ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ORANG YANG MENGGUNAKAN IDENTITAS PALSU SEBAGAI DOKTER
Oleh
INDRA SUKMA
Pada hakikatnya semua pelayanan kesehatan itu harus didasari oleh ilmu yang di dapat dari pendidikan dibidang kesehatan. Tidak semua orang dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat tanpa adanya ilmu dibidang kesehatan. Dokter adalah suatu profesi yang sangat mulia, sehingga banyak orang yang ingin menjadi seorang dokter. Namun untuk menjadi seorang dokter tidaklah mudah karena untuk menjadi dokter harus menjalani pendidikan yang menghabiskan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, sehingga saat ini ada oknum-oknum yang berani menggunakan identitas palsu sebagai dokter dan bertindak sebagaimana layaknya seorang dokter yang professional.
Kasus penggunaan identitas palsu sebagai dokter di Indonesia mungkin tidak hanya terjadi disatu tempat, bahkan bisa terjadi dibanyak tempat. Seperti halnya kasus penggunaan identitas palsu di Bandar Lampung yang dilakukan oleh Mahar Mardiyanto dimana ia memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat seolah-olah dirinya adalah dokter. Tapi dalam kenyataannya Mahar Mardiyanto bukanlah seorang dokter dan tidak memiliki pendidikan dibidang kesehatan khususnya kedokteran. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap orang menggunakan identitas palsu sebagai dokter dan (2) Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter.
Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah pendekatan secara yurudis normatif dan yuridis empiris. Metode pemgumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data yang dilakukan melalui proses editing, sistematis, dan klasifikasi. Metode penelitian data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif dan menarik kesimpulan secara deduktif.
Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter pada terdakwa Mahar Mardiyanto sudah berjalan dilaksanakan dengan baik sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dimana aparat penegak hukum sudah melakukan tugasnya dengan baik sehingga kasus tindak pidana penggunaan identitas palsu sebagai dokter dapat ditanggulangi dan diselesaikan melalui proses hukum sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku dan hukuman yang diberikan kepada terdakwa sudah sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya dan disertai oleh pertimbangan hakim. Faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter yang paling dominan adalah faktor masyarakat dan kebudayaan.
Adapun saran yang diberikan dalam penulisan ini adalah penegakan hukum terhadap orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter maupun tindak pidana lainnya diharapkan dapat berjalan lebih baik lagi, dengan adanya peran aktif, kejujuran dan ketelitian dari aparat penegak hukum. Karena jika tercapai keberhasilan dalam penegakan hukum pidana kepada para pelaku tindak pidana tentunya akan membawa ketentraman dan kesejahteraan bagi masyarakat.
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP ORANG YANG MENGGUNAKAN IDENTITAS PALSU SEBAGAI DOKTER
(Skripsi)
Oleh
INDRA SUKMA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitiian... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7
E. Sistematika Penulisan... 11
II TINJAUAN PUSTAKA... 13
A. Penegakan Hukum Pidana... 13
B. Dokter... 20
C. Tindak Pidana Penggunaan Identitas Palsu sebagai Dokter... 26
III METODE PENELITIAN... 31
A. Pendekatan Masalah... 31
B. Jenis dan Sumber Data... 31
C. Penentuan Narasumber………... 32
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 33
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 36
A. Karakteristik Narasumber dan Gambaran Umum Perkara Tindak Pidana Penggunaan Identitas Palsu Sebagai Dokter... 36
B. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Orang Yang Menggunakan Identitas Palsu Sebagai Dokter... 41
C. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Orang Yang Menggunakan Identitas Palsu Sebagai Dokter... 48
V PENUTUP... 54
A. Simpulan... 54
B. Saran... 55
MOTO
“Percayalah kepada Tuhan seakan-akan Seluruhnya tergantung
kepadamu, dan kerjakanlah sekuat tenagamu seakan-akan seluruhnya
tergantung pada Tuhan”
(St.Ign. De Loyola)
“Tidak ada yang tidak mungkin selagi masih ada niat dan usaha”
(Penulis)
“Hari ini harus lebih baik dari hari kamarin”
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan
hidayatnya maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap
perjuangan dan jerih payahku aku persembahkan sebuah karya ini
kepada:
Kedua Orang Tua (Ismet Yadi, S.H. dan Yusni) yang kuhormati,
kusayangi dan kucintai. Terima kasih untuk semua pengorbanan,
kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’anya demi keberhasilan
dan kesuksesanku.
Uni dan Adik-adikku Yendri Zahara, Ikhsan Kamil, dan M. Aulia Rizki
yang senantiasa menemaniku dengan kecerian dan kasih sayang.
Almamaterku Tercinta
RIWAYAT HIDUP
Indra Sukma dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 10
Februari 1992, yang merupakan anak kedua dari empat
bersaudara dari pasangan Bapak Ismet Yadi, S.H. dan Ibu
Yusni.
Penulis mengawali jenjang pendidikan pada tahun 1996 di Taman Kanak-Kanak
Aisyiah di Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 1997. Kemudian penulis
melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 1 Pelita Bandar Lampung yang di
selesaikan pada tahun 2003. Penulis masuk ke Sekolah Menengah Pertama Negeri
25 Bandar Lampung di selesaikan pada tahun 2006, setelah itu melanjutkan ke
Madrasah Aliyah Negeri 2 Bandar Lampung dan Lulus pada tahun 2009.
Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN), dan untuk mematangkan ilmu hukum yang di peroleh, penulis
mengkonsentrasikan diri pada bagian Hukum Pidana. Pada Bulan Januari tahun
2013 penulis mengikuti Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang
diselenggarakan pada tanggal 17 Januari – 24 Februari 2013 di desa Kedaton 2
Kecamatan Batang Hari Nuban Kabupaten Lampung Timur bersama 10 orang
peserta yang berasal dari berbagai Fakultas di Universitas Lampung bersama 10
SANWACANA
Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, seluruh alam yang telah
memberikan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Universitas Lampung dengan judul: PENEGAKAN HUKUM PIDANA
TERHADAP ORANG YANG MENGGUNAKAN IDENTITAS PALSU
SEBAGAI DOKTER.
Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan
serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Bapak Depri Lieber Sonata, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik
penulis atas kesediannya membantu, mengarahkan dan memberi masukan
selama penulis menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
4. Bapak Prof. Dr. Sunarto. DM, S.H., M.H., selaku Pembimbing I dan Bapak
waktu serta banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama
menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Pembahas I dan Bapak Tri
Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah banyak memberikan
kritikan, koreksi, dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Ahmad Yani, S.H., selaku responden Kepolisian Resor Kota Bandar
Lampung berserta para staf yang telah membantu penulis dalam
mengumpulkan data.
7. Bapak dr. Hi. Hernowo Anggoro Wasono, M.Kes, selaku responden dari
Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Lampung yang telah meluangkan waktunya
untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.
8. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.Hum., selaku responden akademisi yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan demi penelitian
skripsi ini.
9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa
disebutkan satu persatu, yang telah memberikan ilmu penegtahuan dan
pembelajaran berharga selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
10.Seluruh Staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan
satu persatu, yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan
kemahasiswaan dan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.
11.Papa dan Mama (Ismet Yadi, S.H. dan Yusni) Tercinta yang telah merawat
memberikan semangat dan motivasi dan Adik-adikku (Ikhsan Kamil dan
M.Aulia Riski) yang selalu mendoakanku.
12.Yeli Susanti yang selalu menemani dan mengisi hari-hariku dengan canda,
tawa dan kebahagiaan serta selalu memberikan semangat, dorongan dan
motivasi sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
13.Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Doddy Irwansyah,
Alfian Bayhaqi, Hady Waskhita Aldo, Dani Aji, Indra Saputra, Agung, Rama,
Beni, Chandra, Elly, Wida, serta teman-teman lain yang tidak bisa
disebutkan satu persatu terima kasih banyak sudah saling membantu selama
kuliah, merasakan sama-sama susahnya kuliah, semangat terus kawan raih
mimpi kita.
14.Teman-teman KKN Desa Kedaton 2, Reni, Ade, dina, Afrian, Yogis, Debby,
Lailatusifa, Dinda, Ceen, terima kasih untuk segala hal selama penulis
melaksanakan KKN.
15.Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini
yang tidak disebutkan satu persatu, semoga kebaikan, kasih dan sayang
menyertai mereka.
16.Almamaterku tercinta yang sudah memberikan banyak wawasan dan
pengalaman berharga.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, agama,
membutuhkan terutama bagi penulis. Kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua, amin.
Bandar Lampung, Desember 2014
Penulis
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu,
keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuannya untuk mencapai
kesehatan secara optimal . Semua petugas kesehatan mengakui bahwa pendidikan
kesehatan penting untuk menunjang program kesehatan lainnya. Pada saat ini
banyak sekali bentuk pelayanan kesehatan dalam menanggulangi masalah
kesehatan yang di alami oleh masayarakat. Pada dasarnya pelayanan kesehatan ini
bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit
yang di alami oleh masyarakat.Namun, bukan berarti semua orang bisa
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang mengalami masalah
kesehatan.
Pada hakikatnya semua pelayanan kesehatan itu harus didasari oleh ilmu yang di
dapat dari pendidikan di bidang kesehatan. Selayaknya tujuan pendidikan
kesehatan yaitu pendidikan kesehatan yang paling pokok adalah tercapainya
perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam memelihara
perilaku sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan pendidikan
kesehatan, antara lain tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat,
2
Nasrul Effendy dalam bukunya mengutip dari Stewardpendidikan
kesehatan adalah unsur program kesehatan dan kedokteran yang di dalamnya
terkandung rencana untuk merubah perilaku perseorangan dan masyarakat dengan
tujuan untuk membantu tercapainya program pengobatan, rehabilitasi, pencegahan
penyakit dan peningkatan kesehatan.1
Misalnya seorang dokter, apabila iya ingin berpraktik untuk memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat guna membantu memecahkan masalah
kesehatan yang di alami oleh masyarakat maka ia harus memiliki ilmu yang
berkaitan dengan dunia kedokteran, dimana ilmu itu dapat diperoleh dari
pendidikan di sebuah universitas kedokteran. Begitu pula dengan para tenaga
kesehatan yang lainnya.
Wood juga memberikan definisi mengenai pendidikan kesehatan yang dikutip
oleh Drs. Nasrul Effendy dalam bukunya menyatakan bahwa pendidikan
kesehatan adalah sejumlah pengalaman yang berpengaruh secara menguntungkan
terhadap kebiasaan, sikap dan pengetahuan yang ada hubungannya dengan
kesehatan perseorangan, masyarakat dan bangsa. Kesemuanya ini dipersiapkan
dalam rangka mempermudah diterimanya dengan sukarela perilaku yang akan
meningkatkan atau memelihara kesehatan.2
1
Nasrul Effendy, Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998, hlm. 233
3
Dilihat dari pengertian tentang pendidikan kesehatan diatas maka tujuan
pendidikan yang paling pokok adalah:3
1. Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam
membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta berperan
aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
2. Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan
sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.
