TESIS
POLA PENGGUNAAN ALBUMIN PADA PASIEN LUKA BAKAR
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr.PIRNGADI
KOTA MEDAN
Oleh:
SINGGAR NI RUDANG
NIM 097014018
POLA PENGGUNAAN ALBUMIN PADA PASIEN LUKA BAKAR
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. PIRNGADI
KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
SINGGAR NI RUDANG
NIM 097014018
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI
FAKULTAS FARMASI
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS
POLA PENGGUNAAN ALBUMIN PADA PASIEN LUKA BAKAR DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. PIRNGADI
KOTA MEDAN
Oleh:
SINGGAR NI RUDANG NIM 097014018
Medan, April 2014 Menyetujui
Komisi Pembimbing, Komisi Penguji,
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 195301011983031004 NIP 195103261978022001
Prof. Azmi S. Kar. SpPD (KHOM) Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 19531128198303100
Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195301011983031004
Prof. Azmi S. Kar. SpPD (KHOM)
PENGESAHAN TESIS
Nama Mahasiswa : Singgar Ni Rudang Nomor Induk Mahasiswa : 097014018
Program Studi : Magister Farmasi
Judul Tesis : Pola Penggunaan Albumin Pada Pasien Luka Bakar Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan
Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji pada hari Senin
tanggal tiga bulan Februari tahun dua ribu empat belas.
Mengesahkan:
Tim Penguji Tesis
Ketua Tim Penguji Tesis : Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.
Anggota Tim Penguji : Prof. Azmi S. Kar. SpPD (KHOM)
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama Mahasiswa : Singgar Ni Rudang
Nomor Induk Mahasiswa : 097014018
Program Studi : Magister Farmasi
Judul Tesis : Pola Penggunaan Albumin pada Pasien Luka
Bakar di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Pirngadi Kota Medan
Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah hasil karya saya
sendiri, bukan plagiat, dan apabila dikemudian hari diketahui tesis saya
tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi
apapun oleh Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi USU. Saya
tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dalam
keadaan sehat.
Medan, April 2014
Yang membuat pernyataan,
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan tesis ini, serta Shalawatdan Salam kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai suri tauladan dalam kehidupan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar
Magister Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, yang
berjudul: “Pola Penggunaan Albumin Pada Pasien Luka Bakar Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Kota Medan”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku penguji
sekaligus Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan, kepada Bapak Prof.
Dr. UripHarahap, Apt., dan Bapak Prof. Azmi S. Kar. SpPD (KHOM), yang
telah membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian
dan penulisan tesis ini berlangsung. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., sebagai penguji dan Bapak Prof. Dr.
Karsono, Apt., selaku ketua program studi Magister Farmasi Universitas
Sumatera Utara.
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih dan penghargaan
dukungan baik moril maupun materil, serta anak-anak tersayang yang selalu
memberikan dorongan dan semangat dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak guna perbaikan tesis ini. Akhir kata penulis berharap semoga tesis
ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Medan, April 2014
Penulis,
POLA PENGGUNAAN ALBUMIN PADA PASIEN LUKA BAKAR DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. PIRNGADI KOTA MEDAN
ABSTRAK
Albumin telah digunakan sejak puluhan tahun sebagai salah satu pilihan terapi dalam praktik medis. Tujuannya adalah mengatasi kondisi hipoalbuminemia pada berbagai penyakit. Kadar serum albumin sangat penting sebagai indikator prognostik, karena jika kadar albumin kurang dari yang seharusnya, akan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Penderita luka bakar di rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi Kota Medan datang dengan derajat luka yang berbeda mulai dari yang ringan sampai yang berat, sehingga diperlukan penanganan pengobatan luka bakar sesuai indikasi luka bakar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola penanganan pengobatan pasien luka bakar di rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi Kota Medan dan untuk mengetahui pemberian terapi albumin pada pasien luka bakar sesuai dengan kebutuhan pengobatan pasien.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu dilakukan pada waktu tertentu, sebagai tahap pertama memberikan gambaran pengobatan penanganan luka bakar. Bahan dan sumber data diperoleh dari rekam medis di rumah sakit dr. Pirngadi Kota Medan. Pasien luka bakar rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi kota Medan tercatat sejumlah 45 orang dan setelah dilakukan pencatatan serta seleksi diperoleh data pasien luka bakar yang termasuk inklusia dalah 30 orang yang terdiri dari 18 orang laki-laki dan 12 orang perempuan.
Tiga puluh pasien yang diteliti ternyata 20 orang pasien yang sembuh (66,70%) dan 10 orang pasien meninggal (33,30%), yaitu 18 pasien tanpa terapi albumin sebanyak 16 orang pulang dengan kondisi sembuh dan 2 orang meninggal. Pada pemberian terapi albumin sebanyak 12 pasien, 4 orang sembuh dan 8 orang yang meninggal. Setelah dimasukkan dengan uji Kolmogorov-Smirnov Test 2 tailed ternyata ada perbedaan antara pemberian terapi albumin dan tanpa terapi albumin. Pada pasien luka bakar di rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi Kota Medan yang diteliti ternyata tidak semua pasien diterapi dengan albumin hanya pasien yang membutuhkannya saja.
