• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epistemologi immanuel kant

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Epistemologi immanuel kant"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)

Oleh:

Abdul Holik

NIM:

PROGRAM STUDI AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

atas sistem-sistem sebelumnya dalam tradisi filsafat Barat. Melalui pengujian sejumlah persoalan yang sudah dianggap taken for granted, Kant merumuskan ulang validitas kebenaran pengetahuan secara lebih radikal. Sampai saat ini, pemikiran Kant tetap menarik untuk dikaji.

Melalui proyek filosofis yang digagasnya, Kant telah merintis sesuatu yang berharga bagi pengembangan dan penyelidikan selanjutnya. Dengan cukup berani, Kant mendorong suatu kemajuan besar dalam tataran teoritis yang lebih ketat, dan rasional.

Kant sendiri tidak menilai bahwa dirinya adalah seorang pioneer. Dalam

karyanya, Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, Kant dengan rendah

hati mengaku bahwa dirinya dibangunkan dari tidur dogmatis oleh kritisisme David Hume. Bahkan, dalam karya besarnya, Kritik der reinen Vernunft, Kant tanpa malu-malu menyatakan bahwa pemikirannya mendapat stimulus dari para tokoh-tokoh sebelumnya.

Dalam beberapa rumusan, semisal konsep kategori, pengertian substansi dan ide, Kant justru meminjamnya dari pemikir Yunani Kuno, yakni Aristoteles, dan Plato. Apa yang dilakukan Kant adalah berupaya mempertajam dan menjelaskan secara lebih proporsional masalah-masalah tersebut.

Sayangnya, beberapa komentator akhirnya dengan “gegabah” menganggap pemikiran Kant tidak asli dan sekedar kutipan. Umumnya pandangan semacam ini dikarenakan mereka tidak melihat secara utuh apa yang coba dibangun Kant. Dengan sistem yang disebutnya seperti revolusi Copernicus dalam ilmu alam, Kant mengubah sebuah konsepsi yang selama ini diterima begitu saja dalam tradisi filsafat Barat.

Para filsuf sebelum Kant, tidak ada yang mempersoalkan problem akut dalam diri subjek ketika menerima sejumlah informasi. Alih-alih menyelidiki substansi pengetahuan dalam pikiran manusia, Kant terlebih dahulu menelusuri problem mendasar pada diri subjek, untuk ditempatkan pada kedudukan yang sepantasnya.

Dengan usahanya itu, Kant mencari dasar-dasar yang lebih ketat, mengenai proses hadirnya pengetahuan, untuk dapat diuji secara rasional dan terhindar dari kesesatan. Pada kesimpulan akhirnya, Kant menganggap bahwa pengetahuan selalu berkenaan dengan pengalaman, dan pengetahuan manusia hanya bisa meluas berkenaan dengan pengalaman yang diraihnya. Bahkan, kebenaran metematika yang diperoleh dengan dasar-dasar a priori, selalu dapat dijelaskan dalam tatanan empiris. Meskipun demikian, pengalaman tetap harus diuji secara rasional agar bisa mencapai kebenaran pengetahuan universal.

(7)

vi

Skripsi yang ada di tangan pembaca, “Epistemologi Immanuel Kant”,

adalah penelitian saya guna mendapat gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) di Jurusan

Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah.

Perkenalan pertama dengan Kant, dimulai saat saya menjadi santri di

MTM Cirebon, tahun . Waktu itu, bagi saya tulisan Kant agak sulit dipahami.

Bahasanya “bertele-tele”, susunan kalimatnya panjang-panjang, padat, rigorous,

dst. Susah memahami filsafat Kant. Yang paling mudah diingat adalah kisah

hidupnya; seorang penyendiri yang pandai bergaul dan berwawasan luas, tapi tak

pernah keluar melebihi jarak km., dari rumahnya. Banyak hal yang membuat

saya penasaran untuk menekuni pemikiran tokoh yang sangat disiplin dalam

kehidupannya ini. Bahkan karena sangat disiplinnya, ia sampai lupa berkeluarga.

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Yang Kuddus, akhirnya

penelitian ini bisa selesai dengan mudah, meski tak luput dari berbagai kendala

yang harus saya hadapi. Ucapan terima kasih saya haturkan kepada H. Musthofa

dan Hj. Rofiah, atas kesabaran dan keikhlasannya, mendukung dan mendoakan

saya sehingga bisa menyelesaikan kuliah di UIN. Juga terima kasih kepada Ade

Nurhadi, S.Ag., dan Nurlaela S.Ag., atas segenap dukungannya yang tak ternilai.

Di samping itu, saya merasa berhutang budi kepada banyak pihak yang

telah membantu penyelesaian tugas ini. Saya ingin menyampaikan penghargaan

khusus kepada Dr. Fariz Pari, yang telah mengorbankan waktu untuk memberikan

bimbingan dan bantuan moralnya, serta referensi berharga kepada saya. Terima

(8)

vii

pinjaman bukunya yang sangat berarti bagi saya.

Yang tak kalah pentingnya, ucapan terima kasih saya sampaikan kepada

pengelola Perpustakaan UIN, Perpustakaan Freedom-Institute, Perpustakaan STF.

Driyarkara, atas kemudahan memperoleh sumber bacaan; kepada kawan-kawan

mahasiswi di FK Gigi Unisyah, terima kasih atas dukungan, dan motivasi selama

penelitian, serta informasi seputar kesehatan; kepada mahasiswa dan mahasiswi

UIN Syahida—yang tak mungkin disebutkan namanya satu persatu—terima kasih

atas segala informasi, dan “kritik”—kendati cenderung dekstruktif—kepada saya;

terima kasih kepada kawan-kawan di “Amateur Astronomical Society of Jakarta”,

atas dorongan semangat mempelajari fenomena alam semesta; kepada para aktivis

di PSU (Pos Solidaritas Umat), terima kasih telah melibatkan saya dalam upaya

penyediaan pendidikan agama bagi kaum subaltern di Ciputat; serta terima kasih

saya ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dengan caranya

masing-masing, selama saya berada di Ciputat dan Jakarta. Jazakumullâh ahsan al-jazâ`.

Semoga hasil penelitian ini bisa berkontribusi secara positif dalam

panorama diskursus filsafat di tanah air, khususnya tentang pemikiran Immanuel

Kant. The Last but not least, saya sangat mengapresiasi segala masukan, kritik

dan saran dari para pembaca sekalian atas hasil penelitian ini.

Jakarta, Oktober

(9)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERYATAAN . . . i

PERNYATAAN PERSETUJUAN . . . ii

LEMBAR PENGESAHAN . . . .iii

TABEL TRANSLITERASI . . . iv

ABSTRAKSI . . . .v

KATA PENGANTAR . . . vi

DAFTAR ISI . . . viii

BAB I PENDAHULUAN . . .

A. Latar Belakang Masalah . . .

Perumusan Masalah . . .

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian . . .

a). Tujuan Penelitian . . .

b). Manfaat Penelitian . . .

C. Metode Penelitian . . . . . . . . .

D. Sistematika Penulisan . . . .

BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL IMMANUEL KANT . . .

A. Latar Belakang Sosial . . . .

B. Periodisasi Perkembangan Intelektual dan Karya-Karyanya . . .

BAB III EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT . . .

A. Sejarah Epistemologi . . .

B. Rasionalisme . . .

C. Empirisme . . .

(10)

ix

A. Kritik atas Rasionalisme dan Empirisme . . .

B. Konsep Ruang dan Waktu . . .

C. Konsep Dua Belas Kategori sebagai Turunan (Derivation) Dua

Belas Jenis Putusan . . . .

C. . Kuantitas . . .

C. . Kualitas . . .

C. . Relasi . . .

C. . Modalitas . . .

D. Deduksi Transendental . . . .

E. Konsep Transendental Akal . . .

F. Tiga Kecenderungan Akal . . .

F. . Paralogisme . . .

F. . Antinomi . . . .

F. . Ideal Akal Murni . . .

G. Tinjauan Pengetahuan Menurut al-Imâm al-Ghazâlî . . .

BAB V PENUTUP . . .

A. Kesimpulan . . .

B. Saran-Saran . . . .

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 2009, publik Indonesia sempat digemparkan oleh sosok Ponari,

seorang bocah yang secara tiba-tiba mampu mengobati orang sakit. Kiprahnya

menuai kontroversi, karena metode penyembuhannya hanya bermodalkan sebuah

batu yang ditemukannya di saat hujan. Sejumlah umat Islam bahkan mengutuk

prakteknya, dengan alasan “menggelikan”: menuhankan batu. Kisah ini sempat

membuat resah dunia kedokteran. Pasalnya, Ponari menyalahi metode yang sah

dalam praktek pengobatan. Tapi, meskipun menuai protes dari banyak pihak,

sebagian masyarakat tetap percaya dan yakin pada keampuhan batu Ponari:

sebuah batu bertuah yang dapat menyembuhkan.

