A. Latar Belakang Masalah
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
serta tekanan globalisasi dewasa ini telah menyebabkan terjadinya perubahan
nilai-nilai sosial, yang membawa dampak positif dan negatif terhadap
pertumbuhan bangsa kita, termasuk sistem pendidikan kita. Dampak
positifnya adalah terjadinya peningkatan pola pikir dalam berbagai bidang dan
perubahan pola hidup yang lebih efisien. Adapun dampak negatifnya adalah
kesulitan masyarakat dalam memahami dan mencerna perkembangan yang
demikian pesatnya di berbagai bidang, serta terbenturnya berbagai
kecenderungan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita. Konsekuensinya adalah
bahwa dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan IPTEK harus
bersifat realistik serta ditopang dengan pengembangan sikap atau nilai yang
diharapkan dapat menghasilkan SDM yang berpengetahuan, terampil, kreatif,
inovatif, dan berbudi pekerti.
Kehidupan dalam era globalisasi dipenuhi oleh
kompetensi-kompetensi yang sangat ketat. Keunggulan dalam berkompetisi terletak pada
kemampuan dalam mencari dan menggunakan informasi. Dalam hubungan
dengan permasalahan pengembangan SDM dan IPTEK, maka diharapkan
dalam kegiatan pembelajaran sains bukan hanya kegiatan mentransfer ilmu
pengetahuan, melainkan sains harus dipermudah agar dapat diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari yang lebih realistis. Konsep-konsep sains yang
telah dipelajari dan dikuasai peserta didik diharapkan dapat bermanfaat bagi
dirinya dan dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya
maupun masalah lingkungan sosialnya.
Produk teknologi yang dihasilkan oleh sains dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia, namun demikian kemajuan teknologi dapat
pula membawa dampak negatif bagi manusia itu sendiri, hal ini terjadi jika
penggunaan produk teknologi tersebut dimanfaatkan tidak sesuai dengan
fungsinya secara tepat. Oleh karena itu faktor utama untuk melengkapi
kemajuan sains maupun teknologi itu adalah moralitas manusia.
Sains bukan hanya sekumpulan informasi tentang alam, melainkan
juga mengandung nilai-nilai di setiap bahan ajarnya yang dapat menopang
hidup budaya peserta didik. Oleh karena itu, sains yang semula hanya
menekankan pada pembelajaran konsep dan meningkatkan kemampuan
kognitif, perlu dikembangkan aspek afektif yakni “sikap” untuk meningkatkan
keterampilan emosional, spiritual dan kemampuan kreatif peserta didik.
Dengan demikian diharapkan dapat menumbuhkan sikap kepedulian terhadap
lingkungan. Konsep Drikarya menyatakan bahwa “perlunya keseimbangan antara dimensi kognitif dan afektif dalam proses pendidikan”.1Artinya untuk membentuk manusia seutuhnya tidak cukup hanya dengan mengembangkan
kecerdasan berfikir atau IQ peserta didik, melainkan juga harus disertakan
dengan pengembangan perilaku dan kesadaran moral.
Albert Einstein berpendapat bahwa sains mengandung nilai-nilai, seperti nilai religi, nilai praktis, nilai intelektual, nilai sosial-politik-ekonomi,
dan nilai pendidikan.2 Nilai pendidikan sains berupa pendidikan moral bagi peserta didik. Untuk dapat mengambil pelajaran dari sistem nilai dan moral
yang terkandung dalam sains agar dapat direalisasikan dalam kehidupan
peserta didik, maka diperlukan kemampuan membaca tingkat tinggi. Dalam
al-qur’an disebutkan bahwa :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq : 1-5).
1
Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai (Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, (Bandung: Alfabeta, 2008), h.13.
2
Suroso mengemukakan bahwa pembelajaran fisika yang merupakan bagian dari pendidikan sains perlu mendapat pembaharuan, terutama dalam
pengembangan model pembelajaran yang sasarannya bukan hanya penguasaan
pengetahuan dan keterampilan sains, tetapi juga pencapaian nilai-nilai yang
dikandung oleh setiap bahan ajar fisika.3 Dewasa ini sekolah diharapkan dapat
mengembangkan tiga kemampuan yang pada dasarnya telah ada. Menurut
Benjamin S. Blom ketiga kemampuan itu dikenal dengan istilah Taxonomy of Educational objectives, meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotor.4
Nilai tercakup dalam domain afektif. Ketiga kemampuan tersebut
saling melengkapi, hal ini mengintegrasikan bahwa pendidikan bukan hanya
menekankan pembentukan kecerdasan intelektual (domain kognitif), tetapi
juga bertanggung jawab untuk pembentukan kepribadian dan pembinaan
akhlak para peserta didik.
Kenyataan yang ditemui sehari-hari dalam proses pembelajaran di
kelas seringkali guru melaksanakan pembelajaran secara tidak kreatif. Guru
menyampaikan materi fisika kurang variatif dalam menggunakan metode
pembelajaran, hal tersebut menimbulkan pemahaman peserta didik hanya
terbatas konsep dan nilai belajar fisika siswa relatif rendah. Hal tersebut
menyebabkan terbatasnya pengetahuan siswa untuk mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari dan terbatasnya pengetahuan nilai-nilai yang
dikandung dalam bahan ajar. Oleh karena itu, perlu diadakan usaha perbaikan
proses pembelajaran dengan menerapkan metode-metode pembelajaran
inovatif.
Metode Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu solusi agar pemahaman peserta didik tidak hanya terbatas dengan konsep, tetapi juga
siswa diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan dengan berfikir secara
analitis, kritis, dan kreatif. Metode Problem Based Learning (PBL) memiliki kelebihan diantaranya adalah problem solving, Belajar mandiri (self directed
3
Neneng Olivia, Pengembangan Keterampilan Proses berbasis Nilai-Nilai Sains untuk meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP Kelas VII, (Skripsi PPS UPI, 2005), h.3
4
learning), belajar sepanjang hayat, identifikasi dan evaluasi sumber belajar,
Critical thingking, creative thinking, Belajar dari masalah nyata, cooperative
dan collaborative learning, peer learning, dan reflection.5 Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode Problem Based Learning (PBL).
Pada penelitian ini dipilih konsep cahaya, karena materi tersebut
merupakan salah satu materi fisika pada tingkat SMP yang membutuhkan
tingkat pemahaman konsep konkrit, selain itu konsep cahaya dapat
diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah yang terdapat dalam kehidupan
sehari-hari. Berdasarkan isi materi dari konsep cahaya, siswa dapat diarahkan
untuk menelaah serta mempelajari kandungan nilai-nilai dalam pembelajaran
cahaya yang berguna bagi kehidupan bermasyarakat, sehingga dapat
menghasilkan SDM yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tetapi
juga kecerdasan spiritual dan emosional, serta dapat meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan peserta didik terhadap Allah SWT. Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul: “Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Cahaya Bernuansa Nilai”.
B. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan di atas kita mendapatkan beberapa permasalahan yang
menarik untuk ditelusuri:
1. Hasil belajar fisika siswa rendah.
2. Terbatasnya pengetahuan siswa untuk mengaplikasikan konsep-konsep
fisika dalam kehidupan sehari-hari.
3. Terbatasnya pengetahuan siswa tentang nilai-nilai yang dikandung dalam
bahan ajar.
5
C. Pembatasan Masalah
Agar masalah dalam penelitian ini lebih terarah maka ruang lingkup
masalahnya dibatasi pada masalah penerapan Problem Based Learning (PBL)
terhadap hasil belajar siswa, dengan aspek-aspek sebagai berikut:
1. Hasil belajar yang diukur dalam penelitian ini adalah hasil belajar pada
konsep cahaya bernuansa nilai pada ranah kognitif dan afektif. Ranah
kognitif meliputi aspek ingatan (C1), pemahaman (C2), dan aplikasi (C3),
dan analisis (C4).
