• Tidak ada hasil yang ditemukan

The economic impact of High Conservation Value Areas (HCVA) management on palm oil estate (Case study: PT Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Riau Province).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The economic impact of High Conservation Value Areas (HCVA) management on palm oil estate (Case study: PT Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Riau Province)."

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(3)

(HCVA) management on palm oil estate (Case study: PT Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Riau Province). Under the supervision of YUSMAN SYAUKAT, DODIK R. NURROCHMAT and NYOTO SANTOSO.

The global demand for palm oil was growing rapidly. Palm oil was consumed world wide and constituted the vegetable oil with the highest level of market penetration. Indonesia was the largest producer of palm oil in the world while Malaysia was the leading exporter of palm oil, accounting for 46% of global exports. The production of palm oil was associated with many sustainability issues, including deforestation, erosion of biodiversity and violation of social rights. The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) as the concern these issues of European driven initiative of the World Wide Fund for Nature (WWF). The palm oil estate was rarely focused on the cost and benefit analysis in calculating the economic valuation and financial projection on High Concervation Value Area (HCVA) as the prerequirement of RSPO certification. This research was done to analyze the economic impact of HCVA management in palm oil estate. The research spent for three month in PT IIS (Riau). The method was used; The Total Economic Value (TEV) analysis, the cost benefit analysis, the financial and economic analysis, and the stakeholder analysis on managing HCVA. Based on this calculation, the amount of TEV showed Rp 1.321.847.970,00 per year for PT IIS Kebun Buatan. There were three scenarios used; with HCVA, (NPV: Rp 655.616.430.602,00), with HCVA+0.35% (NPV: Rp 664.005.845.480,00) and without HCVA (NPV : Rp 667.346.030.004,00). Premium price for 0.35% was not feasible for the palm oil Industry. The stakeholder analysis showed the palm oil industry, GAPKI and Sawit Watch as the key players for the HCVA management.

(4)

RINGKASAN

MUSTAGHFIRIN. Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value Area (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau). Dibimbing oleh : YUSMAN SYAUKAT, DODIK R. NURROCHMAT and NYOTO SANTOSO.

Permintaan global terhadap minyak kelapa sawit tumbuh secara cepat. Tingginya permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh peralihan pola konsumsi dunia dari lemak-trans. Minyak kelapa sawit dikonsumsi di seluruh dunia dan memiliki tingkat penetrasi pasar tertinggi. Peningkatan permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit menimbulkan konsekuensi berupa perluasan areal untuk perkebunan kelapa sawit, meskipun melalui konversi hutan. Hal ini mendorong munculnya isu keberlanjutan seperti deforestasi, loss biodiversity, dan perubahan iklim terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit. Isu lingkungan yang paling kuat terkait dengan perkebunan kelapa sawit adalah konversi hutan bernilai konservasi tinggi.

Kepedulian kalangan pengusaha dan pebisnis di sektor minyak kelapa sawit terhadap isu keberlanjutan ditunjukkan melalui kesediaan mereka melakukan pertemuan dengan membentuk RSPO. RSPO merupakan organisasi yang mengelola penetapan standar sertifikasi perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dengan mensyaratkan pengelolaan High Conservation Values (HCV) atau Nilai Konservasi Tinggi (NKT) yang ada (Panduan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi 2008). Pengelolaan HCVA memberikan dampak ekonomi bagi perusahaan dan masyarakat. Hal ini terkait penurunan produksi TBS dan biaya pengelolaan HCVA. Perkebunan kelapa sawit yang sudah tersertifikasi RSPO belum mendapatkan harga kompensasi (premium price) yang layak dan adil. Hal inilah menjadi permasalahan bagi palm oil grower selaku sebagai pengelola HCVA.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan analisis dampak ekonomi dari pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit dari penelitian ini adalah. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Mengestimasi nilai ekonomi kawasan High Conservation Values Area (HCVA), (2) Menganalisis dampak ekonomi dan finansial pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit, (3) Mengevaluasi pengaruh perubahan harga (premium price), biaya dan luasan areal perkebunan kelapa sawit akibat pengelolaan HCVA dan (4) memformulasikan strategi kebijakan pengelolaan HCVA dalam rangka mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan pada April-Juni 2012 yang berlokasi di Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS KB, Kabupaten Pelelawan, Provinsi Riau.

(5)

dengan kontribusi terbesar (90.97%). Nilai tersebut tentu saja memberikan kontribusi terbesar pada penjumlahan TEV HCVA PT. IIS Kebun Buatan yang disebabkan karena tingginya penggunaan sumberdaya air yang dihasilkan oleh sungai Laniago dan Kerinci untuk kebutuhan dua pabrik dan pemukiman karyawan. Nilai guna tidak langsung diestimasi sebesar Rp 78.276.380,00 per tahun dan nilai pilihan hanya

sebesar Rp 1.625.260,00 per tahun, sedangkan nilai keberadaan sebesar Rp 39.440.520,00 per tahuan (WTP masyarakat). Nilai Ekonomi Total (TEV)

HCVA di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar Rp 1.321.847.970,00 per tahun atau sebesar Rp 14.693.730,00 per ha/tahun.

Analisis finansial untuk pilihan without HCVA memberikan nilai NPV sebesar Rp 667.346.030.004,00 per siklus (IRR sebesar 43.29% dan BCR sebesar 1.38). Perusahaan sawit PT. IIS Kebun Buatan jika melakukan pengelolaan with HCVA+0.35 % secara finansial perusahaan tersebut juga sangat layak dengan nilai NPV sebesar Rp 664.005.845.480,00 per siklus dan nilai IRR sebesar 43.21% dan BCR 1.38. Hal yang sama ditunjukkan dengan pilihan with HCVA tanpa harga

premium juga sangat menguntungkan dengan nilai NPV sebesar Rp 655.616.430.602,00. Pilihan pengelolaan perkebunan kelapa sawit with

HCVA+0.3% dan without HCVA menunjukkan adanya selisih penerimaan sebesar Rp 3.340.184.524,00 per siklus. Hal ini menunjukkan bahwa harga premium sebesar 0.35% tidak bisa mengkompensasi kehilangan pendapatan akibat pengelolaan HCVA.

Analisis dampak ekonomi yang disebabkan oleh pengelolaan HCVA adalah hilangnya pendapatan masyarakat diestimasi sebesar Rp 410.040.000,00 per siklus dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 13 orang yang dapat dikalkulasikan sebesar Rp 1.048.752.000,00 per siklus di perkebunan PT. IIS Kebun Buatan. Internalisasi TEV HCVA, biaya HCVA, dan dampak ekonomi wilayah sangat berpengaruh terhadap hasil analisis biaya manfaat pengelolaan HCVA. Internalisasi TEV dan manfaat sosial yang hilang memberikan net befit untuk pilihan HCVA with+0.35% sebesar Rp 672.413.523.081,00 per siklus, sedangkan pilihan without HCVA sebesar Rp 667.346.030.004,00 per siklus. Hal ini menunjukkan pilihan pengelolaan with HCVA+0.35% dengan internalisasi TEV dan manfaat sosial yang hilang sangat layak.

Analisis stakeholder menempatkan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, Sawit Watch dan GAPKI sebagai key player dalam pengelolaan HCVA. Ketiga stakeholder tersebut memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam pengelolaan HCVA sebagai bagian persyaratan sertifikasi RSPO. Strategi kebijakan pengelolaan yang sudah diformulasikan sebagai berikut: a) Tanggung jawab pengelolaan HCVA diserahkan kepada perusahaan perkebunan selaku pemegang hak atas tanah; b) Pengelolaan HCVA membutuhkan partisipasi multi pihak; c) memberikan dukungan harga kompensasi yang rasional dan layak bagi perusahaan dan kebun sawit plasma tersertifikasi berkelanjutan dengan mekanisme PES; d) Mendorong Peningkatan Status HCVA sebagai Kawasan Lindung; e) meningkatkan performance pengelolaan HCVA.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

(7)

Provinsi Riau)

MUSTAGHFIRIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Magister Sains pada

Program Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul : Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau)

NIM : H351100081

Tanggal Ujian : 06 Agustus 2012 Tanggal Lulus : Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc. F.Trop Anggota I

