• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pengaruh Anemik Inokulasi Larva Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803) dan Pemberian Zat Besi pada Anak Domba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pengaruh Anemik Inokulasi Larva Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803) dan Pemberian Zat Besi pada Anak Domba"

Copied!
290
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)

L

/

STUD1

PENGARuH

ANEMIK

INOKULASI

LARVA

8

CoN'IOlmrS

(RUDOGPHI,

1803)

DAN

PEMB&

AT

BESI

PADA

ANAK DOMBA

DISERTASI

OLEH

SUNARYA PRAWIRADIS ASTRA

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(152)

R I N G K A S A N

e

t

SUNARYA PRAWIRAQJSASTRA. Studi Pengaruh Anemik Inokulasi

Larva Haemonchus contoTus (Rudolphi, 1803) Dan Pemberian Zat Besi Pada Anak

Domba @i bawah bimbingan Djokowoerjo Sastradipradja sebagai ketua, Soewon-

do Djojosubagio, Achmad Muchlis, Supan Kusumamihardja, A. Ansori Mattjik

sebagai anggota)

.

Satu penelitian untuk mengetahui pengaruh anemik inokulasi larva cacing

fZ, contortus yang diberikan sekali pemberian dengan dosis tinggi (5000 larva) dan

pada dosis rendah (100 larva) setiap hari selama sembilan minggu. Parameter yang

diperiksa adalah nilai hemoglobin, jumlah eritrosit, nilai hematokrit, jumlah lekos-

it, diferensiasi lekosit, j umlah retikulosit, kadar besi serum, jumlah telur cacing

,

berat badan serta jumlah cacing dewasa. Selain mempelajari pengaruh anemik

inokulasi larva tersebut diatas juga dipelajari manfaat pemberian zat besi dalam

bentuk bubuk FeSO,.

Pada penelitian ini digunakan 24 ekor anak domba jantan berumur sekitar

enam sampai tujuh bulan dengan berat badan sekitar 11,2

+

0,42 kilogram. Dari

24 ekor hewan percobaan ini dibagi secara acak menjadi enam kelompok percobaan

(A, B, C, D, E dan F) masing

-

masing terdiri atas 4 ekor. Kelompok A dan B

diinokulasi dengan 5000 larva cacing

K.

contortus dengan sekali pemberian

sedangkan kelompok C dan D diinokulasi dengan 100 larva setiap hari. Sedangkan

kelompok E dan F d i g u n h sebagai kelompok kontrol. Pada kelompok percobaan

B, D dan F diberikan 30 miligram bubuk FeSO, kedalam pakan konsentratnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada infeksicacing

B.

contortus berpengaruh sangat nyata (P

<

0,Ol) terhadap nilai hemoglobin, jumlah eritrosit,

nilai hematokrit, diferensiasi lekosit, jumlah retikulosit, kadar besi serum, jumlah

telur cacing dan berat badan. Interaksinya dengan waktu menunjukkan pengaruh

(153)

trosit, nilai hematokrit, persentase limfosit, kadar besi serum dan terjadi kenaikan

persentase netrofil, eosinofil, monosit dan retikulosit. Pada infeksi cacing

E.

contortus selama penelitian ini tidak diketemukan adanya basofil. Pemberian

bubuk FeSO, pada infeksi cacing

If.

Contortus berpengaruh sangat nyata (P

<

0,Ol) pada kenaikan nilai hemoglobin, jumlah eritrosit, retikulosit, jumlah telur

cacing dan jumlah cacing yang berinfeksi dan memberikan kontribusi kenaikan

pada nilai hematokrit, jumlah lekosit, persentase limfosit, netrofil dan eosinofil.

Pada kelompok percobaan yang diinokulasi 5000 larva (A dan B), penuru- nan nilai hemoglobin, jumlah eritrosit, nilai hematokrit, persentase limfosit dan

kadar besi serum berlangsung cepat apabila dibandingkan dengan kelompok yang

diinokulasi 100 larva (C dan D) yang penurunannya bertahap. Pemberian FeSO,

pada kelompok B dan D memberikan nilai tambah terhadap nilai hemoglobin,

jumlah eritrosit, nilai hematokrit serta kadar besi serum. Jurnlah lekosit mengalami

kenaikan pada awal tiga minggu pertama sesudah diinokulasi larva kemudian

menurun dibawah nilai kontrol.

Telur cacing pada semua kelompok percobaan yang diinfeksi cacing selain

kontrol, baru dapat dimonitor pada minggu ketiga setelah diinokulasi larva. Pada

kelompok percobaan A dan B jumlah telur cacing berada lebih tinggi dari pada

kelompok C dan D. Produksi telur cacing pada semua kelompok per'cobaan yang

diinfeksi cacing

H.

wntortus mencapai maksimal pada minggu keenam sesudah itu

produksi telur menuryn kembali. Penurunan sementara produksi telur cacing

terjadi sesudah minggu keenam. Ini menunjukkan bahwa dalam proses infeksi

cacing terjadi adanya proses self-cure. Self-cure terjadi lebih nyata pada kelompok

percobaan yang diinokulasi 100 larva setiap hari (C dan D) dari pada kelompok

percobaan yang diberikan 5000 larva sekali pemberian (A dan B). Self-cure sering terjadi pada kelompok percobaan yang diinokulasi larva setiap hari (C dan D).

Berat badan pada semua kelompok percobaan termasuk kontrol menunjuk-

kan kenaikan. Kelambatan kenaikan berat badan terlihat nyata pada kelompok yang

(154)

iii

dosis rendah setiap hari (C dan D). Hasil dari penelitian ini, infeksi cacing

H.

contortus berpengaruh nyata (P

<

0,05) terhadap penurunan berat badan dimulai

pada minggu ketujuh sesudah diinokulasi larva walaupun sebelurnnya infeksi cacing

h i sudah memberikan kontribusi penurunan berat badan. Perbedaan inokulasi

larva antara kelompok yang diinokulasi 5000 larva (A dan B) dengan kelompok

yang diinokulasi 100 larva (C dan D) juga memberikan perbedaan nyata (P

<

0,05) terhadap berat badan. Pemberian bubuk FeSO, pa& kelompok percobaan B

dan D memberikan kontribusi kenaikan pada berat badan.

Jumlah cacing dewasa didapat lebih banyak pada kelompok yang diinokulasi

dosis tinggi sekali pemberian (A dan B) daripada kelompok yang diinokulasi dosis

rendah setiap hari (C dan D). Pemberian bubuk FeSO, berpengaruh sekali terhadap

jumlah cacing dewasa. Pengaruh ini terlihat dari jumlah cacing dewasa yang

didapat pada kelompok B lebih sedikit dari pada kelompok A dan jumlah cacing

dewasa yang didapat pada kelompok D lebih sedikit dari jumlah cacing yang dida-

pat dari kelompok C. Pada kelompok kontrol tidak didapatkan adanya cacing di

dalam abomasum. Ini berarti bahwa selama penelitian tidak terinfeksi oleh larva

cacing.

Pada pemeriksaan klinis pada kelompok domba yang diinfeksi cacing H.

contottus menunjukkan kondisi tubuh kurus, lemah dan bulu suram dan kering.

Nafsu makan dari sebagian besar domba yang diinfeksi cacing menunjukkan baik

kadangkala buruk (up and down). Keadaan selaput lendir mata dan mulut menun-

jukkan kepucatan dan keadaan mata berair dan celong. Pada penelitian ini tidak

didapatkan adanya anasarca atau "bottle jaw" serta ascites seperti yang didapatkan

pada peneliti pendahulu. lhrgor kulit berkisar antara sedahg sampai jelek. Pada

pemeriksaan makro pascamati menunjukkan kepucatan serta dehidratasi dari kar-

kas. Lemak depo diomentum dan mesenterium tidak didapat. Sum-sum tulang

berwarna kuning gelatinous. Isi dari abomasum memperlihatkan warna coklat

(155)

STUD1 PENGARUH ANEMIK INOKULASI LARVA

HAEMONCHUS CONTOKIWS (RUDOLPHI, 1803)

DAN PEMBERIAN ZAT BESI PADA ANAK DOMBA

OLEH

SUNARYA PRAWIRADISASTRA

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

(156)

- >

Judul Disertasi : STUD1 PENGARUH ANEMIK INOKULASI LARVA HAEMONCHUS CONTORTUS (RUDOLPHI, 1803) DAN PEMBERIAN ZAT BESI PADA ANAK DOMBA

Nama Mahasiswa :SUNARYA PRAWIRADISASTRA

' N o r n o r Pokok :81536

Me

c'?

etujui

-

.

