• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai aset tegakan hutan: studi kasus hutan tanaman pt.x di Provinsi Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai aset tegakan hutan: studi kasus hutan tanaman pt.x di Provinsi Kalimantan Tengah"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI ASET TEGAKAN HUTAN:

Studi Kasus Hutan Tanaman PT. X

di Provinsi Kalimantan Tengah

ELISDA DAMAYANTI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

RINGKASAN

ELISDA DAMAYANTI. Nilai Aset Tegakan Hutan: Studi Kasus Hutan Tanaman PT. X di Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh BAHRUNI.

Hutan Tanaman Industri (HTI) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Dalam PP ini, HTI diartikan sebagai hutan tanaman yang di bangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan (Dephut 1990). Agar ketersediaan kayu dari HTI selalu terjamin dari waktu ke waktu maka diperlukan pengelolaan hutan lestari. Pada HTI, hal ini dapat dievaluasi dari tegakan hutan dan nilai aset tegakan hutan.

Penilaian aset tegakan hutan ini dilakukan dengan tiga pendekatan perhitungan, yaitu metode pendekatan biaya faktual, pendekatan biaya pengelolaan “normal”dan pendekatan nilai guna.

Penelitian ini dilaksanakan di Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT. X di Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil analisis nilai aset tegakan hutan dengan tiga pendekatan perhitungan menunjukkan nilai aset tegakan per ha dengan pendekatan nilai guna lebih besar satu sampai lima kali lipat dari nilai aset tegakan dengan pendekatan biaya faktual, maupun biaya pengelolaan “normal”. Dilihat dari sisi pengusaha, maka perusahaan akan memperoleh keuntungan dari investasi yang ditanamkan. Investasi biaya yang ditanamkan perusahaan masih rendah disebabkan karena perusahaan belum melaksanakan seluruh aktivitas pengelolaan hutan secara lengkap, hal ini dapat dilihat dari pengeluaran biaya faktual yang lebih kecil dari biaya pengelolaan “normal”.

Pada daur pertama ini, perusahaan belum menunjukkan pengelolaan hutan yang lestari. Hal ini dapat dilihat dari luas areal penanaman setiap tahun tidak sesuai dengan etat luas. Stok tegakan yang dihasilkan berfluktuasi tidak sesuai dengan pertumbuhan tegakan menurut umur. Evaluasi nilai aset tegakan juga menunjukkan nilai yang fluktuatif, seharusnya pola nilai aset seiring dengan kecenderungan pertumbuhan tegakan. Untuk mencapai kelestarian hutan pada daur berikutnya, perlu dilakukan pemanenan sesuai etat berdasarkan hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB). Etat volume sebesar 1.501.531 m³/ tahun dan etat luas sebesar 5.009 ha/tahun. Dengan diterapkannya pengaturan hasil sesuai etat luas atau etat volume, diharapkan pada daur ketiga perusahaan dapat mengelola hutan secara teratur, sehingga dapat menghasilkan stok tegakan dan nilai aset yang besarnya konstan untuk jangka panjang.

(3)

SUMMARY

ELISDA DAMAYANTI. The Value of Forest Stands Asset: Case Study in Plantation Forest of PT. X in Central Kalimantan. Under supervision : BAHRUNI.

Industrial Forest Plantation (HTI) is regulated under Government Regulation (PP) No 7 / 1990 regarding Concession Right of Industrial Forest Plantation. In this Government Regulation, industrial forest plantation is defined as forest plantation which is established to increase potency and quality of production forest by application of intensive silviculture to fulfill the need of raw material for forest product industry (Mof, 1990). For the sustainable supply of wood from industrial forest plantation, it is required sustainable forest management. In industrial forest plantation, this can be evaluated from forest stands and value of forest stands asset.

Valuation of stands asset was carried through by three calculation approaches namely the factual cost approach, “normal” management cost approach and in use value approach.

This study was carried out in forest concession (IUPHHK-HT) of PT. X in Central Kalimantan Province. The results analysis of forest stands asset by three calculation approaches showed that the value of stands asset per hectare by in use value approach was higher one to five folds compared with the value of stands asset using factual cost approach and “normal” management cost approach. From the bussines point of view, the company would get benefits from the investment. Investment of cost by the company was still lower because the company has not implemented all of forest management activities. This could be seen from factual cost expenditure which was lower than “normal” management cost.

In this first rotation, the company has not shown sustainable forest management. It was presented by the indicator the planting area not fit with annual planting plan, therefore there was fluctuation in each stands volume.

Evaluation the value of stands asset also showed the fluctuative value, where the pattern of asset value trend should be in line with the stands growth. To achieve forest sustainability for the next rotation, harvesting should be carried out according to Annual Allowable Cut (AAC) based on the result of periodic forest inventory. AAC of volume is 1.501.531 m³/ year and based on area is 5.009 ha/year. Implementation of yield regulation according to area and volume, it will be expected that in the third rotation, the company would manage the forest regularly, it could produce constant value of stands stock and the value of stands asset for long period.

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai Aset Tegakan Hutan: Studi Kasus Hutan Tanaman PT. X di Provinsi Kalimantan Tengah adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

(5)

NILAI ASET TEGAKAN HUTAN:

Studi Kasus Hutan Tanaman PT. X

di Provinsi Kalimantan Tengah

ELISDA DAMAYANTI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Nilai Aset Tegakan Hutan:

Studi Kasus Hutan Tanaman PT. X di Provinsi Kalimantan Tengah Nama : Elisda Damayanti

NIM : E14062169

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Bahruni, MS NIP 19610501 198803 1 003

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP 19630401 199403 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul karya ilmiah yang dipilih pada penelitian yang dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2010 adalah Nilai Aset Tegakan Hutan: Studi Kasus Hutan Tanaman PT. X di Provinsi Kalimantan Tengah. Judul penelitian ini dipilih karena nilai aset tegakan hutan merupakan aspek yang penting untuk mengetahui apakah suatu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sudah mendukung program pengelolaan hutan lestari atau tidak, sehingga keberlanjutan hasil hutan baik yang bersifat tangible maupun intangible dapat terjamin dari waktu ke waktu.

Penelitian aset tegakan hutan ini dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan biaya faktual, pendekatan biaya pengelolaan “normal” dan pendekatan nilai guna, yang disajikan dalam enam bab. Bab satu berisi pendahuluan, bab dua berisi tinjauan pustaka yang terkait, bab tiga berisi metode penelitian, bab empat berisi gambaran kondisi umum lokasi penelitian, bab lima berisi hasil dan pembahasan serta bab enam berisi kesimpulan dan saran.

Pada kesempatan ini juga dengan penuh rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu dan adik-adik tercinta serta keluarga besar atas dukungan baik moril maupun materil serta nasehat dan doa yang tidak pernah putus-putusnya dipanjatkan agar penulis dapat menempuh dan menyelesaikan studi dengan baik.

Kepada bapak Dr. Ir. Bahruni, MS selaku dosen pembimbing atas gagasan topik penelitian dan telah bersedia meluangkan waktu, kesempatan, ilmu serta nasehatnya dalam membimbing penulis dalam penyusunan karya tulis ini.

(8)

Penghargaan dan terimakasih kepada manajemen IUPHHK-HT PT. X di Provinsi Kalimantan Tengah, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian ini. Atas dasar pertimbangan penghargaan terhadap kerahasiaan data keuangan perusahaan, maka dalam penelitian ini saya tidak menyebutkan nama perusahaan tersebut secara eksplisit, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada manajemen IUPHHK-HT.

Kepada sahabat-sahabat tercinta Suci Dian F, Miranti Dewi, Andina Ayu MP, Hania Purwitasari, May Caesarry R atas dukungan semangat dan persahabatan yang telah terjalin. Ifki Arif WP dan Andi Rustandi atas bantuannya, Luffi Hapsari N, Nurlailati Ramdhani, Dwi Apriyanto, Ayu Purwaningtyas, Noviandri Asmar, Kristanto Nugroho, Bayu Cahyo N, Sukesti Budiarti, Radita Daneswara, Linda Sri A, Linda Zakiyah, Yuliatno Budi S, Yayat Syarif H, Desy Fadillah, Ratih Solichia M, Lisa Mariance, Nurindah Ristiana, Amelia Fatmi, Afriyani Selisiyah, Dinul Islamy, Anita Sopiana, Sentot Purwanto, Ratna Idolasari, Putri Nidya N, Sifa Rahmah F, Devi Retno W, Asri Ruwiati, Fera Azis, Andriani Wijiastuti, Maria Ulfa, Dian O, Dian N, Yeni Marlina, Nurazizah RN, Yuni Indriyani, Annisa Hidayah, Handoko Agung P, Woro Sutia L, Nina Indah K, kak Afwan, kak Budi Yana, kak Maria dan keluarga besar MNH 43 terima kasih atas dukungan semangat, masukan, perjuangan, persahabatan dan kebersamaannya.

Untuk ibu Meli, ibu Riksa, pak Edi dan pak Saiful atas bantuan dalam kelancaran administrasi selama studi serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, terima kasih atas dorongan, motivasi, bantuan, dan kerjasamanya.

Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi seluruh pembaca .Amin.