Dr. Ir. Nyoto Santoso, M.S Anggota II

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang bejudul Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada tingkat strata dua (S2) pada program studi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis secara tersurat mengucapkan terimakasih banyak kepada Komisi Pembimbing Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec (Ketua Komisi), Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc.F.Trop (Anggota I), dan Dr. Ir. Nyoto Santoso, M.Si (Anggota II) yang telah membimbing dari sejak pengusulan penelitian hingga akhir penelitian. Berbagai masukan dan saran menjadi sangat berharga bagi penulis. Ucapan terimakasih juga disampaikan penulis kepada penguji Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc yang telah memberikan masukan dan saran dan kritik untuk kesempurnaan tesis ini.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pengajar di program studi ESL IPB atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menuntut ilmu di bangku kuliah. Seluruh staf administrasi ESL, penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan menyelesaikan berbagai urusan administrasi. Segenap jajaran PT. IIS Kebun Buatan dan Asian Agri Group, penulis sampaikan terimakasih atas izin penelitian, bantuan dan dukungan selama melakukan penelitian ini. Penulis ucapkan terimakasih atas Beasiswa Unggulan (On Going) Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Terimakasih setulus nya penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Ayahanda H. Fahrur Rozi dan Ibunda Hj. Djumi’atun, Ayahanda Nana Mahdi dan Ibunda Wiwi Mulyawati, Uwa Mufti dan seluruh keluarga Demak dan Bogor yang

telah memberikan dorongan semangat dan do’a dari awal penulis melakukan

(11)

Terakhir, penulis sampaikan terimakasih kepada teman teman ESL angkatan 2010, atas indahnya kebersamaan. Berbagai cerita terangkum dalam catatan dua tahun kebelakang. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Berbagai saran dan masukan, serta kritik yang bersifat konstruktif penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 16 September 1982 di Demak, Jawa Tengah Penulis adalah ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Bapak H. Fahrurozi dan Ibu Hj. Djumi’atun. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1994 di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Hikmah, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1997 di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Hikmah, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2000 di SMA Negeri 1 Demak. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan tingkat strata satu (S1) pada tahun 2007. Penulis mendaftarakan diri pada program strata dua (S2) pada program Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESL) IPB.

(13)

Daftar Isi... xi

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar ... xv

Daftar Lampiran ... vii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 6

1.3Tujuan Penelitian ... 8

1.4Manfaat Penelitian ... 8

1.5Kerangka Pemikiran ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA... 13

2.1High Conservation Value Area (HCVA)... 13

2.1.1Konsepsi HCVA... 13

2.1.2Ruang Lingkup HCVA ... 13

2.1.3HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit ... 15

2.2Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) ... 15

2.3Urgensi Pengelolaan HCVA dalam RSPO ... 16

2.4HCVA Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ... 18

2.5Valuasi Ekonomi HCVA dan Payment for Environmental Services (PES) ... 21

2.5.1Konsepsi Valuasi Ekonomi ... 21

2.5.2Valuasi Ekonomi HCVA... 23

2.5.3Total Economic Valuation (TEV) ... 25

2.5.4Payment for Environmental Services (PES) ... 26

2.6Teknik Valuasi Sumberdaya Hutan ... 28

2.7Analisis Finansial dan Ekonomi ... 29

2.7.1 Analisis Finansial dan Ekonomi... 29

2.7.2 Analisis Biaya Mafaat ... 30

(14)

2.9Penelitian sebelumnya ... 33

III. METODE PENELITiAN ... 35

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.2Jenis dan Sumber Data ... 35

3.3Penentuan Sampel Penelitian... 36

3.4Teknik Pengumpulan Data ... 37

3.5Metode Analisis ... 38

3.5.1Analisis Total Economic Value (TEV) HCVA ... 38

3.5.2Analisis Dampak Ekonomi dan Finansial Pengelolaan HCVA 39 3.5.2.1Analisis Finansial Pengelolaan HCVA... 39

3.5.2.2Analisis Dampak Ekonomi Pengelolaan HCVA ... 43

3.5.3Analisis Sensitivitas ... 43

3.5.4Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA ... 44

IV. KONDISI UMUM DAN PROFIL PERUSAHAAN... 47

4.1Profil PT. IIS Kebun Buatan-Asian Agri Group ... 47

4.2Kapasitas Produksi MKS dan IKS... 50

4.3Produksi Kelapa Sawit Tersertifikasi RSPO ... 51

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1Analisis Keberadaan HCVA ... 53

5.2Asumsi-Asumsi Untuk Estimasi Total Economic Values ... 59

5.3Total Economic Values (TEV) PT. IIS Kebun Buatan ... 61

5.3.1Tahapan Valuasi TEV HCVA ... 61

5.3.2Estimasi TEV HCVA ... 63

5.4Analisis Finansial Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit 73 5.5Analisis Sensitivitas ... 81

5.6Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan HCVA ... 83

5.6.1Estimasi Biaya-Biaya Pengelolaan HCVA ... 83

5.6.1.1Estimasi Biaya Dampak Langsung bagi Perusahaan ... 84

5.6.1.2Estimasi Biaya Dampak Langsung bagi Masyarakat .... 86

5.6.2Estimasi Manfaat-Manfaat Pengelolaan HCVA ... 91

5.6.2.1Manfaat Harga Kompensasi (Premium Price) ... 91

(15)

5.7Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA ... 97

5.7.1Analisis Stakeholder... 97

5.7.2Strategi Kebijakan Pengelolaan HCVA ... 105

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 129

(16)

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1.

Prinsip dan kriteria RSPO terkait HCVA... 18

2.

Sebaran HCVA di Indonesia ... 20

3.

Rata-rata luasan HCV berdasarkan umur kebun ... 21

4.

Tipe nilai sumberdaya hutan ... 24

5.

Nilai ekonomi total (TEV) kawasan hutan... 26

6.

Matriks penelitian... 36

7.

Letak areal kerja dan batas wilayah PT. IIS Kebun Buatan ... 47

8.

Areal perkebunan PT. IIS Kebun Buatan ... 49

9. Produksi CPO (MKS) dan KPO (IKS) PT. IIS Kebun Buatan ... 50

10.Hasil identifikasi keberadaan HCV di areal PT. IIS Kebun Kuatan ... 54

11.Areal hutan di areal perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan yang memiliki HCV ... 57

12.Nilai guna langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan ... 65

13.Nilai guna tidak langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan ... 67

14.Nilai pilihan (biodiversitas) HCVA PT. IIS Kebun Buatan ... 68

15.Nilai keberadaan HCVA PT. IIS Kebun Buatan ... 71

16.Estimasi nilai ekonomi total HCVA PT. IIS Kebun Buatan ... 72

17.Asumsi biaya dan manfaat dalam perhitungan analisis finansial... 75

18.Pilihan pengelolaan perkebunan with dan without HCVA ... 78

19.Hasil perhitungan penentuan premium price ... 80

20.Sensitivitas harga dan biaya (Rp 000) ... 82

21.Kerugian atau kehilangan pendapatan akibat pengelolaan HCVA ... 84

22.Estimasi biaya pengelolaan HCVA ... 86

23.Dampak kehilangan pendapatan masyarakat ... 87

24.Keragaan tenaga kerja yang hilang akibat pengelolaan HCVA ... 88

25.Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi perusahaan (Rp 000).. 89

26.Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi masyarakat ... 90

27.Estimasi manfaat penerimaan premium price PT. IIS KB ... 92

(17)

30.Presepsi terhadap tujuan pengelolaan HCVA ... 99

31.Penilaian tingkat kepentingan stakeholder... 99

32.Penilaian tingkat pengaruh stakeholder ... 100

(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Trend pertumbuhan minyak kelapa sawit di dunia ... 2

2.

Luas perkebunan sawit Indonesia ... 3

3.

Kerangka pemikiran penelitian ... 12

4.

Rata-rata luasan HCV di pulau-pulau besar Indonesia ... 19

5.

Konsep PES pelayanan ekosistem Pagiola dan Platais (2007) dalam van Eijk dan Kumar (2009) ... 27

6.

Posisi stakeholders berdasarkan pengaruh dan kepentingan ... 45

7.

Peta lokasi areal kebun buatan PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelawan dan Kabupaten Siak, Provinsi Riau ... 48

8.

Peta keberadaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan ... 58

9.

