• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City"

Copied!
316
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN

LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR

SEBAGAI WATERFRONT CITY

NURFAIDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(3)

ABSTRACT

NURFAIDA. Development and Landscape Management Plan of Makassar Coastal as a Waterfront City. Under supervision of HADI SUSILO ARIFIN and

ARIS MUNANDAR.

Makassar with 36.1 km seashore length lies has lots of potential on the terrestrial and aquatic landscapes, e.g. recreation spot, mangrove forest, fisheries and coral areas. However, due to rapid population growth and the need of different urban facilities, various environmental change was occurred. The objects of this research are 1) to evaluate coastal landscape based on biophysical, social economy factors, its natural beauty and amenity in order to gain the best land use, and 2) to draw recommendations for development and management coastal area as waterfront city. The methods were applied on this research was exponential comparison method to evaluate cost-benefit, evaluation of land suitability with geographical information system (GIS) approach, aesthetical analysis with scenic beauty estimation (SBE) and amenity analysis. The result showed that Makassar coastal area is a potential region to develop as a waterfront city with the priority for recreational waterfront. Development consideration was drawn by zoning, which are tourism zone of 369.9 ha (15%) that is used for tourism activities, multi-purpose zone of 1627.6 ha (66%) which is aimed to various activities such as settlement resort, trading center, transportation facilities, etc., and conservation zone of 468.5 ha (19%) to preserve ecosystem of coastal, marine area and adjacent islands. Landscape management effort should be done with the concept of responsible city strategy. The management program covers management of tourism area, management of multi-purpose area, and management of conservation area.

(4)

RINGKASAN

NURFAIDA. Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan

ARIS MUNANDAR.

Kota Makassar dengan panjang pantai sekitar 36,1 km memiliki potensi yang tinggi baik di darat maupun di laut, antara lain, obyek rekreasi, hutan mangrove, kekayaan perikanan, tambak, dan terumbu karang. Akan tetapi, akibat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan berbagai fasilitas kota telah menimbulkan berbagai perubahan lingkungan, seperti perubahan tata guna lahan, perubahan morfologi pantai, penurunan kualitas perairan, dan kerusakan hutan mangrove. Kawasan pantai dan laut yang merupakan sumber daya milik bersama yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang telah menjadi “halaman belakang” tempat membuang segala macam limbah dari berbagai aktivitas manusia. Tujuan penelitian adalah 1) mengevaluasi lanskap pantai Kota Makassar berdasarkan aspek biofisik, sosial, ekonomi, keindahan, dan kenyamanan sehingga diperoleh penggunaan lahan terbaik, dan 2) menyusun rekomendasi pengembangan dan pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city.

Penelitian dilakukan di kawasan pantai Kota Makassar mencakup tiga kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Mariso, dan Kecamatan Tamalate yang dimulai dari Pantai Losari hingga Pantai Barombong. Penelitian di lapang dilaksanakan mulai Maret sampai Mei 2008. Metode yang digunakan adalah metode perbandingan eksponensial (MPE) untuk mengetahui manfaat dan biaya, evaluasi kesesuaian lahan dengan pendekatan analisis spasial sistem informasi geografi (SIG), analisis keindahan dengan metode scenic beauty estimation (SBE), dan analisis kenyamanan.

Hasil analisis manfaat biaya menunjukkan bobot dari pengembangan kawasan rekreasi memiliki nilai paling besar (0,274) dibandingkan dengan alternatif pengembangan lainnya, sedangkan pengembangan kawasan pertanian/tambak memiliki nilai paling kecil (0,008). Berdasarkan perhitungan selisih manfaat dan biaya yang akan diperoleh, urutan pertama adalah kawasan rekreasi yang memiliki nilai manfaat paling besar (2,1098), sedangkan kawasan permukiman memiliki nilai manfaat paling kecil (0,0071). Namun, urutan kedua dan seterusnya dari kedua perhitungan tersebut menunjukkan perbedaan urutan. Selanjutnya berdasarkan analisis urutan prioritas manfaat menghasilkan aktivitas rekreasi sebagai prioritas pertama, sedangkan atraksi budaya sebagai prioritas terakhir. Analisis urutan prioritas biaya menghasilkan pemeliharaan infrastruktur sebagai prioritas pertama, sedangkan perubahan nilai sosial budaya sebagai prioritas terakhir.

(5)

penanaman mangrove seluas 959,1 ha (5,5%), cukup sesuai seluas 488,2 ha (2,8%), sesuai marginal seluas 2.127,3 ha (12,2%), dan tidak sesuai seluas 13.862,4 ha (79,5%), dengan faktor pembatas adalah kondisi drainase. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman diperoleh hasil yang sangat sesuai seluas 6.661,4 ha (38,2%), cukup sesuai seluas 3.975,6 ha (22,8%), sesuai marginal seluas 192,5 ha (1,1%), dan tidak sesuai seluas 6.607,5 ha (37,9%). Faktor pembatas untuk pengembangan kawasan permukiman adalah kondisi drainase dan kerawanan banjir. Evaluasi kesesuaian untuk kawasan tambak menunjukkan hasil yang sangat sesuai untuk tambak seluas 645,2 ha (3,7%), cukup sesuai seluas 383,6 ha (2,2%), sesuai marginal seluas 2.127,3 ha (12,2%), dan tidak sesuai mencakup hampir seluruh Kota Makassar seluas 14.280,9 ha (81,9%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas adalah pengairan atau drainase.

Pantai Kota Makassar memiliki kualitas keindahan lanskap dengan nilai SBE berkisar antara -151 sampai dengan 154. Lanskap yang memiliki nilai SBE paling tinggi adalah Anjungan Bahari, sedangkan lanskap dengan nilai SBE paling rendah adalah Dermaga Tata Maddong. Berdasarkan analisis indeks tingkat kenyamanan (ITN) diperoleh luas kawasan yang memiliki ITN tinggi adalah 297,153 ha (12,05%), ITN sedang seluas 1.846,787 ha (74,89%), dan ITN rendah seluas 322,060 ha (13,06%).

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak

Cipta

dilindungi

Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN

LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR

SEBAGAI WATERFRONT CITY

NURFAIDA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City

Nama : Nurfaida

NRP : A 251060021

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Dr. Ir. Aris Munandar, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan alam dan seisinya sebagai suatu karunia yang besar dan indah. Dia yang memberikan ketentuan dan peraturan yang tepat untuk memelihara dan merawatnya. Atas segala karunia-Nya pulalah tesis ini berhasil diselesaikan.

Tesis yang berjudul ”Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City” ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana yang ditempuh atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari DIKTI. Tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan pendanaan oleh Universitas Hasanuddin dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) melalui beasiswa bantuan dana penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat dalam menyelesaikan tesis ini, serta kepada Dr. Ir. Luky Adrianto sebagai penguji luar komisi atas masukan untuk perbaikan tesis ini.

Terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Kota Makassar dan instansi-instansi yang terkait, pihak akademis Universitas Hasanuddin, PT. Dann Bintang Gelarrancana khususnya Irwan Anwar Said, SE. M.Si., dan Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada rekan-rekan ARL, Penny Pujowati, Euis Puspita Dewi, Siti Zulfa Yuzni, Wulan Sarilestari, Noril Milantara, Dudun Abdurrahim, Nursalam, dan Andi Chairul Achsan atas persahabatan dan kebersamaannya selama kuliah hingga penyelesaian tugas akhir, serta Dwi Aryanti atas dukungan yang diberikan.

Terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga tercinta, Mama, kakak, dan adik atas kasih sayang dan doa tulus yang tidak pernah berhenti, khususnya kepada Amrin Kudus atas motivasi, doa, dan kesabaran yang diberikan selama ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kota Makassar dan pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar.

(11)

PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN

LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR

SEBAGAI WATERFRONT CITY

NURFAIDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(13)

ABSTRACT

NURFAIDA. Development and Landscape Management Plan of Makassar Coastal as a Waterfront City. Under supervision of HADI SUSILO ARIFIN and

ARIS MUNANDAR.