2. Konsep pembelajaran yang dijadikan bahan kajian penelitian yaitu konsep
cahaya bernuansa nilai.
3. Bernuansa nilai yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah penyisipan
muatan nilai dalam kegiatan pembelajaran dengan Problem Based Learning (PBL). Nilai yang akan disisipkan meliputi nilai religius, nilai praktis dan nilai intelektual.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah hasil belajar fisika siswa
melalui Problem Based Learning (PBL) pada konsep cahaya bernuansa nilai?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar siswa pada
konsep cahaya bernuansa nilai melalui Problem Based Learning (PBL). Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai masukan mengenai
teknik belajar mengajar metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
PENELITIAN
A. Deskripsi Teori
1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa
secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan
mereka.1 Siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari
konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses
mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah
dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Menurut Johnson
ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual,
yaitu sebagai berikut.2
1). Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Artinya, siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya
secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja
dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat
(learning by doing).
2). Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Artinya, siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah
1
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h.253.
2
Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.274-275.
dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai
pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
3). Belajar yang diatur Sendiri (self regulated learning). 4). Bekerjasama (collaborating).
5). Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking).
6). Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Artinya, siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi,
memotivasi, dan memperkuat diri sendiri.
7). Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Artinya, siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi,
mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya.
8). Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari
penerapan pembelajaran kontekstual di kelas, yaitu sebagai berikut.3
1). Kontruktivisme
Kontruktivisme adalah berfikir pembelajaran kontekstual yang
menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas
dan tidak sekoyong-koyong. Dalam kontruktivisme pembelajaran
harus dikemas menjadi proses “mengonstruksi” bukan “menerima”
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun
sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
belajar dan mengajar.
2). Inkuiri
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran
berbasis kontekstual yang berpendapat bahwa pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan
sendiri.
3
3). Bertanya
Bertanya dalam pembelajaran sebagai kegiatan guru untuk
mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam
melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali
informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan
mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
4). Masyarakat belajar (learning community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh
dari ‘sharing’ antara teman, antar kelompok, dan antara yang sudah tahu ke yang belum tahu. Dalam kelas kontekstual, guru
disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam
kelompok-kelompok belajar.
5). Pemodelan
Pemodelan artinya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau
pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada
dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan,
mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya
untuk belajar, dan melakukan apa yang diinginkan guru agar
siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi,
pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar.
6). Refleksi
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari dan
berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di
masa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan
atau pengetahuan yan baru saja diterima.
7). Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Penilaian
pada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengan
berbagai instrument penilaian.
b. Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (PBL) adalah metode pembelajaran penanaman masalah merupakan bagian dari strategi pembelajaran
kontekstual (CTL). PBL merupakan salah satu solusi dari metode
pembelajaran yang bersifat konvensional, didaktis, dan sebagai metode
yang dapat bermanfaat untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
Bagaimanapun, terdapat beberapa kriteria untuk mendefinisikan PBL.
Hal yang penting adalah PBL dikenal sebagai metode pembelajaran
kontruktivisme. Savery dan Duffy meringkas pusat dari
kontruktivisme:4
1. Pemahaman didasarkan pada pengalaman terhadap isi, konteks,
cita-cita siswa, dan lain-lain. Jadi, pemahaman adalah suatu bentuk
unik pada setiap individual siswa.
2. Pemberian materi tidaklah disebarkan, walaupun mungkin saja
diuji untuk mencocokan dengan materi dari perspektif yang lain,
pengamatan mungkin dianggap sebagai hal yang lebih baik
dibandingkan melokalisir individu.
3. Memecahkan teka-teki menjadi faktor yang memotivasi belajar.
4. Negosiasi sosial dan terus menerus mencoba tentang konsep
kelangsungan hidup berada dihadapan pengalaman pribadi akan
menjadi kekuatan prinsip mengenai evolusi pengetahuan.
4
Tiga ciri khusus PBL meliputi:5
1. Pelajaran berkaitan dengan permasalahan yang ada di kehidupan
nyata siswa.
2. Pengembangan pengetahuan melalui interaksi sosial, dimana siswa
bekerjasama dalam kelompok kecil.
3. Pemikiran teori dan belajar secara langsung, dimana berfikir
sendiri dan belajar dari kehidupan adalah suatu pendorong atau
motivasi.
Menurut Ibrahim dan Nur (2000) dan Ismail (2002), PBL
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:6
1. Mengajukan pertanyaan atau masalah.
PBL mengorganisasikan pembelajaran disekitar pertanyaan dan
masalah yang secara sosial pribadi bermakna bagi siswa. Siswa
mengajukan situasi kehidupan nyata secara autentik, menghindari
jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai solusi
untuk situasi ini.
2. Berfokus pada keterkaitan antardisiplin.
Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu,
masalah yang akan diselidiki telah dipilih dengan nyata agar dalam
pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak bidang
ilmu.
3. Penyelidikan autentik.
Pembelajaran PBL mengharuskan siswa melakukan penyelidikan
autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.
Siswa harus menganalisis dan mendefinisikan masalah,
mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, menyimpulkan,
5
Helaine Alessio, “Student Perceptions About and Performance in Problem-Based
Learning”, dalam Journal Of Scholarship Of teaching and Learning, Vol.4., N. 1, may, 2004, h.26.
6
Ida bagus Putu Arnyana, “Penerapan Model PBL pada Pelajaran Biologi untuk
dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen, membuat
inferensi, serta merumuskan kesimpulan.
4. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya
PBL menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya nyata yang menjelaskan bentuk penyelesaian masalah
yang mereka temukan.
5. Bekerjasama dalam tim.
Ciri PBL adalah siswa bekerja sama dalam tim, berinteraksi satu
dengan yang lainnya. Bekerja sama memberikan motivasi untuk
secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks untuk
mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir.
Menurut Brooks & Martin, 1993 ciri penting metode Problem Based Learning (PBL) adalah :7
1. Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan
melibatkan siswa dalam pola pemecahan masalah, sehingga siswa
diharapkan mampu mengembangkan keahlian belajar dalam
bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan.
2. Adanya keberlanjutan permasalahan, dalam hal ini ada dua
tuntutan yang haris dipenuhi yaitu: pertama, masalah harus
memunculkan konsep dan prinsip yang relevan dengan kandungan
materi yang dibahas. Kedua permasalahan bersifat real (nyata) sehingga dapat melibatkan siswa tentang kesamaan dengan sutau
permasalahan.
3. Adanya presentasi permasalahan, siswa dilibatkan dalam
mempresentasikan permasalahan sehingga siswa merasa memiliki
permasalahan tersebut.
4. Pengajar berperan sebagai tutor dan fasilitator. Dalam posisi ini
maka peran fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir
7
Putu Yasa, “Belajar Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) dalam
Pembelajaran Fisika Matematika 1 dengan Pendekatan Kooperatif Sebagai Upaya Peningkatan kualitas perkuliahan Semester Pendek Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja”, dalam
para siswa dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan
membantu siswa untuk menjadi mandiri.
Problem Based Learning (PBL) adalah pendekatan instruksional, dimana pusat pembelajaran para siswa terletak pada cara
pemberian contoh. PBL menegaskan tentang pemecahan
masalah-masalah yang kompleks pada konteks yang beragam bertujuan
mengembangkan kemampuan berfikir siswa sehingga menjadi lebih
maju. Problem Based Learning (PBL) menyusun kerangka dalam pembelajaran agar siswa dapat bekerja sama dalam kelompok untuk
menyelesaikan masalah-masalah di dunia nyata. Tujuan dari
penyelesaian masalah tersebut adalah agar siswa dapat belajar dengan
menyenangkan dan meningkatkan kemampuan berfikir secara teratur.8
Menurut Duch (1995) Problem Based Learning (PBL) adalah metode pendidikan yang mendorong siswa untuk mengenal cara
belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian
masalah-masalah di dunia nyata.9 Alder dan Milne mendefinisikan
PBL dengan metode yang berfokus kepada identifikasi permasalahan
serta penyusunan kerangka analisis dan pemecahan.10 Metode ini
dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja
sama dan interaksi, mendiskusikan hal-hal yag tidak atau kurang
dipahami serta berbagi peran untuk melaksanakan tugas dan saling
melaporkan.