Kisah kehebohan dukun cilik dari Jombang di atas merupakan pelajaran

bahwa di saat ilmu pengetahuan dan teknologi sudah semakin maju, sebagian

masyarakat Indonesia masih larut ke dalam mitos-mitos. Penemuan penting di

bidang medis, tidak mampu membebaskan mentalitas bangsa ini dari perkara

klenik. Dalam hal ini, peristiwa di atas tidaklah terlalu mengherankan, karena pada

dasarnya setiap bangsa memiliki semangat filosofis tertentu. Nilai-nilai filosofis

ini mempengaruhi kehidupan suatu masyarakat. Setiap bangsa memiliki semangat

filosofis yang berbeda-beda pada masanya. Bertrand Russel menulis:

“To understand an age or nation, we must understand its philosophy, and to understand its philosophy we must ourselves be in some degree philosophers. There is here a reciprocal causation: the circumstances of men’s lives do much to determine their philosophy, but, it conversely their philosophy does much to determine their circumstances”.1

1

(12)

Paparan Russel bahwa kehidupan sebuah zaman dipengaruhi oleh suatu

sistem filsafat, agaknya cukup beralasan. Zaman yang berubah menciptakan fase

baru dalam kehidupan. Perubahan itu hanya bisa terjadi di suatu masyarakat yang

mampu menerima kemajuan, sehingga ilmu pengetahuan bisa berkembang dan

menghasilkan banyak kemudahan. Jika ditelusuri ke belakang, gerakan revolusi

saintifik yang memuncak di Eropa abad ke-17,2 dan diikuti terjadinya pencerahan

(Aufklärung) abad ke-18, merupakan imbas dari ketekunan dan kerja keras

orang-orang Eropa pada beberapa abad sebelumnya. Sejak masa Renaissance abad ke-14

di Italia, telah dimulai kegiatan yang cukup serius dalam mengkaji kemegahan

warisan peradaban Yunani kuno.3 Dari hasil pembacaan serius dan kritis atas

tradisi klasik, para ahli mampu menghasilkan suatu kemajuan yang cukup

signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini dapat

diperoleh lewat peran para sarjana, kalangan terdidik dan peran para pemikir pada

umumnya.

Immanuel Kant adalah salah satu pemikir yang muncul di abad ke-18 dan

memiliki kiprah dalam kemajuan zamannya, terutama lewat karya-karya yang

dihasilkannya. Salah satu karyanya, Kritik der Reinen Vernunft—sebuah paparan

argumentatif tentang epistemologi—menjadi sebuah mahakarya brilian pada

masanya. Kendati telah lama dibicarakan, upaya merumuskan kembali

pemikirannya tetap menjadi isu yang cukup menarik. Hal ini tidak berlebihan,

filsafatnya, tetapi sebaliknya filsafat mereka juga dapat menentukan lingkungan kehidupannya”. Bertrand Russel, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day (London: George Allen and Unwin Ltd., 1961), h. 14

2

Robin Briggs, The Scientific Revolution of theSeventeenth Century (San Francisco: Harper & Row Publishers, Inc., 1973), h. 3

3

(13)

karena Kant telah mempengaruhi, sekaligus menginspirasi banyak tokoh yang

muncul setelahnya. Bahkan Kant dianggap sebagai filsuf yang paling berpengaruh

dalam lima ratus tahun terakhir.4 Sampai saat ini, pemikiran Kant tetap menjadi

isu perdebatan yang tak kunjung habis dibahas. Apa yang dilakukan Kant adalah

menghadirkan suatu formula baru dalam perumusan sistem filsafat. Filsafat Kant

menjadi tonggak sejarah pencerahan Eropa, dan pembahasan epistemologinya

menjadi salah satu tema yang banyak diminati hingga sekarang.

Meskipun masalah epistemologi sudah lama dibicarakan sejak zaman

kuno, tetapi perumusannya masih dibutuhkan hingga saat ini. Pasalnya,

perumusan masalah epistemologi menjadi acuan kerangka berpikir dalam

pengkajian ilmu pengetahuan. Kedinamisan ilmu pengetahuan merupakan

pengaruh yang dibentuk dalam suatu struktur nalar tertentu. Struktur nalar

dimaksudkan sebagai cara kerja akal dalam bingkai suatu kerangka berpikir, yang

berkembang dalam suatu masyarakat.5 Tidak dapat dipungkiri bahwa

perkembangan ilmu pengetahuan berhubungan sangat erat dengan alam pikiran

manusia, dalam sebuah komunitas masyarakat di zaman tertentu. Dalam suasana

kehidupan yang menganut kebebasan misalnya, kemajuan ilmu pengetahuan dapat

tercapai dengan mudah. Tapi sebaliknya, dalam masyarakat yang terkungkung

oleh misalnya tradisi, agama, atau kelompok, kemajuan ilmu pengetahuan akan

sedikit terhambat.6 Pengkajian epistemologi kiranya akan tetap memiliki dampak

4

Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 4

5

Di abad ke-20, Michel Foucault menyebut struktur berpikir yang berada dalam suatu masa dan lingkungan tertentu sebagai epistemé. Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 174

6

(14)

siginifikan, terutama dalam arus kemajuan ilmu pengetahuan hingga dewasa ini.

Karena dengan pengkajian kembali epistemologi, kita akan menemukan beragam

corak pemikiran yang dihasilkan umat manusia sebagai ekspresi kehidupan

zamannya. Sistem epistemologi Kant sampai saat ini hadir sebagai salah satu

kemajuan dalam wacana filsafat, tanpa memungkiri kritik-kritik yang dialamatkan

pada beberapa kelemahannya. Berkat usahanyalah, sejumlah terobosan baru mulai

bermunculan.

Jika dipetakan, proyek filosofis Kant akan berpusat pada tiga persoalan

mendasar: 1) Menjelaskan batas-batas pengetahuan manusia; 2) Memberikan

ketentuan asas-asas moralitas; 3) Memberi kejelasan tentang batas-batas penilaian

estetis. Bagian pertama dijabarkan Kant dalam buku, Kritik der Reinen Vernunft

(terjemahan Inggris: Critique of Pure Reason). Bagian kedua dijelaskan dalam

karya, Kritik der Praktischen Vernunft (terjemahan Inggris: Critique of Practical

Reason). Bagian ketiga dijelaskan dalam karya, Kritik der Urteilkraft (terjemahan

Inggris: Critique of Judgment). Lewat ketiga karya tersebut, Kant bertujuan untuk

menguji kesahihan pengetahuan manusia. Pengujian kesahihan dilakukan dengan

mengupayakan pencarian struktur-struktur a priori dalam diri subjek.

Kant dikenal sebagai orang yang mampu membalik sudut pandang dalam

tradisi pemikiran. Hal-hal yang dulu selalu diterima begitu saja, ternyata

dijungkirbalikkan oleh Kant. Sistem epistemologi Kant berusaha merumuskan

masalah, yang lebih menitikberatkan pada kondisi subjek. Subjek yang dimaksud

adalah manusia sebagai individu yang sadar diri dalam kehidupannya di dunia saat

ini. Kant mempertanyakan peran dan fungsi a priori dalam diri subjek, terkait

(15)

proses terciptanya pengetahuan. Alih-alih mempersoalkan isi pengetahuan, Kant

terlebih dahulu memeriksa fungsi dan mekanisme dalam diri subjek agar dapat

terciptanya pengetahuan. Dengan kata lain, validitas pengetahuan menjadi

permasalahan kemampuan manusia dalam mengolah informasi yang diterimanya.

Pencarian asas-asas a priori ini merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi filsafat

Barat.

Sebelum Kant, para filsuf cenderung tidak mempersoalkan permasalahan

peranan subjek. Mereka menerima kemampuan subjek apa adanya. Mereka tidak

memeriksa terkait peranan subjek ini. Ini dilema bagi Kant. Pada suatu titik

tertentu, para filsuf menegaskan nilai-nilai keobjektifan. Namun, mereka tidak

menjelaskan bagaimana kinerja struktur dalam diri tiap-tiap individu bisa

menghasilkan pengetahuan objektif. Secara keseluruhan, Kant menelusuri

jejak-jejak subjektifitas ini untuk ditempatkan pada kedudukan yang sepantasnya. Di

samping tentunya, klaim universalitas masih layak untuk dipertahankan. Jika dulu

para filsuf menggeluti masalah tentang isi pengetahuan, maka proyek filosofis

Kant lebih dicurahkan untuk menguji seberapa jauh data dalam pikiran manusia

itu mungkin disebut sebagai pengetahuan. Pengujian-pengujian ini dilakukan Kant

dengan suatu perangkat yang berasal dari dalam diri manusia.