3. Menurut WHO tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk merubah perilaku
perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan :
Pasal 1 ayat (6) yaitu :
“Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan”.
Dalam undang-undang diatas telah jelas diterangkan bahwa setiap tenaga
kesehatan harus memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan. Namun, saat ini
masih ada orang yang berani membuka praktik dalam melakukan pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat umum tanpa memiliki surat keterangan berprofesi
dalam bidang kesehatan dan keterampilan dalam bidang kesehatan. Penulis
4
mengangkat sebuah kasus yang tertera dalam surat kabar Radar Lampung, Kamis
12 Juni 2014. Tersangka yang berinisial MY telah membuka praktik kedokteran
ilegal selama 2 tahun dan menurut Kasatreskrim Polresta Bandar Lampung
Kompol Derry Agung Wijaya yang menjelaskan dalam surat kabar Radar
Lampung bahwa dalam buku pasien terdapat 200 orang lebih yang berobat di
klinik tersangka. Tersangka dilaporkan oleh salah seorang pasien yang merasa
dilecehkan pada saat ingin berobat. Dari laporan korban maka pihak kepolisian
melakukan penyelidikan lalu diketahui bahwa tersangka bukanlah orang memiliki
ilmu di bidang kesehatan.
Tersangka juga tidak memiliki izin untuk membuka praktik kedokteran yang
dilakukannya selama ini di sebuah klinik miliknya. Surat izin yang di temukan
oleh pihak kepolisian adalah surat izin milik orang tua dari tersangka. Jadi yang
selama ini dilakukan oleh tersangka adalah sebuah praktik ilegal yang tidak
didasari dengan ilmu pengetahuan kesehatan dan izin praktik yang sah dari
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dalam hal ini tersangka beranggapan
bahwa ia adalah seorang dokter yang memiliki pengetahuan dibidang kesehatan.
Dalam peraturan hukum yang berlaku perbuatan yang dilakukan oleh tersangka
sudah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi sebagaimana telah diatur
dalam Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Pasal 78 :
“setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode dan cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah –
5
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah)”
Mungkin selain dari kasus diatas masih banyak lagi orang-orang yang melakukan
hal yang sama yang dilakukan oleh tersangka namun belum banyak yang
tertangkap oleh pihak kepolisian. Dalam hal ini para aparat penegak hukum sudah
melakukan tindakan yang sangat baik dengan memberikan sanksi kepada para
doktergadungan yang tertangkap. Dimana para pelaku dapat dikenakan sanksi
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran diatas.
Berdasarkan latar balakang masalah yang saya tulis di atas saya tertarik untuk
membuat penetian skripsi dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap
Orang yang Menggunakan Identitas Palsu Sebagai Dokter”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Untuk menguraikan dan menganalisis lebih lanjut dalam bentuk pembahasan yang
bertititk tolak dari latar belakang, makayang menjadi permasalahan dalam
permasalahan ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap orang yang menggunakan
6
b. Apakahyang menjadi faktor penghambat dalam Penegakan Hukum
Pidanaterhadap orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian dalam skripsi ini adalah kajian ilmu hukum pidana,
khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana terhadap orang yang
menggunakan identitas palsu sebagai dokter. Ruang lingkup penelitian dibatasi
pada wilayah hukum Polresta Bandar Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bagaimanakah penegakan hukum terhadap orang yang
menggunakan identitas palsu sebagai dokter.
b. Untuk mengetahui faktor-faktorpenghambat dalam Penegakan Hukum
terhadap orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter.
2. Kegunaan Penulisan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu sebagai berikut :
a. Secara teoritis, untuk memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu
pengetahuan hukum dan memperluas wawasan keilmuan penulis agar dapat
7
kebijaksanaan guna menanggulangi masalah penggunaan identitas palsu
sebagai dokter.
b. Secara praktis, dapat memberikan sumbangan pikiran bagi aparat penegak
hukum, khususnya dalam kasuspraktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh
orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teroritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran
atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi
terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4 Kerangka
teoritis dapat disebut juga suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan
suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah
tertentu. Setiap penelitian itu akan ada suatu kerangka teoritis yang menjadi acuan
dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap
relevan oleh peneliti.5
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan
konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut
sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-pikiran pembuat
undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan
mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada
4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Cetakan ke 3, jakarta:Universitas Indonesia Pers, 2007, hlm. 125
5Ibid,
8
pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang
dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan
hukum itu di jalankan.6
Penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang
menetapkan dan mengejawantah serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai social engineering) memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.7
Ada 3 tahap dalam penegakan hukum pidana, yaitu :
a. Tahap Formulasi
b. Tahap Aplikasi
c. Tahap Eksekusi
Penegakan hukum bukanlah semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,
melainkan terdapat faktor-faktor penghambat yang dapat mempengaruhinya.
Adapun faktor-faktor penghambat penegakan hukum yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja,
mengenai berlakunya undang-undang tersebut mempunyai dampak yang
positif. Asas-asas tersebut antara lain undang-undang tidak berlaku surut,
undang-undang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula.
6
Satjipta Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1983, hal 24.