Bogor, Januari 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 juli 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Damhuri, SE (Alm) dan Euis Rusliatisyah. Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan pada bagian Kebijakan Kehutanan.

Selama di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Kelompok Studi Politik, Ekonomi, Sosial Kehutanan (KS Poleksoshut) Forest Management Student Club (FMSC) Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB tahun 2007-2008, Ketua Biro Kesekretariatan FMSC tahun 2008-2009. Selama pendidikan penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Baturaden dan Cilacap Jawa Tengah pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi dan di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten pada tahun 2009, serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HT PT. Korintiga Hutani, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah pada tahun 2010.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan... 2

1.3 Manfaat Penelitian... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Konsep Nilai dan Penilaian ... 3

2.2 Penilaian Aset Sumberdaya Hutan ... 3

2.3 Tegakan dan Nilai Tegakan... 5

2.4 Pertumbuhan dan Riap ... 7

2.5 Acacia mangium...8

2.6 Eucalyptus pellita... 8

2.7 Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) ... 9

BAB III METODE PENELITIAN ... 11

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 11

3.2 Alat dan Objek Penelitian ... 11

3.3 Jenis Data ... 11

3.4 Asumsi- asumsi... 12

3.6 Metode pengolahan dan Analisis data ... 13

3.7 Analisis Data ... 16

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 17

4.1 Letak Geografis dan Luas... 17

4.2 Tanah dan Iklim ... 17

(11)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 18

5.1 Teknis Kegiatan dan Biaya pengelolaan ... 18

5.2 Potensi Tegakan ... 25

5.3 Nilai Aset Tegakan Hutan Tanaman ... 29

5.4 Analisis Nilai Aset Tegakan Hutan Dalam Mendukung PHL ... 37

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1 Kesimpulan... 41

6.2 Saran... 41

(12)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Sediaan tegakan IUPHHK-HT jenisAcacia mangium... 26

2. Sediaan tegakan IUPHHK-HT jenisEucalyptus pellita... 26

3. Potensi hasil pengukuran jenisE.pellita danA.mangium... 27

4. MAI dan CAIAcacia mangiumberdasarkan pengukuran PUP... 28

5. MAI dan CAIEucalyptus pellitaberdasarkan pengukuran PUP... 29

6. Nilai aset tegakan hutan dengan tiga pendekatan perhitungan dan gambar tegakan pada setiap umur ... 33

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Pola umum pertumbuhan tegakan ... 7

2. Bibit siap tanam berumur tiga bulan diopen areapersemaian... 19

3. Kegiatan di persemaian (a) stek yang ditanam di polytube, (b) hasil tanamcutting ... 20

4. Kegiatan penanaman (a)land clearing, (b) pemasangan ajir sebelum penanaman ... 20

5. Sarana pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan (a) manara pengawas 1 dan (b) menara pengawas 2 ... 22

6. Kegiatan pemenuhan kewajiban kepada lingkungan dan sosial (a) Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan (b) ternak sapi ... 23

7. Pengadaan kendaraan bermotor, bangunan gedung, alat berat, jalan utama, alat inventaris, lapangan golf ... 24

8. TegakanE. Pellitaumur 1 tahun... 33

9. TegakanE. pellitaumur 2 tahun ... 33

10. TegakanE. pellitaumur 3 tahun ... 33

11. TegakanE. pellitaumur 4 tahun ... 33

12. TegakanE. pellita umur 5 tahun ... 33

13. TegakanA.mangium umur 6 tahun ... 33

14. TegakanE. pellitaumur 7 tahun ... 33

15. TegakanA.mangiumumur 8 tahun ... 33

16. TegakanA.mangium umur 9 tahun ... 34

17. TegakanA.mangium umur 10 tahun ... 34

18. TegakanA.mangiumumur 11 tahun ... 34

19. Perbandingan luas areal tanam yang ditanami dengan etat luas IUPHHK-HT ... 37

20. Sediaan tegakan hasil IHMB jenisE.pellitadanA.mangium... 39

21. Sediaan tegakan berdasarkan estimasi MAI volumeE.pellita danA.mangium... 39

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini kawasan hutan produksi terus mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut merupakan akibat dari kegiatan penebangan liar, eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan aspek kelestarian hutan, konversi hutan dan kebakaran hutan. Untuk mengatasi kerusakan hutan tersebut, maka pemerintah berinisiatif untuk melakukan rehabilitasi hutan dengan membangun Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Dalam PP ini, HTI diartikan sebagai hutan tanaman yang di bangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Tujuan dari pembangunan HTI dalam PP tersebut adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Pengelolaan HTI harus dilaksanakan secara profesional berdasarkan asas manfaat, asas kelestarian dan asas perusahaan (Dephut 1990). Ketiga asas tersebut dapat dilaksanakan dengan mengelola hutan secara lengkap (regulated forest) sehingga tujuan pembangunan HTI pun dapat terwujud.

Saat ini kebutuhan manusia terhadap komoditi sumberdaya hutan terutama kayu sangatlah besar. Kebutuhan yang besar ini harus didukung dengan ketersediaan kayu yang dihasilkan oleh hutan, dalam hal ini pemegang usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) agar terjadi keseimbangan antara demanddansupplykayu dari hutan yang dikelola secara lestari. Kelestarian hutan menjadi hal yang sangat penting saat ini, karena dengan pengelolaan hutan yang lestari maka manfaat hutan bagi kehidupan mahluk hidup akan terus terjaga, baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang.

(16)

tersedia dari waktu ke waktu. Pada perusahaan pemanfaatan hutan tanaman, indikator tersebut dapat dievaluasi dari aspek fisik berupa produksi dan stok tegakan serta aspek keuangan berupa nilai aset tegakan sumberdaya hutan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menduga besar nilai aset sumberdaya hutan berupa tegakan pada hutan tanaman dalam mendukung pengelolaan hutan lestari ditinjau dari aspek sumberdaya hutan dan keuangan.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat untuk:

1. Perusahaan yaitu sebagai bahan untuk mengetahui nilai lahan dan nilai aset tegakan seluruh umur sehingga perusahaan dapat mengetahui stok dan nilai aset tegakan yang dimiliki untuk mendukung informasi pengelolaan hutan lestari.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nilai dan Penilaian

Nilai merupakan persepsi manusia, tentang makna suatu objek bagi orang (individu) tertentu, tempat, dan waktu tertentu pula. Persepsi ini merupakan ungkapan, pandangan, dan perspektif seseorang tentang atau terhadap suatu benda, dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut.

Penilaian adalah penentuan nilai manfaat suatu barang ataupun jasa bagi manusia atau masyarakat, sehingga penilaian sumberdaya hutan merupakan penentuan nilai manfaat sumberdaya hutan menggunakan metode tertentu, bagi individu atau masyarakat tertentu dan tempat serta waktu tertentu pula. Nilai manfaat sumberdaya hutan merupakan ekspresi kemanfaatan sumberdaya hutan berdasarkan persepsi individu atau masyarakat terhadap sumberdaya hutan tersebut dalam satuan moneter (nilai ekonomi) pada ruang atau tempat dan waktu tertentu (Bahruni 1999).

2.2 Penilaian Aset Sumberdaya Hutan

Dalam Bahruni (2001), ada beberapa konsep atau pengertian yang ada dalam pengelolaan hutan untuk dipahami dalam penilaian aset hutan tanaman ini adalah sebagai berikut:

a. Daur atau rotasi atau siklus tebang adalah umur dari pohon ditanam sampai dipanen atau jangka waktu periode penebangan suatu blok atau areal hutan tertentu.

b. Penataan hutan adalah kegiatan mengorganisir seluruh areal hutan (unit pengelolaan) menjadi bagian hutan, blok, petak dan anak petak, yang memungkinkan terwujudnya pengaturan produksi secara berkelanjutan.

c. Riap (growth, increment) yaitu pertumbuhan dimensi pohon atau tegakan ke arah horizontal maupun vertikal (diameter, tinggi, ukuran tajuk).

(18)

dukung atau produktivitas atau riap tegakan, untuk mewujudkan kelestarian produksi.

e. Nilai harapan lahan atau tanah (Soil Expectation Value atau SEV) adalah nilai jasa lahan sebagai faktor produksi untuk penggunaan hutan selama rentang waktu tak terhingga.

f. Nilai tegakan merupakan nilai pohon atau tegakan berdiri di hutan (nilai surplus sumberdaya alam).

g. Hutan seumur (even age stand) adalah hutan yang terdiri dari kelas umur yang sama, dalam suatu unit pengelolaan struktur tegakan terdiri dari kelas-kelas umur yang lengkap dari umur muda sampai tua. Hutan seumur terdapat pada hutan tanaman.

h. Sistem silvikultur adalah sistem yang mengatur kegiatan pengelolaan hutan yang terdiri dari berbagai aktivitas teknik silvikultur, seperti pengaturan permudaan hutan, pengaturan pemanenan, pembibitan, penanaman dan lain-lain. Contoh sistem silvikultur adalah sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Pada hutan tanaman diterapkan sistem THPB, pada hutan alam ada beberapa alternatif sistem silvikultur, tergantung kondisi (karakteristik) hutan alam tersebut.

i. Hutan normal adalah hutan yang dikelola secara teratur yang memberikan pertumbuhan normal, sehingga produksi optimal (relatif konstan) pada setiap blok atau petak areal hutan dengan flow produksi terjamin setiap tahun. Hutan normal dapat terwujud pada hutan yang tertata atau dikelola dengan baik (regulated forest).

j. Tegakan masak tebang adalah tegakan yang telah mencapai umur untuk dipanen.