USE PATTERNS ALBUMININ BURN OF PATIENTS REGIONAL GENERAL HOSPITAL dr. PIRNGADI MEDAN CITY
ABSTRACT
Albumin has been used for decade sasatreatment optionin medical practice. The aim isto over come hypoalbuminemia invarious disease conditions. Serum albumin level sare very importantas a prognostic indicator, because if albumin levels less than they should, will increase the risk of morbidity and mortality. Patients with burns in hospital dr. Pirngadi Medan come with different degrees of injury ranging from mild to severe, necessitating treatment of burns treatment as indicated burns. The purpose of this study was to determine the pattern of treatment of burn patients treatment in a public regional general hospital dr. Pirngadi Medan city and to determine albumin therapy in burn patients according to the treatment needs of patients.
This research uses descriptive method that iscarried outat a particular time, as the first stage gives an over view of the treatment of burns. Materials and sources of data obtained from medical recordsat the regional general hospital dr. Pirngadi Medan city. Burn patients regional general hospital dr. Pirngadi Medan city, there were 45 people, and after the recording of the data obtained and the selection of patients including burn inclusion sare 30 people consisting of 18 men and 12 women.
Thirty patients studied 20 patients who apparently cured (66.70%) and 10 patients died (33.30%), is 18 patients without albumin therapyas many as 16 people went home with the condition is cured and 2 died.In albumin therapy as many as 12 patients, 4 were cured and 8 people died. Once in serted with the Kolmogorov-Smirnov two-tailed test turns out there is a difference between providing therapy without albumin and albumin therapy. In burn patients in general hospital dr. Pirngadi Medan studied not all patients treated with albumin only patients who need it.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
PENGESAHAN TESIS ... iv
SURAT PERNYATAAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 5
1.3 Kriteria Inklusi ... 5
1.4 Kriteria Eksklusi ... 6
1.5 Perumusan Masalah ... 6
1.6 Hipotesis ... 6
1.7 Tujuan Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Albumin ... 8
2.2 Fungsi albumin ... 8
2.3 Farmakologi ... 10
2.3.1 Sintesis ... 10
2.3.2 Distribusi ... 11
2.3.3 Degradasi ... 11
2.3.4 Ekskresi ... 12
2.4 Ekivalensi Plasma ... 12
2.5 Indikasi Penggunaan Albumin ... 12
2.6 Luka Bakar ... 14
2.7 Epidemilogi Luka Bakar ... 15
2.8 Etiologi Luka Bakar ... 16
2.9 Patofisiologi Luka Bakar ... 16
2.10 Pembagian Luka Bakar ... 18
2.10.1 Luka bakar listrik ... 18
2.10.2 Luka bakar karena panas ... 19
2.10.3 Luka bakar bahan kimia ... 19
2.11 Penentuan Derajat Luka Bakar ... 19
2.11.1 Luka bakar derajat pertama ... 19
2.11.2 Luka bakar derajat dua/luka bakar ketebalan parsial ... 20
2.12.1 Pemeriksaan fisik ... 23
2.12.2 Pemeriksaan laboratorium ... 23
2.13 Komplikasi ... 23
2.13.1 Syok hipovolemik ... 23
2.13.2 Udem laring ... 24
2.13.3 Keracunan gas CO ... 25
2.13.4 SIRS (systemic inflamatory respone syndrome) ... 25
2.13.5 MOF (multi organ failure) ... 26
2.13.6 Kontraktur ... 27
2.14 Perawatan Luka Bakar ... 28
2.14.1 Penggantian cairan ... 28
2.14.2 Debridemen ... 28
2.14.3 Penggantianbalutan ... 29
2.14. 4 Penggunaan antibiotik ... 30
2.14.5 Mengurangi nyeri pada luka bakar ... 30
2.15 Faktor Kesembuhan Luka Bakar ... 31
2.16 Permasalahan pada Luka Bakar ... 32
BAB III METODE PENELITIAN ... 33
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 33
3.2 Rancangan Penelitian ... 33
3.2.1 Subjek penelitian ... 33
3.2.2 Populasi sasaran ... 33
3.2.4 Besar sampel ... 34
3.2.5 Tahapan penelitian ... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
4.1 Jumlah Pasien Luka Bakar ... 36
4.2 Terapi Albumin ... 39
4.3 Persentase Pasien Sembuh dan Meninggal ... 41
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42
5.1 Kesimpulan ... 42
5.2 Saran ... 42
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Hukum Sembilan untuk Menghitung Persentase Tubuh yang
Terbakar ... 22
4.1 Data Demografi Pasien Luka Bakar ... 36
4.2 Waktu Kedatangan Pasien ke Rumah Sakit... 38
4.3 Data Pasien Sembuh dan Meninggal ... 38
4.4 Data Penggunaan Albumin ... 39
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 5
2.1 Anatomi Kulit dan Hubungan dengan Derajat Luka Bakar... 21
2.2 Persentase Luka Bakar pada Seluruh Luas Permukaan Tubuh ... 22
2.3 Skema faktor yang menentukan beratnya luka bakar dan harapan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
POLA PENGGUNAAN ALBUMIN PADA PASIEN LUKA BAKAR DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. PIRNGADI KOTA MEDAN
ABSTRAK
Albumin telah digunakan sejak puluhan tahun sebagai salah satu pilihan terapi dalam praktik medis. Tujuannya adalah mengatasi kondisi hipoalbuminemia pada berbagai penyakit. Kadar serum albumin sangat penting sebagai indikator prognostik, karena jika kadar albumin kurang dari yang seharusnya, akan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Penderita luka bakar di rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi Kota Medan datang dengan derajat luka yang berbeda mulai dari yang ringan sampai yang berat, sehingga diperlukan penanganan pengobatan luka bakar sesuai indikasi luka bakar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola penanganan pengobatan pasien luka bakar di rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi Kota Medan dan untuk mengetahui pemberian terapi albumin pada pasien luka bakar sesuai dengan kebutuhan pengobatan pasien.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu dilakukan pada waktu tertentu, sebagai tahap pertama memberikan gambaran pengobatan penanganan luka bakar. Bahan dan sumber data diperoleh dari rekam medis di rumah sakit dr. Pirngadi Kota Medan. Pasien luka bakar rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi kota Medan tercatat sejumlah 45 orang dan setelah dilakukan pencatatan serta seleksi diperoleh data pasien luka bakar yang termasuk inklusia dalah 30 orang yang terdiri dari 18 orang laki-laki dan 12 orang perempuan.