Dengan acuan pada kemampuan subjek, Kant menerima suatu kepastian

adanya dua hal a priori: ruang dan waktu. Dua hal ini menggiring pada

pemahaman bahwa data maupun informasi dari luar, yang diterima kemampuan

manusia, pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifitas tiap-tiap

individu. Kant pada beberapa hal setuju dengan pandangan kaum empiris bahwa

(16)

Manusia bisa mempelajari sesuatu dari pengalamannya, yang tentunya melibatkan

kemampuan indera. Tapi, dia berbeda dari beberapa pemikir sebelumnya yang

meyakini keotentikan dan objektifitas data maupun informasi yang menjadi objek

pemikiran. Kant justru menganggap bahwa itu semua tidaklah netral. Kedua

fungsi a priori dalam diri subjek mengatur mekanisme penerimaan informasi dari

luar. Oleh karena itu, beragam informasi yang diterima akan ditentukan

batas-batasnya menurut kedua fungsi tersebut. Data yang diperoleh indera adalah

sesuatu yang sudah terpengaruhi oleh unsur subjek, sehingga bukan penampakan

utuh. Dengan begitu, benda-benda dalam dirinya sendiri, menurut Kant berada di

luar jangkauan manusia. Wilayah ini masih bersifat rahasia, dan tidak dapat

diketahui siapapun.

Data yang sudah diperoleh indera lewat intuisi, akan disampaikan kepada

fungsi a priori lain dalam diri subjek, yakni kemampuan untuk membentuk

beragam putusan. Putusan ini berupaya menentukan variabel-variabel tertentu,

serta menggolongkan data dalam beragam bentuk kategori dalam diri subjek.

Dengan adanya kemampuan untuk membuat putusan, informasi yang diperoleh

subjek dari kemampuan indera akan diteruskan ke dalam kategori yang menurut

Kant berjumlah dua belas. Konsep dua belas kategori ini merupakan fungsi a

priori, yang bekerja dalam tataran skema yang lebih luas dan rasional.

Selanjutnya, data yang sudah melewati tahap pengolongan kategori,

kemudian diangkat dan dilekatkan pada struktur lain. Struktur yang dimaksud

adalah fungsi a priori yang terakhir dalam diri subjek. Fungsi ini adalah

kemampuan intelek dalam menghasilkan proposisi-proposisi yang menyusun

(17)

yang masih berkutat dengan data maupun informasi yang diperoleh dari

kemampuan indera. Peran intelek sama sekali lepas dari unsur-unsur a posteriori

dan benar-benar a priori, karena fungsinya sekedar bersifat regulatif: mengatur

proposisi-proposisi untuk menghasilkan argumentasi. Fungsi ini hanya akan

menentukan batas-batas validitas tentang penyusunan kesimpulan. Inilah mengapa

sistem Kant disebut transendental, karena dia melakukan penelitian atas kaidah

murni a priori dalam diri subjek, sebagai batas penetapan validitas pengetahuan.7

Secara garis besar, peneguhan struktur subjek merupakan hal yang tidak terdapat

pada pandangan kaum empiris, dan dalam detailnya begitu berbeda dari kalangan

rasionalis.

Kant menyetujui gagasan bahwa kemampuan indera dapat menambah

pengetahuan. Akan tetapi, data yang didapatkan oleh indera akan bisa menjadi

pengetahuan setelah melewati semacam pengujian dari dalam diri subjek. Kant

sendiri tidak mengakui semua pengetahuan berasal dari indera. Ada pengetahuan

tertentu yang berasal dari kemampuan a priori subjek an sich. Secara keseluruhan

dalam sistem filsafatnya, Kant mengupayakan sintesis atas dua arus

kecenderungan pemikiran yang berkembang pada masanya. Dua kecenderungan

pemikiran yang dimaksud adalah rasionalisme dan empirisme. Kant berusaha

menyajikan sisi kelebihan dari tiap aliran dan membuktikan klaim validitas

keunggulan keduanya. Namun, dengan tanpa malu-malu Kant juga menunjukkan

pelbagai kelemahan akut yang menyelimuti bentuk penalaran kedua sistem

tersebut.

7

(18)

Dengan demikian, skripsi ini bertujuan untuk mengulas pemikiran

Immanuel Kant dalam masalah epistemologi. Sebagai pemikir garda depan dalam

bidang filsafat, khususnya di masa pencerahan, Kant sangat layak untuk kembali

dibicarakan. Kiprah Kant cukup penting, mengingat dampak pemikirannya yang

masih dapat dirasakan sampai saat ini.

B. Perumusan Masalah

Dengan paparan di atas, maka pokok masalah yang akan digali dalam

penelitian ini adalah tentang persoalan paradigma pemikiran filosofis, yakni

sistem epistemologi Immanuel Kant.

Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut: Bagaimana Konsep Epistemologi Immanuel Kant?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a) Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman atas sistem

epistemologi Immanuel Kant, yang cukup berpengaruh dalam diskursus filsafat.

Dengan penelitian ini diharapkan akan didapat kejelasan pemikiran Immanuel

Kant, yang mampu menyintesakan dua arus kecenderungan epistemologi dalam

sejarah filsafat Barat.

b) Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini, akan didapat suatu gambaran umum bagaimana

sebenarnya struktur nalar yang berkembang pada masa pencerahan, khususnya

(19)

D. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research) dengan

menggunakan metode deskriptif dan analisis-kritis. karya filosofis Immanuel Kant

dalam epistemologi—Critique of Pure Reason—menjadi referensi utama, disertai

tulisan para komentator dan karya para filsuf sebelum Kant yang berbicara tentang

epistemologi. Refensi tersebut digunakan untuk menemukan suatu gambaran

umum tentang diskursus epistemologi dalam tradisi filsafat Barat.

Metode deskriptif digunakan untuk menjelaskan kerangka acuan

pemikiran Kant, dengan pemaparan ide dan gagasannya sesuai dengan tulisannya

secara verbatim atau literer. Langkah ini digunakan untuk mengetahui sejauh

mana landasan awal, kerangka pikir Kant terkait sistem epistemologinya. Selain

itu, metode ini akan dengan mudah menemukan gambaran setting sosial dan

masyarakat tempat di mana Kant hidup, mengingat suatu pemikiran tidak bisa

lepas begitu saja dari kontek historis masyarakatnya.

Metode analisis-kritis digunakan untuk menempatkan posisi Kant dalam

khazanah pemikiran Barat. Berkat pengaruhnya yang cukup besar, Kant justru

menjadi sasaran kritik tiada habisnya. Tapi, di sisi lain dia pun dikagumi dan

dikutip pendapatnya oleh para pemikir sepanjang masa. Dengan metode ini,

diharapkan dapat seobjektif mungkin menempatkan Immanuel Kant secara

proporsional, yang telah memberikan kontribusi berharga dalam diskursus filsafat

pada umumnya.

Teknik penulisan dalam penelitian ini mengikuti standar yang ditetapkan

dalam buku, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi),

yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN

(20)

E. Sistematika Penulisan

Mengacu pada metode penelitian di atas, pembahasan dalam penelitian ini

disistematisasi sebagai berikut. Pembahasan bab satu diawali dengan menguraikan

latar belakang seputar studi ini. Dijelaskan pula beberapa hal terkait perubahan

zaman yang dipengaruhi oleh gerak pemikiran filsafat. Namun, begitu pula filsafat

dipengaruhi oleh kondisi zamannya. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan

masalah berkenaan dengan epistemologi Kant, menguraikan metode dilakukannya

pengkajian dan memaparkan tujuan dilakukannya pengkajian ini.

Bab dua menjelaskan latar belakang intelektual Immanuel Kant. Hal ini

menyangkut kondisi masyarakat di mana Kant hidup, periodisasi pemikirannya,

serta perkembangan dan karya-karyanya yang mempengaruhi banyak tokoh

hingga saat ini.

Bab tiga menjelaskan sejarah Epistemologi, yang tentunya tidak terlepas

dari konteks filsafat Barat sejak masa Yunani kuno, kemudian langsung

menjelaskan periode di masa modern di mana Kant hidup. Selanjutnya dipaparkan

pula penjelasan tentang aliran rasionalisme dan empirisme yang berpengaruh pada

suatu masa tertentu.