Tahapan valuasi ekonomi HCVA ... 62

10.Total penerimaan dan pengeluaran per tahun ... 77

11.Arus net benefit pilihan with dan without HCVA ... 79

12.Perbedaan nilai NPV pilihan pengelolaan HCVA ... 79

13.Simulasi perubahan harga dan biaya ... 82

14.Posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan ... 101

(19)
(20)

1

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Minyak kelapa sawit (crude palm oil, CPO) dan inti kelapa sawit (kernel palm oil, KPO) merupakan komoditas perkebunan yang memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan di masa yang akan datang. Minyak kelapa sawit merupakan bahan dasar dari berbagai produk, sehingga menjadi salah satu minyak nabati yang memiliki banyak fungsi dan produk turunan beragam yang bisa dimakan maupun produk yang tidak bisa dimakan bahkan untuk sumber bahan bakar nabati (biofuel). Hampir 80% konsumsi minyak kelapa sawit digunakan untuk produk makanan dan sisanya untuk non-makanan termasuk biofuel. Keragaman pengunaannya dalam mendukung kehidupan manusia mendorong permintaan minyak kelapa sawit global terus meningkat.

Pertumbuhan perdagangan minyak kelapa sawit dunia terlihat dari kecenderungan peningkatan permintaan dan produksi setiap tahunnya di beberapa negara produsen dan eksportir. Data Food and Agriculture Organization (FAO, 2012) menyebutkan produksi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2010 sebesar 44.756.482 ton, sedangkan menurut World Growth (2011) produksi minyak kelapa sawit dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 32% atau setara dengan 60 juta ton menjelang tahun 2020.

Permintaan global terhadap minyak kelapa sawit tumbuh secara cepat. Tingginya permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh kecenderungan peralihan pola konsumsi dunia dari lemak hewani ke lemak nabati. Beberapa negara Uni Eropa dan Amerika sudah menerapkan kebijakan pelarangan penggunaan lemak-trans dan beralih menggunakan minyak nabati yang lebih sehat, salah satunya berasal dari minyak kelapa sawit.

Minyak kelapa sawit dikonsumsi di seluruh dunia dan memiliki tingkat penetrasi pasar yang relatif tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. Produk dari minyak kelapa sawit tropis menempati 50 % produk di supermarket Eropa dan memiliki berbagai kegunaan untuk makanan, pakan, bahan bakar, kosmetik, detergen, dan industri kimia (Schouten dan Galsbergen 2011).

(21)

-mengembangkan industri biodiesel serta menargetkan alokasi 6 juta ton minyak kelapa sawit setiap tahunnya (World Growth 2011). Minyak kelapa sawit merupakan biofuel dengan harga yang paling rendah (Theones 2006). Minyak kelapa sawit juga memberikan imbal hasil (economic return) yang tinggi. Nilai biodiesel dari kedelai dengan estimasi biaya per galon sebesar USD 2-2.50, yellow grease sekitar USD 1 dan biodiesel dari minyak kelapa sawit hanya sebesar USD 50 sen (Energy Future Coalition and UN Foundation 2008). Fakta tersebut tentu saja menjadi faktor pendorong bagi negara-negara penghasil kelapa sawit untuk terus meningkatkan produksinya.

Indonesia menyumbangkan 46% produksi minyak kelapa sawit dunia sedangkan Malaysia sebesar 39% pada tahun 2009 (FAO 2012). Indonesia menjadi pemimpin dalam produksi minyak kelapa sawit dunia, sementara Malaysia menjadi eksportir terbesar di dunia mencapai 46% ekspor global. Total Produksi minyak kelapa sawit dunia meningkat hampir tiga kali lipat selama tiga dasawarsa terakhir (hingga 2009) (World Growth2011). Peningkatan produksi minyak kelapa sawit dunia dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: FAOSTAT FAO (2012) data diolah

Gambar 1. Trend pertumbuhan minyak kelapa sawit di dunia

(22)

3

Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012) menyebutkan luas perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia mencapai 5.032.000,8 ha (angka sementara) pada tahun 2010. Perkembangan luasan perkebunan kelapa sawit menunjukkan luasan areal dan produksi yang signifikan sejak tahun 2000-2011. Luasan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2000 seluas 4.158.07 ha dengan produksi mencapai 7.000.508 ton. Tahun 2011 perkebunan kelapa sawit sebesar 8.908.399 ha dengan produksi mencapai 22.508.011 (Gambar 2). Peningkatan luas perkebunan mencapai 53.23% dengan total produksi meningkat sebesar 69% (Statistik Perkebunan 2012). Tren peningkatan luas areal dan produksi kelapa sawit di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2.

Sumber : Statistik Perkebunan 2010-2012

Gambar 2. Luas perkebunan sawit Indonesia

Produksi minyak kelapa sawit dikaitkan dengan banyak isu keberlanjutan seperti deforestasi, erosi, biodiversitas dan perubahan iklim. Isu lingkungan yang paling kuat terkait dengan perkebunan kelapa sawit adalah konversi hutan bernilai konservasi tinggi (Schouten and Galsbergen 2011). Banyak daerah-daerah di Indonesia berlomba menggerakkan perekonomian pada sub sektor perkebunan kelapa sawit diantaranya dengan melakukan konversi hutan. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkebunan menjadi salah satu faktor pengungkit (leverage) dan penggerak utama (prime mover) kemajuan suatu daerah. Euforia daerah untuk melakukan

0 5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000

Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia

(23)

perluasan perkebunan kelapa sawit, umumnya dilakukan dengan cara mengkonversi hutan, sehingga akan memberikan dampak berkurangnya bahkan hilangnya biodiversitas dan penurunan jasa ekosistem hutan. Ekspansi perkebunan sawit seharusnya berada pada kawasan hutan yang terdegradasi (degraded forest) dan/atau mengelola kawasan hutan yang berpotensi memiliki biodiversitas tinggi, sementara harus dipertahankan keberadaannya.

Dewasa ini, banyak perusahaan besar yang mulai menunjukkan kepeduliannya terhadap dampak kehilangan biodiversitas. Berdasarkan survei Price Water House Cooper (2009) dalam Bishop (2010) tercatat bahwa sebanyak 27% Global Chief Executive Organization (Global CEO) yang disurvei PwC mengungkapkan kepeduliannya tentang dampak kehilangan biodiversitas pada prospek pertumbuhan bisnis mereka. Sebanyak 53% CEO dari Amerika Latin, 45% CEO dari Afrika serta 11% dari CEO Eropa Tengah dan Timur menyatakan kepeduliannya terhadap dampak kehilangan bidodiversitas dalam bisnis mereka.

Kepedulian kalangan pengusaha dan pebisnis di sektor minyak kelapa sawit terhadap degradasi lingkungan hidup ditunjukkan melalui kesediaan mereka melakukan pertemuan untuk membahas isu keberlanjutan perkebunan minyak kelapa sawit yang diinisiasi oleh World Wide Fund for Nature (WWF) Swis pada tahun 2002. Pertemuan tersebut meluas dengan melibatkan para stakeholder perkebunan kelapa sawit hingga munculnya prakarsa Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO lahir pada bulan April 2004 sebagai mekanisme global private governance untuk menjalankan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan yang didasarkan pada norma dan standar internasional (Schouten and Galsbergen 2011). Indonesia selanjutnya mengeluarkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai bentuk sertifikasi kelapa sawit yang berkelanjutan. ISPO bersifat mandatory dan RSPO bersifat voluntary. Hal ini berarti perusahaan kelapa sawit bisa memiliki sertifikasi ganda.

(24)

5

implementasi prinsip ke-5 dan ke-7 dari RSPO. HCV dalam ISPO terkait dengan prinsip ke-3 poin ke 3.4 sampai dengan 3.7 tentang pelestarian biodiversitas, identifikasi dan perlindungan kawasan lindung, konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi, dan mitigasi emisi gas rumah kaca. HCVA memiliki nilai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang mendukung kesejahteraan masyarakat, namun manfaat dari keberadaan HCVA dalam areal perkebunan kelapa sawit jarang sekali dilakukan valuasi terkait berapa nilai ekonominya. Hal ini terjadi karena hasil penilaian ekonomi HCVA masih belum bisa ditangkap (captured) atau perusahaan belum mendapatkan manfaat potensial atau insentif dalam pengelolaan HCVA, meskipun perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi RSPO mendapatkan harga premium (premium price) di pasar internasional.

(25)

berupa hilangnya nilai ekonomi karena hilangnya aktivitas ekonomi akibat berkurangnya areal produktif karena pengelolaan HCVA.