Tiga puluh pasien yang diteliti ternyata 20 orang pasien yang sembuh (66,70%) dan 10 orang pasien meninggal (33,30%), yaitu 18 pasien tanpa terapi albumin sebanyak 16 orang pulang dengan kondisi sembuh dan 2 orang meninggal. Pada pemberian terapi albumin sebanyak 12 pasien, 4 orang sembuh dan 8 orang yang meninggal. Setelah dimasukkan dengan uji Kolmogorov-Smirnov Test 2 tailed ternyata ada perbedaan antara pemberian terapi albumin dan tanpa terapi albumin. Pada pasien luka bakar di rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi Kota Medan yang diteliti ternyata tidak semua pasien diterapi dengan albumin hanya pasien yang membutuhkannya saja.
USE PATTERNS ALBUMININ BURN OF PATIENTS REGIONAL GENERAL HOSPITAL dr. PIRNGADI MEDAN CITY
ABSTRACT
Albumin has been used for decade sasatreatment optionin medical practice. The aim isto over come hypoalbuminemia invarious disease conditions. Serum albumin level sare very importantas a prognostic indicator, because if albumin levels less than they should, will increase the risk of morbidity and mortality. Patients with burns in hospital dr. Pirngadi Medan come with different degrees of injury ranging from mild to severe, necessitating treatment of burns treatment as indicated burns. The purpose of this study was to determine the pattern of treatment of burn patients treatment in a public regional general hospital dr. Pirngadi Medan city and to determine albumin therapy in burn patients according to the treatment needs of patients.
This research uses descriptive method that iscarried outat a particular time, as the first stage gives an over view of the treatment of burns. Materials and sources of data obtained from medical recordsat the regional general hospital dr. Pirngadi Medan city. Burn patients regional general hospital dr. Pirngadi Medan city, there were 45 people, and after the recording of the data obtained and the selection of patients including burn inclusion sare 30 people consisting of 18 men and 12 women.
Thirty patients studied 20 patients who apparently cured (66.70%) and 10 patients died (33.30%), is 18 patients without albumin therapyas many as 16 people went home with the condition is cured and 2 died.In albumin therapy as many as 12 patients, 4 were cured and 8 people died. Once in serted with the Kolmogorov-Smirnov two-tailed test turns out there is a difference between providing therapy without albumin and albumin therapy. In burn patients in general hospital dr. Pirngadi Medan studied not all patients treated with albumin only patients who need it.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak azasi manusia dan setiap orang berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhannya.
(Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28 H,
Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) dan Undang Undang Nomor 36 tahun 2000 tentang kesehatan). Oleh
karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh
perlindungan terhadap kesehatannya dan negara bertanggung jawab agar
terpenuhi hak sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan
tidak mampu.
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (UU Nomor
44 Tahun 2009 tentang rumah sakit). Pelayanan farmasi rumah sakit
merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan
kesehatan yang bermutu. Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit
meliputi pengkajian resep, dispensing, pemantauan dan pelaporan efek
samping obat, pelayanan informasi obat, konseling, pemantauan kadar obat
Pengkajian penggunaan obat merupakan evaluasi penggunaan obat yang
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai
indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien (Aslam, dkk., 2003). Adapun
hal yang menyebabkan ketidakrasionalan obat yaitu peresepan yang boros
(extravagant), peresepan berlebihan (over prescribing), peresepan yang kurang
(under prescribing), peresepan majemuk (multiple prescribing), dan peresepan
yang salah (incorrect prescribing).
Masalah terapi terkait obat (drug therapy problem) muncul ketika
kebutuhan pasien terkait obat tidak terpenuhi yaitu untreated indication (pasien
memerlukan obat tetapi indikasinya kurang tepat), drug therapy used when not
indicated (pasien memerlukan terapi obat tetapi mendapat obat yang
indikasinya tidak ada), improper drug selection (pasien memerlukan terapi obat
tetapi mendapat obat/produk obat yang salah), subtherapeutic dose (pasien
memerlukan terapi obat tetapi menerima dosis obat kurang). Salah satu
penyakit yang dirawat di rumah sakit dr. Pirngadi Medan adalah pasien luka
bakar. Luka bakar merupakan jenis luka, kerusakan jaringan atau kehilangan
jaringan yang diakibatkan sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi,
sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya dan radiasi (Morison, 2004). Jenis luka
dapat beragam dan memiliki penanganan yang berbeda tergantung jenis
jaringan yang terkena luka bakar, tingkat keparahan, dan komplikasi yang
terjadi akibat luka tersebut. Luka bakar dapat merusak jaringan otot, tulang,
persyarafan (Morison, 2004). Sebagian luka bakar terkait dengan kecelakaan di
rumah dan sebagian lagi terjadi di lingkungan kerja.
