• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FREKUENSI APLIKASI INSEKTISIDA TERHADAP POPULASI HAMA KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH FREKUENSI APLIKASI INSEKTISIDA TERHADAP POPULASI HAMA KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan seperti kecap, tahu, dan tempe. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat meskipun kedelai praktis baru dibudidayakan

masyarakat di luar Asia setelah 1910 (AAk,1989).

Di Indonesia, kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama, meskipun Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai. Ini terjadi karena kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih. Kedelai putih bukan asli tanaman tropis sehingga jika ditanam di Indonesia, hasilnya selalu lebih rendah daripada di Jepang dan Tiongkok. Dalam usaha meningkatkan produksi kedelai, pengendalian hama mempunyai peranan penting dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari usaha budidaya tanaman kedelai (Ditjen Perlindungan Tanaman Pangan,1989).

Sampai saat ini usaha pengendalian hama pada tanaman kedelai di tingkat petani masih mengandalkan insektisida. Laporan dari Direktorat Bina

(2)

tidak dikendalikan dari fase vegetatif sampai fase pengisian biji, maka dapat menyebabkan penurunan hasil sebesar 3- 80%. Kerusakan tanaman dan menurunnya hasil kedelai akibat serangan hama antara lain ditentukan oleh fluktuasi populasi hama itu (Lamina,1989). Menurut Arifin (1992), tinggi rendahnya populasi hama dalam agroekosisten juga dipengaruhi oleh

keberadaan musuh alaminya, teknik budidaya, ketahanan varietas, cuaca, dan aplikasi insektisida.

Salah satu faktor penyebab rendahnya hasil kedelai adalah daya serangan hama. Serangan hama dapat menjadi faktor pembatas bagi hasil yang

maksimal, baik untuk lahan kering maupun lahan sawah, oleh karena itu perlu adanya tindakan pengendalian (Khaerudin,1996). Salah satu hama penting yang merusak daun pada tanaman kedelai adalah kutu Aphis sp. Kutu ini menyerang tanaman kedelai sejak awal pertumbuhan hingga panen. Serangga ini dapat berstatus sebagai hama dan vektor dari tujuh jenis virus tanaman. Sebagai hama, kutu daun mengisap cairan tanaman yang mengakibatkan daun menjadi layu sehingga pertumbuhannya terhambat. Kutu juga mengeluarkan zat yang dapat menjadi media pertumbuhan cendawan jelaga yang menutupi permukaan bagian tanaman, sehingga mengganggu aktivitas fotosintesis dan respirasi (Irwin dan Kobayashi, 1980).

Tindakan pengendalian hama yang sering diterapkan adalah dengan

(3)

sipermetrin. Namun evaluasi keberhasilan pengendalian secara kimiawi ini masih sangat rendah. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh frekuensi aplikasi insektisida terhadap populasi hama kutu Aphis glycines dan organisme nontarget pada pertanaman kedelai.

1.2.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh frekuensi aplikasi insektisida terhadap populasi hama kutu daun (Aphis glycines) dan organisme nontarget pada pertanaman kedelai (Glycine max L. Merrill).

1.3. Kerangka Pemikiran

(4)

Teknik pengendalian yang banyak dilakukan untuk mengendalikan kutu Aphis glycines adalah dengan penyemprotan insektisida (Rukmana,1996). Tingginya

penggunaan insektisida disebabkan oleh berbagai faktor seperti: (1) dapat mengendalikan populasi hama secara cepat dan efektif, (2) selalu tersedia di pasaran, dan (3) aplikasinya relatif mudah. Walaupun insektisida mempunyai beberapa keunggulan, namun penggunaan insektisida dalam jangka waktu lama terutama dengan dosis dan frekuensi penggunaan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas agroekosistem yang mengakibatkan timbulnya beberapa masalah (Sunarjo, 1993). Insektisida yang banyak digunakan dalam mengendalikan kutu Aphis sp. adalah insektisida berbahan aktif dimethoate, alfametrin, abamektin dan sipermetrin (Rukmana, 1996).