Metode PBL banyak dikembangkan berdasarkan pandangan
konstruktivisme-kognitif piaget, yang mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan
informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan
8
Brian R. Belland, Peggy A. Ertmer, Krista D. Simons, Perceptions of the Value of Problem-based Learning among Students with Special Needs and Their Teachers, dalam The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning. Volume.1, no.2
9
Anonim. 2007. PBL. Internet : http://www.uii.ac.id/.
10
Riki Ferdian dan Ainun Na’im, Pengaruh Problem Based Learning (PBL) pada
bersifat tidak statis, tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah
pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka
membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka.
Menurut Barrows (1996) PBL memiliki karakteristik : 11
a. Berpusat pada siswa (student centered)
b. Mengorganisasi siswa untuk fokus terhadap
permasalahan-permasalahan autentik saat pembelajaran berlangsung.
c. Mengarahkan siswa untuk terus mendapatkan informasi terbaru.
d. Proses pembelajaran menggunakaan kelompok-kelompok kecil.
e. Guru sebagai fasilitator
Menurut Gallagher PBL memiliki tiga karakteristik, yaitu;12
a. PBL bersifat eksperimental
Dalam ruang lingkup PBL, para siswa harus berinteraksi dengan
lingkungan mereka untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan
tugas-tugas mereka untuk menemukan hal-hal baru. Frew dan
Klein menspesifikasi alasan-alasan tentang proses eksperimen:
“Dengan mengadakan proses eksperimen, para siswa belajar
dengan cara yang lebih efektif dalam menghadapi lingkungan
mereka, memproses informasi, da menyikapinya.kita harus
menyediakan kesempatan untuk para siswa mencatat untuk
mengembangkan skillmereka dalam melakuan penelitan agar dapat menemukan penemuan baru”.
b. PBL meliputi proses belajar yang kooperatif
Dalam ruang lingkup PBL, para siswa harus bekerja dengan
kooperatif, tercatat bahwa endekatan instruksional yang meliputi
proses belajar yang kooperatif sangat membantu siswa dengan
kebutuhan-kebutuhan yang khusus, sehingga mereka dapat
mengembangkan prestasi. Dalam proses belajar kooperatif, para
11
Min Liu, Motivating Students through Problem-based Learning, http://utexas.edu.com. 2005
12
siswa menemukan banyak pengalaman, dan mereka pun
mempunyai usaha yang besar untuk memperoleh prestasi.
c. PBL terdapat pada konteks yang otentik
PBL mempunyai potensi untuk menarik para siswa yang
mempunyai masalah dalam belajar, diambil dari luar konteks
menjelaskan bahwa siswa mempunyai resiko gagal dalam
ketidakmampuan kognitif (berhitung), mereka mempunyai
kesempatan yang lebih baik untuk menggunakan pengetahuan
mereka dalam memecahkan masalah, ketika masalah tersebut
muncul dari dunia nyata.
Robbs dan Merideth mengemukakan sejumlah keuntungan
yang berhubungan dengan metode pembelajaran PBL.13
a. Meningkatkan penyimpanan informasi.
b. Mengembangkan dasar pengetahuan.
c. Suatu dorongan kearah pelajaran yang dapat di aplikasikan dalam
dunia nyata.
d. Membuka secara lebih besar kepada pengalaman kejiwaan siswa
dan merupakan langkah awal di dalam kurikulum.
e. Hubungan sosial antar siswa lebih ditingkatkan.
f. Meningkatkan motivasi siswa.
Selain itu berdasarkan pendapat Dincer dan Guneysu, 1998;
Treagust dan Peterson, 1998; Kalayci 2001; Senocak, 2005,
keuntungan metode problem based learning antara lain adalah:14 1. Ruang kelas adalah pusat pembelajaran siswa dan guru.
2. Metode pembelajaran ini mengembangkan pengawasan diri pada
siswa. PBL mengajarkan siswa membuat rencana-rencana ke
13
Tony Greening, op.cit h.2
14
depan, menghadapi kenyataan, dan mengekspresikan emosi
mereka.
3. PBL mampu membuat siswa bisa melihat kejadian-kejadian secara
multidimensi, dan juga siswa mempunyai perspektif yang dalam.
4. PBL mengembangkan kemampuan problem solving (memecahkan masalah).
5. PBL mendorong siswa untuk mempelajari materi dan konsep baru
ketika mereka memecahkan masalah.
6. PBL mengembangkan skill berkomunikasi dan rasa sosialisasi mereka karena PBL membentuk tim dalam kerja kelompok
diantara siswa.
7. PBL mengembangkan kemampuan berfikir maju, kemampuan
mengkritik, dan berfikir sains mereka.
8. PBL menyatukan teori dan praktek.
9. PBL memotivasi guru dan siswa dalam belajar
10.Para siswa mampu dalam mengatur waktu, fokus, pengumpulan
Penerapan Metode Problem Based Learning (PBL)
Pembelajaran Problem based Learning (PBL) merupakan suatu kaidah pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata yang
relevan serta fokus dalam pembelajaran merupakan makna PBL.
Problem based learning mempersiapkan peserta didik untuk dapat belajar dari kehidupan nyata dengan melibatkan pembelajaran aktif
dimana para siswa bertanggung jawab untuk menemukan fakta dan
menemukan kunci dari suatu konsep. Semakin meningkat fakta-fakta
bahwa pembelajaran dari permasalahan dunia nyata siswa
diidentifikasi dari tipe pertanyaan pada saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung hal ini merupakan student-centered dimana lebih afektif jika dibandingkan dengan metode tradisional teacher-centered di mana pemberian informasi didominasi oleh guru, mengerjakan studi kasus
atau tugas. (Martin et al., 1998;Norman & Smidt, 1992).15
Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
dimensi.16 Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau
materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan atau
penemuan. Dimensi kedua berhubungan dengan cara “bagaimana
siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah
ada”. Struktur kognitif ini berupa fakta-fakta, konsep-konsep, dan
generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Belajar bermakna Ausubel erat kaitannya dengan model pembelajaran
penanaman masalah atau Problem Based Learning (PBL) karena dalam pembelajaran ini pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi
melainkan siswa berusaha menemukan kembali.
15
Helaine Alessio, Student perceptions about and performance in problem-based learning, dalam Journal Of Scholarship Of teaching and Learning, Vol.4., N. 1, may, 2004, h.25-26.
16
Leny Nurdiyaningsih, Pengembangan Pembelajaran dengan Pendekatan PBL (Problem
Proses belajar dengan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Masalah yang disajikan disesuaikan
dengan konsep-konsep maupun prinsip-prisnsip yang relevan dengan
materi belajar yang akan dibahas, masalah tersebut didesain sehingga
dapat memberi tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara
afektif.
Beberapa karakteristik yang ikut serta dalam PBL:
1. Proses belajar harus dimulai dengan menghadirkan sebuah
masalah, khususnya masalah yang berupa kritik yang masih sulit
dipecahkan.
2. Isi masalah dan prakteknya harus membuat siswa atraktif dan
tertarik.
3. Guru menjadi fasilitator dan pembimbing di kelas.
4. Siswa diberikan waktu yang cukup untuk berfikir, mengumpulkan
informasi dan untuk mengatur strategi mereka dalam memecahkan
masalah. Cara berfikir kreatif siswa juga dituntut dalam proses ini.
