• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh problem based learning (PBL) terhadap hasil belajar siswa pada konsep cahaya bernuansa nilai ( penelitian Quasi eksperimen di SMPTN 7 Tangerang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh problem based learning (PBL) terhadap hasil belajar siswa pada konsep cahaya bernuansa nilai ( penelitian Quasi eksperimen di SMPTN 7 Tangerang)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)

serta tekanan globalisasi dewasa ini telah menyebabkan terjadinya perubahan

nilai-nilai sosial, yang membawa dampak positif dan negatif terhadap

pertumbuhan bangsa kita, termasuk sistem pendidikan kita. Dampak

positifnya adalah terjadinya peningkatan pola pikir dalam berbagai bidang dan

perubahan pola hidup yang lebih efisien. Adapun dampak negatifnya adalah

kesulitan masyarakat dalam memahami dan mencerna perkembangan yang

demikian pesatnya di berbagai bidang, serta terbenturnya berbagai

kecenderungan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita. Konsekuensinya adalah

bahwa dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan IPTEK harus

bersifat realistik serta ditopang dengan pengembangan sikap atau nilai yang

diharapkan dapat menghasilkan SDM yang berpengetahuan, terampil, kreatif,

inovatif, dan berbudi pekerti.

Kehidupan dalam era globalisasi dipenuhi oleh

kompetensi-kompetensi yang sangat ketat. Keunggulan dalam berkompetisi terletak pada

kemampuan dalam mencari dan menggunakan informasi. Dalam hubungan

dengan permasalahan pengembangan SDM dan IPTEK, maka diharapkan

dalam kegiatan pembelajaran sains bukan hanya kegiatan mentransfer ilmu

pengetahuan, melainkan sains harus dipermudah agar dapat diaplikasikan

dalam kehidupan sehari-hari yang lebih realistis. Konsep-konsep sains yang

telah dipelajari dan dikuasai peserta didik diharapkan dapat bermanfaat bagi

dirinya dan dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya

maupun masalah lingkungan sosialnya.

Produk teknologi yang dihasilkan oleh sains dapat dimanfaatkan untuk

memenuhi kebutuhan manusia, namun demikian kemajuan teknologi dapat

pula membawa dampak negatif bagi manusia itu sendiri, hal ini terjadi jika

(2)

penggunaan produk teknologi tersebut dimanfaatkan tidak sesuai dengan

fungsinya secara tepat. Oleh karena itu faktor utama untuk melengkapi

kemajuan sains maupun teknologi itu adalah moralitas manusia.

Sains bukan hanya sekumpulan informasi tentang alam, melainkan

juga mengandung nilai-nilai di setiap bahan ajarnya yang dapat menopang

hidup budaya peserta didik. Oleh karena itu, sains yang semula hanya

menekankan pada pembelajaran konsep dan meningkatkan kemampuan

kognitif, perlu dikembangkan aspek afektif yakni “sikap” untuk meningkatkan

keterampilan emosional, spiritual dan kemampuan kreatif peserta didik.

Dengan demikian diharapkan dapat menumbuhkan sikap kepedulian terhadap

lingkungan. Konsep Drikarya menyatakan bahwa “perlunya keseimbangan antara dimensi kognitif dan afektif dalam proses pendidikan”.1Artinya untuk membentuk manusia seutuhnya tidak cukup hanya dengan mengembangkan

kecerdasan berfikir atau IQ peserta didik, melainkan juga harus disertakan

dengan pengembangan perilaku dan kesadaran moral.

Albert Einstein berpendapat bahwa sains mengandung nilai-nilai, seperti nilai religi, nilai praktis, nilai intelektual, nilai sosial-politik-ekonomi,

dan nilai pendidikan.2 Nilai pendidikan sains berupa pendidikan moral bagi peserta didik. Untuk dapat mengambil pelajaran dari sistem nilai dan moral

yang terkandung dalam sains agar dapat direalisasikan dalam kehidupan

peserta didik, maka diperlukan kemampuan membaca tingkat tinggi. Dalam

al-qur’an disebutkan bahwa :

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq : 1-5).

1

Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Nilai (Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, (Bandung: Alfabeta, 2008), h.13.

2

(3)

Suroso mengemukakan bahwa pembelajaran fisika yang merupakan bagian dari pendidikan sains perlu mendapat pembaharuan, terutama dalam

pengembangan model pembelajaran yang sasarannya bukan hanya penguasaan

pengetahuan dan keterampilan sains, tetapi juga pencapaian nilai-nilai yang

dikandung oleh setiap bahan ajar fisika.3 Dewasa ini sekolah diharapkan dapat

mengembangkan tiga kemampuan yang pada dasarnya telah ada. Menurut

Benjamin S. Blom ketiga kemampuan itu dikenal dengan istilah Taxonomy of Educational objectives, meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotor.4

Nilai tercakup dalam domain afektif. Ketiga kemampuan tersebut

saling melengkapi, hal ini mengintegrasikan bahwa pendidikan bukan hanya

menekankan pembentukan kecerdasan intelektual (domain kognitif), tetapi

juga bertanggung jawab untuk pembentukan kepribadian dan pembinaan

akhlak para peserta didik.

Kenyataan yang ditemui sehari-hari dalam proses pembelajaran di

kelas seringkali guru melaksanakan pembelajaran secara tidak kreatif. Guru

menyampaikan materi fisika kurang variatif dalam menggunakan metode

pembelajaran, hal tersebut menimbulkan pemahaman peserta didik hanya

terbatas konsep dan nilai belajar fisika siswa relatif rendah. Hal tersebut

menyebabkan terbatasnya pengetahuan siswa untuk mengaplikasikannya

dalam kehidupan sehari-hari dan terbatasnya pengetahuan nilai-nilai yang

dikandung dalam bahan ajar. Oleh karena itu, perlu diadakan usaha perbaikan

proses pembelajaran dengan menerapkan metode-metode pembelajaran

inovatif.

Metode Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu solusi agar pemahaman peserta didik tidak hanya terbatas dengan konsep, tetapi juga

siswa diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan dengan berfikir secara

analitis, kritis, dan kreatif. Metode Problem Based Learning (PBL) memiliki kelebihan diantaranya adalah problem solving, Belajar mandiri (self directed

3

Neneng Olivia, Pengembangan Keterampilan Proses berbasis Nilai-Nilai Sains untuk meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP Kelas VII, (Skripsi PPS UPI, 2005), h.3

4

(4)

learning), belajar sepanjang hayat, identifikasi dan evaluasi sumber belajar,

Critical thingking, creative thinking, Belajar dari masalah nyata, cooperative

dan collaborative learning, peer learning, dan reflection.5 Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode Problem Based Learning (PBL).

Pada penelitian ini dipilih konsep cahaya, karena materi tersebut

merupakan salah satu materi fisika pada tingkat SMP yang membutuhkan

tingkat pemahaman konsep konkrit, selain itu konsep cahaya dapat

diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah yang terdapat dalam kehidupan

sehari-hari. Berdasarkan isi materi dari konsep cahaya, siswa dapat diarahkan

untuk menelaah serta mempelajari kandungan nilai-nilai dalam pembelajaran

cahaya yang berguna bagi kehidupan bermasyarakat, sehingga dapat

menghasilkan SDM yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tetapi

juga kecerdasan spiritual dan emosional, serta dapat meningkatkan keimanan

dan ketaqwaan peserta didik terhadap Allah SWT. Berdasarkan latar belakang

yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul: “Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Cahaya Bernuansa Nilai”.

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan di atas kita mendapatkan beberapa permasalahan yang

menarik untuk ditelusuri:

1. Hasil belajar fisika siswa rendah.

2. Terbatasnya pengetahuan siswa untuk mengaplikasikan konsep-konsep

fisika dalam kehidupan sehari-hari.

3. Terbatasnya pengetahuan siswa tentang nilai-nilai yang dikandung dalam

bahan ajar.

5

(5)

C. Pembatasan Masalah

Agar masalah dalam penelitian ini lebih terarah maka ruang lingkup

masalahnya dibatasi pada masalah penerapan Problem Based Learning (PBL)

terhadap hasil belajar siswa, dengan aspek-aspek sebagai berikut:

1. Hasil belajar yang diukur dalam penelitian ini adalah hasil belajar pada

konsep cahaya bernuansa nilai pada ranah kognitif dan afektif. Ranah

kognitif meliputi aspek ingatan (C1), pemahaman (C2), dan aplikasi (C3),

dan analisis (C4).