Prof. Dr. Djokowoeryo Sastradipradja

-

Prof. Dr.Achmad Muchlis

anggota

prof. ~r

.

H

.

d'an

Kusumanlillardja,MSc. I

Dr .Ir

.

H .A. Ansori Mattjik
(157)

R I W A Y A T H I D U P

Penulis yang dilahirkan di 'Rangerang, Jawa Barat pada tanggal 24 Juni

1939, adalah putera pertama dari sepuluh orang bersaudara dari pasangan suami

istri Sukani Prawiradisastra dan Rd. Siti Kulsum.

Setelah menamatkan S

.

M. A. tahun 1959 di Cirebon, kemudian penulis melanjutkan sekolah pada tahun 1960 di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Indonesia. yang kemudian tahun 1963 menjadi Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Hewan IPB

tahun 1967.

Penulis kemudian mengikuti pendidikan lanjutan di University of Mel-

bourne, Australia pada 1978 sampai tahun 1980 dan memperoleh gelar Master of

Veterinary Science (MVSc)

.

Penulis menjadi staf pengajar di Jurusan Klinik Fakultas Kedokteran Hewan

IPB sejak tahun 1967 sampai sekarang. Penulis menikah dengan Rd. %tty Sartika

Purwadinata pada tanggal 20 Agustus 1971 dan telah dikaruniai seorang putra dan

(158)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan desertasi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor beserta staf yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di Instit~t

Pertanian Bogor.

Dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat penulis menyampaikan

terima kasih kepada Prof-Dr. Djokowoeryo Sastradipradja, selaku Ketua Kornisi

Pembimbing

dan

para anggota, Prof. Dr. H. Sce%?!md~ Djojosubagio, Prof. Dr.

Achrnad Muchlis, Prof-Dr. H. Supan Kusumamihardja, MSc., dan Dr.Ir. H. A.A.

Mattjik, yang telah bersedia menjadi pembimbing serta memberi saran dan petun-

juk selama penelitian dan penyusunan disertasi.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Prof-Dr. Sri Oerniati

dan Dr. Soetiyono Partoutomo, MSc. atas kesediaan beliau sebagai penguji luar

komisi.

Kepada teman sejawat di Laboratorium Klinik, Laboratorium Helmintologi,

Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Balai Penelitian

Veteriner tidak lupa penlulis mengucapan terima kasih atas segala bantuannya dalam

pelaksa.naan penelitian.

Kepada kedua orang tua, Ibu

dan

Bapak penulis mengucapkan rasa terima

kasih yang talc terhingga atas segala do'a nya dan talc lupa juga kepada istri, Tetty

dan anak-an& yang tercinta, Nita, Ari, Reta, Dewi dan Ratna atas segala pengor-

banannya dalam menunggu penulis menyelesaikan pendidikan di Program Pascaw-

(159)

viii

Akhirnya kepada semua pihak yang ikut membantu baik secara langsung

maupun tidak langsung dalam pelaksanaan penelitian ini dan penulisan disertasi,

penulis hanya dapat menyampaikan rasa terima kasih. Semoga amal baik Saudara

(160)
(161)
(162)

...

...

5

.

3

.

Persentase eosinofil

.

.

-54

...

. .

5 4 Persentase monosit -56

...

5

.

5

.

Persentase basofil 57

5 . 6

.

Jumlah retikulosit ...

...

57

6

.

Kadar Besi Serum

...

59

...

7

.

Jumlah Telur Cacing 60

...

...

8

.

Berat Badan

.

.

-62

...

9

.

Jumlah Cacing Dewasa 64

...

PEMBAHASAN -65

...

1 . Keadaan Umum Hewan -65

...

2

.

Kompcnen Eritrosit, Hb dan Hematokrit 73

...

3

.

Jumlah Lekosit -77

4

.

Diferensiasi Lekosit ... -78

4

.

1 . Persentase limfosit ... ... -78

4

.

2 . Persentase netrofil ... 79

...

...

4 . 3

.

Persentase eosinofil

...

.

.

.. -80

...

4

.

4

.

Persentase monosit 81

...

.

.

4 5 Persentase basofil 81 7

...

5

.

Jumlah Retikulosit 82

6 . Kadar Besi Serum ... -84

...

7

.

Jumlah Telur Cacing -86

8

.

Berat Badan

...

.

.

.

...

-87

9 . Jumlah Cacing Dewasa

...

-89

KESIMPULAN DAN SARAN

...

93

Kesimpulan

...

: ... -93

...

(163)

xii

DAFTAR PUSTAKA..

. . .

.

. . .

. . .

.

. .

.

.

. . .

.

. .

. .

. .

.

. . .

.

. .

.

.

.

.

. . -97
(164)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1 Kebutuhan zat besi pada beberapa hewan budidaya

...

23

2 . Zat besi dalam serum pada beberapa hewan budidaya

...

24

3

.

Morphologi anemia ... 26

4

.

Rataan jumlah cacing dewasa

li

.

contortus pada enam kelompok
(165)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1

..

Siklus hidup cacing

H

.

Contortus

...

8

2

.

Bagan metabolisme zat besi di dalam tubuh

...

21

3

.

Alat penghitung telur Whitlock

...

41

4

.

Perubahan nilai hemoglobin pada enam kelompok domba percobaan

...

-45

5

.

Perubahan jumlah eritosit pada enam kelompok domba percobaan

...

46

6

.

Perubahan nilai hematokrit pada enam kelompok domba percobaan

...

60

7 . Perubahan jumlah lekosit pada enam kelompok domba percobaan

...

50

8

.

Perubahan persentase limfosit pada enam kelompok domba percobaan

...

52

9

.

Perubahan persentase netrofil pada enam kelompok domba percobaan ... -53

10 . Perubahan persentase eosinofil pada enam kelompok domba percobaan

. .

55

1 1

.

Perubahan persentase monosit pada enam kelompok domba percobaan .

.

-56

12

.

Perubahan jumlah retikulosit pada enam kelompok domba percobaan

....

-58

13

.

Perubahan kadar besi serum pada enam kelompok domba percobaan

...

-59

...

14

.

Perubahan jumlah telur cacing pada enam kelompok domba percobaan 6 1

15

.

Perubahan berat badan pada enam kelompok domba percobaan

...

-63

16.17

.

Keadaan Minis hewan domba yang menderita kondisi tubuh kurus.

lemah dan bulu liering dan swam

...

.

.

.

...

66

18.19 . Keadaan selaput lendir yang anemis pada mulut dan konjungtifa

...

-67

20

.

Keadaan karkas ymg pucat. kering dan tidak ada lemak subkutis

...

-70

21 . Keadaan sumsum tulang yang berwarna lcuning gelatinous

...

-71

22 . Keadaan abomasum yang menderita ulcus ringan dan mengandung

cacing H

.

contortus

...

71
(166)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1

.

Rataan nilai hemoglobin pada enam kelompok domba percobaan

(grldl) ... -113

2

.

Rataan j y l a h eritrosit pada enam kelompok domba percobaan

(juta/mm ) ... 113

3

.

Rataan nilai hematokrit pada enam kelompok domba percobaan (%)

...

-1 14

4

.

