PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi Islam
Oleh:
ANITA CHAIRANI 203046101673
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA Hendra Kholid, MA NIP. 150 222 824
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
Oleh:
ANITA CHAIRANI 203046101673
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF
UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Maret
2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi Islam (SEI) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).
Jakarta, 27 Maret 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA (.………..)
NIP. 130 789 745
2. Sekretaris : Drs. Ahmad Yani, MA (………...)
NIP. 150 269 678
3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA (………...)
NIP. 150 222 824
4. Pembimbing II : Hendra Kholid, MA (………...)
5. Penguji I : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (………...)
NIP. 150 050 917
6. Penguji II : Drs. Anwar Abbas, M. Ag (………...)
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 15 Maret 2008
Nama : Yayan Daryunanti
Jabatan : Manager Administrasi Keuangan Baitul Maal Muamlat
Tempat Wawancara : Kantor Baitul Maal Muamalat (BMM), Slipi – Jakarta
Tanggal Wawancara : 19 Desember 2007
1. Menurut Ibu, bagaimana peran perbankan syariah dilihat dari UU No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Bank syariah dilibatkan dalam pengelolaan wakaf uang karena bank
syariah merupakan lembaga yang sudah dipercaya oleh masyarakat juga
agar lebih terkontrol dan lebih aman karena suatu lembaga yang
mengelola wakaf uang harus dapat mempertanggung jawabkan kepada
publik. Selain itu, setiap bank yang beroperasi otomatis mendapat izin dari
Bank Indonesia, juga dikontrol oleh Bank Indonesia.
2. Menurut Ibu, bagaimana model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No.
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41/2004 tentang
Wakaf dapat dibagi menjadi 2, yaitu dalam bentuk investasi dan dalam
bentuk pinjaman modal kerja.
3. Bagaimana perkembangan wakaf uang sebelum dan sesudah berlakunya UU No.
Jawab: Baitul Maal Muamalat (BMM) sudah mengeluarkan produk wakaf uang
sejak tahun 2002, artinya Baitul Maal Muamalat sudah mengeluarkan
produk wakaf uang sebelum lahirnya UU Wakaf. Dana yang terkumpul
pada tahun 2002 adalah sebesar Rp. 16.688.917,17,-. Sesudah lahirnya
UU Wakaf, produk wakaf uang di Baitul Maal Muamalat sangat
berkembang, ini terbukti dengan makin besarnya dana yang terkumpul
sampai dengan tahun 2007 yang sebesar Rp. 294.319.562,-.
4. Menurut Ibu, bagaimana peluang perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf
uang sesudah berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Peluang pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah sesudah
berlakunya UU Wakaf sangat besar, tapi perlu sosialisasi ke masyarakat.
5. Apa tantangan yang dihadapi perbankan syariah dalam mengelola wakaf uang
sesudah lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?
Jawab: Tantangannya adalah perlu sosialisasi tentang wakaf uang dan UU
No.41/2004 tentang Wakaf.
6. Langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan untuk pengembangan wakaf uang
di Baitul Maal Muamalat?
Jawab: Untuk pengembangan wakaf uang di Baitul Maal Muamalat, pihak Baitul
Maal Muamalat memberikan fasilitas IZI Uang. IZI Uang adalah layanan
penerimaan wakaf uang melalui SMS, dimana bagi wakif yang ingin
mewakafkan uangnya tidak perlu datang ke tempat penyetoran wakaf
penerimaan wakaf uang. IZI uang memiliki keunggulan yang dapat
memajukan produk wakaf uang, diantaranya wakif dapat mewakafkan
uangnya kapan saja dan dimana saja mereka berada serta melalui IZI Uang
wakif dapat mewakafkan uangnya minimal sebesar Rp.100.000,- (seratus
ribu rupiah). Fasilitas ini memudahkan wakif yang ingin berwakaf dengan
uang.
Jakarta, Maret 2008
Yang Mewawancarai Yang Diwawanacarai
Nama : Mulya E. Siregar
Jabatan : Kepala Pengembangan Penelitian Perbankan Syariah
Tempat Wawancara : Bank Indonesia, Jakarta
Tanggal Wawancara : 6 November 2007
1. Bagaimana pendapat Bapak tentang dikeluarkannya UU No.41 Tahun 2004
tentang Wakaf?
Jawab: Dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf maka
semakin jelas bagaimana orang harus berwakaf. Selama ini kita hanya
mengenal wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, masjid dan lain-lain,
tapi dengan keluarnya UU No. 41/2004 tentang Wakaf, selain mengatur
wakaf benda tidak bergerak, juga mengatur wakaf benda bergerak seperti
uang. Jadi cakupan dari UU ini lebih luas dibanding praktik wakaf yang
sementara ini berlaku di Indonesia.
2. Apakah Bank Indonesia ikut campur dalam pembuatan UU tersebut?
Jawab: Pada saat penyusunan draf UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
Departemen Agama meminta perwakilan dari Bank Indonesia untuk
menjadi anggota penyusunan UU wakaf ini. Bank Indonesia diminta
mengatur tentang wakaf uang, pada saat itu yang mewakili Bank
Indonesia adalah saya sendiri.
3. Keunggulan-keunggulan apa saja yang dimiliki perbankan syariah dalam
pengelolaan wakaf uang?
Jawab: Perbankan syariah memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat
mengoptimalkan pengelolaan wakaf uang yaitu: jaringan kantor,
kemampuan sebagai fund manager, pengalaman, jaringan informasi, peta
distribusi dan citra positif.
4. Menurut Bapak, bagaimana peran perbankan syariah dilihat dari UU No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf?
Jawab: Ada 4 alternatif peran bank syariah jika dilihat dari UU No. 41 tahun 2004
tentang wakaf, yaitu bank syariah sebagai penerima wakaf uang, bank
syariah sebagai penerima dan penyalur wakaf uang, bank syariah sebagai
pengelola wakaf uang dan bank syariah sebagai nazhir.
5. Menurut Bapak, bagaimana model pengelolaan wakaf uang jika dilihat dari UU
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf?
Jawab: Melihat dari alternatif peran bank syariah di atas, maka model pengelolaan
wakaf uang jika dilihat dari UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf juga
mempunyai 4 bentuk, yaitu pengelolaan wakaf uang oleh bank syariah
sebagai penerima wakaf uang, bank syariah sebagai penerima dan
penyalur wakaf uang, bank syariah sebagai pengelola wakaf uang dan
6. Apakah materi-materi dalam UU tersebut sudah cukup memberikan landasan
yang kuat bagi perbankan syariah dalam mengelola wakaf uang?
Jawab: Menurut pasal 23 PP No. 42/2006 tentang Pelaksanaan UU No.41/2004
tentang wakaf secara jelas diterangkan bahwa bank syariah hanya
berperan sebagai penerima wakaf uang dalam pengelolaan wakaf uang,
akan tetapi dalam pasal 11 ayat (3) menyatakan bahwa “Nadzir badan
hukum yang melaksanakan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan: (a) badan hukum Indonesia yang
bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam”. Bank syariah sebagai salah satu dari badan hukum
yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan artinya dapat pula menjadi
nazhir.
