• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Penyediaan Pengemudi Head Truck Angkutan Peti Kemas antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Penyediaan Pengemudi Head Truck Angkutan Peti Kemas antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MAULANA SYAHPUTRA NIM : 090200295

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PT.PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) BELAWAN INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL DENGAN KOPERASI

KARYAWAN PELABUHAN I KANTOR PUSAT

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MAULANA SYAHPUTRA NIM : 090200295

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/PERDATA BW Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

(Dr. HASYIM PURBA, SH.,M.HUM.) NIP. 19660303 198508 1 001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(SINTA ULI, SH.,MHum.) (ZULKIFLI SEMBIRING, SH.,M.HUM.) NIP. 195506261986012001 NIP. 19541210 198601 1 001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

rahmat dan hidayah-Nya, memberikan kesehatan, kesabaran, dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga skripsi ini telah selesai dikerjakan.

Skripsi ini berjudul : Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Penyediaan Pengemudi Head Truck Angkutan Peti Kemas antara PT. Pelabuhan Indonesia

I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi

Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Ok Saidin, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

membimbing dan mengarahkan Penulis selama proses penulisan skripsi.

7. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan Penulis selama proses penulisan skripsi. 8. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah mengajar dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Bapak Suhairi dan seluruh pegawai PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal yang telah membantu Penulis dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan Perjanjian penyediaan pengemudi head truck angkutan peti kemas.

11.Kepada Ayahanda Muhammad Natsir dan ibunda Lisma Unita yang selalu memberikan dukungan moral dan materiil serta doa dan kasih sayang yang sedari kecil diberikan. Tanpa cinta, dukungan dan doanya sangat sulit bagi Penulis untuk mencapai cita-citanya. Skripsi ini Penulis persembahkan buat Ayahanda dan Ibunda.

12.Kepada Kakak-kakak, Putri Arlisa, Amd yang sangat peduli serta memberikan perhatian dan semangat untukku agar terus maju. Terimakasih atas doa dan dukungannya selama ini.

(5)

Guraha, Yansen Aditya Sembiring, SH, Benizar Husni, S.H, Samuel Tambunan, SH Milyadri Gagah D, Abdul Hadi Putra, Reza Surya, James RNP, Dewi Ratih, SH, Rafika Mayasari S, SH, Amalia Geralda, SH, Windha Auliana Yusra, SH. Terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.

15.Kepada teman-teman seperjuangan Penulis : Saddam Yafizham Lubis, Stefan Yosua Hutabarat, Hendra Saputro Ongko, Try Purnomo, M. Yogi HS, SH, Marco Tanteri, Fauzul Asyura, SH, M. Subhi Sholih, SH, Novanema Duha, SH, Rizki Tambunan, SH. Terimakasih atas doa dan dukungannya selama ini. 16.Kepada seluruh teman-teman stambuk 2009 Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Demikianlah Penulis sampaikan, Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan hendaknya.

Medan, April 2014 Hormat Penulis

(6)

Sinta Uli, SH, M.Hum* Zulkifli Sembiring, SH, M.Hum**

Maulana Syahputra***

Perjanjian Kerjasama merupakan salah satu perjanjian dimana masing-masing sepakat untuk melakukan suatu usaha bersama dengan menggunakan aset dan/atau hak usaha yang dimiliki secara bersama menanggung risiko usaha tersebut. PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal dan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat mengikatkan diri dalam satu perjanjian kerjasama operasi dimana Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat menyediakan pengemudi head truck angkutan peti kemas. Isi dari perjanjian kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal dan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat sesuai dengan asas-asas hukum perjanjian, hak dan kewajiban juga tindakan hukum yang dilakukan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal terhadap Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat yang melakukan wanprestasi. Kedudukan perjanjian kerjasama tersebut berdasarkan Pasal 1320 jo. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata jo. PSAK No. 39.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif dikonsepkan sebagai penelitian terhadap peraturan perundang-undangan (library research). Sedangkan penelitian hukum empiris merupakan penelitian yang dilakukan oleh penulis secara langsung di lapangan yaitu terhadap PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal dan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat.

Kesimpulan bahwa isi perjanjian kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal dan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat berkedudukan sebagai perjanjian yang menganut asas-asas hukum perjanjian, hak dan kewajiban kedua belah pihak juga dipenuhi dan tindakan hukum PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal terhadap Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat yang melakukan wanprestasi adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mana biaya PHK terhadap tenaga kerja dari pihak kedua ditanggung oleh Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat.

Kata Kunci : Perjanjian Kerjasama, Penyediaan Pengemudi, Tindakan Hukum.

(7)

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian, Syarat Syah Perjanjian dan Azas Hukum Perjanjian ... 13

B. Pengertian Perjanjian Kerjasama Dan Pengaturan Hukum Tentang Perjanjian Kerjasama ... 31

C. Subjek Dan Objek Perjanjian ... 36

D. Berakhirnya Suatu Perjanjian ... 41

BAB III : HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PT. PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) BELAWAN INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL DENGAN KOPERASI KARYAWAN PELABUHAN I KANTOR PUSAT A. Tentang Pelabuhan Indonesia I Dan BICT ... 49

B. Tentang Koperasi Menurut UU Koperasi ... 57

C. Peranan Koperasi Dan Tujuan Koperasi ... 60

D. Bidang Usaha Kerjasama Koperasi dan Hubungan dengan Pelindo ... 60

BAB IV : PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT. PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) BELAWAN INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL DENGAN KOPERASI KARYAWAN PELABUHAN I KANTOR PUSAT A. Profil PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat ... 61

B. Kedudukan Perjanjian Kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat ... 62 C. Hak dan Kewajiban Menurut Isi Perjanjian Kerjasama

(8)

D. Tindakan Hukum antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Pelabuhan I Kantor Pusat ... 73 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(9)

Perjanjian Kerjasama merupakan salah satu perjanjian dimana masing-masing sepakat untuk melakukan suatu usaha bersama dengan menggunakan aset dan/atau hak usaha yang dimiliki secara bersama menanggung risiko usaha tersebut. PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal dan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat mengikatkan diri dalam satu perjanjian kerjasama operasi dimana Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat menyediakan pengemudi head truck angkutan peti kemas. Isi dari perjanjian kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal dan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat sesuai dengan asas-asas hukum perjanjian, hak dan kewajiban juga tindakan hukum yang dilakukan PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal terhadap Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat yang melakukan wanprestasi. Kedudukan perjanjian kerjasama tersebut berdasarkan Pasal 1320 jo. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata jo. PSAK No. 39.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif dikonsepkan sebagai penelitian terhadap peraturan perundang-undangan (library research). Sedangkan penelitian hukum empiris merupakan penelitian yang dilakukan oleh penulis secara langsung di lapangan yaitu terhadap PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal dan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat.