Pada agroekosistem pertanaman kedelai dapat ditemukan banyak organisme nontarget yang mempunyai berbagai peran. Salah satu organisme nontarget penting adalah musuh alami. Musuh alami ini juga berperan dalam

mengendalikan hama serta dapat menurunkan populasi hama. Musuh alami yang terdapat pada pertanaman kedelai antara lain kumbang kubah

(Coleoptera: Coccinellidae) yang berperan sebagai predator. Kumbang kubah yang umum ditemukan pada tanaman kedelai di antaranya Micraspis croacea, Menochilus sp, Coccinella tranversalis, Harmonia octomaculata, Verania

(5)

1.4.Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah frekuensi aplikasi insektisida berpengaruh terhadap populasi hama kutu daun (Aphis glycines Matsumura ) dan

(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Perkembangan Kedelai

Sejumlah jenis tanaman penting yang diusahakan di Indonesia berasal dari tempat lain di dunia. Tanaman kedelai diduga berasal dari dataran Cina. Sumber genetik (plasma nutfah) tanaman kedelai tumbuh di daerah pegunungan Cina bagian Tengah dan Barat, serta dataran rendah di sekitarnya. Pada masa jaya kedelai di Cina, publisitas tanaman ini dikenal dengan Cow from China atau sapi dari negeri Cina, karena biji kedelai digunakan sebagai pengganti susu di negara tersebut. Sumber genetik kedelai di luar kawasan Cina ditemukan di Amerika Serikat dan Mansyuriah. Dalam perkembangan selanjutnya tanaman ini menyebar luas di berbagai negara di dunia, terutama daerah-daerah yang telah dikenal pertaniannya.

Pada tahun 1750, kedelai ditanam di Indonesia khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Daerah sentra pertanaman kedelai di Indonesia mula- mula terpusat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Bali. Lambat laun penanaman kedelai meluas di seluruh provinsi di Indonesia (Rukmana,1996).

(7)

komoditi kedelai telah menghasilkan devisa sebanyak 3 trilyun/tahun. Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih,

atau hijau) dan Glycine soya (kedelai hitam, berbiji hitam). Bagian yang paling penting dari tanaman kedelai adalah bijinya. Biji kedelai yang masih muda bersama polongnya digemari masyarakat sebagai kedelai rebus. Alasan utama kedelai diminati masyarakat luas di dunia antara lain adalah karena dalam biji kedelai terkandung gizi yang tinggi, terutama kadar protein nabati. Di samping itu, kadar asam amino kedelai termasuk paling lengkap. Tiap satu gram asam amino kedelai mengandung 340 mgr isoleusin, 480 mgr leusin, 400 mgr lisin, 310 mgr fenilalanin, 200 mgr tirosin, 80 mgr metionin, 110 mgr sistein, 250 mgr treonin, 90 mgr triptofan, dan 330 mgr valin

(AAk,1989).

Kedelai selain berguna untuk mencukupi kebutuhan gizi tubuh, juga berkhasiat sebagai obat beberapa jenis penyakit. Hasil penelitian di Inggris menunjukkan bahwa kedelai berkhasiat sebagai pencegah kanker dan jantung koroner. Timbulnya kanker dalam tubuh karena senyawa nitrosamin. Pada kedelai yang dapat menekan munculnya senyawa nitrosamin adalah phenolik dan asam lemak (AAk,1989).

2.2. Morfologi Tanaman Kedelai

(8)

pengolah, pengedar dan penyimpan makanan, sehingga disebut alat hara (organ nutritivum). Organ generatif meliputi bunga, buah, dan biji yang fungsinya adalah sebagai alat reproduksi. Struktur akar tanaman kedelai terdiri atas akar lembaga, akar tunggang, dan akar cabang berupa akar

rambut. Perakaran kedelai dapat menembus tanah pada kedalaman ± 150 cm, terutama pada tanah yang subur (Rukmana, 1996).

Perakaran tanaman kedelai mempunyai kemampuan membentuk bintil akar. Bintil- bintil akar berbentuk bulat atau tidak beraturan yang merupakan koloni dari bakteri Rhizobium japonicum. Bakteri ini bersimbiosis dengan akar tanaman kedelai untuk menambat nitrogen bebas ( N2) dari udara. Unsur

nitrogen tersebut dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman kedelai,

sedangkan bakteri Rhizobium japonicum memerlukan makanan yang berasal dari tanaman kedelai, sehingga proses ini merupakan hubungan hidup yang saling menguntungkan atau disebut simbiosis mutualisme. Jumlah nitrogen yang dapat ditambat oleh Rhizobium japonicum berkisar antara 40%-70% dari seluruh nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman kedelai atau tergantung dari jenis tanaman kacang- kacangan, kesuburan tanah dan strain bakteri Rhizobium japonicum. Pada tanah yang belum pernah atau telah lama tidak ditanami kacang- kacangan biasanya populasi bakteri Rhizobium sangat rendah, bahkan tidak terdapat sama sekali. Sebaliknya, pada tanah yang telah mengandung bakteri Rhizobium, maka bintil akar mulai terbentuk sekitar 15- 20 hari setelah tanam. Oleh karena itu, tanah- tanah yang belum pernah ditanami kacang- kacangan atau lahan bukaan baru perlu dikembangkan

