• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menghafal al-Qur’an dalam pendidikan formal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Menghafal al-Qur’an dalam pendidikan formal"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

MENGHAFAL AL-QUR’AN DALAM PENDIDIKAN FORMAL1

Hafalan Sebagai Formalitas

Beberapa tahun terakhir ini para orang tua diserbu beragam tawaran sekolah

yang bersemangat membawa bendera Islami. Salah satu bentuk Islami yang ditawarkan adalah kewajiban bagi para murid untuk menghafal ayat-ayat al-Qur‟an.

Harapan utama yang biasa disebarkan adalah lahirnya generasi-generasi penerus

bangsa yang mumpuni dalam keilmuan dan matang dalam spiritual. Karena, al-Qur‟an adalah sumber dari beragam hukum Islam dan pedoman utama umat Islam dalam menjalani kehidupan, maka dengan hafal al-Qur‟an, anak didik akan termotivasi untuk memahami maknanya dan menghubungkan dengan kehidupan

atau benar-benar mampu menjadikannya sebagai petunjuk dalam setiap problem

hidup.

Inilah impian atau cita-cita besar yang sering didengungkan oleh pihak

sekolah kepada para murid dan para wali murid. Namun, seiring dengan perjalanan

waktu cita-cita besar itupun belum dapat terwujud secara maksimal. Terbukti dari

minimnya, bahkan mungkin tidak ada, para siswa-siswi yang mampu

mempertahankan hafalan ayat-ayat tersebut sampai akhir masa studi. Artinya, ketika

para murid sudah kelas VI untuk SD dan kelas III untuk SMP, misalnya, tidak ada

ayat yang terpatri secara sempurna, bukan sepotong-potong, dalam memori otaknya

kecuali hanya beberapa ayat yang dibaca 1 semester terakhir. Sedangkan ayat-ayat

yang beberapa tahun sebelumnya telah dihafalkan dengan susah payah hilang entah

ke mana termakan masa. Padahal ibarat petani, para orang tua ingin menuai hasil

tanamannya yang ditunggu-tunggu selama 6 tahun atau 3 tahun berupa kemampuan anaknya melafalkan juz 30 (juz „amma) atau surah-surah tertentu atau

bahkan beberapa juz dari keseluruhan al-Qur‟an secara baik dan benar tanpa

melihat teks al-Qur‟an (bi al-ghaib).

1

Artikel telah dimuat di majalah Mimbar Pendidikan Agama Departemen Agama wilayah Jawa Timur

(2)

2

Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa upaya menghafal ayat-ayat al-Qur‟an dalam sekolah-sekolah formal hanyalah sebatas formalitas. Posisi perintah menghafal ayat al-Qur‟an tidak berbeda dengan perintah atau tawaran mengikuti

kursus melukis, menari dalam deretan program-program ekstrakurikuler. Posisi

materi tahfidz al-Qur‟an tak ubahnya seperti materi bahasa Indonesia, matematika

atau materi lainnya yang target utamanya adalah lulus ujian. Akibatnya, berapapun

ayat yang telah disetorkan secara hafalan akan lupa atau terlupakan pasca ujian.

Tulisan ini bukan bermaksud menghapus kegiatan menghafal al-Quran dalam

beberapa sekolah formal yang dikemas secara islami dengan beragam nama antara

lain, SDIT, SD Plus, SMPIT, SMP Plus dan sejenisnya. Akan tetapi, melalui tulisan ini

penulis berharap dapat ikut membantu memaksimalkan terwujudnya tujuan mulia,

sebagaimana yang telah disebutkan, sehingga tidak terkesan sia-sia waktu, tenaga

pikiran juga biaya. Membuang-buang uang karena biasanya sekolah yang berlabel

agama lebih mahal dari yang tanpa label atau sekolah umum. Sedangkan sia-sia

tenaga, pikiran dan waktu, karena upaya menghafal yang susah payah ini pada

akhirnya tidak tampak nyata hasilnya.