Kesimpulan bahwa isi perjanjian kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal dan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat berkedudukan sebagai perjanjian yang menganut asas-asas hukum perjanjian, hak dan kewajiban kedua belah pihak juga dipenuhi dan tindakan hukum PT. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Belawan International Container Terminal terhadap Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat yang melakukan wanprestasi adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mana biaya PHK terhadap tenaga kerja dari pihak kedua ditanggung oleh Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat.

Kata Kunci : Perjanjian Kerjasama, Penyediaan Pengemudi, Tindakan Hukum.

(10)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisien. 1 Dalam Pasal 1 angka 3 UU RI No. 22 Tahun

2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, dikatakan angkutan adalah perpindahan orang atau benda dari tempat yang satu ke tempat lain dengan menggunakan lalu lintas jalan. Pengangkutan atau alat transportasi harus dapat melakukan peningkatan dan pembangunan kualitas pelayanan yang harus dilakukan guna meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan alat transportasi dan alat pengangkutan tersebut.

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beberapa kepulauan besar dan kepulauan kecil sehingga dalam memenuhi kebutuhan sehari hari dibutuhkan alat transportasi dan pengangkutan untuk dapat menjangkau seluruh daerah atau wilayah di Indonesia, dimana Negara Indonesia merupakan negara yang sangat memerlukan alat transportasi dan pengangkutan, dalam melakukan pengangkutan di Indonesia alat transportasi yang dapat digunakan yaitu terdiri dari pengangkutan darat, pengangkutan laut, dan pengangkutan udara. Angkutan darat misalnya mobil pribadi, bus, kereta api dan sebagainya, sedangkan pengangkutan

1

(11)
(12)

meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan alat transportasi dan alat pengangkutan tersebut. Untuk menjalankan fungsinya perusahaan tidak sanggup berdiri sendiri sehingga dia memerlukan pihak lain, apakah itu swasta atau pihak lain seperti misalnya anak perusahaan atau koperasi. Dan dimana dalam kerjasama ini telah ada menimbulkan masalah khususnya tentang kedudukan perbuatan kerjasama tersebut termasuk perbuatan perdata atau publik.

Dalam perspektif Indonesia, kontrak pengadaan juga mempunyai fungsi penting dalam pembangunan perekonomian negara karena di samping bersifat rutin dan melibatkan keuangan negara yang jumlahnya sangat besar, kebijakan di sektor pengadaan merupakan bagian dari strategi pembangunan ekonomi.

2Kontrak yang dibuat oleh pemerintah bersifat multi aspek dan mempunyai

karakter yang khas.3 Sekalipun hubungan hukum yang terbentuk antara

pemerintah dengan mitranya adalah hubungan kontraktual, tetapi di dalamnya terkandung tidak saja hukum privat, tetapi juga hukum publik. Adanya warna publik dalam jenis kontrak ini merupakan ciri yang khas yang membedakan dengan kontrak komersial pada umumnya.4

Karakter yang khas dari kontrak pengadaan oleh pemerintah ini disamping menyangkut pembentukan dan pelaksanaan kontrak, juga terkait dengan prosedur dalam pengadaannya. Prinsip dan norma dalam kontrak privat berlaku secara berdampingan dalam kontrak pengadaan oleh pemerintah karena kewajiban

2

Sogar Simamora, Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Surabaya : Kantor Hukum “WINS & Partners” bekerjasama dengan Laksbang Justitia Surabaya, 2013, hal. 4

3

Charles Tiefer and William A. Shook, Government Contract Law, Carolina Academic Press, Durham, North Carolina, 1999, p. 3

4

(13)

pembayaran melibatkan keuangan negara.5 Sumber pembiayaan dalam kontrak

pengadaan pada umumnya berasal dari keuangan negara dalam hal ini APBN/APBD, disamping dana yang berasal dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN). Bahwa dana-dana ini banyak yang diselewengkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa sudah menjadi pengetahuan umum.6 Dalam beberapa

kasus sengketa kontrak pengadaan terdapat juga isu yang terkait dengan kompetensi absolute. Pangkal tolaknya terletak pada perbedaan pandangan apakah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengikatkan diri ke dalam hubungan kontraktual itu merupakan perbuatan keperdataan atau bukan. Hal ini dapat menimbulkan persoalan karena kontrak yang dibuat oleh pemerintah selalu didahului dengan keputusan tata usaha negara.7 Belum tersedianya

instrumen hukum yang secara khusus mengatur kontrak komersial oleh pemerintah juga merupakan faktor penyebab lemahnya sistem pengadaan.

Prosedur dan standar dalam sistem pengadaan di Indonesia masih banyak mengandung kelemahan. Kelemahan inilah yang membuka peluang terjadinya penyimpangan dalam proses pengadaan dan kontrak pengadaan dengan memanfaatkan celah hukum yang pada akhirnya merugikan keuangan negara.8

Maka hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk memilih judul skripsi “Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Penyediaan Pengemudi Head Truck Angkutan Peti Kemas Antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International

5

Ibid

6

Ibid

7

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hal. 117

8

(14)

Container Terminal Dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat”. Dalam skripsi ini, penulis ingin menganalisis apakah perjanjian yang dibuat oleh PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat seimbang atau sudah sesuai dengan hukum perjanjian.