5. Memotivasi para siswa untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dari
masalah yang dipelajari karena level yang terlalu tinggi, sehingga
membuat siswa berkecil hati.
6. Suasana dan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan santai
harus diterapkan agar kemampuan berfikir siswa dalam
Dalam implementasi pembelajaran dengan metode belajar
belajar berdasarkan masalah dirancang dengan struktur pembelajaran,
Savoi dan Andrew (1994), mengemukakan enam tahapan proses
pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sebagai berikut:17 1. Mulai dengan menyajikan masalah.
2. Masalah hendaknya berkaitan dengan dunia siswa (masalah riil). 3. Organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah.
4. Memberi siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan
mengarahkan pembelajaran sendiri.
5. Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam proses
pembelajaran.
6. Menuntut siswa untuk menampilkan sesuatu yang telah mereka
pelajari.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang
program metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sehingga proses pembelajaran benar-benar menjadi berpusat pada
siswa (student centered) adalah sebagai berikut :
1. Fokuskan permasalahan (problem) sekitar pembelajaran
konsep-konsep sains yang esensial dan strategis.
2. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi
gagasannya melalui eksperimen atau studi lapangan. Siswa akan
menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya.
3. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengolah data yang
mereka miliki, yang merupakan proses latihan metakognisi.
4. Berikan kesempatan pada siswa untuk mempresentasikan
solusi-solusi yang mereka kemukakan.
17
Putu Yasa, “Belajar Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) dalam
Pembelajaran Fisika Matematika 1 dengan Pendekatan Kooperatif Sebagai Upaya Peningkatan kualitas perkuliahan Semester Pendek Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja”, dalam
Struktur Pelajaran
Struktur pelajaran, peran siswa, dan aktifitas mereka, berperan
seperti halnya peran guru, hal ini secara signifikan berbeda dengan
metode konvensional. Moust, Bouhuijs es Schmidt menentukan fase
metode PBL dalam tujuh fase. Tabel di bawah ini menjelaskan tentang
tujuh langkah dalam metode PBL.18
Tabel 2.1 Tujuh Tahap Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) menurut Moust, Bouhuijs es Schmidt
Tahap Aktivitas Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) 1. Memperjelas
terminologi dan
memperjelas konsep
Menjelaskan konsep dan terminologi yang tidak dipahami oleh siswa.
2. Menggambar kan Masalah
Memperjelas masalah yang akan dipecahkan dengan merumuskan satu atau lebih pertanyaan.
3. Menganalisis masalah
Memberi penjelasan tentang ilmu pengetahuan. Tidak ada diskusi atau pengungkapan pendapat dengan kelompok lain. Banyak perbedaan pendapat mungkin akan menjadi dasar ilmu pengetahuan, pengalaman praktis atau gagasan siswa.
4. Diskusi Diskusi memberi penjelasan dari langkah 3. membuat koneksi antara kelompok satu dengan yang lainnya. 5. Merumuskan
tujuan belajar
Pada langkah ini berkaitan dengan hasil dari langkah 4. merumuskan tujuan belajar merupakan pertanyaan yang harus dijawab.
6. Belajar sendiri
Mencari literatur dan sumber informasi untuk memperoleh pemahaman dan pengetahuan yang berkaitan dengan perumusan pokok materi sebagai tujuan belajar. Pertama, belajar konsep teori, kemudian menerapkannya pada masalah yang telah didiskusikan. 7. evaluasi Agenda dari evaluasi ditentukan oleh tujuan belajar yang
telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Memeriksa referensi-referensi yang telah digunakan. Mendiskusikan teori dan menjelaskan tentang masalah yang ditemukan.
18
Andrea Tick, Application of Problem-Based learning in Classroom activities and
Cuhadaroglu et al., mengemukakan beberapa karakteristik skenario pembelajaran sebagai alat pendidikan dalam PBL, sebagai
berikut:19
1. Masalah-masalah yang akan disajikan harus dipilih terlebih dahulu,
yang paling tepat dan berkaitan dengan kehidupan nyata.
2. Masalah tersebut open-ended.
3. Masalah tersebut harus membuat siswa penasaran dan ingin tahu.
4. Masalah tersebut harus fokus terhadap satu kasus.
5. Masalah tersebut harus mengajarkan mereka bersikap baik dan
mempuntai etika dalam bertingkahlaku.
6. Masalah tersebut harus bisa membantu siswa merasa bebas
mengekspresikan diri mereka.
7. Dengan membuat perumpamaan yang tepat, siswa harus diberikan
kesempatan untuk mengangap masalah tersebut adalah masalah
mereka sehingga mereka sangat ingin memecahkan dan
menyelesaikan masalah tersebut.
19
Peran Siswa
Di dalam metode PBL guru membentuk siswa dari pasif
menjadi aktif. Hal ini berlawanan dengan metode konvensional,
“berinteraksi” pelajaran tidaklah hanya aktif memberikan pendapat
atau diskusi. Siswa dapat bermain dengan tiga peran utama di dalam
proses pembelajaran, peran di ambil dalam suatu pembelajaran di
dalam diskusi atau berperan sebagai kelompok yang tidak
mendengarkan pelajaran, pemimpin diskusi, asisten, dan anggota
kelompok. Tugas yang berhubungan dengan peran diringkas dalam
tabel di bawah ini.20
Tabel 2.2 Peran Siswa dalam Problem Based Learning (PBL) menurut Moust, Bouhuijs es Schmidt
Peran Tugas
Pemimpin
diskusi
•Memimpin diskusi
•Memantau diskusi dan waktu
•Meringkas setiap hasil dari langkah-langkah diskusi sesuai dengan tujuh tahap dalam PBL.
•Memotivasi keikutsertaan anggota kelompok untuk
aktif berdiskusi
•Memotivasi dirinya untuk aktif berdiskusi
Asisten •Menuliskan di papan tulis tujuh tahap pembelajaran
PBL agar siswa yang lain dapat membacanya.
•Menyediakan perlengkapan diskusi
•Berpartisipasi secara aktif selama berlangsungnya
diskusi.
Anggota
kelompok
Memberikan kontribusi secara aktif dalam berdiskusi
Mencatat dan membuat tulisan berbagai hal yang
relevan dengan isi materi untuk kelompok mereka
masing-masing atau untuk dirinya.
Dalam metode PBL siswa harus mencari informasi, bahan
materi pelajaran, dan menyampaikan ilmu pengetahuan yang diperoleh
kepada siswa lainnya dan guru ketika mereka berada dalam kelompok
mereka sesuai dengan tahap-tahap PBL.21 Kriteria pokok dari
kelompok adalah kerjasama kelompok, siswa berpartisipasi secara
aktif dalam menyelesaikan masalah dengan berfikir kreatif dan
memberikan pendapat, seperti halnya mereka mengumpulkan
informasi pada saat mereka belajar sendiri untuk menyelesaikan
masalah mereka. Selanjutnya, siswa harus mempelajari teori atau
mengumpulkan informasi, hal ini agar memungkinkan mereka
mengingat kembali pengetahuan mereka tentang teori yang akan
didiskusikan dan digunakan secara aktif ketika diskusi.
