• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Kota Tepi Air ( Waterfront City )

Pengertian waterfront secara harfiah adalah tepi air, bagian kota yang berbatasan dengan air. Menurut Nugroho (2000) diacu dalam Ayuputri (2006),

waterfront merupakan penerapan konsep tepian air (laut, sungai/kanal, atau danau) sebagai halaman depan, tempat tepian air tersebut dipandang sebagai bagian lingkungan yang harus dipelihara, bukan halaman belakang yang dipandang sebagai tempat pembuangan. Waterfront city mempunyai arti suatu lingkungan perkotaan yang berada di tepi atau dekat wilayah perairan, misalnya lokasi area pelabuhan besar di kota metropolitan (Wrenn, 1983).

Soesanti dan Sastrawan (2006) mengemukakan waterfront berdasarkan tipe proyeknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development). Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Redevelopment adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada. Development adalah usaha menciptakan

waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai. Menurut Breen dan Rigby (1996) diacu dalam Sairinen dan Kumpulainen (2006), waterfront berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu mixed-used waterfront, recreational waterfront, residential waterfront, dan working waterfront. Mixed-used waterfront adalah waterfront

yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan. Recreational waterfront adalah semua kawasan waterfront yang menyediakan sarana dan prasana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar. Residential waterfront adalah perumahan, apartemen, dan resort yang dibangun di pinggir perairan. Working waterfront adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsi- fungsi pelabuhan.

Berdasarkan konsep waterfront city, suatu kota dapat berada di tepi laut/pantai, di tepi sungai/kanal, atau di tepi danau. Toronto dan Yunani merupakan contoh kota yang berada di tepi laut, Bangkok sebagai contoh kota yang berada di tepi sungai, dan Amsterdam merupakan contoh kota yang berada di tepi kanal. Menurut Laidley (2007), Kota Toronto yang direncanakan oleh

Toronto Waterfront Revitalization Corporation merupakan pengembangan kota tepi laut yang memposisikan kawasan tepi laut sebagai bagian penting dalam perkembangan perekonomian kota dan menjadikan kawasan tepi laut Toronto sebagai pintu gerbang baru ke Canada. Kota-kota di Yunani juga merupakan contoh pengembangan kota dengan konsep waterfront city. Pengembangan kembali (redevelopment) bertujuan memperbaiki kualitas ruang inti dari kota-kota di Yunani dan mengembangkan pariwisata sesuai karakteristik waterfront

(Gospodini, 2001). Menurut Wijanarka (2008), Bangkok sebagai kota tepi sungai didesain dengan konsep waterfront yang terlihat dari adanya tiga kanal yang menghubungkan Sungai Chao Phraya, adanya jalan darat di tepi Sungai Chao Phraya yang didesain mengikuti pola sungai, dan adanya reklamasi di tepi Sungai Chao Phraya yang dipersiapkan untuk lahan rumah tinggal bagi para pendatang. Kota Amsterdam yang berawal dari permukiman nelayan yang terletak di muara Sungai Amstel didesain dengan sistem kanal. Selain itu, bangunan kota juga didesain dengan setting mengikuti pola kanal dengan arah bangunan ke arah kanal.

Sebagian besar kota-kota penting di Indonesia terletak di tepi laut. Menurut Suprijanto (2000), kota tepi laut atau disebut kota pantai merupakan suatu kota dengan segala ukuran yang dinamis dan unik tempat darat dan laut bertemu

12

(kawasan pantai) dan harus dipertahankan keunikannya. Batasan kawasan kota pantai tidak hanya mencakup bagian kota di darat atau berhadapan dengan laut saja, tetapi juga mencakup bagian yang berada di atas air.

Keberadaan dan perkembangan kota pantai tidak lepas dari fungsinya saat awal pembukaan dan didirikannya, yaitu sebagai akses hubungan antara pedalaman dengan dunia luar. Menurut Suprijanto (2000), kota pantai sebagai salah satu bentuk kota tepi air pada dasarnya berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi bagian dari jalur perdagangan internasional. Hantoro (2007) mengemukakan ciri utama perkembangan kota pantai diawali sebagai tempat berlabuh kapal dan alur-alur jalan yang menghubungkannya dengan pedalaman yang menghasilkan produk pertanian atau perambahan hutan. Suprijanto (2000) menjelaskan pada perkembangan selanjutnya kawasan kota pantai menjadi tempat yang menarik untuk permukiman.

Kedudukan kawasan kota pantai merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari beberapa kawasan lain di kota induknya, tempat orientasi kegiatan kota pantai berbasis darat dan laut seperti perdagangan, pelabuhan dan transportasi, perikanan, serta permukiman. Di Indonesia, kawasan kota pantai dapat diarahkan pada tujuh jenis pengembangan, yaitu (1) kawasan komersial (perdagangan), (2) kawasan budaya, pendidikan, dan lingkungan hidup, (3) kawasan peninggalan bersejarah, (4) kawasan permukiman, (5) kawasan wisata (rekreasi), (6) kawasan pelabuhan dan transportasi, dan (7) kawasan pertahanan keamanan (Suprijanto, 2000).