2. Konsep pembelajaran yang dijadikan bahan kajian penelitian yaitu konsep

cahaya bernuansa nilai.

3. Bernuansa nilai yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah penyisipan

muatan nilai dalam kegiatan pembelajaran dengan Problem Based Learning (PBL). Nilai yang akan disisipkan meliputi nilai religius, nilai praktis dan nilai intelektual.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan

masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah hasil belajar fisika siswa

melalui Problem Based Learning (PBL) pada konsep cahaya bernuansa nilai?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar siswa pada

konsep cahaya bernuansa nilai melalui Problem Based Learning (PBL). Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai masukan mengenai

teknik belajar mengajar metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

(6)

PENELITIAN

A. Deskripsi Teori

1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa

secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan

menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga

mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan

mereka.1 Siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari

konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses

mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah

dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Menurut Johnson

ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual,

yaitu sebagai berikut.2

1). Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Artinya, siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya

secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja

dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat

(learning by doing).

2). Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Artinya, siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah

1

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h.253.

2

Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.274-275.

(7)

dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai

pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.

3). Belajar yang diatur Sendiri (self regulated learning). 4). Bekerjasama (collaborating).

5). Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking).

6). Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Artinya, siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi,

memotivasi, dan memperkuat diri sendiri.

7). Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Artinya, siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi,

mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya.

8). Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari

penerapan pembelajaran kontekstual di kelas, yaitu sebagai berikut.3

1). Kontruktivisme

Kontruktivisme adalah berfikir pembelajaran kontekstual yang

menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit

demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas

dan tidak sekoyong-koyong. Dalam kontruktivisme pembelajaran

harus dikemas menjadi proses “mengonstruksi” bukan “menerima”

pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun

sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses

belajar dan mengajar.

2). Inkuiri

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran

berbasis kontekstual yang berpendapat bahwa pengetahuan dan

keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil

mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan

sendiri.

3

(8)

3). Bertanya

Bertanya dalam pembelajaran sebagai kegiatan guru untuk

mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.

Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam

melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali

informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan

mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.

4). Masyarakat belajar (learning community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran

diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh

dari ‘sharing’ antara teman, antar kelompok, dan antara yang sudah tahu ke yang belum tahu. Dalam kelas kontekstual, guru

disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam

kelompok-kelompok belajar.

5). Pemodelan

Pemodelan artinya dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau

pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada

dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan,

mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya

untuk belajar, dan melakukan apa yang diinginkan guru agar

siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi,

pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar.

6). Refleksi

Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari dan

berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di

masa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan

atau pengetahuan yan baru saja diterima.

7). Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Penilaian

(9)

pada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengan

berbagai instrument penilaian.

b. Problem Based Learning (PBL)

Problem Based Learning (PBL) adalah metode pembelajaran penanaman masalah merupakan bagian dari strategi pembelajaran

kontekstual (CTL). PBL merupakan salah satu solusi dari metode

pembelajaran yang bersifat konvensional, didaktis, dan sebagai metode

yang dapat bermanfaat untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.

Bagaimanapun, terdapat beberapa kriteria untuk mendefinisikan PBL.

Hal yang penting adalah PBL dikenal sebagai metode pembelajaran

kontruktivisme. Savery dan Duffy meringkas pusat dari

kontruktivisme:4

1. Pemahaman didasarkan pada pengalaman terhadap isi, konteks,

cita-cita siswa, dan lain-lain. Jadi, pemahaman adalah suatu bentuk

unik pada setiap individual siswa.

2. Pemberian materi tidaklah disebarkan, walaupun mungkin saja

diuji untuk mencocokan dengan materi dari perspektif yang lain,

pengamatan mungkin dianggap sebagai hal yang lebih baik

dibandingkan melokalisir individu.

3. Memecahkan teka-teki menjadi faktor yang memotivasi belajar.

4. Negosiasi sosial dan terus menerus mencoba tentang konsep

kelangsungan hidup berada dihadapan pengalaman pribadi akan

menjadi kekuatan prinsip mengenai evolusi pengetahuan.

4

(10)

Tiga ciri khusus PBL meliputi:5

1. Pelajaran berkaitan dengan permasalahan yang ada di kehidupan

nyata siswa.

2. Pengembangan pengetahuan melalui interaksi sosial, dimana siswa

bekerjasama dalam kelompok kecil.

3. Pemikiran teori dan belajar secara langsung, dimana berfikir

sendiri dan belajar dari kehidupan adalah suatu pendorong atau

motivasi.

Menurut Ibrahim dan Nur (2000) dan Ismail (2002), PBL

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:6

1. Mengajukan pertanyaan atau masalah.

PBL mengorganisasikan pembelajaran disekitar pertanyaan dan

masalah yang secara sosial pribadi bermakna bagi siswa. Siswa

mengajukan situasi kehidupan nyata secara autentik, menghindari

jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai solusi

untuk situasi ini.

2. Berfokus pada keterkaitan antardisiplin.

Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu,

masalah yang akan diselidiki telah dipilih dengan nyata agar dalam

pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak bidang

ilmu.

3. Penyelidikan autentik.

Pembelajaran PBL mengharuskan siswa melakukan penyelidikan

autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.

Siswa harus menganalisis dan mendefinisikan masalah,

mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, menyimpulkan,

5

Helaine Alessio, “Student Perceptions About and Performance in Problem-Based

Learning”, dalam Journal Of Scholarship Of teaching and Learning, Vol.4., N. 1, may, 2004, h.26.

6

Ida bagus Putu Arnyana, “Penerapan Model PBL pada Pelajaran Biologi untuk

(11)

dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen, membuat

inferensi, serta merumuskan kesimpulan.

4. Menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya

PBL menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam

bentuk karya nyata yang menjelaskan bentuk penyelesaian masalah

yang mereka temukan.

5. Bekerjasama dalam tim.

Ciri PBL adalah siswa bekerja sama dalam tim, berinteraksi satu

dengan yang lainnya. Bekerja sama memberikan motivasi untuk

secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks untuk

mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir.

Menurut Brooks & Martin, 1993 ciri penting metode Problem Based Learning (PBL) adalah :7

1. Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan

melibatkan siswa dalam pola pemecahan masalah, sehingga siswa

diharapkan mampu mengembangkan keahlian belajar dalam

bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan.

2. Adanya keberlanjutan permasalahan, dalam hal ini ada dua

tuntutan yang haris dipenuhi yaitu: pertama, masalah harus

memunculkan konsep dan prinsip yang relevan dengan kandungan

materi yang dibahas. Kedua permasalahan bersifat real (nyata) sehingga dapat melibatkan siswa tentang kesamaan dengan sutau

permasalahan.

3. Adanya presentasi permasalahan, siswa dilibatkan dalam

mempresentasikan permasalahan sehingga siswa merasa memiliki

permasalahan tersebut.

4. Pengajar berperan sebagai tutor dan fasilitator. Dalam posisi ini

maka peran fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir

7

Putu Yasa, “Belajar Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) dalam

Pembelajaran Fisika Matematika 1 dengan Pendekatan Kooperatif Sebagai Upaya Peningkatan kualitas perkuliahan Semester Pendek Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja”, dalam

(12)

para siswa dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan

membantu siswa untuk menjadi mandiri.

Problem Based Learning (PBL) adalah pendekatan instruksional, dimana pusat pembelajaran para siswa terletak pada cara

pemberian contoh. PBL menegaskan tentang pemecahan

masalah-masalah yang kompleks pada konteks yang beragam bertujuan

mengembangkan kemampuan berfikir siswa sehingga menjadi lebih

maju. Problem Based Learning (PBL) menyusun kerangka dalam pembelajaran agar siswa dapat bekerja sama dalam kelompok untuk

menyelesaikan masalah-masalah di dunia nyata. Tujuan dari

penyelesaian masalah tersebut adalah agar siswa dapat belajar dengan

menyenangkan dan meningkatkan kemampuan berfikir secara teratur.8

Menurut Duch (1995) Problem Based Learning (PBL) adalah metode pendidikan yang mendorong siswa untuk mengenal cara

belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian

masalah-masalah di dunia nyata.9 Alder dan Milne mendefinisikan

PBL dengan metode yang berfokus kepada identifikasi permasalahan

serta penyusunan kerangka analisis dan pemecahan.10 Metode ini

dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja

sama dan interaksi, mendiskusikan hal-hal yag tidak atau kurang

dipahami serta berbagi peran untuk melaksanakan tugas dan saling

melaporkan.