7. Adakah peraturan Bank Indonesia tentang pengelolaan wakaf uang di Indonesia?
Jawab: Tidak ada peraturan dari Bank Indonesia tentang pengelolaan wakaf uang
secara khusus, Bank Indonesia hanya mengeluarkan peraturan SK Dir. BI
No. 32/34/KEP/DIR Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah,
pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “Bank dapat bertindak sebagai lembaga
baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah,
wakaf, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang
berhak dalam bentuk santunan dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul
hasan)”. Selain itu juga ada SK Dir. BI No. 32/36/KEP/DIR Tentang Bank
“BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana
yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dan sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan
dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan).”
Jakarta, Maret 2008
Yang Mewawancarai Yang Diwawancarai
KATA PENGANTAR
Segala puja teriring puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan
masa kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada seorang reformis sejati, pembawa
risalah suci yakni baginda Nabi Muhammad saw, yang telah membawa umat manusia
keluar dari kubangan lumpur jahiliyah menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan skripsi ini, Penulis mendapatkan
banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril
maupun materiil. Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Euis Amalia, M. Ag., selaku Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak AH. Azharuddin Latif, M. Ag., selaku Sekretaris Program Studi Muamalat
4. Bapak Drs. Djawahir Hejazziey, SH., MA dan Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.
Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Program Non-Reguler Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Prof. Dr. H. Faturrahman Djamil, MA dan Bapak Hendra Kholid, MA.,
selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan dan ilmu yang telah diberikan
kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Mulya Siregar, Kepala Pengembangan Penelitian Perbankan Syariah Bank
Indonesia, yang telah menyempatkan waktunya untuk diwawancara ditengah
kesibukkannya yang sangat padat.
7. Manajemen Baitul Maal Muamalat (BMM) terutama Ibu Yayan Daryunanti dan
seluruh staf Muamalat Institut Karawaci, yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
8. Kedua orang tua Penulis, Ayahanda Drs. Mahfud Umar dan Ibunda Nurlaila yang
telah mencurahkan kasih sayangnya kepada Penulis dan adikku satu-satunya
Ilham serta tidak lupa keponakkanku yang tersayang Sahira juga cink Farid, yang
telah memberikan dukungan dan semangat kepada Penulis sehingga Penulis dapat
menyelesaikan skirpsi ini.
9. Seluruh staf bagian Perpustakaan Syariah yang telah membantu Penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman mahasiswa Jurusan Muamalat Program Non-Reguler angkatan
KKN di Padang). Terimakasih atas persahabatan yang terjalin selama ini, semoga
persahabatan ini Allah panjangkan selama-lamanya.
Akhirnya, kepada Allah SWT jualah Penulis serahkan segalanya serta
panjatkan doa semoga amal kebajikan mereka diterima di sisi-Nya, dan diberikan
pahala yang berlipat ganda sesuai dengan amal perbuatannya. Penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Jakarta, Maret 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8
D. Kajian Pustaka 9
E. Metode Penelitian 10
F. Sistematika Penelitian 11
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf 13
1. Pengertian Wakaf 13
2. Dasar Hukum Wakaf 17
a. Dasar Hukum Dari Al-Qur’an 17
b. Dasar Hukum Dari As-Sunnah 18
c. Dasar Hukum Dari Perundang-undangan Indonesia 20
3. Rukun dan Syarat Wakaf 23
4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek
Wakaf 28
B. Praktik Perwakafan Di Indonesia 33
C. Model Pengelolaan Wakaf Uang 36
1. Di Indonesia 36
BAB III PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PENGELOLAAN WAKAF UANG DILIHAT DARI UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
A. Perbankan Syariah Sebagai Lembaga Keuangan Syariah
Pengelola Wakaf 45
B. Keunggulan Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan
Wakaf Uang 50
C. Peran Perbankan Syariah Dalam Pengelolaan Wakaf
Uang Dilihat dari UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 54
BAB IV PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
A. Model Pengelolaan Wakaf Uang Menurut UU No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf 62
B. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Wakaf Uang Pada
Perbankan Syariah Pasca UU No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 75
B. Saran 78
DAFTAR PUSTAKA 80
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur
ekonominya sangat timpang (terjadi kesenjangan), karena basis ekonominya yang
strategis dimonopoli oleh segelintir orang yang menerapkan prinsip ekonomi
konvensional (ribawi). Di tengah keterpurukan ekonomi terutama di negeri kita
sendiri sejak tahun 1998, bank konvensional tidak lagi menjadi tumpuan memulihkan
ekonomi nasional demi kesejahteraan rakyat, tentu kita membutuhkan solusi yang
dapat memulihkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akhir-akhir ini
ada perkembangan menarik yang terjadi di Indonesia yaitu maraknya gerakan
kembali kepada Islam sebagai dasar dan sumber petunjuk kehidupan manusia dalam
seluruh aspeknya. Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam
semua kegiatan kehidupan akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik,
yang disebut sebagai hayatan thayyibah.1 Penerapan sistem ekonomi Islam yang
berbasiskan syariah dalam pengembangan ekonomi Islam di Indonesia, menjadi salah
satu bagian dari gerakan kembali kepada Islam dan agar kita dapat menjalankan roda
perekonomian secara adil dan merata kepada rakyat serta dapat memulihkan
perekonomian.
1
Salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang akhir-akhir ini juga menarik
perhatian umat Islam di Indonesia untuk dikembangkan adalah wakaf. Salah satu
institusi Islam yang sebenarnya telah lama dikenal masyarakat Indonesia namun
hingga kini belum dikelola secara optimal.
Wakaf adalah salah satu lembaga sosial Islam yang sangat dianjurkan untuk
digunakan oleh seseorang atau lembaga sebagai sarana penyaluran rezeki yang
diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Wakaf dikategorikan sebagai amal jariah yang
pahalanya akan terus mengalir walau si wakaf telah meninggal dunia. Karena harta
wakaf terus dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak.
Potensi yang terdapat pada wakaf sebenarnya tidak dapat diremehkan, terutama
dalam hal perannya menyediakan layanan-layanan publik yang mencakup bidang
pendidikan, kesehatan, sosial maupun untuk pemberdayaan ekonomi umat.
Sejak dulu, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada benda tidak
bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk
diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara
wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang
dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan dengan wakaf tunai,
namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash
waqf diterjemahkan dengan wakaf uang.2
2
Wakaf uang memiliki kekuatan yang umum dimana setiap orang bisa
menyumbangkan hartanya tanpa batas-batas tertentu atau tanpa harus menunggu
menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Pemberian dana wakaf biasanya hanya dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai harta kekayaan yang cukup besar dan diberikan
dalam bentuk harta tidak bergerak. Sementara sebagian besar masyarakat, tidak
mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan wakaf ini mengingat keterbatasan harta
yang mereka miliki.Dengan adanya wakaf uang diharapkan praktik wakaf yang pada
masa-masa terdahulu terkesan sulit dan berat dapat dihindarkan. Dengan wakaf uang,
bentuk wakaf bisa berwujud harta lancar yang penggunaannya sangat fleksibel,
sehingga harta wakaf bisa menjadi modal finansial yang di simpan di bank-bank atau
lembaga keuangan.3
Praktik wakaf uang sendiri sebenarnya telah lama dikenal di dalam
pemerintahan Islam. M. A. Mannan dalam bukunya menyebutkan bahwa praktik
wakaf tunai ada semenjak zaman pemerintahan Ustmaniyah.4 Dalam catatan sejarah
Islam, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari mengungkapkan bahwa Imam Az-zuhri
salah seorang ulama terkemuka berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang
yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan
3
Mustafa E. Nasution, Wakaf Tunai dan Sektor Volunter, (makalah “Strategi Untuk Mensejahterakan Masyarakat dan Melepaskan Ketergantungan Hutang Luar Negeri”, di UI Program Pascasarjana, Jakarta, 2001), h. 8
4
dinar dan dirham itu sebagai modal usaha, kemudian menyalurkan keuntungannya
sebagai wakaf.5
Di Indonesia pada dasarnya praktik wakaf telah lama dikenal dan
berkembang. Namun sampai saat ini istilah wakaf hanya identik dengan wakaf atas
tanah atau bangunan yang digunakan masjid, lembaga pendidikan atau lahan
pekuburan. Padahal potensi wakaf sangatlah besar, jika dikelola secara maksimal.