Kawasan kota pantai cenderung tumbuh lebih cepat, baik secara demografis maupun ekonomis daripada kota-kota di wilayah lain. Akan tetapi, pesatnya pertumbuhan kota pantai sejak 10 tahun terakhir diikuti oleh sejumlah masalah, antara lain, terkait dengan masalah lingkungan dan keterbatasan sumberdaya (lahan, air, bahan konstruksi, dan lain-lain). Tingginya laju pertumbuhan perkotaan menyebabkan diabaikannya kapasitas daya dukung dan sifat asli dari kawasan pantai. Gejala alam yang sebetulnya memang sudah lazim terjadi dapat berdampak negatif sebagai ancaman bencana. Eksploitasi sumber daya di luar kawasan kota menyebabkan terganggunya keseimbangan alam yang berdampak

pada timbulnya berbagai bencana seperti banjir, longsor, erosi pantai, dan gelombang pasang (Hantoro, 2000).

Pengembangan kota pantai di Indonesia merupakan masalah yang harus ditangani secara seksama, karena Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia dan terdapat 516 kota andalan di Indonesia dengan 216 kota di antaranya merupakan kota tepi air yang berada di tepi laut (pantai), sungai, atau danau. Dibandingkan dengan kawasan tepi sungai atau danau, kawasan kota pantai mempunyai lebih banyak potensi untuk dikembangkan, terutama terkait dengan aspek fungsi dan aksesibilitas (Suprijanto, 2000). Setiap upaya mengembangkan kota pantai seharusnya mengenali potensi sumber daya, daya dukung lingkungan (karakteristik pantai), dan gejala alam di sekitarnya sehingga dapat dilakukan penyesuaian untuk memperkecil biaya ataupun resiko dampak di kemudian hari seiring perkembangan kota (Hantoro, 2007). Menurut Torre (1989), beberapa unsur yang dapat mendukung keberhasilan suatu waterfront sebagai berikut. 1. Tema

Elemen ini ditentukan oleh iklim, budaya, dan sejarah. Tema tersebut akan menentukan ruang-ruang yang akan dibentuk, tata guna lahan, material yang akan dipakai, skala, dan makna waterfront sehingga tercipta suatu keunikan yang menarik pengunjung dan menimbulkan perasaan untuk kembali lagi. 2. Kesan (image)

Kesan publik akan mempengaruhi minatnya untuk mengunjungi waterfront. Keinginan untuk mengunjungi suatu kawasan waterfront akan sulit dihidupkan apabila kesan masyarakat sudah negatif. Oleh karena itu, harus ditimbulkan kesan positif sebelum mengembangkan waterfront, misalnya melalui promosi atau pertemuan terbuka.

3. Keaslian

Karakter waterfront yang akan dikembangkan harus ditemukan dan dipertahankan sehingga akan menimbulkan suatu keunikan dan meningkatkan daya tariknya.

4. Kegiatan

Jenis kegiatan harus disusun sedemikian rupa sehingga urutannya dapat dinikmati secara baik oleh pengunjung. Kemudahan pencapaian, sirkulasi, dan

14

pengalaman yang menarik harus tetap diperhatikan. Hal yang paling diminati pengunjung adalah kesempatan untuk makan atau duduk santai sambil melihat-lihat.

5. Persepsi publik

Sebelum pengembangan dimulai, publik harus diyakinkan bahwa kegiatan ini akan meningkatkan kualitas kawasan sekitarnya dan kegiatan yang sudah terbentuk tidak akan terganggu dengan adanya pengembangan ini. Tujuan ini dapat dicapai dengan menginformasikan kepada masyarakat tentang kegiatan yang akan berlangsung sehingga masyarakat akan mendukung keberhasilan pengembangan kawasan waterfront.

6. Pelestarian lingkungan

Pengembangan waterfront harus tetap melestarikan lingkungan, bahkan jika memungkinkan dapat memperbaiki lingkungan yang rusak. Selain itu, pengembangan sedapat mungkin mengurangi dampak lingkungan dan memanfaatkan secara maksimal sumber daya alam yang ada.

7. Teknologi konstruksi

Tugas utama dalam bidang konstruksi adalah membuat suatu metode yang dapat menstabilkan garis pertemuan antara darat dan air.

8. Manajemen

Manajemen yang baik dan efektif terhadap pemeliharaan kawasan dan peningkatan daya tarik dengan mengadakan kegiatan berkala sangat diperlukan untuk menghidupkan kawasan pantai.