Peran Guru
Dengan cara yang sama pada saat peran siswa berubah, peran
guru juga berubah tidak lagi pembelajaran berpusat pada guru. Guru
hanya mengawasi pada saat pembelajaran dan berperan sebagai
fasilitator, hal ini akan menciptakan lingkungan belajar di mana para
siswa merasa nyaman dan akan mendukung mereka untuk berpendapat
secara bebas. Pada kegiatan belajar mengajar kesalahan akan mungkin
menjadi suatu kesempatan untuk terus berusaha belajar. Guru tentu
saja memiliki pengetahuan yang lebih profesional, oleh karena itu
setelah para siswa diskusi guru memberikan refleksi tentang kegiatan
diskusi dan menjelaskan kembali materi yang telah didiskusikan
ketujuan pembelajaran yang benar. Jika pemecahan masalah hanya
berpusat pada guru pembimbing, maka guru cukup memberikan
pertanyaan dalam rangka “Tanya-jawab” seharusnya guru “hanya
menilai para siswa dengan membiarkan mereka berdiskusi dan ikut
serta dalam interaksi dalam kelompok”.
21
Guru seharusnya memberikan rangsangan dalam proses
pembelajaran, untuk tetap aktif pada saat bekerjasama dengan
kelompok mereka, mengawasi, menilai keseluruhan dan menilai
kesulitan dari diskusi, proses belajarnya, dan mencapai tujuan
pembelajaran. Seorang guru tidak hanya memberikan intruksi, tetapi
memberikan contoh kepada siapa saja siswa yang membutuhkan
pertolongan agar mereka dapat menyelesaikan masalah yang diberikan
guru, sehingga mereka menemukan penyelesaian sendiri. Siapa saja
yang mampu berfikir kreatif diantara siswa yang lain maka akan
diberikan penambahan nilai dan dikategorikan sukses dalam
menyelesaikan masalah. Konsekuensinya adalah PBL lebih efisien dan
membuat siswa lebih termotivasi dalam proses pembelajaran.
2. Hasil Belajar
Hasil belajar pada dasarnya adalah suatu kemampuan yang berupa
keterampilan dan perilaku baru sebagai akibat latihan atau pengalaman.
Dalam hal ini Soedijarto mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat
penguasaan suatu pengetahuan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti
program belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang
ditetapkan. Gagne dan Briggs menyatakan bahwa hasil belajar adalah
kemampuan yang diperoleh seseorang sesudah mengikuti proses belajar.
Reigeluth mengemukakan bahwa hasil belajar adalah prilaku yang dapat
diamati yang menunjukkan kemampuan yang dimiliki seseorang. 22
Benjamin S. Bloom membagi hasil belajar ke dalam tiga ranah,
yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif berkaitan dengan
tujuan-tujuan pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan berpikir,
mengetahui dan memecahkan masalah. Ranah afektif berkaitan dengan
tujuan-tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, nilai, dan sikap
22
yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Ranah
psikomotor berkaitan dengan keterampilan motorik, manipulasi bahan atau
objek.
Hasil belajar dalam ranah kognitif tersebut secara rinci
dikategorikan ke dalam enam jenjang kemampuan yaitu ingatan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah afektif
adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai, sikap adalah salah
satu istilah bidang psikologi yang berhubungan dengan persepsi dan
tingkah laku. Ranah afektif ini dirinci oleh Krathwohl dkk., menjadi lima
jenjang, yaitu perhatian atau penerimaan (receiving), tanggapan (responding), penilaian atau penghargaan (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi terhadap suatu atau beberapa nilai (characterization by a value or value complex).23
Simpson (1956) menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini
tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu.
Ranah psikomotor ada yang membagi menjadi tujuh tingkatan dan ada
pula yang hanya enam tingkatan, yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan
terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola
gerakan, dan kreatifitas.24 Semua itu bersifat hirarki, artinya kemampuan
yang pertama harus dikuasai terlebih dahulu sebelum menguasai
kemampuan kedua.
3. Definisi Nilai
Kata “value”, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi nilai, berasal dari bahasa latin valere atau bahasa Prancis Kuno valoir. Sebatas arti denotatifnya, valere, valoir, value, atau
nilai dapat dimaknai sebagai harga. Namun, ketika kata tersebut sudah dihubungkan dengan suatu obyek dari sudut pandang tertentu, harga yang terkandung di dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Ada
23
Ahmad Sofyan, et al. Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, (Jakarta : UIN Jakarta press, 2006), h.20.
24
harga menurut ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi,
pendidikan, politik, maupun agama. Istilah nilai banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara lisan, maupun secara tertulis. Istilah
nilai mempunyai pengertian yang mirip dengan kebaikan.
Ada dua pandangan tentang nilai. Yang pertama berpandangan
bahwa nilai merupakan ukuran tertinggi dari perilaku manusia dan
dijunjung tinggi oleh sekelompok masyarakat serta digunakan sebagai
pedoman dalam sikap dan bertingkah laku. Pandangan lain menganggap
bahwa nilai merupakan hal yang tergantung pada penangkapan dan
perasaan orang yang menjadi subyek terhadap sesuatu atau fenomena
tertentu.25
Nilai didefinisikan dengan cara berbeda-beda oleh banyak ahli, hal
ini dikarenakan pengertian nilai disesuaikan dengan teori atau sudut
pandang yang dianut oleh para ahli. Seperti dinyatakan Kurt Baier,
seorang sosiologi menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang
keinginan, kebutuhan, kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan
tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog menafsirkan nilai sebagai suatu
kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti
hasrat, motif, sikap, kebutuhan, dan keyakinan yang dimiliki secara
individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik. Seorang
antropolog melihat nilai sebagai “harga” yang melekat pada pola budaya
masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum, dan
bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Lain lagi
dengan seorang ekonom yang melihat nilai sebagai “harga” sutau produk
dan pelayanan yang dapat diandalkan untuk kesejahteraan manusia.26
Dalam pendidikan tentu saja pilihan yang diharapkan adalah nilai-nilai
yang sesuai dengan tuntutan yang ada, baik yang berlaku dalam
masyarakat maupun ajaran agama.
25
Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat (model Pembelajaran kontekstual
Bermuatan Nilai), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h.82.
26
Perbedaan cara pandang mereka dalam memahami nilai telah
berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan
empat definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda.
1. Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar
pilihannya. Definisi ini kemukakan oleh Gordon Allport. Menurut
Allport nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan.
2. Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif
(Kupperman, 1983). Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma
sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia.
3. Nilai adalah sesuatu yang ditunjukan dengan kata “ya”. Definisi ini
merupakan definisi yang memiliki kerangka yang lebih umum dan luas
dari pada dua definisi sebelumya.
4. Nilai adalah konsepsi (tersirat arau tersurat, yang sifatnya
membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang
diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara
dan tujuan akhir tindakan. Definisi ini dirumuskan oleh Kluckhohn
(Brameld, 1957). Menurut Brameld, definisi itu memiliki banyak
implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dalam pengertian
yang lebih spesifik jika dikaji secara mendalam. Namun Brameld
dalam bukunya tentang landasan-landasan budaya pendidikan hanya
mengungkapkan enam implikasi penting, yaitu :
a. Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif (logis
dan rasional) dan proses katektik (ketertarikan atau penolakan
menurut kata hati).
b. Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna
apabila diverbalisasi.
c. Apabila hal itu berkenanaan dengan budaya, nilai diungkapkan
dengan cara yang unik oleh individu atau kelompok.
d. Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu
diinginkan, ia didefinisikan berdasarkan keperluan sistem
kepribadian dan sosio-budaya untuk mencapai keteraturan atau
untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial.
e. Pilihan diantara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks
ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends).
f. Nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada
saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.
Definisi nilai di atas merupakan empat dari sekian banyak definisi
nilai yang dapat dirujuk. Untuk kebutuhan pengertian nilai yang lebih
sederhana, namun mencakup keseluruhan aspek yang terkandung dalam
empat definisi di atas, kita dapat menarik suatu definisi baru, yaitu : nilai
adalah rujukan atau keyakinan dalam menentukan pilihan.27
Untuk memahami pengertian nilai secara lebih dalam, berikut ini
akan disajikan sejumlah definisi nilai dari beberapa ahli.