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat diambil oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan Perjanjian Kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal Dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat?

2. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal, dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat?

3. Bagaimana sanksi atau tindakan hukum yang dilakukan antara PT. Pelabuhan IndonesiaI (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat yang melakukan wanprestasi?

C. Tujuan Penulisan

(15)

Universitas Sumatera Utara dan sebagai tambahanPengetahuan bagi penulis. Namun berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam karya tulis ini antara lain:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan pelaksanaan Perjanjian Kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi KaryawanPelabuhan I Kantor Pusat.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hak dan kewajiban PT. PelabuhanIndonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat sesuai dengan asas-asas hukum perjanjian.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis sanksi atau tindakan hukumyang dilakukan antara PT. PelabuhanIndonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat yang melakukan wanprestasi.

D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis

(16)

untuk menambah literatur atau bacaan dalam bidang hukum Perdata pada umumnya dan perjanjian kerjasama pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan Pemikiran dan bahan masukan untuk penyempurnaan pelaksanaan Perjanjian Kerjasama bagi PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal denganKoperasi Karyawan Pelabuhan I Kantor Pusat dan untuk dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum mengenai pelaksanaan Perjanjian Kerjasama PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi KaryawanPelabuhan I Kantor Pusat.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode penelitian hukumnomatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kalihukum di konsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang- undangan (laws in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggappantas.9 Sedangkan penelitian hukum secara empiris adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti secara langsung dilapangan. Sehingga peneliti berusaha memberikan gambaran

9

(17)

dan menguraikan mengenai prosedur hukum dalam hal Perjanjian Kerjasama antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan KoperasiKaryawan Pelabuhan I Kantor Pusat.

2. Data dan Sumber Data

Di dalam penelitian, lazimnya jenis data dapat dibedakan antara:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh oleh penulis langsung dari sumber pertama.

b. Data Sekunder, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.

c. Data Sekunder terdiri dari:

1) Bahan hukum Primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak-pihak yang berwenang. Bahan-bahan hukum yang mengikat dan di dapat dari peraturan perundang-undangan yaitu KUHPerdata (KUHPerdata); Keputusan Menteri Perdagangan dan KoperasiNomor 34/KP/II/1980 tentang Perizinan Sewa Beli (Hire Purchase), Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa (Renting); Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) NO. 39 tentang Akuntansi Kerjasama Operasi (KSO); UU RI No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan jalan.

(18)

berhubungan dengan topik penulisan skripsi ini buku-buku karangan para Sarjana, hasil penelitian maupun situs internet.

3) Bahan hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum Primer dan bahan hukum Sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.

3. Alat Pengumpulan Data

Penulis mengumpulkan data-data dengan cara:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internetyang isinya berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifatTeoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa data yang dihadapi.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu suatu metode Pengumpulan data-data yang dilakukan dengan cara meneliti langsung dengan mencari data-data-data-data ke lapangan sesuai dengan yang dibutuhkan. Misalnya dengan cara wawancara, dengan menyusun daftar pertanyaan yang diajukan kepada responden. Adapun wawancara yang dilakukan penulis adalah ke PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal sebagai pemegang hak otonomi jasa pengangkutan di Medan.

4. Analisis Data

(19)

dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini di dasarkan atas ide atau gagasan penulis dan telah dilakukan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum USU oleh Petugas Pustaka bahwa judul skripsi yang sama dengan judul“PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA PENYEDIAAN PENGEMUDI HEADTRUCK ANGKUTAN PETI KEMAS ANTARA PT. PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) BELAWAN INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL DENGAN KOPERASI KARYAWANPELABUHAN I KANTOR PUSAT” ini tidak ditemukan dan tidak ada yang mirip. Penulis terjun langsung untuk melakukan penelitian padaPT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal, sehingga sepengetahuan penulis tidak ada judul yang samadengan skripsi ini di lingkungan Fakultas Hukum UniversitasSumatera Utara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tulisan ini adalah asli.

(20)

G. Sistematika Penulisan

Sebagai karya ilmiah penelitian ini memiliki sistematika yang teratur terperinci di dalam penulisannya agar dimengerti dan dipahami maksud dan tujuannya. Tulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab yang akan diperinci lagi dalam subbab, adapun kelima bab itu terdiri dari:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menyajikam tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian dan azas hukum perjanjian yang terdapat dalam buku hukum perjanjian dan membahas subjek dan objek dari perjanjian serta berakhirnya suatu perjanjian tersebut.

BAB III : HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PT. PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) BELAWAN INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL DENGAN KOPERASI KARYAWAN PELABUHAN I KANTOR PUSAT

Pada bab ini penulis mengemukakan tentang hak dan kewajiban antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan

(21)

BAB IV : PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA PT. PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) BELAWAN INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL DENGAN KOPERASI KARYAWAN PELABUHAN I KANTOR PUSAT Pada bab ini diuraikan tentang pelaksanaan perjanjian kerjasama

antara PT. Pelabuhan Indonesia I (PERSERO) Belawan International Container Terminal dengan Koperasi Karyawan

Pelabuhan I Kantor Pusat. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(22)

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian, Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian, Dan Azas-Azas Hukum Perjanjian

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, pengertian perjanjian dapat didefinisikan sebagai berikut “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.10

Bahwa dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Dalam hal ini dari suatu perjanjian lahir kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas suatu prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi dalam hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu terdapat dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas suatu prestasi tersebut (kreditor).11

Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menurut penulis adalah sebagai berikut:

“Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan

10

Handri Raharjo, Hukum perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2009, hal. 41

11

(23)

di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.12”

Pembedaan perjanjian secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat

hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.

2. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Misalnya, perjanjian bernama.13

Dalam perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata. Dalam perjanjian dikenal adanya 3 unsur yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata, yaitu:

a. Unsur esensilia

Unsur esensilia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.