Bab empat menjelaskan sistem epistemologi Immanuel Kant. Dimulai dari

kritik yang dilancarkannya atas sistem-sistem yang ada, dalam upaya mengatasi

rasionalisme maupun empirisme. Kemudian penjelasan akan diteruskan dengan

paparan istilah-istilah teknis yang dibangun Kant. Di sini Kant memiliki rumusan

khas prinsip-prinsip a priori semisal konsep ruang dan waktu sebagai tahap

(21)

pembahasan tahap a priori lainnya, yakni tahap pemahaman (Verstand), dalam

bentuk analitik transendental. Dalam tahap ini, Kant mengajukan konsep dua

belas putusan, dua belas bentuk kategori, dan deduksi transendental. Kemudian

pembahasan dilanjutkan mengenai tahap terakhir, yakni tahap akal budi

(Vernunft), sebagai bentuk dialektika transendental. Tidak lupa juga diajukan

paparan Kant, tentang sikapnya dalam menghadapi kesalahan berpikir yang ia

rumuskan menjadi tiga: paralogisme, antinomi, dan ideal akal murni. Keseluruhan

gagasan ini (secara radikal) tidak lebih dari upaya mempermasalahkan batas-batas

validitas data, untuk bisa menjadi pengetahuan. Setelah itu, sebuah perbandingan

kritis tentang hakekat pengetahuan dalam Islam—yang diwakili oleh Imâm

al-Ghazâlî—dihadirkan sebagai penutup bab. Pembandingan antara al-Ghazâlî dan

Kant dinilai penting, karena kedua tokoh ini memiliki kiprah yang cukup

signifikan dalam sejarah dua peradaban yang berbeda: Islam dan Barat. Meskipun

antara keduanya lebih banyak perbedaan, namun posisi mereka dalam hal kritik

terhadap sistem-sistem epistemologi sama-sama penting. Dengan menelisik

pandangan mereka terkait pengetahuan, akan didapat suatu struktur perbandingan

alam pikiran keduanya yang mempengaruhi zamannya.

Bab lima diisi dengan penutup, sekaligus saran-saran bagi penelitian

selanjutnya terhadap pemikiran Kant. Dalam penelitian ini memang diakui,

pemikiran Kant sebagai sumber wacana filsafat, belum seutuhnya dapat dibahas

oleh penulis. Dengan begitu, pengkajian dan pembahasannya masih perlu

(22)

BAB II

BIOGRAFI INTELEKTUAL IMMANUEL KANT

A. Latar Belakang Sosial

Satu abad setelah terjadinya revolusi saintifik di abad ke-17, berupa

ditemukannya penemuan-penemuan penting dalam ilmu dan teknologi, muncul

suatu gelombang baru dalam babak sejarah Eropa, yakni periode pencerahan.8

Fase ini merupakan arus yang berpengaruh cukup signifikan dalam gerak sejarah

Eropa pada masa-masa berikutnya. Immanuel Kant merupakan figur yang cukup

diperhitungkan pada masa ini. Dalam majalah Berlinische Monatsschrift, terbit

Desember 1784, Kant sempat menuliskan maksud pencerahan yang terjadi di

masanya sebagai berikut:

Enlightenment is man’s emergence from his self-imposed immaturity.

Immaturity is the inability to use one’s understanding without guidance from another. This immaturity is self-imposed when its cause lies not in lack of understanding, but in lack of resolve and courage to use it without guidance from another. Sapere Aude! “have courage to use your own understanding!”—that is the motto of enlightenment. ”9

Pencerahan telah menjadi gejala sosial yang melanda masyarakat Eropa

waktu itu. Mereka tersadar untuk mengejar kebahagiaan hidup, dengan keberanian

bertindak menurut pertimbangan rasionya sendiri. Sapere Aude! adalah slogan

bagi pencerahan. Pengejaran kepentingan diri sudah menjadi maklum bagi semua

8

Kata “pencerahan” dalam bahasa Jerman Aufklärung, Les Lumieres (bahasa Prancis), Enlightenment (bahasa Inggris), Ilustracion (bahasa Spanyol), Iluminismo (bahasa Itali), Enlightenment (bahasa Inggris). F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2007),h. 94

9

(23)

orang, demi terwujudnya kebahagiaan. Kebahagiaan dapat diperoleh di dunia,

tanpa perlu mempertimbangkan kehidupan setelah kematian, maupun ketakutan

terhadap takhayul dan klaim keselamatan agama. Pandangan demikian

mempertajam gagasan yang pernah dilontarkan di masa Renaissance, sekaligus

mempertegas penolakan terhadap segala tatanan sosial abad pertengahan. Semakin

lama, tanggungjawab pribadi dalam menggunakan rasio memainkan peranan

cukup penting dalam kehidupan. Kesadaran ini menjadi arah baru yang

menentukan sikap dan mentalitas zaman itu. Pada awalnya, gerakan pencerahan

tidak berkembang begitu massif di beberapa wilayah. Gerakan pencerahan mulai

lebih dahulu di Inggris dan Prancis. Kedua negara ini memainkan peranan

penting, dibandingkan negara-negara lain, seperti Jerman. Hal itu tidaklah

mengherankan, terutama berkat dukungan yang begitu intens dari pemerintah di

dua negara tersebut dalam menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sejak abad ke-17, di Prancis kalangan terpelajar mendapat hak istimewa

lewat dukungan pemerintah, dengan didirikannya Académie des Sciences: sebuah

komunitas yang memiliki perhatian pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan.

Jumlah peserta dalam forum ini terbatas sebanyak 16 orang. Lembaga ini

menerbitkan jurnal Journal des Sçavans, sebagai media mempublikasikan

penelitiannya. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di Inggris. Dengan

dukungan para bangsawan, didirikanlah Royal Society: sebuah komunitas yang

aktif dalam pengembangan sains. Lembaga ini memiliki anggota yang tak

terbatas,10 sehingga sedikit berbeda dengan lembaga di Prancis. Memang tidak

bisa dipungkiri bahwa tidak semua penguasa, raja dan pangeran di Eropa pada

10

(24)

saat itu memiliki perhatian sama terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.

Kedua wilayah tersebut hanya mewakili arus utama kemajuan ilmu yang

berlangsung pada abad ke-17, dan berpengaruh terciptanya fase pencerahan pada

abad ke-18. Berdasarkan letak geografisnya, terdapat sejumlah kecenderungan

tertentu dan sedikit berbeda, yang menandai terjadinya pencerahan di beberapa

wilayah.

Pencerahan yang terjadi di Inggris ditandai dengan menyebarnya faham

Deisme.11 Istilah ini mengacu pada suatu pandangan bahwa alam semesta berjalan

dengan sendirinya, sesuai dengan kaidah hukum mekanis yang bisa diselidiki

secara ketat dan objektif. Kedudukan Tuhan sebagai pencipta, tidak memiliki

andil apapun dalam segala hal yang terjadi di alam semesta. Dunia terlepas dari

campur tangan Tuhan setelah diciptakan. Pandangan deisme sama sekali tidak

menghilangkan Tuhan, hanya pemahaman mereka tentang Tuhan diupayakan

lebih rasional. Pemahaman ini merupakan imbas dari penemuan besar filsafat

alam Newton tentang hukum-hukum fisika, serta terobosan baru filsafat empiris

John Locke. Namun, beberapa tokoh pencerahan kemudian, melangkah lebih jauh

dengan mengritik lembaga gereja, karena sikap agamawan tidak sejalan dengan

penemuan-penemuan ilmiah.

Gereja yang berfungsi sebagai sebuah pranata sosial, dalam pandangan

pemikir pencerahan sama sekali tidak memberikan andil pada kebahagiaan

manusia. Justru gereja yang selama ini melegitimasi kesengsaraan, karena tidak

memberi kebebasan mempergunakan akal. Manusia akhirnya harus tunduk di

bawah naungan iman dan otoritas keagamaan. Padahal manusia sebenarnya

11

(25)

memiliki kemampuan untuk bertindak bebas, termasuk menjelajahi alam. Alam

beserta isinya, termasuk manusia, memiliki suatu kaidah hukum mekanis yang

dapat diselidiki dan dipelajari. Prasangka akan kemisterian alam yang

menakutkan, dipenuhi mitos-mitos dan takhayul, sebenarnya dapat disingkirkan.

Alam beserta dengan segala yang dikandungnya, dapat ditaklukkan dengan

seperangkat kaidah ilmiah. Gagasan kaum deisme, pada perkembangan

selanjutnya tidak saja mengkritik gereja, tetapi kekristenan itu sendiri. Agama

Kristen dipandang sebagai sumber malapetaka. Hal ini merupakan titik balik

pemberontakan atas hegemoni kaum agamawan di era sebelumnya, yakni abad

pertengahan. Para sarjana kemudian mulai meninggalkan adat-istiadat lama yang

sering disuarakan kaum agamawan. Puncak titik balik ini bisa diartikan sebagai

ucapan selamat tinggal pada agama, serta segala hal yang berhubungan

dengannya. Otoritas iman agama diganti dengan pertimbangan rasional.

Selain penentangan terhadap agama, pencerahan di Inggris juga ditandai

dengan munculnya semangat individualisme. Dalam kehidupan bermasyarakat,

jelas kelihatan adanya perubahan-perubahan ruang lingkup hubungan sosial. Hal

ini bisa dilihat, misalnya pada pembagian pekerjaan berdasarkan pertimbangan

rasional, pengakuan kepemilikan pribadi, kedaulatan hukum, keadilan,

kesejahteraan dan sebagainya. Gagasan kemandirian individualisme dalam bidang

ekonomi menyebar dan berpengaruh cukup signifikan.12 Upaya pengejaran

kepentingan pribadi dan meninggalkan semangat kolektif, ras, golongan, dan

12

(26)

agama, sebenarnya sudah muncul di masa Renaissance. Akan tetapi peneguhan

yang lebih tegas, baru kelihatan di masa pencerahan. Sikap individualisme ini

menjadi gejala umum di kalangan masyarakat saat itu.