Menurut data Departemen Agama Republik Indonesia terakhir terdapat 403.845
lokasi tanah wakaf dengan luas 1.566.672.406 M2.6 Satu jumlah yang seharusnya
dapat menjadi sumber daya pengembangan ekonomi Islam di Indonesia.
Potensi wakaf yang ada belum terkelola secara maksimal selain karena
pemahaman atas wakaf pada umat Islam di Indonesia yang masih tradisional, juga
dikarenakan kurangnya dana yang mencukupi untuk mengelola tanah wakaf yang ada
menjadi produktif. Dengan demikian melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang
berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung
atau diolah untuk lahan pertanian.
Di negara-negara muslim yang lembaga perwakafannya telah mapan, masalah
perwakafan telah lama diatur dengan peraturan perundang-undangan. Di mesir
misalnya, perwakafan telah diatur dengan peraturan perundang-undangan wakaf dan
administrasinya telah pula berjalan dengan baik dilakukan oleh kementerian tersendiri
5
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan, h. 2
6
yaitu Kementrian Urusan Wakaf (Wizaratul Awqaf). Di negara itu, banyak harta
wakaf berbentuk gedung-gedung yang disewakan, tanah-tanah pertanian yang
disewakan atau dibagi-bagi pengelolaannya pada orang yang bersedia
mengerjakannya dengan sistem bagi hasil, saham-saham di berbagai badan usaha dan
sebagainya, yang mendatangkan hasil. Dengan wakaf yang demikian bentuknya,
banyak yang dapat dikerjakan melalui hasilnya, termasuk diantaranya kegiatan ilmiah
dan pendidikan. Hasil wakaf juga dipergunakan untuk merehabilitasi narapidana yang
baru keluar dari penjara, dengan cara mendidik dan memberi mereka biaya hidup
sebelum mereka sepenuhnya kembali ke tengah-tengah masyarakat, dan hasil wakaf
juga diberikan kepada pedagang-pedagang kecil, berupa pinjaman tanpa bunga
sebagai modal kerja.7
Mengenai hukum dari wakaf uang itu sendiri, sejak dahulu memang telah
menjadi perdebatan di kalangan para ulama. Secara prinsip ulama Hanafiyyah
membolehkan wakaf uang. Selain ulama mazhab Hanafi, Imam Az-Zuhri juga
membolehkan wakaf uang sebagai mana telah disebutkan sebelumnya, selain itu
sebagian ulama mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf uang.
Dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai keabsahan wakaf uang untuk
saat ini setidaknya telah mencapai titik temu. Hal ini karena Majelis Ulama Indonesia
(MUI) sebagai lembaga yang mewadahi umat Islam tertinggi di negeri ini telah
mengeluarkan fatwa mengenai kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa
7
MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002.8 Saat ini sudah dikeluarkan
Undang-Undang yang mengatur tentang wakaf secara spesifik mengenai wakaf uang, saham,
atau sejenisnya yaitu dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Undang-undang
tentang wakaf ini disahkan pada tanggal 27 Oktober 2004 oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Dengan adanya fatwa MUI dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf ini telah menjadi pijakan hukum bagi umat Islam di Indonesia untuk
melakukan perbuatan hukum memberikan wakaf dalam bentuk uang. Diharapkan
wakaf uang bisa digalakkan dan bisa menjadi alternatif pengumpulan dana yang
bersifat abadi untuk memberdayakan perekonomian umat dan berbagai sarana dan
prasarana yang dibutuhkan umat disamping dana yang bersumber dari zakat, infaq,
dan sedekah.
Persoalan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana selanjutnya
manajemen pengelolaan wakaf itu sendiri. Besarnya potensi dana yang terkumpul
dari wakaf uang akhirnya telah menimbulkan kekhawatiran di sebagian orang
mengenai kemungkinan penyelewengan dana wakaf uang. Karenanya diperlukan
suatu lembaga yang benar-benar kredibel untuk mengelola wakaf uang. Dengan
dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf telah menjadi landasan untuk
pengembangan pengelolaan wakaf uang dimasa depan. Berbagai pihak mulai dari
pemerintah, umat Islam, sampai kepada lembaga keuangan syariah seperti bank
8
syariah dapat berperan untuk bersama-sama mengembangkan pengelolaan wakaf
uang di Indonesia. Keberadaan bank-bank syariah dipandang merupakan alternatif
lembaga yang cukup representatif untuk mengelola dana amanah tersebut. Lebih
jauh, dengan asumsi pengelolaan wakaf ini menyangkut pengelolaan dana besar,
maka kemungkinan perolehan pendapatan bagi bank syariah baik dari hasil
pengelolaan maupun dari hasil jasa (fee based income) merupakan satu daya tarik
bagi berkiprahnya bank syariah di dalam pengelolaan wakaf.
Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk membahas secara lebih mendalam
mengenai peluang dan tantangan perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang di
Indonesia, khususnya setelah dikeluarkan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
B. PEMBATASAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Dengan berdasar latar belakang di atas, maka pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana peluang dan tantangan perbankan syariah dalam
pengelolaan wakaf uang setelah dikeluarkanya Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 tentang wakaf.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang dibahas dalam skripsi ini, maka
pokok permasalahan yang dibatasi dengan beberapa pertanyaan adalah sebagai
a. Bagaimana pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang
wakaf?
b. Bagaimana peluang dan tantangan perbankan syariah dalam pengelolaan
wakaf uang pasca UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui pengelolaan wakaf menurut UU No. 41 Tahun 2004
tentang wakaf
b. Untuk mengetahui peluang dan tantangan perbankan syariah dalam
pengelolaan wakaf uang setelah dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004
tentang wakaf
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini semoga dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. Untuk Akademis
Agar bermanfaat bagi para pengajar, baik guru ataupun dosen yang mengajar
tentang wakaf, agar perwakafan di Indonesia dapat berkembang dan maju.
2. Untuk Praktisi
Agar bermanfaat bagi para nadzir dan bank syariah dalam mengelola wakaf
uang.
Agar masyarakat mengetahui bagaimana praktek wakaf uang dan
pengelolaannya sehingga terdorong untuk melakukan wakaf uang.
D. KAJIAN PUSTAKA
1. Pada tahun 2003, Nurhasanah menulis skripsi dengan judul “Wakaf Uang
Sebagai Alternatif Dalam Berwakaf”. Di dalam skripsi ini penulis
menguraikan tentang pengertian wakaf uang dan dasar hukumnya serta
potensi wakaf uang jika diterapkan di Indonesia.