12

Handri Raharjo, Op. Cit., hal. 42 13

(24)

b. Unsur naturalia

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensilianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensilia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

c. Unsur aksidentalia

Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.14

Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu15:

1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu pokok persoalan tertentu;

4) Suatu sebab yang tidak terlarang.

Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:

a) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

14

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 85. 15

(25)

b) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Sebagai berikut adalah penjelasan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif yaitu :

ad.a) Syarat Subyektif

Seperti telah dikatakan di atas bahwa syarat subyektif sahnya perjanjian, digantungkan pada dua macam keadaan:

(1) Terjadinya kesepakatan secara bebas di antara para pihak yang mengadakan atau melangsungkan perjanjian.

(26)

itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/ diketahui orang lain”.16

Kesepakatan bebas di antara para pihak di antara para pihak ini pada prinsipnya adalah pengejawantahan dari asas konsensualitas yang telah penulis bahas dalam uraian Bab II di atas. Dalam uraian Bab ini akan dibahas masalah pelanggaran terhadap kesepakatan lisan yang diatur dalam ketentuan Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yang lengkapnya berbunyi17:

“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksankan.

Dalam perjanjian konsensuil, KUHPerdata menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga menerbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut. Dengan lahirnya perikatan di antara para pihak yang bersepakat tersebut, KUHPerdata membebankan kewajiban kepada debitor dalam perikatan untuk memberikan penggantian berupa, rugi dan bunga atas ketidakpemenuhannya, menurut pasal-pasal berikut di bawah ini.

16

Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2004, hal. 23

17

(27)

Pasal 1236

“Debitor wajib member ganti biaya, kerugian dan bunga kepada

kreditor bila ia menjadikan dirinya tidak mampu untuk

menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya dengan

sebaik-baiknya untuk menyelamatkannya.”

Pasal 1239

Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian

biaya, kerugian dan bunga, bila debitor tidak memnuhi

kewajibannya.

Pasal 1242

Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka

pihak mana pun yang berbuat bertentangan dengan perikatan itu,

karena pelanggaran itu saja, diwajibkan untuk mengganti biaya,

kerugian dan bunga.18

(2) Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang berjanji.

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat

18

(28)

dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak.

Tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian-perjanjian adalah: (a) Anak yang belum dewasa.

Pada dasarnya setiap orang, sejak dilahirkan, adalah subyek hukum, suatu persona standi in judicio, dengan pengertian bahwa setiap orang adalah

pendukung hak dan kewajibannya sendiri. Walau demikian tidaklah berarti setiap orang yang telah dilahirkan dianggap mampu mengetahui segala akibat dari suatu perbuatan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 330 Kitab KUHPerdata dinyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.”19

Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan oarng tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, bagian keempat, bagian kelima, dan bagian keenam Bab ini”.

19

(29)

Ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:

1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia: a. Telah berumur 21 tahun; atau b. Telah menikah;

Hal kedua tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

2. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).

Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang dalam rumusan Pasal 50 dinyatakan bahwa:

1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

(30)

Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut:

1. Jika seseorang

a. Telah berumur 18 tahun; atau b. Telah menikah;

c. Seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

2. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).

(b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.

Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan bahwa20:

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.

20

(31)

Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya”

Selanjutnya ketentuan Pasal 436 KUHPerdata dinyatakan bahwa “segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam.”21 ad.b) Syarat Obyektif

Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:

1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.

Mengenai syarat ketiga ini, undang-undang menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian. Selanjutnya, dikatakan bahwa, barang itu harus barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya atau een bepaalde onderwerp. Bagaimana halnya apabila barang yang dijadikan objek perjanjian itu jumlahnya belum tentu, misalnya hasil panen padi suatu sawah di musim panen pada tahun mendatang. Menurut undang-undang hal ini tidak tidak menjadi halangan, asalkan jumlah barang itu kemudian ditentukan atau dihitung.

Bahkan hasil panen ini merupakan barang yang baru akan ada kemudian, namun dapat dijadikan objek perjanjian dan ini adalah sah. Tentu saja dalam hal ini, sawah yang dimaksud sekurang-kurangnya sudah ditentukan letak dan luasnya serta saat panennya tiba. Jadi, suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah paling sedikit ditentukan jenisnya, atau asalkan kemudian jumlahnya dapat ditentukan

21

(32)

atau dihitung. Sebab apabila suatu objek perjanjian tidak tertentu, yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya, perjanjian yang demikian adalah tidak sah.22

KUHPerdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut23:

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUHPerdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud.

Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata, juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat.

2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setia perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa:

22

I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Jakarta : Kesaint Blanc, 2007, hal. 49 23

(33)

“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.”

KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah: 1. Bukan tanpa sebab;

2. Bukan sebab yang palsu; 3. Bukan sebab yang terlarang.

Oleh karena itu, maka selanjutnya dalam Pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan lebih lanjut bahwa:

“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu adalah sah.”

Dengan membatasi sendiri, rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa24:

“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”

Salim H. S menyatakan : syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut

24

(34)

objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Akan tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada. 25

Dengan demikian berarti apa yang disebut dengan sebab (yang halal) dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUHPerdata tidak lain dan tidak bukan adalah prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak.26

Di dalam Hukum Perjanjian terdapat beberapa azas-azas hukum perjanjian yaitu, sebagai berikut:

1. Azas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi); 2. Azas konsensualisme (persesuaian kehendak);

3. Azas kepercayaan;

4. Azas kekuasaan mengikat; 5. Azas persamaan hukum; 6. Azas keseimbangan; 7. Azas kepastian hukum; 8. Azas moral;

25

Salim H. S. Op. Cit, hal. 25 26

(35)

9. Azas kepatutan; 10.Azas kebiasaan.27

Ad. 1. Asas kebebasan berkontrak

“Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah azas esensial dari Hukum Perjanjian. Azas ini dinamakan juga azas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan adanya perjanjian.

Dengan demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya milik KUHPerdata, akan tetapi bersifat universal. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.

Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Di dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa segi yaitu:

- Dari segi kepentingan umum - Dari segi perjanjian baku (standard) - Dari segi perjanjian dengan pemerintah.

27

(36)

Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan. Istilah “semua” di dalamnya terkandung – asas partij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract vrijheid –

memasang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk kontrak standar.28

Ad. 2. Konsensualisme

Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah (garis bahwa oleh penulis) berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Di dalam Pasal 1320

BW terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan “ada”-nya perjanjian (raison d’etre, het bestaanwaarde). Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling

mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.

Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari ketentuan Pasal 1320 BW angka 1 (tentang kesepakatan atau toestemming), yang menyatakan bahwa perjanjian itu lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang

28

(37)

menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang yang beritikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan.” Pada akhirnya pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku sekedar mendasarkan pada kata sepakat saja, tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 BW dianggap telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah.29

Ad. 3. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus saling dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.

Ad. 4. Asas kekuatan mengikat

Kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang mencerminkan nilai-nilai kepercayaan di dalamnya. Menurut Eggens manusia terhormat akan memelihara janjinya. Sedang Grotius mencari dasar konsensus dalam ajaran Hukum Kodrat bahwa “janji itu mengikat” (Pacta Sunt Servanda), karena “kita harus memenuhi janji kita” (Promissorum implendorum obligatio). 30

Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi

29

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta : Prenada Media Group, 2011, hal. 120

30

(38)

juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.

Ad. 5. Asas persamaan hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dll. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Ad. 6. Asas keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.31

Ad. 7. Asas kepastian hukum

Asas ini menghendaki bahwa perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

31

(39)

Ad. 8. Asas moral

Asas ini menghendaki bahwa dalam perjanjian terdapat suatu perikatan yang wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra-prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya dan asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata.

Ad. 9. Asas kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Dan asas kepatutan di sini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

Ad. 10. Asas kebiasaan

Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.

(40)

Pasal 1347 KUHPerdata mengatakan pula hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) dianggap secara diam-diam dimasukan di dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.

Dari kedua ketentuan ini dapatlah disimpulkan bahwa elemen-elemen dari perjanjian adalah:

1. Isi perjanjian itu sendiri 2. Kepatutan

3. Kebiasaan 4. Undang-undang.

Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUHPerdata adalah kebiasaan pada umumnya (gewoonte) dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 KUHPerdata ialah kebiasaan setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu (bestending gebruikelijk beding).32

B. Pengertian Perjanjian Kerjasama Dan Pengaturan Hukum Tentang Perjanjian Kerjasama

Pengertian perjanjian kerjasama adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih di mana masing-masing sepakat untuk melakukan sesuatu usaha bersama dengan menggunakan asset dan/atau hak usaha yang di miliki dan secara bersama-sama menanggung risiko usaha tersebut (PSAK No. 39).

Pemilik Asset adalah pihak yang memiliki asset atau hak penyelenggaraan usaha tertentu yang di pakai sebagai objek atau sarana kerjasama. Investor adalah pihak dana, baik seluruh atau sebagian, untuk memungkinkan Asset atau hak

32

(41)

usaha pemilik asset di berdayakan atau di manfaatkan dalam kerjasama. Investor dapat memiliki pengendalian atas asset dan operasi kerjasama, bisa pula tidak, tergantung dari bentuk kerjasama yang ada di dalam suatu perjanjian. Asset kerjasama adalah asset tetap yang di bangun atau yang di gunakan untuk menyelenggarakan kegiatan perjanjian kerjasama. Pengelola perjanjian kerjasama adalah pihak yang mengoperasikan asset. Pengelola perjanjian kerjasama mungkin memiliki asset, mungkin investor, mungkinjuga pihak lain yang di tunjuk. Masa konsensi adalah jangka waktu di mana investor dan pihak asset masih terikat dengan perjanjian bagi hasil atau bagi pendapatan atau bentuk pembayaranlain yang tercantum di dalam perjanjian kerjasama.33

Pengaturan hukum tentang perjanjian kerjasama diatur dalam buku III KUHPerdata yaitu:

Pasal 1233

“Tiap-tiap perikatann di lahirkan baik karena persetujuan baik

karena undang-undang.”

Buku III KUHPerdata tidak memberikan suatu rumus dari perikatan. Menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut rumus bahwa perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

Dari rumus di atas kita lihat bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yaitu:

33

(42)

1. Hubungan hukum 2. Kekayaan

3. Pihak-pihak 4. Prestasi.34

Pasal 1234

“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk

berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”

Pasal 1235

“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu termaksud

kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang

bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak

rumah yang baik, sampai pada saat menyerahkan”.

Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas

terhadap persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibat-akibatnya

mengenai hal ini akan di tunjuk dalam bab-bab yang

bersangkutan”.

Pasal 1236

“Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan

bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya

dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya,

34

(43)

atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna

menyelamatkannya”.

Pasal 1237

“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan

tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah

tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan

menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan

adalah atas tanggungannya”.

Pasal 1238

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi

perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang

akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang

ditentukan”.

Bagian Ketiga

Tentang perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu

Pasal 1239

“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apbila si berutangtidak memenuhi kewajibannya,

mendapatkan penyelesaian dalam kewajiban memberikan

(44)

Pasal 1240

“Dalam pada itu berpiutang adalah berhak menunut akan

penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan

perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim

untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat

tadi di atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak

menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk

itu”.

Pasal 1241

“Apabila perikatan tidak dilaksankan, maka siberpiutang boleh

juga dikuasakan supaya ia sendirilah mengusahakan

pelaksanaannya atas biaya si berutang”.

Pasal 1242

“Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka

pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan

perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itupun saja,

berwajiblah ia akan penggantian biaya, rugi dan bunga”.

Bagian Keempat

(45)

Pasal 1243

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu

periktan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi

perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus

diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau di buat

dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”.