Metode PBL banyak dikembangkan berdasarkan pandangan

konstruktivisme-kognitif piaget, yang mengemukakan bahwa siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan

informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan

8

Brian R. Belland, Peggy A. Ertmer, Krista D. Simons, Perceptions of the Value of Problem-based Learning among Students with Special Needs and Their Teachers, dalam The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning. Volume.1, no.2

9

Anonim. 2007. PBL. Internet : http://www.uii.ac.id/.

10

Riki Ferdian dan Ainun Na’im, Pengaruh Problem Based Learning (PBL) pada

(13)

bersifat tidak statis, tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah

pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka

membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka.

Menurut Barrows (1996) PBL memiliki karakteristik : 11

a. Berpusat pada siswa (student centered)

b. Mengorganisasi siswa untuk fokus terhadap

permasalahan-permasalahan autentik saat pembelajaran berlangsung.

c. Mengarahkan siswa untuk terus mendapatkan informasi terbaru.

d. Proses pembelajaran menggunakaan kelompok-kelompok kecil.

e. Guru sebagai fasilitator

Menurut Gallagher PBL memiliki tiga karakteristik, yaitu;12

a. PBL bersifat eksperimental

Dalam ruang lingkup PBL, para siswa harus berinteraksi dengan

lingkungan mereka untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan

tugas-tugas mereka untuk menemukan hal-hal baru. Frew dan

Klein menspesifikasi alasan-alasan tentang proses eksperimen:

“Dengan mengadakan proses eksperimen, para siswa belajar

dengan cara yang lebih efektif dalam menghadapi lingkungan

mereka, memproses informasi, da menyikapinya.kita harus

menyediakan kesempatan untuk para siswa mencatat untuk

mengembangkan skillmereka dalam melakuan penelitan agar dapat menemukan penemuan baru”.

b. PBL meliputi proses belajar yang kooperatif

Dalam ruang lingkup PBL, para siswa harus bekerja dengan

kooperatif, tercatat bahwa endekatan instruksional yang meliputi

proses belajar yang kooperatif sangat membantu siswa dengan

kebutuhan-kebutuhan yang khusus, sehingga mereka dapat

mengembangkan prestasi. Dalam proses belajar kooperatif, para

11

Min Liu, Motivating Students through Problem-based Learning, http://utexas.edu.com. 2005

12

(14)

siswa menemukan banyak pengalaman, dan mereka pun

mempunyai usaha yang besar untuk memperoleh prestasi.

c. PBL terdapat pada konteks yang otentik

PBL mempunyai potensi untuk menarik para siswa yang

mempunyai masalah dalam belajar, diambil dari luar konteks

menjelaskan bahwa siswa mempunyai resiko gagal dalam

ketidakmampuan kognitif (berhitung), mereka mempunyai

kesempatan yang lebih baik untuk menggunakan pengetahuan

mereka dalam memecahkan masalah, ketika masalah tersebut

muncul dari dunia nyata.

Robbs dan Merideth mengemukakan sejumlah keuntungan

yang berhubungan dengan metode pembelajaran PBL.13

a. Meningkatkan penyimpanan informasi.

b. Mengembangkan dasar pengetahuan.

c. Suatu dorongan kearah pelajaran yang dapat di aplikasikan dalam

dunia nyata.

d. Membuka secara lebih besar kepada pengalaman kejiwaan siswa

dan merupakan langkah awal di dalam kurikulum.

e. Hubungan sosial antar siswa lebih ditingkatkan.

f. Meningkatkan motivasi siswa.

Selain itu berdasarkan pendapat Dincer dan Guneysu, 1998;

Treagust dan Peterson, 1998; Kalayci 2001; Senocak, 2005,

keuntungan metode problem based learning antara lain adalah:14 1. Ruang kelas adalah pusat pembelajaran siswa dan guru.

2. Metode pembelajaran ini mengembangkan pengawasan diri pada

siswa. PBL mengajarkan siswa membuat rencana-rencana ke

13

Tony Greening, op.cit h.2

14

(15)

depan, menghadapi kenyataan, dan mengekspresikan emosi

mereka.

3. PBL mampu membuat siswa bisa melihat kejadian-kejadian secara

multidimensi, dan juga siswa mempunyai perspektif yang dalam.

4. PBL mengembangkan kemampuan problem solving (memecahkan masalah).

5. PBL mendorong siswa untuk mempelajari materi dan konsep baru

ketika mereka memecahkan masalah.

6. PBL mengembangkan skill berkomunikasi dan rasa sosialisasi mereka karena PBL membentuk tim dalam kerja kelompok

diantara siswa.

7. PBL mengembangkan kemampuan berfikir maju, kemampuan

mengkritik, dan berfikir sains mereka.

8. PBL menyatukan teori dan praktek.

9. PBL memotivasi guru dan siswa dalam belajar

10.Para siswa mampu dalam mengatur waktu, fokus, pengumpulan

(16)

Penerapan Metode Problem Based Learning (PBL)

Pembelajaran Problem based Learning (PBL) merupakan suatu kaidah pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata yang

relevan serta fokus dalam pembelajaran merupakan makna PBL.

Problem based learning mempersiapkan peserta didik untuk dapat belajar dari kehidupan nyata dengan melibatkan pembelajaran aktif

dimana para siswa bertanggung jawab untuk menemukan fakta dan

menemukan kunci dari suatu konsep. Semakin meningkat fakta-fakta

bahwa pembelajaran dari permasalahan dunia nyata siswa

diidentifikasi dari tipe pertanyaan pada saat kegiatan belajar mengajar

berlangsung hal ini merupakan student-centered dimana lebih afektif jika dibandingkan dengan metode tradisional teacher-centered di mana pemberian informasi didominasi oleh guru, mengerjakan studi kasus

atau tugas. (Martin et al., 1998;Norman & Smidt, 1992).15

Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua

dimensi.16 Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau

materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan atau

penemuan. Dimensi kedua berhubungan dengan cara “bagaimana

siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah

ada”. Struktur kognitif ini berupa fakta-fakta, konsep-konsep, dan

generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

Belajar bermakna Ausubel erat kaitannya dengan model pembelajaran

penanaman masalah atau Problem Based Learning (PBL) karena dalam pembelajaran ini pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi

melainkan siswa berusaha menemukan kembali.

15

Helaine Alessio, Student perceptions about and performance in problem-based learning, dalam Journal Of Scholarship Of teaching and Learning, Vol.4., N. 1, may, 2004, h.25-26.

16

Leny Nurdiyaningsih, Pengembangan Pembelajaran dengan Pendekatan PBL (Problem

(17)

Proses belajar dengan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Masalah yang disajikan disesuaikan

dengan konsep-konsep maupun prinsip-prisnsip yang relevan dengan

materi belajar yang akan dibahas, masalah tersebut didesain sehingga

dapat memberi tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan

keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara

afektif.

Beberapa karakteristik yang ikut serta dalam PBL:

1. Proses belajar harus dimulai dengan menghadirkan sebuah

masalah, khususnya masalah yang berupa kritik yang masih sulit

dipecahkan.

2. Isi masalah dan prakteknya harus membuat siswa atraktif dan

tertarik.

3. Guru menjadi fasilitator dan pembimbing di kelas.

4. Siswa diberikan waktu yang cukup untuk berfikir, mengumpulkan

informasi dan untuk mengatur strategi mereka dalam memecahkan

masalah. Cara berfikir kreatif siswa juga dituntut dalam proses ini.

5. Memotivasi para siswa untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dari

masalah yang dipelajari karena level yang terlalu tinggi, sehingga

membuat siswa berkecil hati.