Penderita luka bakar di rumah sakit dr. Pirngadi Kota Medan datang
dengan derajat luka yang berbeda mulai dari yang ringan sampai yang berat,
sehingga diperlukan penanganan pengobatan luka bakar sesuai indikasi luka
bakar. Umumnya pasien luka bakar diobati berdasarkan prosedur tetap yang
sudah baku pada ruang rawat inap, tanpa melihat jenis luka dan derajat luka
bakarnya yaitu dengan cara mengurangi rasa nyeri, dukungan psikologis,
pembersihan luka dan pencegahan infeksi (Morison, 2004). Sehingga
penanganan yang lebih lanjut membutuhkan waktu yang lama. Menurut
pedoman penggunaan albumin University Health System (UHS) dan pedoman
penggunaan albumin di rumah sakit umum daerah Soetomo Surabaya (RSUD
Soetomo, 2003), untuk pasien dengan derajat luka bakar >50% dari permukaan
tubuh harus diberikan albumin dalam waktu 24 jam pertama. Pada pasien luka
bakar di RSU dr. Pirngadi penggunaan albumin hanya diberikan pada pasien
jika terjadi hipoalbuminemia dengan tujuan untuk memperbaiki kadar albumin
dan percepatan penyembuhan penyakit pasien.
Albumin telah digunakan sejak puluhan tahun sebagai salah satu pilihan
terapi dalam praktik medis. Tujuannya adalah mengatasi kondisi
hipoalbuminemia pada berbagai penyakit. Menurunnya kadar albumin dapat
menjadi penyebab kelainan tetapi lebih banyak merupakan komplikasi penyakit
Banyak data yang membuktikan bahwa kadar albumin dalam darah
berkaitan dengan prognosis sehingga para ahli berkeyakinan untuk
memperbaiki kondisi hipoalbuminemia dilakukan dengan pemberian infus
albumin. Contoh yang paling nyata adalah usaha untuk menaikkan kadar
albumin pada pasien-pasien gawat atau kondisi pra-bedah. Fungsi albumin
adalah menjaga agar tekanan onkotik koloid plasma berkisar 75-80% yang
merupakan 50% protein tubuh. Dalam tubuh terdapat kurang lebih 360 g
albumin yang dapat dijumpai dalam plasma 49% dan 51% pada jaringan
extravaskuler. Jika protein plasma khususnya albumin tidak dapat lagi menjaga
tekanan onkoloid akan terjadi ketidak seimbangan tekanan hidrostatik yang
akan menyebabkan edema (Murray, 2006).
Kadar serum albumin sangat penting sebagai indikator prognostik,
karena jika kadar albumin kurang dari yang seharusnya, akan meningkatkan
risiko morbiditas dan mortalitas.
Albumin diproduksi di hati sebagai proalbumin yang mempunyai
N-terminal protein, oleh karena itu pemberian albumin untuk penderita penyakit
hati tidak bermanfaat. Karena albumin disintesis di hati dengan rata-rata 12-14
g/hari (150-250 mg/kg berat badan) dengan T½ 20 hari (Sulistia, 2007).
Meskipun harga sediaan albumin relatif mahal harus tetap diberikan sesuai
dengan diagnosis penyakitnya. Berkaitan dengan itu penulis ingin meneliti
penanganan dan efektivitas pemberian albumin infus yang digunakan untuk
memperbaiki kadar albumin yang rendah agar normal dan membantu
1.2 Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan pemaparan di atas, maka perlu dilakukan pengkajian
penggunaan obat untuk pasien luka bakar dengan derajat luka yang berbeda
serta mengalami hipoalbuminemia sehingga diperoleh pola penggunaan
albumin pada pasien luka bakar. Secara skematis pola pikir penelitian dapat
ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Variable bebas Variable terikat
Gambar 1.1 Skema kerangka pikir penelitian
1.3Kriteria Inklusi
Pada penelitian ini yang termasuk kriteria inklusi adalah sebagai
berikut:
a. penderita luka bakar dengan kadar albumin <3 g/dl berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium dan penderita luka bakar dengan kadar
1.4 Kriteria Eksklusi
Pada penelitian ini yang termasuk kriteria eksklusi adalah sebagai
berikut:
a. pasien luka bakar dengan sindroma nefrotik.
b. pasien luka bakar anak-anak.
1.5 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian di atas maka, rumusan
masalah penelitian adalah sebagai berikut:
a. apakah pola penanganan pengobatan luka bakar di rumah sakit umum
daerah dr. Pirngadi Kota Medan telah sesuai kebutuhan?
b. apakah semua jenis luka bakar harus diberikan terapi albumin?
1.6 Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas maka hipotesis
penelitian adalah sebagai berikut:
a. pola penanganan pengobatan luka bakar di rumah sakit umum daerah dr.