Apa yang terjadi di Inggris, nampaknya terjadi pula di Prancis. Dalam

beberapa hal, pencerahan di Prancis nampaknya sedikit berbeda dan lebih ekstrem

daripada di Inggris. Gagasan para pemikir pencerahan Prancis dipengaruhi oleh

pandangan filsafat empiris Inggris, John Locke, dan hukum fisika Isaac Newton.13

Sepakat dengan gagasan kedua tokoh tersebut, para pemikir Prancis lebih yakin

menggunakan metode dalam pengembangan ilmu pengetahuan lewat observasi

atas fenomena alam. Fakta-fakta yang berserakan menjadi sumber berharga untuk

merumuskan kaidah-kaidah ilmiah. Hukum fisika Newton menjadi landasan

utama bagi pandangan materialisme dan penolakan terhadap segala pemikiran

metafisika atas alam dan manusia. Kejadian-kejadian alamiah, yang diyakini

memuat seperangkat hukum kausalitas, dijadikan objek pengamatan dan

penelitian. Dengan begitu, penalaran spekulatif-deduktif lewat ide-ide bawaan

sama sekali ditinggalkan. Sikap demikian tentunya tidak bermaksud

meminggirkan metode deduktif-matematis, dan hanya mengupayakan analisis

pelbagai peristiwa. Dengan penelitian yang ketat atas pelbagai fakta-fakta

partikular, selanjutnya akan dilakukan sintesis, guna didapat suatu kaidah umum

berupa hukum atas fenomena alamiah. Sintesis yang diperoleh lewat observasi

tersebut, kemudian dijadikan ketetapan standar sebagai kebenaran universal.

Ide-ide pencerahan, pada gilirannya telah turut membantu menyiapkan pondasi

terjadinya gerakan positivisme di Prancis satu abad kemudian.

13

(27)

Selain itu, para pemikir pencerahan Prancis kelihatan lebih berpikiran

dekstruktif daripada konstruktif terkait masalah agama. Mereka sama sekali tidak

mencoba menawarkan pandangan baru yang lebih rasional tentang permasalahan

ini. Sejak semula, para pemikir pencerahan Prancis berupaya menolak agama dan

segala “bualan” metafisika tradisional.14 Gereja menurut mereka tidak lebih

merupakan perwujudan penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan, dan musuh bagi

kebebasan berpikir. Segala bentuk agama, baik Kristen, Yahudi, maupun

agama-agama lainnya, merupakan produk dari kebodohan, ketakutan, dan sangat tidak

sesuai dengan semangat kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sudah

selayaknya jika agama ditinggalkan, karena tidak membawa manfaat sama sekali.

Puncak kebencian terhadap agama dapat disaksikan, misalnya peristiwa pelucutan

gereja Notre Dame dari simbol-simbol keagamaan pada waktu terjadinya revolusi.

Di samping itu, para pemikir pencerahan Prancis kerap menujukkan sikap

bermusuhan terhadap sistem-sistem politik. Dalam tulisan-tulisannya, mereka

menyerang habis-habisan bentuk penindasan atas nama negara. Bahkan raja Louis

XVI, pemimpin negeri mereka sendiri, tak urung menjadi sasaran kritik.

Pemerintahan Louis XVI di Prancis, menurut mereka adalah rezim otoriter yang

kurang berpihak kepada rakyat. Kendati tidak semua tokoh sepakat tentang bentuk

sistem politik ideal, tapi kritik-kritik mereka jelas menampakkan sikap

bermusuhan dengan pemerintah Prancis. Gerakan pencerahan menunjukkan sikap

ofensif terhadap segala bentuk tirani, dan menemukan momentumnya yang riil

14

(28)

dalam terjadinya revolusi Prancis di tahun 1789.15 Revolusi Prancis yang

mengusung slogan liberté, égalité, dan fraternité, merupakan sebuah perjuangan

berdarah oleh rakyat dalam melawan ketidakadilan yang mereka alami. Karena

sikapnya yang kritis terhadap negaranya sendiri, beberapa tokoh pencerahan

mencari suaka di luar Prancis, misalnya ke Jerman.

Gelombang pencerahan di Jerman tidak seperti yang terjadi di Prancis atau

di Inggris. Di Jerman pencerahan berjalan lebih tenang dan damai. Pencerahan di

Jerman ditandai dengan minat yang besar terhadap studi kemanusiaan dan

kebudayaan. Banyak sastrawan besar yang bermunculan pada zaman ini, misalnya

J.W. von Goethe, Johann Gottfried von Herder, dan Gotthold Ephraim Lessing.

Begitu juga muncul tokoh pembaru estetika, Alexander Gottlieb Baumgarten. Di

kawasan ini tidak ditemukan adanya peristiwa-peristiwa dramatis, misalnya

penyerangan terhadap agama. Fenomena keagamaan di Prussia, tidak mendapat

serangan begitu tajam dari para filsuf. Kendati demikian, mereka tetap menjaga

jarak dari unsur-unsur relijius mainstream yang dikenal kaku dan membelenggu

kebebasan akal. Selain itu, para pemikir pencerahan Jerman pada umumnya

adalah guru besar di universitas. Hal ini merupakan kondisi yang sangat berbeda

dengan status tokoh-tokoh pencerahan Inggris maupun Prancis.

Keadaan di Jerman pada masa pencerahan, dapat dilihat dari kebijakan

politik pada masa itu. Paruh pertama abad ke-18, di kawasan Jerman penyebaran

kaum Puritan—sebuah gerakan keagamaan yang berasal dari gereja Kristen

Protestan Jerman—menuai kesuksesan. Kesuksesan itu berkaitan dengan

reformasi pemerintahan yang diterapkan Friedrich William I (1688-1740). Ia

15

(29)

meningkatkan kekuatan angkatan perang, kinerja birokrasi pemerintahan,

perbaikan perekonomian dan pendidikan bagi masyarakat miskin. Reformasi yang

dilakukannya banyak bermanfaat bagi kaum puritan, yang kebanyakan tergolong

kelas bawah. Keluarga Immanuel Kant termasuk dalam kelompok ini.

Kaum Puritan adalah sekelompok umat Kristen yang percaya pada

independensi pembacaan Bible, dengan penekanan pada penghayatan pribadi.

Kebanyakan dari mereka bukan termasuk kelas menengah ke atas. Puritanisme

adalah gerakan evangelis. Kelompok ini lebih menekankan peranan hati daripada

rasio, cenderung kepada nuansa mistik daripada intelektual dalam menjalani

kehidupan beragama. Sumber penting ajaran mereka dapat dilacak dalam karya

Philipp Jakob Spener, Pia Desideria (1675).16

Pada masa pemerintahan Friedrich William I, August Hermann Francke

(1663-1727)—seorang tokoh puritan Jerman—mendirikan sejumlah sekolah dan

tempat tinggal untuk para yatim piatu. Francke memiliki proyek pendidikan yang

awalnya hanya berkisar di kota Halle, tapi kemudian menyebar ke wilayah lain.

Raja mendukung apa yang dilakukan Francke. Di Königsberg, kota kelahiran

Immanuel Kant, tokoh Puritan yang cukup populer adalah Theodor Gehr dan

Johann Heinrich Lysius. Gehr mendirikan Collegium Pietatis di Königsberg, dan

belakangan menjadi sekolah untuk kaum miskin. Beberapa tahun kemudian,

sekolah itu mendapat perlindungan raja dan diresmikan menjadi Collegium

Friedericianum di tahun 1703.17 Pada usia delapan sampai enam belas tahun,

antara tahun 1732 sampai 1740, Kant melanjutkan sekolahnya di situ.

Kecondongan raja kepada kaum Puritan sebenarnya tidak lebih dari sekedar

16

Manfred Kuehn, Kant: A Biography (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), h. 35

17

(30)

tujuan politik, agar membantunya mendorong terjadinya reformasi. Raja berupaya

membentuk pemerintahan yang absolut: sebuah sistem sentralistik di Berlin.18

Untuk memuluskan usahanya, raja memangkas kekuatan bangsawan

pemilik tanah. Ia memudahkan akses pendidikan bagi anak-anak miskin, yang

mengakibatkan mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Dengan

begitu, tenaga kerja yang diperlukan untuk menggarap tanah para bangsawan

semakin berkurang. Pada akhirnya, keuntungan kalangan feodal pun menurun.

Situasi ini sangat tidak menguntungkan para tuan tanah, yang kebetulan lebih

dekat dengan Kristen Protestan non-Puritan. Perbaikan perekonomian dan

pendidikan, membuat anak-anak dari keluarga miskin dapat mengenyam

pendidikan dan memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih baik dari orang tua

mereka. Posisi pemilik tanah mulai merosot di mata publik. Mereka tidak hanya

berhadapan dengan penguasa dan raja, tapi kelas masyarakat terdidik lainnya.