2. Pada tahun 2004, Wardah Ganita menulis skripsi dengan judul “Tinjauan
Hukum Islam Pola Penghimpunan dan Pengelolaan Wakaf Uang Dompet
Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat”. Di dalam skripsi ini penulis
menguraikan tentang landasan hukum wakaf uang, bagaimana strategi
penghimpunan wakaf uang di Dompet Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Umat
serta bagaimana pola pengelolaan wakaf uang di Dompet Dhuafa dan Pos
Keadilan Peduli Umat.
3. Pada tahun 2006, Descyanne menulis skripsi dengan judul “Sistem
Pengelolaan Dana Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf Uang Pada LAZ
Portalinfaq”. Yang dibahas dalam skripsi ini adalah mekanisme pengelolaan
Ziswafu pada LAZ Portalinfaq serta upaya-upaya yang dilakukan Portalinfaq
agar dana yang terkumpul dapat disalurkan tepat sasaran.
Adapun perbedaan skripsi ini dengan skripsi-skripsi diatas adalah pada
penulisan skripsi ini lebih difokuskan pada bagaimana model pengelolaan wakaf
dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah setelah
dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
E. METODE PENELITIAN
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, Penulis
menggunakan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan
(field research).
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu Penulis mengambil data dari
bahan-bahan pustaka yang didapat dari peraturan perundang-undangan,
buku-buku, kitab-kitab fiqih, internet, data dokumen dari Baitul Maal Muamalat
(BMM) dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu Penulis terjun langsung ke
lapangan dan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
2. Metode Pengolahan Data
Setelah data diperoleh, maka Penulis akan mengolah data tersebut dengan
metode deskriptif analisis. Metode deskriptif yaitu menjelaskan dan memaparkan
tentang sesuatu, dalam hal ini Penulis menjelaskan dan memaparkan tentang
wakaf uang dan pengelolaannya. Dan metode analisis yaitu suatu metode dimana
Penulis berdasarkan data-data yang ada menganalisa hal-hal yang berkaitan
peluang dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah setelah
lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
3. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis merujuk pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2007”.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam sistematika penulisan ini penulis akan menguraikan secara
sistematis bab per bab, yang erat kaitannya antara bab satu dengan bab lainnya
karena merupakan sebuah satu rangkaian.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang wakaf, meliputi pengertian wakaf,
dasar hukum wakaf, yang meliputi dasar hukum dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan
Undang-undang Indonesia, rukun dan syarat wakaf, serta tinjauan syariah
terhadap uang sebagai obyek wakaf, bab ini juga membahas tentang praktik
perwakafan di Indonesia, juga mengenai model pengelolaan wakaf uang di
BAB III PERAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PENGELOLAAN WAKAF UANG DILIHAT DARI UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
Bab ini berisi tentang perbankan syariah sebagai lembaga keuangan syariah
pengelola wakaf, keunggulan perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang,
dan peran perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf uang dilihat dari UU No.
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
BAB IV PELUANG DAN TANTANGAN PENGELOLAAN WAKAF UANG PADA PERBANKAN SYARIAH PASCA UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
Bab ini berisi tentang pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf serta peluang dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada
perbankan syariah pasca UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
BAB V PENUTUP
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf 1. Pengertian Wakaf
Kata wakaf yang menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Arab yaitu
al-Waqf bentuk masdar dari waqafa-yaqifu-waqfan yang artinya berdiri atau
berhenti.9 Kata al-Waqf semakna dengan kata al-habs bentuk masdar dari
habasa-yahbisu-habsan yang artinya memenjarakan.10 Dalam istilah syara’ secara umum,
wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku
umum. Adapun yang dimaksud tahbisul ashli adalah menahan barang yang
diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan
dan sejenisnya. Lebih lanjut, mengenai cara pemanfaatan wakaf adalah
menggunakannya sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa
imbalan.11
9
Akhmad Sya’bi, Kamus Al-Qalam, (Surabaya: Halim Surabaya, 1997), h. 297
10
Ibid., h. 96
11
Menurut kamus Bahasa Indonesia, wakaf ialah memperuntukkan sesuatu bagi
kepentingan umum, sebagai derma atau kepentingan yang berhubungan dengan
agama.12
Menurut al-Sayyid Sabiq, wakaf adalah menahan pokok asset dan
memanfaatkan hasilnya.13 Ada beberapa pengertian wakaf menurut para ulama:
Menurut Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebaikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya, karena yang lebih kuat menurut pendapat Abu Hanifah adalah bahwa wakaf hukumnya jaiz (boleh), tidak wajib, sama halnya dengan pinjaman.14
Menurut Jumhur (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah)
Wakaf adalah menahan suatu benda yang mungkin diambil manfaatnya (hasilnya) sedang bendanya tidak terganggu. Dengan wakaf itu hak penggunaan si wakif dan orang lain menjadi terputus. Hasil benda tersebut digunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Atas dasar itu, benda tersebut lepas dari pemilikan si wakif dan menjadi hak Allah SWT. Kewenangan wakif atas harta itu hilang, bahkan ia wajib menyedekahkannya sesuai dengan tujuan wakaf.15
Menurut Malikiyah
Wakaf adalah perbuatan si wakif yang menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh penerima wakaf, walaupun yang dimiliki itu berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan
12
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 1006
13
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Bandung: Almaa’arif,1996), cet.8, jilid 14, h. 148
14
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), cet. 3, juz 8, h. 153
15
uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan , yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan ini berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).16
Pendapat para ulama ini mewarnai perundang-undangan Indonesia,
Pengertian wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 pasal I (1) adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Pasal 215 Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 menyatakan : “ Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf Pasal I ayat 1: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Saat ini di Indonesia sedang berkembang wakaf benda bergerak berupa uang,
hal ini diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, UU ini memberikan
pengertian tentang harta benda wakaf. Harta benda wakaf adalah harta benda
yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta
mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh Wakif. Adapun
harta benda wakaf tersebut terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak.
16
Salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah uang, wakaf uang yang
dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang mewadahi umat Islam
tertinggi di Indonesia telah memberikan pengertian wakaf uang dalam fatwanya.