C. Subjek Dan Objek Perjanjian

Subjek perjanjian dalam tiap-tiap perjanjian ada dua macam subjek, yaitu kesatu seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu dan kedua seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu.35

Subjek yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau diperbatasi dalam melakukan perbuatan hukum yang sah, seperti pailit, peraturan tentang orang perempuan berkawin menurut KUHPerdata (Pasal 108 dan Pasal 109) dan sebagainya.

Sebagai ukuran, bahwa seorang adalah sudah dewasa, Hukum Adat tidak mengenal suatu umur tertentu, melainkan pada umumnya memakai pengertian “dapat hidup sendiri” atau “akil-balig”, dan biasanya orang-orang yang dianggap

35

(46)

“akil-balig” ini, berumur 16 atau 18 tahun atau sudah kawin dan berdiam sendiri, tidak bersama-sama dengan orang tuanya.

Bagi orang Indonesia asal ada suatu ordonansi, termuat dalam Staatsblad 1931-54, yang menetukan:

1. Kalau dalam peraturan undang-undang (wettelijke voorschriften) terpakai perkataan “minderjarig” (belum dewasa), maka ini bagi orang-orang Indonesia asli berarti “berumur kurang dari 21 tahun dan belum kawin.

2. Apabila perkawinan terjadi sebelum usia 21 tahun dan kemudian dipecahkan sebelum usia itu juga, yang bersangkutan tetap dianggap sudah dewasa.

3. Perkawinan antara kanak-kanak (kinderhuwelijk) tidak masuk istilah “perkawinan”.36

Sebabnya orang yang belum dewasa dan orang yang tidak sehat pikirannya dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, ialah bahwa pada umumnya dapat dikhawatirkan, kalau-kalau orang itu terjerumus dalam perangkap yang disediakan oleh pihak lain dalam pergaulan hidup. Maka untuk kepentingan orang-orang itu sendirilah adanya anggapan ketidak sanggupan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah. Dan juga mereka toh membikin suatu perjanjian dengan orang lain, hanya mereka sendiri dan bukannya pihak lawan diberikan hak untuk minta pembatalan dari perjanjian itu. Dengan demikian persetujuan semacam itu pelaksanaannya selalu tergantung dari apa maunya pihak yang belum dewasa atau pihak yang berada dalam pengawasan curatele yaitu mau

36

(47)

melaksanakan atau mau minta pembatalan dari persetujuan yang bersangkutan. Kontrak semacam ini dinamakan kontrak pincang (hinkend contract).

Menurut Dr. L. C. Hofmann dalam buku karangannya “het Nederlandsch Verbintenissenrecht” jilid ke-1 cetakan ke-6 halaman 242, hanya satu kali

undang-undang menentukan pencabutan ini, yaitu dalam Pasal 432 ayat 2 BW yang menentukan, apabila seorang yang berusia 20 tahun, dengan Penetapan Pemerintah disamakan dengan orang dewasa, tetapi maka pencabutan ini tidak berlaku bagi seorang ketiga, artinya: persetujuan yang diadakan antara orang dewasa ini dan orang ketiga itu, tidak dapat diminta pembatalannya.37

Objek perjanjian adalah kebalikannya dari subjek. Kalau dari uraian diatas kiranya dapat terang, bahwa subjek dalam suatu perjanjian anasir, yang bertindak, yang actief, maka objek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlukan oleh subjek itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang dimaksudkan dengan membentuk suatu perjanjian. Oleh karena itu, objek dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialah: hal yang diwajibkan kepada pihak-berwajib (debitur), dan hal, terhadap mana pihak-berhak (kreditur) mempunyai hak.

Kalau perhubungan hukum perihal perjanjian ini mengenai suatu benda, misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, gadai-menggadai, pinjam-meminjam pemberian hadiah dan lain sebagainya, maka objek dari berbagai perjanjian itu lebih terang terwujudnya, yaitu benda yang bersangkutan itu. Contoh-contoh dari perjanjian yang objeknya tidak berupa suatu benda, adalah

37

(48)

perjanjian-perburuhan pemeliharaan anak (verzorgingscontract) dari daerah Minahasa, penanggungan (borgtocht), “dading” dari Pasal 1851 KUHPERDATA, penyuruhan (lastgeving). Tetapi secara tidak langsung perjanjian-perjanjian ini sedikit banyak juga mungkin sekali mengenai harta benda juga.

Seperti halnya seorang manusia harus memenuhi syarat-syarat untuk menjadi subjek dari suatu perjanjian, maka suatu benda juga harus memenuhi syarat untuk dapat menjadi objek dari suatu perjanjian. Sampai dimana sebidang tanah dapat menjadi objek suatu perjanjian di daerah pedalaman tergantung pada kuat atau kurang kuatnya kekuasaan desa terhadap tanah didalam lingkungannya (beschikking strecht). Yang sama sekali tidak dapat menjadi objek suatu perjanjian ialah tanah-tanah yang oleh desa diperuntukkan guna kepentingan umum seperti jalan raya, tanah kuburan, tanah di sekitar mesjid, tanah di sekitar Balai-desa untuk rapat-desa dan lain-lain sebagainya. Juga ada perbedaan, apabila perjanjian diadakan antara orang-orang warga dari desa itu atau orang-orang bukan warga.

(49)

jalan-jalan raya, pantai, sungai-sungai, pulau, pulau-pulau dalam sungai, pelabuhan dan berbagai bangunan yang diperlukan untuk pertahanan Negara.

Pasal 1333 KUHPERDATA menyebutkan suatu syarat lagi bagi benda agar dapat menjadi objek suatu perjanjian, yaitu benda itu harus tertentu, paling sedikit tentang jenisnya. Jumlah benda itu tidak perlu ditentukan dahulu, asal saja kemudian dapat ditentukan.

Menurut Pasal 1334 ayat 1 KUHPERDATA barang-barang yang seketika belum ada (teekomstige zaken) dapat menjadi objek suatu perjanjian. Istilah “belum ada” dapat berarti mutlak (absolut) seperti halnya orang menjual padinya yang baru akan ditanam dalam tahun depan.