Rataan ju

!?

lah lekosit pada enam kelompok domba percobaan

(ribulmm ) ... ... 114

5

.

Rataan deferensiasi lekosit pada enam kelompok percobaan (%)

...

115

6

.

Rataan limfosit pada enam kelompok domba percobaan (%)

...

-115

7

.

Rataan netroil1 pada enam kelompok domba percobaan (%)

...

116

8

.

Rataan eosinofil pa& enam kelompok domba percobaan (%) ... -116

9

.

Rataan monosit pada enam kelompok domba percobaan (%)

...

117

10

.

Rataan jurnlah retikulosit pada enam kelompok domba percobaan

...

-117

11

.

Rataan kadar besi serum pada enam kelompok domba percobaan

(mg1100 ml)

...

118

12

.

Rataan jumlah telur cacing pada enam kelompok domba percobaan

....

-118

13

.

Rataan berat badan pada enam kelompok domba Percobaan (kg)

...

119

...

14

.

Koefisien kontrq linear untuk rataan perlakuan 119

15

.

Nilai peluang hasil analisis dengan rnenggunakan kontras linear

...

-120

...

16

.

Analisa profil eritrosit -121

.

17 ~ n a l i s a profil hematokrit

...

121

18 . Analisa profil lekosit

...

-122

. ...

19 Analisa profil netrofil -122

20 . Analisa profil retikulosit ... 123 2,l

.

Analisa profil besi serum ... 123
(167)

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

.

Domba dan kambing adalah salah satu potensi sumber protein hewani yang

ada di Indonesia. Hewan temak ini banyak dipelihara petani di pedesaan sebagai

usaha sarnpingan dari hidup bercocok tanam di sawah atau di ladang dan cepat

beranak. Pemeliharaannya tidak terikat oleh pemilikan tanah dan mudah dikerja-

kan secara ekstensif, serta modal dominannya adalah tenaga keluarga. Ongkos

produksinya rendah karena kemampuan untuk memanfaatkan bahan serat kasar

tinggi. Ternak ini mempunyai nilai ekonomi yang penting bagi petani, yaitu sewak-

tu

-

waktu dapat dijual ke pasar hewan untuk mendapatkan uang tunai bagi keper-

luan pengolahan sawah atau ladang dan kebutuhan keluarganya. Kotorannya dapat

dimanfaatkan untuk pemupukan di sawah atau di ladang sebagai pupuk kandang.

Dalam rangka diversifikasi pengadaan protein hewan dan untuk memenuhi

kekurangannya, sejak PELITA 111, pemerintah telah mengambil beberapa langkah

kebijaksanaan dalam pengembangan temak domba dan kambing dengan mengim-

port pejantan unggul seperti jenis Suffolk, Dorset, Etawah dan persilangannya

(Hutasoit, 1979). Populasi domba di Indonesia addah sekitar 5.449,9 juta ekor dan

sebagian besar terdapat di pulau Jawa dan Madura (Statistik Indonesia, 1989).

Populasi ternak ini akan bertambah dari tahun ke tahun karena kemampuan

reproduksinya yang tinggi dan jumlah anak per kelahiran lebih dari satu (Hamdani

a

d.,

1980; Obst

a

d.,

1980; Subandryo

d.,

1981; Sitorus dan Subandryo, 1982). Menurut laporan tahunan Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan

(1983), jenis domba yang banyak dipelihara adalah domba ekor gemuk dan domba

(168)

Perkembangan ternak domba di pedesaan mengalami banyak hambatan.

Faktor hambatannya adalah selain bibit unggul, persediaan pakan, tatalaksana

peternakan, pencegahan dan pemberantasan penyakit, modal dan pemasaran; faktor

yang utamanya adalah infeksi cacing parasit. Ini terlihat dari publikasi- publikasi

yang ada (Kusumamihardja dan Partoutomo, 1971; Partoutomo

a

d.,

1976;

Atmowisastro, 1979). Atas dasar tersebut diatas, petani kurang bergairah untuk

meningkatkan j umlah ternaknya (Mrgadipoera, 1976).

Dari beberapa data inventaris cacing parasit di beberapa rumah potong

hewan di Indonesia diketahui bahwa cacing Haemonchus contortus merupakan

parasit patogenik yang banyak menginfeksi domba, dengan angka infeksinya

mencapai 80 persen (Kusumamihardja dan Partoutomo, 1971; Partoutomo

et

d.,

1976; Darmono, 1982). Cacing parasit ini tinggal di dalam ab~masum dengan

menghisap darah. Infeksi cacing

H.

contortus menimbulkan kerugian ekonomi

yang besar di negara

-

negara tropis (Blood

d.,

1989). Pengamatan terha-

dap bioklimatografi menunjukkan bahwa larva cacing tumbuh subur pada daerah

dimana curah hujan di atas 52,5 mm setiap bulan dan suhu maksimum rata-rata

18°C (Swan, 1970). Negara Indonesia merupakan daerah tropis dimana perbedaan

suhu dimusim hujan dan musim kemarau tidak terlalu besar, serta kelembaban

nisbi sangat tinggi. Keadaan ini sangat baik untuk pertumbuhan larva dilapan-

gan, sehingga infeksi ca,cing akan selalu w a d i sepanjang tahun. Dari hasil peneli-

tian Kusumamihardja (1982), didapatkan berbagai variasi populasi larva cacing

pada rumput dimusim hujan dan musim kemarau. Populasi dimusim hujan ternyata

lebih tinggi dari pada dimusim kemarau sehingga 'infeksi dalam musim hujan juga

tinggi. Ini tercermin pada buruknya kondisi kesehatan domba dalam musim terse-

but.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan (1978).

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh infeksi cacing

9.

contortus pada domba

dan kambing sekitar 4,366 juta rupiah tiap tahun. Kerugian yang dimaksud adalah

.

kematian mendadak domba anak pada infeksi akut dan berat,

-

% 1 .

. ,

.

i

\ . - tt

1 . /

(169)

menurun drastis pada domba dewasa sehingga persentase berat karkas turun dan

harganya menjadi murah. Secara klinis infeksi cacing

Y.

contortus dapat dibagi

atas 2 kategori yaitu yang menimbulh gejala klinis dan yang tidak menimbulkan

gejala klinis. Whitlock (1959) menyebut haemonchosis bagi yang menimbulkan

gejala klinis dan haemonchiasis bagi yang tidak menimbulkan gejala klinis. Kedua

kategori ini tergantung dari derajat infeksi, artinya jumlah cacing dewasa yang

hidup dalam abomasum hewan. Derajat infeksi pada setiap ekor hewan dapat

diukur dengan banyaknya telur cacing tiap gram tinja (TIGT).

Morley clan Donald (1977) menyatakan bahwa derajat infeksi cacing para-

sit di lapangan tergantung dari beberapa faktor diantaranya : 1) kepadatan ternak, 2) lamanya merumput, 3) kurun waktu menyapih sampai beranak kembali, 4)

berbagai jenis ternak yang merumput bersama, 5) perbandingan antara jumlah

ternak muda dan dewasa, 6) pergantian jenis temak yang merumput atau dengan

jenis yang sama tetapi kebal. Pada musim hujan derajat infeksi cacing parasit lebih

tinggi dari pada musim kemarau sehingga secara klinis kondisi hewan pada musim

hujan lebih buruk dari pada musim kemarau.

Blood

a.

d.,

1989 mendapatkan gejala klinis pada infeksi acing H.

con-

tortus yang berat berupa kepucatan selaput lendir dan conjnctiva, hipemoea, takhi-

kardia, letargi, kelemahan muskuler, hidrop-anasarca mulai rahang bawah sampai

ventral abdomen, penurunan berat badan yang cepat dan berakhir dengan kematian.