1.2 Perumusan Masalah

Permintaan global minyak kelapa sawit yang terus meningkat mendorong negara-negara produsen dan eksportir melakukan konversi hutan untuk perluasan areal konsesi perkebunan kelapa sawit. Perluasan perkebunan kelapa sawit memunculkan isu keberlanjutan terkait dengan konversi hutan. Isu lingkungan kemudian ditangkap oleh kalangan industri, pebisnis, dan pedagang di sektor minyak kelapa sawit serta pemerhati lingkungan hidup dengan mengadakan pertemuan (roundtable) untuk membahas produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan (sustainable palm oil) dan ramah lingkungan (ecologically friendly).

Isu keberlanjutan terkait konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit muncul karena sebagian hutan yang dikonversi tersebut kemungkinan bernilai konservasi tinggi, karena berpotensi terdapat keanekaragaman hayati yang tinggi dan mempunyai fungsi ekologis dan lingkungan yang penting. Fungsi hutan sebagai bahan baku dan materi energi, sebagai asimilator berbagai limbah dan pencemar, dan sebagai penyedia jasa lingkungan secara langsung seperti rekreasi, estetika, pendidikan, kesehatan, dan pendukung sistem kehidupan (Nurrochmat et al. 2009).

(26)

7

sehingga menjadi hal yang wajar jika mekanisme pengelolaan HCVA harus memberikan keuntungan yang layak dan rasional bagi perusahaan.

Schouten dan Galsbergen (2011) menjelaskan bahwa rendahnya permintaan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan adalah karena krisis ekonomi global, sedangkan pada saat yang sama minyak kelapa sawit berkelanjutan sudah tersedia di pasar. Nilai premium price melebihi kesediaan membayar (willingness to pay) pembeli dan saat ini premium price untuk minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan telah menurun. Penyerapan rendah dari minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan menyebabkan kekecewaan bagi produsen minyak kelapa sawit bersertifikat RSPO yang selalu khawatir dengan fakta yang ada, terkait kurangnya komitmen dari sisi permintaan dan bahwa sebagai produsen menanggung beban penuh sertifikasi. Permintaan untuk minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan hanya dari negara-negara Barat. Oleh karena itu, banyak produsen memilih mengekspor ke negara-negara yang tidak mempersyaratkan permintaan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan, seperti Pakistan dan Cina.

Perusahaan kelapa sawit yang memiliki HCVA dalam areal konsesinya tidak pernah ada yang melakukan valuasi berapa nilai ekonomi dari HCVA yang dimilikinya. Hal ini disebabkan HCVA merupakan kawasan di perkebunan kelapa sawit yang umumnya tidak memiliki manfaat bukan pasar. Nilai ekonomi potensial dari HCVA dan potensi kehilangan pendapatan akibat pengelolaan HCVA bisa digunakan untuk menekan buyer dan/atau negara importir minyak kelapa sawit tersertifikasi RSPO untuk meningkatkan premium price sebagai bentuk kompensasi, meskipun sementara ini belum ada inisiatif dan insentif global untuk menangkap (rent capture) nilai ekonomi tersebut.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:

1) Berapa nilai ekonomi total keberadaan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit?

(27)

3) Bagaimana analisis finansial dan dampak ekonomi perusahaan kelapa sawit terkait adanya pengelolaan HCVA di perkebunan sawit?

4) Apakah harga kompensasi (premium price) yang diterima perusahaan kelapa sawit atas sertifikasi RSPO yang mempersyaratkan pengelolaan HCVA sudah adil dan rasional bagi keberlanjutan bisnis perusahaan?

5) Bagaimana strategi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit kedepannya?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan analisis dampak ekonomi dari pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit.

Adapun tujuan khusus dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:

1) Mengestimasi nilai ekonomi kawasan High Conservation Value Area (HCVA) di perkebunan kelapa sawit

2) Menganalisis dampak ekonomi dan finansial pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit

3) Mengevaluasi pengaruh perubahan harga (premium price), biaya dan luasan areal perkebunan kelapa sawit akibat pengelolaan HCVA

4) Memformulasikan strategi kebijakan pengelolaan HCVA dalam rangka mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Informasi dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan para pengambil keputusan dan kebijakan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit

(28)

9

1.5 Kerangka Pemikiran

Isu keberlanjutan yang dimobilisasi oleh lembaga pemerhati lingkungan dan konservasi yang berkembang di dalam perkebunan kelapa sawit mendorong para pengusaha, investor, pebisnis, pedagang dan industri untuk mengembangkan mekanisme bersama dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan. Salah satu mekanisme yang ditempuh dengan mengembangkan kerangka kerja pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan membentuk organisasi sertifikasi kelapa sawit. RSPO merupakan organisasi pertama yang bertanggung jawab dalam mengembangkan mekanisme global private governance dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Peningkatan produksi melalui ekstensifikasi banyak mendapat sorotan terutama di kalangan Non Government Organization (NGO) internasional karena perluasan perkebunan kelapa sawit dianggap sebagai penyebab penebangan hutan yang selanjutnya menghilangkan lahan hutan yang bernilai konservasi tinggi dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Mekanisme RSPO diharapkan mampu untuk mewujudkan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Organisasi tersebut juga mempersyaratkan prinsip/kriteria yang menjadi landasan dalam pengelolaan perkebunana kelapa sawit yang dimanifestasikan dalam bentuk perlindungan dan pelestarian pada kawasan lindung yang bernilai konservasi tinggi (HCVA/KBKT).

Keberadaan HCVA memberikan dampak yang nyata bagi usaha perkebunan kelapa sawit. Dampak keberadaan HCVA terkait dengan tambahan biaya pengelolaan HCVA dan perubahan penerimaan bagi perusahaan perkebunaan kelapa sawit akibat penurunan produksi Tandan Buah Segar (TBS). Dampak tambahan biaya dan kehilangan penerimaan karena penurunan produksi TBS akibat pengelolaan HCVA tentu saja akan mengurangi laba (profit) bagi perusahaan perkebunan.

(29)

ekonomi wilayah karena kehilangan produksi TBS yang memiliki efek pengganda (multiplier effect)

Di samping berdampak langsung pada penurunan profit, sebenarnya pengelolaan HCVA juga memiliki potensi ekonomi yang dapat memberikan tambahan keuntungan bagi perusahaan melalui premium price dan keuntungan ekonomi bagi masyarakat dengan keberadaan HCVA. Keberadaan HCVA di perkebunan kelapa sawit memberikan penerimaan ekonomi bagi perusahaan yang sifatnya masih potensial. Nilai ekonomi pengelolaan HCVA belum banyak diketahui karena belum ada inisiatif global maupun pengusaha perkebunan kelapa sawit untuk melakukan estimasi valuasi ekonomi dari HCVA, padahal kawasan perkebunan yang telah memiliki HCVA memiliki potensi barang dan jasa ekosistem (seperti pengatur, pendukung, dan budaya) yang bernilai ekonomi tinggi.

Dampak keberadaan HCVA dari sisi penerimaan baik dari perspektif ekologi maupun ekonomi dapat ditangkap (captured) untuk menentukan nilai dari premium price dengan menggunakan skema payment environmental service (PES) yang dikembangkan oleh Pagiola. Formulasi PES berupa selisih antara pilihan pengelolaan perkebunan kelapa sawit tanpa HCVA (without HCVA) dengan pilihan dengan HCVA (with HCVA). Premium price merupakan kompensasi harga bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan sertifikasi RSPO dengan mempersyaratkan pengelolaan HCVA.

(30)

11

masih voluntary terkait sertifikasi RSPO. Tingkat premium price yang layak dan rasional didekati dengan menggunakan analisis sensitivitas. Analisis ini menggunakan variabel premium price, tambahan biaya dan dampak penerimaan bagi perusahaan atas hilangnya areal yang produktif untuk kebun karena pengelolaan HCVA. Untuk mengetahui potensi nilai ekonomi dari keberadaan HCVA didekati dengan menggunakan analisis nilai ekonomi total (TEV) dan analisis biaya manfaat untuk menghitung dampak ekonomi langsung bagi perusahaan dan masyarakat, sedangkan dampak ekonomi tidak langsung menggunakan studi pustaka.

TEV HCVA sebagai manifestasi nilai ekonomi potensial dari pengelolaan kawasan HCVA bisa diaktualisasikan nilainya melalui pengembangan skema dan mekanisme perdagangan berupa PES. Analisa strategi kebijakan pengelolaan HCVA menggunakan alat analisis stakeholder dan mendasarkan pada peraturan dan perundang-undangan terkait. Hasil elaborasi analisis-analisis tersebut digunakan untuk menentukan rumusan strategi kebijakan pengelolaan HCVA dalam rangka mewujudkan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

(31)

HCVA

Impact

Ekonomi (B) Ekologi

(A)

Langsung (Perusahaan)

Income/Profit

Digunakan untuk Penentuan Premium

Price (PP) ?