Aset hutan ini berarti nilai kapital sumberdaya hutan yang bersumber dari manfaat ekonomis tegakan hutan sebagai penghasil kayu. Ada tiga komponen yang dinilai, diantaranya: a) Nilai Harapan Lahan (NHL), b) Nilai tegakan muda (immature stand) dan nilai tegakan masak tebang (stumpage value), c) Nilai

(19)

sedangkan pada hutan alam terdiri dari tegakan dengan berbagai umur setelah penebangan.

Penelitian Onrizal dan Sulistiyono (2002) menyatakan bahwa penilaian tegakan untuk IUPHHK-HT hanya pada kuantifikasi potensi produksi, yakni berupa volume kayu yang dihasilkan. Selain kuantifikasi potensi tegakan, adakalanya juga dilakukan pengukuran terhadap kondisi lahan atau tapak untuk mendapatkan Nilai Harapan Lahan (SEV:Soil Expectation Value). Namun, secara umum penghitungan SEV untuk pemegang IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI tidak dilakukan atau tidak diukur, karena dalam konsesi IUPHHK-HA atau IUPHHK-HT lahan bukan milik perusahaan dan tidak bisa diagunkan.

2.3 Tegakan dan Nilai Tegakan

Tegakan (stumpage) hakekatnya adalah kayu (timber) pada kumpulan pohon-pohon yang masih hidup atau sudah mati (misal pohon jati yang diteres) yang ada di hutan, termasuk juga pohon yang sudah tumbang karena alam maupun ditebang tetapi belum dilakukan pembagian batang dijadikan sortimen kayu bulat (logs) dan pohon (kayu) tersebut siap untuk dijual, dengan demikian pohon itu sudah masak tebang. Pengertian tegakan seperti ini berlaku di wilayah Amerika, hal ini juga pada umumnya dianut di Indonesia, sedangkan di Eropa adalah kayu bulat yang berada di tempat pengiriman (tempat penjualan), seperti TPK (tempat penimbunan kayu),logs pond (tempat penimbunan kayu di sungai), loading point ( tempat pemuatan untuk pengapalan, umumnya di muara sungai). Jika pengertian tegakan ini adalah kayu bulat, maka penilai (assesor) perlu memperhitungkan biaya pemanenan dan pengangkutan ke tempat pengiriman ini, untuk ditambahkan kepada nilai tegakan tersebut. Perbedaan pengertian ini berkaitan dengan pasar yang ada di kedua tempat tersebut, di Amerika umumnya dijual dalam bentuk pohon berdiri atau sudah ditebang tetapi masih di tempat (di dalam hutan) sedangkan di Eropa umumnya pemilik (pengelola) melakukan penebangan dan mengangkut kayu bulat ke lokasi yang mudah dijangkau oleh pembeli atau di sepakati, harga jualfrancodi tempat ini (Davis and Johnson 1987, di acu dalam Bahruni 1999).

(20)

pendekatan mana yang dipilih adalah tergantung pada situasi dan kondisi hutan yang dihadapi. Untuk hutan tanaman, nilai tegakan dapat ditaksir dengan menggunakan gabungan pendekatan nilai biaya dan nilai pendapatan. Apabila tegakan hutan belum menyediakan tegakan yang masak tebang maka pendekatan nilai biaya lebih cocok digunakan daripada pendekatan nilai pendapatan. Kedua cara pendekatan ini memerlukan perhitungan cashflow dengan memasukkan biaya bunga modal (opportunity cost of capital). Apabila cara pendekatan nilai biaya yang digunakan maka diperlukan proses compounding dengan compounding factor sebagai bilangan pengali terhadap nilai suatu investasi untuk menentukan nilainya pada akhit tahun t yang akan datang dengan tingkat bunga i % per tahun yang dianggap dengan segera ditanamkan kembali (Warsito 1986, diacu dalam Isfiati 2001).

Darusman dan Bahruni (2004) menyatakan bahwa secara konsepsional stok tegakan yang dipanen pada suatu areal merupakan hasil akumulasi riap selama siklus tebang, yang di dalam pengaturan hasil tahunan, kelestarian produksi tercapai apabila laju panen sama dengan laju pertumbuhan (riap) tegakan di seluruh areal. Berbasis pada prinsip di atas, maka pendapatan atau harga hasil hutan kayu bulat yang diterima sekarang merupakan nilai saat kini hasil kayu bulat dari tegakan masa akan datang yang dihasilkan dari proses produksi (pengelolaan) hutan secara lestari. Pada hutan yang dikelola secara lengkap (regulated forest) seluruh macam aktivitas pengelolaan hutan menjadi aktivitas tahunan, sehingga terjadi aliran penggunaan input dan aliran hasil (output) dalam proses pengelolaan hutan lestari tersebut secara lengkap setiap tahun. Nilai hasil kayu bulat ini terdiri (terbagi) atas tiga komponen, yaitu:

1. Seluruh biaya pengelolaan hutan yang besarnya mencukupi penerapan seluruh aktivitas pengelolaan hutan lestari (pemenuhan kriteria dan indikator) selama siklus tebang sampai terbentuk kembali tegakan sebagai wujud dari kelestarian produksi, ekologi dan sosial, atau mencakup biaya produksi tegakan, biaya pemanenan kayu bulat, biaya lingkungan dan biaya aspek sosial

(21)

kewirausahaan, yang besarnya cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidup usaha dalam jangka panjang

3. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari nilai sumberdaya hutan (tegakan) yang dikelola tersebut (economic rent).

2.4 Pertumbuhan dan Riap

Pertumbuhan adalah konsep produksi biologi yang dapat diukur dalam unit fisik seperti volume, tinggi, luas bidang dasar, diameter dan berat, yang memiliki hubungan fungsional dengan umur tegakan.

Bentuk kurva pertumbuhan tegakan yang ideal akan mengikuti bentuk ideal pertumbuhan organisme, yaitu bentuk sigmoid. Pada setiap pertumbuhan individu, pertumbuhan menunjukkan tiga tahap (Gambar 1). Tahap pertama adalah pertumbuhan eksponensial yaitu pertumbuhan yang lambat pada saat tegakan masih muda, namun terus mengalami peningkatan. Tahap kedua pertumbuhan mendekati linear, terjadi peningkatan pertumbuhan secara konstan (pertumbuhan maksimum) saat tegakan dewasa dan pada tahap ini terdapat titik belok kurva. Tahap ketiga adalah pertumbuhan asimtotis yaitu perlambatan pertumbuhan saat tegakan berumur tua atau suatu garis yang bersifat tetap dan mendatar pada akhir pertumbuhan (Husch 1963, Davis and Jhonson 1987, Suhendang 1990).

Tinggi (m) Diameter (cm) Volume (m³)

Umur (tahun)

Gambar 1 Pola umum pertumbuhan tegakan

Pertumbuhan suatu tegakan dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah sifat ataugenotype dari jenis yang bersangkutan, sedangkan faktor eksternal mencakup kualitas tempat tumbuh , kondisi persaingan dan perlakuan silvikultur yang diberikan. Pertumbuhan suatu jenis yang sama

Tahap 1

Tahap 3

Titik belok

(22)

belum tentu sama apabila kondisi tempat tumbuhnya berbeda atau mendapatkan perlakuan silvikultur yang sama (Fuad 2001).

Riap dibedakan ke dalam riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, MAI), riap tahunan berjalan (Current Annual Increment, CAI) dan riap periodik (Periodic Increment, PI). MAI adalah riap rata-rata per tahun yang terjadi sampai periode waktu tertentu, CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan, sedangkan PI adalah riap dalam satu waktu periode tertentu (Meyer et al. 1961, Husch 1963, Prodan 1968).

2.5 Acacia mangium

Acacia mangium merupakan salah satu fast growing species yang banyak dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman di Indonesia, baik untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri maupun rehabilitasi lahan. Sampai dengan tahun 1999, lebih dari 800.000 hektar hutan tanaman A.mangium telah dibangun dengan tujuan utama sebagai pemasok kebutuhan bahan baku bagi industri pulp dan kertas. Pembangunan hutan tanaman A.mangium ini diperkirakan akan semakin luas sejalan dengan kebijakan Departemen Kehutanan yang menetapkan sasaran fasilitas pembangunan hutan tanaman seluas 5 juta hektar (Puslitbang Hutan Tanaman 2005)

Penelitian Riyanto (2005) mengatakan bahwa MAI tertinggi tegakan A.mangium sampai dengan umur sepuluh tahun adalah 36 m3/ha pada umur lima tahun, sedangkan untuk CAI tertinggi adalah 60 m3/ha pada umur empat tahun. Untuk umur tebang optimum atau terbaik adalah pada umur enam tahun. Hal ini senada dengan apa yang dilaporkan oleh Riyanto (1994) bahwa pertumbuhan A.mangium pada umur enam tahun sudah menunjukkan perlambatan walaupun untuk pertumbuhan tinggi masih berlangsung. Perlambatan pertumbuhan terjadi pada umur sembilan tahun. Adanya perlambatan pertumbuhan baik dimensi diameter maupun dimensi tinggi akan mempengaruhi perkembangan volume tegakan.