Keadaan kepucatan selaput lendir dihubungkan dengan kehiiangan sejumlah

darah akibat hisapan dari larva dan w i n g dewasa di dalarn abomasumn, sehingga

terjadi anemia dengan berbagai derajatnya. Perjalanan akut pada infeksi cacing

Y.

contortus terjadi karena domba memakan larva infektif dalam jumlah besar dan

perjalanan kronis terjadi akibat domba memakan larva infektif dalarn jumlah sedi-

kit tetapi sering (Coop dan Christie, 1983). Kehilangan darah yang banyak pada

induk semang dimulai pada waktu larva infektif menjadi larva stadium empat (LJ

(170)

Pada pemeriksaan pasca mati, Jubb (1985) mendapatkan karkas berwarna

pucat dan berair, hati berwarna pucat dan rapuh. Abomasum mengalami perdara-

han dan ulcerasi. Sejumlah cacing dewasa yang sedang menghisap darah nampak

melekat pada dinding abomasum. Isi abomasum berwarna merah kecoklatan akibat

bercarnpur dengan darah.

Dari berbagai hasil penelitian dilaporkan bahwa infeksi cacing H. contor-

tus

menimbulkan berbagai tingkatan pato-fisiologi pada hewan penderita (Mahanta

clan Roychoudhory, 1978; Malviya &

d.,

1979; Arifin, 1982; Wilson &

d.,

1969). Pemberian anthelmintika dengan berbagai spektrum untuk mengobati infeksi

cacing

H.

contortus sudah banyak dilakukan (Gordon, 1962; Reinecke, 1977;

Beriajaya

a

d.,

1982) tetapi hasilnya masih relatif. Hopkins (1978) mengatakan bahwa keberhasilan pemberian anthelmintika terhadap infeksi cacing alat pencer-

naan tergantung dari 1) identifikasi cacing yang ada, 2) seleksi anthelmintika yang

tepat, 3) cara pemberian yang tepat dan 4) diperhatikan pemberian anthelmintika

sebelumnya. Banyak peneliti melaporkan terjadinya resistensi terhadap anthelmin-

tika (Kelly

a

d . , 1977; le-Jambre

a

d.,

1979; Prichard

d.,

1980; Cawthorne dan Whitehead, 1983; Britt, 1982). Resistensi terjadi karena 1) pemberian an-

thelmintika yang melebihi dosis optimal, 2) pemberian anthelmintika lain yang

mempunyai susunan kirnia harnpir sarna dan 3) faktor lain (Cole, 1978). Pemberian

anthelmintika untuk pengobatan infeksi cacing parasit di lapangan belum banyak

dilakukan petani, mengingat: 1) harga yang relatif masih mahal, 2) masih sulit

didapatkan di pasaran bebas, 3) perlu ketrampilan dalarn pemberian anthelrnintika.

Yang berkembang dalam pengobatan infeksi cacing parasit dipedesaan adalah

pemberian obat

-

obat tradisional yang terdapat disekitar kebun petani. Obat tradi- sional yang banyak digunakan adalah berupa daun

-

daunan, umbi-umbian atau biji- bijian seperti buah pinang, biji labuh, petai cina, daun kunyit, temulawak dan
(171)

2. Pernasalahan.

Indonesia sebagai negara tropis yang mempunyai suhu relatip tetap dengan

jumlah curah hujan yang berbeda ternak

akan

mengalami berbagai derajat infeksi

cacing sepanjang tahun. Dari hasil survey dilaporkan bahwa infeksi cacing

H.

contortus banyak didapatkan pada ternak domba. Infeksi larva cacing di lapan-

gan rumput dimulai saat domba anak disapih atau belajar merumput dan mencapai

puncaknya pada umur 5-6 bulan (Banks, 1958). Domba dewasa juga mendapat

infeksi apabila belum pernah mengalami infeksi (Dinnen

a

d . , 1965). Domba yang sedang menyusui sangat peka terhadap infeksi larva cacing (Jubb &

d.,

1985). Anemia, penurunan berat badan dan kematian merupakan masalah yang

selalu timbul pada infeksi cacing

H.

contortus (Mahanta dan Roychoudory, 1978; Baker

d.,

1959; Charleston, 1964; Malviya, &

A.,

1979; Arifin, 1982). Dengan perunutan radioisotop Clark

A.

(1962) mendapatkan bahwa setiap ekor

acing

y.

contortus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,05 rnl tiap hari.

Dargie dan Allonby (1975) mendapatkan anemia pada domba yang menderi-

ta haemonchosis berlangsung dalam tiga tahap. M a p pertama, dikenal sebagai

haemonchosis akut yang berlangsung sampai tiga rninggu sesudah infeksi. Pada

tahap ini domba kehilangan

darah

dalam jumlah besar sebelum sistim eritropoetik-

nya mampu menghasilkan darah pengganti. Pada tahap kedua, yang berlangsung

antara minggu ketiga dan kedelapan, kehilangan eritrosit termasuk zat besi berlang-

1

sung terus, tetapi dapat diimbangi oleh kegiatan sistim eritropoetik. Pada tahap

akhir, terjadi ketidakrnampuan sistim eritropoetik karena kekurangan zat besi di

dalam tubuh.

Pemberian zat esensial tubuh atau vitamin yang dicampurkan kedalam

makanan atau minuman dengan maksud untuk mencegah atau menanggulangi defis-

iensi perlu dilakukan oleh peternak. Pada manusia pemberian zat besi pada penderi-

ta anemia zat besi sudah dilaporkan (Suhardjo, 1986). Hzsil pemberian zat besi ini

dapat mencegah dan menanggulangi penderita anemia dan juga dapat menaikkan

(172)

Penanggulangan defisiensi zat esensial atau vitamin tertentu pada hewan

ternak, dengan menampurkan zat dan vitamin tertentu kedalarn makanannya belum

banyak dilaporkan di Indonesia. Sedangkan penyakit defisiensi pada hewan ternak

banyak berkembang dilapangan.

3. Tujuan Penelitian.

Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh anemik inokulasi larva

infektif cacing

Y.

contortus dengan dosis 100 larva yang diberikan setiap hari dan

5000 larva sekali pemberian selama 9 minggu dan manfaat pemberian zat besi

(bubuk FeSO,) pada domba jantan lokal ekor tipis yang berumur antara 6 sampai 7

bulan.

Parameter yang akan diperiksa pada studi inokulasi larva ini adalah kadar

hemoglobin (Hb), jumlah eritrosit, nilai hematokrit, jumlah lekosit, diferensiasi

lekosit, retikulosit, kadar besi dalam serum; jumlah telur cacing tiap gram tinja

(TTGT),

berat badan. Jumlah cacing dewasa didalam abomasum akan dihitung

sesudah penelitian. Pemeriksaan parameter akan dilakukan setiap minggu selama

penelitian. Hasil dari studi ini diharapkan mendapat informasi dari pengaruh

inokulasi larva cacing

H.

contortus pada beberapa parameter tersebut diatas serta pengaruh pemberian bubuk FeS0, yang dicarnpur ke dalarn pakan penguat (konsen-

trat) terhadap parameter tersebut. Dari penelitian ini diharapkan juga mendapat

informasi klinis, pato-fisiologi dari infeksi acing

E.

pntortus pada domba jantan

lokal ekor tipis sehingga dari informasi tersebut dapat membantu dalarn mendiag-

(173)

TINJAUAN PUSTAKA

1, Haemonchus contortus.

Cacing ini hidup didalam abomasum dan mudah dilihat sehingga disebut

"Large Stomach Worm" atau "Barber's Pole Worm". Penyakit yang ditimbulkan

oleh cacing parasit ini disebut haemonchosis (Whitlock, 1959) dan lebih sering

ditemukan pada domba dan kambing.

Soulsby (1982) menjelaskan bahwa cacing jantan mempunyai panjang 10-20

mm dan berwarna kemerahan karena kandungan darah dalam ususnya. Cacing

betina mempunyai panjang 18

-

30 mm, berwarna merah dengan garis-garis putih

menyerupai spiral, ha1 ini adalah bagian ovarium yang mengelilingi ususnya.