6. Suasana dan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan santai

harus diterapkan agar kemampuan berfikir siswa dalam

(18)

Dalam implementasi pembelajaran dengan metode belajar

belajar berdasarkan masalah dirancang dengan struktur pembelajaran,

Savoi dan Andrew (1994), mengemukakan enam tahapan proses

pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sebagai berikut:17 1. Mulai dengan menyajikan masalah.

2. Masalah hendaknya berkaitan dengan dunia siswa (masalah riil). 3. Organisasi materi pembelajaran sesuai dengan masalah.

4. Memberi siswa tanggung jawab utama untuk membentuk dan

mengarahkan pembelajaran sendiri.

5. Menggunakan kelompok-kelompok kecil dalam proses

pembelajaran.

6. Menuntut siswa untuk menampilkan sesuatu yang telah mereka

pelajari.

Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang

program metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sehingga proses pembelajaran benar-benar menjadi berpusat pada

siswa (student centered) adalah sebagai berikut :

1. Fokuskan permasalahan (problem) sekitar pembelajaran

konsep-konsep sains yang esensial dan strategis.

2. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi

gagasannya melalui eksperimen atau studi lapangan. Siswa akan

menggali data-data yang diperlukan untuk memecahkan masalah

yang dihadapinya.

3. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengolah data yang

mereka miliki, yang merupakan proses latihan metakognisi.

4. Berikan kesempatan pada siswa untuk mempresentasikan

solusi-solusi yang mereka kemukakan.

17

Putu Yasa, “Belajar Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning) dalam

Pembelajaran Fisika Matematika 1 dengan Pendekatan Kooperatif Sebagai Upaya Peningkatan kualitas perkuliahan Semester Pendek Jurusan Pendidikan Fisika IKIP Negeri Singaraja”, dalam

(19)

Struktur Pelajaran

Struktur pelajaran, peran siswa, dan aktifitas mereka, berperan

seperti halnya peran guru, hal ini secara signifikan berbeda dengan

metode konvensional. Moust, Bouhuijs es Schmidt menentukan fase

metode PBL dalam tujuh fase. Tabel di bawah ini menjelaskan tentang

tujuh langkah dalam metode PBL.18

Tabel 2.1 Tujuh Tahap Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) menurut Moust, Bouhuijs es Schmidt

Tahap Aktivitas Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) 1. Memperjelas

terminologi dan

memperjelas konsep

Menjelaskan konsep dan terminologi yang tidak dipahami oleh siswa.

2. Menggambar kan Masalah

Memperjelas masalah yang akan dipecahkan dengan merumuskan satu atau lebih pertanyaan.

3. Menganalisis masalah

Memberi penjelasan tentang ilmu pengetahuan. Tidak ada diskusi atau pengungkapan pendapat dengan kelompok lain. Banyak perbedaan pendapat mungkin akan menjadi dasar ilmu pengetahuan, pengalaman praktis atau gagasan siswa.

4. Diskusi Diskusi memberi penjelasan dari langkah 3. membuat koneksi antara kelompok satu dengan yang lainnya. 5. Merumuskan

tujuan belajar

Pada langkah ini berkaitan dengan hasil dari langkah 4. merumuskan tujuan belajar merupakan pertanyaan yang harus dijawab.

6. Belajar sendiri

Mencari literatur dan sumber informasi untuk memperoleh pemahaman dan pengetahuan yang berkaitan dengan perumusan pokok materi sebagai tujuan belajar. Pertama, belajar konsep teori, kemudian menerapkannya pada masalah yang telah didiskusikan. 7. evaluasi Agenda dari evaluasi ditentukan oleh tujuan belajar yang

telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Memeriksa referensi-referensi yang telah digunakan. Mendiskusikan teori dan menjelaskan tentang masalah yang ditemukan.

18

Andrea Tick, Application of Problem-Based learning in Classroom activities and

(20)

Cuhadaroglu et al., mengemukakan beberapa karakteristik skenario pembelajaran sebagai alat pendidikan dalam PBL, sebagai

berikut:19

1. Masalah-masalah yang akan disajikan harus dipilih terlebih dahulu,

yang paling tepat dan berkaitan dengan kehidupan nyata.

2. Masalah tersebut open-ended.

3. Masalah tersebut harus membuat siswa penasaran dan ingin tahu.

4. Masalah tersebut harus fokus terhadap satu kasus.

5. Masalah tersebut harus mengajarkan mereka bersikap baik dan

mempuntai etika dalam bertingkahlaku.

6. Masalah tersebut harus bisa membantu siswa merasa bebas

mengekspresikan diri mereka.

7. Dengan membuat perumpamaan yang tepat, siswa harus diberikan

kesempatan untuk mengangap masalah tersebut adalah masalah

mereka sehingga mereka sangat ingin memecahkan dan

menyelesaikan masalah tersebut.

19

(21)

Peran Siswa

Di dalam metode PBL guru membentuk siswa dari pasif

menjadi aktif. Hal ini berlawanan dengan metode konvensional,

“berinteraksi” pelajaran tidaklah hanya aktif memberikan pendapat

atau diskusi. Siswa dapat bermain dengan tiga peran utama di dalam

proses pembelajaran, peran di ambil dalam suatu pembelajaran di

dalam diskusi atau berperan sebagai kelompok yang tidak

mendengarkan pelajaran, pemimpin diskusi, asisten, dan anggota

kelompok. Tugas yang berhubungan dengan peran diringkas dalam

tabel di bawah ini.20

Tabel 2.2 Peran Siswa dalam Problem Based Learning (PBL) menurut Moust, Bouhuijs es Schmidt

Peran Tugas

Pemimpin

diskusi

•Memimpin diskusi

•Memantau diskusi dan waktu

•Meringkas setiap hasil dari langkah-langkah diskusi sesuai dengan tujuh tahap dalam PBL.

•Memotivasi keikutsertaan anggota kelompok untuk

aktif berdiskusi

•Memotivasi dirinya untuk aktif berdiskusi

Asisten •Menuliskan di papan tulis tujuh tahap pembelajaran

PBL agar siswa yang lain dapat membacanya.

•Menyediakan perlengkapan diskusi

•Berpartisipasi secara aktif selama berlangsungnya

diskusi.

Anggota

kelompok

Memberikan kontribusi secara aktif dalam berdiskusi

Mencatat dan membuat tulisan berbagai hal yang

relevan dengan isi materi untuk kelompok mereka

masing-masing atau untuk dirinya.

(22)

Dalam metode PBL siswa harus mencari informasi, bahan

materi pelajaran, dan menyampaikan ilmu pengetahuan yang diperoleh

kepada siswa lainnya dan guru ketika mereka berada dalam kelompok

mereka sesuai dengan tahap-tahap PBL.21 Kriteria pokok dari

kelompok adalah kerjasama kelompok, siswa berpartisipasi secara

aktif dalam menyelesaikan masalah dengan berfikir kreatif dan

memberikan pendapat, seperti halnya mereka mengumpulkan

informasi pada saat mereka belajar sendiri untuk menyelesaikan

masalah mereka. Selanjutnya, siswa harus mempelajari teori atau

mengumpulkan informasi, hal ini agar memungkinkan mereka

mengingat kembali pengetahuan mereka tentang teori yang akan

didiskusikan dan digunakan secara aktif ketika diskusi.

Peran Guru

Dengan cara yang sama pada saat peran siswa berubah, peran

guru juga berubah tidak lagi pembelajaran berpusat pada guru. Guru

hanya mengawasi pada saat pembelajaran dan berperan sebagai

fasilitator, hal ini akan menciptakan lingkungan belajar di mana para

siswa merasa nyaman dan akan mendukung mereka untuk berpendapat

secara bebas. Pada kegiatan belajar mengajar kesalahan akan mungkin

menjadi suatu kesempatan untuk terus berusaha belajar. Guru tentu

saja memiliki pengetahuan yang lebih profesional, oleh karena itu

setelah para siswa diskusi guru memberikan refleksi tentang kegiatan

diskusi dan menjelaskan kembali materi yang telah didiskusikan

ketujuan pembelajaran yang benar. Jika pemecahan masalah hanya

berpusat pada guru pembimbing, maka guru cukup memberikan

pertanyaan dalam rangka “Tanya-jawab” seharusnya guru “hanya

menilai para siswa dengan membiarkan mereka berdiskusi dan ikut

serta dalam interaksi dalam kelompok”.