1. Joseph R. Roncek dan Ronald L.Warren, manyatakan bahwa nilai
merupakan suatu kemampuan yang memuaskan setiap keinginan
manusia, yang dinyatakan sebagai ciri sesuatu benda, buah pikiran,
atau isi dari sesuatu pengalaman.28
2. Nilai adalah bentuk khusus dari motivasi yang melekat pada diri
seseorang dalam masa yang lama, diekspresikan secara konsisten,
stabil, dan layak untuk digunakan. Definisi ini dirumuskan oleh
Straughan dan Wrigley.
3. Menurut Kniker, nilai sebagai gabungan sikap yang menghasilkan
perbuatan atau pilihan dengan sengaja untuk menghindari tindakan
tersebut.
4. Frankel menjelaskan nilai sebagai gagasan atau suatu konsep tentang
apa yang dipikirkan seseorang yang penting dalam kehidupan.
5. Menurut Shaver dan String nilai adalah patokan dan prinsip-prinsip
kita yang merupakan kriteria untuk menimbang atau menilai suatu hal
27
Ibid, hal. 11
28
apakah baik atau buruk, berguna atau sia-sia, dihargai atau tercela, atau
di antara kedua ekstrim itu.
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa nilai
merupakan suatu gagasan atau konsep yang dijadikan acuan atau patokan
dan motivasi dalam menentukan suatu hal atau tindakan yang hasilnya
berguna atau sia-sia. Konsep atau gagasan tersebut dipegang dalam waktu
yang relatif lama sehingga stabil dan dinyatakan secara konsisten.
Rokesch (dalam Lim Loong Fatt) mendefinisikan nilai sebagai
berikut:
A “Value” is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence.29
Secara singkat dapat diartikan nilai adalah kepercayaan bahwa
suatu tindakan atau hasil memiliki suatu kelebihan (baik secara sosial atau
personal) dibandingkan hal lain yang berbeda atau yang menjadi
kebalikannya.
Seah dan Bishop (2001) menjelaskan bahwa nilai yang dipahami
pengajar mewakili “pengaturan kognisi” dalam berbagai variabel semacam
kepercayaan dan perilaku, dan penghayatan nilai tersebut dalam sistem
afektif kognitif pribadi mereka.30 Pengertian nilai menurut Schwartz
(1994) adalah:31
1. Suatu keyakinan,
2. Berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu,
3. Melampaui situasi spesifik,
4. Mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu,
dan kejadian-kejadian, serta
29
Lim Loong Fatt, Inculcating Values Through Science Pratical Work, makalah
disampaikan dalam seminar International Seminar On Development of Value In Mathematics And Science Education, Faculty of Education, University of Malaya, 3 Agustus 2007, h.3.
30
Alan J. Bishop, Value in Mathematics and Science Education: Similarities and
Differences, dalam Journal The Montana Mathematics Enthusianst, ISSN 1551-3440, Vol.5, no.1, h.1.
31
5. Tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
4. Nilai dalam Pembelajaran Sains
Istilah nilai, seperti halnya ilmu pengetahuan, berakar dan
diperoleh dari sumber yang objektif. Pengetahuan itu sendiri memiliki
nilai-nilai tertentu. Cara para ahli mengklasifikasi nilai juga cukup
beragam tergantung pada sudut pandang dan disiplin ilmu yang mereka
miliki. Albert Einstein berpendapat bahwa sains mengandung nilai-nilai,
seperti nilai religi, nilai praktis, nilai intelektual, nilai sosial-politik, dan
nilai pendidikan.32
Science without religion is blind, religion without science is limb
Gambar 2.1 Nilai Sains Menurut Einstein
32
Suroso Adi Yudianto, Manajemen Alam Sumber Pendidikan Nilai (Bandung: Mughni
Berbeda dengan Bishop dalam jurnalnya mengklasifikasikan nilai
dalam pendidikan sains, yakni:33
Tabel 2.3 Value in Science
Sains
Rasionalisme
Sebab, penjelasan, alasan hipotetis, abstraksi, pemikiran
logis, teori
Empiris
Atomisme, tujuan, materialisasi, simbolisasi, pemikiran
analogis, pengukuran, ketepatan, koherensi, ketertarikan,
keterbatasan, identifikasi masalah
Kontrol
Prediksi, penguasaan masalah, pengetahuan, aturan,
paradigma, kondisi aktifitas
Kemajuan
Pertumbuhan, perkembangan pengetahuan secara
kumulatif, generalisasi, pemahaman mendalam,
alternatif kemungkinan
Keterbukaan
Artikulasi, sharing, kredibilitas, kebebasan individu,
konstruksi pribadi
Misteri
Intuisi, perkiraan, khayalan, keingintahuan, kesan
33
Klasifikasi nilai berdasarkan pendapat Albert Einstein akan
dikemukakan dalam uraian di bawah ini.
1. Nilai religi
Nilai religi berorientasi kepada nilai keimanan sebagai
dasar segala pemikiran dan tindakan yang berhubungan kepada
kesadaran akan kekuasaan Tuhan YME dengan segala sifat asmaul
husna lainnya. Nilai keimanan ini dapat meningkatkan ketakwaan
kepada Tuhan YME. Menurut pandangan Einstein bahwa nilai
religi sains adalah nilai yang dapat membangkitkan kesadaran akan
keberadaan Tuhan di alam sebagai Sang Maha Pencipta dan
sifat-sifat Tuhan lainnya.
Dalam sains dipelajari berbagai fenomena dan keajaiban
alam yang luar biasa, beserta hukum-hukumnya yang teratur, rapi,
dan harmonis. Selain berperan penting menghasilkan berbagai
teknologi dan produknya, sains juga berperan sebagai media
pengenalan dan peningkatan rasa kekaguman serta keimanan
kepada Tuhan. Kesadaran manusia terhadap kekuasaan Tuhan akan
muncul bila dihadapkan kepada segala keteraturan fenomena alam,
keseimbangan alam, peristiwa sebab akibat yang terjadi di alam,
daur hidup materi dan aliran energi.
Mencurahkan akal untuk memikirkan Zat Sang Pencipta
adalah pemborosan energi akal, mengingat pengetahuan tentang
zat-Nya tidak mungkin dicapai oleh manusia. Maka, manusia
cukup memikirkan tentang ciptaan-ciptaanNya di langit, di bumi,
dan dalam diri manusia sendiri. Penciptaan alam oleh Sang
Pencipta yang sungguh luar biasa teraturnya mengandung hikmah
dan pelajaran kepada manusia. Diantaranya, suatu sistem dan
lingkungan akan terganggu jika ada unsur yang rusak, terganggu,
serta tidak mengikuti aturan dan hukum-hukum alam yang telah
ditetapkan di dalamnya. Jadi, ketika belajar sains, nilai-nilai
2. Nilai praktis
Nilai praktis berhubungan dengan aspek-aspek manfaat
sains bagi kehidupan manusia. Sains telah membuka jalan ke arah
penemuan-penemuan yang manfaatnya langsung dapat digunakan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Aplikasi sains
dalam bidang ini adalah teknologi. Sains dan teknologi adalah
saling membutuhkan, saling mengisi untuk berkembang.
3. Nilai intelektual
Nilai intelektual mengajarkan kecerdasan seseorang agar
menggunakan akalnya untuk memahami sesuatu. Sains dengan
metode ilmiahnya, banyak digunakan manusia untuk memecahkan
masalah-masalah. Sains adalah sesuatu yang menuntut kecerdasan
dan ketekunan. Di dalam mencari jawaban persoalan, yang
merupakan kebenaran ilmiah seorang ilmuan harus mengambil
keputusan atau pertimbangan yang rasional, dan didasarkan atas
pertimbangan yang objektif, atas kebenaran fakta. Kemajuan sains
dapat dicapai, apabila setiap saintis dapat mengembangkan nilai
intelektul dari sains itu secara terus menerus. Dengan
mengembangkan nilai intelektual suatu bahan ajar sains dapat
dianalisis suatu kelemahan dan kelebihannya untuk peningkatan
bahan ajar tersebut.