(9)

2.2.1. Batang dan Cabang

Hipokotil pada proses perkecambahan merupakan bagian batang, mulai dari pangkal akar sampai kotiledon. Hipokotil dan dua keping kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menembus ke permukaan tanah. Bagian batang kecambah yang berada di atas kotiledon tersebut dinamakan epikotil. Tinggi batang kedelai berkisar 30–100 cm dan batang dapat membentuk 3-6 cabang. Namun bila jarak antartanaman rapat, cabang menjadi berkurang atau tidak bercabang sama sekali. Tipe pertumbuhan batang dapat dibedakan menjadi terbatas (determinate), tidak terbatas (indeterminate), dan setengah terbatas (semi-indeterminate). Tipe terbatas memiliki ciri khas berbunga serentak dan mengakhiri pertumbuhan meninggi. Tanaman pendek sampai sedang, ujung batang hampir sama besar dengan batang bagian tengah, daun teratas sama besar dengan daun batang tengah. Tipe tidak terbatas memiliki ciri berbunga secara bertahap dari bawah ke atas dan tumbuhan terus tumbuh. Tanaman berpostur sedang sampai tinggi, ujung batang lebih kecil dari bagian tengah. Tipe setengah terbatas memiliki karakteristik antara kedua tipe lainnya (AAk,1991).

2.2.2. Daun

(10)

Permukaan daun berbulu halus pada kedua sisi. Tunas atau bunga akan muncul pada ketiak tangkai daun majemuk. Setelah tua, daun menguning dan gugur, mulai dari daun yang menempel di bagian bawah batang (AAk,1991)

2.2.3. Akar

Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembaban tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat menyerap unsur hara dan air. Pertumbuhan ke samping dapat mencapai jarak 40 cm, dengan kedalaman hingga 120 cm. Selain berfungsi sebagai tempat bertumpunya tanaman dan alat pengangkut air maupun unsur hara, akar tanaman kedelai juga merupakan tempat terbentuknya bintil-bintil akar. Bintil akar tersebut berupa koloni dari bakteri pengikat nitrogen

Rhizobium japonicum yang bersimbiosis secara mutualis dengan kedelai.

Pada tanah yang telah mengandung bakteri ini, bintil akar mulai terbentuk sekitar 15 – 20 hari setelah tanam. Bakteri bintil akar dapat mengikat nitrogen langsung dari udara dalam bentuk gas N2 yang kemudian dapat

digunakan oleh kedelai setelah dioksidasi menjadi nitrat (NO3) (AAk,1991).

2.2.4. Bunga

(11)

menutup sehingga kemungkinan kawin silang alami amat kecil. Bunga terletak pada ruas-ruas batang, berwarna ungu atau putih. Tidak semua bunga dapat menjadi polong walaupun telah terjadi penyerbukan secara sempurna. Sekitar 60% bunga rontok sebelum membentuk polong (Danarti dan Najiyati, 2000).

Pembentukan bunga juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Pada suhu tinggi dan kelembaban rendah, jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak. Hal ini akan merangsang pembentukan bunga. Tangkai bunga umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang diberi nama rasim. Jumlah bunga pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 2-25 bunga, tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas kedelai. Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia (AAk,1991).

2.2.5. Buah atau Polong

Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat

(12)

polong, dari hijau menjadi kuning kecokelatan pada saat masak (Rukmana,1996).

2.2.6. Biji

Biji kedelai berkeping dua, terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan endosperma. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit biji kuning, hitam, hijau, coklat. Pusat biji (hilum) adalah jaringan bekas biji melekat pada dinding buah. Bentuk biji kedelai umumnya bulat lonjong tetapi ada pula yang bundar atau bulat agak pipih. Biji kedelai mempunyai ukuran bervariasi, mulai dari kecil (sekitar 7-9 g/100 biji), sedang (10-13g/100 biji), dan besar (>13 g/100 biji). Selain itu, bentuk biji juga

bervariasi, tergantung pada varietas tanaman, yaitu bulat, agak gepeng, dan bulat telur. Namun demikian, sebagian besar biji berbentuk bulat telur. Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pengisian biji selesai, kedelai dapat langsung ditanam. Namun demikian, biji kedelai tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13%.