Ayat 2 dari Pasal 1334 KUHPERDATA melarang seorang membikin suatu perjanjian tentang barang-barang yang akan masuk hak warisnya, kalau seorang lain akan meninggal dunia, meskipun dengan izin orang yang akan meninggalkan barang-barang warisan itu. Agaknya kesusilaanlah yang mendorong Pembentuk undang-undang untuk mengadakan larangan ini. Larangan ini merupakan suatu kekecualian dari penuntutan ayat 1, yang memperbolehkan persetujuan tentang barang-barang yang “belum ada”. Burgerlijk Wetboek dalam Pasal 503 mengenal pembagian benda menjadi benda bertubuh (lichamelijke zaken) dan benda tak bertubuh (onlichamelijke zaken). Istilah benda tak bertubuh

(50)

ternyata, bahwa yang dinamakan benda tak bertumbuh itu ialah hak atas barang bertubuh.38

D. Berakhirnya Suatu Perjanjian 1. Hapusnya Perjanjian.

Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena:

a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu.

b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata).

c. Salah satu pihak meninggal dunia.

d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian.

e. Karena putusan hakim.

f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek perjanjian atau prestasi.

g. Dengan persetujuan para pihak.

Dengan demikian maka menurut penulis, pembedaan cara hapusnya perikatan dengan perjanjian tidaklah terlalu penting karena cara

38

(51)

berakhirnya perikatan yang tertulis dalam Pasal 1381 KUHPerdata merupakan cara-cara yang ditunjuk oleh pembentuk undang-undang.39 2. Tentang hapusnya perikatan-perikatan dalam perjanjian

Buku III 3 dari KUHPerdata berkepala “Pemusnahan perjanjian” dan pasal pertama yaitu Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara pemusnahan perjanjian, yaitu:

Ke 1 : karena pembayaran;

Ke 2 : karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan; Ke 3 : karena pembaharuan hutang;

Ke 4 : karena perjumpaan hutang dan kompensasi; Ke 5 : karena percampuran hutang;

Ke 6 : karena pembebasan hutang;

Ke 7 : karena musnahnya barang yang terhutang; Ke 8 : karena kebatalan atau pembatalan;

Ke 9 : karena berlakunya syarat-batal; Ke 10 : karena kadaluwarsa (verjaring). Pembayaran

Hal ini adalah yang paling penting, oleh karena mengenai betul-betul pelaksanaan perjanjian. Maka hal pembayaran ini oleh KUHPerdata diatur dalam tidak kurang dari 22 Pasal (Pasal-pasal 1382 s/d 1403).

Pasal-pasal 1382, 1383, dan 1384 menentukan siapa yang dapat melakukan pembayaran secara sah, yaitu

39

(52)

1. Menurut Pasal 1382 :

a. si pihak-berwajib sendiri atau seorang yang menanggung hutangnya (borg),

b. seorang lain yang melakukan pembayaran “atas nama” dan untuk membebaskan “pihak –berwajib”.

2. Menurut Pasal 1383 :

Apabila kewajiban si berwajib berupa melakukan perbuatan tertentu, pelaksanaanoleh orang lain hanya dapat dengan izin pihak berhak; 3. Menurut Pasal 1384 :

Apabila kewajiban si berwajib berupa menyerahkan suatu barang kepada pihak-berhak, maka ada dua syarat untuk pembayaran, yaitu: ke 1 pihak-berwajib harus sendiri mempunyai hak-milik atas barang itu, ke 2 ia harus pada umumnya diperbolehkan oleh Hukum untuk melakukan perbuatan-hukum secara sah.

Pasal-pasal 1385, 1386 dan 1387 KUHPerdata menyebutkan syarat-syarat bagi pihak yang menerima pembayaran, yaitu menurut Pasal 1385 ayat 1.

Ke 1 pihak berdiri-sendiri,

Ke 2 seorang yang mendapat kuasa dari pihak-berhak,

Ke 3 seorang yang dikuasakan oleh Hakim atau oleh undang-undang.

Pasal-pasal ini pun saya rasa, tidak ada halangan untuk diberlakukan dalam Hukum Adat.

(53)

b. Tempat pelaksanaan perjanjian (Pasal 1393),

c. Pembuktian-pembayaran (Pasal-pasal 1394 s/d 1399),

d. Subrogasi atau penggantian pihak-berhak (Pasal-pasal 1400 s/d 1403). Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan

Hal ini diatur dalam pasal-pasal 1404 s/d 1412 KUHPerdata dan dalam pasal-pasal 809 s/d 812 Reglement Burgerlijke Rechtvordering (RV).

Pernyataan sedia membayar dari pihak-berwajib adalah salah satu usaha untuk menghindarkan kesulitan, apabila pelaksanaan perjanjian dihalang-halangi oleh pihak-berhak.

Pokok dari peraturan KUHPerdata tentang penawaran pembayaran ini terletak pada Pasal 1404 ayat 2 KUHPerdata yang mengatakan, kalau pernyataan sedia membayar ini telah di-ikuti dengan suatu penitipan barang secara yang ditetapkan pula oleh undang-undang, maka bebaslah pihak berwajib dari kewajibannya, dan dianggap seolah-olah telah terjadi suatu pembayaran yang sah.

Begitu juga mengenai pembaharuan-hutang, perjumpaan-hutang dan percampuran-hutang (pasal-pasal 1413 s/d 1437 KUHPerdata).

Pembebasan hutang

(54)

Hanya saja, oleh karena adalah luar biasa, kalau seorang pihak-berhak tidak lagi menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian, maka adalah layak penentuan dalam Pasal 1438 KUHPerdata, bahwa pembebasan hutang tidak boleh dikira-kirakan saja (voorondersteld), melainkan harus dibuktikan.

Pembuktian ini tentunya dapat secara yang biasa menurut undang-undang Pasal 1439 KUHPerdata menentukan tentang hal ini, bahwa pengembalian surat tanda-hutang oleh pihak-berhak kepada pihak-berwajib, membuktikan, bahwa ada pembebasan hutang, juga terhadap para kawan-debitur yang turut tanggung-menanggung.

Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPERDATA mengenai hal adanya beberapa debitur, yang tanggung-menanggung atau hal adanya seorang penanggung (borg). Kalau seorang penanggung membayar kepada kreditur dengan maksud untuk hanya dibebaskan dari penanggungan saja, maka ini tidak diperbolehkan oleh Pasal 1443 KUHPerdata yang menentukan, bahwa kalau ini terjadi, pembayaran itu dikurangkan dari jumlah hutang.

Pasal 1441 KUHPerdata menentukan, pengembalian barang yang digadaikan kepada pemilik barang, tidak dapat menimbulkan pengiraan (vermoeden), bahwa hutang yang diteguhkan dengan pemberian gadai (pand) itu, dibebaskan.

Musnahnya barang yang terhutang

(55)

Pasal 1444

“Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka haruslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berhutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.”

Pasal 1445

“Jika barang yang terhutang, diluar salahnya si berhutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berhutang jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti-rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan member hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang menghitungkan padanya, saya rasa Hukum Adat dapat menerima peraturan KUHPERDATA ini.” Kebatalan atau pembatalan perjanjian

Ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga.

Batal mutlak adalah suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan cara (vorm) yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang, misalnya suatu penghibahan menurut KUHPerdata yang tidak dilakukan oleh akta-notaris 1682 KUHPerdata

(56)

Pembatalan tak mutlak ini dapat dibagi menjadi dua macam:

Ke-1 : pembatalan atas kekuatan sendiri (nietig serta van rechtswegenietig), maka para Hakim diminta supaya menyatakan batal, misalnya

dalam hal perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa (lihat pasal 1446 KUHPerdata )

Ke- 2 : pembatalan belaka oleh Hakim (vernitigbaar), yang putusannya harus berbunyi: membatalkan, misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan atau penipuan (lihat pasal 1449 KUHPerdata )

Perbedaan yang nyata diadakan oleh KUHPerdata antara dua macam pembatalan ini dapat dilihat dari kata-kata yang terpakai dalam Pasal 1446 dan Pasal 1449 KUHPerdata Pasal 1446 mengatakan, bahwa perjanjian yang dimaksudkan di situ, dapat dinyatakan batal atas suatu tuntutan; dan tuntutan ini dapat dilakukan secara gugatan atau dalam suatu perlawanan (exceptie). Dalam Pasal 1449 dikatakan, bahwa perjanjian yang dimaksudkan disitu, hanya dapat dibatalkan atas suatu gugatan (rechtsvordering).

Sedang Pasal 1450 KUHPerdata mengatakan, bahwa pembatalan perjanjian, yang berdasar atas hal merugikan suatu pihak, tidak selalu diperbolehkan, melainkan hanya dalam hal-hal yang ditentukan dan diatur dalam peraturan khusus. Pasal-pasal lain dari KUHPerdata tentang pembatalan perjanjian, yaitu Pasal-Pasal 1447, 1448, 1450 s/d 1456.

Daluwarsa atau lampau waktu (verjaring)

Burgerlijk wetboek mengenal dua macam daluwarsa selaku cara

(57)

Ke-1 lampau-waktu selama 30 tahun segala perikatan tentu yang disebutkan dalam undang-undang.

Ke-2 lampau-waktu pendek dalam beberapa macam perhubungan-hukum tertentu yang disebutkan dalam undang-undang.

Alasan untuk mengadakan peraturan semacam ini ialah untuk melenyapkan keadaan keragu-raguan dalam suatu hubungan-hukum, dan juga berhubung dengan hal, bahwa apabila selama tiga puluh tahun tidak ada persoalan apa-apa dan baru sesudah lampau waktu yang panjang itu dimajukan soal siapakah yang sebenarnya ada berhak atau berkewajiban, maka sukar sekali untuk mendapatkan bukti-bukti yang jitu guna menegakkan atau merobohkan hak-hak atau kewajiban-kewajiban itu dan yang dapat dipercaya ketepatannya. 40

40

(58)

HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA PT. PELABUHAN INDONESIA I (PERSERO) BELAWAN INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL

DENGAN KOPERASI KARYAWAN PELABUHAN I KANTOR PUSAT

A. Tentang Pelabuhan Indonesia I Pada Umumnya dan BICT

Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, serta peraturan pelaksanaannya.

Pengertian di atas menunjukkan adanya lima unsur dalam pengertian Perseroan Terbatas itu, yakni:

1. PT merupakan badan hukum;

2. PT didirikan berdasarkan perjanjian; 3. PT melakukan kegiatan usaha;

4. Modal dasar PT terbagi dalam saham-saham; 5. PT harus memenuhi persyaratan undang-undang.41 a. Maksud, Tujuan, dan Bidang Usaha PT

Sebenarnya tujuan didirikan perusahaan PT ini adalah untuk mencari keuntungan/ laba. Maksud, tujuan, dan bidang usaha ya

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Penulisan ilmiah ini penulis akan mengaplikasikan biaya rawat inap pada Rumah Sakit WS dengan menggunakan program foxbase, dimana tujuannya adalah agar para karyawannya

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan sebagai ucapan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis

Analisis data menggunakan analisis deskriptif persentase dan analisis regresi ganda.Analisis deskriptif persentase menunjukkan kepemimpinan kepala sekolah kategori cukup

Konvensi Nasional Vl APTEKINDO dan Temu Karya XVll FT/FPTK-JPTK se-lndonesia. Diselenggarakan

yong diselenggorukon oleh 0irektorol P2TK, Direktorol Jendernl Pendidikon Menengoh, Kemenlaritn Pendidikon dan Kehudoyton. bekeriosomo dengon fukultss Teknik UNY, pndo

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Tim Koordinasi Penataan Keindahan dan

menganalisa efek biologi (farmakodinamik) dari masing masing bahan dan nasib obat tersebut didalam tubuh.(farmakoinetik), memastikan dosis yang tepat dan tetap dalam pengobatan