Cacing mempunyai lancet pada bagian dorsal dari rongga mulutnya dan "papillae

cervicales" berbentuk duri. Bursa pada cacing jantan mempunyai "lobi lateralis"

berbentuk oval dan sebuah "lobus dorsalis" yang diperkuat oleh jari

-

jari berben- tuk huruf Y yang terletak secara asimetris pada "lobus lateralis" kiri. Cacing betina

mempunyai penutup vulva.

1.1. Daur hidup

Siklus hidup cacing ini adalah langsung, artinya tidak memerlukan induk

semang antara (Gambar 1). Cacing betina dewasa bertelur antara 5.000

-

10,000

t

butir setiap hari. Telur mempunyai panjang 70

-

85 mikron dengan diameter 41

-

48 rnikron. Pada waktu telur dikeluarkan bersama tinja, sudah berisi embrio yang

terdiri dari 16

-

32 sel (Soulsby, 1982). Kulit telur

H.

Contortus terdiri dari satu lapis, sehingga tidak tahan terhadap kekeringan dari pada telur yang mempunyai 2

lapis (Waller, 1971). Telur dapat menetas pada suhu optimum 25°C (Crofton,

1963) clan curah hujan sekitar 22.0

-

52.25 mm (Dinaburg, 1944). Suhu terendah untuk dapat menetaskan telur cacing

II,

contortus adalah sekitar 9°C (Crofton,
(174)

L a r v a S t a d i u m 5 ( i n f e k t i p ) T e l u r b e r e m b r i o

( d i n u k o s a abomasum) ( d i k e l u a r k a n b e r s a n a f e c e s )

L a r v a S t a d i u m 4 -( i n f e k t i p )

( d i m u k o s a abomasum)

L a r v a s t a d i u m 3 ( i n f e k t i p )

( d i r u m p u t ) +

L a r v a S t a d i u m 1 (L1)

( d i d a l a m f e c e s , d i t a n a h )

J

[image:174.559.42.513.9.756.2]

L a r v a S t a d i u m 2 ( L 2 ) ( d i d a l a m f e c e s , d i t a n a h )

(175)

kedua memakan mikro-organisme yang terdapat didalam tinja induk semang

(Levine

gg

d.,

1974). Larva stadium kedua kemudian mengadakan ekdisis lagi

membentuk larva stadium ketiga

(5),

yang disebut juga larva infektif, yang masih

mempunyai selubung kutikula L, sehingga L3 memiliki dua selubung.

Produksi maksimum larva infektif didapat pada suhu 20" sampai 27°C

(Crofton, 1963). Larva infektif lebih tahan terhadap kekeringan dan udara dingin

daripada L, dan L,. Larva infektif tidak makan tetapi dapat hidup dari persediaan

makanan yang disimpan dalam sel-sel ususnya. Larva infektif ini aktif memanjat

daun rerumputan pada pagi dan malam hari. Stadium infektif dicapai dalam 4-6

hari, bila keadaan optimal.

Infeksi pada domba terjadi sewaktu larva infektif tertelan bersarna maka-

nan dan selanjutnya larva melepaskan selubung kutikulanya di dalam lambung

bagian depan. Rogers (1966) dan Nichols

a

d.

(1985) melaporkan bahwa L3 melepaskan selubung kutikulanya didalam rumen. Larva infektif

(L,

mengadakan

ekdisis dalam waktu 48 sampai 72 jam setelah sampai didalam abomasum dan

membentuk larva stadium keempat (L,) yang dilengkapi dengan "buccal capsul"

sementara. Larva ini menyusup kedalam mukosa dan menghisap darah. Tetesan

darah pada luka kemudian membeku dan menyeliputi larva tersebut. Setelah 3 hari,

L, membebaskan diri dari bekuan darah dan mengadakan ekdisis terakhir dan

membentuk larva stadium kelima (L,). Larva ini kemudian membenamkan diri

kedalam mukosa abomasum dan berkembang menjadi dewasa. Hasil pengamatan

Dakkak et al. (1981) didapatkan bahwa larva infektif sarnpai pada gerbang omaso-

abomasum 6 jam sesudah inokulasi. Setelah sampai digerbang omaso-abomasum

didapatkan 3 bentuk larva yaitu larva infektif yang berselubung kutikula, larva

tidak berselubung kutikula dan larva yang bergulung. Perjalanan migrasi larva

melalui jaringan mukosa sampai ke abomasum disebut phase histo-tropik (Silver-

man dan Patterson, 1960). Dalam perkembangan L, kadang-kadang mengalami

hambatan atau terhenti pertumbuhannya. Keadaan ini disebut hipobiose (Naerland,

(176)

Michel (1974), Schad, (1977) dan Ikeme

a

a.

(1987). Hipobiose terjadi karena 1) kekebalan induk semang (Donald et al., 1964; Dineen

a

d . , 1965; Christie dan

Brambell, 1967); 2) makanan induk semang (Poeschel dan Todd, 1969); 3) suhu

penyimpanan larva (Rose, 1963; McKenna, 1973a) 4) umur larva pada waktu

infeksi (Blitz dan Gibbs, 1972; McKenna, 1973b); 5) musim (Connan, 1971;

Brunsdon, 1972; Waller clan Thomas, 1975; Southcott et al., 1976; Coadwell dan

W d , 1977); 6) umur dari induk semang (Connan, 1975); 7) golongan darah dan

induk semang (Radhakrisnan et

d.,

1972) dan 8) ras dari induk semang (Knight GI

d . , 1973). Pertumbuhan larva yang terhambat atau terhenti dapat juga terjadi pada

infeksi yang banyak, misalnya sejuta larva sekaligus (Christie, 1970; Silverman

a . , 1970). Pada phase ini te rjadi kematian larva walaupun kecil jumlahnya (Gren-

fell

a

d.,

1987). Hong

d.

(1986) lnembantah bahwa hipobiose itu terjadi sewaktu kematian cacing dewasa. Smith (1988) mengatakan bahwa kematian larva

infektif terjadi melalui 3 proses yaitu 1) akibat kerusakan larva infektif sewaktu

ditelan induk semang, 2) kerusakan menjadi lebih parah ketika pelepasan kutikula

dan 3) sewaktu berada dipermukaan mukosa lambung. Inokulasi bertahap dengan

dosis 100 larva selama 30 hari dapat juga mengalami hipobiose lebih banyak dari

pada dosis 3.000 larva sekaligus @innen et al., 1965). Hunter dan Mackenzie

(1982) menyatakan bahwa L, terbentuk 4 hari setelah infeksi, sedangkan

L,

terben-

tuk pada hari ketujuh sesudah infeksi. Cacing menjadi dewasa dalam abomasum

setelah 18 hari dan telur pertama dikeluarkan bersama tinja induk semang antara

hari kedelapan belas sampai ke duapuluh satu setelah infeksi. Produksi telur

paling banyak pada hari ke duapuluh lima sampai ke tigapuluh.

Selama perjalanan dimukosa abomasum, larva infektif mengisap darah induk

(177)

1.2. Patogenese

Larva stadium empat (Lk) dan

L,

merusak jaringan sewaktu migrasi dan

setelah menjadi cacing dewasa merusak jaringan mukosa abomasum. Cacing

melekatkan diri pada mukosa abomasum dan menghisap darah selama kurang lebih

12 menit, lalu melepaskan diri, dan luka yang ditimbulkan masih tetap mengeluar-

kan darah kurang lebih selama 7 menit. Perdarahan yang berlangsung cukup lama

itu adalah karena terdapatnya antikoagulan yang dikeluarkan oleh kelenjar pada

bagian kranial cacing ini (Soulsby, 1961).

Dakkak

A.