(13)

2.3.Hama Kutu Daun (Aphis sp)

Kutu daun (Aphis sp.) termasuk dalam Famili Aphididae, Ordo Hemiptera dan Sub Ordo Homoptera (Borror et al). Kata Aphididae berasal dari bahasa Yunani yang artinya menghisap cairan. Hal ini menunjukkan bahwa hama ini menghisap cairan dari tanaman untuk makanannya. Di dataran rendah tropis, perkembangbiakan Aphis sp sangat tinggi pada permulaan musim kemarau. Bagian titik tumbuh tanaman merupakan bagian yang disukai oleh kutu daun. Kutu ini juga mengeluarkan cairan embun madu sehingga mengundang cendawan jelaga (Pracaya, 2009).

Kutu bertubuh kecil ini, hanya sekitar 1-1,5 mm panjangnya, berwarna kehijauan. Kutu dewasa ada yang bersayap, ada pula yang tidak bersayap. Cara berkembang biak dan cara merusak kutu Aphis sp. adalah : (1) larva dilahirkan oleh induknya di balik daun melalui perkembangbiakan

partenogenetik, (2) dalam waktu satu minggu larva telah menjadi kutu dewasa dan mulai aktif makan di balik daun atau pada kuncup tunas, (3) hama ini mulai menyerang pada awal pertumbuhan kedelai juga pada masa

pembentukan bunga dan polong, (4) kedelai yang terserang hama ini menjadi layu, pertumbuhannya terhambat, karena hama ini menghisap cairan tanaman, (5) hama ini dapat menularkan virus SMV ( Soyabean Mosaic Virus).

Hama ini dapat dikendalikan secara hayati dengan adanya keberadaan musuh alami. Musuh alami berupa predator yang banyak ditemukan pada

(14)

Micraspis croacea, Menochilus, Coccinella tranversalis, Harmonia

octomaculata, Verania lineata, Scymnus apiciflavus (Rukmana dan Saputra,

1997).

Ciri- ciri kumbang kubah ini adalah (1) bentuk badan oval, (2) warna dan pola tubuh bervariasi tergantung spsies, umumnya berwarna mengkilat,(3) memiliki dua pasang sayap berbentuk lembaran tipis yang dipergunakan sewaktu terbang dan dalam keadaan biasa sayap ini terlipat di bawah elytra, (4) memiliki antena dengan bentuk seragam, umumnya pendek terdiri dari 6-11 segmen dengan bagian ujung membesar, (5) alat mulut menggigit

mengunyah dengan berbentuk segitiga (Pracaya,2009).

Selain memanfaatkan musuh alami, hama kutu Aphis dapat juga dikendalikan secara kultur teknis yaitu dengan menanam kedelai pada waktunya, mengolah tanah dengan baik, dan memelihara tanaman dengan baik. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah untuk menjaga tanaman kedelai tidak ditanam berdekatan dengan tanaman inang, seperti terung-terungan, kapas- kapasan dan kacang- kacangan sebab hama ini bersifat kosmopolit.

2.4.Insektisida Sebagai Pengendali Hama Tanaman

Insektisida adalah salah satu komponen pengendali hama yang penting terutama pada saat terjadi eksplosi hama. Jenis insektisida yang

diperdagangkan sangat bervariasi, tergantung nama dagang, bahan aktif, dan formulasinya. Perlu diperhatikan bahwa satu bahan aktif dapat

(15)

perusahaan pestisida memberi nama dagang yang berbeda. Insektisida juga mempunyai sifat yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang berspektrum sempit dan ada pula yang berspektrum luas (Baehaki, 1993).

Menurut Oka (1995), efektifitas insektisida dapat menurun sehingga untuk mempertahankan daya bunuhnya, dosis insektisida harus ditingkatkan. Dengan demikian, maka penggunaan insektisida dengan dosis yang berbeda akan memberi pengaruh yang berbeda terhadap populasi hama.

(16)

Untuk membunuh serangga, insektisida masuk ke dalam tubuh serangga melalui lambung, kontak, dan alat pernapasan. Racun lambung dapat meracuni bila insektisida masuk ke dalam tubuh serangga bersama bagian tanaman yang dimakannya. Akibatnya alat pencernaan akan terganggu. Insektisida seperti ini sangat efektif untuk mengendalikan serangga yang mulutnya bertipe penggigit dan pengunyah. Sedangkan insektisida kontak akan masuk ke dalam tubuh serangga melalui kutikulanya. Dan racun alat pernapasan masuk ke dalam tubuh serangga melalui pernapasan, misalnya dengan fumigasi hama gudang dapat mematikan hama yang mengisap gas beracun dari fumigan (Sunarjo,1993).

