ANAL
TINGKA
FAK
LISIS DAM
AT KEKER
DEPAR
KULTAS M
MPAK ENS
RINGAN UN
(Studi K
O (
El-Nino
NTUK TA
D
RTEMEN G
MATEMAT
INSTIT
Kasus : Su
o Southern
ANAMAN P
DORI KUR
GEOFISIK
TIKA DAN
UT PERTA
201
lawesi Sela
Oscillation
PANGAN D
n
) TERHAD
DAN PALA
DAP
AWIJA
atan )
RNIAWAN
KA DAN M
ILMU PE
ETEOROL
ANIAN BO
NGETAHU
LOGI
UAM ALA
AM
OGOR
ANALISIS DAMPAK ENSO (
El-Nino Southern Oscillation
) TERHADAP
TINGKAT KEKERINGAN UNTUK TANAMAN PANGAN DAN PALAWIJA
(Studi Kasus : Sulawesi Selatan )
DORI KURNIAWAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Pada
Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAM ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul
Skripsi : Analisis Dampak ENSO (
El-Nino Southern Oscillation
)
Terhadap Tingkat Kekeringan Untuk Tanaman Pangan dan
Palawija (Studi Kasus : Sulawesi Selatan)
Nama
: Dori Kurniawan
NIM
: G24052424
Menyetujui
Pembimbing,
Yon Sugiarto, S.Si. M.Sc
NIP : 19740604 199803 1 003
Mengetahui :
Ketua Departemen,
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.
NIP : 19600305 198703 2 002
ABSTRAK
DORI KURNIAWAN. Analisis Dampak ENSO (El-Nino Southern Oscillation) Terhadap Tingkat Kekeringan Untuk Tanaman Pangan dan Palawija (Studi Kasus : Sulawesi Selatan). Dibimbing oleh Yon Sugiarto.
Variabilitas iklim dan cuaca merupakan suatu kondisi adanya perubahan cuaca jangka panjang yang ditandai oleh fluktuasi dan penyimpangan dari kondisi normalnya. Salah satu penyebabnya adalah ENSO (El-Nino Southern Oscillation) yang berdampak pada kekeringan.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan dan menganalisis tingkat kekeringan di Sulawesi Selatan akibat pengaruh ENSO serta membandingkan hasil produksi tanaman pangan dan palawija pada tahun-tahun normal dan ENSO. Indeks kekeringan dihitung berdasarkan metode Palmer dengan menggunakan data curah hujan, suhu udara dan kelengasan tanah sebagai masukan.
Berdasarkan hasil perhitungan indeks kekeringan menggunakan metode Palmer, daerah dengan pola hujan monsun memiliki kisaran nilai kekeringan antara -22.71 hingga 18.23, pola equatorial berkisar antara -4.03 hingga 5.07, dan pada pola lokal berkisar antara -8.57 hingga 10.07. Hasil uji verifikasi indeks kekeringan terhadap data produksi tanaman menunjukkan bahwa setiap kejadian ENSO selalu diikuti oleh penurunan hasil produksi tanaman padi, terutama jenis padi ladang. Sedangkan untuk tanaman palawija, secara umum produksi tanaman cenderung meningkat pada setiap kejadian ENSO karena tanaman palawija sebagian besar merupakan tanaman yang tahan terhadap kekeringan, terutama varietas lokal yang sudah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Dengan demikian, kekeringan akibat pengaruh ENSO dapat mempengaruhi hasil produksi tanaman pangan dan palawija.
ABSTRACT
DORI KURNIAWAN. Impact Analysis of ENSO (El-Nino Southern Oscillation) Level Against Drought For Food Crops and Crop (Case Study: South Sulawesi). Under direction of Yon Sugiarto.
Climate and weather variability is a condition of long-term climate change is marked by fluctuations and deviations from normal conditions. One reason is the ENSO (El-Nino Southern Oscillation) which affects the drought.
This research was conducted with the aim to determine and analyze the level of drought in South Sulawesi due to the influence of ENSO and compare the production of food crops and crops in a normal year and ENSO. Drought index is calculated based on the Palmer method by using rainfall data, air temperature and soil humidity as inputs.
Based on the drought index calculated using the Palmer method, areas with monsoon rain patterns have a range of values between 22.71 to dryness 18.23, equatorial patterns ranged from -4.03 to 5.07, and the local patterns ranged from -8.57 to 10.07. Verification test results of the drought index of crop production data show that each ENSO event is always followed by a decline in rice production, especially of rice fields. As for crops, crop production generally tended to increase in every ENSO event because most crops are plants that are resistant to drought, particularly local varieties that have adapted well to its environment. Thus, the influence of ENSO drought can affect the production of food crops and crops.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Agam, Bukittinggi pada tanggal 28 April 1987 dari pasangan H. Chaidir ST. Mantari dan Efnimar. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Pengadilan 4 Bogor dan melanjutkan ke SMP Negeri 1 Bogor tahun 1999. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis berhasil diterima di Mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam karya ilmiah ini adalah Analisis Dampak ENSO (El-Nino Southern Oscillation) Terhadap Tingkat Kekeringan Untuk Tanaman Pangan dan Palawija (Studi Kasus : Sulawesi Selatan). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai November 2009.
Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini, antara lain :
1. Bapak Yon Sugiarto, S.Si. M.Sc selaku pembimbing.
2. Bapak Ir. Heny Suharsono, MS dan I Putu Santikayasa, S.Si. M.Sc selaku dosen penguji, Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan selaku pembimbing akademik, serta Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS dan Bapak Dr. Ir. Aris Pramudia yang telah banyak memberikan saran.
3. Kedua orang tua terhebat di dunia, ayahanda Chaidir ST. Mantari dan Ibunda Efnimar, Kakak-kakakku tercinta, Daan, Dayon, Da Eka, Daron dan Teh Tina, serta seluruh keluarga. Terima kasih atas doa, semangat, kesabaran, dan nasehat yang tiada hentinya kepada penulis.
4. Rika “NdutQu” Alfyanti yang tidak henti-hentinya memberikan perhatian, semangat, nasehat, dan masukan kepada penulis.
5. Yohanes Ariyanto, Gito Sugih, Hengky Hariadi, dan Tri Yuli Kurniawati yang telah banyak membantu penulis dalam menyusun karya ilmiah ini. Anisa Isnaeni, teman seperjuangan nyari data. Akhirnya nis…S.Si juga..hehehe
6. GFM’ers 42, Franz, Anton, Victor, Nizar, Zahir, Ghulam, Wahyu, Aan, Indra, Hardi, Ivan, Victor, Irvan, Heri, Wahyu, Charita, Yudi, Budi, Apit, Dani, Obet, Singgih, Tigin, Tumpal,Tanjung, Indah, Lisa, Devita, Mbak Ium, Nancy, Dewy, Peja, Rifa, Teteh, Epi, Ciciw ats kebersamaanya selama kurang lebih 4 tahun. Kapan kita makrab lagi..?? 7. Pak Supono, Mas Azis, Mas Nandang, Pak Kaerun, terima kasih atas semua
bantuannya.