2.6 Eucalyptus pellita

(23)

dengan tinggi mencapai 10 m dengan diameter lebih dari 100 cm. Manfaat yang dominan dari pohon ini adalah untuk bahan baku kertas pulp (Irwanto 2006)

2.7 Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)

Dalam peraturan direktur jenderal bina produksi kehutanan No P.6/VI-set/2009, tentang standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari pada hutan negara (IUPHHK–Hutan Alam/ IUPHHK-HT/HTI) dijelaskan bahwa penilaian pengelolaan hutan lestari terbagi menjadi empat kriteria, yaitu prasyarat, produksi, ekologi dan sosial. Setiap kriteria tersebut terdiri dari beberapa indikator untuk mencapai kelestarian hutan (Dephut 2009).

Dalam standar Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) 5000-2 tahun 2003 tentang sistem Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL), dijelaskan bahwa sistem PHTL merupakan bagian atau turunan dari standar sistem pengelolaan hutan produksi. PHTL dapat diwujudkan apabila dimensi hasil (outcome) dapat dicapai melalui serangkaian strategi dan kegiatan manajemen yang tepat (dimensi manajemen). Dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan tanaman, terdapat banyak proses atau faktor yang perlu dilibatkan dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan yang ditetapkan. Dengan demikian berbagai proses dan faktor tersebut memerlukan pengelompokan berdasarkan posisinya dalam sebuah pengelolaan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan sistem PHTL diantaranya: 1. Kelestarian fungsi produksi adalah terjaminnya keberlangsungan

pemanfaatan hasil hutan dan usahanya.

2. Kelestarian sumberdaya adalah terjaminnya kemantapan dan keamanan areal hutan tanaman sehingga memberikan kepastian usaha jangka panjang.

3. Kelestarian hasil hutan adalah keberlanjutan dan atau peningkatan produksi hasil hutan dari waktu ke waktu akibat peningkatan upaya pengelolaan hutan sesuai dengan daya dukung lingkungan dalam satu kelestarian unit manajemen.

(24)

5. Penataan kawasan adalah bagian dari kegiatan manajemen areal yang bertujuan untuk mengatur areal hutan menjadi unit-unit manajemen terkecil dalam pengusahaan hutan tanaman.

6. Pengamanan kawasan adalah bagian dari kegiatan manajemen areal yang bertujuan untuk mencegah dan mengatasi konflik kepentingan dan gangguan-gangguan terhadap areal dan sumberdaya alam.

7. Manajemen hutan adalah strategi dan serangkaian kegiatan pengelolaan hutan tanaman yang bertujuan untuk mengatur pemanfaatan hasil hutan secara berkelanjutan.

8. Kelola produksi adalah serangkaian strategi pengelolaan hutan untuk mengatur dan mempertahankan fungsi produksi dalam batas-batas daya dukung lingkungannya.

9. Manajemen keuangan adalah bagian dari penataan kelembagaan yang dapat menjamin adanya alokasi biaya untuk reinvestasi sumberdaya agar dapat mendukung keberlanjutan usaha jangka panjang.

Dalam Kartodihardjo (2006), upaya pencapaian manajemen PHL dari aspek produksi dan aspek finansial sangat tergantung pada kondisi di bawah ini: a. PHL- produksi yaitu jumlah produksi kayu bulat sesuai pertumbuhan hutan,

yang dijabarkan dalam bentuk etat luas maupun volume

b. PHL- finansial yaitu jumlah pendapatan suatu usaha atau unit manajemen dapat menutup seluruh biaya untuk mendapat keuntungan normal

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada IUPHHK-HT PT X di Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian dilaksanakan pada bulan April–Mei 2010.

3.2 Alat dan Objek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya meteran / pita ukur, haga hypsometer, tally sheet, kalkulator, alat tulis, kamera, microsoft excel 2007 dan objek penelitian berupa tegakan.

3.3 Jenis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari pengamatan di lapangan. Data primer yang diperlukan antara lain:

1. Data potensi tegakan hasil pengukuran pada plot pengukuran potensi

2. Data teknis kegiatan silvikultur yang dipakai hasil pengamatan pada areal persemaian

Data sekunder yang diperlukan didapat dari data yang dimiliki perusahaan, data tersebut diantaranya:

1. Data potensi tegakan di setiap Kelas Umur (KU) hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB)

2. Data pengukuran pertumbuhan pada Petak Ukur Permanen (PUP)

(26)

3.4 Asumsi- asumsi

Dalam analisis nilai aset tegakan hutan ini diperlukan beberapa asumsi sebagai dasar dalam perhitungan, asumsi tersebut diharapkan mendekati keadaan sebenarnya atau seharusnya di lapangan dan secara keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penelitian ini digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:

1. Harga kayu Acacia mangium sebesar Rp 431.825,-/m3 yang merupakan rata-rata harga kayu yang meliputi penjualan di Perhutani Rp 413.650,-/m3 (Suprayogi 2009) dan IUPHHK-HT Musi Hutan Persada Rp 450.000,-/ m3 (Murtijo 2009) karena sampai saat penelitian dilakukan perusahaan belum melaksanakan pemanenan dan penjualan. Harga kayu Eucalyptus pellita diasumsikan sama dengan harga kayu Acacia mangium.

2. Biaya pemanenan sebesar Rp 201.500,-/ m3(Suprayogi 2009).

3. Tingkat inflasi yang digunakan untuk penentuan harga dasar tahun 1998 merupakan rata-rata inflasi dari tahun 2000-2009 (Bank Indonesia 2010) yaitu sebesar 8,74 %. Penggunaan tingkat inflasi dari tahun 2000-2009 karena mengingat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 sehingga tingkat inflasi dianggap kembali normal pada tahun 2000.

4. Biaya kegiatan pemeliharaan 1 dan pemeliharaan 2 diestimasi masing-masing sebesar 78% dan 22%, atas dasar proporsi kegiatan pemeliharaan 1 dan pemeliharaan 2.

5. Tahun penilaian untuk nilai aset tegakan hutan ini adalah tahun 2009, dengan pertimbangan data potensi tegakan setiap umur hasil IHMB pada tahun 2009.

3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Pengukuran potensi tegakan

Pengukuran potensi tegakan dilakukan dengan mengukur diameter dan tinggi pohon. Pengukuran dilakukan dengan menentukan dahulu petak yang akan diukur pada setiap Kelas Umur (KU) kemudian pada setiap petak yang sudah ditentukan tersebut dibuat plot contoh berbentuk lingkaran dengan ukuran plot yang berbeda pada setiap KU. Klasifikasi ukuran plot pada setiap KU mengikuti ukuran plot saat IHMB, yaitu:

(27)

2. KU III ( Umur 5-6 tahun) dan KU IV ( Umur 7-8 tahun) ukuran jari-jari plot 11,28 m atau seluas 0,04 Ha

3. KU V ( Umur 9-12 tahun) ukuran jari-jari plot 17,8 m atau seluas 0,1 Ha

3.5.2 Identifikasi teknis kegiatan silvikultur di areal persemaian

Identifikasi teknis dilakukan dengan wawancara dan survey langsung di lapangan untuk mengetahui teknis silvikultur yang dilakukan. Identifikasi teknis ini dapat dilihat dari persemaian yang dibangun, teknis yang digunakan dalam perbenihan dan pembibitan.

3.5.3 Data keadaan umum lokasi penelitian

Data keadaan umum lokasi penelitian yang diperlukan meliputi letak geografis dan luas areal, keadaan fisik lingkungan dan data lain yang berhubungan dengan obyek penelitian yang tersedia dan dilakukan dengan studi literatur.

3.6 Metode pengolahan dan Analisis data 3.6.1 Volume pohon

Volume pohon ditentukan dengan menggunakan rumus Spurr (1952) sebagai berikut:

Keterangan :

b = Luas bidang dasar (¼πd2) π=3,14

d=Diameter setinggi dada h = Tinggi

f = Angka bentukEucalyptus urophyllayaitu 0,56 (Darwo, 1997).