Situasi demikian ternyata tidak sampai menimbulkan kejadian yang memilukan.

Di Jerman tidak terjadi pemberontakan, pengusiran maupun peristiwa berdarah

lainnya. Reformasi yang dilakukan oleh raja berjalan tenang dan damai, karena

dukungan mayoritas masyarakat sipil.

Kehidupan intelektual di Jerman abad ke-18 mendapat sokongan penuh

pada masa pemerintahan Friedrich II atau Friedrich Agung (1712-1786). Ia

menjadi raja Prussia menggantikan ayahnya, Friedrich William I, yang wafat di

tahun 1740. Pada tahun yang sama, Kant mulai memasuki universitas Königsberg.

Friedrich II adalah penguasa yang pro-pencerahan, dan menjadi pelindung bagi

para pemikir Prancis yang dinilai subversif dan lari dari negerinya.19

18

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 35 19

(31)

Gelombang pencerahan di Jerman dipengaruhi pemikiran Inggris dan

Prancis. Tokoh yang pertama berjasa dalam menggerakkan pencerahan Jerman

adalah Christian Thomasius (1655-1728). Ia adalah filsuf yang lebih menyukai

sistem filsafat Prancis daripada Jerman. Baginya, filsafat tidak akan berarti

apapun selama tidak berhubungan dengan dunia riil. Sistem metafisika yang

dibangun para filsuf, sama sekali tidak berguna jika tidak memiliki kontribusi

berharga bagi kehidupan manusia. Nilai guna filsafat terletak pada perannya

sebagai instrumen kemajuan.20 Ia juga menyerang pandangan filsafat yang hanya

menekankan pencarian kebenaran lewat jalur kontemplatif. Upaya yang benar

dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah melalui observasi fenomena dan

pengalaman yang didapat lewat kemampuan indera. Dari sini dapat dilihat bahwa

Thomasius menyetujui empirisme.

Tokoh kedua yang berperan cukup penting adalah Christian Wolff (1679

-1754). Dukungan Wolff terhadap konsep, keselarasan yang ditetapkan sebelum

terjadinya sesuatu (pre-establish harmony), tidak sejalan dengan Puritanisme

tentang kehendak bebas.21 Sistem filsafat Wolff sangat berbeda dari Thomasius,

karena penekanan pada metafisika. Perhatian utama Wolff dalam hal ini adalah

filsafat praktis, dan dukungan penyebaran kebijaksanaan di antara manusia.22

Dengan sistem yang dibangunnya, Wolff tetap mempercayai Tuhan. Dia yakin,

dengan kemampuan rasionya, manusia dapat membuktikan keberadaan Tuhan.

Wolff berupaya menemukan asas yang sah tentang Tuhan, berdasarkan rasio.

Pengaruh Wolff cukup luas beredar di Jerman. Hal itu dirasakan saat Kant kuliah.

Bahkan ketika Kant menjadi dosen di Universitas Königsberg, di antara buku

20

Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 101 21

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 76 22

(32)

yang menjadi acuan mengajarnya adalah karya Wolff.23 Situasi ini memberikan

dampak tersendiri bagi pemikiran dan perjalanan karir Immanuel Kant.

B. Periodisasi Perkembangan Intelektual dan Karya-Karyanya

Immanuel Kant lahir pada 22 April 1724 di Königsberg, sebuah kota

tempat berlabuhnya perdagangan internasional Prussia. Terletak di sebelah timur

kerajaan Prussia, dekat dengan perbatasan Rusia, dan lebih dekat dengan Polandia

daripada dengan Prussia Barat. Banyak bangunan institusi-institusi resmi

didirikan di kota ini. Kota Königsberg24 berpenduduk sekitar 40.000 jiwa di tahun

1706, meningkat menjadi 50.000 jiwa di tahun 1770, dan terus meningkat menjadi

56.000 jiwa di tahun 1786.25 Kant terlahir dengan nama baptis “Emanuel”, dari

pasangan Johann Georg Kant (1683-1746) dan Anna Regina Kant (1697-1737). Ia

menjadi anak ke-4 dari sembilan bersaudara. Sebagai anak pembuat pelana kuda,

kehidupan Kant sangat jauh dari kemewahan. Kant dibesarkan dalam suasana

kehidupan yang dipenuhi dengan ketaatan Puritanisme. Kelak ia merasa sangat

berhutang budi atas didikan ibunya, yang selalu mengajarkannya nilai-nilai

kebaikan dan kejujuran. Ini bisa dilihat dalam cara berfilsafat Kant, khususnya

dalam wacana etika yang sangat menekankan kesadaran terhadap kewajiban. Bagi

Kant, dogma-dogma keagamaan sama sekali tidak bernilai, selama tidak

memberikan pelayanan moral.26

23

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 109 24

Kota Königsberg telah berubah nama menjadi Kaliningrad. Sekarang kota itu termasuk dalam wilayah Polandia. Paul Strathern, 90 Menit Bersama Kant, terj., Franz Kowa (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), h. 3

25

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 56 26

(33)

Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, Kant melanjutkan studi ke

universitas kota Königsberg pada tahun 1740. Selama kuliah, Kant menjadi

anggota masyarakat akademis (Akademischer Bürger), yang memungkinkannya

terbebas dari beban biaya menggunakan inventaris kampus dan beberapa

keuntungan lainnya.27 Minat awalnya selama kuliah adalah studi klasik, tapi Kant

ternyata lebih terobsesi menggeluti filsafat berkat pengaruh Martin Knutzen

(1713-1751) dan Johann Gottfried Teske (1704-1772). Meskipun demikian,

mereka berdua hanyalah dosen biasa dan tidak ada hubungan khusus dengan Kant.

Dalam catatan biografinya, Kant mengoreksi beberapa kesalahan penulisan yang

sempat ia baca.

Namun, tidak seluruh tulisan Ludwig Ernst Borowski (1740-1832)—salah

satu murid pertama dan penulis biografi Kant—sempat dikoreksinya. Borrowski

membuat kesalahan dengan menyebut Kant murid terbaik dan kebanggaan

Knutzen. Martin Knutzen bukanlah dosen yang mempunyai kedekatan dengannya,

bahkan tidak benar bahwa Kant diperkenankan meminjam buku-buku di

perpustakaan pribadi sang dosen. Hal ini bisa disaksikan bahwa dalam catatan

Martin Knutzen, Kant bukanlah salah seorang mahasiswa terbaiknya. Bahkan

Kant tidak pernah disebut sebagai mahasiswanya. Murid favorit Knutzen adalah

Friedrich Johann Buck (1722-1786). Kelak sepeninggal Knutzen, Buck menjadi

dosen menduduki posisi yang ditinggalkannya. Mahasiswa lain yang lebih penting

dari Kant adalah Johann Friedrich Weitenkampf (1726-1758). Bukti lain bahwa

Kant bukan mahasiswa favorit Knutzen, yakni tidak disebutnya nama Kant

sewaktu Knutzen berkirim surat dengan Euler.28

27

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 61 28

(34)

Selama kuliah, Kant bukanlah seorang mahasiswa yang menjadi idola bagi

gadis-gadis Jerman.29 Secara fisik, penampilan Kant kurang menarik. Kulit pucat,

dengan tinggi badannya 157 cm., sepanjang hayat menderita hypochondria,

dadanya tipis, dan sering kesulitan pernafasan.30 Ia terbiasa berangkat kuliah

mengenakan sebuah jaket kusam yang harganya kira-kira kurang dari satu

pfennig—satuan terkecil mata uang Jerman. Namun, Kant sama sekali tidak

mempedulikan hal itu. Baginya, belajar adalah lebih penting. Belajar adalah

segalanya. Hal-hal yang dapat menghambat belajarnya, ia tinggalkan. Kant

merasa bahwa selama kuliah, ia baru bisa bebas mempelajari banyak hal yang ia

kehendaki, dibandingkan selama di sekolah lanjutan. Ketika duduk di tingkat

akhir, Kant terbiasa menjadi tutor bagi beberapa orang mahasiswa yunior yang

kesulitan dengan materi kuliah. Dengan bimbingan itu, ia biasa mendapatkan

secangkir kopi dan roti putih gratis untuk makan siang.

Pada masa Kant, kuliah filsafat di Universitas Königsberg cenderung

mengikuti arah pemikiran Christian Wolff. Hal ini tanpa mengingkari beberapa

dosen yang menyukai sistem Aristotelian, seperti Johann Adam Gregorovious

(1681-1749). Pemikir seperti Descartes dan Locke adalah tokoh-tokoh yang lebih

banyak diserang.31 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kant pada awalnya

lebih diarahkan kepada sistem Wolffian, berkat dosen-dosennya. Tapi, terlalu

gegabah kiranya menganggap Kant adalah tokoh Wolffian semasa muda. Sejak

29

Pada zaman Kant, kehidupan antara laki-laki dan perempuan Jerman terpisahkan secara gender. Itulah mengapa, ia seperti orang-orang di masanya, jarang bergaul dengan lawan jenis mereka. Kehidupan perempuan Jerman saat itu, diarahkan pada tiga hal: Kinder, Küche, und Kirche (anak-anak, dapur, dan gereja). Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 55

30

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 151 31

(35)

muda, Kant selalu menjaga jarak dari sistem manapun, dan berusaha independen

dengan pemikirannya sendiri.