7
9
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum, penegak hukum merupakan golongan panutan dalam
masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
3. Faktor sarana atau fasilitas, tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka
tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan lancar, sarana atau fasilitas itu
antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan, penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan mencapai
kedamaian dalam masyarakat.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup, kebudayaan hukum pada
dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku.8
Selain itu apabila berbicara tentang penegakan hukum pidana berarti
membicarakan usaha menanggulangi kejahatan di dalam masyarakat. Upaya
penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Penal (hukum pidana), yaitu lebih menitik beratkan pada sifat repressive
(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi;
2. Non penal (di luar hukum pidana), yaitu lebih menitikberatkan pada sifat
preventive (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.9
8
10
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan
istilah-istilah yang ingin atau yang diteliti. 10
Berikut ini dibahas mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang
digunakan dalam penulisan skripsi:
a. Penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan
mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu
hukum pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan
yang dianut oleh Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum,
yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan
tersebut.11
b. Identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian
harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok
atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Identitas juga
merupakan keseluruhan atau totalitas yang menunjukan ciri-ciri atau
keadaan khusus seseorang atau jati diri dari faktor-faktor biologis,
psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkahlaku individu.12
9
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.42
10
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Pers, 1986, hlm. 132. 11
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1986, hlm. 60 12
11
c. Palsu memiliki arti tidak tulen; tidak sah; tiruan; gadungan; curang; tidak
jujur; sumbang.13
d. Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran:
Pasal 1 ayat (2) yaitu :
Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi
baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis menguraikan secara garis
besar materi yang dibahas dalam skripsi ini dalam sistematika sebagai berikut:
I. Pendahuluan
Berisi pendahuluan penyusunan proposal skripsi yang terdidi dari latar
belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan,
kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.
II. Tinjauan Pustaka
Berisi tinjuan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi yaitu penegakan hukum pidana terhadap
seseorang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter, serta sanksi
hukum dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
13
12
III. Metode Penelitian
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, yang terdiri dari pendekatan
masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data,
serta analisis data.
IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
dalam penelitian, terdiri dari deskripsi Penegakan Hukum Pidana terhadap
orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter berdasarkan
Undang—Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
V. Penutup
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan
penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang diajukan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang
mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social control), kedamaian pergaulan.1
Pengertian penegakan hukum juga diartikan penyelenggalaan hukum oleh petugas
penegak hukum dan oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan sesuai
dengan kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku.
Sedangkan penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat,
hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Para penegak hukum harus mampu berkomunikasi dan mendapatkan
pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu membawa atau menjalankan
sesuai yang menjadi perannya.
Pada prakteknya penyelenggaraan penegakan hukum dilapangan, seringkali
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal itu dikarenakan
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan
1
14
kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normative.
Oleh karena itu suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan
hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau
tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Penegakan hukum pidana harus
melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau sebagai proses rasional
yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang merupakan
suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk dari nilai-niali dan
bermuara pada pidana dan pemidanaan.
Adapun tahap-tahap dalam penegakan hukum pidana, yaitu :
a. Tahap Formulasi
Yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh pembuat Undang-Undang tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislative.
b. Tahap Aplikasi
Yaitu penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai
dari kepolisian, TNI sampai pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap
kebijakan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan
serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat
oleh pembuat undang-undang.
c. Tahap Eksekusi
Tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat
pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas
menegakkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh
15
dalam keputusan pengadilan. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan
eksekutif atau administratif.2
Semua komponen bangsa dan hukum hanya boleh ditegakkan oleh
golongan-golongan tertentu saja, seperti aparatur Negara, polisi, pengacara, para eksekutif
maupun masyarakat. Menurut M. Friedmann dalam proses bekerjanya aparatur
penegak hukum itu terdapat 3 (tiga) elemen penting yang mempengaruhi, yaitu :
a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai
kesejahteraan aparatnya;
c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum
materinya maupun hukum acaranya.
Upaya penegakan hukum secara sistematis haruslah memperhatikan ketiga aspek
itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri
secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Menurut Sudarto system peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana
dalam bentuk yang bersifat :
1. Penegakan hukum preventif, usaha pencegahan kejahatan agar pelaku
kejahatan tidak melakukan kejahatan
2. Penegakan hukum represif, suatu tindakan yang dilakukan aparat penegak
hukum dalam menangani suatu kejahatan
2
16
3. Penegakan hukum kuratif, suatu penanggulangan kejahatan yang lebih
menitikberatkan pada pencegahan tindakan terhadap orang yang melakukan
kejahatan.3
Menurut G.P Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh
dengan:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application) b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/media massa)
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).4
Upaya penanggulangan kejahatan, dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Penal (hukum pidana), yaitu lebih menitikberatkan pada sifat repressive
(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi;
b. Non penal (di luar hukum pidana), yaitu lebih menitikberatkan pada sifat
preventive (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.5
3
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990, hlm. 35 4
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan kejahatan, Jakarta; Kencana, 2008, hlm. 77
5
17
Ada beberapa alasan penggunaan penal (hukum pidana) sebagai sarana
penanggulangan kejahatan, dikemukakan oleh :
a. Roeslan Saleh :
1) Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk
mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan
terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara
nilai dari hasil dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
2) Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti
samasekali bagi si terhukum dan di samping itu harus ada reaksi atas
pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah
dapat dibiarkan begitu saja
3) Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan kepada
si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu
warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
b. H.L. Packer :
1) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang
maupun dimasa yang akan datang tanpa pidana
2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik yang tersedia yang
kita miliki untuk menghadapi bahaya besar dan segera serta untuk
menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya itu
3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau terbaik”
18
manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-hemat
dan digunakan secara manusiawi. Sebaliknya ia merupakan pengancam
apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.
Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik
kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka
kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan
dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa social walfare dan social defence.6
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan
integral; ada keseimbangan sarana penal dan nonpenal. Dilihat dari sudut politik
kriminal kebijakan paling strategis melalui sarana nonpenal, karena lebih bersifat
preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan (yaitu
bersifat fragmentaris/simplistis/tidak struktural fungsional; simptomatik/tidak
kausatif/tidak eliminatif; individualistik atau offender-oriented/tidak victim-oriented; lebih bersifat represif/tidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi).7
Menurut Joseph Golstein penegakan hukum dapat dibagi ke dalam 3 (tiga)
kerangka konsep, yaitu:
1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut
6Ibid
7Ibid,
19
ditegakkan tanpa terkecuali. Penegakan hukum secara total ini tidak mungkin
dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara
pidana maupun peraturan yang lainnya;
2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan
sebagainya demi perlindungan kepentingan individu;
3. Konsep penegakan hukum yang bersifat actual (actual enforcement concept) muncul setelah diyakini adanya deskripsi dalam penegakan hukum, karena
kepastian baik yang terkait dengan sarana-prasarana, kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM), kualitas perundang-undangan dan kurangnya partisipasi
masyarakat.8
B. Dokter
Dokter (dari bahasa Latin yang berarti "guru") adalah seseorang yang karena
keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang yang sakit. Tidak semua
orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk menjadi dokter
biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam
bidang kedokteran.9
Secara operasional, definisi “Dokter” adalah seorang tenaga kesehatan (dokter)
yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk
menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis
penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan sedapat
mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi
serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 157
9
20
prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung
jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang diselenggarakannya
adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan
kedokteran.10
Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran:
Pasal 1 ayat (2) yaitu :
“Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi
baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai
dokter dan mempunyai fungsi dan peran sebagai dokter manakala yang
bersangkutan dapat membuktikan bahwa dirinya telah menyelesaikan pendidikan
dokter baik diluar maupun didalam negeri yang biasanya dibuktikan dengan ijazah
atau surat tanda tamat belajar. Dengan kata lain orang disebut sebagai dokter
bukan dari keahlian turun temurun, melainkan melalui jenjang pendidikan dokter.
Selain dengan pendidikan diperlukan juga sumpah/janji sebagai dokter. Dari
sumpah yang diucapkan seseorang untuk menjadi dokter, jelas disana bahwa
profesi kedokteran adalah profesi kemanusiaan, yang tidak mendahulukan motif
untuk mendapatkan imbalan dalam melakukan tugasnya. Dan perlu diketahui,
seseorang belum bisa disebut dan diakui sebagai dokter bila belum mengucapkan
10
21
sumpah atau janji dokter yang telah dibuat 2500 tahun yang lalu oleh Hipokrates
itu. Sumpah yang hanya diucapkan dan ditandatangani sekali seumur hidup
selama karirnya sebagai dokter pada saat pelantikan dokter itu, tidak hanya secara
simbolis dan formal, tetapi juga mengikat seorang dokter ketika bekerja
/berpraktik sebagai dokter. Tanpa sumpah/janji dokter, seseorang yang sudah
dinyatakan lulus pendidikan dokter tidak akan bisa berpraktik sebagai dokter
secara legal, karena sumpah dokter dibutuhkan dalam persyaratan memperoleh
Surat Tanda Regitrasi (STR) sebagai dokter.11
Diatas telah dijelaskan bahwa dokter adalah sebuah pekerjaan profesi. Pada
umunya pekerjaan profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pendidikan sesuai standar internasional 2. Mengutamakan panggilan kemanusiaan
3. Berlandaskan etik profesi, mengikat seumur hidup 4. Legal melalui perizinan
5. Belajar sepanjang hayat
6. Anggota bergabung dalam suatu organisasi profesi12
Di masyarakat, dokter sangatlah besar pengaruhnya untuk meningkatkan kualitas
kesehatan terutama dalam penyembuhan sebuah penyakit. Berhasilnya upaya
kesehatan menyebabkan munculnya pola penyakit yang berbeda sehingga peran
dokter dalam berbagai upaya pelayanan kesehatan pun berubah. Dalam upaya
kuratif,dokter masa kini harus siap untuk menolong pasien, bukan saja yang
berpenyakit akut tetapi juga yang berpenyakit kronis,penyakit degeneratif dan
harus siap membantu kliennya agar dapat hidup sehat dalam kondisi lingkungan
11
Triharnoto, The Doctor, Yogyakarta: Pustaka Angrek, 2009, hlm.33 12
22
yang lebih rumit masa sekarang ini. Untuk itu ia harus mengenal kepribadian dan
lingkungan pasiennya.
Kompetensi yang harus dicapai seorang dokter meliputi tujuh area kompetensi
atau kompetensi utama, yaitu:
1. Keterampilan komunikasi efektif
2. Keterampilan klinik dasar
3. Keterampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan epidemiologi dalam praktik kedokteran
4. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada indivivu, keluarga ataupun masyarakat denga cara yang komprehensif, holistik, bersinambung, terkoordinasi dan bekerja sama dalam konteks Pelayanan Kesehatan Primer.
5. Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi
6.
Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hayat7.