Adapun pengertian wakaf uang menurut MUI adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang
tunai.17
Dalam usaha memberikan ruang gerak kegiatan perwakafan dalam era
globalisasi, maka Bank Indonesia memberikan definisi wakaf tunai (uang)
sebagai “Penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahkan
dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun
menghilangkan jumlah pokoknya.”18
Dari beberapa definisi wakaf yang telah disebutkan, dapat penulis simpulkan
bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah suatu perbuatan hukum dari
seseorang yang dengan sengaja memisahkan atau mengeluarkan harta bendanya
untuk digunakan manfaatnya bagi keperluan di jalan Allah SWT dan untuk
kesejahteraan umum menurut syariah. Timbulnya perbuatan wakaf ini adalah
sebagai manifestasi kepatuhan terhadap agama karena wakaf merupakan salah
satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
17
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 Mei 2002
18
2. Dasar Hukum Wakaf
a. Dasar hukum dari Al-Qur’an
Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya ajaran wakaf bersumber
dari pemahaman teks ayat Al-Quran, karena tidak ada ayat Al-Quran yang
secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Ayat-ayat yang pada
umumnya dipahami dan digunakan oleh para fuqaha sebagai dasar atau dalil
yang mengacu kepada ajaran wakaf, antara lain firman Allah SWT dalam
Surat Ali Imran (3) ayat 92:
☺
⌧
)
لا
ناﺮܲ
/
:
٩
(
Artinya: “ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan. Maka Sesungguhnya Allah Mengetahuinya “.(QS. Ali Imran/3:92)
Ayat lain yang menganjurkan syari’at wakaf adalah surat Al-Baqarah (2) ayat
267:
☺
)
ةﺮܿ۹݆ا
/
:
٦٧
(
Kesimpulannya, Al-Quran dalam hal wakaf tidak menyebutkan secara
khusus, Al-Quran hanya membicarakan soal umum yaitu soal menafkahkan
harta pada jalan Allah. Cara menafkahkan harta pada jalan Allah salah
satunya adalah dengan wakaf.19
b. Dasar hukum dari as-sunnah
Di samping mengemukakan dalil atau dasar hukum wakaf dari
Al-Quran, para fuqaha juga menyandarkan masalah wakaf kepada hadist atau
sunnah Nabi. Diantara hadits nabi yang dijadikan dasar hukum wakaf oleh
para fuqaha adalah sabda nabi:
لﺎܾ
݉ڰ݇ܚو
ݑݛ݇ܲ
ﷲا
ﻰڰ݇ܢ
ﷲا
لﻮܚر
ڰنأ
ݑݏܲ
ﷲا
ݙܦر
ةﺮݚﺮه
ﻰ۸أ
ݍܲ
:
اذإ
تﺎ݊
ﻹا
ݎ
نﺎܛ
ا
ܿݎ
ﻄ
ﺔﺛݣﺛ
ݍ݊
ڰݢإ
ݑ݇ܲ
ݑݏܲ
ܱ
,
ܾﺪܢ
ݍ݊
ڰݢإ
ﺔݚرﺎﺟ
ﺔ
,
݉݇ܲ
وأ
ݏݚ
ݑ۸
ܱܻۿ
,
ݑ݆ﻮܲﺪݚ
܉݆ﺎܢ
ﺪ݆و
وأ
.
)
݉݇ܛ݊
ݐور
(
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila seseorang telah meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu dari shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya” (HR. Muslim).20
Walaupun secara umum disebutkan adalah sedekah jariyah, namun
yang dimaksud hadits di atas termasuk wakaf. Sebagaimana pendapat yang
dikemukan As-Syaukani dalam bukunya Nailul Authar, “Para ulama
19
Drs. H. Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. 1, h. 68
20
menafsirkan sadaqah jariyah yang dimaksud hadits itu adalah wakaf”.21
Wakaf akan menghasilkan pahala selagi barang yang diwakafkan itu utuh dan
dapat dimanfaatkan, maka orang yang berwakaf terus menerima pahala dari
Allah SWT.
Selain hadits di atas, ada hadits yang secara tegas menyinggung
dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk
mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:
ا
ݍܲ
۸
لﺎܾ
ﺎﻬݏܲ
ﷲا
ݙܦر
ﺮܲ
ݍ
:
ﺄܺ
ﺮ۹ݛﺨ۸
ﺎًܦرأ
ﺮܲ
بﺎܢأ
ڰݙ۹ڰݏ݆ا
ﻰ۾
ݑݛ݇ܲ
ﷲا
ﻰڰ݇ܢ
ڰ݇ܚو
݊
ﺄۿܛݚ
݉
لﺎܿܺ
ﺎﻬݛܺ
ݐﺮ
:
ﺎًܦرأ
۽۹ܢأ
ﻰݎإ
ﷲا
ل
ﻮܚر
ﺎݚ
أ
ﻮه
ڱﻂܾ
ًݢ
ﺎ݊
۷ܢأ
݆݉
ﺮ۹ݛﺨ۸
ܻݎ
ݏ݊
يﺪݏܲ
ܙ
لﺎܾ
ݑ۸
ݙݎﺮ݊ﺄ۾
ﺎܺ
ݑ
:
۽ﺌﺷ
نإ
لﺎܾ
ﺎﻬ۸
۽ܾڰﺪܣ۾و
ﺎﻬ݇ܢأ
۽ܛ۹܊
:
قڰﺪܣۿܺ
ﺎﻬ۸
ﺮܲ
أ
عﺎ۹ݚ
ݢ
ݑڰݎا
ݢو
ﺎﻬ݇ܢ
۷هﻮݚݢو
ثرﻮݚ
ݢو
عﺎۿ۹ݚ
,
لﺎܾ
ﺮܲ
قڰﺪܣۿܺ
݆ا
ݙܺ
ݙܺو
ء
اﺮܻܿ
݆ا
ݙܺو
ﻰ۸ﺮܿ
ﺮ݆ا
ܹݛڰܧ݆او
݅ݛ۹ڰܛ݆ا
ݍ۸او
ﷲا
݅ݛ۹ܚ
ݙܺو
بﺎܾ
,
݅آﺄݚ
نأ
ﺎﻬݛ݆و
ݍ݊
ﻰ݇ܲ
حﺎݏﺟ
ݢ
فوﺮ݆ܳﺎ۸
ﺎﻬݏ݊
,
ݑݛܺ
لﻮۿ݊
ﺮݛﻏ
ﺎًܿݚﺪܢ
݉ܳﻄݚوأ
.
)
݉݇ܛ݊
ݐاور
(
Artinya: “ Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya)
21
atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta”. (HR. Muslim)22
Para ulama salaf sepakat bahwa wakaf itu sah adanya dan wakaf Umar
di Khaibar itu adalah wakaf yang pertama terjadi di dalam sejarah Islam.23
Kesimpulannya, secara eksplisit hukum wakaf sedikit ditetapkan oleh
as-Sunnah dan sebagian besar ditetapkan oleh ijtihad fuqaha dengan
berpegang pada Istihsan, Istishlah, dan ‘Urf atau kebiasaan.24
c. Dasar hukum dari perundang-undangan Indonesia
Di Indonesia, praktik wakaf telah ada sejak Islam menjadi kekuatan
sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam yaitu sejak akhir
adab ke-12M.25 Saat ini, salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak
dan perkembangan wakaf di Indonesia adalah ketika negara ikut mengatur
kebijakan wakaf melalui seperangkat hukum positif sekaligus sebagai
landasan hukum dalam pengelolaan wakaf.
Hukum positif Indonesia yang mengatur tentang wakaf dapat kita lihat
dari beberapa peraturan di bawah ini, yaitu:
22
Muslim, Shahih, h. 717
23
Wahbah al-Zuhaily, Al-fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz 8, h. 157
24
Ibid., h. 157
25
1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, dimana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap
harta wakaf. Penegasan atas perlindungan tanah milik perwakafan tertuang
dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah.
2) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik. Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang
memuat unsur-unsur substansi dan teknis perwakafan. PP No. 28 Tahun
1977 ini hanya mengatur perwakafan tanah milik, yang meliputi
inventarisasi tanah wakaf, proses terjadinya perwakafan tanah milik, dan
proses pemberian hak atas tanah wakaf.26 Terbitnya PP ini menciptakan
pembaharuan yang cukup penting dalam pengelolaan harta wakaf.