Biaya Pengelolaan HCVA Penerimaan RSPO

PES (Selisih A- B)

PP > PES+ Harga Normal

Feasible

PP < PES+ Harga Normal

Unfeasible

Strategi Kebijakan

Langsung (Masyarakat)

Tenaga Kerja Income

(32)

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 High Conservation Value Area (HVCA) 2.1.1 Konsepsi HCVA

Konsep High Conservation Value Forest (HCVF) atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi yang muncul pada tahun 1999 sebagai ‘Prinsip ke-9’ dari standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan Forest Stewardship Counci (FSC). Saat ini, konsep HCVF telah diadopsi di luar sektor kehutanan salah satunya adalah pengelolaan HCV di perkebunan kelapa sawit. Konsep ini diharapkan mampu mensinergikan keberlangsungan pembangunan atau produksi dari suatu unit pengelolaan sejalan dengan manfaat lainnya, yaitu terjaganya nilai-nilai ekologi dan konservasi dari suatu kawasan (HCV-RIWG 2009).

Konsep HCVF ditujukan untuk membantu para pengelola hutan dalam usaha peningkatan keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup dalam kegiatan produksi kayu dengan menggunakan pendekatan dua tahap, yaitu: 1) mengidentifikasikan areal-areal di dalam atau di dekat suatu Unit Pengelolaan (UP) yang mengandung nilai-nilai sosial, budaya dan/atau ekologis yang luar biasa penting, dan 2) menjalankan suatu sistem pengelolaan dan pemantauan untuk menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan nilai-nilai tersebut.

Salah satu prinsip dasar dari konsep HCV adalah bahwa wilayah-wilayah yang memiliki atribut dengan nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi daerah di mana pembangunan tidak boleh dilakukan, namun konsep HCV mempersyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan HCV tersebut. Pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang (Panduan Identifikasi NKT Indonesia 2008).

2.1.2 Ruang Lingkup HCVA

(33)

alam yang melekat padanya. HCVA dapat berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan iklim di tingkat lokal, sebagai daerah tangkapan air, habitat bagi spesies yang terancam punah, ataupun merupakan tempat bermukim dan tempat sakral bagi masyarakat asli yang hidup di dalam dan di sekitar hutan (HCV-RIWG 2009).

Panduan Identifikasi NKT Indonesia versi 2 Juni 2008 menyebutkan bahwa kawasan dengan nilai konservasi tinggi adalah kawasan yang memiliki satu atau lebih ciri-ciri sebagai berikut: (1) Kawasan yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati penting (NKT1), (2) Kawasan bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami (NKT2), (3) Kawasan yang mempunyai ekosistem langka atau terancam punah (NKT3), (4) Kawasan yang menyediakan jasa-jasa lingkungan alami (NKT4), (5) Kawasan yang mempunyai fungsi penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal (NKT5), dan (6) Kawasan yang mempunyai fungsi penting untuk identitas budaya komunitas lokal (NKT6).

2.1.3 HCV di Perkebunan Kelapa Sawit

Konsep HCV pada awalnya dirancang dan diaplikasikan untuk pengelolaan hutan produksi (areal hak pengelolaan hutan/HPH). Konsep ini berkembang sehingga dapat digunakan di berbagai sektor yang lain. Keberadaan HCV pada sektor publik digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan provinsi, seperti di Bolivia, Bulgaria dan Indonesia (HCV-RIWG 2009).

(34)

15

keberlanjutan produksi kayu dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, budaya dan keanekaragaman hayati telah berkembang menjadi konsep yang memiliki implikasi luas bagi masyarakat.

Penggunaan konsep HCV di sektor swasta menunjukkan komitmen perusahaan untuk melakukan praktek terbaik (best practise) yang seringkali melebihi dari yang dipersyaratkan oleh peraturan atau undang-undang, dan sekaligus memberikan jalan bagi perusahaan untuk menunjukkan diri sebagai warga dunia yang bertanggung jawab. Keberadaan HCV di sektor pemerintahan menjadi alat yang dapat digunakan untuk mencapai perencanaan tata guna lahan, menjaga keberlanjutan fungsí dan manfaat biologi, sosial, dan ekologis yang tidak terpisahkan. Penilaian HCV di sektor keuangan, merupakan cara yang memungkinkan pihak penanam modal komersil yang progresif untuk menghindari praktek pemberian pinjaman yang mendukung perusakan lingkungan hidup ataupun ketimpangan sosial ekonomi.

Berdasarkan hasil kajian HCVA yang dilakukan oleh tim Fakultas Kehutanan IPB selama tahun 2009-2011 di berbagai wilayah di Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimantan menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit minimal memiliki 3 (tiga) NKT. Rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia memiliki luasan HCVA seluas 1.413,80 ha. Setiap areal perkebunan kelapa sawit memiliki HCV yang beragam tergantung lokasi bioregion dan biogeografi, begitu juga kawasan yang memiliki nilai-nilai budaya tinggi (high cultural values) cdan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat lokal.

2.2 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)

(35)

adalah untuk mendorong perluasan sektor kelapa sawit yang lebih “bertanggung jawab” untuk memenuhi permintaan minyak dan lemak kelapa sawit global yang berlipat ganda dalam kurun waktu 20 tahun kedepan (Cholcester et al. 2006), pada tahun 2020 (UNEP-GEAS Desember 2011).

Tujuan lain dari pembentukan RSPO adalah untuk menetapkan standar baku produksi dan pemanfaatan “minyak kelapa sawit berkelanjutan” (sustainable palm oil/SPO) serta mendukung perdagangan minyak kelapa sawit yang menolak produksi minyak kelapa sawit yang merusak lingkungan. Hal ini dilakukan dengan cara (a) membuat standar SPO, (b) mendorong pengadopsian standar tersebut oleh seluruh anggota RSPO, (c) mendorong anggota RSPO untuk mereformasi praktek produksi dan pemanfaatan minyak kelapa sawit berdasarkan standar-standar tersebut, (d) harapan Badan Eksekutif RSPO agar setiap anggotanya mematuhi standar-standar tersebut secara sukarela, (e) pelibatan pihak ketiga yang merupakan penilai akreditasi terhadap setiap klaim produksi dan penggunaan SPO (Cholcester et al. 2006).

Prinsip RSPO perkebunan kelapa sawit berkelanjutan adalah sebagai berikut:

1. Komitmen terhadap transparansi

2. Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku

3. Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang 4. Penggunaan praktek terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik

5. Tanggungjawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keragaman hayati

6. Tanggungjawab kepada pekerja, individu-individu, dan komunitas dari kebun dan pabrik

7. Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab

8. Komitmen terhadap perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas.

2.3 Urgensi Pengelolaan HCVA dalam RSPO

(36)

17

private governance (tata kelola perusahaan dunia) dalam memproduksi produk ramah lingkungan. Pelembagaan private governance yang muncul dalam beberapa rantai komoditas global (seperti minyak kelapa sawit) lebih dari tiga dekade. Bentuk spesifik global private governance adalah “Rountable” yang diwujudkan dalam RSPO (Schouten and Galsbergen 2011). Inisiatifnya tidak hanya didorong oleh kalangan industri dan organisasi konservasi tetapi juga melibatkan kelompok keadilan sosial (Cholchester et al. 2006). Pembangunan sub sektor perkebunan kelapa sawit saat ini disepakati agar pembangunan dilaksanakan dengan cara berkelanjutan melalui RSPO (HCV-RIWG 2009).

Agus (2011) menyebutkan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit bersertifikat memilik implikasi kebijakan. Beberapa tujuan konservasi berimplikasi terhadap biaya yang sangat besar bagi negara penghasil. Konservasi hutan dengan HCV bisa dilihat sebagai kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan pada lahan yang dikonservasi tersebut. HCVA dan konservasi karbon pada umumnya merupakan public goods dimana konservasi karbon dan HCV seharusnya menjadi tanggungan masyarakat global. Konservasi hutan HCV seyogyanya mendapat perhatian, selama tidak mempengaruhi produksi dan pembangunan ekonomi secara signifikan. Urgensi RSPO dalam pengelolaan HCVA merupakan mekanisme bersama antar multistakeholder untuk menangkap isu lingkungan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

(37)

Tabel 1. Prinsip dan kriteria RSPO terkait HCVA Prinsip Prinsip 5. Tanggungjawab lingkungan hidup dan konservasi sumberdaya alam serta keanekaragaman hayati

Prinsip 7. Pengembangan perkebunan baru yang bertanggungjawab

Kriteria Kriteria 5.2 Membangun pemahaman tentang spesies dan habitat tumbuhan dan hewan yang berada di alam dan sekitar areal penanaman.