Menjunjung tinggi etika, moral dan profesionalisme dalam praktik.13Ketujuh area kompetentsi itu sebenarnya adalah kemampuan dasar seorang dokter
yang menurut WFME (World Federation for Medical Education) disebut basic
medical doctor.Dokter berfungsi untuk menyelenggarakan upaya pemeliharaan
kesehatan dasar paripurna dengan menggunakan pendekatan menyeluruh untuk
memecahkan masalah yang dihadapi oleh individu dalam keluarga dan oleh
setiapanggota keluarga dalam kelompok masyarakat yang memilihnya sebagai
mitra utama pemeliharaan kesehatan.14
Selain itu dokter juga memiliki tugas. Tugas yang di embankan kepada seorang
dokter, antara lain:
1. Menangani masalah kesehatan perorangan atau individu, misalnya memeriksa pasien, mendiagnosis penyakit, melakukan konsultasi memberikan pengobatan
23
yang tepat, melakukan pencatatan (rekam medis), memberikan surat berbadan sehat, dan memberikan surat keterangan sakit.
2. Memberikan pelayanan kedokteran kepada pasien baik ketika dalam keadaan sehat maupun sakit.
3. Memberikan tindakan awal atau kegawatdaruratan pada pasien tertentu sebelum dikirim ke rumah sakit
4. Melakukan rujukan kepada dokter spesialis untuk pasien yang membutuhkan, termasuk pengiriman kerumah sakit.
5. Melakukan pembinaan terhadap keluarga pasien.
6. Berperan dalam pengelolaan kesehatan keluarga dan masyarakat.15
C. Tindak Pidana Penggunaan Identitas Palsu Sebagai Dokter
Strafbaar feitmerupakan istilah dari bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik,
perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata
strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.16
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yang yuridis, lain halnya dengan
kejahatan yang biasa diartikan secara yuridis ataupun kriminologis. Istilah tindak
pidana adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Strafbaar feit atau
Delict.17Beberapa sarjana memberikan pengertian perbuatan pidana, tindak pidana ataupun strafbaar feit, diantaranya menurut R. Soesilo mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang
15
Nur Farida, Medical Professional, Jakarta: Grasindo, 2009, hlm.36 16
Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag I, Jakarta: Grafindo, 2002, hlm. 69. 17
24
yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau
mengabaikan itu diancam dengan pidana.18 Menurut Moeljatno perbuatan pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut.
Menurut Soedjono kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau
bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum, tegasnya
perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan kaidah hukum dan tidak
memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah
hukum yang berlaku dalam masyarakat.19 Sedangkan Wirjono Projodikoro
menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan hukuman pidana.20 Lalu Simons dalam bukunya merumuskan
Strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya
yang dinyatakan dapat dihukum.21
Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah
(fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya.22 Duet Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus
bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling
(perbuatan manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan
18Ibid
. hlm.5 19
Soedjono.D, Ilmu Kejiwaan Kejahatan, Bandung: Karya Nusantara, 1977, hlm. 15. 20
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Eresco, 1986, hlm. 50. 21
Simons, Pelajaran Hukum Pidana, Bandung: Pioner Jaya, 1992, hlm. 127. 22
25
pidana),toerekeningvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab), dan adanya schuld (terjadi karena kesalahan).23
Moeljatno menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu
kelakuan dan akibat (perbuatan), hal ikhwal atau keadaan yang menyertai
perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum
yang subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif.24 Moeljatno
membedakan unsur tindak pidana berdasarkan perbuatan dan pelaku dapat dibagi
dalam dua bagian yaitu:
1. Unsur Subjektif berupa :
a. Perbuatan manusia
b. Mengandung unsur kesalahan
2. Unsur Objektif berupa :
a. Bersifat melawan hukum
b. Ada aturannya25
Menurut M. Bassar Sudrajad unsur-unsur yang terkandung dalam suatu delik
adalah terdiri dari :
a. Unsur melawan hukum
b. Unsur merugikan masyarakat
23
Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 2007, hlm. 38.
24
Ibid, hlm. 69. 25Ibid
26
c. Dilarang oleh aturan hukum pidana
d. Pelakunya dapat diancam pidana26
Walaupun pendapat dari rumusan berbeda-beda namun pada hakikatnya ada
persamaannya, yaitu tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai
perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya (pelaku). Perbuatan
pidana memiliki beberapa unsur yang tanpa kehadiran unsur tersebut maka
perbuatan pidana tidaklah bisa disebut sebagai delik atau perbuatan pidana.
Pertama perbuatan pidana merupakan perbuatan manusia. Kedua, bersifat
melawan hukum.
Kedua unsur inilah yang disepakati oleh hampir seluruh sarjana hukum. Selain itu
ada beberapa unsur penting yang meski tidak disepakati oleh seluruh sarjana,
namun merupakan bagian penting dari perbuatan pidana. Pertama kesalahan baik
berupa kesengajaan ataupun kelalaian. Kedua, hal ikhwal yang terdapat dalam
rumusan KUHP yang tanpa adanya keadaan tersebut sebuah perbuatan pidana
tidak dihitung pernah terjadi.27
Identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah;
ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau sesuatu
sehingga membedakan dengan yang lain. Identitas juga merupakan keseluruhan
atau totalitas yang menunjukan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati
26
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Grafindo, 2002, hlm. 78. 27
Nis, Miftah Lan, Pengertian dan unsur-unsur Tindak Pidana. 25 November 2013.
27
diri dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari
tingkahlaku individu.