3.6.2 Riap Rata-Rata Tahunan (MAI)

Perhitungan riap rata-rata tahunan berdasarkan rumus Prodan (1968), sebagai berikut:

MAI volume (m3/ha/tahun)

3.6.3 Riap Tahunan Berjalan (CAI)

Perhitungan riap tahunan berjalan berdasarkan rumus Prodan (1968) sebagai berikut:

(28)

Keterangan:

Vn = Volume tegakan pada saat umur n (m3/ ha) Tn = Umur tegakan pada saat umur n (tahun)

3.6.4 Nilai Masa Datang (Future Value)

Nilai masa datang merupakan nilai yang akan diperoleh pada saat yang akan datang dari investasi yang ditanamkan. Perhitungan dilakukan berdasarkan rumus Klemperer (1996) sebagai berikut:

Keterangan:

Vn = Nilai masa datang pada tahun n (tahun penilaian) (Rp)

V0 = Nilai investasi pada tahun tertentu (Rp)

i = Tingkat inflasi (%)

n = Jangka waktu tahun n (tahun penilaian) dan tahun investasi

3.6.5 Nilai Sekarang (Present Value)

Nilai sekarang merupakan nilai yang akan diperoleh saat sekarang dari nilai yang akan datang. Perhitungan dilakukan berdasarkan rumus Klemperer (1996) sebagai berikut:

Keterangan:

Vn = Nilai masa datang pada tahun n (tahun penilaian) (Rp)

V0 = Nilai sekarang dari nilai masa datang (Rp)

i = Tingkat inflasi (%)

n = Jangka waktu tahun n (tahun penilaian) dan tahun investasi

3.6.6 Nilai bersih yang diterima pada akhir rotasi

Perhitungan nilai bersih yang diterima pada akhir rotasi berdasarkan rumus Davis dan Johnson (1987), Bahruni (2001) sebagai berikut:

Keterangan:

NRd = Nilai pendapatan bersih pada saat akhir periode (daur)

Rt = Pendapatan pada umur ke-t Ct = Biaya pada umur ke-t (Rp)

(29)

i = Tingkat inflasi (%)

d = Daur atau siklus tebang (tahun)

3.6.7 Nilai Harapan Lahan (NHL)

Perhitungan nilai harapan lahan berdasarkan rumus Davis dan Johnson (1987) sebagai berikut:

Keterangan :

NRd = Nilai pendapatan bersih pada saat akhir periode (daur)

d = Daur atau siklus tebang (tahun) i = Tingkat inflasi

3.6.8 Nilai Hutan Tegakan Muda (NHTM)

Perhitungan nilai hutan tegakan muda berdasarkan rumus Davis dan Johnson (1987) sebagai berikut:

Keterangan :

NHTMt = Nilai sekarang dari tegakan muda seumur pada umur t NRt = Nilai pendapatan bersih dari tegakan muda pada umur t

d = Umur akhir daur

t = Umur tanaman pada saat tahun t (pada saat dilakukan penilaian) i = Tingkat inflasi

3.6.9 Nilai Aset Sumberdaya Hutan (NSDH)

Perhitungan nilai aset sumberdaya hutan adalah nilai total seluruh aset tegakan menurut kelas umur di dalam satu unit pengelolaan hutan (Bahruni 2001) sebagai berikut:

Keterangan :

NSDH = Nilai aset sumberdaya hutan

(30)

3.7 Analisis data

Analisis data dilakukan berdasarkan laporan biaya dalam laporan keuangan PSAK 32 dengan tahun analisis dari tahun 1998 sampai tahun 2008 dan laporan hasil IHMB tahun 2009. Untuk mendapatkan nilai aset tegakan hutan pada setiap kelas umur digunakan dua metode pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan biaya (Cost approach) yaitu pendekatan dari biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan (IUPHHK-HT) sampai tahun tertentu (Backward looking). Ada dua metode yang digunakan dalam analisis data melalui

pendekatan biaya ini, diantaranya:

a. Pendekatan biaya secara faktual dimana biaya yang dikeluarkan benar-benar menunjukkan manajemen keuangan perusahaan sesungguhnya yang dihadapi dalam perusahaan kehutanan tanpa adanya interpretasi.

b. Pendekatan biaya pengelolaan “normal” dimana nilai aset tegakan hutan didapat dari pengolahan data biaya sesuai teori pengelolaan hutan yang dikelola secara lengkap.

(31)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis dan Luas

Letak areal kerja IUPHHK-HT berada di bawah wilayah pemangkuan hutan Provinsi Kalimantan Tengah. Letak geografis areal IUPHHK-HT berada pada 111°28’00’’-111°55’00’’ BT- 1°62’30”-2°20’00’’ LS pada ketinggian tempat 25-500 mdpl.

Luas areal IUPHHK-HT sampai tahun 2009 telah mengalami dua kali perluasan. Luas areal berdasarkan Surat Keputusan (SK) awal IUPHHK-HT adalah 92.150 ha, Addendum I SK IUPHHK-HT 2006 luas areal bertambah menjadi 95. 420 ha dan Addendum II SK IUPHHK-HT 2009 luas areal kembali bertambah menjadi 97.850 ha.

Keadaan lahan 100% merupakan lahan kering, sedangkan untuk keadaan topografi terbagi menjadi 5 (lima) kelas kelerengan, diantaranya: Datar (Kelerengan 0-8%) 61,4%, Landai (Kelerengan 8-15%): 12,3%, Bergelombang (Kelerengan 15-25%): 11,8%, Agak Curam (Kelerengan 25-40%): 8,8%, Curam (Kelerengan > 40%): 5,7%.

4.2 Tanah dan Iklim

Dalam areal IUPHHK-HT terdapat 6 (enam) jenis tanah diantaranya Podsolik (51,64%), Kambisol (39,24%), Regosol (4,01%), Gleisol (3,75%), Aluvial (1,3%), Litosol (0,06%).

Tipe Iklim pada wilayah IUPHHK-HT termasuk dalam Tipe iklim A dengan curah hujan > 100 mm/bulan dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus.

4.3 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

(32)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Teknis Kegiatan dan Biaya pengelolaan 5.1.1 Perencanaan

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, biaya perencanaan disini mencakup biaya pengukuran dan pemetaan, biaya penyusunan Rencana Kerja Tahunan HTI (RKTHTI) dan biaya operasional perencanaan. Kegiatan pengukuran dan pemetaan dilakukan untuk mengetahui luas IUPHHK-HT sekaligus untuk mengetahui kesesuaian luas berdasarkan SK. Menteri Kehutanan, sedangkan kegiatan pemetaan dilakukan untuk membagi areal menjadi kawasan efektif dan tidak efektif.

Kegiatan penyusunan RKTHTI merupakan kewajiban pemegang IUPHHK-HT yang mengacu pada Kepmenhut No. 151 tahun 2002. RKT merupakan rincian rencana yang akan dilaksanakan suatu IUPHHK-HT dalam satu tahun dan akan dievaluasi pada akhir tahun pelaksanaannya.

Biaya kegiatan perencanaan ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk blok tanaman pada setiap tahun tanam. Total biaya kegiatan perencanaan dari tahun 1998 sampai tahun 2008 berkisar antara Rp 4.352 /ha sampai dengan Rp 273.218 /ha. Biaya kegiatan perencanaan pada setiap tahun tanam dapat dilihat pada lampiran 1.

5.1.2 Persemaian

(33)

Gambar 2 Bibit siap tanam berumur tiga bulan diopen areapersemaian Jenis tanaman pokok yang dikembangkan pada perusahaan ini adalah Acacia mangiumdanEucalyptus pellita. Pada awal pembangunannya, perusahaan ini membeli benih A.mangium dan E.pellita dari Australia dan di kembangkan secara generatif. Pada tahun 1999 akhir perusahaan memiliki gagasan untuk melakukan perbanyakan benih secara vegetatif dengan metode kultur jaringan. Tanaman yang digunakan untuk kultur jaringan adalah tanaman yang memiliki sifat genetik baik dan tahan dari hama penyakit. Pembelian benih dari Australia hanya dilakukan sampai tahun 2000 dan pada tahun 2001 perusahaan mulai menggunakan benih hasil kultur jaringan untuk dikembangkan.

(34)

(a) (b)

Gambar 3 Kegiatan di persemaian (a) stek yang ditanam di polytube, (b) hasil tanamcutting

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, yang termasuk dalam komponen biaya-biaya persemaian diantaranya biaya fasilitas persemaian, biaya seleksi dan pemindahan bibit, biaya penaburan benih, biaya proses media, biaya penyapihan bibit, dan biaya pemeliharaan bibit. Seluruh kegiatan dalam persemaian rata-rata dilakukan oleh buruh borongan di bawah pengawasan mandor.

Biaya kegiatan persemaian ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk blok tanaman pada setiap tahun tanam. Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini sejak tahun 1998 sampai tahun 2008 berkisar antara Rp 301.334 /ha sampai dengan Rp 968.405 /ha. Biaya kegiatan persemaian pada setiap tahun tanam dapat dilihat pada lampiran 1.

5.1.3 Penanaman

Kegiatan- kegiatan yang termasuk dalam biaya penanaman adalah biaya persiapan lapangan penanaman, penanaman dan penyulaman.

(a) (b)

(35)

Kegiatan penyiapan lahan tanam dilakukan dengan menggunakan jasa kontraktor dengan menggunakan sistem THPB. Lahan yang telah dibersihkan kemudian di pasang ajir. Sebelum kegiatan penanaman dilakukan, maka bibit terlebih dulu diangkut dari persemaian menuju lokasi penanaman. Pengangkutan bibit dari persemaian menuju lokasi penanaman menggunakan mobil khusus untuk mengangkut bibit agar bibit tidak rusak selama perjalanan menuju lokasi penanaman. Setelah bibit sampai di lokasi penanaman, bibit ditanam oleh buruh yang bekerja secara borongan. Tanaman yang ditanam terdiri dari tanaman pokok (A.mangium dan E.pellita). Kegiatan penyulaman dilakukan jika tanaman mengalami kerusakan atau mati. Kegiatan penanaman ini dilakukan setiap tahun sesuai tahun tanamnya.