21

(23)

Guru seharusnya memberikan rangsangan dalam proses

pembelajaran, untuk tetap aktif pada saat bekerjasama dengan

kelompok mereka, mengawasi, menilai keseluruhan dan menilai

kesulitan dari diskusi, proses belajarnya, dan mencapai tujuan

pembelajaran. Seorang guru tidak hanya memberikan intruksi, tetapi

memberikan contoh kepada siapa saja siswa yang membutuhkan

pertolongan agar mereka dapat menyelesaikan masalah yang diberikan

guru, sehingga mereka menemukan penyelesaian sendiri. Siapa saja

yang mampu berfikir kreatif diantara siswa yang lain maka akan

diberikan penambahan nilai dan dikategorikan sukses dalam

menyelesaikan masalah. Konsekuensinya adalah PBL lebih efisien dan

membuat siswa lebih termotivasi dalam proses pembelajaran.

2. Hasil Belajar

Hasil belajar pada dasarnya adalah suatu kemampuan yang berupa

keterampilan dan perilaku baru sebagai akibat latihan atau pengalaman.

Dalam hal ini Soedijarto mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat

penguasaan suatu pengetahuan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti

program belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang

ditetapkan. Gagne dan Briggs menyatakan bahwa hasil belajar adalah

kemampuan yang diperoleh seseorang sesudah mengikuti proses belajar.

Reigeluth mengemukakan bahwa hasil belajar adalah prilaku yang dapat

diamati yang menunjukkan kemampuan yang dimiliki seseorang. 22

Benjamin S. Bloom membagi hasil belajar ke dalam tiga ranah,

yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif berkaitan dengan

tujuan-tujuan pembelajaran yang berkaitan dengan kemampuan berpikir,

mengetahui dan memecahkan masalah. Ranah afektif berkaitan dengan

tujuan-tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, nilai, dan sikap

22

(24)

yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Ranah

psikomotor berkaitan dengan keterampilan motorik, manipulasi bahan atau

objek.

Hasil belajar dalam ranah kognitif tersebut secara rinci

dikategorikan ke dalam enam jenjang kemampuan yaitu ingatan,

pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah afektif

adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai, sikap adalah salah

satu istilah bidang psikologi yang berhubungan dengan persepsi dan

tingkah laku. Ranah afektif ini dirinci oleh Krathwohl dkk., menjadi lima

jenjang, yaitu perhatian atau penerimaan (receiving), tanggapan (responding), penilaian atau penghargaan (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi terhadap suatu atau beberapa nilai (characterization by a value or value complex).23

Simpson (1956) menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini

tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu.

Ranah psikomotor ada yang membagi menjadi tujuh tingkatan dan ada

pula yang hanya enam tingkatan, yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan

terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola

gerakan, dan kreatifitas.24 Semua itu bersifat hirarki, artinya kemampuan

yang pertama harus dikuasai terlebih dahulu sebelum menguasai

kemampuan kedua.

3. Definisi Nilai

Kata “value”, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi nilai, berasal dari bahasa latin valere atau bahasa Prancis Kuno valoir. Sebatas arti denotatifnya, valere, valoir, value, atau

nilai dapat dimaknai sebagai harga. Namun, ketika kata tersebut sudah dihubungkan dengan suatu obyek dari sudut pandang tertentu, harga yang terkandung di dalamnya memiliki tafsiran yang bermacam-macam. Ada

23

Ahmad Sofyan, et al. Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, (Jakarta : UIN Jakarta press, 2006), h.20.

24

(25)

harga menurut ilmu ekonomi, psikologi, sosiologi, antropologi,

pendidikan, politik, maupun agama. Istilah nilai banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara lisan, maupun secara tertulis. Istilah

nilai mempunyai pengertian yang mirip dengan kebaikan.

Ada dua pandangan tentang nilai. Yang pertama berpandangan

bahwa nilai merupakan ukuran tertinggi dari perilaku manusia dan

dijunjung tinggi oleh sekelompok masyarakat serta digunakan sebagai

pedoman dalam sikap dan bertingkah laku. Pandangan lain menganggap

bahwa nilai merupakan hal yang tergantung pada penangkapan dan

perasaan orang yang menjadi subyek terhadap sesuatu atau fenomena

tertentu.25

Nilai didefinisikan dengan cara berbeda-beda oleh banyak ahli, hal

ini dikarenakan pengertian nilai disesuaikan dengan teori atau sudut

pandang yang dianut oleh para ahli. Seperti dinyatakan Kurt Baier,

seorang sosiologi menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang

keinginan, kebutuhan, kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan

tekanan dari masyarakat. Seorang psikolog menafsirkan nilai sebagai suatu

kecenderungan perilaku yang berawal dari gejala-gejala psikologis, seperti

hasrat, motif, sikap, kebutuhan, dan keyakinan yang dimiliki secara

individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik. Seorang

antropolog melihat nilai sebagai “harga” yang melekat pada pola budaya

masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan, hukum, dan

bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Lain lagi

dengan seorang ekonom yang melihat nilai sebagai “harga” sutau produk

dan pelayanan yang dapat diandalkan untuk kesejahteraan manusia.26

Dalam pendidikan tentu saja pilihan yang diharapkan adalah nilai-nilai

yang sesuai dengan tuntutan yang ada, baik yang berlaku dalam

masyarakat maupun ajaran agama.

25

Anna Poedjiadi, Sains Teknologi Masyarakat (model Pembelajaran kontekstual

Bermuatan Nilai), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h.82.

26

(26)

Perbedaan cara pandang mereka dalam memahami nilai telah

berimplikasi pada perumusan definisi nilai. Berikut ini dikemukakan

empat definisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda.

1. Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar

pilihannya. Definisi ini kemukakan oleh Gordon Allport. Menurut

Allport nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan.

2. Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam

menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif

(Kupperman, 1983). Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma

sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia.

3. Nilai adalah sesuatu yang ditunjukan dengan kata “ya”. Definisi ini

merupakan definisi yang memiliki kerangka yang lebih umum dan luas

dari pada dua definisi sebelumya.

4. Nilai adalah konsepsi (tersirat arau tersurat, yang sifatnya

membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang

diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara

dan tujuan akhir tindakan. Definisi ini dirumuskan oleh Kluckhohn

(Brameld, 1957). Menurut Brameld, definisi itu memiliki banyak

implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dalam pengertian

yang lebih spesifik jika dikaji secara mendalam. Namun Brameld

dalam bukunya tentang landasan-landasan budaya pendidikan hanya

mengungkapkan enam implikasi penting, yaitu :

a. Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif (logis

dan rasional) dan proses katektik (ketertarikan atau penolakan

menurut kata hati).

b. Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi selalu tidak bermakna

apabila diverbalisasi.

c. Apabila hal itu berkenanaan dengan budaya, nilai diungkapkan

dengan cara yang unik oleh individu atau kelompok.

d. Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu

(27)

diinginkan, ia didefinisikan berdasarkan keperluan sistem

kepribadian dan sosio-budaya untuk mencapai keteraturan atau

untuk menghargai orang lain dalam kehidupan sosial.

e. Pilihan diantara nilai-nilai alternatif dibuat dalam konteks

ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends).

f. Nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada

saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.

Definisi nilai di atas merupakan empat dari sekian banyak definisi

nilai yang dapat dirujuk. Untuk kebutuhan pengertian nilai yang lebih

sederhana, namun mencakup keseluruhan aspek yang terkandung dalam

empat definisi di atas, kita dapat menarik suatu definisi baru, yaitu : nilai

adalah rujukan atau keyakinan dalam menentukan pilihan.27

Untuk memahami pengertian nilai secara lebih dalam, berikut ini

akan disajikan sejumlah definisi nilai dari beberapa ahli.

1. Joseph R. Roncek dan Ronald L.Warren, manyatakan bahwa nilai

merupakan suatu kemampuan yang memuaskan setiap keinginan

manusia, yang dinyatakan sebagai ciri sesuatu benda, buah pikiran,

atau isi dari sesuatu pengalaman.28

2. Nilai adalah bentuk khusus dari motivasi yang melekat pada diri

seseorang dalam masa yang lama, diekspresikan secara konsisten,

stabil, dan layak untuk digunakan. Definisi ini dirumuskan oleh

Straughan dan Wrigley.