8. Seluruh kakak-kakak kelas GFM, dan adik-adik kelasku, senang bisa kenal kalian semua.
9. Semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun dari pemilihan kata-katanya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut di masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2010
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... i
DAFTAR GAMBAR ... ii
DAFTAR LAMPIRAN ... iii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Fisik Sulawesi Selatan ... 1
2.2 Hujan ... 2
2.3 Tanah ... 2
2.4 ENSO (El-Nino Southern Oscillation) ... 2
2.5 Pola Curah Hujan ... 3
2.6 Palmer Drought Serevity Index (PSDI) ... 4
2.7 Karakteristik Tanaman... 5
2.7.1 Padi (Oryza sativa) ... 5
2.7.2 Jagung (Zea mays) ... 5
2.7.3 Kedelai (Glycine max) ... 6
III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 6
3.2 Alat dan Bahan ... 6
3.3 Dasar Pemikiran Metode Palmer ... 7
3.4 Tahapan Penelitian ... 7
3.4.1 Plotting Stasiun Hujan ... 7
3.4.2 Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT) ... 7
3.4.3 Pendugaan Evapotranspirasi Potensial (ETp) ... 7
3.4.4 Perhitungan Neraca Air dan Indeks Kekeringan ... 7
3.4.5 Analisis Korelasi ... 8
3.4.6 Verifikasi Indeks Kekeringan ... 8
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Klimatologis ... 8
4.2 Hasil Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT) ... 10
4.3 Perhitungan Neraca Air ... 11
4.4 Nilai Dugaan Parameter Iklim ... 13
4.5 Indeks Kekeringan ... 13
4.6 Hubungan Antara Curah Hujan dan Indeks Kekeringan ... 18
4.7 Hubungan Antara Indeks Kekeringan dan Puso ... 20
4.8 Verifikasi Indeks Kekeringan ... 21
V. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ... 23
5.2 Saran ... 23
DAFTAR PUSTAKA ... 23
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Kelas indeks kekeringan dan sifat cuaca... 5
Tabel 2 Tahun kejadian El-Nino dan La-Nina di Indonesia periode 1985-2002 ... 4
Tabel 3 Indeks kekeringan di enam stasiun terpilih di Sulawesi Selatan ... 18
Tabel 4 Koefisien korelasi antara curah hujan dan indeks kekeringan provinsi Sulawesi Selatan 19 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Peta provinsi Sulawesi Selatan ... 2
Gambar 2 Ilustrasi terjadinya fenomena ENSO ... 3
Gambar 3 Pola hujan monsun ... 4
Gambar 4 Pola hujan equatorial ... 4
Gambar 5 Pola hujan lokal ... 4
Gambar 6 Pola sebaran pola hujan Indonesia... 4
Gambar 7 Padi (Oryza sativa) ... 5
Gambar 8 Jagung (Zea mays) ... 6
Gambar 9 Kedelai (Glycine max) ... 6
Gambar 10 Peta pola curah hujan Sulawesi Selatan ... 9
Gambar 11 Hubungan antara suhu dan curah hujan rata-rata provinsi Sulawesi Selatan ... 9
Gambar 12 Peta sebaran curah hujan tahunan Sulawesi Selatan ... 10
Gambar 13 Peta sebaran suhu rata-rata tahunan Sulawesi Selatan ... 10
Gambar 14 Fluktuasi koefisien recharge (α) dari enam stasiun di Sulawesi Selatan ... 11
Gambar 15 Fluktuasi koefisien recharge ( ) dari enam stasiun di Sulawesi Selatan ... 12
Gambar 16 Fluktuasi koefisien runoff ( ) dari enam stasiun di Sulawesi Selatan ... 12
Gambar 17 Fluktuasi koefisien loss (δ) dari enam stasiun di Sulawesi Selatan ... 13
Gambar 18 Peta sebaran kekeringan bulan DJF tahun El-Nino ... 14
Gambar 19 Peta sebaran kekeringan bulan MAM tahun El-Nino ... 15
Gambar 20 Peta sebaran kekeringan bulan JJA tahun El-Nino ... 15
Gambar 21 Peta sebaran kekeringan bulan SON tahun El-Nino ... 16
Gambar 22 Fluktuasi sebaran rata-rata indeks keekringan provinsi Sulawesi Selatan ... 17
Gambar 23 Fluktuasi curah hujan dan indeks kekeringan bulanan pola hujan monsun ... 18
Gambar 24 Fluktuasi curah hujan dan indeks kekeringan bulanan pola hujan equatorial ... 19
Gambar 25 Fluktuasi curah hujan dan indeks kekeringan bulanan pola hujan lokal ... 19
Gambar 26 Grafik hubungan antara indeks kekeringan dan puso lahan ... 20
Gambar 27 Hubungan antara indeks kekeringan terhadap luas panen, produksi dan produktivitas tanaman pangan ... 21
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Diagram alir penelitian ... 2
Lampiran 2 Langkah-langkah perhitungan indeks Palmer ... 3
Lampiran 3 Tata guna lahan di provinsi Sulawesi Selatan ... 4
Lampiran 4 Tata guna lahan per Kabupaten di Sulawesi Selatan ... 4
Lampiran 5 Tabel pendugaan KAT berdasarkan kombinasi tipe tanah dan vegetasi penutup ... 4
Lampiran 6 Jenis tanah di provinsi Sulawesi Selatan ... 4
Lampiran 7 Tabel Karakteristik stasiun terpilih ... 5
Lampiran 8 Peta klasifikasi iklim Sulawesi Selatan menurut Oldeman ... 6
Lampiran 9 Perhitungan KAT untuk keenam stasiun terpilih ... 6
Lampiran 10 Indeks Palmer rata-rata seluruh stasiun di Provinsi Sulawesi Selatan ... 9
Lampiran 11 Tabel koefisien korelasi seluruh stasiun di Provinsi Sulawesi Selatan ... 9
Lampiran 12 Data produksi tanaman padi ladang, jagung dan kedelai (1985-2002) ... 10
Lampiran 13 Data produktivitas tanaman padi ladang, jagung dan kedelai (1985-2002) ... 10
Lampiran 14 Tabel indeks kekeringan rata-rata dan puso provinsi Sulawesi Selatan ... 11
Lampiran 15 Peta Sebaran stasiun hujan dan iklim provinsi Sulawesi Selatan ... 12
Lampiran 16 Peta penggunaan lahan provinsi Sulawesi Selatan ... 12
Lampiran 17 Peta sebaran curah hujan rata-rata tahunan provinsi Sulawesi Selatan ... 13
Lampiran 18 Peta sebaran suhu rata-rata provinsi Sulawesi Selatan ... 14
Lampiran 19 Peta sebaran kekeringan tahun Normal (1985-2002) ... 15
Lampiran 20 Peta sebaran kekeringan tahun El-Nino (1985-2002) ... 15
Lampiran 21 Peta sebaran kekeringan tahun La-Nina (1985-2002)... 16
Lampiran 22 Peta sebaran indeks kekeringan provinsi Sulawesi Selatan (1985-2002) ... 17
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Variabilitas iklim dan cuaca merupakan suatu kondisi adanya perubahan cuaca yang berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama. Variabilitas iklim suatu daerah salah satunya ditandai oleh fluktuasi dari tahun ke tahun dan pada waktu tertentu dapat menyimpang dari kondisi normalnya. Salah satu bentuk penyimpangan yang terjadi adalah curah hujan yang berada di bawah normal pada periode waktu tertentu dan terkadang dengan rentang waktu yang sangat panjang.
Salah satu gejala alam yang sangat berpengaruh dan berpotensi besar menyebabkan curah hujan jauh di bawah
kondisi normal adalah ENSO (El-Nino
Southern Oscillation). ENSO adalah meningkatnya suhu muka laut di sekitar Pasifik Tengah dan Timur sepanjang ekuator dari nilai rata-ratanya. Kejadian tersebut ditandai dengan melemahnya angin pasat dan bergesernya pusat
konvergensi siklus Walker sebagai akibat dari
peningkatan suhu muka laut tersebut. Fenomena ENSO ini akan mengakibatkan kekeringan yang sangat nyata di sebagian besar wilayah Indonesia (Boer 1999).
Kekeringan merupakan fenomena alam yang terjadi akibat berkurangnya curah hujan di suatu tempat dalam selang waktu yang lama. Kekeringan mengakibatkan berkurangnya pasokan air sungai karena debit yang menyusut dan menurunnya lengas tanah yang berakhir dengan terjadinya kerusakan pada sistem produksi tanaman (Khairullah 2009). Batasan kekeringan berbeda-beda bergantung pada latar belakang serta perhatian ataupun dampak yang diperhitungkan terkait dengan hubungan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Dalam bidang pertanian, kekeringan diartikan dengan berkurangnya lengas tanah yang dibutuhkan oleh tanaman selama masa tanam.
Palmer (1965) mencoba memanfaatkan data iklim berupa curah hujan, suhu udara dan kelengasan tanah sebagai peubah untuk menduga tingkat kekeringan di suatu wilayah yang dinyatakan sebagai Indeks Palmer. Indeks ini dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan perubahan tingkat kekeringan pada suatu daerah. Metode tersebut menggunakan prinsip neraca air yang telah banyak digunakan di Amerika Serikat dan beberapa kawasan dunia lainnya. Perbedaan topografi lokal, elevasi, kedekatannya dengan laut, jenis tanah dan teksturnya maupun bentuk penggunaan lahan akan mencirikan suatu tempat dengan tingkat kekeringan yang
berbeda. Selain itu, cara budidaya pertanian yang tidak berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan gejala kekurangan air.
Pertanian tanaman pangan dan palawija merupakan dua bentuk pertanian yang memiliki respon berbeda terhadap gejala kekurangan air. Pertanian tanaman pangan umumnya sangat memerlukan ketersedian air yang tinggi selama fase pertumbuhan dan perkembangannya. Pertanian palawija memiliki respon yang berbeda terhadap gejala kekurangan air, karena tanaman palawija merupakan tanaman yang tahan terhadap kondisi tersebut. Dengan kata lain, ketersedian air yang melimpah apabila dikelola dan di manfaatkan dengan baik akan memberikan dampak yang sangat positif, khususnya di bidang pertanian.
Faktor lain yang membedakan antara pertanian pangan dan palawija adalah berdasarkan waktu tanamnya. Pertanian tanaman pangan yang mengkonsumsi air lebih banyak sangat cocok apabila dilakukan pada musim penghujan. Sedangkan pada musim kemarau dimana terjadi penurunan curah hujan, pertanian palawija sangat baik untuk dijadikan alternatif karena air tanaman yang diperlukan sedikit, tidak sebanyak pertanian tanaman pangan.
Gejala kekurangan air dan penentuan waktu tanam suatu komoditas pertanian dapat dikaji berdasarkan tingkat kekeringan suatu wilayah akibat fluktuasi curah hujan. Fluktuasi curah hujan inilah yang lebih dominan menetukan naik atau turunnya hasil produksi komoditas pertanian di suatu wilayah, sehingga perlu dipahami dan dikaji lebih jauh.
1.2 Tujuan
1. Menentukan tingkat kekeringan di
Sulawesi Selatan.
2. Menganalisis pengaruh ENSO terhadap
tingkat kekeringan di Sulawesi Selatan.
3. Membandingkan produksi tanaman
pangan dan palawija pada tahun-tahun normal dan ENSO.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Fisik Wilayah
Sulawesi Tenggara di bagian timur, Selat Makasar di bagian barat, dan Laut Flores di bagian selatan. (Departemen Kehutanan 2002).
Topografi wilayah Sulawesi Selatan bervariasi mulai dari ketinggian 0 hingga 3455 meter di atas permukaan laut (mdpl). Wilayah tertinggi terdapat pada bukit Rante Kombola yang berbatasan dengan kabupaten Enrekang dan Luwu. Keadaan topografi berpengaruh terhadap kondisi iklim yang ada di wilayah Sulawesi Selatan. Suhu minimum dan
maksimum di wilayah tersebut sekitar 22oC
dan 33oC, dengan kelembaban udara berkisar
antara 83 hingga 88%. Sulawesi Selatan memiliki curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2500 mm dengan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Januari dan curah hujan
minimum terjadi pada bulan Agustus.