Biaya kegiatan penanaman ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk blok tanaman pada setiap tahun tanam. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, untuk seluruh biaya penanaman dari tahun 1998 sampai tahun 2008 berkisar antara Rp 1.983.614 /ha sampai dengan Rp 6.678.351 /ha. Biaya kegiatan penanaman pada setiap tahun tanam dapat dilihat pada lampiran 1.

5.1.4 Pemeliharaan

Berdasarkan laporan biaya perusahaan, kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam biaya kegiatan pemeliharaan tanaman adalah penyiangan manual, penyiangan herbisida, pemangkasan, pemberantasan hama dan penyakit serta penjarangan.

(36)

terserang hama dan penyakit. Kegiatan penjarangan di IUPHHK-HT ini dilakukan hanya untuk uji coba kayu untuk produksi pulp dan uji coba jarak tanam.

Kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk tanaman berumur 1 tahun (tahun berjalan) dan juga sebagian dilakukan pada tanaman yang sudah berumur 2 tahun. Total keseluruhan biaya pemeliharaan 1 dari tahun 1998 sampai tahun 2008 berkisar antara Rp 14.441 /ha sampai dengan Rp 4.257.515 /ha sedangkan biaya pemeliharaan 2 berkisar antara Rp 4.073 /ha sampai dengan Rp. 1.200.838 /ha Biaya kegiatan persemaian pada setiap tahun tanam dapat dilihat pada lampiran 1.

5.1.5 Pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan

Kegiatan dalam pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan ini terdiri dari pembuatan ilaran api (sekat bakar), pemeliharaan sekat bakar, pengendalian kebakaran, pembuatan menara api dan satuan pengamanan atau patroli. Khusus untuk kegiatan pembuatan ilaran api (sekat bakar) dan pembuatan menara api, biaya dibebankan dalam biaya pembangunan sarana dan prasarana karena termasuk ke dalam aktiva tetap yang mengalami penyusutan.

Gambar 5 Sarana pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan (a) Menara pengawas 1 dan (b) Menara pengawas 2

(37)

5.1.6 Pemenuhan kewajiban kepada negara

Pemenuhan kewajiban kepada negara terdiri dari kewajiban finansial (PBB, Iuran Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (IHPHTI)) dan kewajiban teknis pemeliharaan (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)). Kewajiban finansial yang dibayarkan setiap tahun adalah biaya PBB sedangkan untuk biaya IHPHTI dimasukan ke dalam biaya pembangunan sarana dan prasarana karena termasuk kedalam aktiva tetap perusahaan. Total keseluruhan biaya pemenuhan kewajiban kepada negara dari tahun 1998 sampai tahun 2008 berkisar antara Rp 14.528 /ha sampai dengan Rp 83.841 /ha. Biaya pemenuhan kewajiban kepada negara pada setiap tahun dapat dilihat pada lampiran 1.

5.1.7 Pemenuhan kewajiban pada lingkungan dan sosial

Kegiatan yang termasuk dalam komponen biaya pemenuhan kewajiban pada lingkungan dan sosial diantaranya kompensasi atas lahan masyarakat, kegiatan perencanaan untuk masyarakat, pemeliharaan lingkungan, pembinaaan sosial (program tumpangsari), kegiatan untuk bantuan masyarakat, bantuan sosial dan kehumasan, sumbangan untuk perayaan upacara adat dan ternak sapi.

Biaya pemenuhan kewajiban pada lingkungan dan sosial merupakan biaya tahunan yang besarnya tergantung dari setiap kegiatan soaial yang dilakukan, dengan demikian biaya ini tidak dikaitkan secara langsung dengan luas blok tahun tanam berjalan (tahun tanam tertentu).

(a) (b)

(38)

Total keseluruhan biaya pemenuhan kewajiban pada lingkungan dan sosial dari tahun 1998 sampai tahun 2008 berkisar antara Rp 81.716 /ha sampai dengan Rp 1.175.703 /ha. Biaya pemenuhan kewajiban kepada negara pada setiap tahunnya dapat dilihat pada lampiran 1.

5.1.8 Pembangunan sarana dan prasarana

Biaya sarana dan prasarana termasuk ke dalam daftar aktiva tetap yang mengalami penyusutan. Kegiatan dalam pembangunan sarana dan prasarana terdiri dari kegiatan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain pembangunan dan pemeliharaan jalan utama, jalan cabang jalan pemeriksaan, jembatan atau gorong-gorong, instalasi listrik, kendaraan bermotor, alat berat, bangunan gedung, peralatan inventaris dan lapangan golf. Kegiatan lain yang termasuk ke dalam pembangunan sarana dan prasarana adalah penyusunan RKPHTI, tata batas dan pengukuhan, serta IHPHTI. Biaya pemeliharaan sekat bakar termasuk dalam biaya pemeliharaan sarana dan prasarana.

Gambar 7 Pengadaan Kendaraan Bermotor, Bangunan Gedung, Alat Berat,Jalan Utama, Alat Inventaris, Lapangan Golf.

(39)

dan pemeliharaan sarana dan prasarana pada setiap tahun tanam dapat dilihat pada lampiran 1.

5.1.9 Administrasi dan Umum

Komponen biaya yang termasuk dalam kegiatan administrasi dan umum diantaranya biaya umum dan tenaga kerja, biaya kesejahteraan, biaya penelitian dan pengembangan, serta biaya pendidikan dan pelatihan.

Total keseluruhan biaya administrasi dan umum dari tahun 1998 sampai tahun 2008 berkisar antara Rp 2.169.821 /ha sampai dengan Rp 12.420.683 /ha. Biaya pemenuhan kewajiban kepada negara pada setiap tahun dapat dilihat pada lampiran 1.

5.2 Potensi Tegakan

5.2.1 Sediaan tegakan hasil IHMB

IUPHHK-HT telah melakukan IHMB pada tahun 2009. IHMB ini dilakukan pada jenis kelompok tanaman pokok yaitu A.mangium, E.pellita dan Hibiscus similis. Plot contoh yang dibuat sebanyak 681 plot yang mewakili

95.420 ha luas areal kerja IUPHHK-HT. Komposisi tanaman pokok diantaranya A.mangium (51,76 %), E.pellita (43,79 %) dan Hibiscus similis (tanaman konservasi) (4,46 %). Dari hasil pengolahan data IHMB secara spasial dengan menggunakan extentionIHMB Jaya’s 4.0 diperoleh sediaan tegakan rata-rata per hektar IUPHHK-HT sebesar 141,33 m3/ha dan sediaan tegakan total sebesar 6.814.301,14 m3.

(40)

Tabel 1 Sediaan tegakan IUPHHK-HT jenisAcacia mangium

KU V 1998 139.388 511 11 139.388 2009

KU V 1999 211.806 967 10 211.806 2009

KU V 2000 725.557 3.178 9 842.383 2010

KU IV 2001 768.147 3.365 8 1.015.559 2011

KU IV 2002 557.804 2.272 7 808.361 2012

KU III 2003 712.167 3.996 6 1.299.752 2013

KU III 2004 546.804 4.375 5 1.351.073 2014

KU II 2005 516.501 3.419 4 1.270.772 2015

KU II 2006 121.944 1.461 3 497.971 2016

KU I 2007 56.425 1.178 2 402.874 2017

KU I 2008 1.943 66 1 23.823 2018

Total 4.358.487 24.788 7.863.763

AAC volume (m³/tahun) 786.376

Volume rata-rata saat daur (m3/ha) 317

AAC luas (ha/tahun) 2.479

Keterangan : RiapA.mangium= 36,76 m3/ha/th (data pengukuran PUP PT.X)

Tabel 2 Sediaan tegakan IUPHHK-HT jenisEucalyptus pellita

KU

KU V 1999 78.597 437 10 78.597 2009

KU V 2000 84.278 383 9 96.062 2010

KU IV 2001 128.772 550 8 162.663 2011

KU IV 2002 525.105 2.949 7 797.621 2012

KU III 2003 356.788 2.058 6 610.327 2013

KU III 2004 279.736 2.097 5 602.751 2014

KU II 2005 402.992 3.803 4 1.105.707 2015

KU II 2006 214.776 3.117 3 886.887 2016

KU I 2007 264.595 8.212 2 2.288.031 2017

KU I 2008 55.300 1.652 1 513.262 2018

Total 2.400.585 25.306 7.151.553

AAC volume (m³/tahun) 715.155

Volume rata-rata saat daur (m3/ha) 283

AAC luas (ha/tahun) 2.531

Keterangan : RiapE.pellita= 30,80 m3/ha/th (data pengukuran PUP PT.X)

(41)

Sampai tahun 2010 saat penelitian dilakukan perusahaan belum melaksanakan pemanenan tegakan yang sudah masak tebang. Pertimbangan belum dilaksanakan pemanenan ini karena perusahaan terkena pengaruh krisis ekonomi global sehingga perusahaan belum membangun industri pengolahan kayu dan kemampuan keuangan untuk membangun sarana prasarana pemanenan.