Makassar with 36.1 km seashore length lies has lots of potential on the terrestrial and aquatic landscapes, e.g. recreation spot, mangrove forest, fisheries and coral areas. However, due to rapid population growth and the need of different urban facilities, various environmental change was occurred. The objects of this research are 1) to evaluate coastal landscape based on biophysical, social economy factors, its natural beauty and amenity in order to gain the best land use, and 2) to draw recommendations for development and management coastal area as waterfront city. The methods were applied on this research was exponential comparison method to evaluate cost-benefit, evaluation of land suitability with geographical information system (GIS) approach, aesthetical analysis with scenic beauty estimation (SBE) and amenity analysis. The result showed that Makassar coastal area is a potential region to develop as a waterfront city with the priority for recreational waterfront. Development consideration was drawn by zoning, which are tourism zone of 369.9 ha (15%) that is used for tourism activities, multi-purpose zone of 1627.6 ha (66%) which is aimed to various activities such as settlement resort, trading center, transportation facilities, etc., and conservation zone of 468.5 ha (19%) to preserve ecosystem of coastal, marine area and adjacent islands. Landscape management effort should be done with the concept of responsible city strategy. The management program covers management of tourism area, management of multi-purpose area, and management of conservation area.

(14)

RINGKASAN

NURFAIDA. Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan

ARIS MUNANDAR.

Kota Makassar dengan panjang pantai sekitar 36,1 km memiliki potensi yang tinggi baik di darat maupun di laut, antara lain, obyek rekreasi, hutan mangrove, kekayaan perikanan, tambak, dan terumbu karang. Akan tetapi, akibat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan berbagai fasilitas kota telah menimbulkan berbagai perubahan lingkungan, seperti perubahan tata guna lahan, perubahan morfologi pantai, penurunan kualitas perairan, dan kerusakan hutan mangrove. Kawasan pantai dan laut yang merupakan sumber daya milik bersama yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang telah menjadi “halaman belakang” tempat membuang segala macam limbah dari berbagai aktivitas manusia. Tujuan penelitian adalah 1) mengevaluasi lanskap pantai Kota Makassar berdasarkan aspek biofisik, sosial, ekonomi, keindahan, dan kenyamanan sehingga diperoleh penggunaan lahan terbaik, dan 2) menyusun rekomendasi pengembangan dan pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city.

Penelitian dilakukan di kawasan pantai Kota Makassar mencakup tiga kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Mariso, dan Kecamatan Tamalate yang dimulai dari Pantai Losari hingga Pantai Barombong. Penelitian di lapang dilaksanakan mulai Maret sampai Mei 2008. Metode yang digunakan adalah metode perbandingan eksponensial (MPE) untuk mengetahui manfaat dan biaya, evaluasi kesesuaian lahan dengan pendekatan analisis spasial sistem informasi geografi (SIG), analisis keindahan dengan metode scenic beauty estimation (SBE), dan analisis kenyamanan.

Hasil analisis manfaat biaya menunjukkan bobot dari pengembangan kawasan rekreasi memiliki nilai paling besar (0,274) dibandingkan dengan alternatif pengembangan lainnya, sedangkan pengembangan kawasan pertanian/tambak memiliki nilai paling kecil (0,008). Berdasarkan perhitungan selisih manfaat dan biaya yang akan diperoleh, urutan pertama adalah kawasan rekreasi yang memiliki nilai manfaat paling besar (2,1098), sedangkan kawasan permukiman memiliki nilai manfaat paling kecil (0,0071). Namun, urutan kedua dan seterusnya dari kedua perhitungan tersebut menunjukkan perbedaan urutan. Selanjutnya berdasarkan analisis urutan prioritas manfaat menghasilkan aktivitas rekreasi sebagai prioritas pertama, sedangkan atraksi budaya sebagai prioritas terakhir. Analisis urutan prioritas biaya menghasilkan pemeliharaan infrastruktur sebagai prioritas pertama, sedangkan perubahan nilai sosial budaya sebagai prioritas terakhir.

(15)

penanaman mangrove seluas 959,1 ha (5,5%), cukup sesuai seluas 488,2 ha (2,8%), sesuai marginal seluas 2.127,3 ha (12,2%), dan tidak sesuai seluas 13.862,4 ha (79,5%), dengan faktor pembatas adalah kondisi drainase. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman diperoleh hasil yang sangat sesuai seluas 6.661,4 ha (38,2%), cukup sesuai seluas 3.975,6 ha (22,8%), sesuai marginal seluas 192,5 ha (1,1%), dan tidak sesuai seluas 6.607,5 ha (37,9%). Faktor pembatas untuk pengembangan kawasan permukiman adalah kondisi drainase dan kerawanan banjir. Evaluasi kesesuaian untuk kawasan tambak menunjukkan hasil yang sangat sesuai untuk tambak seluas 645,2 ha (3,7%), cukup sesuai seluas 383,6 ha (2,2%), sesuai marginal seluas 2.127,3 ha (12,2%), dan tidak sesuai mencakup hampir seluruh Kota Makassar seluas 14.280,9 ha (81,9%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas adalah pengairan atau drainase.

Pantai Kota Makassar memiliki kualitas keindahan lanskap dengan nilai SBE berkisar antara -151 sampai dengan 154. Lanskap yang memiliki nilai SBE paling tinggi adalah Anjungan Bahari, sedangkan lanskap dengan nilai SBE paling rendah adalah Dermaga Tata Maddong. Berdasarkan analisis indeks tingkat kenyamanan (ITN) diperoleh luas kawasan yang memiliki ITN tinggi adalah 297,153 ha (12,05%), ITN sedang seluas 1.846,787 ha (74,89%), dan ITN rendah seluas 322,060 ha (13,06%).

(16)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak

Cipta

dilindungi

Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(17)

PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN

LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR

SEBAGAI WATERFRONT CITY

NURFAIDA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)
(19)

Judul Tesis : Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City

Nama : Nurfaida

NRP : A 251060021

Program Studi : Arsitektur Lanskap

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Dr. Ir. Aris Munandar, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(20)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan alam dan seisinya sebagai suatu karunia yang besar dan indah. Dia yang memberikan ketentuan dan peraturan yang tepat untuk memelihara dan merawatnya. Atas segala karunia-Nya pulalah tesis ini berhasil diselesaikan.

Tesis yang berjudul ”Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City” ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana yang ditempuh atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari DIKTI. Tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan pendanaan oleh Universitas Hasanuddin dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) melalui beasiswa bantuan dana penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat dalam menyelesaikan tesis ini, serta kepada Dr. Ir. Luky Adrianto sebagai penguji luar komisi atas masukan untuk perbaikan tesis ini.

Terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Kota Makassar dan instansi-instansi yang terkait, pihak akademis Universitas Hasanuddin, PT. Dann Bintang Gelarrancana khususnya Irwan Anwar Said, SE. M.Si., dan Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada rekan-rekan ARL, Penny Pujowati, Euis Puspita Dewi, Siti Zulfa Yuzni, Wulan Sarilestari, Noril Milantara, Dudun Abdurrahim, Nursalam, dan Andi Chairul Achsan atas persahabatan dan kebersamaannya selama kuliah hingga penyelesaian tugas akhir, serta Dwi Aryanti atas dukungan yang diberikan.

Terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga tercinta, Mama, kakak, dan adik atas kasih sayang dan doa tulus yang tidak pernah berhenti, khususnya kepada Amrin Kudus atas motivasi, doa, dan kesabaran yang diberikan selama ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kota Makassar dan pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar.

(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 23 Februari 1973 dari bapak Baharuddin Nassa (alm.) dan ibu Nurhabi. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Makassar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Arsitektur Lanskap, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Departemen Arsitektur Lanskap penulis peroleh pada tahun 2006 dengan beasiswa BPPS dari DIKTI.