Kant meninggalkan kuliahnya setelah Agustus 1748, karena ayahnya

meninggal dunia tanpa meninggalkan banyak dukungan finansial. Sebelas tahun

sebelumnya, ia telah kehilangan ibu yang dikasihinya. Kant terpaksa bekerja

sebagai guru privat (Hofmeister) bagi ketiga putra pastor Andersch, di kota

Judtschen.32 Kemudian ia menjadi guru bagi ketiga putra tertua von Hülsen,

seorang ksatria Prussia. Selama menjadi guru, Kant menghaluskan sikap dan

perilakunya ketika bergaul dengan keluarga kaya, serta tak lupa meningkatkan

kemampuan akademisnya. Ia masih berkeinginan meneruskan kembali kuliahnya.

Setelah enam tahun absen untuk menjadi guru, Kant kembali ke

universitas dengan mengajukan disertasinya berjudul, “Succinct Meditations on

Fire”, (Meditasi-meditasi Ringkas tentang Api).33 Pamannya, Richter, membayar

biaya promosi doktornya. Untuk mengajar di universitas, Kant harus menerima

“venia legendi”, dengan mempertahankan disertasi lain berjudul, “Principiorum

Primorum Cognitionis Metaphysicae Nove Diludatio”, (Penjelasan Baru tentang

Prisnsip-Prinsip Pertama Pengetahuan Metafisik). Kant akhirnya diperbolehkan

mengajar materi-materi kuliah di universitas. Sebagai Privatdozent, ia tak dibayar

dari kampus. Gajinya didapat dari mahasiswa yang menghadiri kuliahnya.

Besarnya pendapatan, tergantung pada banyaknya peserta yang ikut kuliah.

Pengaruh Kant cukup populer dalam atmosfer akademik Königsberg.

Selama menjadi Privatdozent, kuliah-kuliahnya selalu dipenuhi mahasiswa,

sehingga memicu kecemburuan sosial bagi dosen-dosen lainnya. Beberapa dari

32

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 96 33

(36)

mereka tidak menyukai Kant.34 Untuk bisa bertahan hidup, Kant harus banyak

mengajar. Selama semester musim dingin 1755-1756, ia mengajar logika,

metafisika, matematika, dan fisika. Di semester musim panas, ia menambahkan

dengan kuliah geografi, dan berikutnya ditambahkan dengan etika. Kant mengajar

sebanyak enam belas sampai dua puluh empat jam seminggu. Buku acuan

mengajarnya semisal, Metaphisica, Ethica, karya Baumgarten, Auszug aus der

Vernunftlehre, karya Georg Friedrich Meier, keduanya merupakan pengikut

Wolff. Ia juga menggunakan, Erste Gründe der Naturlehre, karya Johann Peter

Eberhard. Dalam bidang matematika, Kant menggunakan karya-karya Wolff,

Auszug aus den Anfangsgründen aller Mathematischen Wissenschaften,

Ansfangsgründe aller Mathematischen Wissenschaften.

Meskipun diharuskan mengajar berdasarkan buku-buku acuan, tapi ia tidak

mengekor pada uraian yang diberikan buku tersebut. Kant hanya mengikuti urutan

materi di dalamnya. Ia bahkan memberi tambahan terhadap beberapa hal dalam

penjelasan yang tidak disebutkan di dalam buku, dan juga mengoreksi isinya.35

Jika tidak setuju dengan isi buku tersebut, ia segera beralih pada pemahamannya

sendiri. Ketika mengajar, Kant selalu menekankan bahwa apa yang ia ajarkan

bukanlah filsafat, tapi bagaimana berfilsafat. Kant berkata:

The true method of instruction in philosophy is zetetic, as it was called by some of the ancients (derived from zetetin). It is searching, and it can become dogmatic, that is decided through a more developed reason only in some parts.”36

34

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 107 35

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 106; Lihat juga, Frederick Copleston, A History of Philosophy, h. 181

36

(37)

Periode pra-kritis Kant berakhir sejak 1769, memasuki tahun 1770. Dalam

masa pra-kritis itu, pemikiran Kant terbagi menjadi dua: pertama, berlangsung

sejak 1755-1762, dikenal sebagai periode rasionalis; kedua, antara tahun 1762

-1769, dikategorikan sebagai periode empiris. Pembagian periode pra-kritis ini

tidak dimaksudkan sebagai pemetaan secara radikal. Tapi, sebagai sebuah

kecenderungan untuk lebih mudah memahami, meskipun sebenarnya tidak ada

kesepakatan dari pada pengkaji dalam masalah ini.37 Jika orang berbicara tentang

tiga kritik Kant, maka yang dituju adalah periode setelah tahun tersebut, yang

disebut periode kritis.

Sejak tahun 1770, Kant berusaha keras menghasilkan suatu pemikiran

orisinilnya. Ia mencari sistem filsafat, yang terbebas dan mengatasi, baik

rasionalisme maupun empirisme. Tapi, Kant bukan penganut eklektisisme.

Selama sebelas tahun, Kant berupaya merumuskan pemikirannya. Ia menggugat

pandangan Leibniz-Wolffian, dan semua sistem-sistem yang ada saat itu. Edisi

pertama Kritik der reinen Vernunft, terbit tahun 1781. Sejak saat itu, karya-karya

brilian Kant mulai bermunculan. Dengan tanpa malu-malu dalam karyanya,

Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, terbit 1783, Kant mengakui

dirinya dibangunkan dari tidur filsafat dogmatik oleh David Hume:

I openly confess, the suggestion of David Hume was the very thing, which many years ago first interrupted my dogmatic slumber, and gave my investigation in the field of speculative philosophy quite a new direction. I was far from following him in the conclusion at which he arrived by regarding, not the whole of his problem, but a part, which by itself can give us no information. If we start from well-founded, but undeveloped, thought, which another has bequeathed to us, we may well hope by continued reflection to advance farther than acute man, to whom we owe the first spark of light.”38

37

Manfred Kuehn, Kant: A Biography, h. 176-179 38

(38)

Secara garis besar, karya-karya Kant adalah sebagai berikut:

a. Kritik der Reinen Vernunft, merupakan karya filsafat yang membahas

masalah epistemologi. Dalam karya ini Kant berupaya membongkar

masalah-masalah yang tidak selesai seputar pengetahuan. Ia merumuskan

sistem baru, dengan terlebih dahulu mengritik aliran rasionalisme dan

empirisme. Karya ini terbit tahun 1781.

b. Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik. Karya ini terbit 1783.

Dengan tulisan ini, Kant bermaksud menjadikannya sebagai sebuah

catatan singkat untuk bisa memahami pembahasan dalam Kritik der

Reinen Vernunft. Karena penjelasan yang sulit, dengan gaya bahasa yang

bertele-tele, karya tersebut dapat memudahkan para pembaca dalam

memahami isi Kritik der Reinen Vernunft, yang kerap mengundang banyak

keluhan.

c. Was ist Aufklärung?. Esai ini diterbitkan Berlinische Monatschrift, tahun

1784, ditulis untuk menjawab seputar pertanyaan tentang pencerahan yang

terjadi pada abad ke-18, di Eropa.

d. Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, sebuah paparan argumentatif

tentang dasar-dasar hukum moral, yang terbit tahun 1785.

e. Metaphysik Anfangsgründe der Naturwissenschaften. Sebagai pengajar

fisika, Kant merasa perlu menjelaskan prinsip-prinsip kaidah ilmu

(39)

pengetahuan alam yang ia pegang. Lewat karya inilah, ia menjelaskan hal

itu. Tulisan ini terbit pada tahun 1786.

f. Was heisst: Sich im Denken orientiren? Ulasan dalam karya ini berisi

kontibusi Kant terkait persoalan paham panteisme yang melanda kalangan

sarjana abad ke-18, diterbitkan dalam Berlinische Monatschrift, terbit

bulan Oktober 1786.

g. Kritik der Practischen Vernunft. Lewat karya ini Kant berusaha

merumuskan bahwa kaidah moral tidak semata masalah agama dan hati,

melainkan termasuk bagian urusan pemahaman rasional. Karya ini terbit

tahun 1788.

h. Kritik der Urteilkraft. Karya ini adalah kritik ketiga Kant, terbit tahun

1790, yang berisi pembahasan seputar penilaian nilai estetika.

i. Über das Mißlingen aller philosophischen Versuche in der Theodicee,

sebuah esai yang berisi paparan tentang masalah agama dalam batas-batas

rasional, diterbitkan dalam Berlinische Monatschrift, September 1791.

j. Das Ende aller Dinge, berisi kritik filsafat politik Kant terhadap situasi

saat itu. Karya ini diterbitkan Berlinische Monatschrift, Juni 1794.

k. Zum ewigen Frieden, sebuah esai yang menjelaskan tentang basis moral,

melukiskan perkembangan sejarah dan politik, terbit 1795.

l. Der Streit der Fakultäten. Esai ini ditulis Kant berkenaan dengan

pengekangan pemerintah terhadap kebebasan menyuarakan pendapat

tentang masalah agama. Esai ini terbit pada musim gugur 1798.

m. Metaphysische Anfangsgründe der Rechtslehre dan Metaphysische

(40)

Metaphysik der Sitten, berisi penjelasan Kant tentang metafisika moral.