5.2.2 Potensi hasil pengukuran saat penelitian

Potensi ini diperoleh dari pengukuran tinggi dan diameter pada setiap KU di lapangan.

Tabel 3 Potensi hasil pengukuran jenisE.pellitadanA.mangium

Umur

Volume (m³/ ha)

E. Pellita A. Mangium

Peneliti PUP IHMB Peneliti PUP IHMB

1 6,16 6,19 33,47

Berdasarkan hasil pengukuran potensi pada Tabel 3, jenis tanaman yang di ukur pada setiap KU tidak dilakukan pada setiap jenis karena terhambat oleh kendala transportasi. Pengukuran ini dilakukan hanya untuk membandingkan hasil pengukuran potensi antara hasil penelitian peneliti dengan data potensi hasil IHMB dan PUP yang dimiliki perusahaan. Kendala yang dihadapi di lapangan saat pengukuran potensi adalah pada tanaman dengan umur 11 dan 12 tahun jarak tanam tidak beraturan.

5.2.3 Potensi hasil pengukuran pada PUP

(42)

Pembuatan PUP pada IUPHHK-HT ini baru dilakukan pada tahun kelima perusahaan berjalan. Saat pembuatannya manajemen perusahaan menginginkan nilai riap didapat melalui pengukuran per wilayah, sehingga PUP tersebar di empat wilayah pengukuran. Mengingat pembuatan PUP yang baru dilakukan pada tahun kelima, maka untuk mendapatkan data pertumbuhan dari tahun kesatu sampai tahun keempat dilakukan pengukuran pada petak yang berbeda sehingga data pertumbuhan yang diperoleh tidak menunjukkan hasil yang seharusnya. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi tapak yang berbeda di setiap lokasi pengukuran. Sampai saat ini IUPHHK-HT memiliki 180 petak PUP, pengukuran dilakukan per enam bulan dalam satu tahun.

Hasil perhitungan MAI dan CAI didapatkan dari data pengukuran yang dilakukan perusahaan pada PUP. Nilai MAI dan CAI untuk jenis A.mangium dan E.pellitadisajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Tabel 4 MAI dan CAIAcacia mangiumberdasarkan pengukuran PUP

Umur Volume (m3/ha) MAI (m3/ha/tahun) CAI (m3/ha)

Sumber: Data hasil pengukuran PUP IUPHHK-HT (PT. X 2008)

(43)

CAI tertinggi ini dapat disebabkan karena kondisi tapak dan perlakuan silvikultur yang berbeda. Nilai MAI dan CAI yang berfluktuasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, karena pertumbuhan suatu tegakan dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah sifat atau genotype dari jenis yang bersangkutan, sedangkan faktor eksternal mencakup kualitas tempat tumbuh, kondisi persaingan dan perlakuan silvikultur yang diberikan (Fuad 2001). Selain itu sering ditemui pohon yang mati pada saat pengukuran dilakukan, sehingga dapat mempengaruhi besarnya volume per ha.

Tabel 5 MAI dan CAIEucalyptus pellitaberdasarkan pengukuran PUP

Umur Volume (m3/ha) MAI (m3/ha/tahun) CAI (m3/ha)

Sumber: Data hasil pengukuran PUP IUPHHK-HT (PT. X 2008)

Untuk tegakan E.pellita, berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat nilai MAI mengalami peningkatan mulai umur satu tahun sampai umur sepuluh tahun, sedangkan nilai CAI mengalami fluktuasi. Nilai MAI tertinggi untuk jenis E.pellita adalah sebesar 30,80 m3/ha/tahun pada umur sepuluh tahun, sedangkan untuk CAI tertinggi adalah sebesar 46,4 m3/ha pada umur sembilan tahun.

5.3 Nilai Aset Tegakan Hutan Tanaman

Penilaian aset tegakan hutan pada IUPHHK-HT ini dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan biaya faktual, pendekatan biaya pengelolaan “normal”dan pendekatan nilai guna.

(44)

tegakan dari tahun 1998 sampai tahun 2008 menunjukkan nilai yang fluktuatif. Nilai aset total seluruh umur saat sekarang (tahun penilaian) sebesar Rp 541.292.951.399 atau Rp 13.005.871 /ha (Tabel 6) .

Berdasarkan laporan keuangan secara faktual, nilai aset tegakan yang fluktuatif disebabkan terdapat beberapa “keganjilan” dalam biaya yang telah dikeluarkan perusahaan, yang secara teoritis sulit dijelaskan. Beberapa kegiatan tersebut yaitu biaya penyusunan RKPHTI, biaya tata batas dan pengukuhan, biaya pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan, biaya pemenuhan kewajiban kepada negara, biaya pemeliharaan sarana dan prasarana.

Biaya penyusunan RKPHTI merupakan biaya yang termasuk ke dalam aktiva tetap teramortisasi (mengalami penyusutan). Berdasarkan daftar aktiva perusahaan, penyusunan RKPHTI dilaksanakan pada tahun 1999, 2000, 2003 dan 2008, namun pada laporan biaya pengusahaan hutan terjadi peningkatan biaya penyusunan RKPHTI secara tajam pada tahun 2004 sebesar 578 kali lipat atau dari biaya sebesar Rp 2.545.500 pada tahun 2003, menjadi 1.445.461.661 pada tahun 2004. Selain itu, pada tahun 2005 pun terdapat biaya penyusunan RKPHTI yang meningkat tiga kali lipat dari tahun 2004 yaitu sebesar Rp 3.827.547.844 Pada tahun 2006 dan 2007, biaya penyusunan RKPHTI ini berturut-turut sebesar Rp 1.246.451.602 dan Rp 1.467.189.363. Hal ini menjadi “ganjil” mengingat penyusunan RKPHTI tidak dilaksanakan pada tahun 2004 sampai tahun 2006. Peningkatan biaya yang signifikan ini dapat disebabkan karena adanya biaya transaksi dalam penyusunan RKPHTI. Dalam Kartodihardjo (2006) dikatakan terdapat biaya transaksi dalam menjalankan usaha kehutanan. Dalam pembangunan IUPHHK-HT, biaya transaksi adalah berbagai urusan yang dilakukan oleh pengusaha untuk melakukan berbagai transaksi dengan pemerintah serta melakukan transaksi dengan masyarakat misalnya untuk menyelesaikan sengketa penggunaan lahan dan lain-lain.

(45)

aktiva sesuai dengan penyusutannya, maka seharusnya biaya pada tahun 2003 akan sama jumlahnya untuk tahun 2004 dan 2005. Pada tahun 2006 dimana kegiatan ini dilaksanakan kembali, maka seharusnya nilai penyusutan pun akan bertambah. Berdasarkan laporan biaya pengusahaan hutan, biaya penyusunan tata batas dan pengukuhan ini mengalami penurunan dari tahun 2004 sampai 2006, meningkat kembali pada tahun 2007 dan kembali turun pada tahun 2008.

Kegiatan pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan merupakan aspek penting untuk menjaga sumberdaya hutan yang dimiliki IUPHHK-HT. Berdasarkan laporan biaya pengusahaan hutan pada laporan keuangan, dapat diketahui bahwa perusahaan belum melaksanakan kegiatan ini secara rutin setiap tahunnya. Kegiatan pengendalian kebakaran hanya dilakukan pada tahun 2003, 2004 dan 2007 saja, sedangkan kegiatan pengamanan hutan (satuan patroli) hanya dilaksanakan pada tahun 2003 saja. Seharusnya kegiatan ini dilakukan secara kontinyu setiap tahun karena luas areal yang harus dilindungi semakin bertambah setiap tahunnya.

Pada biaya pemenuhan kewajiban kepada negara, untuk tahun 1998 belum dilakukan pembayaran baik untuk kewajiban finansial maupun kewajiban teknis pemeliharaan. Biaya IUHPHTI yang seharusnya dibayar pada awal tahun sejak izin usaha diberikan dan termasuk kedalam aktiva tetap teramortisasi, baru dibayarkan pada tahun 2004 dan tidak dimasukkan ke dalam laporan biaya untuk biaya pemenuhan kewajiban kepada negara.

Pada kegiatan pembangunan sarana dan prasarana, kegiatan terbagi menjadi pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Pada kegiatan pengadaan, sarana dan prasarana yang di bangun mengalami penyusutan sesuai dengan masa manfaat dari sarana dan prasarana yang dibangun tersebut. Namun jika dilihat pada daftar sarana dan prasarana dalam daftar aktiva tetap perusahaan beserta penyusutannya, terdapat sejumlah biaya pengadaan pada laporan biaya yang tidak sesuai dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkan dalam daftar aktiva tetap perusahaan.

(46)

dilaksanakan rutin setiap tahunnya karena sarana dan prasarana merupakan aspek penting yang dapat mendukung lancarnya kegiatan perusahaan. Dari hal-hal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa perusahaan belum melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam mendukung pengelolaan hutan lestari. Hal tersebut dapat digambarkan pada nilai aset tegakan hutan secara faktual pada lampiran 1.