Peraturan ini memberikan legalitas bagi bolehnya pertukaran harta wakaf
setelah mendapat ijin dari Menteri Agama. Secara subtansial peraturan
tersebut membolehkan pertukaran harta wakaf agar dapat diberdayakan
secara optimal. Aturan ini merupakan pembaharuan karena mayoritas
umat menganut mazhab Syafi’i bahwa harta wakaf tidak diperbolehkan
untuk dipertukarkan walaupun kondisi harta wakaf sudah tidak layak lagi
digunakan, seperti masjid yang hampir roboh.27
26
Ibid., h. 86
27
3) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Aturan ini membawa beberapa pembaharuan dalam pengelolaan
wakaf. Pembaharuan ini pada dasarnya merupakan elaborasi dari prinsip
pembaharuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun
1977. Beberapa perluasan aturan perwakafan dalam KHI antara lain
berkaitan dengan objek wakaf, nadzir, dan sebagainya. Terkait dengan
objek wakaf misalnya, dalam KHI disebutkan bahwa objek wakaf telah
mencakup harta benda yang bergerak, sedangkan dalam PP No. 28
ketentuan seperti ini belum ada.28
4) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. UU wakaf ini
merupakan penyempurnaan dari beberapa peraturan perundangan wakaf
yang sudah ada dengan menambahkan hal-hal baru yang merupakan upaya
memberdayakan wakaf secara produktif dan akuntabel. Dengan adanya
Undang-undang ini terdapat perluasan benda yang diwakafkan (mauquf
bih). Dalam UU ini, selain mengatur tentang wakaf benda tidak bergerak,
juga mengatur tentang wakaf benda bergerak, seperti uang, saham atau
surat-surat berharga lainnya.29 Sebelum keluarnya Undang-Undang Wakaf
ini, sudah keluar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai
28
Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, ed., Wakaf, Tuhan, dan Agenda, h. 88
29
kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa MUI tersebut
adalah:30
1) Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2) Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. 3) Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4) Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5) Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dengan adanya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan fatwa MUI
tersebut telah menjadi pijakan hukum bagi umat Islam di Indonesia untuk
melakukan perbuatan hukum memberikan wakaf dalam bentuk uang. Dan saat
ini sudah keluar pula Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
3. Rukun dan Syarat Wakaf a. Rukun Wakaf
Para ulama telah sepakat bahwa tanpa memenuhi rukun dan syarat,
perbuatan wakaf tidak akan terwujud. Khusus mengenai jumlah rukun wakaf,
terdapat perbedaan antara jumhur dan mazhab Hanafi.
Menurut jumhur, mazhab Syafi’i dan Maliki serta Hambali, rukun
wakaf ada empat, yaitu:31
30
a. Waqif (orang yang mewakafkan)
b. Mauquf (benda yang diwakafkan)
c. Mauquf ‘Alaih (sasaran atau penerima wakaf)
d. Sighat wakaf (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan harta bendanya)
Menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf hanya satu, yaitu berupa
pengucapan sighat.32
b. Syarat-syarat Wakaf
Masing-masing rukun wakaf mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu:
1. Syarat Waqif (orang yang mewakafkan)
Ulama menetapkan syarat-syarat pewakaf (waqif) sebagai
berikut:33
a. Berakal yaitu mempunyai akal, maka tidaklah sah wakaf yang
diberikan oleh orang gila
b. Dewasa (balig), tidak sah wakaf yang berasal dari anak-anak
yang belum balig
c. Tidak dalam tanggungan, karena boros dan bodoh
31
Muhammad Khatib al-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, t.t.). Juz, II, h. 376
32
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 159
33
d. Kemauan sendiri, bukan atas tekanan atau paksaan dari pihak
manapun
e. Merdeka
2. Syarat Mauquf ( benda yang diwakafkan)
Para fuqaha sepakat bahwa barang yang diwakafkan itu
(al-Mauquf) harus berupa barang kongkrit dan pasti, diketahui dan
betul-betul milik penuh bagi orang yang mewakafkannya.34
Menurut mazhab Hanafi, syarat barang yang diwakafkan itu
ada empat macam, yaitu:35
a. Barang yang diwakafkan itu harus berupa harta benda, tidak boleh
mewakafkan manfaat semata tanpa bendanya, juga tidak boleh
mewakafkan sesuatu harta yang tidak baik menurut syara’, seperti
barang-barang yang memabukkan dan kitab-kitab yang
menyesatkan.
b. Barang yang diwakafkan itu harus jelas, baik kejelasan ukuran,
seperti mewakafkan 100 m tanah maupun lainnya. Jadi tidak boleh
mewakafkan suatu barang yang tidak jelas, sebab ketidakjelasan
itu dapat mengarah kepada terjadinya pertikaian.
34
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 184
35
c. Barang yang diwakafkan itu betul-betul milik penuh bagi orang
yang mewakafkannya. Karena wakaf itu menggugurkan hak milik,
maka haruslah barang yang diwakafkan itu betul-betul sebagai hak
milik orang yang berwakaf.
d. Barang yang diwakafkan itu harus sudah dibagi, tidak sebagai
kongsi dengan orang lain jika memang barang itu dapat dibagi.
Sebab penerimaan atas barang yang diwakafkan itu adalah syarat
bolehnya wakaf, sedangkan barang atau harta kongsi itu
menghalangi penerimaan tersebut.
3. Syarat Mauquf ‘Alaih (sasaran atau penerima wakaf )
Menurut Jumhur Ulama, beberapa persyaratan umum yang
harus diperhatikan dalam mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf tidak
bertentangan dengan syara’, tidak dibatasi waktu dan sesuatu yang
tidak menimbulkan madharat pada ahli warisnya.
Sasaran wakaf dapat ditujukan kepada wakaf khairi dan wakaf
ahli.36 Wakaf khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi
kepentingan umum seperti yang dilakukan Umar bin Khathab. Ia
mewakafkan sekaligus mengelola sendiri tanahnya di Khaibar dan
membagikan hasilnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah dan
kepentingan umum lainnya. Adapun wakaf ahli/wakaf dzurri yang
36
terkadang disebut wakaf ‘al aulad adalah wakaf yang khusus
diperuntukkan orang-orang tertentu.37 Jadi yang menikmati manfaat
benda wakaf ini sangat terbatas kepada yang termasuk golongan
kerabat sesuai dengan ikrar yang dikehendaki oleh si waqif.
4. Sighat (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan
harta bendanya)
Berkenaan dengan syarat-syarat yang berkenaan dengan sighat,
para ulama mensyaratkan atas sighat itu sebagai berikut:
a. Ta’bid, yaitu waqif harus menyerahkan harta wakaf untuk
selamanya, tidak dibatasi waktu. Meskipun Imam Maliki
membolehkan wakaf ditentukan batas waktunya namun para Imam
Mazhab lainnya menolak argument itu.38
b. Ilzam, yaitu tidak dipertautkan pada suatu syarat khiyar, seperti
mensyaratkan di waktu tertentu harus mengembalikan harta wakaf
kepada waqif apabila ia membutuhkannya.39
Imam Maliki membolehkan ikrar ta’liq wakaf yaitu ikrar yang
dikaitkan dengan keadaan tertentu yang dapat mempengaruhi ada
dan tidak adanya wakaf, di sisi lain Imam Hambali membolehkan
ta’liq wakaf akan tetapi hanya berkaitan dengan kematian saja. Ia
37
Ibid., h. 380
38
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 204-205
39
hanya mensahkan perkataan wakif: “Barang ini merupakan wakaf
sesudah saya meninggal”. Sedangkan Imam Hanafi dan Syafi’i
tidak mensahkannya.40
c. Sighat tidak terkait dengan persyaratan bathil seperti seseorang
mensyaratkan sebagian benefit wakafnya untuk perbuatan
maksiat.41
d. Jumhur Ulama selain Imam Maliki menyatakan sighat harus
mengandung arti yang tegas dan tunai, namun Malikiyah
membolehkan wakaf berkaitan dengan syarat dan penangguhan
realisasi pada masa yang telah ditetapkan oleh waqif.42
4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek Wakaf
Perkembangan yang menarik dalam hal pengembangan institusi wakaf
akhir-akhir ini adalah digunakannya uang sebagai objek benda yang diwakafkan
yang dikenal dengan istilah cash waqf atau banyak diartikan para pihak dengan
wakaf tunai. Istilah wakaf tunai sendiri pada dasarnya kurang tepat. Hal ini
mengingat inti persoalan dari cash waqf terletak pada obyek wakafnya yaitu uang.