3. Menurut Kniker, nilai sebagai gabungan sikap yang menghasilkan

perbuatan atau pilihan dengan sengaja untuk menghindari tindakan

tersebut.

4. Frankel menjelaskan nilai sebagai gagasan atau suatu konsep tentang

apa yang dipikirkan seseorang yang penting dalam kehidupan.

5. Menurut Shaver dan String nilai adalah patokan dan prinsip-prinsip

kita yang merupakan kriteria untuk menimbang atau menilai suatu hal

27

Ibid, hal. 11

28

(28)

apakah baik atau buruk, berguna atau sia-sia, dihargai atau tercela, atau

di antara kedua ekstrim itu.

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa nilai

merupakan suatu gagasan atau konsep yang dijadikan acuan atau patokan

dan motivasi dalam menentukan suatu hal atau tindakan yang hasilnya

berguna atau sia-sia. Konsep atau gagasan tersebut dipegang dalam waktu

yang relatif lama sehingga stabil dan dinyatakan secara konsisten.

Rokesch (dalam Lim Loong Fatt) mendefinisikan nilai sebagai

berikut:

A “Value” is an enduring belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state of existence.29

Secara singkat dapat diartikan nilai adalah kepercayaan bahwa

suatu tindakan atau hasil memiliki suatu kelebihan (baik secara sosial atau

personal) dibandingkan hal lain yang berbeda atau yang menjadi

kebalikannya.

Seah dan Bishop (2001) menjelaskan bahwa nilai yang dipahami

pengajar mewakili “pengaturan kognisi” dalam berbagai variabel semacam

kepercayaan dan perilaku, dan penghayatan nilai tersebut dalam sistem

afektif kognitif pribadi mereka.30 Pengertian nilai menurut Schwartz

(1994) adalah:31

1. Suatu keyakinan,

2. Berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu,

3. Melampaui situasi spesifik,

4. Mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu,

dan kejadian-kejadian, serta

29

Lim Loong Fatt, Inculcating Values Through Science Pratical Work, makalah

disampaikan dalam seminar International Seminar On Development of Value In Mathematics And Science Education, Faculty of Education, University of Malaya, 3 Agustus 2007, h.3.

30

Alan J. Bishop, Value in Mathematics and Science Education: Similarities and

Differences, dalam Journal The Montana Mathematics Enthusianst, ISSN 1551-3440, Vol.5, no.1, h.1.

31

(29)

5. Tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.

4. Nilai dalam Pembelajaran Sains

Istilah nilai, seperti halnya ilmu pengetahuan, berakar dan

diperoleh dari sumber yang objektif. Pengetahuan itu sendiri memiliki

nilai-nilai tertentu. Cara para ahli mengklasifikasi nilai juga cukup

beragam tergantung pada sudut pandang dan disiplin ilmu yang mereka

miliki. Albert Einstein berpendapat bahwa sains mengandung nilai-nilai,

seperti nilai religi, nilai praktis, nilai intelektual, nilai sosial-politik, dan

nilai pendidikan.32

Science without religion is blind, religion without science is limb

Gambar 2.1 Nilai Sains Menurut Einstein

32

Suroso Adi Yudianto, Manajemen Alam Sumber Pendidikan Nilai (Bandung: Mughni

(30)

Berbeda dengan Bishop dalam jurnalnya mengklasifikasikan nilai

dalam pendidikan sains, yakni:33

Tabel 2.3 Value in Science

Sains

Rasionalisme

Sebab, penjelasan, alasan hipotetis, abstraksi, pemikiran

logis, teori

Empiris

Atomisme, tujuan, materialisasi, simbolisasi, pemikiran

analogis, pengukuran, ketepatan, koherensi, ketertarikan,

keterbatasan, identifikasi masalah

Kontrol

Prediksi, penguasaan masalah, pengetahuan, aturan,

paradigma, kondisi aktifitas

Kemajuan

Pertumbuhan, perkembangan pengetahuan secara

kumulatif, generalisasi, pemahaman mendalam,

alternatif kemungkinan

Keterbukaan

Artikulasi, sharing, kredibilitas, kebebasan individu,

konstruksi pribadi

Misteri

Intuisi, perkiraan, khayalan, keingintahuan, kesan

33

(31)

Klasifikasi nilai berdasarkan pendapat Albert Einstein akan

dikemukakan dalam uraian di bawah ini.

1. Nilai religi

Nilai religi berorientasi kepada nilai keimanan sebagai

dasar segala pemikiran dan tindakan yang berhubungan kepada

kesadaran akan kekuasaan Tuhan YME dengan segala sifat asmaul

husna lainnya. Nilai keimanan ini dapat meningkatkan ketakwaan

kepada Tuhan YME. Menurut pandangan Einstein bahwa nilai

religi sains adalah nilai yang dapat membangkitkan kesadaran akan

keberadaan Tuhan di alam sebagai Sang Maha Pencipta dan

sifat-sifat Tuhan lainnya.

Dalam sains dipelajari berbagai fenomena dan keajaiban

alam yang luar biasa, beserta hukum-hukumnya yang teratur, rapi,

dan harmonis. Selain berperan penting menghasilkan berbagai

teknologi dan produknya, sains juga berperan sebagai media

pengenalan dan peningkatan rasa kekaguman serta keimanan

kepada Tuhan. Kesadaran manusia terhadap kekuasaan Tuhan akan

muncul bila dihadapkan kepada segala keteraturan fenomena alam,

keseimbangan alam, peristiwa sebab akibat yang terjadi di alam,

daur hidup materi dan aliran energi.

Mencurahkan akal untuk memikirkan Zat Sang Pencipta

adalah pemborosan energi akal, mengingat pengetahuan tentang

zat-Nya tidak mungkin dicapai oleh manusia. Maka, manusia

cukup memikirkan tentang ciptaan-ciptaanNya di langit, di bumi,

dan dalam diri manusia sendiri. Penciptaan alam oleh Sang

Pencipta yang sungguh luar biasa teraturnya mengandung hikmah

dan pelajaran kepada manusia. Diantaranya, suatu sistem dan

lingkungan akan terganggu jika ada unsur yang rusak, terganggu,

serta tidak mengikuti aturan dan hukum-hukum alam yang telah

ditetapkan di dalamnya. Jadi, ketika belajar sains, nilai-nilai

(32)

2. Nilai praktis

Nilai praktis berhubungan dengan aspek-aspek manfaat

sains bagi kehidupan manusia. Sains telah membuka jalan ke arah

penemuan-penemuan yang manfaatnya langsung dapat digunakan

manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Aplikasi sains

dalam bidang ini adalah teknologi. Sains dan teknologi adalah

saling membutuhkan, saling mengisi untuk berkembang.

3. Nilai intelektual

Nilai intelektual mengajarkan kecerdasan seseorang agar

menggunakan akalnya untuk memahami sesuatu. Sains dengan

metode ilmiahnya, banyak digunakan manusia untuk memecahkan

masalah-masalah. Sains adalah sesuatu yang menuntut kecerdasan

dan ketekunan. Di dalam mencari jawaban persoalan, yang

merupakan kebenaran ilmiah seorang ilmuan harus mengambil

keputusan atau pertimbangan yang rasional, dan didasarkan atas

pertimbangan yang objektif, atas kebenaran fakta. Kemajuan sains

dapat dicapai, apabila setiap saintis dapat mengembangkan nilai

intelektul dari sains itu secara terus menerus. Dengan

mengembangkan nilai intelektual suatu bahan ajar sains dapat

dianalisis suatu kelemahan dan kelebihannya untuk peningkatan

bahan ajar tersebut.