(1981) mendapatkan larva infektif pada gerbang abomasum 6

jam sesudah infeksi dan perdarahan abomasum terjadi 7 hari sesudah infeksi

(Dargie dan Allonby, 1975; Silverman @

d.,

1970). Migrasi larva infektif dida-

lam mukosa abomasum dan kerusakan fisik oleh cacing dewasa menimbulkan

peradangan pada abomasum yang disebut abomasitis sehingga menimbulkan gang-

gum dalam pencernaan. Coop (1971) mendapatkan pH cairan abomasum mening-

kat dan perubahan histo-patologi terjadi 25 hari sesudah infeksi (Charleston, 1965;

Hunter dan Mackenzie, 1982).

Blood &

d.

(1989) menyatakan bahwa infeksi 500 cacing dewasa tidak menimbulkan gejala sakit, tetapi apabila infeksi lebih dari 1.000 acing dewasa,

menyebabkan infeksi yang berat. Infeksi 3.000 acing dewasa pada anak domba

dan 9.000 cacing pada domba dewasa, menyebabkan angka kematian yang tinggi.

Manton

A.

(1962) menyatakan bahwa infeksi dengan 1 .500 larva infektif,

menyebabkan anemia pada anak domba yang berumur 2-4 bulan. Clark d.(1962)

dari penelitiannya mendapatkan bahwa setiap cacing dewasa dapat menghisap darah

domba sebanyak 0,05 ml. tiap hari.

Gejala klinis yang nampak dari infeksi

B.

contortus yang fatal adalah

anemia. Jennings (1976) mengatakan bahwa anemia yang disebabkan oleh parasit

(178)

1. perdarahan secara langsung sehingga tubuh kehilangan darah.

2. kekurangan nutrisi.

3.. penghancuran sel darah atau eritro-pagositosis.

Derajat anemia yang terjadi tergantung dari derajat infeksi parasit yang

ada didalam tubuh hewan. Derajat anemia dapat diukur secara kwantitatip dengan

mengukur kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit per milimeter volume darah

(Schalm gt d . , 1975). Arifin (1982) mendapatkan adanya anemia ringan (Hb 9,31 gr%) pada inokulasi 500 larva infektif dan anemia sedang (Hb 9,15 gr%) pada

inokulasi 2.000 larva infektif. Silverman

d.

(1970) mendapatkan anemia berat

(Hb 4,s gr%) pada inokulasi 10.000 larva infektif. Keadaan anemia pada infeksi

H. contortus juga dihasilkan pada ternak lainnya (Arzoun gt

&.

,

1983 pada karnb--

-

ing). Hasil penelitian pada anak sapi juga sudah dilaporkan (Altaif

a

d.,

1980; Hunter dan McKenzie, 1982; Shoo dan Wiseman, 1986).

Nilai hematokrit pada infeksi cacing

H.

contortus merupakan refleksi dari

hilangnya darah dan ini memberikan korelasi dengan jumlah telur cacing dalam

tinja (Albers dan Le-Jambre, 1983). Robert dan Swan (1982) m e n g a t . bahwa

penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit mempunyai korelasi dengan jurnlah

infeksi cacing dewasa didalam abomasum.

Melalui teknik radio isotop Dargie dan Allonby (1975) mendapatkan anemia +

pada domba yang menderita haemonchosis berlangsung dalam tiga tahap. Tihap

pertama berlangsung sampai 3 minggu sesudah inokulasi larva infektif. Domba

menderita kehilangan darah dalam jumlah besar karenamigrasi larva infektif dan

-

pendewasaan larva menjadi cacing dewasa. Sistem eritropoetik masih mampu

memproduksi eritrosit dalam jumlah yang cukup. Ini analog dengan hasil pene-

muan Scott gt

A.

(1971). Pada tahap kedua berlangsung antara minggu ketiga dan kedelapan. Kehilangan darah berlangsung terus r~encapai jumlah maksimum
(179)

menjadi naik. Kapasitas hewan penderita mereabsorbsi zat besi hemoglobin sedikit

(Dargie dan Allonby, 1975).

Soulsby (1982) menyatakan bahwa reabsorsi zat besi didalam usus hanya

mencapai 11 persen. Akibatnya cadangan zat besi didalarn tubuh menjadi kurang.

Dan tahap ketiga dari anemia didapatkan rendahnya kadar zat besi dalam serum dan

nilai hematokrit rendah karena lelahnya sistem eritropoetik. Dargie (1975) menda-

patkan adanya kehilangan serum protein kedalam usus sebanyak 210-340 mg per

100 ml.

Abbott & d.(1986a) menemukan adanya penurunan kadar besi serum pada minggu keenam sampai minggu kesepuluh sesudah domba di inokulasi larva infek-

tif. Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Bremer dan Ronalds (1965) pada

anak sapi.

Jennings (1976) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi

perjalanan haemonchosis yaitu keadaan nutrisi, kemampuan reaksi tubuh secara

cepat terhadap tekanan sistem eritropoetik dan kekebalan dari induk semang.

Kemungkinan lain adalah faktor genetik (Whitlock, 1958; Whitlock dan Madsen,

1958; Madsen dan Whitlock, 1958; Ross gj

d.,

1959). Domba dengan hemoglobin type A lebih resisten terhadap infeksi

H.

contortus daripada domba dengan hemo- globin type B (Jilek dan Bradley, 1969; Radhakrishnan

a

d.,

1972; Allonby dan

Urquhart, 1976; Preston pan Allonby, 1979).

Dineen gt

A.

(1978) menyatakan bahwa pada kelompok domba terdapat dua golongan yaitu "responder" dan

"

non responder" artinya yang memberikan reaksi

kekebalan dan yang tidak. Beberapa galur domba dapat juga memberikan kekebalan

terhadap

H.

contortus. Radhakrishnan &

d.

(1972) dan Bradley

A.

(1973) menyatakan bahwa domba Florida lebih kebal daripada domba Rambouillet dan

domba Red Masai dari pada domba Hampshire (Preston dan Allonby, 1979).

Patogenese haemonchosis tergantung pada umur induk semang sewaktu

mendapat infeksi. Keadaan lebih parah terjadi pada umur 2-4 bulan, kemudian

(180)

Adanya pengaruh mutu ransum makanan terhadap patogenese haemonchosis masih

belum jelas (Preston dan Allonby, 1978). Penelitian terakhir terhadap tinggi dan

rendahnya kadar protein di dalam ransum makanan ternyata tidak berpengaruh

terhadap patogenese haemonchosis (Abbot

a

d.,

1986a, 1986b), tetapi mortalitas,

gejala klinis seperti apatis, oedema dan penurunan berat badan lebih banyak terjadi

pada domba-domba yang diberi ransum berprotein rendah. Dari hasil penelitian

Downey (1965) didapatkan bahwa ransum makanan yang berkadar cobalt rendah

akan memperhebat patogenese haemonchosis.

1.3. Gejala klinis

Gejala klinis pada infeksi cacing

Y.

contortus dapat dibagi atas tiga sin-

drom (Soulsby, 1982) yaitu hiperakut, akut dan kronis. Hiperakut terjadi akibat

makan larva infektif dalam jumlah besar dalam waktu singkat di padang pengemba-

laan. Larva infektif terdapat dalam jumlah besar dipadang pengembalaan pada

periode 5 sampai 6 minggu sesudah kontaminasi (Donald, 1967). Kusumamihardja

(1970) mengatakan bahwa infeksi paling besar terjadi bulan Desember-Maret dan

domba lokal banyak terkena infeksi oleh cacing

Y.

contortus. Schillhorn van Veen (1978) mengatakan bahwa infeksi p a h g besar juga terjadi pada 2 sampai 4

minggu sesudah hujan. Domba menjadi kurus, lemah, mata masuk kedalam (ce-

long), rambut surarn, jumlah telur didalarn tinja diatas 8.000 (Fabiyl

d.,

1979).

Domba yang mebderita infeksi cacing

a.

wntortu~ dalarn jumlah banyak menunjukkan anemia berat, tinja berwarna merah kehitaman dan kematian menda-

dak tanpa memperlihatkan gejala klinis terlebih dahulu. Domba anak dan domba ,

yang menyusui paling banyak diserang infeksi cacing (Jubb

a

d.,

1985).