Pirngadi Kota Medan sesuai dengan kebutuhan.
b. tidak semua jenis luka bakar diberikan terapi albumin, hanya pada pasien
1.7 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
a. untuk mengetahui pola penanganan pengobatan pasien luka bakar di
rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi Kota Medan.
b. untuk mengetahui pemberian terapi albumin pada pasien luka bakar
sesuai dengan kebutuhan pengobatan pasien.
I.8 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan gambaran pengobatan pasien
luka bakar dan dapat sebagai acuan terapi albumin pada pasien luka bakar di
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh
manusia, yaitu sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal adalah
3,8-5,0 g/dl. Albumin terdiri dari rantai tunggal polipeptida dengan berat
molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam amino. Pada molekul albumin
terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan asam-asam amino yang
mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips sehingga dengan bentuk
molekul seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma dan larut
sempurna. Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju
degradasi, dan distribusi antara kompartemen intravaskular dan ekstravaskular.
Cadangan total albumin 3,5-5,0 g/kg BB atau 250-300 g pada orang dewasa
sehat dengan berat 70 kg, dari jumlah ini 42% berada di kompartemen plasma
dan sisanya di dalam kompartemen ektravaskular (Evans, 2002). Albumin
manusia (human albumin) dibuat dari plasma manusia yang diendapkan
dengan alkohol. Albumin secara luas digunakan untuk penggantian volume dan
mengobati hipoalbuminemia (Uhing, 2004: Boldt, 2010).
2.2Fungsi Albumin
Berdasarkan fungsi dan fisiologis, secara umum albumin di dalam tubuh
mempertahankan tekanan onkotik plasma, peranan albumin terhadap tekanan
konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan protein plasma lainnya, dengan
berat molekul 66,4 kDa lebih rendah dari globulin serum yaitu 147 kDa, tetapi
rnasih mempunyai tekanan osmotik yang bermakna. Efek osmotik ini
memberikan 60% tekanan onkotik albumin. Sisanya 40% berperan dalam
usaha untuk mempertahankan intravaskular dan partikel terlarut yang
bermuatan positif (Nicholson dan Wolmaran, 2000; Dubois dan Vincent,
2002).
Secara detil fungsi dan peran albumin dalam tubuh adalah seperti yang
akan dipaparkan berikut:
a. Albumin sebagai pengikat dan pengangkut
Albumin akan mengikat secara lemah dan reversibel partikel yang
bermuatan negatif dan positif, dan berfungsi sebagai pembawa dan pengangkut
molekul metabolit dan obat. Meskipun banyak teori tentang pentingnya
albumin sebagai pengangkut dan pengikat protein, namun masih sedikit
mengenai perubahan yang terjadi pada pasien dengan hipoalbuminemia
(Nicholson dan Wolmaran, 2000; Khafaji dan Web, 2003; Vincent, 2003).
b. Efek antikoagulan albumin
Albumin mempunyai efek terhadap pembekuan darah. Kerjanya seperti
heparin, karena mempunyai persamaan struktur molekul. Heparin bermuatan
negatif pada gugus sulfat yang berikatan antitrombin III yang bermuatan
positif, yang menimbulkan efek antikoagulan. Albumin serum juga bermuatan
c. Albumin sebagai pendapar
Albumin berperan sebagai buffer dengan adanya muatan sisa dan
molekul albumin dan jumlahnya relatif banyak dalam plasma. Pada keadaan
pH normal albumin bermuatan negatif dan berperan dalam pembentukan
gugus anion yang dapat mempengaruhi status asam basa. Penurunan kadar
albumin akan menyebabkan alkalosis metabolik, karena penurunan albumin
1 g/dl akan meningkatkan kadar bikarbonat 3,4 mmol/L dan produksi basa
>3,7 mmol/L serta penurunan anion 3 mmol/L (Nicholson dan Wolmaran,
2000).
d. Efek antioksidan albumin
Albumin dalam serum bertindak memblok suatu keadaan neurotoxic
oxidant stress yang diinduksi oleh hidrogen peroksida atau copper, asam
askorbat yang apabila teroksidasi akan menghasilkan radikal bebas (Gum dan
Swanson, 2004).
e. Selain yang disebut di atas albumin juga berperan mempertahankan
integritas mikrovaskuler sehingga mencegah masuknya kuman-kuman usus ke
dalam pembuluh darah, sehingga terhindar dari peritonitis bakterialis spontan
(Nicholson dan Wolmaran, 2000).
2.3Farmakologi 2.3.1 Sintesis albumin
Sintesis albumin hanya terjadi di hepar. Pada orang sehat kecepatan
2.3.2 Distribusi albumin
Konsentrasi albumin tertinggi terdapat di dalam sel hati, yaitu berkisar
antara 200-500 mcg/g jaringan hati. Adanya albumin di dalam plasma
(kompartemen intravaskuler) ditransfer melalui salah satu dari dua cara yaitu:
a. langsung dari dinding sel hati ke dalam sinusoid.
b. melalui ruang antar sel hati dan dinding sinusoid kemudian ke saluran limfe
hati yaitu duktus torasikus dan akhirnya ke dalam kompartemen
intravaskuler. Hanya albumin dalam plasma (intravaskuler) yang
mempertahankan volume plasma dan mencegah edema, sedangkan albumin
ekstravaskuler tidak berperan.