Melacak Sebab Kegagalan

Sebatas pengamatan penulis, ada 3 hal yang menjadi sebab kegagalan

penerapan tahfîdz di sekolah-sekolah formal. Pertama, management tahfîdz yang

diterapkan oleh pembina hafalan. Biasanya para instruktur atau pembimbing tahfidz

hanya menekankan “menambah hafalan”, misalnya 1 hari harus minimal 2 ayat

tanpa ada penekanan untuk takrîr atau mengulang-ulang ayat-ayat yang telah

dihafal. Kedua, orang tua. Biasanya orang tua merasa kasihan terhadap anaknya

yang sudah terbebani dengan beragam mata pelajaran dengan beragam tugasnya,

sehingga tidak ada upaya membimbing anak untuk mengulang-ulang hafalannya di

rumah. Di samping itu, bagi para orang tua, posisi tahfidz al-Qur‟an dalam sekolah

tersebut hanya ekstrakurikuler tidak ada kaitannya dengan ujian negara ataupun

(3)

3

atau yayasan hanya menyerahkan atau mempercayakan 99% kepada instruktur

tahfidznya pola atau metode yang akan diterapkan.

Kebijakan atau sikap dari ketiga pihak inilah yang sangat berpengaruh pada

berhasil tidaknya program tahfidz di sekolah formal. Anak didik tidak termasuk

dalam deretan penanggung jawab, karena ia masih anak-anak yang masih belum

mampu menentukan sendiri pilihan masa depannya. Anak dengan beragam talenta

yang dianugerahkan Tuhan kepadanya sangat tergantung kepada siapa yang

mengarahkannya dan bagaimana management yang dipakai. Dengan demikian,

sangatlah keliru anggapan bahwa ketidakmampuan anak melafalkan kembali semua

ayat yang pernah dihafalnya adalah keteledoran anak itu sendiri.

Kegagalan dalam memanej tahfidz al-Qur‟an dalam lembaga-lembaga

pendidikan juga akan berdampak pada sikap apatis terhadap program hafalan al-Qur‟an. Ada sebagian masyarakat yang menolak kegiatan menghafal al-Qur‟an baik

di dalam sekolah-sekolah formal maupun pesantren-pesantren non formal. Dalih

utama yang diutarakan adalah pada akhirnya tidak ada perbedaan antara anak-anak

yang selama 3 atau 6 tahun pernah menghafal dengan anak-anak yang sama sekali

tidak pernah diperintah untuk tahfidz al-Qur‟an. Keduanya tidak bisa melafalkan

ayat-ayat tersebut tanpa melihat teks al-Qur‟an, paling tidak, 2 atau 3 tahun setelah

proses menghafal, apalagi setelah mereka dewasa.

Solusi

Otak adalah organ tubuh ciptaan Allah yang luar biasa kekuatan memorinya

melebihi alat-alat elektronik ciptaan manusia. Semakin sering tersentuh rangsangan

maka semakin kuat daya tangkapnya. Sebaliknya, semakin kurang sentuhan, maka

semakin melemah kekuatan memorinya. Pada dasarnya otak anak mampu menerima

atau menyimpan memori apapun jika disentuh dengan tehnik-tehnik yang tepat.

(4)

4

Upaya melahirkan hafidz hafidzah merupakan cita-cita mulia yang seharusnya

dibarengi dengan kerja keras yang juga mulia dari berbagai pihak yaitu pimpinan

sekolah, pembina tahfidz, orang tua dan anak didik. Kerjasama yang baik dari

keempat pihak inilah yang akan menjadi soslusi dari kegagalan program tahfidz di

sekolah-sekolah. Pertama, kepala sekolah atau ketua yayasan sebagai pemegang

kebijakan dalam keputusan-keputusan yang ditetapkan, termasuk keputusan kewajiban menghafal al-Qur‟an harus mempertegas tujuan utama mengadakan

program tahfidz dalam sekolahnya, apakah hanya sebatas formalitas (marketable)

ataukah memang melahirkan hafidz hafidzah yang dapat di pertanggung jawabkan

meski hanya sebagian dari ayat-ayat al-Qur‟an. Jika tahfidz hanya sebatas

formalitas, sekedar latihan hafalan atau sekedar melahirkan “mantan

hafidz-hafidzah”, maka mental para orang tua termasuk anak didiknya harus dipersiapkan, sehingga tidak ada tuntutan para wali murid kepada sekolahan termsauk juga

penyesalan para siswanya karena lenyapnya ayat-ayat yang telah dihafalkan.

Sedangkan jika program ini benar-benar ingin mencetak hafidz-hafidzah yang siap

dibekali pelajaran lain pasca tahfidz untuk pengembangan dan pendalaman hafalan

mereka, maka orang tua juga harus diajak kerjasama ikut andil menjaga hafalan

tersebut atau sering diulang-ulang di rumah. Demikian juga, para siswa harus sering

diberikan wawasan atas tanggungjawab menjaga ayat-ayat yang telah dihafalkan.