Sedangkan dilihat dari cara kerjanya, insektisida dibedakan atas peracun fisik, peracun protoplasma, dan peracun pernapasan. Insektisida peracun fisik akan menyebabkan dehidrasi, yaitu keluarnya cairan tubuh dari dalam tubuh serangga. Insektisida peracun protoplasma dapat mengendapkan protein dalam tubuh serangga. Sedangkan insektisida peracun pernapasan dapat menghambat aktifitas enzim pernapasan (Sastroutomo, 2005).

Selain daya bunuhnya yang tinggi, insektisida juga dapat berdampak negatif terhadap lingkungan (Kusno,1990). Penggunaan insektisida yang kurang tepat dapat menimbulkan resistensi hama terhadap insektisida dan munculnya resurjensi hama yaitu eksplosi hama kedua (Jumin, 2008).

Dalam kenyataannya penggunaan insektisida yang ditujukan untuk membunuh hama seringkali juga dapat membunuh organisme lain di

(17)

bagi pengendalian hama, maka dapat dipastikan akan terjadi serangan hama yang lebih hebat. Keadaan ini dapat terjadi karena terganggunya

keseimbangan ekosistem yang ada. Bukti-bukti bahaya penggunaan insektisida terhadap lingkungan dan organisme nontarget juga telah lama ditemukan di lapangan.

(18)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lahan percobaan Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung mulai dari bulan April 2011 sampai dengan bulan Juli 2011.

3.2.Alat dan Bahan

Alat- alat yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah alat tulis, cangkul kecil, sprayer, tali plastik, gelas ukur, ground cloth (kain hampar), pit fall, timbangan elektrik, botol film, mikroskop, kaca pembesar (lup), meteran, bambu kecil, dan kertas label.

Bahan- bahan yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah alkohol, benih kedelai (varietas Grobogan), pupuk (urea, KCl,SP-36), air sabun dan insektisida berbahan aktif alfametrin dan air.

3.3.Metode Penelitian

(19)

digemburkan kemudian diberakan. Benih kedelai ditanam secara tugal

dengan jarak 40 cm x 25 cm.

Kemudian diberi pupuk urea, SP-36, dan KCl pada saat yang bersamaan dengan penanaman benih.

Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini ada enam (6) perlakuan.

No. Perlakuan Deskripsi

1 p0 tanpa penyemprotan insektisida (kontrol)

2 p1 dengan penyemprotan insektisida 1 kali (2 MST)

3 p2 dengan penyemprotan insektisida 2 kali (2 MST dan 3MST)

4 p3 dengan penyemprotan insektisida 3 kali (2 MST, 3 MST,

dan 4 MST)

5 p4 dengan penyemprotan insektisida 4 kali (2 MST, 3 MST, 4

MST, dan 5 MST)

6 p5 dengan penyemprotan insektisida 5 kali (2 MST, 3 MST, 4

MST, 5 MST dan 6 MST)

Masing- masing perlakuan diulang sebanyak tiga (3) kali. Sehingga terdapat 18 petak perlakuan pada lahan penelitian. Insektisida yang digunakan adalah yang berbahan aktif alfametrin. Pada setiap kali aplikasi, insektisida yang

disemprotkan sebanyak 2 ml formulasi/l air dengan volume semprot 500 l /ha (6

(20)

3.4.Pelaksanaan Penelitian 3.4.1.Penyiapan lahan

Tanah yang digunakan adalah tanah yang pernah ditanami tanaman jagung dan kacang tanah. Kemudian dilakukan pengolahan lahan agar tanah menjadi gembur dan bersih dari sisa- sisa akar. Jarak antara waktu pengolahan tanah dengan waktu penanaman sekitar 1- 2 hari.

3.4.2.Pembuatan petak/plot

Pembuatan petak berukuran 3 m x 3 m, dengan jarak antar petak adalah 0,5 m. Untuk perlakuan kontrol, jarak petak dengan perlakuan insektisida adalah 1m. Jumlah keseluruhan ada 18 petak.

3.4.3.Penentuan pola tanam

Jarak tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 cm x 25 cm dan masing- masing petak percobaan berukuran 3 m x 3 m. Pada masing- masing petak, terdapat 11 baris dan 7 kolom rumpun tanaman. Sehingga terdapat 77 rumpun tanaman dalam masing-masing petak.

3.4.4.Penanaman

(21)

3.4.5.Pemupukan

Pemberian pupuk dilakukan dengan mencampur rata bersama tanah sewaktu akan tanam dan dimasukkan ke lubang saat tanam. Pupuk yang digunakan adalah pupuk urea, SP-36 dan KCl (rekomendasi).