Pengertian tindak pidana penggunaan identitas palsu sebagai dokter dapat kita
lihat dalam penjabaran pasal dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran yaitu diantaranya adalah :
a. Pasal 77 menyatakan :
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin
praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
b. Pasal 78 menyatakan :
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan
seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter yang telah memiliki
surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat
izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat (2) di pidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
28
Selain itu yang berkaitan dengan penggunaan identitas palsu/pemalsuan juga
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalam KUHP
istilah pemalsuan ini dikenal sebagai tindak pidana penipuan dengan catatan
bahwa kebohongan itu dibarengi dengan tindakan yang bermaksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada yang
menjelaskan tentang penggunaan identitas palsu sebagai dokter secara khusus.
Namun setelah penulis membaca dan menelaah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), penulis menganalisis bahwa perbuatan penggunaan identitas
palsu ini termasuk penipuan. Sebagaimana tercantum dalam pasal 378 KUHP
yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Dalam penjelasan pasal diatas terdapat unsur-unsur, diantaranya sebagai berikut:28
1. Unsur Barangsiapa
28
29
Perumusan unsur “barangsiapa” dalam KUHP menunjuk pada subyek hukum
sebagai pelaku daripada suatu delik, yaitu “setiap orang” yang dipandang
mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya menurut hukum.
2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain secara
melawan hukum
Yang dimaksud dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain adalah si
pembuat/pelaku atau orang lain menikmati hasil perbuatannya baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dengan melawan hak atau melawan hukum
dalam hal ini yaitu tidak berhak atau bertentangan dengan hukum. Selain itu
melawan hukum artinya meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
3. Unsur dengan memakai tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan
“Tipu muslihat” merupakan perbuatan-perbuatan yang menyesatkan, yang
dapat menimbulkan dalih-dalih yang palsu dan gambaran-gambaran yang
keliru dan memaksa orang untuk menerimanya.Yang dimaksud dengan “tipu
muslihat” adalah suatu tindakan yang dapat disaksikan oleh orang lain baik
disertai maupun tidak disertai dengan suatu ucapan, yang dengan tindakan itu
siperti menimbulkan suatu kepercayaan akan sesuatu atau pengharapan bagi
orang lain sedangkan yang dimaksud dengan “rangkaian kebohongan” adalah
beberapa keterangan yang saling mengisi yang seakan-akan benar isi
keterangan itu, pada hal tidak lain daripada kebohongan, isi masing-masing
30
4. Unsur menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang barang
kepadanya
Bahwa yang dimaksud dengan “menggerakkan” (bewegen) disini adalah
tergeraknya hati si korban dan mau melakukan suatu perbuatan, disini tiada
“permintaan dengan tekanan” kendati menghadapi suatu sikap ragu-ragu dari
si korban.
Bahwa untuk adanya suatu “penyerahan” itu adalah cukup apabila suatu benda
itu telah dilepaskan, tidak tergantung pada masalah berapa lama si pelaku
ingin menguasasi benda tersebut dan tidak bergantung pula pada masalah apa
yang akan diperbuat oleh si pelaku dengan benda itu.
Dengan demikian untuk dapat menyatakan bahwa seseorang sebagai pelaku
kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan di sidang Pengadilan harus
melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah
benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak
III. METODE PENELITIAN
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, maka diperlukan suatu metodologi yang merupakan suatu usaha
untuk menyelidiki dan menemukan serta mengungkap kebenaran suatu
pengetahuan secara ilmiah.
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah
pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan,
yang berhubungan dengan masalah yang akan di teliti, sedangkan pendekatan
yuridis empiris dilakukan dengan cara mendapatkan keterangan langsung dari
responden di lapangan.1
B. Jenis dan Sumber Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1
32
1. Data Premier
Data premier adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk
mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber
hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder
dalam penelitian ini, terdiri dari:
a. Bahan hukum premier
Bahan hukum premier bersumber dari:
(1) Undang-Undang Nomor29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
(2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
(3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang
melengkapi hukum premier dan peraturan perundang-undangan lain yang
sesuai dengan masalah dalam penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti
teori/pendapat para ahli dalam berbagai literature/buku hukum,
33
C. Penentuan Narasumber
Penelitian ini membutuhkan narasumber yang menjadi sumber informasi
mengenai mengenai permasalahan yang dibahas. Narasumber ini adalah sebagai
berikut:
1. Penyidik Polresta Bandar Lampung : 1 orang
2. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung : 1 orang
3. Ketua IDI Provinsi Lampung : 1 orang
Dengan demikian jumlah seluruh narasumber sebanyak : 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur
pengumpulan data yang terdiri dari :
1. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi
kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan
cara membaca, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang
peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan ilmiah lainnya
34
2. Data Premier
1) Observasi
Yaitu pengumpulan data secara langsung terhadap objek penelitian,
untuk memperoleh data yang valid dengan menggunakan metode
observasi yang dilaksanakan di Polresta Bandar Lampung.
2) Wawancara (Interview)
Yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara
(Interview) secara langsung dengan alat bantu daftar pertanyaan yang
bersifat terbuka. Dimana wawancara tersebut dilakukan dengan
menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu responden/narasumber yang akan diwawancarai sesuai
dengan objek penelitian yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian.
Wawancara tersebut dilakukan dengan petugas Polresta Bandar
Lampung.