Gambar 1 Provinsi Sulawesi Selatan (Sumber : Departemen Kehutanan 2002)
2.2 Hujan
Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting karena merupakan bagian dari siklus hidrologi. Hujan adalah salah satu bentuk dari presipitasi. Lakitan (2002) menyatakan presipitasi adalah proses jatuhnya butiran air atau kristal es ke permukaan bumi. Tjasyono (2004) mendefinisikan presipitasi sebagai bentuk air cair dan padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi dimana kabut, embun dan embun beku bukan merupakan
bagian dari presipitasi (frost) walaupun
berperan dalam alih kebasahan (moisture).
Keragaman menurut ruang sangat dipengaruhi oleh perbedaan letak geografis,
misalnya topografi, perbedaan elevasi hingga letak lintang. Keragaman menurut waktu sangat dipengaruhi oleh arah angin akibat adanya pemanasan oleh radiasi matahari. Berbagai macam keadaan alam yang ada tersebut saling berkombinasi secara bersamaan sehingga membentuk penerimaan hujan yang sangat kompleks (Critchfield 1979 dalam Historiawati 1987).
Fluktuasi dan keragaman curah hujan pada suatu daerah akan sangat menentukan terjadi atau tidaknya suatu peristiwa kekeringan yang salah satu dampak nyatanya akan menyebabkan kegagalan panen. Ha ini disebabkan pada saat terjadinya hujan tidak semua curah hujan yang jatuh pada permukaan tanah efektif bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
2.3 Tanah
Menurut Dudal dan Supraptohardjo
(dalam Peta Agroekologi Utama Tanaman
Pangan di Indonesia, Puslitbang, Deptan 1991)
kelompok tanah utama (Great Soil Group) di
Sulawesi terdiri dari jenis podsolik merah kuning, podsolik coklat kelabu, dan mediteran. Jenis tanah podsolik mencakup tanah-tanah subur bertekstur lempung hingga berpasir dan umumnya terdapat di dataran rendah, sedangkan jenis mediteran juga merupakan tanah-tanah subur dengan sifat tanah baik, namun umumnya terdapat di daerah beriklim kering. Sifat tanah ini ditinjau dari kandungan hara untuk kebutuhan tanaman.
Karakteristik tanah yang terdapat di Sulawesi Selatan seperti macam tanah, bahan induk, tekstur dan fisiografi serta perkiraan luas dari masing-masing jenis tanah dapat dilihat pada lampiran 6.
2.4 ENSO (El-Nino Southern Oscillation)
Kata El-Nino digunakan untuk memberi nama terhadap peristiwa tahunan munculnya arus laut hangat yang mengalir ke arah selatan sepanjang pantai Peru dan Ekuador. Glantz (1996) dalam Trenberth (1997) membuat beberapa definisi El-Nino, antara lain sebagai berikut :
1. El-Nino berasal dari bahasa Spanyol yang
artinya “anak lelaki”.
2. El-Nino merupakan nama yang diberikan
3. El-Nino kepada p yang m suhu pe
temperat
timur w
tidak b
permuka
pressure
ekuator
Oscillati
4. El-Nino
secara b
Southern
tentang p di wilaya 5. El-Nino sinonim berlawan dari ba perempu dingin. El-Nino kemunculan maupun akh NOAA, ke 1950-2002 d El-Nino ber rata kejadia berpengaruh salah satun Indonesia, Philipina, A Brazil bagia yang meng termasuk ke Indikato menunjukka dan La-Nina muka lau meningkatny Darwin me jangka pan dengan men dibawah tek bertiup lebi pasat sehin Pasifik bag dengan ban terjadi akum bagian timu lebih besar Kondisi ini Pasifik bag wilayah mar menghamba sehingga ad terjadi penu adalah na palung laut lua mengalami pen ermukaan air
ture, SST) d wilayah ekuat
biasa pada
aan laut sea
e, SLAP) di
yang diken ion. adalah nam bergantian den n Oscillation perubahan int ah ekuator Pas adalah nam dengan ENSO nan dengan L
ahasa Span uan” yang dis
o merupakan nnya tidak
hir kejadiann ejadian El-N diketahui bah rkisar antara 2 an antara 3-5 h pada seluru nya kekerin
Australia, Amerika Ser an selatan, Ar gakibatkan ke egagalan panen or yang umu an akan terja
a adalah terja ut di kaw ya perbedaan lebihi dari n njang). Geja nurunnya tek kanan udara ih kuat dan gga massa a ian barat me ntuan arus e mulasi massa ur dan permu
di banding d mengakibatk gian timur d ritim Indonesi at pertumbuh da beberapa urunan jumla
ma yang d as di samuder ningkatan ba
r laut (sea
di bagian ten tor, atau pen
tekanan
a level atm
bagian barat
al sebagai S
ma yang di ngan ENSO
n) yang men
teraksi udara sifik yang lua ma yang me
O episode ha La-Nina yang nyol berarti sebut sebagai fenomena ala teratur, bai nya. Berdasark Nino selama hwa interval te
2-7 tahun deng tahun. Fenom uh permukaa ngan yang Afrika, S rikat bagian rgentina dan P
erugian yang n. um digunaka adinya gejala adinya perubah wasan Pasifi
n antara Ta normal (nilai ala El-Nino kanan udara d
Darwin. Ang memperlema air panas di engalir ke ara ekuatorial. A
air panas d ukaan air lautn dengan kawasa an konveksi t dan subsidens ia. Subsidensi han awan k
daerah di In ah curah huj
diberikan ra Pasifik aik pada surface ngah dan ningkatan atmosfer mospheric wilayah Southern igunakan (El-Nino njelaskan dan laut s. erupakan angat dan g berasal “anak episode am yang ik awal kan data periode erjadinya gan rata-mena ini an bumi, melanda rilangka, tengah, Paraguay g tinggi, an untuk El-Nino han suhu ik atau ahiti dan rata-rata dimulai di Tahiti gin barat ah angin kawasan ah timur Akibatnya i Pasifik nya naik an barat. terjadi di si diatas i ini akan
konveksi ndonesia an yang jauh diba 2.4 w terjadi pada 1999). Gambar menunjukka normal yan awan hujan Nino yang m atas wilaya awan hujan timur. Gambar 2 (Sumber : Menuru Harjanto (1 suhu permu El-Nino diba 1. kua laut 2. sed berk 3. lem berk 4. san laut
2.5 Pola C
Berda yang dilakuk diperbaharui Klimatologi menggunaka periode 196 menjadi tiga wah normal. saat La-Nin
r 2 merupa an Sirkulasi W
ng memungk di Indonesia mengakibatka ah Indonesia bergeser ke Ilustrasi terjadi Climate Predic
ut Quint et al. 991), bila d ukaan laut, m agi menjadi 4 at, bila suhu
t lebih besar d dang, bila ano kisar antara 2 mah, bila anom
kisar antara 1 ngat lemah, bil t berkisar anta
Curah Hujan
asarkan hasil kan oleh Dr. J i oleh B
dan an data cu 61-1990, wilay a pola hujan, y
Kondisi seb a berlangsung
akan ilustras Walker pada kinkan pertu
dan pada kon an arus udara
serta pertu arah Pasifik
inya fenomena E
ction Center ; N
. (1978) dalam ditinjau dari maka tingkat k kategori, yait
anomali suh
dari 3 oC
omali suhu m
-3 oC
mali suhu mu
-2 oC, dan
la anomali suh
ara 0-1 oC.
n
1. Pola hujan Monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA musim kemarau).
Gambar 3 Pola hujan monsun
2. Pola hujan Equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi equinoks.
Gambar 4 Pola hujan Equatorial
3. Pola hujan Lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun.
Gambar 5 Pola hujan lokal
Gambar 6 Peta sebaran pola hujan Indonesia.
(Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) 1990)
2.6 Palmer Drought Severity Index (PDSI)
Palmer Drought Severity Index (PDSI) atau lebih dikenal Indeks Palmer pertama kali dikembangkan oleh Wayne Palmer pada tahun 1960-an. Indeks Palmer merupaka salah satu metode yang sering digunakan dalam menentukan tingkat kekeringan. Perhitungan indeks Palmer menggunakan data suhu dan
curah hujan serta Avalaible Water Capacity
(AWC) untuk menentukan kekeringan di suatu wilayah. Selain itu koordinat lintang juga diperlukan dalam perhitungan Palmer untuk menentukan panjang hari. Indeks Palmer sangat efektif digunakan untuk menentukan kekeringan jangka panjang, terutama untuk daerah beriklim semiarid dan daerah beriklim
sub-humid kering (Guttam et al., dalam
Indeks Palmer dapat menunjukkan indeks terlalu basah atau terlalu kering dari keadaan normalnya pada suatu daerah dengan pengklasifikasian menggunakan angka. Apabila indeks menunjukkan angka yang positif atau lebih besar dari nol, maka daerah tersebut bersifat basah dan tidak mengalami kekeringan. Semakin besar nilai indeks tersebut, maka kondisi daerah tersebut akan akan semakin ekstrim basah. Sebaliknya apabila indeks menunjukkan angka yang negatif atau lebih kecil dari nol, maka daerah tersebut bersifat kering dan dinyatakan mengalami kekeringan. Semakin kecil nilai indeks tersebut, maka kondisi daerah tersebut akan semakin ekstrim kering atau dengan kata lain daerah tersebut mengalami kekeringan yang sangat nyata (Tabel 1).