Albumin merupakan 50% dari protein plasma dan yang memelihara
tekanan onkotik plasma adalah sebesar 66-75%. Sebagian fungsi albumin dapat
digantikan oleh globulin yang meningkat.
2.3.3 Degradasi albumin
Degradasi albumin total pada orang dewasa dengan berat 70 kg adalah
sekitar 14 gram/hari atau 5% dan pertukaran protein seluruh tubuh per hari,
albumin dipecah di otot dan kulit sebesar 40-60%, di hati 15%, ginjal sekitar
10%, dan 10% sisanya merembes ke dalam saluran cerna melalui dinding
lambung. Produk degradasi akhir berupa asam amino bebas. Pada orang sehat
kehilangan albumin adalah melalui urin dan biasanya minimal tidak melebihi
dari 10-20 mg/hari karena hampir semua yang melewati membran glomerolus
2.3.4 Ekskresi albumin
Pemberian preparat albumin tidak diekskresi oleh ginjal. Pada keadaan
sehat ekskresi albumin melalui ginjal relatif tidak penting. Penyakit ginjal
dapat mempengaruhi degradasi dan sintesis. Pada sindrom nefrotik, albumin
plasma dipertahankan dengan menurunkan degradasi apabila kehilangan
albumin 100 mg/kg BB/hari, tetapi bila kecepatan hilangnya albumin
meningkat, sintesis albumin akan meningkat lebih dan 400 mg/kg BB/hari.
2.4Ekivalensi Plasma
Albumin mempunyai ekivalensi dengan darah sebagai berikut:
a. Dua puluh lima gram albumin ekivalen osmotik dengan lebih kurang 2 unit
(500 ml) plasma beku segar (fresh frozen plasma).
b. Seratus ml albumin 25% sama dengan yang dikandung protein plasma dan
500 ml plasma atau 2 unit darah lengkap (whole blood).
2.5Indikasi Penggunaan Albumin
Albumin dalam aspek klinis digunakan dalam beberapa hal yaitu:
a. Hipovolemia
Hipovolemia dicirikan oleh defisiensi volume intravaskular akibat
kekurangan cairan eksternal atau redistribusi internal dan cairan ekstraselular.
Jika terjadi hipovolemia dan disertai hipoalbuminemia dengan hidrasi yang
memadai atau edema, lebih baik digunakan albumin 25% daripada albumin
dilarutkan dengan kristaloid. Walaupun kristaloid atau koloid dapat digunakan
untuk pengobatan emergency syok hipovolemik, human albumin memiliki
waktu paruh intravaskular yang panjang.
b. Hipoalbuminemia
Hubungan antara hipoalbuminemia dengan hasil akhir yang buruk telah
memotivasi para klinisi untuk memberikan albumin eksogen pada pasien
dengan hipoalbuminemia. Human albumin telah diindikasikan untuk terapi
hipoalbuminemia di Amerika Serikat dan negara lainnya. Tetapi masih terdapat
kontroversi, meskipun hipoalbuminemia secara langsung menyebabkan hasil
akhir pengobatan yang buruk (Khafaji dan Web, 2003). Hipoalbuminemia
bukan suatu indikasi untuk pemberian albumin karena hipoalbuminemia tidak
berhubungan langsung dengan plasma dan volume cairan lainnya, tetapi
disebabkan kelebihan dan defisit cairan di intravaskular yang disebabkan
dilusi, penyakit dan faktor distribusi (Allison dan Lobo, 2000).
Hipoalbuminemia dapat terjadi akibat produksi albumin yang tidak
adekuat (malnutrisi, luka bakar, infeksi dan pada bedah mayor), katabolisme
yang berlebihan (luka bakar, bedah mayor, dan pankreatitis), kehilangan
albumin dari tubuh, hemoragik, eksresi ginjal yang berlebihan, redistribusi
dalam tubuh (bedah mayor dan kondisi inflamasi).
Pemberian albumin akibat kehilangan protein yang berlebihan hanya
memberi efek sementara dan jika tidak diberikan akan memperparah penyakit.
larutan albumin. Beberapa kasus hipoalbuminemia yang disertai dengan
cedera, infeksi atau pankreatitis tidak dapat memperbaiki kadar albumin
plasma secara cepat dan suplemen nutrisi gagal untuk memperbaiki kadar
serum albumin. Pada keadaan ini albumin mungkin digunakan untuk terapi
tambahan.
c. Luka bakar
Albumin diberikan pada jam ke 24 pasca trauma untuk membantu
penarikan cairan dan ekstravaskuler ke intravaskuler.
d. Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Karakteristik ARDS adalah keadaan hipoproteinemia yang disebabkan
oleh edema pulmonari, jika terjadi overload pulmonari disertai
hipoalbuminemia, larutan albumin 25% akan memberikan efek terapetik jika
dikombinasi dengan diuretik.
e. Nefrosis
Albumin mungkin berguna untuk membantu pengobatan edema pada
pasien nefrosis yang menerima steroid dan atau diuretik.
f. Operasi By Pass Kardiopulmoner
g. Untuk mengikat dan mengeluarkan bilirubin toksik pada neonatus dengan
penyakit hemolitik.
2.6 Luka Bakar
Luka bakar adalah suatu bentuk cedera traumatik yang disebabkan oleh
rumah, dan lingkungan kerja lainnya. Nyala api adalah penyebab utama luka
bakar.