Domba dewasa pun dapat diserang apabila belum mendapatkan pengalaman infek-

si. Pada infeksi cacing yang akut, anemia berkembang secara cepat dimana

mukosa conjunctiva berwarna pucat. Anemia diikuti pula dengan hipo-proteinane-

mia dan oedema mulai dari rahang bawah sarnpai ventral abdomen (bottle jaw) dan

(181)

Morbiditas haemonchosis mencapai 100 persen dan mortalitasnya rendah

(Soulsby, 1982). Jumlah telur cacing didalam tinja (TTGT) dapat mencapai

100.000 dan karkas berwarna pucat dan berair. Pada infeksi 500 cacing dewasa

tidak menimbulkan gejala klinis tetapi apabila lebih dari 1.000 cacing dewasa

menyebabkan infeksi yang fatal. Infeksi 3.000 cacing dewasa pada domba anak

dan 9.000 cacing pada domba dewasa bisa menimbulkan kematian.

Haemonchosis yang kronis lebih sering ditemukan didalam praktek dan

memberikan nilai ekonomi yang buruk kepada induk semang domba (Allonby dan

Urquhart, 1975; Eysker dan Ogunsusi, 1980). Nilai ekonomi yang dimaksud

adalah turunnya berat badan dan berkurangnya produksi wool (Carter gt

d.,

1946; Brunsdon, 1964; Barger dan Cox, 1984). Penurunan berat badan terjadi karena

adanya anoreksia sehingga akan mernperburuk icadaan anemia (Dargie, 1973).

Keadaan ini akan lnenjadi lebih buruk lagi bahkan kematian kalau tidak diberikan

ransum yang bernutrisi tinggi (Allonby dan Urquhart, 1975). Hewan menjadi

lemah, kurus dan kondisi tubuh tergantung dari kemampuan sistem eritropoetik,

cadangan zat besi dan metabolisme nutrisi didalam tubuh domba. Pada nekropsi

seluruh jaringan tubuh berwarna pucat, darahnya encer; pada rongga perut berisi

cairan dan jaringan lemak bersifat gelatin. Dalam abomasum terjadi perdarahan,

ulcus pada jumlah infeksi cacing berkisar antara 100

-

1.000 (Jubb

a

d.,

1985). Hasil penelitian yang baru dari Abbot gt

d.,

(1986a) menunjukkan bahwa mortalitas akan menjadi tinggi pada dombadomba yang diberi ransum berprotein

rendah. Gejala klinis yang nampak adalah apatis, tidak mau makan (anorexia),

penurunan berat badan dan oedema. Gejala anemia, hip-proteinaemia dan h i p -

albuminaemia nampak juga pada domba-domba yang diberi ransum berprotein

tinggi tetapi tidak separah pada yang diberi ransum berprotein rendah (Abbot @

d.,

1986a). Jumlah telur cacing per gram tinja

(TTGT)

dan cacing dewasa tidak

menunjukkan kelainan pada perbedaan ransum ini. Konsistensi tinja lembek tetapi

jarang terjadi diare. Kadar besi serum menurun pada minggu ke 6 sampai 10

(182)

Suatu fenomena dari kekebalan terhadap infeksi cacing adalah reaksi "self-

cure" artinya penyembuhan sendiri. Reaksi self-cure terjadi pada infeksi cacing

H.

contortus. Reaksi ini pertama kali dikemukakan Stoll (1929) karena adanya penu-

runan TTGT; kemudian ditegaskan kembali oleh Stewart (1953). Self-cure dan

penurunan TTGT atau hambatan dari produksi telur merupakan reaksi kekebalan

(Stewart,l950 ; Soulsby dan Stewart, 1960). Self-cure terjadi secara alami karena induksi oleh infeksi larva infektif yang berulang-ulang sehingga dapat mengeluar-

kan sejumlah cacing dewasa (Soulsby dan Stewart, 1960). Reaksi self-cure dimulai

pada waktu L, ekdisis menjadi

L,

yang menyebabkan terjadi gerakan peristaltik

mukosa abomasum sehingga mendorong cacing

H.

contortus keluar (Murray, 1973; Befus dan Bienenstock, 1982). Penurunan TTGT dan keluamya sejumlah cacing

dewasa terjadi pada 2 minggu sesudah diinokulasi larva infektif. Domba menjadi

resisten terhadap infeksi parasit cacing yang sama (Luffau &

d.,

1981). Smith (1977a) mendapatkan adanya kenaikan antibodi didalam serum darah pada domba

yang mendapat infeksi berat. Selain itu kenaikan antibodi didalam serum terdapat

juga pada domba-domba yang diinokulasi larva infektif yang telah diradiasi (Smith

dan Christie, 1978). Allonby dan Urquhart (1973), menyatakan bahwa self-cure

tidak saja memerlukan induksi larva infektif baru tetapi bertalian dengan zat yang-

ada pada rumput yang baru tumbuh sesudah hujan.

Self-cure sering terjadi pada domba dewasa daripada domba anak (Urqu- *

hart &

d.

,

1966a, 1966b). Hubungan antara golongan darah dengan terjadinya self-cure juga diperlihatkan oleh Evans dan Whitlock (1964); Allonby clan Urquhart

(1973). Terjadinya self-cure pada domba dengan golongan darah AA lebih kuat

(183)

1.4. Terapi

Penggunaan obat cacing dalam pemberantasan parasit cacing belum banyak

dilakukan petani di Indonesia karena sulitnya mendapatkan obat di pasaran bebas,

harga yang relatif masih dirasakan mahal serta cara aplikasinya yang membutuhkan

ketrampilan sehingga hasil survei yang dilakukan Direktorat Kesehatan Hewan

(1978) didapatkan data bahwa kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh infeksi

cacing

H.

contortus cukup tinggi sehingga perlu dicarikan cara penanggulangannya

untuk mengurangi kerugian ekonomi ini. Usaha

-

usaha dalam pemberantasan

parasit cacing

H.

contortus sudah lama dilakukan hanya dengan obat cacing pheno-

thiasin (Gordon, 1942; Britton gt

d.,

1943). Obat ini diberikan dalam volume yang besar sehingga dapat mencemari bulu, urine dan saliva yang berwarna merah

kecoklatan (Prichard, 1978). Di negara maju penggunaan obat cacing untuk pengobat-an dan kontrol terhadap infeksi cacing H. contortus pada hewan budidaya sudah lama dilakukan peternak. Prichard

A.

(1980) membagi obat cacing berda-

sarkan susunan kimia, daya kerja dan spektrum aktivitas dalam 4 grup yaitu benzi-

midasol;. levamisol dan morantel; salisilanilida dan nitrophenol; organophosfat.

G r u ~ Benzimidasol. Thiabendosol dari grup ini banyak digunakan untuk

pemberantasan cacing

H.

contortus, karena efektif terhadap cacing dewasa dan

larva infektif. Diberikan secara per oral dengan dosis 44 mg per kg berat badan

(Soulsby, 1982). Grup benzimidosol juga efektif terhadap cacing lainnya seperti

Nematodirus spp. ; Strongvloides spp. ; Bunostomum spp. ; Moniezia spp. ; Osterto-

gia spp. ; Fasciola spp.; (Anderson gt

d.

,

1977; Downey, 1977; Kelly

d.,

1977; Prichard gt

d.,

1978). Beberapa tahun kemudian dilaprkan adanya resistensi grup benzimidosol terhadap

H.

contortus dibeberapa negara seperti di Belanda (Boerse- ma

a

d.,

1982), di Australia (Prichard

a

A,,

1980), di Swiss (Jordi, 1980), di New Zaeland (Vlassoff dan Kettle, 1980) dan di Inggris (Britt, 1982).