Yang pertama berbicara tentang elemen-elemen dalam pembahasan

metefisika moral yang seharusnya, sedangkan yang kedua menjelaskan

tentang kebijaksanaan dalam moral. Keduanya terbit di tahun 1797.

Selama masa hidupnya, Kant menghabiskan waktu dengan kegiatan yang

cukup padat dan disiplin. Kegiatan hariannya dilakukan tetap, termasuk jadwal

kunjungannya. Ia terbiasa tidur jam sepuluh malam, dan bangun sebelum jam lima

pagi. Kemudian melakukan refleksi filosofis, mengajar, dan setiap jam setengah

empat sore pergi berjalan-jalan. Kebiasaan jalan-jalan sore ini dimaksudkan

sebagai cara mencari inspirasi baru bagi pengembangan pemikirannya. Baik

ketika cuaca panas, maupun hujan, ia terbiasa melakukan itu. Konon karena

kedisiplinannya ini, warga Königsberg mencocokkan jam mereka ketika melihat

Kant berjalan-jalan. Mungkin sekali karena terlalu konsisten dan fokus pada

pekerjaan, sehingga membuatnya menangguhkan diri untuk menikah.39

Antara tahun 1796-1804 adalah masa-masa terakhir bagi kehidupan Kant.

Sejak 1797 ia sudah tidak bisa mengajar lagi, karena usia tua dan sakit. Pikirannya

masih tajam, tapi secara fisik ia sangat lemah. Sejak tahun 1800, Kant mulai

melupakan kejadian-kejadian yang baru saja dilakukannya, dan lupa apa yang

harus dilakukan. Pada periode ini banyak bermunculan kisah-kisah menggelikan

yang berkaitan dengan Kant, misalnya analisisnya tentang kematian

kucing-kucing karena sengatan listrik, orang negro Afrika yang sebenarnya berkulit putih,

dan sebagainya. Pada tanggal 12 Februari 1804, Kant menghembuskan nafasnya

39

(41)

yang terakhir, dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-80. Nisannya sekarang

ada di kota Kaliningrad. Tapi, nisan itu sudah tidak berisi tulang-belulangnya lagi,

akibat rusak dan dicuri ketika perang.40 Di nisan itu tertulis dua hal yang

memenuhi pikirannya dengan kekaguman, penghormatan, dengan begitu sering

dan terus-menerus orang-orang merefleksikannya. Pengakuan tentang hal yang

paling membuatnya terkesan, seperti disebutkan dalam karyanya, Kritik der

practischen Vernunt: “langit yang bertabur bintang di atas saya, dan hukum moral

dalam diri saya”.41

40

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 132 41

(42)

BAB III

EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN FILSAFAT BARAT

A. Sejarah Epistemologi

Epistemologi adalah salah satu kajian filsafat, yang berkaitan dengan

pengetahuan. Secara sederhana, epistemologi berarti teori pengetahuan.42 Dilihat

dari segi bahasa, epistemologi merupakan istilah yang berasal dari dua bahasa

Yunani, έπιστή η (dibaca epistēme), berarti pengetahuan, dan λόγος (dibaca

logos), berarti ilmu.43 Dengan demikian, epistemologi adalah ilmu yang

membahas tentang pengetahuan. Penekanan epistemologi adalah pengetahuan

manusia, sebagai makhluk berakal dan berperadaban. Kajian epistemologi

mencakup pembahasan dan penelusuran wilayah pengetahuan secara rasional.

Pembahasan dimaksudkan untuk membedah batas-batas pengetahuan, serta

bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Sedangkan proses penelusuran

pengetahuan diartikan sebagai upaya mencari akar permasalahan terkait ide, dan

gagasan yang berhubungan dengannya, seperti indera, memori, persepsi,

bukti-bukti, kepercayaan dan kepastian. Dengan demikian, kajian epistemologi berbeda

dari kajian psikologi.

Epistemologi merupakan sebuah penelusuran rasional, berkaitan dengan

kemungkinan dan kepastian isi pengetahuan, menguji validitas, menentukan

batas-batas, dan memberikan kritik berkaitan dengan ciri-ciri umum yang hakiki

dari pengetahuan. Epistemologi juga menentukan aspek kesadaran manusia,

ketika berinteraksi dengan lingkungan, alam sekitar, dan terlebih dengan diri

pribadi manusia itu sendiri. Adapun psikologi adalah suatu cabang ilmu yang

42

Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy (London: Penguin Books Ltd., 2000), h. 174

43

(43)

mengkaji tentang penyelidikan atau teori fenomena mental.44 Kajian psikologi

lebih menitikberatkan pada daya-daya kognisi manusia an sich. Titik tekan ini

yang membedakan kajian epistemologi dari psikologi. Dalam kajian psikologi,

proses kognisi menjadi inti pembahasan. Daya-daya kognitif manusia merupakan

tema bahasan utama dalam perolehan dan pengolahan informasi untuk

menghasilkan pengetahuan. Hal ini sangat berbeda dari epistemologi, sebagai

kerangka kajian yang mendudukkan ilmu dalam batas-batasnya yang ketat dan

tidak terbatas unsur kesadaran.

Dalam waktu yang cukup lama, masalah epistemologi menduduki porsi

signifikan dalam wacana filsafat Barat. Perdebatan sistem-sistem yang dimajukan

para filsuf, sejak zaman klasik ribuan tahun silam, seolah tidak menemukan

kepastian. Perdebatan itu kiranya menjadi ajang pertarungan ide dan gagasan yang

menandai nuansa zamannya. Kendati menjadi masalah yang cukup menguras

energi selama ribuan tahun, namun epistemologi bukanlah hal pertama yang dikaji

dalam kajian filsafat Barat. Dalam sejarahnya, epistemologi tidak menjadi

persoalan yang pertama kali diperbincangkan oleh bapak filsafat Barat.

Thales (645-545 SM.) sebagai tokoh pertama filsafat dalam tradisi Barat,

sama sekali tidak berbicara tentang masalah epistemologi. Fokus pemikiran

Thales adalah tentang pokok penyusun alam semesta.45 Ia berusaha menemukan

suatu realitas primordial,46 yang disebutnya αρχή (dibaca archē).47 Karena tidak

meninggalkan sebuah karya, pemikiran Thales akhirnya hanya dapat dijumpai

sebagai cuplikan dalam karya-karya para penulis yang hidup setelahnya. Perhatian

44

Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 458 45

W. Wildelband, History of Ancient Philosophy, trans., Herbert Ernest Cushman (New York: Dover Publication Inc., 1956), h. 37

46

Thomas Mautner (ed.), The Penguin Dictionary of Philosophy, h. 37 47

Gambar

TABEL TRANSLITERASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
TABEL TRANSLITERASI

Referensi

Dokumen terkait

ABSTRAK Pengembangan Media Pembelajaran Video Organ pada Sistem Pencernaan Manusia dengan Materi Pokok Organ Pencernaan Manusia dalam Subtema Pola Hidup Sehat untuk Siswa Kelas

The writer wishes to express the highest gratitude to Allah SWT for the blessing with health and great power, so the writer can finish this final project entitled

Debt ratio digunakan untuk mengukur proporsi dari total assets yang dibiayai oleh kreditur perusahaan. Semakin tinggi rasio tersebut semakin. banyak uang kreditur yang

Berdasarkan hasil analisis penelitian dan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel kepemimpinan transformasional

Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil dan analisis klasifikasi sidik jari, gambar hasil preprocessing diproses ekstraksi minutiae dan proses eliminasi spurious minutiae,

dari informan saya di Ayutthaya melaporkan bahwa mereka melakukan meditasi; dan, bahkan, para Bhikkhu ini pun bermeditasi hanya ‘dari waktu ke waktu’

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan izin usaha perkebunan di Provinsi Jawa Tengah yang berada dibawah pengelolaan dinas teknis terkait

Belum holistiknya proses penyusunan rencana kerja pembangunan daerah terlihat dari beberapa proses tahapan musrenbang, mulai dari musrenbang tingkat kelurahan,