Kriteria 5.3 Rencana dikembangkan, diimplementasikan dan dipantau untuk menangani keragaman biota di dalam dan sekitar areal penanaman

Kriteria 7.3 Penanaman baru sejak (tanggal diterapkannya kriteria RSPO) belum menggantikan hutan primer atau setiap daerah yang mengandung satu atau lebih nilai-nilai tinggi pelestarian.

Kriteria 7.4 Dilarang mengembangkan perkebunan di dataran yang curam, dan/atau di pinggir serta tanah yang rapuh

2.4 HCVA Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

Persentase luasan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit sangat beragam tergantung lokasi perusahaan tersebut berada. Kajian HCVA di perkebunan kelapa sawit oleh Tim HCV Fahutan IPB seluas 908.484,03 ha atau sebesar 10.20% dari total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2011 (8.908.399 ha) atau sebesar 19.53% dari total luas perkebunan kelapa sawit swasta (4.651.590) berdasarkan data Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012). Luas HCVA yang telah dipetakan oleh tim Fahutan IPB seluas 98.966.09 ha atau 10.89% dari total perkebunan kelapa sawit yang dikaji oleh Tim Fahutan IPB1. Hasil kajian tersebut diperoleh dari kajian identifikasi keberadaan HCVA di tiga pulau besar di Indonesia meliputi Sumatera, Kalimantan dan Papua. Perusahaan yang telah diteliti oleh Tim HCV Fahutan IPB di pulau Sumatera sebanyak 20 perusahaan, di Pulau Kalimantan sebanyak 44, dan di Papua sebanyak 6 perusahaan. Gambar 8 menunjukkan persentase luasan keberadaan HCVA yang berbeda di tiga pulau yang dikaji. Pulau Papua memiliki rata-rata luasan HCVA di perusahaan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dua pulau lainnya yaitu seluas 4.550.03 ha, sementara di Pulau Sumatera seluas 309.23 ha dan Kalimantan seluas 1.480.75 ha. Perbedaan rata-rata luasan HCVA di Papua dengan dua pulau lainnya sangat signifikan. Perbandingan luasan rata-rata HCVA Pulau Papua dengan Sumatera sebesar 1:15 kali, sedangkan dengan pulau Sumatera sebesar 1:3. Luasan HCVA di Pulau Papua tersebut dalam areal perkebunan rata-rata sebesar

1

(38)

19

25.808,26 ha. Persentase pengurangan areal kebun karena keberadaan HCVA untuk di pulau Papua sebesar 17.6%. Keberadaan HCVA yang relatif besar tersebut menunjukkan bahwa Papua merupakan rumah bagi sebagian besar biodiversitas Indonesia. Papua merupakan sumber keanekaragaman hayati yang tinggi dan juga bernilai konservasi tinggi. Besarnya persentase tersebut juga menunjukkan komitmen perusahaan kelapa sawit yang ada di Papua untuk melestarikan keberadaan kawasan yang bernilai konservasi tinggi, flora fauna endemik dan ekosistem yang langka yang ada di Papua (Gambar 4).

Sumber: Laporan Tim HCV Fahutan IPB data diolah

Gambar 4. Rata-rata luasan HCV di pulau-pulau besar Indonesia

Rata-rata luasan HCVA perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan sebesar 1.480.75 ha dari rata-rata luasan areal perkebunanan kelapa sawit seluas 12.805.87 ha dengan rata-rata persentase HCVA terhadap perkebunan kelapa sawit sebesar 13.20%. Persentase kehilangan areal kebun produktif akibat keberadaan HCVA di pulau Kalimantan sebesar 11.56%. Besarnya luasan HCVA di Kalimantan disebabkan oleh banyaknya aliran anak sungai yang melintasi areal perkebunan dimana memiliki kriteria HCV 4 yaitu kawasan yang menyediakan jasa-jasa lingkungan alami khususnya HCV 4.1 dan HCV 4.2 yang terkait aliran jasa dan fungsi ekosistem riparian sebagai pengendali tata air seperti banjir, pencegah erosi dan sedimentasi. Kontribusi utama besarnya HCVA di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan adalah HCV 1 yaitu Kawasan yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang penting dengan kriteria HCV 1.1 dan 1.2.

309.23

1.480.75

4.550.03

Rata-rata Luasan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit (ha)

(39)

Pulau Sumatera memiliki rata-rata luasan HCVA terkecil yaitu sebesar 309,23 ha atau dengan kata lain 0.07 kali rata-rata luas HCVA pulau Papua (Tabel 2). Komponen utama keberadaan jenis HCV di perusahaan yang tersebar di tiga pulau hasil kajian Tim HCV Fahutan IPB adalah HCV 1.1 dan 1.2 dengan persentase sebesar 66 % atau sebanyak 46 perusahaan dari 70 perusahaan memilikinya, kemudian diikuti oleh HCV 6 sebesar 60% atau sebanyak 42 perusahaan memilikinya. Kriteria HCV 2.1 dan 2.2 tidak ditemukan di semua perusahaan kelapa sawit. Kriteria HCV tersebut menekankan pada keberadaan bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami dan kawasan alam yang berisi dua atau lebih ekosistem dengan garis batas yang tidak terputus (berkesinambungan).

Tabel 2. Sebaran HCVA di Indonesia

Sebaran HCVA Sumatera Kalimantan Papua Indonesia

Rata-rata luasan

HCVA 309.23 ha 1.480,75 ha 4.550,03 ha 1.413,80 ha Rata-rata luas

perkebunan kelapa sawit

6.867,42 ha 12.805,87 ha 25.808,26 ha 12.978,34 ha

% Rata-rata Kehilangan Areal Kebun Akibat HCVA

4.50% 11.56% 17.63% 10.89%

Sumber: Laporan HCV Tim Fahutan IPB (data diolah)

(40)

21

Tabel 3 menunjukkan gambaran sebaran luasan HCVA di perkebunan kelapa sawit yang jika dilihat berdasarkan umur kebun menunjukkan data yang rasional. Kebun-kebun tua dengan menggunakan batasan tahun tanam dibawah tahun 2000 menunjukkan luasan HCVA relatif sangat kecil. Rata-rata luasan HCVA perkebunan kelapa sawit yang telah dikaji tim HCV Fahutan IPB sebesar 2.12% dari luas total izin perkebunan kelapa sawit. Rata-rata Luas HCVA hanya sebesar 176.18 ha. Luasan tersebut relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan luas areal perkebunan dengan rata-rata seluas 10.758,44 ha.

Tabel 3. Rata-rata luasan HCV berdasarkan umur kebun

Keterangan Total Luas

1.834,18 13.746,79 13.88% 11.912,62

Sumber: Laporan Tim HCV Fahutan IPB (data diolah)

Kebun baru atau kebun dengan tahun tanam di atas tahun 2000 menunjukkan gambaran luasan yang sangat rasional karena adanya aturan dalam pembukaan perkebunan baru yang sesuai dengan standar HCV toolkits dan selaras dengan komitmen pembangunan perkebunan kelapa sawit RSPO. Rata-rata luasan HCVA kebun baru sebesar 1.834,18 ha dengan luas izin perkebunan rata-rata sebesar 13.746,79 ha atau sekitar 13.88% dari luas izin perkebunan, padahal perbedaan luasan areal kebun baru dan kebun lama tidak terlalu signifikan. Hal ini berarti keberadaan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yang salah satunya mempersyaratkan adanya kajian HCVA memberikan hasil yang optimal untuk meredam laju kehilangan biodiversitas, kerusakan lingkungan dan menjaga aliran jasa dan fungsi ekosistem yang penting bagi keberlangsungan kehidupan di muka bumi.