Grup Levamisol dan Morantel. Levamisol mempunyai daya kerja sangat

efektif sekali terhadap

H.

contortus pada dosis 7,s mg per kg berat badan (Prich-
(184)

kholinergik seperti tremor, hipersalivasi dan paralise. Pemberian levamisol tersen-

diri atau bersamaan dengan thiabendosol dalam kurun waktu kurang dari 1 bulan

dapat menimbulkan resistensi terhadap obat dari

H.

contortus (le Jambre, 1978).

Pemberian morantel dengan dosis 1,s mg. per kg ransum tiap hari dapat mengu-

rangi TTGT dan jumlah larva dipadang pengembalaan (Jacobs

d.,

1981).

Dengan menurunnya 71 persen jumlah cacing dewasa didalam abomasum dapat

menaikkan berat badan rata-rata sekitar 24 kg pada anak sapi (Armour

a

d.,

1982).

G r u ~ Salisilanilida dan Nitro~henol. Obat cacing ini berspektrum sempit

mempunyai daya efektif terhadap cacing H. contortus dewasa (Sinclear dan Prich-

ard, 1975). Preparat lain adalah disophenol yang di Indonesia pernah dicoba untuk

kontrol terhadap

H.

contortus didaerah Jawa Barat (Soetedjo

a

d.,

1980), tetapi

penggunaan obat ini tidak berkembang berhubung harganya masih cukup mahal

buat petani. Preparat dari grup organophosfat seperti haloxon, crufomat, couma-

phos, rometin sudah digunakan pada dosis tunggal (Blood, et alL 1989) tetapi

mempunyai aktivatas kurang efektif (Kingsbury dan Curr, 1967). Kombinasi trusi

(CuSOJ dan tembakau (nikotin) sebagai obat cacing terhadap

H.

contortus sudah

lama digunakan (Marsh, 1958; Hungerford, 1970). Obat cacing ini sangat efektif

juga terhadap cacing Ostertagia spp., Trichostron~vlus spp. dan Moniezia spp.

(Hopkins, 1978). Prichard (1978) mengatakan bahwa obat cacing kombinasi ini

harus diberikan langsung kedalam abomasum untuk mendapatkan hasil yang

(185)

2. Zat besi (Fe).

Zat besi adalah mineral esensial untuk hematopoesis. Seluruh tubuh men-

gandung zat besi dalam ikatan kompleks dengan protein. Sebagian besar zat besi

terdapat didalam hemoglobin 65 persen; dalam bentuk zat besi cadangan didalam

tubuh 30 persen yang terdiri dari feritin dan hemosiderin terdapat dalam hati,

limpa, sumsum tulang; didalam mioglobin 3 persen dan sisanya dalam bentuk

enzim-heme, enzim-non heme dan sideropilin "iron transport protein transferin"

(Kaneko, 1980). Fungsi terpenting dari zat besi dalam ikatannya dengan protofirin

adalah untuk membentuk hemeprotein. Apabila proteinnya globin terbentuklah

hemoglobin dan mioglobin dan apabila proteinnya apoenzim terbentuklah enzim-

heme.

Enzim-heme disebut sitokrom sebagai dasar dari proses respirasi dan ini

merupakan tempat pertukaran oksigen. Hemoglobin mengandung 3,34 mg zat besi

per gram (Kaneko, 1980). Kehilangan darah per 1 ml berarti akan kehilangan zat

besi 0,51 mg. Zat besi disini mengikat oksigen dan berfungsi untuk transport

oksigen dan karbon dioksida dari dan untuk jaringan. Mioglobin juga mengikat

oksigen dan berfungsi sebagai cadangan oksigen dalam jaringan otot. Pada hewan

yang hidup di air laut kadar zat besi pada rnioglobin terdapat tinggi karena diguna-

kan untuk pergerakannya didalam air (Kendrew

d.,

1954). Kekurangan zat besi

dapat menyebabkan pasok oksigen kejaringan berkurang dan menyebabkan anemia

beserta gejala klinis lajnnya.

2.1. Metabolisme zat besi

Mekanisme dasar dari metabolisme zat besi didalam tubuh hewan dibagi

dalam 5 rentetan proses (Kaneko, 1980) yaitu:

1. penyerapan zat besi dari makanan, 2. transportasi,

(186)

Zat besi yang dikosumsi berada dalarn bentuk ikatan ferri (umumnya dalam

pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam pangan hewani). Zat besi

yang berbentuk ikatan ferri oleh getah lambung (HCI), direduksi menjadi bentuk

ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukoda usus (Gambar 2).

Di dalam sel mukosa, ikatan ferro dioksidasi menjadi ferri, kemudian

bergabung dengan apoferitin membentuk protein yang mengandung zat besi yaitu

feritin. Selanjutnya untuk masuk ke plasma darah, zat besi dilepaskan dari feritin

dalam bentuk ferro, sedangkan apoferitin yang terbentuk kembali akan bergabung

lagi dengan ferri hasil oksidasi didalam sel mukosa. Setelah masuk ke dalam

plasma, maka zat besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan

dengan protein spesifik yang mengikat zat besi yaitu transferin. Faktor yang dapat

meningkatkan penyerapan zat besi adalah vitamin C dan protein hewani. Faktor

penghambat dalam penyerapan zat besi adalah asam tanat, fosfidin, fitat, garam

-

gararn kalsium dan fosfat dalam jumlah yang cukup banyak.

Plasma darah disamping menerima zat besi b e d dari penyerapan maka-

nan; juga menerima zat besi dari simpanan didalam tubuh, pemecahan hemoglobin

clan sel-sel yang telah mati. Sebaliknya plasma harus mengirim zat besi ke sumsum

tulang untuk pembentukan hemoglobin, ke sel endotelial untuk disimpan dan ke

semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung zat besi. Kebutuhan zat besi

didalam pakan untuk hewan budidaya dapat dilihat pada Tabel 1. Kebutuhan ini +

akan meningkat pada umur muda, kebuntingan, penderita penyakit darah dan

perdarahan.

Sebagi~q besar zat besi dimanfaatkan untuk pem- bentukan hemoglobin.

Sumsum tulang yang berfungsi baik dapat memproduksi sel darah merah dan

hemoglobin sebesar enam kali. Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadan-

gan dalam bentuk feritin clan hemosiderin didalam sel parenkhim hati, sel-sel retik-

(187)
[image:187.782.53.693.44.522.2]

Gambar 2 . BAGAN METABOLISME ZAT BESI D I DALAM TUBUH

zat

Pemasukan

>

--

Penyerapan

>

-

Transport

-

Pertukaran Zat besi dari

Gambar

GAMBAR 1. SIKLUS D U P  CACING H. CONTORTUS
Gambar 2 .
GAMBAR 3. ALAT PENGHITUNG TELUR WHITLOCK
GAMBAR 4. PERUBAHAN NILAI HEMOGLOBIN PADA ENAM KELOM-
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dan pengolahan data yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel gaji, kepemimpinan dan sikap rekan kerja berpengaruh signifikan positif

Tujuan Penelitian penelitian 1) Untuk menganalisis bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap belanja modal. 2) Untuk menganalisis bahwa Pendapatan Asli Daerah.. 6

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY R P1A0 POST SECTIO CAESAREA DENGAN INDIKASI PREEKLAMPSIA BERATi. (PEB) DI RUANG MAWAR

[r]

Kolom (3) diisi dengan indikator kinerja unit kerja eselon II/UPT dari masing- masing sasaran strategis sesuai dengan dokumen rencana strategis;.. Kolom (4) diisi dengan angka

Penelitian ini berhasil memberikan kontribusi bagi pelaku bisnis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi sikap pelanggan terhadap media sosial yang digunakan pemasar

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, segala nikmat, dan kekuatan sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi)

Strategi layanan BK yang dapat dilakukan untuk mengembangkan self- control siswa sekolah dasar adalah layanan dasar dengan strategi bimbingan kelompok, karena menurut