3.4.6.Pemeliharaan tanaman

Kedelai mulai tumbuh kira-kira umur 5-6 hari. Dalam kenyataannya tidak semua biji yang ditanam dapat tumbuh dengan baik, sehingga terlihat tidak seragam. Untuk menjaga agar produksi tetap baik, benih kedelai yang tidak tumbuh diganti dengan benih- benih kedelai yang baru. Hal ini dilakukan apabila jumlah benih yang tidak tumbuh mencapai lebih dari 10%.

Waktu pengairan lahan pertanaman kedelai adalah pagi atau sore hari. Cara pengairan adalah digenangi selama 15-30 menit, kemudian airnya dikeluarkan kembali melalui saluran pembuangan. Bila tidak dilakukan penggenangan, dapat dilakukan dengan penyiraman secara rutin.

(22)

3.5. Teknik Pengamatan dan Pengumpulan Data

Pada setiap petak percobaan ditentukan secara acak 3 rumpun tanaman yang terserang kutu daun sebagai sampel pengamatan kemudian ditandai sebagai tanaman sampel (terok). Pada masing-masing petak terdapat tiga (3) tanaman sebagai titik sampel.

3.5.1. Data Primer

3.5.1.1. Pengamatan langsung populasi kutu Aphis glycines

Pengamatan pertama dimulai pada 2 minggu setelah tanam.

Pengamatan berikutnya dilakukan pada 3 MST, 4 MST, 5 MST dan 6 MST. Masing-masing pengamatan dilakukan sebelum aplikasi

insektisida.

3.5.1.2. Pengamatan mortalitas kutu Aphis glycines dengan teknik

groundcloth

Penyempotan insektisida dilakukan pada pagi hari. Sebelum dilakukan penyemprotan, kain hampar ( ground cloth) yang berukuran 1m x 1m diletakkan di tanah pada tanaman sampel. Setelah dilakukan

penyemprotan, maka kain hampar tadi akan diperiksa untuk diamati jumlah kutu Aphis glycines yang kemudian diamati dan diidentifikasi di laboratorium Hama Jurusan Proteksi Tanaman Universitas

(23)

3.5.1.3. Pengamatan organisme nontarget dengan teknik pitfall

Pit fall dipasang pada sore hari setelah penyemprotan pada masing-

masing petak dengan cara memasukkannya ke dalam tanah. Sebelumnya, pitfall diisi dengan air sabun dengan konsentrasi 5%. Untuk menghindari air,bagian atas pit fall dinaungi oleh plastik mika. Sebanyak 3 (tiga) buah pitfall pada masing-masing petak di ruang antar 4 (empat) tanaman dan dipasang selama 24 jam. Setelah itu, pit fall diambil, dan dibawa ke laboratorium Hama Jurusan Proteksi Tanaman untuk penghitungan dan identifikasi orgasnisme yang terjebak di dalam pitfall.

3.5.2. Data Sekunder

3.5.2.1. Pengamatan variabel tanaman

Pengamatan dilakukan 1 minggu setelah tanam. Yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun , dan untuk 4- 6 MST dihitung dan diamati juga jumlah bunga, jumlah polong, dan berat polong.

3.6. Analisis data

(24)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Frekuensi aplikasi insektisida mempengaruhi populasi hama kutu Aphis

glycines yang diamati secara langsung pada minggu ke-4, ke-5, dan ke-6

2. Frekuensi aplikasi insektisida juga berpengaruh nyata terhadap populasi hama kutu Aphis glycines yang diamati dengan ground cloth pada minggu ke-2, minggu ke-3, minggu ke-4, minggu ke-5, minggu ke-6

3. Terdapat 13 famili Atropoda yang ditemukan di pitfall,yaitu Formicidae, , Pentatomidae, Phyrrhocoridae, Carabidae, Coccinellidae, Nitidulidae, Lycosidae, Oxyopidae, Acrididae, Gryllidae, Aeshnidae, Carchinoporidae, dan Thripidae serta ordo Diptera

4. Formicidae, Lycosidae, Oxyopidae, dan Gryllidae merupakan arthropoda tanah yang juga musuh alami adalah yang paling melimpah pada

pertanaman kedelai

(25)

6. Aplikasi insektisida mempengaruhi berat brangkasan basah, berat brangkasan basah tanpa polong, dan berat brangkasan kering tanpa polong.

5.2.Saran

(26)

DAFTAR PUSTAKA

AAk. 1989. Kedelai. Kanisius. Yogyakarta. AAk. 1991. Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.

Arifin, M. 1992. Bioekologi Serangan, Hama Pemakan Daun Kedelai dan Pengendalian. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang. 81 hlm.

Chung, A. 2003. Manual for Bornean Beetle (Coleoptera) Family Identification. Universiti Malaysia Sabah. Malaysia.