(22)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR ... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 4 1.3. Manfaat Penelitian ... 4 1.4. Kerangka Pemikiran... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6 2.1. Wilayah Pesisir dan Pantai... 6 2.2. Kota Tepi Air (Waterfront City) ... 10 2.3. Evaluasi Lanskap Pantai ... 14 2.4. Pengembangan Kawasan Pantai dan Pesisir ... 18 2.5. Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan ... 22 III. METODOLOGI ... 28

(23)

4.5.2. Alternatif Biaya (Cost)... 62 4.6. Evaluasi Kesesuaian Lahan... 66

(24)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kelas kesesuaian lahan dan deskripsi ... 18 2. Jenis data, unit, tahun, sumber, kegunaan, dan pendekatan penelitian

di kawasan Pantai Kota Makassar... 30 3. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai... 34 4. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi mangrove ... 34 5. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman ... 34 6. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan tambak... 35 7. Kriteria tingkat kenyamanan yang dianalisis ... 37 8. Indeks tingkat kenyamanan pada kawasan pantai Kota Makassar... 37 9. Faktor pembatas dan standar kebutuhan ruang fasilitas pariwisata

di kawasan pesisir ... 38 10. Jumlah kelurahan, luas, dan persentase terhadap luas Kota Makassar ... 41 11. Data iklim Kota Makassar tahun 2007... 41 12. Kondisi perairan berdasarkan parameter fisika kimia... 43 13. Jenis dan jumlah obyek wisata di Kota Makassar... 48 14. Bobot alternatif pengembangan kawasan pantai Kota Makassar

berdasarkan pendapat responden ahli... 51 15. Prioritas pengembangan berdasarkan penilaian responden dan selisih

manfaat biaya ... 52 16. Analisis alternatif manfaat (benefit) pengembangan kawasan pantai

Kota Makassar... 59 17. Analisis alternatif biaya (cost) pengembangan kawasan pantai

Kota Makassar... 62 18. Penggunaan dan luas lahan di Kota Makassar tahun 1994 dan tahun

(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 5 2. Batasan wilayah pesisir ... 6 3. Skema kegiatan-kegiatan dalam evaluasi lahan (FAO, 1976) ... 16 4. Peta lokasi penelitian di kawasan pantai Kota Makassar (Sumber: peta

administrasi Kota Makassar skala 1:40.000; Google Earth)... 29 5. Mangrove di Kecamatan Tamalate ... 46 6. Total nilai manfaat biaya... 52 7. Pemandangan sunset di Pantai Losari ... 53 8. Pulau-pulau kecil di Kota Makassar (a) Pulau Kayangan, (b)Pulau

Samalona, (c) Pulau Kodingareng Keke, dan (d) Pulau Lanyukang

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lembaran kuisioner ahli (expert) untuk analisis manfaat biaya ... 110 2. Format kuisioner penilaian kualitas keindahan... 112 3. Panjang garis pantai berdasarkan kecamatan di Kota Makassar... 113 4. Panjang garis pantai berdasarkan pulau-pulau di Kota Makassar... 113 5. Peta administrasi Kota Makassar ... 114 6. Peta geologi di Kota Makassar... 115 7. Peta rawan banjir di Kota Makassar... 116 8. Data tinggi ombak maksimum di perairan Kota Makassar ... 117 9. Data tunggang air pasang surut di perairan Kota Makassar... 118 10. Kondisi biofisik perairan pesisir Kota Makassar ... 119 11. Jenis vegetasi yang ditemukan di kawasan pantai Kota Makassar ... 120 12. Jenis satwa di kawasan pantai Kota Makassar ... 121 13. Jenis nekton dan benthos di kawasan pantai Kota Makassar ... 121 14. Obyek rekreasi di kawasan pantai Kota Makassar... 122 15. Prioritas pengembangan berdasarkan selisih manfaat biaya... 123 16. Penilaian alternatif manfaat (benefit) kawasan pantai Kota Makassar ... 124 17. Analisis alternatif manfaat (benefit) kawasan pantai Kota Makassar ... 125 18. Penilaian alternatif biaya (cost) kawasan pantai Kota Makassar ... 126 19. Analisis alternatif biaya (cost) kawasan pantai Kota Makassar... 127 20. Perubahan garis pantai di sekitar muara Sungai Jeneberang dari

(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman yang tinggi dalam ekosistem (terrestrial dan aquatic) serta bentukan fisik (features, forms, dan forces). Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya dan sangat beragam, baik sumber daya dapat pulih maupun sumber daya tidak dapat pulih. Kawasan pantai memiliki fungsi sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan seperti udara segar, air bersih, dan sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan (estetika). Selain itu, kawasan pantai juga memiliki aksesibilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan seperti transportasi, pelabuhan, industri, permukiman, dan pariwisata. Namun, pembangunan atau aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam di kawasan pantai sering tidak ramah lingkungan. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, timbul berbagai permasalahan lingkungan terutama di kota-kota pantai Indonesia. Pencemaran, degradasi fisik habitat, eksploitasi berlebihan sumber daya alam, penggunaan lahan yang tidak sesuai, dan penurunan nilai estetika merupakan permasalahan lingkungan yang sering timbul di kawasan pantai kota-kota besar. Permasalahan ini mengakibatkan ekosistem pantai berada pada kondisi yang sangat kritis, apalagi bila dikaitkan dengan perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming) yang mengancam eksistensi kawasan pantai karena permukaan air laut akan terus meningkat seiring meningkatnya iklim.

(28)

2

Anjungan Bahari, terdapat obyek lain di sepanjang pantai ini seperti dermaga kapal penyeberangan Pulau Kayangan dan Kayu Bangkoa, pusat perniagaan Somba Opu, dan Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam). Benteng Ujung Pandang merupakan bangunan peninggalan bersejarah yang menunjukkan Kota Makassar dulunya adalah kota pantai yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan perniagaan.

Potensi lain yang dimiliki baik di daratan maupun lautan adalah hutan mangrove, kekayaan perikanan, tambak ikan/udang, dan terumbu karang. Menurut Rauf (2000), di kepulauan Spermonde (sebelah barat Kota Makassar) banyak dijumpai terumbu karang yang masih asli (alami), sedangkan menurut Bappeda (2006), dari 356 jenis karang di Indonesia, dua per tiga di antaranya terdapat di kepulauan ini.

Implikasi laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,79% (BPS, 2007) dan kebutuhan akan fasilitas perumahan, sarana perekonomian, pendidikan, jalur sirkulasi, dan tempat rekreasi telah menimbulkan berbagai perubahan lingkungan di Kota Makassar. Pembangunan dan aktivitas di Kota Makassar telah menimbulkan berbagai permasalahan di pantai seperti perubahan tata guna lahan, perubahan morfologi pantai, penurunan kualitas perairan, dan kerusakan hutan mangrove. Kawasan pantai dan laut yang merupakan sumber daya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access) telah menjadi “halaman belakang” tempat membuang segala macam limbah dari berbagai kegiatan manusia. Seharusnya pantai dengan lautnya merupakan “halaman depan” yang dijaga kebersihannya, karena laut memiliki keterbatasan dalam kemampuan menampung dan mengurai limbah. Selain itu, ekosistem pantai juga memiliki batas kemampuan daya dukung (carrying capacity) dalam menyediakan segenap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan.

(29)

Losari dengan kawasan Tanjung Bunga telah mengalami pendangkalan yang cukup serius dan terjadi pembusukan organik laut akibat tidak optimalnya pertukaran air laut di dalam laguna. Pendangkalan tersebut mengakibatkan perahu-perahu tidak dapat berlabuh dengan baik di dermaga pelelangan ikan. Selain masalah sedimentasi, abrasi juga terjadi sehingga mengakibatkan rusaknya dinding penahan pada beberapa titik. Dinding penahan yang sudah lama dan besarnya energi gelombang yang menghantam struktur tersebut telah menimbulkan kerusakan struktur yang lambat laun dapat merusak bangunan di sepanjang pantai (Mardiah, 2006).