Terjemahan cash yang tepat dalam cash waqf ialah uang, bukan tunai, karena
yang menjadi pembahasan para ahli fiqh ialah hukum mewakafkan uang, dengan
kata lain menjadikan uang sebagai objek wakaf. Adapun tunai telah dianalisa para
40
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima, h. 642-643
41
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam, h. 208
42
ahli fiqh dan mereka menjelaskan semua wakaf harus tunai, tidak boleh dalam
bentuk utang. Karena itu tunai tidak dapat menjadi obyek wakaf.
Digunakannya uang sebagai objek wakaf semakin mendapat tempat di
kalangan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini. Perkembangan ini pada akhirnya
telah menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya tinjauan hukum Islam
(syariah) terhadap digunakannya uang sebagai objek wakaf? Timbulnya
pertanyaan semacam ini pada dasarnya adalah hal yang wajar. Hal ini mengingat
selama ini wakaf yang populer di kalangan umat Islam Indonesia terbatas pada
wakaf tanah dan bangunan yang diperuntukan bagi tempat ibadah, pendidikan,
atau lahan perkuburan. Karenanya UU No. 41 tahun 2004 dan fatwa MUI tentang
diperbolehkannya wakaf dengan uang, merupakan hal baru bagi umat Islam
Indonesia.
MUI sendiri dalam fatwanya yang membolehkan wakaf uang selain
menggunakan dasar hukum Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan wakaf,
juga secara khusus memperhatikan pandangan para ulama yang telah
membolehkan wakaf dengan uang. Beberapa pandangan yang digunakan MUI
tersebut antara lain adalah:43
a. Pendapat Imam Az-Zuhri bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan
cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya
disalurkan pada mauquf ‘alaih.
43
b. Pandangan dari ulama mazhab Hanafi yang membolehkan wakaf uang dinar
dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi (hukum yang
ditetapkan berdasarkan adat kebiasaan), berdasarkan hadis yang diriwayatkan
Abdullah bin Mas’ud r.a : “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk
oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
c. Pendapat sebagian ulama mazhab Syafi’i:
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar
dan dirham (uang)”
Walaupun banyak dari kalangan ulama yang telah membolehkan wakaf
uang, namun ada pula sebagian ulama yang sulit menerima pendapat bahwa sah
hukumnya mewakafkan dinar dan dirham (uang). Adapun alasan para ulama yang
tidak membolehkan berwakaf dengan uang, diantaranya:44
a. Bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan
dengan membelanjakan sehingga bendanya lenyap, sedangkan inti ajaran
wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lazim
kekal. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu
adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai.
44
b. Uang seperti dirham dan dinar diciptakan sebagai alat tukar yang mudah,
orang melaukukan transaksi jual-beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan
mempersewakan zatnya.
Dalam Al-Is’af fi Ahkam al-Awqaf, al-Tharablis menyatakan sebagian
ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh
Muhammad bin Abdullah al-Anshori, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah,
tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan dirham atau dinar, dan
dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar, seperti makanan
gandum. Hal ini membuat mereka merasa aneh karena tidak mungkin
mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera
mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan
dana tunai dirham? Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah al-Anshori
menjelaskan dengan mengatakan: “kita investasikan dana itu dengan cara
mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya
kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan”.45
Wahbah Zuhaili menjelaskan secara tegas bahwa ulama mazhab Maliki
memperbolehkan wakaf uang, mengingat manfaat uang masih dalam cakupan
hadits Nabi Muhammad saw dan benda sejenis yang diwakafkan oleh para
sahabat, seperti baju perang, binatang dan harta lainnya serta hal tersebut
mendapat pengakuan dari Rasulullah saw. Secara qiyas, wakaf uang dianalogikan
45
dengan baju perang dan binatang. Qiyas ini telah memenuhi syarat ‘illah (sebab
persamaan), yang jami’ (titik persamaan) terdapat dalam qiyas dan yang
diqiyaskan (maqis dan maqis ‘alaih). Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal,
yang mungkin rusak dalam jangka waktu tertentu, bahkan wakaf uang jika
dikelola secara professional memungkinkan uang yang diwakafkan kekal
selamanya.46
Dari berbagai pandangan ulama tentang wakaf uang tersebut menunjukan
adanya kehati-hatian para ulama dalam memberikan fatwa sah atau tidak sahnya
suatu praktik wakaf uang. Hal ini disebabkan harta wakaf adalah harta amanah
yang terletak ditangan nadzir. Sebagai harta amanah, maka nadzir hanya boleh
melakukan hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi harta wakaf.
Berdasarkan pertimbangan ini, disamping memikirkan model investasi wakaf
uang, perlu juga dipikirkan antisipasi adanya resiko kerugian yang akan
mengancam eksistensi dan kesinambungan aset wakaf.47
Walaupun ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai sah
tidaknya wakaf uang, namun mengingat manfaat wakaf uang yang begitu besar
bila dikembangkan dengan baik bagi kemaslahatan umat, pengelolaan wakaf uang
tetap menjadi pilihan yang menarik bagi umat Islam untuk dikembangkan. Dari
segi pemanfaatan misalnya, wakaf uang tentunya dapat dimanfaatkan lebih luas.
46
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 46
47
Dana wakaf nantinya bisa digunakan untuk mendirikan perusahaan, pusat
perbelanjaan, atau apa saja yang bernilai ekonomis dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Dananya terus mengalir, keuntungan yang diperoleh lebih besar,
akan lebih banyak umat yang dibantu dengan dana tersebut. Dengan demikian
mobilisasi dana dari umat Islam untuk umat Islam dapat dilakukan secara
maksimal dan didayagunakan bagi kemanfaatan umat yang sebesar-besarnya.