4. Nilai sosial-politik-ekonomi

Nilai sosial-politik-ekonomi memberikan suatu model

menjalin hubungan sesama manusia sebagai makhluk sosial yang

tidak bisa hidup sendiri, melainkan membutuhkan orang lain. Di

bidang politik, kemajuan sains suatu Negara akan menempatkan

Negara itu dalam kedudukan politik yang menguntungkan. Produk

sains dan teknologi membuka jalan ke arah berkembangnya

perekonomian suatu Negara. Kemajuan sains dan teknologi suatu

bangsa juga akan membawa pada tingginya rasa kebangsaan

(33)

Nilai sosial berorientasi pada hubungan sosial di dalam

kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain nilai sosial terbentuk

karena manusia saling membutuhkan satu sama lain. Secara

instrinsik hukum-hukum dan rumus-rumus sains selalu melibatkan

berbagai faktor pendukung, sehingga hukum-hukum dan

rumus-rumus sains tidak dapat berdiri sendiri. Dengan demikian, nilai

sosial suatu bahan ajar sains menunjukkan satu kesatuan.

faktor-faktor yang berinteraksi sehingga menimbulkan fenomena dalam

suatu bahan ajar sains itu yang berupa konsep, prinsip-prinsip, dan

teori dalam sains. Nilai ekonomi menekankan bahwa tujuan

pembelajaran sains harus diarahkan agar peserta didik mampu

memproduksi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya dan

kesejahteraan kehidupan masyarakat.

5. Nilai pendidikan

Menurut Einstein, bahwa nilai pendidikan sains adalah

kandungan nilai yang dapat memberi inspirasi atau ide untuk

memenuhi kebutuhan manusia dengan belajar dari prinsip-prinsip

atau aturan-aturan yang berlaku dalam sains. Dengan demikian,

nilai pendidikan ini bukan hanya meyangkut pendidikan mental

sebagaimana disebutkan di atas, tetapi juga mencakup pendidikan

teknik, pendidikan seni dan lukis, pendidikan sistem pemerintahan

dan kepemimpinan, dan pendidikan lainnya yang sifatnya meniru

atau memodifikasi dari hukum alam untuk diterapkan menjadi hasil

(34)

Menurut Sukarno, dkk, nilai-nilai sains yang dapat

diterapkan dalam dunia pendidikan adalah :34

1. Kecakapan berfikir dan bekerja menurut langkah-langkah yang

teratur.

2. Keterampilan mengadakan pengamatan dan penggunaan

alat-alat eksperimentasi.

3. Memiliki sikap ilmiah, antara lain :

a. Tidak berprasangka dalam mengambil keputusan.

b. Sanggup menerima gagasan-gagasan dan saran-saran baru

(sikap toleran).

c. Sanggup mengubah kesimpulan dari hasil eksperimennya

bila ada bukti-bukti yang lebih menyakinkan.

d. Bebas dari takhyul.

e. Dapat membedakan antara fakta dan opini.

f. Membuat perencanaan teliti sebelum bertindak.

g. Teliti, hati-hati, dan seksama dalam bertindak.

h. Ingin tahu apa, bagaimana, dan mengapa demikian?

i. Menghargai pendapat dan penemuan para ahli sains.

j. Menghargai baik isi maupun metode sains.

5. Nilai dalam Pembelajaran Konsep Cahaya

Berikut ini adalah nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam

pembelajaran cahaya, berdasarkan pendapat Einstein IPA mengandung

lima nilai yaitu: nilai religius, praktis, intelektual, sosial-politik, dan

pendidikan.

1. Nilai Religius

Berikut nilai religius yang dapat dikembangkan dalam

pembelajaran cahaya, yaitu:

34

(35)

a. Cahaya dalam hal ini dapat diartikan sebagai petunjuk dari Allah

SWT, petunjuk ke arah kebenaran dalam melaksanakan kehidupan

di dunia untuk bekal di akhirat. Dalam kenyataannya kita tidak

mungkin melihat alam beserta segala isinya dalam wujud dan

warna yang bermacam-macam tanpa datangnya cahaya pada benda

yang bersangkutan dan mengirimkannya kembali ke mata kita.

Peristiwa ini terjadi karena adanya pemantulan cahaya, seperti

dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 40, yang artinya:

“Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang meliputi oleh ombak yang diatasnya lagi awan; gelap gulita yang tindih tertindih, apabila ia mengeluarkan tangannnya, tiadalah ia dapat melihatnya dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah mempunyai cahaya sedikitnya.” (QS. An Nuur, 24: 40)

b. Gambaran tentang gejala fisis yang terjadi akibat peristiwa

pemantulan cahaya digaungkan dengan pembelokkan cahaya

(pembiasan), selalu terjadi di atas permukaan datar. Pada

permukaan yang tidak halus gelombang akan mengalami

penyebaran dan tidak akan terlihat dari jarak jauh. Seperti

dijelaskan dalam surat An Nuur ayat 39, yang artinya:

“…..laksana fatamorgana di tanah yang datar…” (QS. An Nuur: 39)

c. Dengan adanya peristiwa pemantulan pada permukaan kasar dan

permukaan halus mencerminkan bahwa Allah akan memberikan

cahaya atau petunjuk kepada umat-Nya bergantung dari amal yang

kita perbuat. Jika permukaan kasar maka terjadi pemantulan yang

berbaur, artinya perbuatan kita yang tidak baik itu akan sia-sia

sehingga untuk menghindarkan dari perbuatan tersebut maka kita

harus mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebaliknya jika

(36)

mendapat pahala baik di dunia maupun di akhirat. Seperti

dikemukakan dalam surat An Nuur ayat 35. yang artinya:

“….cahaya di atas cahaya Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki.” (QS. An Nuur:35)

2. Nilai Praktis

Nilai praktis yang bisa diperoleh dari pembelajaran konsep

cahaya bernuansa nilai antara lain:

a. Cahaya memiliki sifat dapat dipantulkan sehingga kita dapat

melihat bayangan diri kita pada cermin, juga kaca spion kendaraan

dapat membantu melihat pandangan di bagian belakang kendaraan

sehingga tidak perlu menengok lagi.

b. Pembiasan cahaya pada lensa bisa membantu manusia yang

menderita cacat mata dengan kaca mata sesuai ukuran lensa jenis

cacat matanya.

c. Dengan prinsip polarisasi, manusia bisa membuat foto dari lapisan

Polaroid kemudian mencetaknya ke dalam lembaran kertas foto.

d. Dengan prinsip pemantulan cahaya, manusia bisa membuat api dari

pantulan cahaya itu terhadap cermin cembung pada jarak fokus

tertentu.35

3. Nilai Intelektual

Berikut ini beberapa pendidikan nilai intelektual pada

pembelajaran konsep cahaya bernuansa nilai, yaitu:

a. Ketika cahaya menembus air laut mengalami interferensi,

sehingga tiram yang terdapat di dasar laut yang memiliki

lapisan keras akan memantulkan cahaya yang sampai

kepadanya, maka dasar laut menjadi terang.

b. Cahaya dapat mengalami polarisasi sehingga hal tersebut dapat

membuktikan bahwa cahaya merupakan gelombang

transversal.

35

(37)

c. Adanya cahaya pemantulan, difraksi dan interferansi, manusia

bisa melihat benda-benda langit pada malam hari sehingga kita

bisa mempelajari jenis lain dari benda langit, selain matahari.

d. Dengan mengetahui bahwa cahaya merupakan gelombang

elektromagnetik maka kita bisa mengetahui cepat rambat

cahaya sama dengan 3 × 108 m/s.

e. Dengan adanya cahaya melalui teleskop luar angkasa, kita

dapat mengetahui umur alam semesta sehingga kita bisa

menghitung jarak antara benda langit lain dengan bumi dari

prinsip ini.

f. Dengan prinsip difraksi maka kita bisa melihat riak-riak air laut

pada malam hari dan menyimpulkan bahwa cahaya merupakan

gelombang.36

4. Nilai Sosial-Politik

Pendidikan nilai sosial-politik pada pembelajaran konsep

cahaya bernuansa nilai yaitu:

a. Sifat cahaya yang dapat mengalami pembiasan, kita bisa

melihat intan atau berlian berkilauan ketika terkena cahaya

sehingga memberikan nilai jual yang tinggi, oleh karena itu

manusia bisa saling berinteraksi untuk melakukan transaksi jual

beli barang tersebut.

b. Dengan mengggunakan prinsip semua sifat-sifat yang dimiliki

oleh cahaya sebagai gelombang, kita dapat memuat kamera

yang dipakai untuk saling berinteraksi.

c. Dengan adanya cahaya kita bisa melihat siaran televisi

sehingga kita bisa melihat perkembangan kehidupan di seluruh

belahan dunia.37

36

Ibid,h.307 - 308.