Apapun tujuan atau motivasi dari program tahfidz seharusnya kepala sekolah atau

ketua yayasan mengkomunikasikannya kepada pihak orang tua, sekaligus siswa dan

para pembimbingnya, sehingga merekapun bisa menerima masing-masing

konsekuensinya.

Kedua, pihak wali murid atau orang tua. Sebelum memasukkan anak ke

sekolah tersebut seharusnya orang tua menanyakan program tahfidz tersebut,

sehingga siap menerima segala konsekuansinya. Sebaiknya orang tua selalu ikut

mengulang-ulang hafalan anak, sehingga tidak terkesan membuang-buang waktu,

tenaga juga biaya. Karena, hampir setiap hari anak ditagih atau ditekan untuk setor

(5)

5

hilang dalam sekejap. Membuang biaya karena salah satu jawaban dari pertanyaan

mengapa sekolah ini mahal adalah karena ada materi keagamaan antara lain solat jamaah dan bimbingan menghafal al-Qur‟an.

Ketiga, instruktur tahfidz merupakan kunci kesuksesan program ini.

Seharusnya guru-guru tahfidz merubah slogan “memperbanyak hafalan” dengan

“memperlancar hafalan”, sedikit hafalan tetapi lancar dan tepat secara tajwid

daripada banyak tetapi tidak lancar dan tidak mujawwad. Prinsip inilah yang harus

ditanamkan. Karena, kemampuan menghafal anak berbeda-beda. Istiqomah atau

kontiniutas inilah yang menjadi penentu bukan kecerdasan anak untuk menambah

beberapa ayat dalam sehari, sehingga peringkat yang diberikan adalah sedikit tapi

lancar itu lebih bertanggung jawab dari pada banyak ayat tapi tidak lancar

membacanya, bahkan hilang hafalannya.

Keempat, anak sebagai obyek yang dibebani menghafal al-Qur‟an. Sebagai

obyek seharusnya anak diberikan sedikit pengertian tentang kegiatan menghafal al-Qur‟an yang arahnya pada kecintaan anak pada kitab sucinya. Hal ini bertujuan agar proses menghafal al-Qur‟an dilakukan tidak dengan terpaksa tetapi penuh dengan

semangat keceriaan. Sikap senang, ceria, enjoy ketika menghafal ayat-ayat

dibarengi dengan tehnik-tehnik yang tidak monoton akan mempermudah dan

mempercepat daya ingat anak sekaligus menumbuhkan kerjasama yang baik antara

otak kiri dan otak kanan anak didik.

Demikianlah sedikit sumbangsih penulis demi peningkatan mutu kualitas

pendidikan kita. Bukan sekedar slogan dan simbol-simbol yang ditonjolkan tetapi

bukti nyata yang ditampilkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi berbagai pihak.

Penulis,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum IMZI, M.A.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis menunjukkan bahwa Intensitas Pembelajaran Al-Qur’an Pada Kelas VIII di SMP Plus Citra Madinatul Ilmi Kota Citra Graha Banjarbaru sudah terlaksana yaitu

Penelitian ini mencoba mengevaluasi kembali reservoir agar dapat memenuhi kebutuhan air baku harian di kedua desa, dan merencanakan dimensi reservoir sesuai

Hasil analisis data lainnya pada penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Martinez-marti, Avia, dan Hernands-Loreda (2010) yang menunjukan bahwa

Pada prinsipnya, perbedaan tekanan pada sisi upstream dan downstream dari core plug akan menyebabkan fluida dapat mengalir, namun hal yang patut diperhatikan adalah dalam

Kalau Maggy menempatkan dirinya sebagai junior - meskipun dalam perjalanan waktu ada lagi keluarga muda yang lebih junior daripada dia sendiri - saya pasti termasuk dalam

Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja Kepala Kampung Nduma dalam mengkoordinasikan (memfasilitasi) perencanaan pembangunan secara partisipatif dengan cukup

Pertanyaannya adalah bagaimanakah proses pembelajaran dalam perkuliahan geometri untuk mahasiswa calon guru matematika yang dapat menumbuhkembangkan kemampuan berpikir

Kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit yang efektif serta ketersediaan informasi kualitas debitur yang diandalkan dapat dicapai apabila didukung oleh sistem