B. Praktik Perwakafan Di Indonesia
Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan
perkembangan penyebaran Islam. Praktik wakaf diasumsikan telah ada sejak Islam
menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di
nusantara sejak akhir abad ke-12M. Di masa-masa awal penyiaran Islam ini,
kebutuhan akan masjid untuk menjalankan aktivitas ritual dan dakwah membuat
pemberian tanah wakaf untuk masjid menjadi tradisi yang lazim dan meluas di
kantong-kantong Islam di nusantara. Praktik-praktik yang menyerupai wakaf
dilaporkan telah ada sejak jauh sebelum datangnya Islam di nusantara. Praktik yang
menyerupai wakaf ini dapat ditemukan dalam tradisi penyerahan tanah di beberapa
daerah; seperti di Mataram, telah dikenal praktik semacam wakaf yang disebut tanah
perdikan yaitu tanah yang diberikan oleh Negara kepada orang tertentu yang
dianggap telah berjasa dan mereka dibebaskan dari pembayaran pajak, di Lombok
dikenal tanah pareman yaitu tanah Negara yang dibebaskan dari pajak landrente
yang diserahkan kepada desa-desa subak, juga kepada candi dan juga kepentingan
Huma Serang yaitu ladang yang dikerjakan setiap tahun secara bersama-sama dan
hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama dan di Minangkabau ada pula
tanah pusaka (tinggi) yaitu tanah keluarga yang dikelola secara turun-temurun dan
hasilnya juga dapat dimanfaatkan oleh keluarga untuk membantu membiayaai
kebutuhan ekonomi keluarga atau memberi bantuan uang sekolah pada anak-anak di
perantauan. Sedangkan di Aceh dikenal tanah weukeuh yaitu tanah pemberian sultan
yang digunakan untuk kepentingan umum.48
Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam dari waktu ke waktu,
praktik perwakafan mengalami kemajuan setahap demi setahap. Tradisi wakaf untuk
tempat ibadah tetap bertahan, tetapi mulai muncul juga wakaf untuk kegiatan
pendidikan, seperti untuk pendirian pesantren dan madrasah.49
Di Indonesia, pengelolaan wakaf mengalami masa yang cukup panjang.
Paling tidak ada tiga periode besar pengelolaan wakaf di Indonesia. Pertama, periode
tradisional yaitu dimana pada periode ini wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran
murni yang dimasukkan dalam kategori ibadah mahdoh (pokok), dimana hampir
semua benda-benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik,
seperti masjid, mushala, pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga
48
Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, ed., Wakaf , Tuhan, dan Agenda, h. 72-73
49
keberadaan wakaf pada periode ini belum memberikan kontribusi sosial yang lebih
luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.50
Kedua, periode semi profesional, yaitu di mana pengelolaan wakaf yang
kondisinya relatif sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai
dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum
maksimal. Sebagai contoh adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya
strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuaan, pernikahan dan
acara lainnya seperti masjid Sunda Kelapa, masjid Pondok Indah, masjid At-Taqwa
Pasar Minggu dan Masjid Ni’matul Ittihad Pondok Pinang, semua terletak di
Jakarta.51
Ketiga, periode professional, yaitu periode di mana potensi wakaf di
Indonesia sudah mulai dilirik untuk diberdayakan secara professional dan produktif.
Profesionalisme yang dilakukan meliputi aspek : Manajemen, SDM kenazhiran, pola
kemitraan usaha, bentuk benda wakaf yang tidak hanya berupa benda tidak bergerak
tapi bisa mewakafkan benda bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya,
dukungan political will pemerintah secara penuh, salah satunya dengan lahirnya UU
50
Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 1
51
Wakaf No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun
2002 tentang legalitas kebolehan wakaf uang.52
C. Model Pengelolaan Wakaf Uang 1. Di Indonesia
Sampai saat ini di Indonesia sudah ada beberapa lembaga yang mengelola
wakaf uang seperti Baitul Maal Muamalat yang bekerja sama dengan Bank
Muamalat Indonesia, LAZ Portalinfak, Pos Keadilan Peduli Umat dan Yayasan
Dompet Dhuafa Republika.
Di awal operasi produk wakaf uang, pola pengelolaan wakaf uang yang
dilakukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa Republika adalah langsung
memanfaatkan dana wakaf pada sasaran, tidak menginvestasikannya terlebih
dahulu, sehingga asset pokok wakaf digunakan untuk membiayai operasional
program wakaf, bukan profit/benefitnya.53
Seiring waktu berjalan, lembaga itu terus melakukan evaluasi dan inovasi
dalam maksimalisasi pengembangan wakaf uang. Di tahun 2004, Dompet Dhuafa
telah melakukan strategi baru antara lain mereka bekerjasama dengan Batasa
Capital dan BII Syariah. Kerjasama ini telah berhasil meluncurkan “Wakaf
Investasi Dompet Dhuafa Batasa Syariah”. Sebuah produk yang diluncurkan
52
Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 22
53
untuk mensinergikan investasi dengan charity demi membangun bangsa. Wakaf
tersebut akan dialokasikan untuk mendorong kegiatan sektor riil, khususnya yang
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil dan menengah.
Komisaris utama Batasa Tazkia, M. Syafi’i Antonio, menyatakan bahwa
produk ini adalah gabungan antara wakaf uang dengan investasi reksa dana
syariah, dimana investor dapat menentukan dengan leluasa presentasi yang
diperolehnya dan mewakafkan sebagian atau seluruh dari investasinya sebagai
harta wakaf. Bagi yang mengeluarkan wakaf akan diberikan Sertifikat Wakaf
Investasi Atas Nama dari Dompet Dhuafa dengan nominal terkecil Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah). Dalam prosesnya, Batasa Capital berperan sebagai
Manajer Investasi sementara Dompet Dhuafa akan berperan sebagai nadzir, yang
akan mengelola dana wakaf.54
Secara operasional, pengelolaan wakaf uang pada Pos Keadilan Peduli
Umat (PKPU) sama dengan pola pengelolaan wakaf uang di Yayasan Dompet
Dhuafa Republika diawal operasinya, yaitu langsung memanfaatkan dana wakaf
pada sasaran, tidak menginvestasikannya terlebih dahulu sehingga dana yang
digunakan untuk membiayai operasional program wakaf adalah aset pokok wakaf
bukan profit/benefitnya. Adapun strategi penghimpunan dana wakaf uang di
54
PKPU adalah dengan menyediakan sertifikat wakaf uang dengan nominal
miminal Rp. 500.000,.- (lima ratus rupiah).55
Untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan wakaf, di
Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bersifat
independent dan dapat membentuk perwakilan di Propinsi dan Kabupaten jika
dianggap perlu. Pada bulan Juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.75/M Tahun 2007 yang memutuskan mengangkat keanggotaan
BWI periode 2007-2010 yang diketuai oleh Bapak Tholhah Hasan.56 Adapun
tugas dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah:
a. Melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf.
b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.
c. Memberikan persetujuan dan /atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf.
d. Memberhentikan dan mengganti Nazhir.
e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.57
Badan Wakaf Indonesia (BWI) ini secara organisatoris harus bersifat
independent, dimana pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator, regulator,
motivator dan pengawasan. Jadi, tugas utama badan ini adalah memberdayakan
55
Ibid, h. 65
56
Tholhah Hasan, “Perkembangan Kebijakan Wakaf Di Indonesia,” Republika, 14 Maret 2008, h. 19
57
wakaf, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak yang ada di
Indonesia sehingga dapat memberdayakan ekonomi umat.58
2. Di Luar Negeri
Dalam hal wakaf uang, negara yang sampai saat ini boleh dikatakan paling
berkembang dan maju dalam pengelolaannya adalah Bangladesh. Di Bangladesh
wakaf uang memang telah menuai hasil memuaskan. Melalui dana wakaf,
pemerintah Bangladesh mampu memberdayakan masyarakatnya dan mandiri
secara ekonomi. Hal ini bermula dari pengenalan sertifikat wakaf tunai (cash
waqf certificate), yang dilakukan oleh Prof. Dr. M. A. Mannan, serta pendirian
sebuah badan bernama Social Investment Bank Ltd. (SIBL). Badan ini kemudian
berfungsi untuk menggalang dana dari orang-orang melalui ser