37

(38)

5. Nilai Pendidikan

Berkaitan dengan nilai pendidikan, maka ada beberapa nilai

yang dapat dikembangkan dari pembelajaran cahaya, yaitu:

a. Dengan berprinsip pada semua sifat-sifat yang dimiliki oleh

cahaya sebagai gelombang, kita dapat membuat

bermacam-macam alat optik, seperti; Lup, Mikroskop, Teleskop,

Teropong, dan lain-lain untuk kita gunakan dalam

pembelajaran dan berbagai keperluan hidup manusia.

b. Dengan adanya cahaya kita dapat membedakan berbagai jenis

warna, kita bisa memanfaatkannya untuk berbagai jenis

kegiatan.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan,

antara lain:

Leny Nurdiyaningsih (2007) dalam skripsinya yang berjudul

“Pengembangan Pembelajaran dengan Pendekatan PBL (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Surat Pembaca Siswa Kelas XI IPS 5 SMAN 23 Kota Bandung” menyatakan bahwa pembelajaran

dengan pendekatan PBL menunjukan adanya perkembangan kemampuan

siswa dalam menulis surat pembaca.38

Suherman (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Upaya

Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Melalui Penerapan Model

Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Learning)” memperoleh kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat

meningkatkan hasil belajar fisika siswa.39

38

Leny Nurdiyaningsih, Pengembangan Pembelajaran dengan Pendekatan PBL (Problem

Based Learning) untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Surat Pembaca Siswa Kelas XI IPS 5 SMAN 23 Kota Bandung, (Skripsi PPS UPI, 2007)

39

(39)

Fitri Yuni Astiti (2007) dalam skripsinya yang berjudul “Model

pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII Semester II SMP N 5 Semarang

Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar Tahun pelajaran 2006/2007”. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat

meningkatkan hasil belajar siswa.40

Sementara itu Neneng Olivia (2005) dalam skripsinya yang berjudul

“Pengembangan Keterampilan Proses Berbasis Nilai-Nilai Sains untuk

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP Kelas VII” menyatakan bahwa terjadi

peningkatan hasil belajar siswa yang mencakup aspek kognitif, psikomotorik,

dan afektif dari kegiatan pembelajaran dengan penanaman nilai-nilai sains.41

C. Kerangka Pikir

Kondisi sumber daya manusia Indonesia baik dari ilmu pengetahuan

dan teknologi juga dari sisi sosialnya, masih memperhatinkan. Percepatan

globalisasi dan masuknya era industri modern membawa dampak yang luar

biasa. Perkembangan Arus informasi yang pesat, persaingan yang ketat dan

pembaruan etnis, suku dan ras, mengakibatkan banyak perubahan pada wajah

dunia.

Sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan, dimana eksistensinya

secara otomatis terkena efek dari perkembangan dunia saat ini. Maka

pengetahuan yang dipelajari di sekolah dan hal-hal yang berkaitan dengan

proses belajar mengajar harus disesuaikan dengan keadaan real di lapangan

dan perkembangan pendidikan dunia, tentu saja tidak mengabaikan bahwa

sekolah sebagai salah satu tempat pembentukan karakter dan akhlak peserta

didik dalam rangka meningkatkan kemampuan manusia Indonesia disertai

dengan akhlak yang baik.

40

Fitri Yuni Astiti, Model pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII Semester II SMP N 5 Semarang Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar Tahun pelajaran 2006/2007, http://digilib.unnes.ac.id/.

41

(40)

Belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu ke arah sudah

mampu, dan proses perubahan itu terjadi selama jangka waktu tertentu.

Adanya perubahan tingkah laku itulah yang disebut dengan kegiatan belajar.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kegiatan tersebut dapat disebut

dengan hasil belajar.

Pencapaian hasil belajar yang optimal perlu memperhatikan beberapa

faktor yang mempengaruhi belajar itu sendiri, sehingga kita dapat

menggunakan metode yang tepat untuk merealisasikan faktor-faktor tersebut.

Dalam buku Muhibin Syah disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi

kegiatan belajar adalah faktor eksternal, faktor internal, dan faktor pendekatan

belajar.

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar, digolongkan

menjadi dua, yaitu faktor sosial dan non sosial. Faktor sosial berkaitan dengan

interaksi siswa. Adapun faktor non sosial berkaitan dengan sarana dan

prasarana, seperti keadaan udara, tempat belajar, penggunaan alat-alat belajar,

dll. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri. Faktor

internal digolongkan menjadi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor

pendekatan belajar, yakni sejenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi

dan metode yang digunakan untuk melakukan kegiatan pembelajaran.

Dalam memilih metode pembelajaran yang tepat dan inovatif, terdapat

beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan. Salah satu aspek yang

dipertimbangkan adalah tingkat kemampuan siswa yang begitu beragam,

sehingga guru tidak dapat memberikan perlakuan yang sama kepada siswa.

Selain itu, mempersiapkan strategi atau perencanaan dalam pembelajran

dinilai sangat penting. Hal ini termasuk dalam metode pembelajaran dalam

menyampaikan materi kepada peserta didik, dengan demikian diharapkan

dapat mencapai hasil belajar yang diharapkan.

Penerapan Problem Based Learning (PBL) pada konsep cahaya bernuansa nilai dalam kegiatan belajar mengajar, diharapkan dapat

meningkatkan pengetahuan siswa tidak hanya sebatas konsep, tetapi

(41)

bermanfaat bagi dirinya dan dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah

pada kehidupan sehari-hari maupun masalah lingkungan sosialnya.

Dari landasan inilah dalam penelitian ini peneliti menerapkan Problem Based Learning (PBL) pada konsep cahaya bernuansa nilai dalam kegiatan belajar mengajar, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, selain

itu diharapkan dapat membantu siswa dalam pemahaman nilai yang

terkandung dalam pembelajaran yang disampaikan, sehingga dapat

menghasilkan SDM yang berpengetahuan, kreatif, berbudi pekerti luhur, dan

(42)

Permasalahan

Tantangan Globalisasi

KBM di sekolah belum maksimal (pemahaman siswa sebatas konsep, teacher center, metode kurang variatif)

Kualitas SDM (intelektual,

emosional, spiritual)

Materi ajar bernuansa nilai Metode inovatif

Metode PBL

Gambar 2.2Bagan Kerangka Pikir

Pembelajaran pada konsep cahaya bernuansa nilai melalui PBL

Ranah Kognitif Ranah afektif

Tes objektif Angket Skala sikap

Peningkatan hasil belajar pada konsep cahaya bernuansa nilai

Pemahaman siswa tidak sebatas konsep, pemahaman nilai yang terkandung dalam materi ajar,

menghasilkan SDM (memiliki kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional)

Uji Statistik Presentase

(43)

D. Pengajuan Hipotesis

Dari landasan teori yang dituliskan dan kerangka berpikir yang

dipaparkan maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut:

Gambar

Tabel 2.1 Tujuh Tahap Pembelajaran Problem Based Learning
tabel di bawah ini.20
Gambar 2.1 Nilai Sains Menurut Einstein
Tabel  2.3 Value in Science
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karang Porites tipe 3 memiliki luasan karang yang paling kecil sehingga hambur balik gelombang suara yang mengenai target tidak murni sepenuhnya berasal dari karang

Itu berarti skor ketuntasan siswa kelas IV hanya 34,5% dari batas minimal ketuntasan rata-rata kelas, yaitu 75% sedangkan sesudah diterapkan model Inkuiri Sosial menunjukkan

(4) Pengangkatan anak Warga Negara Asing yang di lakukan oleh Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dilaporkan oleh

[r]

Seiring dengan tema diatas, maka penulis mengambil judul Tugas Akhir : Implementasi Metode TPS ( Think Pair Share ) Sebagai Solusi Meningkatkan Hasil Belajar

benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana.. hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Penggunaan kata bukti seperti yang disebutkan dalam

PS PICE dot-model statement for the ideal bipolar transistor: β = Bf, Early voltage Vaf, and scale current Is; as shown by curly braces {}, these values are set using variables

Keenam Terdapat pengaruh dan signifikan gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja karyawan melalui komitmen organisasi adalah sebesar (X1 terhadap Z melalui