2. Prosedur Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, selanjutnya adalah pengolahan data, yaitu kegiatan
merapikan dan menganalisa data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan
seleksi data dengan cara memeriksa data yang diperoleh melalui
kelengkapannya. Klasifikasinya atau pengelompokan data secara sistematis.
Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Editing data, yaitu memeriksa atau meneliti data yang keliru, menambah
35
2. Klasifikasi data, yaitu penggolongan atau pengelompokan data menurut
pokok bahasan yang telah ditentukan.
3. Sistematis data, yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan secara
sistematis hingga memudahkan interpretasi data.
E. Analisis Data
Proses analisa data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan
mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari
sesuatu penelitian pendahuluan. Dalam proses analisa data ini, rangkaian data
yang telah tersusun secara sistematis menurut klasifikasinya kemudian diuraikan
dan dianalisis secara analisis kualitatif, yakni dengan memberikan pengertian
terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh di lapangan dan
disusun serta diuraikan dalam bentuk kalimat per kalimat. Kemudian dari hasil
analisa data tersebut di interpretasikan ke dalam bentuk kesimpulan yang bersifat
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat
dibuat kesimpulan sebagai berikut :
1. Penegakan hukum pidana terhadap orang yang menggunakan identitas palsu
sebagai dokter dilakukan oleh aparat penegak hukum. Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran telah meletakan kebijakan hukum
pidana terhadap tindak pidana penggunaan identitas palsu sebagai dokter
atupun orang yang bertindak memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat seolah-olah dirinya adalah dokter yang telah memiliki tanda
registrasi dokter dan surat izin praktik, dan menetapkan sanksi terhadap
tersangka. Upaya penegakan hukum terhadap orang yang menggunakan
identitas palsu sebagai dokter yang dilakukan dimulai dari adanya laporan dari
korban kepada pihak kepolisian, yang kemudian dilanjutkan dengan proses
pemeriksaan dan penyidikan. Setelah pemeriksaan dan penyidikan dilakukan,
proses dilanjutkan kepada pihak Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang
melakukan tuntuan terhadap tersangka. Sampai saat ini aparat penegak hukum
sudah melakukan tugasnya dengan baik sehingga kasus tindak pidana
penggunaan identitas palsu sebagai dokter dapat ditanggulangi dan
57
berlaku dan hukuman yang diterima oleh terdakwa sudah di sesuaikan dengan
tindak pidana yang dilakukan dengan pertimbangan oleh hakim .
2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum antara lain
faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas,
faktor masyarakat dan faktor budaya. Faktor masyarakat merupakan faktor
dominan yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum pidana terhadap
orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter. Dimana masyarakat
memegang peran penting dalam membantu aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya dalam mengungkap kejahatan
khususnya terhadap orang yang menggunakan identitas palsu sebagai dokter,
sehingga dapat terwujudnya ketertiban dan kesejahteraan bagi masyarakat.
B. Saran
Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini,
maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Penegakan hukum pidana terhadap orang yang menggunakan identitas palsu
sebagai dokter maupun tindak pidana lainnya diharapkan bisa berjalan lebih
baik lagi. Dengan adanya peran aktif, kejujuran dan ketelitian dari aparat
penegak hukum. Keberhasilan dalam penegakan hukum yang dilakukan
kepada para pelaku tindak pidana tentunya akan membawa ketentraman dan
58
2. Masyarakat diharapkan memiliki kesadaranakan pentingnya memberikan
informasi kepada aparat penegak hukum apabila mengetahui adanya sebuah
tindak pidana yang sedang terjadi, sehingga upaya penegakan hukum terhadap
pelaku tindak pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku/Literatur
Amir, Amri dan M. Jusuf Hanifah. 2008 Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC
Arief,Barda Nawawi. 2008Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan kejahatan, Jakarta; Kencana.
_________________. 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Chazawi, Adami. 2002.Pengantar Hukum Pidana Bag I, Jakarta: Grafindo. Cristhine Cansil dan Cansil, 2007.Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya
Paramita.
Effendy Nasrul, 1998.Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Budi RizkiHusindanKadirHusin, 2012. BukuAjaranSistenPeradilanPidana, Bandar Lampung: Universitas Lampung
Moeljatno. 2008.Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi dan Barda NawawiArief. 1984. Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung. Alumni.
___________________________. 1992.Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni
Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum,., Bandung,. Maju Mundur.
Rahardjo, Satjipta., 1983.MasalahPenegakanHukumSuatuTinjauanSosiologis, Jakarta; BadanPembinaanHukumNasionalDepartemenKehakiman.
Simons. 1992.Pelajaran Hukum Pidana, Bandung: Pioner Jaya.
Soedjono, D. 1977.Ilmu Kejiwaan Kejahatan, Bandung: Karya Nusantara.
Soekanto, Soerjono. 1983..Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Rajawali. Bandung.
_________________. 2007 . Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Cetakan ke 3
Soesilo. R. 1984.Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bogor: Politae.
Sudarto, 1990. Hukum Pidana I .Fakultas Hukum UNDIP, Semarang. Triharnoto, 2009.The Doctor, Yogyakarta: Pustaka Angrek.
B.Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
C.Sumber lain
http://id.wikipedia.org/wiki/Dokter. Diakses Kamis 3 Juli 2014
http://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-dokter/. Diakses kamis 3 Juli 2014
http://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-dokter-dan-tugas-dokter/. Diakses Kamis 3 Juli 2014
http://www.medpp.com/artikel/software-praktek-dokter/49/peran-dan-fungsi-dokter-di-masyarakat.html. Diakses Sabtu 5 juli 2014