2.5 Valuasi Ekonomi HCVA dan Payment for Enviromental Service (PES) 2.5.1 Konsepsi Valuasi Ekonomi

(41)

mengenai tingkat kelangkaan sumberdaya (TEEB 2010). Valuasi ekonomi jasa ekosistem dan biodiversitas dapat dibuat secara eksplisit bagi masyarakat secara umum dan pembuat kebijakan tertentu. Biodiversitas dan jasa ekosistem yang langka dan degradasinya menimbulkan biaya bagi masyarakat. Biaya ini tidak dimasukkan sehingga kebijakan akan salah arah dan masyarakat akan menjadi lebih miskin disebabkan alokasi sumberdaya yang tidak terdistribusikan dengan baik. Valuasi memainkan peranan penting dalam pencipataan pasar untuk konservasi biodiversitas dan jasa ekosistem (Engel et al. 2008; Pascual et al. 2010).

Ekosistem dan komponen penyusunnya termasuk biodiversitas memberikan aliran manfaat bagi kehidupan manusia melalui penyediaan barang dan jasa (provisioning goods and services), fungsi perlindungan dan pengaturan (protecting and regulating function), fungsi estetika dan budaya (aesthetical and cultural function) dan fungsi pendukung (supporting system) yang memungkinkan fungsi-fungsi lainnya dapat berjalan (MEA 2005).

Valuasi ekosistem dan biodiversitas diperlukan pemahaman bahwa keanekaragaman hayati merupakan pondasi dari ekosistem melalui layanan yang diberikan akan mempengaruhi kesejahteraan manusia. Hal ini termasuk penyediaan jasa seperti makanan, air, kayu, dan serat; jasa pengaturan seperti pengaturan iklim, banjir, penyakit, limbah, dan air; jasa budaya seperti rekreasi, kenikmatan estetis, dan pemenuhan spiritual, dan jasa penunjang seperti pembentukan tanah, fotosintesis, dan siklus hara. Millenium Ecosystem Assessment (MEA) menganggap kesejahteraan manusia terdiri dari lima komponen utama: (1) bahan kebutuhan dasar untuk kehidupan yang baik, (2) kesehatan, (3) hubungan sosial yang baik, (4) keamanan, dan (5) kebebasan pilihan dan tindakan. Kesejahteraan manusia adalah hasil dari banyak faktor, baik bersifat langsung atau tidak langsung terkait dengan keanekaragaman hayati (MEA 2005).

(42)

23

dihasilkannya. Perumusan instrumen yang dapat dipergunakan selanjutnya dilakukan untuk mengatasi kerusakan ekosistem dan kehilangan biodiversitas tersebut melalui serangkaian strategi dan tindakan pengelolaan yang berkelanjutan. Aplikasi konsep dari kerangka kerja tersebut dilakukan dengan valuasi ekonomi ekosistem dan biodiversitas. Valuasi ekonomi memiliki dua tujuan utama yaitu: (1) demonstratif ; untuk menunjukkan bagaimana biodiversitas memiliki peranan yang besar dalam menyokong aktivitas kehidupan manusia termasuk kegiatan ekonomi, dan (2) bagaimana nilai yang ditunjukkan pada tujuan pertama yang merupakan nilai intrinsik tersebut dapat ditransformasi menjadi faktor yang menentukan dalam rumusan pengelolaan sumberdaya berkelanjutan termasuk bagaimana menangkap (capturing) nilai tersebut dapat memberikan kemanfaatan langsung bagi para pemangku kepentingan yang dipengaruhi secara langsung dari keberadaan ekosistem tersebut Pearce (1993).

2.5.2 Valuasi Ekonomi HCVA

Keberadaan HCVA dalam areal konsesi perkebunan kelapa sawit memerlukan penilain tidak berbeda dengan valuasi ekonomi pada kawasan hutan. Kawasan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit biasanya habitat satwa, ekosistem gambut, sempadan sungai, dan kawasan yang memiliki nilai budaya tinggi serta kawasan yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat lokal.

(43)

Tabel 4. Tipe nilai sumberdaya hutan

Nilai Guna Nilai Non-Guna

Guna Langsung Nilai Guna Tidak

Langsung Nilai Pilihan Nilai Keberadaan Produk kayu (kayu,

mikro Bequest value (nilai

pewarisan) Amenitis (lanskap) Carbon storage

Sumber: Barbier (1991)

Penilaian sumberdaya hutan secara komprehensif diperlukan secara menyeluruh terkait dengan fungsi hutan (Nurrochmat et al. 2009). Barbier (1995); Pierce dan Turner (1990) dalam Nurrochmat et al. (2009) memandang ada tiga fungsi utama dari sumberdaya hutan, yaitu:

1) Hutan sebagai bahan baku materi dan energi

2) Hutan sebagai assimilator berbagai limbah dan pencemaran

3) Hutan sebagai penyedia jasa lingkungan secara langsung seperti rekreasi, estetika, pendidikan, kesehatan, dan pendukung sistem kehidupan.

Nurrochmat et al. (2009) mengelompokkan beragam fungsi dan manfaat sumberdaya hutan menjadi delapan kategori sebagai berikut:

1) Manfaat hutan untuk kepentingan konsumsi berupa berbagai hasil hutan baik kayu maupun bukan kayu

2) Manfaat untuk rekreasi

3) Manfaat hutan untuk perlindungan berbagai fungsi hidrologis seperti perlindungan seperti perlindungan terhadap erosi, pengaturan tata air

4) Manfaat hutan untuk mendukung terjadinya proses-proses yang bersifat ekologis seperti siklus hara, pangaturan iklim mikro dan makro, pembentukan formasi tanah, dan pendukung kehidupan global

(44)

25

6) Manfaat hutan untuk pendidikan dan penelitian

7) Manfaat-manfaat hutan yang bersifat bukan konsumsi seperti manfaat budaya, sejarah, spiritual, dan keagamaan

8) Manfaat-manfaat hutan yang mungkin bisa diperoleh di masa depan (option value, quasi-option value).

Sumberdaya hutan memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai guna langsung (direct values) merupakan manfaat dari penggunaan sumberdaya hutan sebagai input produksi atau sebagai barang konsumsi. Nilai guna langsung sumberdaya hutan meliputi baik aktivitas komersial mapun non-komersial. Pemanfaatan komersial seperti kayu dan produksi pulp secara signifikan untuk memenuhi permintaan pasar domestik dan internasional. Pemanfaatan non-kemersial pada sisi lain sering menjadi penting bagi penduduk lokal, tetapi dapat menjadi sangat penting untuk kebutuhan subsisten penduduk perdesaan dan kelompok masyarakat miskin seperti kayu bakar, permainan, bisa dimakan, dan tanaman obat (International Institute for Environment and Development 2003). Nilai guna langsung juga meliputi jasa penting seperti rekreasi hutan, pendidikan dan penelitian dimana dihubungkan dengan basis non-komersial.

Sumberdaya hutan menghasilkan barang hutan yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Permintaan hasil hutan bukan kayu meningkat lebih cepat dari permintaan kayu. Salah satu hasilnya adalah kawasan hutan tertentu dinilai meningkat oleh publik sebagai political representative dalam menyediakan nilai manfaat lingkungan. Kawasan hutan kaya akan jenis kayu, namun kepentingan konservasi satwa liar meningkat untuk mengelola hutan untuk tujuan rekreasi atau nilai estetika (International Institute for Environment and Development 2003).

2.5.3 Total Economic Valuation (TEV)

Total Economic Value (TEV) dalam pengelolaan sumber daya alam di ilustrasikan dalam konteks penggunaan lahan dalam hutan tropis. Mengacu pada

aturan analisis dari biaya manfaat, keputusan untuk “membangun” hutan dinilai

(45)

use value) dan juga berasosiasi dengan nilai pilihan (option value). Perhitungan nilai TEV dihitung dengan menjumlahkan nilai penggunaan langsung (direct use value) dan nilai penggunaan tidak langsung (non direct use value). Nilai langsung yang digunakan diantaranya adalah seperti hasil produk dari hutan (kayu, rotan, latex, dan sebagainya) yang harusnya dihitung. Nilai manfaat tidak langsung digunakan diantaranya adalah perhitungan fungsi jasa ekologi seperti misalnya jasa perlindungan dari aliran sungai, pengurangan nilai polusi. Nilai pilihan (option value) terkait dengan sejumlah nilai yang ingin dikeluarkan oleh seorang individu untuk membayar nilai konservasi di masa depan. Nilai ini mungkin tidak akan digunakan sekarang tetapi akan sangat berguna di masa depan nantinya. Nilai keberadaan (existence value) terkait dengan nilai dari aset lingkungan yang tidak terkait dengan penggunaan pilihan saat ini. Nilai TEV dirumuskan sebagai berikut (Pearce, 1993):

TEV = Direct use value + Indirect use value + Option value + Existence value.