Baehaki. 1993. Insektisida: Pengendalian Hama Tanaman. Penerbit Angkasa. Bandung.

Borror, D.J.,C.A. Triplehorn, dan N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Translated by Soedjono S. Gadjah Mada University Press. 1083 hlm.

Danarti dan S. Najiyati. 2000. Palawija: Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta.

Direktorat Bina Produksi Tanaman Pangan. 1991. ”Petunjuk Teknis Upaya

Khusus Percepatan Peningkatan Produksi Kedelai 1990/ 1991.”Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta. 62 hlm.

Ditjen Perlindungan Tanaman Pangan. 1989.” Rekomendasi Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawaija di Indonesia”. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta. 62 hlm.

(27)

Cianjur”. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Jumin, H. 2008. Dasar- Dasar Agronomi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Khaerudin. 1996. Mengendalikan Hama dan Penyakit Kacang-Kacangan. Trubus

Agri Sarana, Jakarta. 58 hlm.

Kusno. 1992. Pencegahan Pencemaran Pupuk Dan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.

Lamina. 1989. Kedelai dan Pengembangannya. CV. Simplek. Jakarta. 135 hlm. Oka,I.N.1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 255 hlm.

Pracaya. 2009. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta. Rukmana, R. 1996. Kedelai: Budidaya Dan Pascapanen. Penerbit Kanisius.

Yogyakarta.

Rukmana,R dan Saputra,S. 1997. Hama Tanaman dan Teknik Pengendalian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Samu F dan Vollrath F. 1992. Spider orb web as bioassay for pesticide side effect. Entomol Exp Appk 62: 117-124.

Sastroutomo, S. 2005. Pestisida:Dasar-dasar dan Dampak Penggunaanya. PT. Gramedia. Jakarta.

Shepard BM. 1995. Integrated pest management research, development, and training activities for palawija crops in Indonesia. In : Annual report, Oct. 1994 to October 1995. Bogor (Indonesia): Clemson University Palawija IPM Project.

Sunarjo, P. 1993. Diktat Kuliah: Pestisida dan Teknik Aplikasi. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Suprapto. 1993. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. 74 hlm.

Suryawan, I.B.G. dan I.N. Oka. 1992. Bioekologi Serangan Dan Pengendalian Hama-Hama Pengisap Daun Kedelai. Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai Balittan Malang, Malang. 116 hlm. Triharso. 2004. Dasar- Dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University

(28)
(29)

PENGARUH FREKUENSI APLIKASI INSEKTISIDA TERHADAP POPULASI HAMA KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI

(Glycine max (L.) Merrill)

Oleh

OVY ERFANDARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(30)
(31)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Grafik Rata-rata Tinggi Tanaman Kedelai ... 31

2. Grafik Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Kedelai ... 32

3. Grafik Rata-rata Jumlah Bunga Tanaman Kedelai ... 33

4. Grafik Rata-rata Jumlah Polong ... 34

5. Tata Letak Percobaan ... 53

6. Pertumbuhan Tanaman Kedelai ... 53

7. Tanaman Kedelai yang Siap Panen ... 54

8. Ground cloth yang Dipasang pada Tanaman Kedelai ... 55

9. Pitfall yang Dipasang pada Tanaman Kedelai ... 56

10. Aplikasi Insektisida pada Pertanaman Kedelai... 56

11. Hama Kutu Daun Aphis glycines ... 57

12. Kumbang Coccinellidae, Predator Hama Kutu Aphis glycines ... 57

13. Diptera ... 57

(32)

DAFTAR ISI

2.4. Insektisida Sebagai Pengendali Hama Tanaman. ... 15

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

3.2. Alat dan Bahan ... 19

3.3. Metode Penelitian ... 20

3.4. Pelaksanaan Penelitian... 21

(33)

3.5.1.2. Pengamatan Populasi Kutu Aphis glycines dengan 4.1. Populasi Kutu Aphis pada berbagai bentuk pengamatan ... 25

4.1.1. Teknik Pengamatan secara Langsung ... 25

4.1.2. Teknik Pengamatan dengan ground cloth ... 27

4.2. Tingkat Populasi Arthropoda Tanah Pada Pitfall. ... 28

(34)

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita

adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba

itulah kita menemukan dan belajar membangun

kesempatan untuk berhasil

(

Mario Teguh

)

Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu)

ketenangan dan kehormatan diri, dan bersikaplah

rendah hati kepada orang yang mengajar kamu

(HR. Ath-Thabrani)

Bahwa tiada yang orang dapatkan, kecuali

yang ia usahakan

(35)

ORGANISME NONTARGET PADA

PERTANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill)

Nama Mahasiswa : OVY ERFANDARI

NPM : 0714041014

Program Studi : Agroteknologi Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc. Ir. Lestari Wibowo, M. P. NIP 195808281983032003 NIP 196208141986102001

2. Ketua Program Studi Agroteknologi

(36)

Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc.