Tabel 1 Kelas indeks kekeringan dan sifat cuaca (Palmer, 1965)
Indeks Kekeringan Sifat Cuaca
≥ 4.00 Ekstrem basah
3.00 – 3.99 Sangat basah
2.00 – 2.99 Agak basah
1.00 – 1.99 Sedikit basah
0.50 – 0.99 Awal selang basah
0.49 – (-0.49) Normal
-0.50 – (- 0.99) Awal selang kering
-1.00 – (-1.99) Sedikit kering
-2.00 – (-2.99) Agak kering
-3.00 – (-3.99) Sangat kering
≤ -4.00 Ekstrem kering
Menurut National Drought Mitigation
Center (2006), Indeks Palmer sangat baik dan lebih memberikan prediksi kekeringan yang signifikan apabila diterapkan pada area yang luas dan daerah dengan topografi yang seragam, sehingga cakupannya lebih luas. Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang memiliki topografi beragam, sehingga untuk perhitungan Indeks kekeringannya faktor topografi diasumsikan seragam.
2.7 Karakteristik Tanaman 2.7.1 Padi (Oryza sativa)
Padi termasuk dalam suku padi-padian
atau Poaceae. Padi pada umumnya tumbuh di
wilayah tropis basah, sub tropis dan daerah beriklim sedang. Umur tanaman padi berkisar antara 90 hari sampai 150 hari, tergantung dari varietas, suhu udara dan panjang hari. Tanaman padi memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap tingkat keasaman tanah. pH optimum yang dibutuhkan tanaman padi selama fase pertumbuhan berkisar antara 5,5 sampai 6,0.
Kebutuhan air tanaman padi berkisar antara 380 sampai 880 per periode tanam atau
85 sampai 185 mm per bulan (Kung, 1971 dalam Yoshida 1981). Ketersedian air yang cukup selama umur tanaman sangat diperlukan untuk memperoleh pertumbuhan yang baik adan produksi yang tinggi. Periode paling sensitif adalah pada akhir masa pertumbuhan vegetatif sampai fase pembentukan bunga (sekitar bulan ketiga).
Menurut Doorenbos dan Kassam (1979), pada periode ini jika kadar air tanah turun menjadi 70% sampai 80% dari nilai kapasitas lapang, maka produksi padi akan berkurang. Jika kadar air turun sampai 50 % dari nilai kapasitas lapang, produksi akan berkurang sekitar 50% sampai 70%.Jika kadar air yang tersisa hanya 30% dari kapasitas lapang, maka tidak ada hasil padi yang dapat dihasilkan, bahkan tanaman akan mati jikan kadar air terus menurun hingga mencapai 20% dari nilai kapasitas lapang. Beberapa ciri-ciri padi diantaranya yaitu:
a. berakar serabut,
b. daun berbentuk lanset (sempit
memanjang),
c. urat daun sejajar,
d. memiliki pelepah daun,
e. bunga tersusun sebagai bunga
majemuk dengan satuan bunga berupa floret,
f. floret tersusun dalam spikelet, khusus
untuk padi satu spikelet hanya memiliki satu floret,
g. buah dan biji sulit dibedakan karena
merupakan bulir atau kariopsis.
Gambar 7 Padi.
Berdasarkan taksonominya, maka padi dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kingdom : Plantae
b. Divisio : Angiospermae
c. Kelas : Monocotyledoneae
d. Ordo : Poales
e. Familia : Poaceae
f. Genus : Oryza
g. Spesies : Oryza sativa
2.7.2 Jagung (Zea mays)
udara harian yang dibutuhkan tanaman jagung
diatas 18 oC. Umur tanaman jagung berkisar
antara 80 sampai 150 hari bergantung pada suhu udara hariannya. Jika suhu udara rata-rata
mencapai 15 oC, maka umur tanaman akan
bertambah menjadi 200 sampai 300 hari (Doorenbos dan Kassam 1979).
Tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik di hampir semua jenis tanah, kecuali pada tanah dengan tekstur kasar (keras) atau sangat berpasir. Dalam hal penggunaan air, tanaman jagung termasuk tanaman yang efisien. Untuk pertumbuhan dan produksi yang baik dibutuhkan air antara 350 sampai 400 mm per periode tanam atau 85 sampai 100 mm per bulan (Kung, 1971 dalam Yoshida 1981).
Berdasarkan taksonominya, maka jagung dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Kingdom : Plantae
b. Divisio : Angiospermae
c. Kelas : Monocotyledoneae
d. Ordo : Poales
e. Familia : Poaceae
f. Genus : Zea L
g. Spesies : Zea mays L.
Gambar 8 Jagung.
Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 m.
2.7.3 Kedelai (Glycine max)
Kedelai merupakan tanaman dikotil semusim yang memiliki sedikit percabangan, sistem perakaran akar tunggang, dan batang berkambium. Kedelai dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis, sub tropis dan iklim sedang. Kedelai tahan terhadap suhu rendah maupun tinggi. Meskipun demikian, laju pertumbuhan akan mengalami penurunan pada
suhu diatas 35 oC atau di bawah 18 oC. Pada
beberapa varietas, pembungan tergangu jika
suhu udara lebih rendah dari 24 oC. Suhu
minimum untuk pertumbuhan adalah sekitar 10 o
C, sedangkan untuk reproduksi suhu terendah
sekitar 15 oC.
Umur total tanaman ini berkisar antara 100 hingga 130 hari atu lebih tergantung pada varietas dan kondisi iklim. Tanaman kedelai sensitif terhadap genangan air. Kebutuhan air
tanaman kedelai berkisar antara 300 sampai 350 mm per periode tanam, atau sekitar 75 sampai 100 mm per bulan (Kung 1971 dalam Yoshida 1981).
Berdasarkan taksonominya, maka kedelai dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kingdom : Plantae
b. Filum : Magnoliopyta
c. Kelas : Magnoliopsida
d. Ordo : Fabales
e. Familia : Fabaceae
f. Genus : Glycine L. Merr.
g. Spesies : Glycine max
Gambar 9 Kedelai.
Tanaman kedelai mempunyai akar tunggang yang membentuk akar-akar cabang yang tumbuh menyamping (horizontal) tidak jauh dari permukaan tanah. Jika kelembaban tanah turun, akar akan berkembang lebih ke dalam agar dapat menyerap unsur hara dan air.
III. METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan November 2009 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data curah hujan bulanan 1985-2002
(Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika).
2. Data suhu rata-rata bulanan 1985-2002
(Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika).
3. Data produksi tanaman pangan dan
palawija wilayah Sulawesi Selatan (Sumber : Badan Pusat Statistik).
4. Peta jenis tanah untuk Sulawesi Selatan
(Sumber : Bakosurtanal).
5. Peta tataguna lahan untuk wilayah
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi).
6. Peta topografi daerah penelitian yang
mencakup tata letak stasiun yang di analisis untuk memperoleh data lintang, bujur, dan ketinggian (Sumber : http://srtm.csi.cgiar.org)
Peralatan yang digunakan adalah
seperangkat Personal Computer, perangkat
lunak yang digunakan yaitu Microsoft Office
2007 (Microsoft Excel untuk mengolah data dan Microsoft Word), Minitab ver 15, Arc View 3.3.dan Global Mapper 10.
3.3 Dasar Pemikiran Metode Palmer
Dalam pegembangan indeks kekeringan, Palmer (1965) menggunakan prinsip neraca air. Dalam analisisnya Palmer menggunakan model dua lapisan tanah, lapisan atas dan lapisan bawah masing-masing mempunyai kapasitas air tersedia yaitu AWCs dan AWCu.
3.4 Tahapan Penelitian
Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu pendugaan kapasitas air tersedia berdasarkan jenis tanah dan tataguna lahan, pendugaan Evapotranspirasi Potensial (ETp). Perhitungan neraca air untuk menduga koefisien paremeter iklim berdasarkan nilai ETp dan curah hujan, serta penentuan indeks kekeringan menggunakan indeks Palmer dimana sebelumnya telah dilakukan plotting sebaran stasiun hujan terlebih dahulu berdasarkan peta dasar provinsi Sulawesi Selatan. Tahap selanjutnya adalah menentukan korelasi antara curah hujan dan indeks Palmer menggunakan korelasi silang. Tahap paling akhir adalah analisis perbandingan kekeringan pada tahun-tahun normal dan ENSO serta implikasinya terhadap produktivitas tanaman pangan dan palawija.
3.4.1 Plotting Stasiun Hujan
Plotting dilakukan berdasarkan garis lintang dan garis bujur stasiun, serta elevasi stasiun dari permukaan laut (dpl).
3.4.2 Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT)
Pendugaan nilai Kapasitas Air Tersedia (KAT) pada tahap ini dilakukan dengan cara
overlay terhadap peta jenis tanah dan peta tataguna lahan sehingga diperoleh perkiraan luas wilayah yang digunakan serta jenis tanah untuk setiap wilayah tersebut.