Untuk mendapatkan nilai aset sumberdaya hutan yang mendukung program pengelolaan hutan lestari dibutuhkan pengelolaan hutan “normal” yang menerapkan tata kelola hutan yang baik. Pada hutan yang dikelola secara lengkap (regulated forest) seluruh macam aktivitas pengelolaan hutan menjadi aktivitas tahunan, sehingga terjadi aliran penggunaan input dan aliran hasil (output) dalam proses pengelolaan hutan lestari tersebut secara lengkap setiap tahun (Darusman dan Bahruni 2004).

(47)

Tabel 6 Nilai aset tegakan hutan dengan 3 (tiga) pendekatan perhitungan dan gambar tegakan pada setiap umur

Nilai aset tegakan hutan (Rp/ha) Umur (tahun)

1 2 3 4

Gambar 8 E.pellita Gambar 9 E.pellita Gambar 10 E.pellita Gambar 11 E.pellita

P. biaya faktual 16.084.316 7.454.688 10.787.683 8.486.804

P. biaya “normal” 6.893.883 8.412.753 9.100.931 9.986.970

P. nilai guna harapan 7.342.200 17.964.404 27.392.175 36.102.434

5 6 7 8

Gambar 12 E.pellita Gambar 13 A. mangium Gambar 14 E.pellita Gambar 15 A. mangium

P. biaya faktual 8.748.887 12.761.627 10.314.594 13.639.399

P. biaya “normal” 10.956.457 12.444.315 13.251.392 16.249.309

P. nilai guna 37.385.103 43.850.834 47.755.805 51.108.639

(48)

Tabel 6 Lanjutan

Nilai aset tegakan hutan (Rp/ha) Umur (tahun)

9 10 11 Rata-rata

Gambar 16 A. mangium Gambar 17 A. mangium Gambar 18 A. mangium

P. biaya faktual 14.921.826 19.485.869 20.378.886 13.005.871

P. biaya “normal” 19.398.317 25.577.358 27.542.105 14.528.526

P. nilai guna 48.955.418 41.697.055 60.641.686 38.199.614

Keterangan: Gambar yang ditampilkan mewakili salah satu jenis pada setiap umur

(49)

Nilai aset sumberdaya hutan dengan pendekatan nilai guna (in use value approach), merupakan nilai aset tegakan yang diperoleh dengan memasukan

komponen pendapatan yang didapatkan oleh perusahaan, serta biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan selama pengusahaan hutan sampai saat daur. Pada pendekatan ini pun dilakukan perhitungan NHL untuk mengetahui nilai lahan dari penggunaan lahan untuk pengusahaan IUPHHK-HT ini.

Menurut Davis and Johnson (1987), NHL adalah pendapatan bersih yang diperoleh atas sebidang lahan dengan menggunakan konsep nilai sekarang (present value) pada tingkat suku bunga tertentu. Oleh karena itu, konsep tersebut lebih tepat untuk digunakan sebagai analisis manfaat bersih pada hutan tanaman yang investasi awal dan akhirnya bisa direncanakan, termasuk strategi teknologi yang kelak akan digunakan pada model pengelolaan sebaiknya sudah ditentukan secara eksplisit. Dengan konsep analisis seperti dikemukakan di atas, adanya perbedaan besarnya tingkat bunga yang digunakan mengakibatkan perbedaan yang cukup signifikan pada besarnya NHL yang ditemukan dan demikian juga akan berpengaruh pada tingkat daur atau umur tegakan yang dianalisis.

Tabel 7 Perhitungan NHL hutan di lokasi IUPHHK-HT PT. X Provinsi Kalimantan Tengah

Pengendalian kebakaran & pengamanan hutan 1.567 15,006 23.515

Pemenuhan kewajiban kepada negara 6.908 15,006 103.665

Pemenuhan kewajiban kpd. Lingkungan & sosial 70.774 15,006 1.062.009

Pembangunan sarana dan prasarana 105.902 15,006 1.589.126

Pemeliharaan sarana dan prasarana 137.643 15,006 2.065.426

Biaya administrasi dan umum 844.811 15,006 12.676.968

Jumlah pengeluaran sampai akhir daur 5.063.742 26.486.662

Harga kayu rata-rata (Rp/m³) 431.825

Biaya pemanenan (Rp/ m³) 201.500

Nilai tegakan (Rp/ m³) 230.325

Volume akhir daur (m3/ha) 311

Total biaya sampai saat daur (Rp/ha) 26.486.662

Pendapatan panen tegakan (Rp/ha) 71.529.150

Pendapatan bersih (Rp/ha) 45.042.488

(50)

NHL untuk penilaian aset tegakan sumberdaya hutan ini didapatkan dari rata-rata biaya pada setiap kegiatan yang di coumpounding-kan sampai saat daur. Berdasarkan Tabel 7, NHL IUPHHK-HT menunjukkan nilai sebesar Rp 34.344.338 /ha. Pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia, NHL ini merupakan nilai lahan yang dimiliki oleh pemilik lahan yaitu negara, sehingga perhitungan dilakukan hanya untuk mengetahui nilai lahan milik negara yang disewakan kepada pihak pengusaha dalam hal ini pemegang IUPHHK-HT untuk menjalankan usahanya. Dalam kenyataannya di lapangan, IUPHHK-HT tidak membayarkan sewa lahan dengan NHL yang diperhitungkan karena pungutan dalam sewa lahan ini dilakukan dengan pembayaran PBB dan IHPHTI.

Pada pendekatan nilai guna, nilai aset tegakan hutan diperoleh dengan memperhitungkan pendapatan bersih yang diperoleh setiap blok pada akhir daur dan biaya-biaya yang dikeluarkan setiap blok sampai akhir daur. Pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan terhadap tegakan jika sudah mencapai daur. Pada pendekatan ini nilai aset tegakan hutan dapat dilihat dari sisi pembeli (forward looking) dalam hal ini industri atau pembeli kayu.

Berdasarkan hasil analisis nilai aset tegakan hutan dengan pendekatan nilai guna, nilai aset mengalami peningkatan seiring bertambahnya umur tegakan, namun pada umur tegakan sembilan tahun dan sepuluh tahun nilai aset mengalami penurunan disebabkan pendapatan panen tegakan yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan panen tegakan pada blok tanam yang lain. Hal ini pun dipengaruhi volume tegakan per ha yang lebih kecil pada umur tanaman tersebut, sehingga pendapatan yang diterima pun rendah. Total nilai aset tegakan hutan seluruh blok pada saat sekarang (tahun penilaian) adalah sebesar Rp 1.790.947.705.018 atau sebesar Rp 38.199.614 /ha.

(51)

kerugian pada umur satu tahun saat daur nanti. Namun jika dilihat secara keseluruhan, perusahaan masih mendapatkan keuntungan dari investasi yang ditanamkan. Investasi biaya yang ditanamkan perusahaan masih rendah disebabkan karena perusahaan belum melaksanakan seluruh aktivitas pengelolaan hutan secara lengkap, hal ini dapat dilihat dari pengeluaran biaya faktual yang lebih kecil dari biaya pengelolaan “normal”. Untuk melaksanakan pengelolaan hutan secara lengkap dalam mendukung pengelolaan hutan lestari, maka diperlukan investasi yang lebih besar.

Untuk mendukung pengelolaan hutan lestari menurut Forest Stewardship Council (FSC) (2000) adalah adanya kelayakan ekonomi (Economically Viable) yaitu hasil hutan memiliki nilai ekonomi yang wajar dan hal ini tercermin dari perbandingan harga produksi hasil hutan dengan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan dapat dijadikan modal kembali didalam memelihara keberadaan sumberdaya hutan.

5.4 Analisis Nilai Aset Tegakan Hutan Dalam Mendukung PHL

Dalam Kartodihardjo (2006) dikatakan bahwa pengelolaan hutan lestari dilihat dari aspek produksi adalah dimana jumlah produksi kayu bulat sesuai pertumbuhan hutan, yang dijabarkan dalam bentuk etat luas maupun volume.

Gambar 19 Perbandingan luas areal tanam yang ditanami dengan etat luas IUPHHK-HT

Gambar

Gambar 1 Pola umum pertumbuhan tegakan
Gambar 2 Bibit siap tanam berumur tiga bulan di open area persemaian
Gambar 3 Kegiatan di persemaian (a) stek yang ditanam di polytube,
Gambar 5 Sarana  pengendalian kebakaran dan pengamanan hutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Data yang digunakan untuk mengukur kinerja pada tahapan penebangan adalah data potensi hutan, data realisasi penebangan, data waktu kerja penebangan, data tingkat

Indikator penduga keberhasilan reklamasi hutan yang terpilih (LBDS) dengan variabel penentunya (10 variabel), selanjutnya digunakan untuk membangun model monitoring

Selanjutnya dalam dokumen Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) pada hutan alam unit manajemen PT SLJ II tahun 2006 dinyatakan bahwa untuk

Tumpang tindih perijinan kegiatan pem- bangunan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan diduga disebabkan oleh adanya ketidakse- rasian antara Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

(Studi Kasus di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Tbk., Sektor Aek Nauli) , yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen..

Segala Puji dan Syukur hanya bagi Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus, oleh karena anugerah-Nya yang melimpah, kemurahan hati dan kasih setia yang besar