Perbedaan penggunaan lahan pada hutan akan memberikan kombinasi yang berbda terhadap nilai langsung, tidak langsung dan nilai yang tidak digunakan sehingga akan menghasilkan nilai TEV yang berbeda. NilaiTEV kawasan hutan ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai ekonomi total (TEV) kawasan hutan Nilai langsung

PES adalah sebuah transaksi sukarela ketika sebuah pelayanan lingkungan yang telah ditentukan dengan jelas (atau sebuah penggunaan tanah untuk

(46)
(47)

seorang pengguna langsung yang rasional, sebuah pembayaran dari perbedaan ini dalam arus pendapatan menjelaskan sebuah insentif minimum untuk pemeliharaan ekosistem. Seorang pengguna arus bawah yang rasional, yang memunculkan sebuah arus pendapatan bawah B, bisa membayar pada tingkat maskimal yang setara dengan arus pendapatan yang sudah ada melalui konversi pada penggunaan alternatif. Hal ini mendukung para pengguna tidak langsung dan pembeli pelayanan ekosistem untuk masuk ke dalam sebuah kontrak untuk pengadaan pelayanan yang berkelanjutan dengan memberikan pembayaran, yang bervariasi antara minimum sampai maksimum (disajikan dengan Balok E), kepada para pengguna langsung atau kepada para penyedia pelayanan ekosistem. Total arus pendapatan penyedia pelayananekosistem (Balok D plus E) lebih banyak dari yang ada pada sebuah ekosistem yang dikonversi, yang membuat konservasi menjadi layak. Sistem ini menginternalisasikan hal-hal yang akan menjadi sebuah eksternalitas bila tidak dilakukan (Pagiola & Platais 2007).

Tipologi PES bisa diupayakan di lintas jalur, sebuah dasar yang bermanfaat adalah menjelaskan program-program PES yang dibiayai oleh pengguna (ketika para pembeli pelayanan adalah para pengguna pelayanan yang aktual), dan program-program yang dibiayai pemerintah (ketika pemerintah membeli pelayanan, kemudian menyediakannya kepada pengguna akhir). Program-program yang dibiayai oleh pengguna bersifat sukarela pada sisi penjual maupun pembeli, sedangkan sebagian besar program pemerintah bersifat sukarela hanya pada sisi penyedia (Engel et al. 2008). Bulte et al. (2008) mengusulkan sebuah klasifikasi fungsional skema PES yang memisahkan program-program yang membayar kontrol polusi, konservasi sumberdaya alam dan ekosistem, serta yang ditujukan untuk fasilitas lingkungan publik yang baik. Ada penekanan yang luar biasa pada PES namun hanya ada sedikit upaya untuk menilai efektivitas dan efisiensinya.

2.6 Teknik Valuasi Sumberdaya Hutan

(48)

29

dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok yaitu (1) Market price valuation, meliputi metode untuk estimasi manfaat produksi subsisten dan konsumsi, (2) Surrogate market approaches, meliputi travel cost models, hedonic pricing dan substitute goods approach (3) Production function approach, yang memfokuskan pada hubungan biofisik antara fungsi hutan dan aktivitas pasar (4) Stated preference approaches,utamanya contingent valuation method dan variannya (5) Cost-based approach, meliputi replacement cost dan defensive expenditure.

2.7. Analisis Finansial dan Ekonomi 2.7.1 Analisis Finansial

Analisis finansial bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan tertentu layak secara finansial, atau dapat memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan dengan tujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Pengambilan keputusan berdasarkan penilaian kelayakan suatu kegiatan, sangat penting untuk turut memperhitungkan semua biaya dan manfaat yang relevan dan/atau benar terjadi sebagai akibat pelaksanaan kegiatan. Berbeda dengan analisis finansial, dalam analisis valuasi ekonomi berbagai biaya lingkungan dan biaya sosial yang mungkin atau potensial terjadi turut diperhitungkan dalam menilai kelayakan investasi suatu kegiatan. Kriteria kelayakan investasi tetap sama, yaitu berdasarkan NPV (net present value).

Kelayakan finansial suatu kegiatan ditunjukan oleh nilai NPV, B/C ratio (Benefit-Cost Ratio), atau IRR (Internal Rate of Return). Nilai NPV, B/C ratio dan IRR sesungguhnya saling berhubungan satu sama lainnya. Suatu kegiatan dikatakan layak secara finansial (menguntungkan bagi perusahaan) bila nilai NPV-nya positif. Bila NPV positif artinya nilai B/C ratio-nya lebih besar dari satu, dan nilai IRR-nya lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) yang dipergunakan dalam perhitungan nilai NPV. Salah satu dari ketiga nilai tersebut dapat dipergunakan untuk mengambil keputusan apakah suatu kegiatan akan menguntungkan (layak) atau tidak secara finansial.

(49)

total atau produktivitas atau keuntungan didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa yang dalam proyek menerima hasil proyek tersebut. Hasil itu disebut “the social returns” atau

the economic returns” dari proyek.

2.7.2 Analisis Biaya Mafaat

Suatu kajian penggunaan kawasan sebaiknya dan idealnya melibatkan evaluasi semua manfaat dan biaya-biaya serta dihubungkan dengan pilihan penggunaan yang relevan. Nilai-nilai tersebut bisa disatukan dalam analisa biaya dan manfaat, yang berguna untuk melihat trade off dari perbedaan pilihan pembangunan. Analisis biaya manfaat merupakan alat standar untuk evaluasi jasa ekonomi investasi atau proyek pembangunan. Alat analisis ini secara luas digunakan untuk mengevaluasi pilihan-pilihan penggunaan kawasan hutan (International Institute for Environmental and Development 2003). Analisis biaya manfaat dapat digunakan untuk menganalisis dampak ekonomi pembangunan dengan melakuan evaluasi semua manfaat dan biaya yang terjadi dalam suatu pembangunan.

Kekuatan analisis biaya manfaat adalah penggunaan kriteria keputusan secara eksplisit dan secara langsung dapat diperbandingkan. Logika yang mendasari analisis ini adalah untuk setiap pilihan aktivitas (seperti pilihan penggunaan lahan) masing-masing manfaat bersih (net benefit) harus diperbandingkan dimana net benefit dari pilihan yang diambil secara sederhana diformulasikan dalam persamaan :

Net Benefit (NB) = Benefit (B) costs (C)

Manfaat dan biaya diidentifikasi untuk setiap periode waktu biasanya per tahun atau menggunakan time horizon. Pengunaan teknik discounting, net benefit sepanjang waktu dapat dikombinasikan ke dalam satu tampilan agregat tunggal atau NPV. Setiap pilihan penggunaan kawasan hutan misalkan pilihan A (pilihan pengelolaan HCVA) , net benefit (NBA) harus melebihi dari net benefit (NBB) jika pilihan A lebih disukai.

(50)

31

Pilihan penggunaan kawasan hutan untuk membandingkan pilihan antara konservasi hutan dan pertambangan maka harus melibatkan manfaat dan biaya-biaya sosial dan biaya lingkungan yang disebabkan karena adanya nilai yang hilang dari konversi hutan (perubahan penggunaan kawasan hutan menjadi pertambangan). Perubahan tersebut akan menyebabkan kehilangan fungsi lingkungan penting seperti pengatur tata air/DAS dan carbon storage) serta sumberdaya hutan (kayu komersial, hasil hutan bukan kayu dan rekreasi ameniti). Hal ini dapat dikatakan bahwa nilai yang hilang merupakan nilai ekonomi total dari keberadaan hutan dan merupakan cerminan dari ekstrenalitas negatif atau dampak kerusakan akibat perkebunan kelapa sawit.

Beberapa studi dengan analisis biaya manfaat yang telah dikaji oleh International Institute for Environmental and Development (2003) yang mengestimasi biaya dan manfaat finansial dari ekstraksi lestari buah-buahan hutan, lateks, dan kayu dan membandingkannya dengan pengembangan bersih potensial dengan menggunakan analisis biaya manfaat pilihan pengggunaan kawasan hutan.

2.7.3 Analisis Sensitivitas

Gambar

Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1. Prinsip dan kriteria RSPO terkait HCVA
Tabel 6. Matriks penelitian
Gambar 7. Peta Lokasi Areal PT. IIS Kebun Buatan, Kabupaten  Pelalawan dan
+7

Referensi

Dokumen terkait