Lapisan tanah yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu lapisan tanah bagian atas sedalam ± 25 cm dan lapisan tanah bagian bawah yang dalamnya sesuai dengan zona perakaran tanaman. Nilai KAT dapat diduga menggunakan bantuan tabel pendugaan KAT dari Thornthwaite dan Mather (1957). Selanjutnya nilai KAT untuk setiap lapisan tanah dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :
KATl = L x KATj x Tl
dimana :
KATl = Kapasitas air tersedia tiap lapisan
(mm)
L = Persentase penggunaan lahan
KATj = Kapasitas air tersedia pada jenis
tanah (mm/m)
Tl = Tebal lapisan tanah (m)
3.4.3 Pendugaan Evapotranspirasi Potensial (ETp)
Evapotraspirasi potensial diduga dengan menggunakan data suhu rata-rata bulanan yang diperoleh dari seluruh stasiun yang ada di wilayah Sulawesi Selatan. Apabila terdapat wilayah yang tidak memiliki stasiun, maka dilakukan asumsi untuk menduga suhu pada wilayah tersebut yaitu apabila ketinggian tempat naik 100 m dari permukaan laut, maka
suhu akan turun sebesar 0,6 oC yang diduga
dari stasiun terdekat dengan wilayah tersebut. Pendugaan ETp dapat dilakukan dengan menggunakan metode Thornthwaite (Chang 1968 dalam Turyanti 1995) sebagai berikut :
ETp* = ETp x f
ETp = 16 (10T/I)a I = ∑
f = D/30
dimana :
ETp* = Evapotranspirasi terkoreksi
T = suhu rata-rata bulanan (oC)
a = 6,75x10-7 I3
– 7,71x10-5 I2
+ 1,792x10-2 I + 0,49239
D = panjang hari berdasarkan lintang
i = (T/5)1,514
3.4.4 Perhitungan Neraca Air dan Indeks Kekeringan
Perhitungan neraca air menggunakan asumsi yaitu lengas tanah pada lapisan atas tidak akan masuk ke lapisan bawah sebelum jenuh, dan sebaliknya lengas pada lapisan bawah tidak akan keluar apabila lengas pada lapisan atas belum habis. Selain itu, perlu
diperhitungkan juga loss, recharge,
permukaan (runoff). Limpasan permukaan dapat terjadi apabila kedua lapisan telah mencapai kapasitas lapang. Penghitungan neraca air ini ditujukan untuk menghitung konstanta-konstanta yang mendefinisikan karakteristik iklim, yaitu :
1. α : koefisien evapotranspirasi
2. : koefisien recharge
3. : koefisien runoff
4. δ : koefisien loss
5. κ : pendekatan pertama terhadap
faktor pembobot K
Analisis klimatologi jangka panjang perlu dilakukan untuk menurunkan kelima
koefisien iklim (Hounam et al. 1975).
Koefisien-koefisien tersebut digunakan untuk menduga presipitasi terjadi pada bulan-bulan sebelumnya yang diasumsikan sebagai kondisi normal yang mengacu pada ketersediaan air. Besarnya evapotranspirasi pada bulan tersebut, menggunakan persamaan berikut :
. . . .
P = Presipitasi dugaan
dimana :
ETp = Evapotranspirasi potensial
PR = Potentialrecharge
PRO = Potential runoff
PL = Potential loss
Kenormalan nilai curah hujan sangat bergantung pada perhitungan cadangan air dan evapotranspirasi bulan sebelumnya. Selisih antara curah hujan pengamatan dan curah hujan dugaan diwakili oleh huruf d. Apabila selisih tersebut dikalikan dengan faktor pembobot K, maka akan diperoleh nilai indeks anomali lengas yang diwakili oleh huruf Z. Indeks kekeringan akhir (X) bergantung pada nilai Z sebelumnya dengan persamaan empiris:
X = (Z/3)j-1 + Δx
dimana ; Δx = (Z/3)j – 0.103 (Z/3)j-1
Indeks kekeringan Palmer sangat efektif digunakan untuk menentukan kekeringan jangka panjang dan kurang baik apabila digunakan untuk menentukan kekeringan jangka pendek terutama untuk daerah beriklim semiarid dan daerah beriklim sub-humid kering
(Guttam et al. dalam Turyanti 1995).
3.4.5 Analisis Korelasi
Curah hujan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kering tidaknya suatu wilayah. Hubungan antara kedua peubah tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasinya. Menurut Panofsky dan Brier
(1958), rumus yang digunakan untuk menghitung korelasi antara dua deret waktu
adalah korelasi silang (Cross correlation) atau
dengan rumus “lag-cross correlation” dengan
rumus masing-masing sebagai berikut :
Keterangan :
r = Koefisien korelasi
rL = Koefisien korelasi “lag”
P (t) = Curah hujan pada waktu ke-t
X (t) = indeks kekeringan pada waktu ke-t
X (t+L) = indeks kekeringan pada waktu ke t+L
Sp = simpangan baku data curah hujan
Sx = simpangan baku data indeks
kekeringan
Analisis ini dilakukan untuk menguji keeratan hubungan antara fluktuasi curah hujan dan indeks kekeringan yang selanjutnya digunakan untuk menghitung fluktuasi produktivitas tanaman pangan dan palawija yang akan di analisis. Dengan persamaan tersebut dapat dlihat ada atau tidaknya keterlambatan respon terhadap penurunan dan peningkatan curah hujan. Korelasi silang pada lag0 untuk mengetahui pengaruh curah hujan pada bulan tersebut, lag1 untuk mengetahui pengaruh curah hujan pada bulan sebelumnya, serta lag2 untuk mengetahui pengaruh curah hujan pada dua bulan sebelumnya terhadap fluktuasi indeks kekeringan.
3.4.6 Verifikasi Indeks Kekeringan
Verifikasi atau uji kelayakan indeks kekeringan terhadap produksi tanaman dilakukan untuk mengetahui konsistensi sebaran nilai indeks kekeringan yang diperoleh di wilayah Sulawesi Selatan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Klimatologis
sedangkan d bagian sela Kongkong m stasiun ters karakteristik 7.
dua stasiun la atan yaitu memiliki tipe i sebut didasar k yang dapat d
ainnya yang b Bikeru dan iklim lokal. P rkan pada b dilihat pada L
berada di Tanah emilihan beberapa Lampiran Gambar 10 (Sumber : Sulaw oleh stasiun memiliki p tengah terda yang mewak
G
Berda disimpulkan
tahunan d
cenderung hujan tertin terendah pa itu, suhu te dan terendah
0 Pola curah hu Badan Meteoro Geofisika (BM
wesi Selatan n Plant Site d pola hujan e
apat stasiun H kili tipe pola c
Gambar 11 Hub
asarkan gam n bahwa pola di provinsi
berpola mon nggi terjadi pa
ada bulam S ertinggi terjad h pada bulan J
ujan Sulawesi S ologi Klimatolo MKG) 1990).
bagian utara dan Desa Ma equatorial. Di Hasanudin dan curah hujan m
bungan antara s
mbar tersebu distribusi cur Sulawesi nsunal, diman
ada bulan Jan September. Se di pada bulan
Juli. Selatan. ogi dan diwakili alili yang i bagian n Malino monsunal, Selain hujan, Sul keragaman secara tida terhadap k tersebut. K berpengaruh hujan dan penelitian D 1985) kecen akan sema bertambahny permukaan beberapa st dengan pern akibat adan pola iklim di
suhu dan curah
t, dapat rah hujan Selatan na curah nuari dan ementara Oktober Berda yang berasa Selatan, dap disajikan pad
n memiliki k lawesi Selat topografi. ak langsung kondisi klim Kondisi klima h di wilayah t suhu. Seja De Boer (194 nderungan di akin meningk ya ketingg laut. Namun tasiun hujan nyataan tersebu nya pengaruh i daerah terseb
hujan rata-rata
Sebar beberapa w dilihat pada gambar 12, p distribusi cu 800-3700 m rata tahunan (Gambar 13)
asarkan data al dari 30 pat dilihat po da gambar 11
keragaman tip tan juga m
Keragaman akan berp matologis di atologis yang tersebut adala alan dengan
48 dalam Sud istribusi cura kat seiring gian tempat n demikian, a yang tidak ut. Kondisi in topografi lo but. pe curah memiliki tersebut pengaruh daerah g paling ah curah hasil dibyakto ah hujan dengan t dari ada pula k sesuai ni diduga okal dan curah hujan stasiun di S ola sebaranny .
tahunan Sulawesi ya yang
a provinsi Sulawwesi Selatan.
ran curah hu ilayah di Su a gambar 12 provinsi Sulaw urah hujan tah mm, sedangka
nnya berkisar ).
ujan dan suh ulawesi Selata dan 13. Berd wesi Selatan m hunan dengan an sebaran su r antara
22.0-hu pada an dapat dasarkan memiliki n kisaran uhu
Gambar 12 Peta sebaran curah hujan tahunan provinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 13 Peta sebaran suhu rata-rata tahunan provinsi Sulawesi Selatan.
4.2 Pendugaan Kapasitas Air Tersedia (KAT)
Pendugaan kapasitas air tersedia sangat bergantung pada tekstur tanah. Tekstur tanah di wilayah Sulawesi Selatan sangat beragam, mulai dari lempung berliat, lempung berpasir, hingga lempung berdebu, namun pada umumnya bertekstur liat (Departemen
Pertanian 1967). Berdasarkan hasil overlay
antara peta tutupan lahan dan peta jenis tanah diperoleh hasil seperti pada tabel Lampiran 3-4.