Pada keadaan normal, sel-sel tubuh dapat menahan temperatur sampai
45oC tanpa kerusakan yang bermakna. Antara 44oC dan 51oC, kecepatan
kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap derajat kenaikan temperatur,
kecepatan dan waktu penyinaran yang terbatas dapat ditoleransi di atas 51oC,
dalam hal ini protein terdenaturasi dan laju kerusakan sangat hebat. Temperatur
di atas 70oC menyebabkan kerusakan seluler yang sangat cepat dan hebat,
kerusakan ini yang merupakan cedera luka bakar (Nettina, 2001).
2.7 Epidemilogi Luka Bakar
Jumlah penderita luka bakar di seluruh dunia terus mengalami
peningkatan. Di Amerika Serikat 500.000 orang dirawat di Unit Gawat
Darurat, sementara 74.000 pasien perlu perawatan inap di rumah sakit akibat
luka bakar. Lebih dari 20.000 pasien mengalami luka bakar yang sangat hebat
sehingga memerlukan perawatan pada pusat perawatan khusus luka bakar, dua
belas ribu korban luka bakar meninggal akibat luka-lukanya. Di Indonesia, luka
bakar merupakan kasus terbanyak yang terjadi saat ini, yang disebabkan oleh
nyala api ataupun bahan kimia (Anonim2
Insiden puncak luka bakar pada orang dewasa terjadi pada orang dewasa
muda yaitu umur 20-29 tahun, diikuti oleh anak umur 9 tahun atau lebih muda.
nyala api yang membakar baju. Dari umur 15 sampai 60 tahun, luka bakar
paling sering disebabkan oleh kecelakaan industri, setelah umur ini luka bakar
biasanya terjadi karena kebakaran di rumah akibat rokok karena membakar
tempat tidur atau berhubungan juga dengan gangguan mental (Sabiston, 1995).
2.8 Etiologi Luka Bakar
Pusat-pusat perawatan yang berdekatan dengan perumahan penduduk
atau berdekatan dengan daerah industri cenderung lebih sering menerima
korban luka akibat terbakar. Sementara pusat-pusat di tengah kota lebih banyak
merawat cedera melepuh. Cedera akibat listrik dapat timbul akibat kerja atau
tidak disengaja berkontak dengan arus tegangan tinggi. Kasus luka bakar akibat
rokok tampaknya dilaporkan lebih sedikit.
Lebih dari 80% luka bakar pada anak balita merupakan cedera lepuh.
Luka ini dapat terjadi bila balita yang tidak terurus dengan baik yang dengan
mudah dapat tersiram air panas, selain itu kulit balita lebih tipis dan kulit anak
yang lebih besar dan orang dewasa, sehingga lebih rentan terhadap cedera
(Shires, et al., 2002).
2.9 Patofisiologi Luka Bakar
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dan suatu sumber panas
tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik.
Destruksi jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi
Kedalaman luka bakar bergantung pada suhu agen penyebab luka bakar dan
lamanya kontak dengan agen tersebut. Perawatan luka bakar harus
direncanakan menurut luas dan kedalaman luka bakar, perawatannya dilakukan
melalui tiga fase.
a. Fase resusitasi/darurat
Fase pada keadaan ini mulai dari cedera pertama sampai selesainya
resusitasi cairan. Maksud fase ini diprioritaskan sebagai:
i. Pertolongan pertama
ii. Pencegahan syok
iii. Pencegahan gangguan pemafasan
iv. Deteksi dan penanganan cedera yang menyertai
v. Penilaian luka dan perawatan pendahuluan.
b. Fase akut
Pada fase ini durasi dimulai sejak diuresis hingga hampir selesai
penutupan luka. Prioritas fase ini adalah:
i. Perawatan dan penutupan luka
ii. Pencegahan atau penanganan komplikasi, termasuk infeksi.
iii. Pemberian dukungan nutrisi.
c. Fase rehabilitasi
Durasi fase ini dimulai sejak terjadi penutupan luka besar hingga
kembali kepada tingkat penyesuaian fisik dan psikososial yang optimal (Bare
i. Pencegahan parut dan kontraktur
ii. Rehabilitasi fisik
iii. Rekontruksi fungsional dan kosmetik
iv. Konseling psikologi (Bare dan Smeltzer, 2001).
2.10 Pembagian Luka Bakar 2.10.1 Luka bakar listrik
Luka bakar listrik biasanya disebabkan oleh kontak dengan sumber
tenaga bervoltase tinggi seperti kejadian pada petugas listrik yang bekerja
berdekatan dengan sumber listrik tinggi. Anggota gerak merupakan tempat
kontak yang paling sering terjadi tangan dan lengan yang lebih sering cedera
daripada tungkai dan kaki. Lewatnya tenaga listrik bervoltase tinggi melalui
jaringan akan mengubahnya menjadi tenaga panas, cedera ini menimbulkan
luka bakar yang tidak hanya mengenai kulit dan jaringan subkutis, tetapi juga
semua jaringan pada jalur arus listrik tersebut. Luka bakar ini menyebabkan
kerusakan vaskular atau saraf pada jarak tertentu dan daerah luka bakar kulit.