__________________

Sekretaris : Ir. Lestari Wibowo, M.P.

__________________

Penguji Bukan

Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S.

__________________

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr.Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001

(37)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung 18 Januari 1990, anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Hifni Zami Sukri, Bc.Ak dan Ibu Fauziah Yulianti. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 3 Rawa Laut, Tanjung Karang Timur, Bandar Lampung pada tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Bandar Lampung pada tahun 2004, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Bandar Lampung tahun 2007. Pada Tahun 2007, penulis diterima menjadi Mahasiswa Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Minat Kemampuan Akademik dan Bakat ( PMKAB) dan pada tahun 2008 penulis menjadi

Mahasiswa Agroteknologi yang merupakan penggabungan empat Program Studi yaitu Agronomi, Ilmu Tanah, Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, serta

Hortikultura).

(38)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc. selaku pembimbing utama atas bimbingan, saran, serta dengan sabar memberikan arahan, motivasi, dan ilmu selama penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan penyusunan skripsi ini

2. Ibu Ir. Lestari Wibowo, M.S. selaku pembimbing kedua dan pembimbing akademik atas bimbingan,saran dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S. selaku pembahas dan Ketua Jurusan Proteksi Tanaman atas saran, motivasi, dan bimbingannya

4. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P. selaku Ketua Program Studi Agroekoteknologi atas saran dan bantuannya

5. Seluruh dosen Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan selama ini. 6. Bapak Prof, Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung

(39)

S.P, M.IP semoga kita sukses selalu

9. Karyawan Politeknik Negeri Lampung, Pak Gede, Ibu Siluh, Mas Purnomo, Mas Agus, Bu Kokom, Mas Lilik, Pak Abidin, dan Pak Muhadi atas

bantuannya kepada penulis selama melaksanakan penelitian

10. Sahabatku, Eka, Meri, Kiki, Wika, Selvi, Badrus, Suparman, Alexander, Ema, Yolanda , Mas Widi, Chintya , Aliska, Wayan MS, dan Indra atas bantuan, semangat dan kebersamaannya

11. Keluarga besar HPT 2007 , Fajri, Jaya, Teddy, Furqon, Yani, Maria, Uus,Cici, Juwita, Mpeb, Lilis, Ovi, Ria, Stenia, Rani, Joshua, Anto, Alwi, Bang Juki, Tere, Yanti, Resma, Syukur, dan Herleo atas kebersamaanya 12. Keluarga besar HPT 2006, HPT 2005, AET 2007, AET 2009, dan AET 2010 13. Mbak Uum, Mas Iwan, Pak Paryadi atas bantuannya di laboratorium

14. Semua pihak yang telah membantu penulis selama kuliah dan penelitian yang tidak mungkin disebut satu persatu.

Bandar Lampung, Januari 2012 Penulis,

Gambar

Gambar Halaman

Referensi

Dokumen terkait

Hasil didalam penciptaan karya ini berupa busana ready to wear dengan motif batik tumbuhan suweg yang di dominasi warna cerah seperti trend mode biopop.. Tumbuhan

Di dalam penelitian ini tidak memiliki sampel dan populasi penelitian. Penelitian ini hanya menggunakan subyek penelitian, karena, didalam menentukan kelas penelitian, peneliti

Dalam skripsi ini membahas mengenai sifat-sifat komplemen graf fuzzy yaitu dua graf fuzzy isomorfik jika dan hanya jika komplemennya isomorfik dan jika ada

Biaya fasilitas adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap tambahan fasilitas pelayanan, mencakup antara lain:. Biaya investasi dalam fasilitas pelayanan

(5) Media sosial sebagaimana tercantum pada ayat (2) huruf o, ayat (3) huruf b, dan ayat (4) huruf e diperbolehkan untuk menyediakan fitur komunikasi 2 (dua) arah antara

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan aspek mekanis bahasa Indonesia baku dengan

Sewajarnya penggunaan konsep wasatiyyah ini perlu diperluaskan dan menjadi panduan dalam pembuatan keputusan dalam kalangan pelabur Muslim agar aktiviti pelaburan tersebut bukan

ketidak tanggung jawaban Mr.X kepada Mrs.Y karena orang tua Mrs.Y menilai Mr.X tidak melihat faktor-faktor mudharat bila si Mrs.Y melakukan hal tersebut, dan orang tua