4. Nilai sosial-politik-ekonomi
Nilai sosial-politik-ekonomi memberikan suatu model
menjalin hubungan sesama manusia sebagai makhluk sosial yang
tidak bisa hidup sendiri, melainkan membutuhkan orang lain. Di
bidang politik, kemajuan sains suatu Negara akan menempatkan
Negara itu dalam kedudukan politik yang menguntungkan. Produk
sains dan teknologi membuka jalan ke arah berkembangnya
perekonomian suatu Negara. Kemajuan sains dan teknologi suatu
bangsa juga akan membawa pada tingginya rasa kebangsaan
Nilai sosial berorientasi pada hubungan sosial di dalam
kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain nilai sosial terbentuk
karena manusia saling membutuhkan satu sama lain. Secara
instrinsik hukum-hukum dan rumus-rumus sains selalu melibatkan
berbagai faktor pendukung, sehingga hukum-hukum dan
rumus-rumus sains tidak dapat berdiri sendiri. Dengan demikian, nilai
sosial suatu bahan ajar sains menunjukkan satu kesatuan.
faktor-faktor yang berinteraksi sehingga menimbulkan fenomena dalam
suatu bahan ajar sains itu yang berupa konsep, prinsip-prinsip, dan
teori dalam sains. Nilai ekonomi menekankan bahwa tujuan
pembelajaran sains harus diarahkan agar peserta didik mampu
memproduksi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan
kesejahteraan kehidupan masyarakat.
5. Nilai pendidikan
Menurut Einstein, bahwa nilai pendidikan sains adalah
kandungan nilai yang dapat memberi inspirasi atau ide untuk
memenuhi kebutuhan manusia dengan belajar dari prinsip-prinsip
atau aturan-aturan yang berlaku dalam sains. Dengan demikian,
nilai pendidikan ini bukan hanya meyangkut pendidikan mental
sebagaimana disebutkan di atas, tetapi juga mencakup pendidikan
teknik, pendidikan seni dan lukis, pendidikan sistem pemerintahan
dan kepemimpinan, dan pendidikan lainnya yang sifatnya meniru
atau memodifikasi dari hukum alam untuk diterapkan menjadi hasil
Menurut Sukarno, dkk, nilai-nilai sains yang dapat
diterapkan dalam dunia pendidikan adalah :34
1. Kecakapan berfikir dan bekerja menurut langkah-langkah yang
teratur.
2. Keterampilan mengadakan pengamatan dan penggunaan
alat-alat eksperimentasi.
3. Memiliki sikap ilmiah, antara lain :
a. Tidak berprasangka dalam mengambil keputusan.
b. Sanggup menerima gagasan-gagasan dan saran-saran baru
(sikap toleran).
c. Sanggup mengubah kesimpulan dari hasil eksperimennya
bila ada bukti-bukti yang lebih menyakinkan.
d. Bebas dari takhyul.
e. Dapat membedakan antara fakta dan opini.
f. Membuat perencanaan teliti sebelum bertindak.
g. Teliti, hati-hati, dan seksama dalam bertindak.
h. Ingin tahu apa, bagaimana, dan mengapa demikian?
i. Menghargai pendapat dan penemuan para ahli sains.
j. Menghargai baik isi maupun metode sains.
5. Nilai dalam Pembelajaran Konsep Cahaya
Berikut ini adalah nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam
pembelajaran cahaya, berdasarkan pendapat Einstein IPA mengandung
lima nilai yaitu: nilai religius, praktis, intelektual, sosial-politik, dan
pendidikan.
1. Nilai Religius
Berikut nilai religius yang dapat dikembangkan dalam
pembelajaran cahaya, yaitu:
34
a. Cahaya dalam hal ini dapat diartikan sebagai petunjuk dari Allah
SWT, petunjuk ke arah kebenaran dalam melaksanakan kehidupan
di dunia untuk bekal di akhirat. Dalam kenyataannya kita tidak
mungkin melihat alam beserta segala isinya dalam wujud dan
warna yang bermacam-macam tanpa datangnya cahaya pada benda
yang bersangkutan dan mengirimkannya kembali ke mata kita.
Peristiwa ini terjadi karena adanya pemantulan cahaya, seperti
dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 40, yang artinya:
“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang meliputi oleh ombak yang diatasnya lagi awan; gelap gulita yang tindih tertindih, apabila ia mengeluarkan tangannnya, tiadalah ia dapat melihatnya dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah mempunyai cahaya sedikitnya.” (QS. An Nuur, 24: 40)
b. Gambaran tentang gejala fisis yang terjadi akibat peristiwa
pemantulan cahaya digaungkan dengan pembelokkan cahaya
(pembiasan), selalu terjadi di atas permukaan datar. Pada
permukaan yang tidak halus gelombang akan mengalami
penyebaran dan tidak akan terlihat dari jarak jauh. Seperti
dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 39, yang artinya:
“…..laksana fatamorgana di tanah yang datar…” (QS. An Nuur: 39)
c. Dengan adanya peristiwa pemantulan pada permukaan kasar dan
permukaan halus mencerminkan bahwa Allah akan memberikan
cahaya atau petunjuk kepada umat-Nya bergantung dari amal yang
kita perbuat. Jika permukaan kasar maka terjadi pemantulan yang
berbaur, artinya perbuatan kita yang tidak baik itu akan sia-sia
sehingga untuk menghindarkan dari perbuatan tersebut maka kita
harus mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebaliknya jika
mendapat pahala baik di dunia maupun di akhirat. Seperti
dikemukakan dalam surat An Nuur ayat 35. yang artinya:
“….cahaya di atas cahaya Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki.” (QS. An Nuur:35)
2. Nilai Praktis
Nilai praktis yang bisa diperoleh dari pembelajaran konsep
cahaya bernuansa nilai antara lain:
a. Cahaya memiliki sifat dapat dipantulkan sehingga kita dapat
melihat bayangan diri kita pada cermin, juga kaca spion kendaraan
dapat membantu melihat pandangan di bagian belakang kendaraan
sehingga tidak perlu menengok lagi.
b. Pembiasan cahaya pada lensa bisa membantu manusia yang
menderita cacat mata dengan kaca mata sesuai ukuran lensa jenis
cacat matanya.
c. Dengan prinsip polarisasi, manusia bisa membuat foto dari lapisan
Polaroid kemudian mencetaknya ke dalam lembaran kertas foto.
d. Dengan prinsip pemantulan cahaya, manusia bisa membuat api dari
pantulan cahaya itu terhadap cermin cembung pada jarak fokus
tertentu.35
3. Nilai Intelektual
Berikut ini beberapa pendidikan nilai intelektual pada
pembelajaran konsep cahaya bernuansa nilai, yaitu:
a. Ketika cahaya menembus air laut mengalami interferensi,
sehingga tiram yang terdapat di dasar laut yang memiliki
lapisan keras akan memantulkan cahaya yang sampai
kepadanya, maka dasar laut menjadi terang.
b. Cahaya dapat mengalami polarisasi sehingga hal tersebut dapat
membuktikan bahwa cahaya merupakan gelombang
transversal.