Diantara enam stasiun terpilih, stasiun yang berada di wilayah bagian utara cenderung didominasi oleh hutan dan lahan terbuka dengan persentase antara 40-70% dari luas daerahnya, dan sisanya merupakan kawasan pemukiman penduduk, sawah, tegalan dan lain-lain. Pada daerah ini KAT lapisan atas berkisar antara 30-60 mm,sedangkan KAT lapisan bawah berkisar antara 180-320 mm.
terbuka. Pa berkisar an lapisan baw Sementara i bagian sela pertanian k sisanya beru lahan terbuk KAT lapisa sedangkan K 130-150 mm
4.3 Perh
Perhi pada setiap berbeda parameter k evapotransp koefisien (Lampiran parameter perhitungan Besar dan evap berpengaruh lapisan tan permukaan mengisi cad kapasitas lap (RO) apabi penurunan antara curah maka akan jumlah keh tanah. Seda hilang dari tersebut tid
Loss (PL)
berlangsung bulan kedep mengalami k lapisan atas tidak memil Pada lapisan tan lapang, mak kedua lapis yang diperlu tanah kedua G
ada daerah in ntara 50-70 m wah berkisar
itu stasiun ya atan lebih di kering (tegala upa hutan, p ka dan sebaga an atas berkis KAT lapisan m. itungan Nera itungan nerac stasiun yang akan meng koefisien nera
pirasi (α), ko
runoff ( ), 23). Sela
tersebut n indeks Palme
rnya selisih ni potranspirasi h terhadap ca nah. Curah h diasumsikan dangan air tan
pang, dan sela la pada bula
cadangan air h hujan dan
terjadi Loss
hilangan air angkan jumlah
tanah seanda ak terjadi hu ). Apabila g terus mene pan, maka tana kehilangan air s sudah terleb liki cadangan
saat selisih n nah belum ka akan terjad san tanah. B ukan untuk p a lapisan hingg
Gambar 14 Fluk
ni KAT lapi mm, sedangk antara 170-2 ang berada di
idominasi ole an) dan sawa pemukiman pe ainya. Pada d sar antara 30 bawah berkis
aca Air
ca air yang g mewakili po
ghasilkan aca air yaitu k
oefisien recha
koefisien l
anjutnya pa digunakan er.
ilai antara cur potensial adangan air d hujan yang j
terlebih dahu nah hingga m anjutnya terja an sebelumny
r tanah. Jika
ETp bernilai
s (L). L me
pada kedua h kehilangan
ainya selama
ujan disebut P
nilai nega erus hingga b ah lapisan baw r akibat air pa bih dahulu h
air lagi. nilai positif da
mencapai k di Recharge ( Banyaknya jum
pengisian cada ga mencapai k
ktuasi koefisien isan atas kan KAT 210 mm. i wilayah eh lahan ah, serta enduduk, daerah ini -60 mm, sar antara dihitung ola hujan beberapa koefisien
arge ( ),
loss (δ) arameter-dalam rah hujan sangat di setiap jatuh ke ulu akan mencapai adi runoff
ya terjadi a selisih i negatif, erupakan lapisan air yang a periode Potential atif ini beberapa wah akan ada tanah abis dan an kedua kapasitas R) untuk mlah air angan air kapasitas n evapotranpiras lapang diseb nilai PR aka mencapai k karena hujan seluruhnya m surplus air. PR membes apabila tana Hasil perhitu yang mewa (Lampiran 2 koefisien ikl
Koefi nilai yan evapotranspi Berdasarkan sampai 1. N pada bulan b
kering. N
evapotranspi potensialnya umum, wila
nilai α rataan
evapotranspi dan mel potensialnya Berda dan Hasanu monsun, nil memasuki b bulan kering dan nilai ter Desember h Desa Malil memiliki flu dengan pola hujan equato pada saat keterlambata mengalami p itu kembali Sedangkan hujan lokal, pola hujan pada saat m nilai koefisi pada bulan J
nilai α pada
adanya peng misalnya suh
si (α) dari enam
but Potential
an bernilai no kapasitas lapa
n yang jatuh menjadi RO d
Nilai RO aka sar, dan sebal
h telah menca ungan neraca
akili tiga p 23) akan me
lim yaitu α, ,
isien evapotr ng mengga irasi yang terj n literatur, nila
Nilai α um
basah dan me Nilai 1 irasi akan a pada saat m
ayah Sulawe n bulanan seb irasi aktual te ebihi nila a (Gambar 14) asarkan Gamb udin yang m
lai α terenda
bulan Septem g dengan nilai rtinggi 1 pad hingga Mei. S li dengan po uktuasi nilai a hujan monsu
orial nilai α
memasuki b an hampir penurunan pa
naik memasu untuk stasiun
nilai α berkeb
lainnya. Nila memasuki bu ien sekitar 0. Juli sekitar 0.8
ketiga tipe po garuh unsur-u hu udara dan j
m stasiun di Sula
Recharge (P ol apabila tan ang. Hal ini h di permukaa dan perkolasi an mengecil p liknya RO ak
apai kapasitas air pada enam pola hujan enghasilkan b
, dan δ .
ranspirasi (α)
ambarkan b
jadi di suatu
ai α berkisar
mumnya men endekati 0 pad
ini men mencapai musim hujan esi Selatan m besar 0.64 yan
erjadi lebih d ai evapotra
).
bar 14, stasiun mewakili pol
ah terjadi pa mber yang me i koefisien se da bulan basa Stasiun Plant ola hujan eq
α yang hamp
un. Namun, p terbesar baru bulan Maret
dua bulan da bulan Juni uki bulan Sep n dengan pol
balikan denga
ai α terendah
ulan Oktober .1 dan nilai 8. Perbedaan ola hujan terja unsur cuaca s jenis tutupan l
Koef yang mengg air tanah mencapai k adalah 0 sa apabila terja tanah setela Nilai sama oleh huja potensialnya mencapai k terjadi defis dan curah tanah dias menjadi R Gambar 15, monsun da memasuki memasuki b mengalami nilai akan curah hujan Sedangkan lokal meng disebabkan lokal seper sehingga cu musim kem yang mem yang dalam Koef besarnya cu
runoff (limp memiliki k
Gambar 15 F
fisien recharg
gambarkan seb pada saat t kapasitas lapa ampai 1. Nila
adi penambah ah terjadi defis a dengan 1, ji an semakin a (potential
kapasitas lap sit air tanah, m hujan yang
sumsikan m
RO. Berdasa
, untuk stasiu an equatoria
bulan Apri bulan April ha penurunan c n semakin de n yang jatuh
pada stasiun galami kenaik karena adan rti vegetasi urah hujan te marau. Selain i
mpengaruhi, hal ini tidak d
fisien runoff
urah hujan ya pasan permuk kisaran nilai
Gambar 16
Fluktuasi koefis
ge ( ) merupa
berapa besar p terjadi hujan ang. Kisaran i akan men han air hujan k sit cadangan a ika pengisian n mendekat
l recharge) pang. Apabi maka akan b jatuh ke pe melimpas se arkan ilustra un dengan po
l, nilai il. Hal ini ampir di semu curah hujan, efisit akibat se
ke permukaa n dengan po
kan nilai . nya pengaruh
dan tekstur etap tinggi m tu ada pula fa misalnya ke dihitung penga
ff ( ) menu
ang mengalir kaan) dan koe
antara 0 sa
Fluktuasi koef
sien recharge (
akan nilai pengisian n hingga n nilai ndekati 1 ke dalam air tanah. air tanah ti nilai untuk la tidak ernilai 0, ermukaan eluruhnya asi pada ola hujan menurun karena ua stasiun sehingga edikitnya an tanah. la hujan Hal ini h faktor r tanah, meskipun aktor lain elerengan aruhnya. unjukkan menjadi fisien ini ampai 1.
fisien runoff ( )
) dari enam sta
Fluktuasi nil
nilai α. Pa
maksimum 1 yang jatuh sedangkan p sama denga yang jatuh k air tanah.
Hasil untuk keena 1, dan hasil diperoleh. B 16, memasuk bulan April akibat curah tanah sema terinfiltrasi s menyebabka mengalir me Nilai pola hujann hujan mon mengalami dan mendek selanjutnya September-O musim huja pola hujan t hujan equat wilayah den yang berkeb Hal ini dika setempat (lo tersebut.
) dari enam stas
asiun di Sulawe
lai hampir s ada bulan b 1, yang berart
ke permukaa pada bulan k an 0 karena ke permukaan
perhitungan am stasiun ber l ini sesuai d Berdasarkan il ki awal musim l nilai m h hujan yang akin sedikit, sebagai cadan an tidak ad enjadi RO.
sebagian be nya. Untuk nsun dan penurunan p ati 0 memasuk
kembali Oktober yan an. Letak per tersebut ada torial lebih f
gan pola huja balikan denga arenakan adan okal) terhada
siun di Sulawes
esi Selatan.
sama seperti basah nilai ti seluruh cur an akan menj kering nilain seluruh cura terinfiltrasi se
menunjukkan rkisar antara 0 dengan literat lustrasi pada m kemarau ya mengalami pe jatuh ke per hampir sel ngan air tanah da air huja
esar mengikut stasiun deng equatorial, ada bulan A ki bulan Juli-A
naik pada
ng merupaka rbedaan antar alah nilai pa
fluktuatif. Sta an lokal memi an pola hujan anya pengaruh ap iklim di
Koef kehilangan berkebalikan sebelumnya hingga men musim hujan Nilai musim kem jatuh ke per tanah dalam hujan akan lengas dala proses eva kemarau ya mencapai 1 itu. Sebalik adanya eva Keadaan perhitungan hujan mons Saat memas terus menin bulan Agust bulan beriku fluktuasi n daripada pol Berda adanya keti dengan pol banyak fak faktor terseb
landuse, ser tidak berpen kemiringan 4.4 Nilai Keem dianalisis pa untuk meng dari kompo secara klim waktu dan air yang did kekeringan
(ETa), recha
curah hujan Nilai pada saat m akan tinggi
Gambar 17
fisien Loss
lengas men n dengan ti a. Pada musim ndekati 1, d
n nilai δ turun
L terjadi p marau, dimana rmukaan berku m memperoleh menurun. H am tanah hila apotranspirasi. ang sangat e , karena tidak knya, L teru apotranspirasi tersebut se
n nilai δ pada
sun dan equ suki bulan Me ngkat mende tus dan menu utnya. Untuk
ilai δ berlan
la hujan mons asarkan Gam idakteraturan la lokal yang ktor yang me but antara lai rta faktor lai ngaruh pada p
lereng.