Selain perubahan morfologi, di Pantai Losari juga terjadi penurunan kualitas perairan berupa pencemaran. Sumber utama pencemaran terhadap pantai Kota Makassar berasal dari kegiatan rumah tangga (limbah domestik), industri pengolahan (Bapedalda, 2004; Samawi, 2007), dan kegiatan pertanian di hulu Sungai Jeneberang (Monoarfa, 2002). Limbah padat dan cair masuk perairan pantai Losari melalui run-off dan mengakibatkan pendangkalan pantai serta perubahan beberapa parameter kualitas air. Menurut Samawi (2007), beban pencemaran terbesar yang masuk ke pantai Makassar adalah bahan organik dan padatan tersuspensi yang mengakibatkan pencemaran pantai. Nilai bahan organik yang sukar terurai (nilai COD) pada perairan pantai Kota Makassar berkisar antara 98−156 mg/L dengan beban pencemaran sebesar 4.170.995,4 ton per tahun dan nilai padatan tersuspensi (nilai TSS) berkisar antara 54−397,5 mg/L dengan beban pencemaran sebesar 910.949,4 ton per tahun. Beban pencemaran lain baik yang berasal dari Sungai Jeneberang maupun Sungai Tallo adalah bahan organik yang terurai secara biologi (nilai BOD), hara nitrat, fosfat, logam timbal (Pb), logam kadmium (Cd), dan logam tembaga (Cu).

(30)

4

terencana dengan baik. Perencanaan pengelolaan kawasan pantai ini dilakukan agar tercipta harmonisasi kepentingan pembangunan dan pelestarian sumber daya alam yang memperhatikan karakteristik dan keunikan kawasan pantai Kota Makassar.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan

1. mengevaluasi lanskap pantai Kota Makassar berdasarkan aspek biofisik, sosial, ekonomi, keindahan, dan kenyamanan sehingga diperoleh penggunaan lahan yang terbaik, dan

2. menyusun rekomendasi pengembangan dan pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota Makassar, instansi yang terkait, investor/pihak pengembang, dan pengelola kawasan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar.

1.4. Kerangka Pemikiran

Visi pemerintahan Kota Makassar sangat mendukung pengembangan kawasan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city. Pantai Kota Makassar memiliki potensi lanskap seperti hutan mangrove, tambak ikan/udang, terumbu karang, dan pemandangan sunset yang indah. Pantai ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti transportasi, pelabuhan, industri, permukiman, dan pariwisata. Akan tetapi, pemanfaatan tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di pantai Kota Makassar.

(31)
[image:31.612.126.513.169.671.2]

keindahan dilakukan terhadap aspek keindahan dan analisis kenyamanan terhadap aspek kenyamanan. Berdasarkan hasil analisis, dilakukan sintesis untuk memperoleh alternatif-alternatif pengembangan dan pengelolaan sehingga menghasilkan rekomendasi pengembangan dan rencana pengelolaan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city (Gambar 1).

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Pantai Kota Makassar: - terletak di sebelah barat

kota

- panjang pantai 52,8 km (pesisir 36,1 km; pulau dan gusung 16,7 km) - terdapat 12 pulau kecil,

1 gusung, dan 26 taka Permasalahan lingkungan:

- perubahan tata guna lahan - perubahan morfologi pantai

(sedimentasi, abrasi) - penurunan kualitas

perairan/pencemaran - kerusakan habitat dan biota - kerusakan hutan mangrove

Visi Kota Makassar:

kota maritim, niaga, pendidikan budaya dan jasa yang berorientasi global, berwawasan lingkungan dan paling bersahabat

Potensi lanskap pantai: - obyek wisata menarik - pemandangan sunset

- bagian sejarah perkembangan kota - hutan mangrove - kekayaan perikanan - tambak ikan/udang - terumbu karang

Inventarisasi

Aspek biofisik dan sosial-ekonomi

Aspek keindahan Aspek kenyamanan

Analisis manfaat biaya Evaluasi kesesuaian lahan

Analisis keindahan Analisis

kenyamanan

Alternatif-alternatif pengembangan dan pengelolaan kawasan pantai

Rekomendasi pengembangan dan rencana pengelolaan pantai sebagai waterfront city

Pengembangan kawasan pantai (konsep dan zonasi ruang)

Rencana pengelolaan kawasan pantai (daya dukung kawasan,

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Wilayah Pesisir dan Pantai

[image:32.612.139.502.443.660.2]

Berdasarkan Undang-undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Penentuan batas-batas wilayah pesisir di dunia umumnya berdasarkan pada tiga kriteria, yaitu 1) garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau shoreline), seperti yang terlihat pada Gambar 2 (Pernetta & Milliman, 1995 diacu dalam Dahuri, 1998), 2) batas-batas administrasi, misalnya di Indonesia, batas wilayah pesisir provinsi adalah 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan batas wilayah pesisir kabupaten/kota adalah 1/3 dari wilayah provinsi atau 4 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas, dan 3) karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik) berdasarkan sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau kesatuan proses-proses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi biota, dan pasang surut). Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria ketiga ini adalah batasan menurut daerah aliran sungai (DAS).

(33)

Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan air surut terendah (Pratikto & Sambodho, 2001). Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi, sedangkan daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai adalah garis pertemuan antara daratan dan air laut yang posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi (Triatmodjo, 1999).

Wilayah pesisir apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif lebih mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo, atau batas wilayah pesisir Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung Nasikonis dan Pulau Sabu, dan batas wilayah pesisir Jakarta adalah antara Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur (Dahuri, 1998). Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan dua jenis, yaitu batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management) (Diposaptono, 2005).

(34)

8

secara nyata (Tol et al., 1996; Joseph & Balchand, 2000). Pariwisata sebagai salah satu sektor penting penyangga ekonomi dunia, bahkan menempatkan wilayah pesisir sebagai salah satu daerah tujuan wisata paling dominan.

Menurut Dahuri et al. (2001), suatu kawasan pesisir dapat memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir dan sumber daya pesisir. Berdasarkan sifat ekosistem, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (man made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescarpae, formasi barringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan, antara lain, tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, dan kawasan permukiman. Indonesia sebagai daerah tropis memiliki ekosistem pesisir sebagai berikut.

1. Hutan mangrove merupakan tipe hutan khas tropika yang tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai. Kehidupan tumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien dan stabilitas substrat. Hutan mangrove banyak dijumpai di pantai yang landai dengan muara sungai yang berlumpur dengan kondisi perairan yang tenang dan terlindung dari ombak. Menurut Kawaroe et al. (2001), keunikan ekosistem mangrove adalah batas yang menghubungkan antara ekosistem darat dan ekosistem laut sehingga dapat mempengaruhi proses kehidupan biota (flora dan fauna) di wilayah tersebut. Berbeda dengan ekosistem darat, mangrove adalah ekosistem terbuka yang dihubungkan dengan ekosistem laut melalui arus pasang surut.

(35)

3. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem khas di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas organik yang tinggi dan kaya akan keragaman spesies penghuninya seperti ikan karang. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang memiliki nilai estetika alam yang sangat tinggi. Terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung ekosistem pesisir dan laut dari tekanan gelombang. Keberadaan terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi kecerahan perairan, suhu, salinitas, kecepatan arus air, sirkulasi, dan sedimentasi.

4. Rumput laut (sea weeds) merupakan tumbuhan pada perairan yang memiliki substrat keras yang kokoh untuk tempat melekat. Tumbuhan ini hanya dapat hidup pada perairan tempat tumbuhan mudanya mendapatkan cukup cahaya. Parameter lingkungan utama untuk ekosistem rumput laut adalah kekeruhan/kecerahan air, kandungan padatan terlarut dan tersuspensi, serta arus laut.

5. Estuariaadalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bercampur. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang kaya bahan organik dan menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria. Akan tetapi, organisme dan tumbuhan yang berkembang di estuaria relatif sedikit karena merupakan kawasan pertemuan air laut dan air tawar. 6. Pantai pasir (sandy beach) terdiri atas kwarsa dan feldspar yang merupakan

sisa-sisa pelapukan batuan di gunung yang dibawa oleh aliran sungai. Pantai pasir lainnya terbentuk oleh rombakan pecahan terumbu karang yang diendapkan oleh ombak. Partikel yang kasar menyebabkan hanya sebagian kecil bahan organik yang terserap sehingga organisme yang hidup di pantai berpasir relatif sedikit. Meskipun demikian, pantai berpasir sering dijadikan beberapa biota (seperti penyu) untuk bertelur. Parameter utama dari pantai berpasir adalah pola arus yang mengangkut pasir, gelombang yang melepas energinya, dan angin yang mengangkut pasir ke arah darat.

(36)

10

Parameter utama yang mempengaruhi pantai berbatu adalah pasang laut dan gelombang laut yang mengenainya.

8. Formasi Pescaprae umumnya terdapat di belakang pantai berpasir. Formasi pescarpae didominasi oleh vegetasi pionir, khususnya kangkung laut (Ipomoea pescaprae) untuk menahan gelombang.

9. Formasi Barringtonia merupakan ekosistem yang berkembang di pantai berbatu tanpa deposit pasir, tempat formasi pescarpae tidak dapat tumbuh. Habitat berbatu ini ditumbuhi oleh komunitas rerumputan dan belukar yang dikenal sebagai formasi Barringtonia.

2.2. Kota Tepi Air (Waterfront City)

Pengertian waterfront secara harfiah adalah tepi air, bagian kota yang berbatasan dengan air. Menurut Nugroho (2000) diacu dalam Ayuputri (2006),

waterfront merupakan penerapan konsep tepian air (laut, sungai/kanal, atau danau) sebagai halaman depan, tempat tepian air tersebut dipandang sebagai bagian lingkungan yang harus dipelihara, bukan halaman belakang yang dipandang sebagai tempat pembuangan. Waterfront city mempunyai arti suatu lingkungan perkotaan yang berada di tepi atau dekat wilayah perairan, misalnya lokasi area pelabuhan besar di kota metropolitan (Wrenn, 1983).

Soesanti dan Sastrawan (2006) mengemukakan waterfront berdasarkan tipe proyeknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development). Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Redevelopment adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada. Development adalah usaha menciptakan

(37)

yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan. Recreational waterfront adalah semua kawasan waterfront yang menyediakan sarana dan prasana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar. Residential waterfront adalah perumahan, apartemen, dan resort yang dibangun di pinggir perairan. Working waterfront adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi-fungsi pelabuhan.

Berdasarkan konsep waterfront city, suatu kota dapat berada di tepi laut/pantai, di tepi sungai/kanal, atau di tepi danau. Toronto dan Yunani merupakan contoh kota yang berada di tepi laut, Bangkok sebagai contoh kota yang berada di tepi sungai, dan Amsterdam merupakan contoh kota yang berada di tepi kanal. Menurut Laidley (2007), Kota Toronto yang direncanakan oleh

Toronto Waterfront Revitalization Corporation merupakan pengembangan kota tepi laut yang memposisikan kawasan tepi laut sebagai bagian penting dalam perkembangan perekonomian kota dan menjadikan kawasan tepi laut Toronto sebagai pintu gerbang baru ke Canada. Kota-kota di Yunani juga merupakan contoh pengembangan kota dengan konsep waterfront city. Pengembangan kembali (redevelopment) bertujuan memperbaiki kualitas ruang inti dari kota-kota di Yunani dan mengembangkan pariwisata sesuai karakteristik waterfront

(Gospodini, 2001). Menurut Wijanarka (2008), Bangkok sebagai kota tepi sungai didesain dengan konsep waterfront yang terlihat dari adanya tiga kanal yang menghubungkan Sungai Chao Phraya, adanya jalan darat di tepi Sungai Chao Phraya yang didesain mengikuti pola sungai, dan adanya reklamasi di tepi Sungai Chao Phraya yang dipersiapkan untuk lahan rumah tinggal bagi para pendatang. Kota Amsterdam yang berawal dari permukiman nelayan yang terletak di muara Sungai Amstel didesain dengan sistem kanal. Selain itu, bangunan kota juga didesain dengan setting mengikuti pola kanal dengan arah bangunan ke arah kanal.

(38)

12

(kawasan pantai) dan harus dipertahankan keunikannya. Batasan kawasan kota pantai tidak hanya mencakup bagian kota di darat atau berhadapan dengan laut saja, tetapi juga mencakup bagian yang berada di atas air.

Keberadaan dan perkembangan kota pantai tidak lepas dari fungsinya saat awal pembukaan dan didirikannya, yaitu sebagai akses hubungan antara pedalaman dengan dunia luar. Menurut Suprijanto (2000), kota pantai sebagai salah satu bentuk kota tepi air pada dasarnya berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi bagian dari jalur perdagangan internasional. Hantoro (2007) mengemukakan ciri utama perkembangan kota pantai diawali sebagai tempat berlabuh kapal dan alur-alur jalan yang menghubungkannya dengan pedalaman yang menghasilkan produk pertanian atau perambahan hutan. Suprijanto (2000) menjelaskan pada perkembangan selanjutnya kawasan kota pantai menjadi tempat yang menarik untuk permukiman.

Kedudukan kawasan kota pantai merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari beberapa kawasan lain di kota induknya, tempat orientasi kegiatan kota pantai berbasis darat dan laut seperti perdagangan, pelabuhan dan transportasi, perikanan, serta permukiman. Di Indonesia, kawasan kota pantai dapat diarahkan pada tujuh jenis pengembangan, yaitu (1) kawasan komersial (perdagangan), (2) kawasan budaya, pendidikan, dan lingkungan hidup, (3) kawasan peninggalan bersejarah, (4) kawasan permukiman, (5) kawasan wisata (rekreasi), (6) kawasan pelabuhan dan transportasi, dan (7) kawasan pertahanan keamanan (Suprijanto, 2000).

(39)

pada timbulnya berbagai bencana seperti banjir, longsor, erosi pantai, dan gelombang pasang (Hantoro, 2000).

Pengembangan kota pantai di Indonesia merupakan masalah yang harus ditangani secara seksama, karena Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia dan terdapat 516 kota andalan di Indonesia dengan 216 kota di antaranya merupakan kota tepi air yang berada di tepi laut (pantai), sungai, atau danau. Dibandingkan dengan kawasan tepi sungai atau danau, kawasan kota pantai mempunyai lebih banyak potensi untuk dikembangkan, terutama terkait dengan aspek fungsi dan aksesibilitas (Suprijanto, 2000). Setiap upaya mengembangkan kota pantai seharusnya mengenali potensi sumber daya, daya dukung lingkungan (karakteristik pantai), dan gejala alam di sekitarnya sehingga dapat dilakukan penyesuaian untuk memperkecil biaya ataupun resiko dampak di kemudian hari seiring perkembangan kota (Hantoro, 2007). Menurut Torre (1989), beberapa unsur yang dapat mendukung keberhasilan suatu waterfront sebagai berikut. 1. Tema

Elemen ini ditentukan oleh iklim, budaya, dan sejarah. Tema tersebut akan menentukan ruang-ruang yang akan dibentuk, tata guna lahan, material yang akan dipakai, skala, dan makna waterfront sehingga tercipta suatu keunikan yang menarik pengunjung dan menimbulkan perasaan untuk kembali lagi. 2. Kesan (image)

Kesan publik akan mempengaruhi minatnya untuk mengunjungi waterfront. Keinginan untuk mengunjungi suatu kawasan waterfront akan sulit dihidupkan apabila kesan masyarakat sudah negatif. Oleh karena itu, harus ditimbulkan kesan positif sebelum mengembangkan waterfront, misalnya melalui promosi atau pertemuan terbuka.

3. Keaslian

Karakter waterfront yang akan dikembangkan harus ditemukan dan dipertahankan sehingga akan menimbulkan suatu keunikan dan meningkatkan daya tariknya.

4. Kegiatan

(40)

14

pengalaman yang menarik harus tetap diperhatikan. Hal yang paling diminati pengunjung adalah kesempatan untuk makan atau duduk santai sambil melihat-lihat.

5. Persepsi publik

Sebelum pengembangan dimulai, publik harus diyakinkan bahwa kegiatan ini akan meningkatkan kualitas kawasan sekitarnya dan kegiatan yang sudah terbentuk tidak akan terganggu dengan adanya pengembangan ini. Tujuan ini dapat dicapai dengan menginformasikan kepada masyarakat tentang kegiatan yang akan berlangsung sehingga masyarakat akan mendukung keberhasilan pengembangan kawasan waterfront.

6. Pelestarian lingkungan

Pengembangan waterfront harus tetap melestarikan lingkungan, bahkan jika memungkinkan dapat memperbaiki lingkungan yang rusak. Selain itu, pengembangan sedapat mungkin mengurangi dampak lingkungan dan memanfaatkan secara maksimal sumber daya alam yang ada.

7. Teknologi konstruksi

Tugas utama dalam bidang konstruksi adalah membuat suatu metode yang dapat menstabilkan garis pertemuan antara darat dan air.

8. Manajemen

Manajemen yang baik dan efektif terhadap pemeliharaan kawasan dan peningkatan daya tarik dengan mengadakan kegiatan berkala sangat diperlukan untuk menghidupkan kawasan pantai.

2.3. Evaluasi Lanskap Pantai

Lanskap kawasan pantai sebagai daerah peralihan (ecoton) merupakan kawasan yang sangat peka dan rapuh. Kerusakan di kawasan pantai terjadi karena lahan tidak dimanfaatkan sesuai dengan kemampuannya mendukung aktivitas di kawasan tersebut. Akibatnya kerusakan tersebut akan berdampak sangat serius terhadap kelangsungan hidup ekosistem di kawasan pantai.

(41)

pengembangan program pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan adalah kegiatan evaluasi kesesuaian lahan. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna lahan yang bertujuan menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Inti dari evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno & Widiatmaka, 2007).

Evaluasi lahan dapat dibedakan dalam tiga intensitas kerincian sebagai berikut (FAO, 1976; 1989; dan 1990).

1. Tingkat tinjau (reconnaissance)

Evaluasi lahan dengan intensitas ini dilakukan dalam skala nasional atau provinsi. Evaluasi lahan dilakukan secara kualitatif dan analisis ekonomi hanya dilakukan dengan sangat umum. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk perencanaan secara nasional, yang dapat menentukan skala prioritas untuk masing-masing daerah.

2. Tingkat semi detil (semi-detail)

Evaluasi lahan dengan intensitas ini dilakukan untuk tujuan-tujuan yang lebih khusus, misalnya studi kelayakan (feasibility study) untuk suatu proyek. Survei pertanian dan analisis sosial-ekonomi merupakan faktor penting, dan evaluasi lahan sebaiknya dilakukan secara kuantitatif. Hasil evaluasi dapat memberikan keterangan untuk pengambilan keputusan, penelitian proyek, dan perubahan-perubahan yang mungkin diperlukan terhadap proyek yang direncanakan.

3. Tingkat detil (detail)

Evaluasi lahan dilakukan untuk perencanaan yang telah pasti atau setelah kepastian melaksanakan proyek tersebut diputuskan, misalnya untuk pembuatan desain.

(42)
[image:42.612.138.503.105.389.2]

16

Gambar 3. Skema kegiatan-kegiatan dalam evaluasi lahan (FAO, 1976)

1. Konsultasi pendahuluan

Kegiatan ini merupakan pertukaran pendapat mengenai tujuan survei dan jenis evaluasi yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

2. Tipe penggunaan lahan, syarat-syarat, dan pembatas

Identifikasi dan deskripsi terhadap tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan merupakan bagian penting dalam evaluasi lahan. Ada dua kemungkinan, yaitu (a) tipe penggunaan lahan telah ditentukan dari awal evaluasi dilakukan dan (b) tipe penggunaan lahan ditetapkan pada awal evaluasi, tetapi dapat mengalami modifikasi dan penyesuaian. Selanjutnya masing-masing tipe penggunaan lahan mempunyai syarat-syarat dan pembatas tertentu. Faktor pembatas untuk suatu tipe penggunaan lahan diperlakukan sama dengan persyaratan penggunaan lahan.

Konsultasi pendahuluan

Tipe penggunaan lahan

Satuan peta lahan

Pembandingan syarat-syarat penggunaan lahan

dengan kualitas lahan Syarat-syarat

masing-masing penggunaan lahan

Kualitas lahan

Klasifikasi kesesuaian lahan

(43)

3. Satuan peta lahan dan kualitas lahan

Penentuan batas satuan-satuan peta lahan didasarkan pada karakteristik lahan yang mudah dipetakan seperti kemiringan lahan, bentuk lahan (landform), jenis tanah, dan bahan induk tanah. Akan tetapi, kualitas lahan yang besar pengaruhnya terhadap tipe penggunaan lahan yang direncanakan perlu mendapat perhatian.

4. Pembandingan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas lahan

Pembandingan dilakukan terhadap persyaratan dari tipe penggunaan lahan dengan kualitas lahannya untuk dapat melakukan perbaikan yang diperlukan. Dengan membandingkan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas lahan yang dimiliki oleh masing-masing satuan peta lahan akan didapatkan kelas kesesuaian lahan dan faktor pembatasnya bagi penggunaan lahan tersebut. 5. Klasifikasi kesesuaian lahan

Hasil pembandingan persyaratan dari tipe penggunaan lahan tertentu dengan kualitas lahan suatu satuan peta lahan menghasilkan suatu kelas kesesuaian lahan yang menunjukkan kesesuaian masing-masing satuan peta lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Kesesuaian lahan dapat dibagi menjadi empat kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai) dengan deskripsi masing-masing pada Tabel 1. Dalam mengambil keputusan untuk klasifikasi kesesuaian lahan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dapat digunakan berbagai cara seperti metode penghambat maksimum, metode parametrik dengan pemberian angka nilai untuk masing-masing faktor, kemudian dijumlahkan atau dikalikan dan sebagainya. Dengan metode yang berbeda tersebut sudah pasti akan menghasilkan kelas yang berbeda-beda pula.

6. Penyajian hasil

(44)
[image:44.612.129.520.98.349.2]

18

Tabel 1. Kelas kesesuaian lahan dan deskripsi

Kelas Kesesuaian Lahan Deskripsi

S1 Sangat Sesuai

(Highly Suitable)

Lahan tidak mempunyai pembatas yang serius untuk penerapan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan/ tingkatan perlakuan yang diberikan

S2 Cukup Sesuai

(Moderately Suitable)

Lahan mempunyai pembatas yang cukup serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus ditetapkan atau hanya mempunyai pembatas yang hanya meningkatkan masukan/tingkatan perlakuan yang diperlukan

S3 Sesuai Marginal

(Marginally Suitable)

Lahan mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, tetapi masih memungkinkan diatasi/diperbaiki; lahan masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya rasional

N Tidak Sesuai

(Not Suitable)

Lahan sama sekali tidak dapat digunakan karena memiliki pembatas yang permanen sehingga tidak mungkin digunakan terhadap suatu penggunaan yang lestari

Sumber: FAO (1976)

2.4. Pengembangan Kawasan Pantai dan Pesisir

Indonesia memiliki banyak kawasan pantai dan pesisir dengan potensi pembangunan yang sangat besar. Akan tetapi, seringkali pengembangan kawasan pantai tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pembangunan intensif yang tidak berkelanjutan banyak terjadi di beberapa kawasan pantai kota-kota besar Indonesia. Menurut Dahuri et al. (2001), kapasitas berkelanjutan dari banyak ekosistem pesisir telah terancam oleh pola pembangunan yang tidak berkelanjutan (unsustainable development pattern) melalui pencemaran, erosi, degradasi fisik habitat penting pesisir, eksploitasi berlebihan sumber daya alam, serta konflik penggunaan ruang dan sumber daya. Akan tetapi, pola pembangunan yang begitu merusak kualitas lingkungan belum berhasil mensejahterakan sebagian penduduk setempat. Bahkan ada kecenderungan bahwa industrialisasi yang terjadi di kawasan pantai selama ini seringkali justru memiskinkan penduduk setempat, seperti yang terjadi di Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur.

(45)

biologis paling produktif di dunia ini; berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi, seperti hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria berada di wilayah pesisir, (2) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan (accessibilities) yang paling praktis dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, permukiman, dan kegiatan pembangunan lainnya, daripada yang dapat disediakan oleh daerah lahan atas (up-land areas); kemudahan tersebut berupa media transportasi, tempat pembuangan limbah, bahan baku air pendingin (cooling water) dari air laut untuk berbagai jenis pabrik dan pembangkit tenaga listrik, dan bahan baku industri lainnya, dan (3) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan obyek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan (lucrative), seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur, perairan pesisir untuk berenang, selancar, dan berperahu, serta terumbu karang dan keindahan bawah laut lainnya untuk pariwisata selam dan snorkeling.

Konsep pembangunan yang memperhatikan keseimbangan antara pencapaian pemanfaatan yang optimal dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh World Commission on Environment and Development adalah “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”. Konsep pembangunan yang berkelanjutan ini telah menjadi kesepakatan hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Jenairo 1992 (Saifullah, 2004).

Dahuri (1998) mengemukakan empat persyaratan utama yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumber daya pesisir secara ekologis adalah (1) keharmonisan spasial, (2) pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) pembuangan limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan, dan (4) perancangan dan pembangunan prasarana dan sarana sesuai dengan karakteristik serta dinamika ekosistem pesisir.

(46)

20

utama, yaitu the responsible city, the living city, dan the participating city dengan masing-masing strategi berhubungan erat dengan pengelolaan, tata ruang, dan juga kebijakan yang diterapkan, tetapi tidak melupakan aspek yang paling utama, yaitu faktor lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi. Strategi tersebut tidak hanya memperhatikan kebutuhan masyarakat, tetapi juga mutu lingkungan dan kenyamanan yang diperoleh dari suatu pembangunan kota tempat partisipasi masyarakat untuk menciptakan suatu kondisi yang sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai hal utama.

Strategi the responsible city merupakan suatu konsep desain dan pengelolaan kota yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan level-level tertentu, tetapi juga generasi yang akan datang dengan tetap bertanggung jawab terhadap mutu lingkungan dari wilayah tersebut. Suatu kota tidak akan terlepas dari berbagai macam permasalahan yang menyangkut beberapa hal seperti air (banjir, kekeringan, atau polusi air), energi, sampah, kemacetan lalu lintas, dan permasalahan sentralisasi atau desentralisasi. Semua permasalahan tersebut harus menjadi perhatian sehingga pengelolaan disebut sebagai pengelolaan rantai.

Konsep the living city bermakna suatu kota harus menawarkan kondisi yang tidak hanya memberikan kenyamanan, tetapi juga kesehatan sekaligus keindahan pada penduduknya, misalnya dengan adanya pepohonan di sekitar jalan yang memperhatikan aspek estetika. Dalam pemanfaatan potensi ekologi (iklim, air, tanah, dan tumbuhan) tidak hanya memberikan kontribusi kesehatan, tetapi juga memberi identitas pada kota secara keseluruhan dan sesuai untuk berbagai perbedaan lingkungan dari segi waktu, gaya hidup, dan aktivitas. Artinya, kota tersebut tidak hanya baik untuk lingkungan atau peduli pada lingkungan, tetapi juga dapat memberikan kontribusi pada kualitas kota tersebut. Konsep ini biasanya dikaitkan dengan kebijakan tata ruang.

(47)

Kawasan pantai Kota Makassar termasuk dalam kawasan pusat kota yang mencakup wilayah Kecamatan Ujung Tanah, Wajo, Ujung Pandang, Mariso, dan Tamalate. Dalam misi dan strategi pengembangan tata ruang kota, pemerintah kota telah berkomitmen menjadikan kawasan pusat kota sebagai kawasan dengan kualitas standar pelayanan yang lebih baik kepada lingkungan dan masyarakatnya, dengan mendorong aktivitas pembangunan fisik berkembang secara vertikal dan pengelolaan lingkungan yang terkendali. Beberapa strategi yang terkait dengan kawasan pantai adalah mengembangkan kawasan strategis pada kawasan ekonomi termasuk di sepanjang pantai Losari, mengembangkan kawasan kumuh seperti Kecamatan Mariso, merevitalisasi kawasan pantai Losasi secara terpadu dengan mereklamasi batas ruang pantai, dan membatasi pembangunan pada ruang belakang pantai Losari sekitar kawasan Makassar Golden Hotel dan sekitarnya dengan membuat jalan arteri pembatas sampai ke depan Benteng Ujung Pandang (Pomanto, 2007).

Lanskap kawasan pantai dan pesisir merupakan kawasan yang sangat peka dan rapuh. Kerusakan yang terjadi di kawasan tersebut akan berdampak sangat serius terhadap kelangsungan hidup ekosistem pesisir. Beberapa panduan untuk pengembangan kawasan pantai terutama untuk pariwisata agar kelestariannya terjaga adalah sebagai berikut (Nurisyah, 2000).

1. Pengembangan wisata pantai harus disusun bersama-sama dalam kerangka kerja rencana pengembangan sosial ekonomi nasional, regional, dan lokal secara terpadu, selaras dengan lingkungan dalam strategi pengembangan. Pengembangan wisata pantai harus melakukan pendekatan secara strategi nasional dalam pengembangan dan pengelolaan wisata pantai yang akan menunjukkan zona paling sesuai untuk kegiatan pariwisata.

2. Kawasan lindung pantai untuk pengembangan pariwisata harus terliput oleh kawasan yang memperhatikan geografi alami dan kondisi sosial ekonomi kawasan. Untuk memanfaatkan sumber daya wisata secara optimal, harus dilakukan kegiatan inventarisasi di kawasan yang diusulkan, yaitu lingkungan sosial, budaya, dan penyakit yang endemik atau temporer.

(48)

22

4. Kegiatan penataan lahan harus diawasi untuk mencegah dampak seminimal mungkin terhadap ekosistem pantai alami.

5. Jalan terbaik menuju tempat wisata harus direncanakan sebaik mungkin untuk meminimalkan kepadatan lalu lintas, kebisingan, polusi, dan dampak lainnya di sekitar kawasan.

6. Pengembangan fasilitas akomodasi harus dikonsentrasikan dan tidak mengganggu sumberdaya alam. Skala, ukuran, dan jenis infrastruktur haruslah sesuai.

7. Pembuatan tempat pembuangan sampah yang memadai. Limbah cair tidak dibuang ke pantai, terumbu karang, dan kawasan peka lainnya.

2.5. Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan

Pengelolaan adalah tindakan yang dilakukan untuk mengamankan dan menyelamatkan suatu lanskap secara efisien dan terarah, dalam upaya pelestarian dan keberlanjutannya, meliputi sumber daya fisik dan biofisik, lingkungan binaan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku (Wardiningsih, 2005). Jayadinata (1992) mengemukakan pengelolaan adalah salah satu usaha kebijaksanaan untuk memelihara dan menyelamatkan ekosistem. Konsep dasar dari pengelolaan secara ekologi dengan pendekatan ekosistem, seperti danau, hutan, laut, tanaman pertanian, perkebunan, dan padang rumput.

Menurut Astri (2005), pengelolaan dalam arti luas meliputi aspek administrasi, penanganan masalah, cara penanggulangan, pengembangan, dan pengendaliannya. Pengelolaan meliputi kegiatan-kegiatan (1) preservasi yaitu melestarikan sesuatu yang unik dan dilaksanakan jika sudah ada ancaman, (2) proteksi yaitu melindungi suatu lanskap terhadap gangguan-gangguan yang dapat merusak, (3) perawatan yaitu memelihara lanskap yang ada agar tetap baik dan bersifat statis, (4) pemeliharaan yaitu memelihara lanskap dengan berusaha meningkatkan mutunya dan bersifat dinamis, dan (5) rehabilitasi yaitu memperbaiki lanskap yang rusak.

(49)

oleh faktor ruang, waktu, dan energi (Wardiningsih, 2005). Menurut Sarosa (2002), dimensi-dimensi keberlanjutan terdiri atas temporal/intergenerational, spasial, sosial-ekonomi, politik (ecological cost, advantage atau disadvantage),

interspecies, dan inter-medium.

Dimensi temporal mengandung arti suatu pembangunan jangka pendek yang disebut baik belum tentu baik dalam jangka panjang. Sebagai contoh, energi nuklir pada saat ini merupakan salah satu alternatif yang menunjang aktivitas beberapa negara maju, tetapi di masa yang akan menjadi masalah besar bagi lingkungan. Indikator-indikator yang dapat digunakan dalam analisis dimensi temporal untuk keberlanjutan lingkungan perkotaan, antara lain, populasi, pendapatan, populasi masyarakat miskin, tenaga kerja informal, akses terhadap fasilitas-fasilitas kota (persediaan air, limbah, listrik, dan telepon), angka kejahatan, ukuran polusi udara dan air, ruang terbuka hijau, dan lain-lain.

Dimensi spasial terkait dengan hubungan antara suatu kota dengan kota lainnya, yang berarti masalah pada suatu kota dipindahkan ke kota atau daerah pedesaan di sekitar kota. Misalnya, suatu kota bersih dari sampah bahkan mendapat piala Adipura, tetapi sampah yang dihasilkan kota tersebut dibuang di daerah luar kota.

Masalah ekonomi pada suatu kota terkait dengan dimensi sosial-ekonomi. Perkembangan suatu kota dapat menguntungkan pihak tertentu, tetapi merugikan pihak lainnya. Suatu kota dikatakan berkelanjutan apabila dapat memberikan (transfer) biaya-biaya lingkungan yang timbul akibat kegiatan sosial-ekonomi kepada pihak lain. Dimensi sosial-sosial-ekonomi melibatkan isu-isu perubahan kesejahteraan atau kesehatan oleh stakeholder setelah jangka waktu tertentu, perubahan dalam kondisi yang hidup (kondisi-kondisi lingkungan) stakeholder

pada periode waktu, perpindahan yang mungkin dari sumber daya ekonomi dan sosial suatu kelompok stakeholder sebagai hasil perubahan keseluruhan kondisi (struktur dari kota tersebut) atau dari proses/pola tata kota, dan perpindahan yang mungkin dari permasalahan lingkungan kelompok stakeholder sampai tingkat yang berbeda dari status sosial-ekonomi.

(50)

24

Dimensi interspecies adalah upaya meningkatkan kesejahteraan manusia dengan tidak mengganggu spesies lain, sedangkan dimensi inter-medium dapat dilihat pada pengolahan sampah dengan insinerator atau mengurangi limbah padat dengan cara pembakaran sehingga menciptakan pencemaran atau polusi udara.

Menurut Arancibia et al. (1999), konsep strategi pengelolaan yang berkelanjutan menggunakan keterkaitan positif antara efisiensi ekonomi dan perbaikan lingkungan, serta ikut menciptakan tanda ekonomi yang baru dan mendorong semua kegiatan produksi dan konsumsi yang mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Apabila kondisi lingkungan tidak terlindungi, nilai ekonomi dalam pembangunan secara utuh tidak akan tercapai.

Pengelolaan kawasan pantai tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pengelolaan wilayah pesisir. Berdasarkan Undang-undang RI No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Pengelolaan tersebut berasaskan pada keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Kewenangan dalam hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) dapat diberikan oleh menteri, gubernur, dan bupati/walikota. Menteri berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir lintas provinsi dan kawasan strategis nasional tertentu, gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir sampai dengan 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan perairan pesisir lintas kabupaten/kota, dan bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi.

Pengelolaan berkelanjutan suatu kawasan pantai menurut Dahuri et al. (2001), memerlukan empat persyaratan sebagai berikut.

(51)

dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan (land suitability) termasuk perairan.

2. Jika memanfaatkan sumber daya yang dapat pulih (seperti penangkapan ikan di laut), tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut. Demikian halnya jika menggunakan air tawar (biasanya merupakan faktor pembatas dalam ekosistem pulau-pulau kecil), laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau tersebut untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu tertentu.

3. Jika membuang limbah ke lingkungan pulau, jumlah limbah (bukan limbah B3, tetapi jenis limbah yang biodegradable) tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut.

4. Jika memodifikasi lanskap suatu pulau (seperti penambangan pasir dan reklamasi) atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga (jetty) dan hotel, harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan proses-proses alami lainnya.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan pantai menurut Andit (2007), yaitu (1) pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumber daya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan, (2) menangani wilayah pesisir berbeda dengan menangani proyek (harus terus-menerus), (3) menetapkan batas wilayah hukum secara geografis (meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan), (4) menetapkan tujuan khusus atau issu permasalahan yang harus dipecahkan melalui program-program, (5) memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah sebagai organisasi independen atau jaringan koordinasi dari organisasi-organisasi yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi pengelolaan), dan (6) mencirikan integrasi dua atau lebih sektor berdasarkan pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan.

(52)

26

merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, dan permukiman. Demikian juga dengan keterkaitan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut (Bengen, 2005).

Menurut Kodoatie (2004), pengelolaan kawasan pantai terpadu diwujudkan dalam bentuk rencana induk (master plan) pengelolaan kawasan pantai terpadu, baik tingkat nasional/provinsi maupun kabupaten/kota. Master plan itu terdiri atas beberapa hal yang saling berkait secara integral, yaitu meteorologi pantai, oseanografi, hidrografi pantai, coastal engineering, coastal management, sedimen transport, banjir, lingkungan pantai, bangunan pelindung pantai, pelabuhan, navigasi, estuari (mulut sungai), flora dan fauna pantai, aliran air tanah, pertanian, kependudukan dan urbanisasi, industri, satuan wilayah pantai, serta reklamasi pantai.

Selanjutnya untuk mempertahankan kelestarian dan keberadaan dari suatu sumber daya alam dan lingkungan, salah satu satu pendekatan yang dapat digunakan adalah melakukan penilaian terhadap daya dukung. Pendekatan ini digunakan untuk meminimalisasi kerusakan atau membatasi penggunaan sumber daya alam (Nurisyah et al., 2003).

Menurut Knudson (1980), daya dukung merupakan penggunaan secara lestari dan produktif dari suatu sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources). Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan yang lestari melalui ukuran kemampuannya. Konsep ini dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumber daya alam dan lingkungan sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat tetap terwujud, dan pada saat dan ruang yang sama, pengguna atau masyarakat pemakai sumber daya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera dan/atau tidak dirugikan (Nurisyah et al., 2003).

(53)

tingkat apresiasi dari pemakai sumber daya alam dan lingkungan, dan (3) bentuk pengelolaan (fisik, non fisik) yang bertujuan jelas dan berjangka panjang (Rahmadani, 2005). Kemudian sesuai tujuan yang ingin dicapai, beberapa bentuk pendugaan nilai da

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2. Batasan wilayah pesisir (Pernetta & Milliman, 1995 diacu dalam Dahuri, 1998)
Gambar 3. Skema kegiatan-kegiatan dalam evaluasi lahan (FAO, 1976)
Tabel 1. Kelas kesesuaian lahan dan deskripsi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan utama dalam pendirian USB dilatar belakangi keinginan dan kebulatan tekat yang tinggi untuk dapat bersama membangun bangsa melalui kegiatan sosial masyarakat yang

Dengan demikian, upaya yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberdayaan berbasis masjid sejalan dengan tahapan pemberdayaan di atas, yaitu: Pertama,penguatan dalam

%HUGDVDUNDQ KDVLO SHQJXMLDQ \DQJ GLODNXNDQ GDODP SHQHOLWLDQ LQL GHQJDQ PHQJJXQDNDQ PRGHO UHJUHVL OLQHU EHUJDQGD GLWHPXNDQ EDKZD GLVFUHWLRQDU\ DFFUXDOV EHUSHQJDUXK QHJDWLI

Hasil dari pekerjaan pada tanggal 18 Juli 2017 adalah penulis dapat memasukan data pada website Denpasar Smart City dengan hasil :. Jumlah Data yang di dicari

Langkah kerja menutup outdoor unit seperti posisi semula memiliki hasil yang lebih baik dengan peserta didik 3, 4, 5 dan 6 memiliki rata-rata waktu yang

Dari ke 25 jenis pohon ini setelah melihat dengan beberapa referensi yang ada (Ferisa dan Indrayana, 2008; Purwadi, 2010; Thomas, 2014; Atmoko et al , 2016) dan hasil

Hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan : 1) Kelompok nelayan Malos 3 merupakan kelompok nelayan yang memiliki aktivitas menangkap ikan dengan bebagai jenis alat tangkap,