35
c. Adanya cahaya pemantulan, difraksi dan interferansi, manusia
bisa melihat benda-benda langit pada malam hari sehingga kita
bisa mempelajari jenis lain dari benda langit, selain matahari.
d. Dengan mengetahui bahwa cahaya merupakan gelombang
elektromagnetik maka kita bisa mengetahui cepat rambat
cahaya sama dengan 3 × 108 m/s.
e. Dengan adanya cahaya melalui teleskop luar angkasa, kita
dapat mengetahui umur alam semesta sehingga kita bisa
menghitung jarak antara benda langit lain dengan bumi dari
prinsip ini.
f. Dengan prinsip difraksi maka kita bisa melihat riak-riak air laut
pada malam hari dan menyimpulkan bahwa cahaya merupakan
gelombang.36
4. Nilai Sosial-Politik
Pendidikan nilai sosial-politik pada pembelajaran konsep
cahaya bernuansa nilai yaitu:
a. Sifat cahaya yang dapat mengalami pembiasan, kita bisa
melihat intan atau berlian berkilauan ketika terkena cahaya
sehingga memberikan nilai jual yang tinggi, oleh karena itu
manusia bisa saling berinteraksi untuk melakukan transaksi jual
beli barang tersebut.
b. Dengan mengggunakan prinsip semua sifat-sifat yang dimiliki
oleh cahaya sebagai gelombang, kita dapat memuat kamera
yang dipakai untuk saling berinteraksi.
c. Dengan adanya cahaya kita bisa melihat siaran televisi
sehingga kita bisa melihat perkembangan kehidupan di seluruh
belahan dunia.37
36
Ibid,h.307 - 308.
37
5. Nilai Pendidikan
Berkaitan dengan nilai pendidikan, maka ada beberapa nilai
yang dapat dikembangkan dari pembelajaran cahaya, yaitu:
a. Dengan berprinsip pada semua sifat-sifat yang dimiliki oleh
cahaya sebagai gelombang, kita dapat membuat
bermacam-macam alat optik, seperti; Lup, Mikroskop, Teleskop,
Teropong, dan lain-lain untuk kita gunakan dalam
pembelajaran dan berbagai keperluan hidup manusia.
b. Dengan adanya cahaya kita dapat membedakan berbagai jenis
warna, kita bisa memanfaatkannya untuk berbagai jenis
kegiatan.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan,
antara lain:
Leny Nurdiyaningsih (2007) dalam skripsinya yang berjudul
“Pengembangan Pembelajaran dengan Pendekatan PBL (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Surat Pembaca Siswa Kelas XI IPS 5 SMAN 23 Kota Bandung” menyatakan bahwa pembelajaran
dengan pendekatan PBL menunjukan adanya perkembangan kemampuan
siswa dalam menulis surat pembaca.38
Suherman (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Melalui Penerapan Model
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning)” memperoleh kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat
meningkatkan hasil belajar fisika siswa.39
38
Leny Nurdiyaningsih, Pengembangan Pembelajaran dengan Pendekatan PBL (Problem
Based Learning) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Surat Pembaca Siswa Kelas XI IPS 5 SMAN 23 Kota Bandung, (Skripsi PPS UPI, 2007)
39
Fitri Yuni Astiti (2007) dalam skripsinya yang berjudul “Model
pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII Semester II SMP N 5 Semarang
Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar Tahun pelajaran 2006/2007”. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.40
Sementara itu Neneng Olivia (2005) dalam skripsinya yang berjudul
“Pengembangan Keterampilan Proses Berbasis Nilai-Nilai Sains untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP Kelas VII” menyatakan bahwa terjadi
peningkatan hasil belajar siswa yang mencakup aspek kognitif, psikomotorik,
dan afektif dari kegiatan pembelajaran dengan penanaman nilai-nilai sains.41
C. Kerangka Pikir
Kondisi sumber daya manusia Indonesia baik dari ilmu pengetahuan
dan teknologi juga dari sisi sosialnya, masih memperhatinkan. Percepatan
globalisasi dan masuknya era industri modern membawa dampak yang luar
biasa. Perkembangan Arus informasi yang pesat, persaingan yang ketat dan
pembaruan etnis, suku dan ras, mengakibatkan banyak perubahan pada wajah
dunia.
Sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan, dimana eksistensinya
secara otomatis terkena efek dari perkembangan dunia saat ini. Maka
pengetahuan yang dipelajari di sekolah dan hal-hal yang berkaitan dengan
proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan keadaan real di lapangan
dan perkembangan pendidikan dunia, tentu saja tidak mengabaikan bahwa
sekolah sebagai salah satu tempat pembentukan karakter dan akhlak peserta
didik dalam rangka meningkatkan kemampuan manusia Indonesia disertai
dengan akhlak yang baik.
40
Fitri Yuni Astiti, Model pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII Semester II SMP N 5 Semarang Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar Tahun pelajaran 2006/2007, http://digilib.unnes.ac.id/.
41
Belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu ke arah sudah
mampu, dan proses perubahan itu terjadi selama jangka waktu tertentu.
Adanya perubahan tingkah laku itulah yang disebut dengan kegiatan belajar.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kegiatan tersebut dapat disebut
dengan hasil belajar.
Pencapaian hasil belajar yang optimal perlu memperhatikan beberapa
faktor yang mempengaruhi belajar itu sendiri, sehingga kita dapat
menggunakan metode yang tepat untuk merealisasikan faktor-faktor tersebut.
Dalam buku Muhibin Syah disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kegiatan belajar adalah faktor eksternal, faktor internal, dan faktor pendekatan
belajar.
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar, digolongkan
menjadi dua, yaitu faktor sosial dan non sosial. Faktor sosial berkaitan dengan
interaksi siswa. Adapun faktor non sosial berkaitan dengan sarana dan
prasarana, seperti keadaan udara, tempat belajar, penggunaan alat-alat belajar,
dll. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri. Faktor
internal digolongkan menjadi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor
pendekatan belajar, yakni sejenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi
dan metode yang digunakan untuk melakukan kegiatan pembelajaran.
Dalam memilih metode pembelajaran yang tepat dan inovatif, terdapat
beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan. Salah satu aspek yang
dipertimbangkan adalah tingkat kemampuan siswa yang begitu beragam,
sehingga guru tidak dapat memberikan perlakuan yang sama kepada siswa.
Selain itu, mempersiapkan strategi atau perencanaan dalam pembelajran
dinilai sangat penting. Hal ini termasuk dalam metode pembelajaran dalam
menyampaikan materi kepada peserta didik, dengan demikian diharapkan
dapat mencapai hasil belajar yang diharapkan.
Penerapan Problem Based Learning (PBL) pada konsep cahaya bernuansa nilai dalam kegiatan belajar mengajar, diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan siswa tidak hanya sebatas konsep, tetapi
bermanfaat bagi dirinya dan dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah
pada kehidupan sehari-hari maupun masalah lingkungan sosialnya.
Dari landasan inilah dalam penelitian ini peneliti menerapkan Problem Based Learning (PBL) pada konsep cahaya bernuansa nilai dalam kegiatan belajar mengajar, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, selain
itu diharapkan dapat membantu siswa dalam pemahaman nilai yang
terkandung dalam pembelajaran yang disampaikan, sehingga dapat
menghasilkan SDM yang berpengetahuan, kreatif, berbudi pekerti luhur, dan
Permasalahan
Tantangan Globalisasi
KBM di sekolah belum maksimal (pemahaman siswa sebatas konsep, teacher center, metode kurang variatif)
Kualitas SDM (intelektual,
emosional, spiritual)
Materi ajar bernuansa nilai Metode inovatif
Metode PBL
Gambar 2.2Bagan Kerangka Pikir
Pembelajaran pada konsep cahaya bernuansa nilai melalui PBL
Ranah Kognitif Ranah afektif
Tes objektif Angket Skala sikap
Peningkatan hasil belajar pada konsep cahaya bernuansa nilai
Pemahaman siswa tidak sebatas konsep, pemahaman nilai yang terkandung dalam materi ajar,
menghasilkan SDM (memiliki kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional)
Uji Statistik Presentase
D. Pengajuan Hipotesis
Dari landasan teori yang dituliskan dan kerangka berpikir yang
dipaparkan maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: