuh batas jarum

7. Nilai kekerasan tertera pada layar dengan satuan mm/10 detik.

2. Uji Total Plate Count (TPC)

1. Sampel sebanyak 1 gram ditumbuk hingga halus

2. Larutan NaCl 0,85% sebanyak 9 ml dimasukkan ke dalam 5 buah tabung ulir dan disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121ºC 3. Sampel daging dimasukkan ke dalam tabung ulir dan diaduk hingga

tercampur

4. Pengenceran dilakukan dengan memindahkan 1 ml larutan sebelumnya ke dalam tabung ulir selanjutnya hingga diperoleh pengenceran 10-5

5. Sebanyak 1 ml larutan dari tabung ulir pengenceran 10-5 dipipet ke dalam cawan petri

6. Plate count agar yang sudah dilarutkan dalam air dimasukkan ke dalam cawan petri secukupnya

7. Cawan petri ditutup dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 50ºC

8. Koloni yang terbentuk pada cawan petri dihitung dengan menggunakan

Quebec coloni counter

9. Jumlah koloni sebenarnya dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut,

3. Uji Warna Label Indikator

1. Sampel diletakkan di bawah sensor warna

2. Tekan tombol power untuk menyalakan colorimeter

3. Tekan tombol SCAN warna hijau untuk memulai perhitungan 4. Pada layar akan muncul nilai L, a dan b

5. Nilai ºhue kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut,

(34)

22

Tabel nilai ºhue dan daerah kisaran warna kromatis (Hutchings 1999)

Nilai ºhue Daerah kisaran warna

342º-18º Merah-Ungu

18º-54º Merah

54º-90º Kuning-Merah

90º-126º Kuning

126º-162º Kuning-Hijau

162º-198º Hijau

198º-234º Biru-Hijau

234º-270º Biru

270º-306º Biru-Ungu

(35)

23

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bogor tanggal 14 September 1991 dari pasangan Ade Iskandar dan Erlin Yulianti. Penulis adalah putra pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor dan pada tahun itu penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi dan perkuliahan. Penulis aktif dalam berbagai kegiatan seperti koordinator asisten praktikum Peralatan Industri Pertanian pada tahun 2011. Penulis juga aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai bagian dalam divisi Human Resource Development (HRD) tahun 2010-2011. Selain itu penulis juga pernah bekerja sebagai penyiar radio di Agri FM pada tahun 2010 dan menjadi fotografer lepas di Harian Radar Bogor pada tahun 2011.

Gambar

Tabel 1 Kode formula berdasarkan komposisi bahan
Gambar 2 Kitosan (a) 100 mesh, (b) 80 mesh
Tabel 4 Hasil formulasi indikator dengan teknik oles
Gambar 6 Aplikasi indikator pada penyimpanan daging ayam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis game Role Playing Game (RPG) merupakan game untuk seluruh permainan sesuai dengan story pada game sejarah kota Samarinda.. Ahmad Chusyairi II Game Labirin Let’s Editor

Inokulasi (perendaman eksplan dalam suspensi bak- teri) selama 60 menit memberikan hasil yang lebih baik terhadap jumlah eksplan positif (13-13,7%) dan jumlah spot biru (2,9-3,6)

Pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat dalam kajian ini dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada

Jaya Perkasa memenuhi hak-hak para tenaga kerja perempuan?, kemudian Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai wanita yang bekerja untuk menafkahi keluarga?..

Dalam perencanaan jembatan tahapan yang dimulai dari penentuan beban yang bekerja, standar desain utama yang akan digunakan dan struktur rangka/gelagar yang akan digunakan

Permasalahan yang akan diteliti sehubungan dengan tujuan tersebut antara lain adalah bentuk-bentuk tindak tutur ilokusi asretif, direktif dan ekspresif, dan makna tuturan

Dari hasil penelitian perasan daun belimbing wuluh yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa Perasan daun belimbing wuluh mempunyai pengaruh terhadap

analisis tahap akhir diperoleh kesimpulan bahwa hasil belajar matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together lebih baik dari pada