i Dugaan Par
mpat nilai k ada sub-bab s hitung nilai du onen-kompon matologis ses
tempat. Adap duga untuk me adalah eva
arge (R), runo
(P).
pada u musim hujan
saat nilai α
Fluktuasi koef
(δ) atau k
unjukkan ha iga paramete m kemarau nil
dan sebalikn n mendekati 0 pada saat m a jumlah huj urang dan kem h R yang ber Hal ini meny
ang sebagai . Pada saat ekstrem nilai
k ada L selam s berlangsun
yang terus suai dengan a stasiun den uatorial (Gam ei (bulan kerin ekati 1 hingg urun mendeka
pola hujan e ngsung lebih sun.
mbar 17 juga
nilai δ untuk
g disebabkan empengaruhi. in curah huja in yang di as penelitian ini,
rameter Iklim
koefisien ikli sebelumnya d ugaan suatu p nen neraca a
suai dengan pun kompone emperoleh nil apotranspirasi
off (RO), Loss
umumnya aka
dimana α=1.
meningkat, y
fisien loss (δ) d
koefisien asil yang
er iklim
lai δ naik
nya pada . memasuki jan yang mampuan rasal dari yebabkan L akibat t terjadi
δ akan
ma masa ng akibat menerus. n hasil gan pola mbar 17).
ng) nilai δ
ga akhir ati 0 pada equatorial h singkat a terlihat k stasiun n adanya Faktor-an, tanah, sumsikan misalnya m im yang igunakan parameter air yang kondisi en neraca ai indeks i aktual
s (L), dan
an tinggi Nilai R yaitu saat
dari enam stasiu
terjadi peng biasanya ter RO tinggi t kapasitas la tercapai pad hujan yang r Nilai periode kele yang merup dan P. Nilai kehilangan l rendahnya rendah. Nila terjadi sur cenderung b berarti pada sehingga ko inilah yang indeks dan pada suatu w
4.5 Indek Kerag terjadi dal disebabkan geografi se tempat, arah serta komb alam yang k diterima ole (Critchfield menentukan kekeringan p yang tinggi cenderung Kekeringan menyimpang Salah tersebut ad Oscillation). mendeskrips selatan (f peningkatan penurunan s Namun seri banyak paka
El-Nino (wa
suhu muka ekuator laut
un di Sulawesi S
gisian lengas rjadi saat mu terjadi jika t apang dan n da saat tidak t
rendah. P akan men ebihan atau k akan selisih a i P negatif te lengas akibat
R karena in
ai d positif, rplus hujan, basah. Sebalik
a saat itu t ondisinya men g selanjutnya periode kek wilayah. ks Kekeringa gaman pola lam skala karena adan eperti topogr
h angin (Bru inasai berbag kompleks men
eh suatu tem 1979). Hujan kemungkin pada suatu da
dan distribu akan menim
juga terjadi g dari keadaan h satu peny dalah ENSO
. ENSO mer sikan secara
fenomena suhu muk suhu muka lau ingkali istilah ar untuk meru
arm event) saja laut di kawas t pasifik. Osil
Selatan.
ke dalam tan usim penghuja
tanah telah m nilai L yang terjadi L akib
nentukan ting kekurangan h antara nilai P erjadi pada sa evapotranspi ntensitas huja berarti pada sehingga knya, nilai d terjadi defisit njadi kering. a akan men keringan yang
an
curah huja ruang dan anya pengaru
rafi dan ke uce dan Clar gai macam nyebabkan huj mpat sangat b
n yang demiki nan ada aerah. Intensit usi yang tidak
mbulkan kek jika kejadia n normalnya. yebab penyim
(El-Nino S
rupakan istila keseluruhan atmosfer) ka laut da ut (fenomena h ini digunak
ujuk kepada a, yaitu menin san tengah da
lasi selatan (s
oscillation) adalah osilasi tekanan atmosfer kawasan laut pasifik dan atmosfer laut Indonesia-Australia. Untuk memonitor osilasi selatan ini dibuatkan indeks osilasi selatan (SOI) yaitu nilai perbedaan antara tekanan atmosfer di atas permukaan laut di Darwin (Australia) dan Tahiti (Pasifik Selatan), dimana semakin negatif nilai SOI berarti semakin kuat
kejadian panas (warm event atau El-Nino) dan
sebaliknya semakin positif nilai SOI semakin
kuat kejadian dingin (cold event atau La-Nina).
Selama periode antara tahun 1985-2002 telah terjadi beberapa kali kejadian El-Nino dan La-Nina (Tabel 2).
Tabel 2 Tahun kejadian El-Nino dan La-Nina di Indonesia periode 1985-2002.
Tahun Keterangan Tahun Keterangan
1985 Normal 1994 El-Nino 1986 Normal 1995 La-Nina 1987 El-Nino 1996 Normal 1988 La-Nina 1997*) El-Nino
1989 Normal 1998 La-Nina 1990 Normal 1999 La-Nina 1991 El-Nino 2000 La-Nina 1992 Normal 2001 Normal 1993 Normal 2002**) El-Nino Sumber :
*) Data tahun 1985-1997 dari Jasis dan Karama (1998) *)
Data tahun 1998-2002 dari http://www.deptan.go.id.
Gambar 18 Peta Sebaran Kekeringan Bulan DJF Tahun El-Nino.
Umumnya DJF merupakan bulan-bulan puncak terjadinya curah hujan dengan intensitas tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan. Berdasarkan Gambar 18, sebaran kekeringan pada bulan DJF pada tahun ENSO menunjukkan sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan mengalami awal selang kering menurut kriteria Palmer. Namun ada sebagian daerah di bagian utara dan selatan yang mengalami tingkat kekeringan hingga sangat kering, yaitu kabupaten Mamuju dan kabupaten Maros yang sama-sama memiliki pola hujan monsun. Menurut Tjasyono (1997) pengaruh ENSO akan kuat pada daerah dengan pola hujan monsun, lemah pada daerah dengan pola hujan equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan pola hujan lokal. Meskipun bulan DJF, kekeringan di Sulawesi
Selatan tidak tampak nyata akibat pengaruh ENSO karena meskipun curah hujannya turun di bawah normal, namun tingkat penurunannya tidak signifikan. Secara umum rata-rata penurunan curah hujan dari normal akibat pengaruh ENSO sekitar 80 mm (Tjasyono 1997).
Kabupaten Mamuju yang diwakili oleh tiga stasiun pengaruhnya sangat nyata terkena dampak ENSO akibat curah hujan di ketiga stasiun tersebut rata-rata 180 mm/bulan pada tahun normal, sehingga ketika terjadi ENSO curah hujannya berkurang secara signifikan. Nilai ekstrem basah di kabupaten Bone terjadi karena distribusi curah hujan di daerah
tersebut tinggi akibat wilayah ini berada pada elevasi yang tinggi. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian De Boer (1948 dalam Sudibyakto 1985) bahwa kecenderungan distribusi curah hujan akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat dari permukaan laut.
Gambar 19 Peta Sebaran Kekeringan Bulan MAM Tahun El-Nino.
Bulan JJA wilayah Indonesia memasuki puncak musim kemarau. Pada bulan ini terjadi penurunan intensitas curah hujan yang diikuti oleh kejadian ENSO pada tahun-tahun tertentu, sehingga sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan mengalami kekeringan dengan kriteria mulai dari awal selang kering hingga sangat kering (Gambar 20). Namun ada sebagian kecil wilayah di bagian selatan yang justru mengalami tingkat kekeringan dengan kategori sedikit basah yaitu di kabupaten Sinjai. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut memiliki pola hujan lokal, dimana pada pola ini pengaruh ENSO tidak terlihat jelas akibat adanya pengaruh lokal daerah setempat (Tjasyono 1997). Kekeringan secara merata terjadi di seluruh wilayah pola monsun, sebarannya antara awal selang kering hingga sangat kering dimana pada bulan JJA terjadi penurunan intensitas curah hujan di bawah normal akibat pengaruh ENSO. Pada pola equatorial sebaran kekeringan pada bulan JJA adalah normal.
Bulan SON merupakan peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Berdasarkan
Gambar 21, sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan mengalami kekeringan khususnya bagian barat. Kekeringan yang terjadi diakibatkan oleh penurunan curah hujan pada bulan-bulan sebelumnya yang mempengaruhi ketersediaan air tanah pada bulan berikutnya. Wilayah di bagian barat Sulawesi Selatan sebagian besar mengalami kekeringan memasuki bulan SON dengan kriteria kekeringan antara awal selang kering hingga ekstrem kering. Selain dipengaruhi oleh pola hujan, kekeringan juga sangat dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan. Jenis penutupan lahan yang mendominasi wilayah bagian barat adalah lahan terbuka, sehingga pada saat terjadi penurunan hujan daerah ini akan lebih
mudah mengalami loss akibat tidak ada
vegetasi yang menahannya. Lain halnya di bagian timur, penutupan lahan lebih didominasi oleh hutan yang dapat menjaga kelengasan tanah lebih lama, meskipun terjadi penurunan curah hujan akibat kejadian ENSO pada bulan-bulan sebelumnya, namun pengaruhnya tidak terlihat signifikan.
Bulan DJF Bulan MAM Bulan JJA BULAN SON
TAHU
N NO
R
M
AL
TAHUN EL
-NINO
LEGENDA
Gambar 22 Fluktuasi sebaran rata-rata indeks kekeringan provinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 22 merupakan perbandingan peta sebaran kekeringan rata-rata bulanan provinsi Sulawesi Selatan pada tahun normal dan tahun ENSO. Secara umum Sulawesi Selatan sangat rentan mengalami kekeringan, dimana pada kondisi normal pun sering kali terjadi kekeringan, misalnya pada bulan MAM. Sedangkan pada bulan yang sama di tahun ENSO, justru terjadi kekeringan dengan skala yang lebih kecil. Perbedaan yang jelas terlihat pada bulan JJA, dimana pada kondisi normal wilayah Sulawesi Selatan sebagian besar kondisinya normal hingga basah. Pada tahun ENSO di bulan yang sama hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan mengalami kekeringan. Hal ini wajar terjadi karena JJA merupakan puncak musim kemarau dengan penurunan curah hujan yang cukup tinggi dan ditambah dengan adanya kejadian ENSO, sehingga membuat wilayah ini semakin kering
dari kondisi normalnya. Kejadian ini diperkuat oleh Tjasyono (1997) yang menyatakan bahwa pengaruh ENSO akan nyata pada musim kemarau daripada musim hujan.
Pada bulan SON wilayah yang mengalami kekeringan pada tahun ENSO lebih luas daripada tahun normal. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari penurunan curah hujan yang sangat tinggi pada bulan-bulan sebelumnya, sehingga mempengaruhi tingkat kekeringan pada bulan SON.
besar terseb memiliki fl Berdasarkan distribusi c pada saat p sedangkan p curah hujan Kisaran nila pada Tabel 3
Tabel 3 Inde di Su Pola Hujan Lokal Monsun Equatorial
Nilai i melebar dar oleh Palme hingga 4. perbedaan lo hujan antar Indonesia, Disamping i yang terjad oleh kejadi menyebabka maupun ba untuk wilay sangat nyata Nina. Secara tahun El-Ni 6 bulan be wilayah yan bernilai neg berlanjut p contoh, tahu dengan skal stasiun Ha
Gambar
but terjadi kare luktuasi curah n yang dipe urah hujan b puncak bisa pada saat pun n bulanannya
ai untuk stas 3. ks kekeringan ulawesi Selatan Stasiun Tanah Kong Bikeru Hasanudin Malino Desa Malili Plant Site indeks keker ripada klasifi er dengan ki Hal ini te okasi penelitia ra daerah ka khususnya d itu, nilai indek i sebagian be ian El-Nino an terjadinya asah semakin
yah Indonesi a terkena dam
umum inde ino bernilai n erturut-turut,
ng mengalam gatif lebih d pada tahun un 1997 meru la kuat, diman sanudin mem
r 23 Fluktuas
ena stasiun H h hujan yang eroleh dari bulanan di st
mencapai 10 ncak musim bisa mencapa siun lainnya
di enam stasiu n Indeks Keker Min Max -8.57 1.25 -6.16 10.07 -22.71 18.23 -0.79 4.73 -0.88 1.23 -4.03 5.07 ringan terseb ikasi yang di
saran nilai a erjadi karena an dan distribu ajian Palmer di Sulawesi ks kekeringan esar juga dip dan La-Nina a deret hari n panjang, kh
a bagian tim mpak El-Nino
eks kekering egatif antara bahkan ada mi indeks ke dari 6 bulan berikutnya. upakan tahun na pada tahun miliki indeks
i curah hujan d
Hasanudin g tinggi. BMKG, tasiun in 000 mm, kemarau ai 0 mm. disajikan un terpilih ringan Rata-rata 0.04 0.53 0.32 0.39 0.22 0.11 but jauh nyatakan antara -4 a adanya usi curah r dengan Selatan. n ekstrem pengaruhi a yang i kering hususnya mur yang o dan
La-an pada 5 hingga sebagian ekeringan n hingga Sebagai n El-Nino n tersebut s negatif
an indeks keker
selama lebih bulan Juni Sementara i yang sama antara bulan stasiun Bik hingga Sept suatu wilaya kekeringan, sering terjad selama perio Selatan ser namun deng dan dalam ja (1995) meny lama menun namun jika bulan saja, m rawan keker
4.6 Hubun Indeks
Penyeb dan tidak m Penyebaran menyebabka kekeringan lainnya, seh akan berbed dikatakan dipengaruhi
Gamba pengaruh flu kekeringan, hubungan a kekeringan (Gambar 23 merupakan d 1985-2002. terlihat ada antara fluktu kekeringan.
ringan bulanan
h dari 6 bulan hingga Janua itu, stasiun P
juga menga n Januari hin keru terjadi tember. Terk ah ikut berpen sehingga pa di indeks ne ode 1985-200 ringkali men gan tingkat ke
angka waktu y yatakan bahw njukkan kondi hanya terjadi maka tidak ter ringan.
ngan Antara s Kekeringan
baran curah h merata menuru yang tida an adanya
antara satu te hingga dampa da pula. Den
bahwa i
oleh fluktuasi aran yang le uktuasi curah
dapat dili antara curah untuk setiap 3, 24 dan 2 dua deret dat
Berdasarkan anya keterk
uasi curah hu
pola hujan mon
n berturut-turu ari tahun ber Plant Site pad alami indeks ngga Juni, d
antara bulan kadang keadaa ngaruh terhada
ada tahun ba egatif. Secara 02, wilayah S ngalami kek ekeringan yang yang singkat. wa indeks nega
isi lengas yan selama satu rmasuk dalam
a Curah Huj n
hujan sangat ut tempat dan ak merata perbedaan empat dengan ak yang ditim ngan demikia
indeks kek i curah hujan. ebih jelas m
hujan terhada ihat melalui h hujan dan
p pola curah 25). Grafik ta time series
n gambar kaitan dan p ujan terhadap
nsun (1985-20
ut antara rikutnya. da tahun negatif dan pada n Maret an lokal ap indeks asah pun a umum, Sulawesi keringan, g rendah Turyanti atif yang ng buruk, atau dua m kondisi jan dan beragam n waktu. tersebut tingkat n tempat mbulkan an dapat keringan mengenai ap indeks grafik indeks h hujan tersebut
s periode
tersebut pengaruh p indeks
Gambar
Gamb
Untu keeratan hu indeks kek korelasi. K rumus kore 1958) men korelasi an kekeringan di uji pula k indeks keke bulan sebel antara indek dua bulan se
Tabel 4 Koe ind Sel Pola Hujan N S Monsun B B B H M P B C L M P S T W R
24 Fluktuasi
bar 25 Fluktua
k mengetah ubungan anta
keringan, m Korelasi terseb
elasi-silang ( nggunakan k ntara curah
pada bulan y korelasi lag1, eringan deng lumnya, dan ks kekeringan ebelumnya (T efisien korelasi deks kekeringan atan. Nama tasiun Babana Belajen Binanga Hasanudin Malino G. Bone BPP. Ma'rang Camming Lariang Mattampa akaterang endana To'ao Wonomulyo Rata-rata
curah hujan da
asi curah hujan
hui sejauh ara curah huj maka dilakuk but dihitung (Panofsky da korelasi lag0 hujan dan yang sama. Se
yaitu korelas gan curah huj lag2, yaitu n dengan cura
abel 4).
i antara curah h n di provinsi
Koefisien Kor Lag0 Lag1 0.125 0.181 0.184 0.370 0.054 0.330 0.468 0.658 0.438 0.462 0.229 0.564 0.296 0.355 0.367 0.376 0.268 0.303 0.349 0.357 0.267 0.334 0.532 0.390 0.493 0.292 0.633 0.416 0.336 0.385
an indeks keker
dan indeks kek
mana ujan dan kan uji dengan an Brier 0, yaitu indeks elain itu si antara jan satu korelasi ah hujan hujan dan Sulawesi relasi lag2 0.143 0.112 0.495 0.268 0.314 0.474 0.239 0.344 0.168 0.217 0.125 0.258 0.136 0.326 0.259
ingan bulanan p
keringan bulana Equatorial A D M P P B L M P P R Lokal B B K M T R
Hal ini terj dalam tana terjadi lag normal, ma waktu singk signifikan t Di sisi lain terus-mener kondisi air t Berd untuk pola nilai lag0 l nilai rata-ra Hal ini m keterlambat curah hujan equatorial
pola hujan equa
an pola hujan lo Anabanua Desa Malili Masamba Panakukang Plant Site BPP. Palanro Larompong Malanroe Pekabata Paneki Rata-rata Batukaropa Bikeru Kajang Mattalang TanaKong Rata-rata
jadi karena p ah memerluk g. Apabila aka penurunan
kat tidak akan terhadap kond n, apabila cu rus lebih da tanah akan mu dasarkan Tabe
hujan lokal lebih besar d ata berturut-tu menandakan b
tan respon n. Untuk pol
nilai korelas atorial (1985-20 okal (1985-2002 0.348 0.318 0.434 0.527 0.096 0.277 0.816 0.747 0.400 0.656 0.354 0.446 0.752 0.674 0.375 0.649 0.471 0.509 0.642 0.558 0.469 0.536 0.397 0.274 0.524 0.484 0.667 0.614 0.361 0.372 0.466 0.453 0.483 0.439
proses perger kan waktu, s
kondisi seb n curah huja n berpengaru disi air tanah urah hujan be ari dua bula
ulai terpengaru el 4, hasil uji menunjuk