Anggota gerak dengan luka bakar listrik mudah terkena komplikasi sindroma
kompartemen karena adanya luka otot yang dalam atau vaskular. Pada luka
bakar listrik yang luas diperlukan penggantian cairan yang cukup banyak untuk
menghindari komplikasi.
Perawatan luka bakar listrik yang tepat mengikuti prinsip perawatan
jaringan dan saraf maka pasien membutuhkan amputasi anggota gerak
(Sabiston, 1995).
2.10.2 Luka bakar karena panas
Luka bakar karena panas bisa disebabkan oleh nyala api ataupun uap
panas serta air panas, yang menyebabkan cedera lepuh. Cedera lepuh ini
membuat keterlambatan pertumbuhan kulit (Anonim2
2.10.3 Luka bakar bahan kimia
, 2011).
Luka bakar karena bahan kimia berbeda dengan luka bakar yang
diakibatkan panas yaitu pada derajat lukanya karena berhubungan langsung
dengan lamanya kontak sumber panas oleh sebab itu dokter dapat langsung
merubah kedalaman luka dengan perawatan yang cermat, untuk luka bakar
karena bahan kimia sangat dibutuhkan larutan irigasi untuk
penatalaksanaannya. Luka bakar bahan kimia bisa disebabkan oleh larutan
fenol, asam hidrofluorida dan fosfor (Sabiston, 1995).
2.11 Penentuan Derajat Luka Bakar 2.11.1 Luka bakar derajat pertama
Ciri-ciri luka bakar derajat pertama adalah berwarna merah muda
sampai merah, edema ringan, dan hilang dengan cepat. Selain itu nyeri dapat
berlangsung 48 jam dan reda dengan pendinginan (Gambar 2.1).
Dasar pengobatan luka bakar derajat pertama adalah:
c. jaringan parut tidak terjadi.
d. penyembuhan secara spontan dalam 10 hari sampai 2 minggu tanpa
infeksi.
2.11.2 Luka bakar derajat dua/luka bakar ketebalan parsial
Luka bakar ketebalan parsial adalah luka yang sembuh dalam waktu
lebih dari 3 minggu, penyembuhan yang lama ini sering kali menimbulkan
pembentukan jaringan parut. Luka bakar ini dibagi menjadi 2 sub tipe, yaitu:
a. Superfisial
i. Berwarna merah muda atau merah, pembentukan vesikel, berair dan
terjadi edema.
ii. Lapisan kulit superfisial rusak, luka nyeri dan lembab.
b. Dermal bagian dalam
i. Bercorak merah dan putih, area edema yang kemerahan memutih jika
ditekan.
ii. Dapat menjadi kekuningan, lunak dan elastik, sensitif atau tidak sensitif
terhadap sentuhan udara dingin.
Dasar pertimbangan pengobatan luka bakar derajat dua menurut Nettina (2001)
adalah:
a. memerlukan beberapa minggu untuk sembuh.
b. jaringan parut dapat terjadi.
2.11.3Luka bakar derajat tiga/ketebalan penuh
Luka bakar ketebalan penuh atau luka bakar derajat tiga biasanya dapat
terhadap zat kimia pekat, atau listrik dengan tegangan tinggi dan kontak yang
lama dengan benda yang panas atau jilatan api (Shires, et al., 2002).
Ciri – ciri luka bakar derajat tiga adalah:
a. kerusakan epidermis, dennis, lemak, otot, dan tulang.
b. area kemerahan tidak dapat memutih jika ditekan.
c. luka tidak nyeri, tidak elastis, wama bervariasi dari putih hingga
kecoklat.
d. luka ditandai dengan kering dan mati rasa dan bersifat kaku.
Dasar pertimbangan pengobatan luka bakar derajat tiga menurut Nettina (2001)
adalah:
a. luka harus dibersihkan dengan debridement. Jaringan granulasi
terbentuk pada epitalium yang paling dekat dan tepi luka atau tandur
penopang.
b. penanduran diperlukan untuk area yang lebih besar dari 3 sampai 5 cm.
Gambar anatomi kulit dan hubungan dengan derajat luka bakar dapat
Terkait dengan pertimbangan pengobatan luka derajat tiga, sewaktu
pasien diperiksa dalam kamar gawat darurat, dilakukan penilaian persentase
luka pada seluruh daerah permukaan tubuh. Pemeriksaan awal pada luka bakar
akan menentukan jumlah cairan yang diberikan untuk resusitasi. Penentuan
daerah luka dapat dilakukan dengan Hukum Sembilan (Tabel 2.1) dalam rumus
ini tiap daerah anatomi ditentukan persentase luas pada seluruh permukaan
tubuh yang merupakan perkalian Sembilan (Schwartz, 2000). Persentase luka
bakar pada seluruh luas permukaan tubuh dapat juga dilihat pada Gambar 2.2. Tabel 2.1 Hukum sembilan untuk menghitung persentase tubuh yang terbakar (% LPTT)
Anak Dewasa
Kepala/leher 18 9
Lengan 9 9
Tubuh anterior 18 18
Tubuh posterior 18 18
Tungkai (pangkal paha sampai jari kaki) 14 18
LPTT= Luas Permukaan Tubuh Total (Shires, et al., 2002).
2.12 Pemeriksaan Luka Bakar
Pemeriksaan luka bakar melingkupi dua hal:
2.12.1 Pemeriksaan fisik
Pasien luka bakar merupakan pasien trauma dan kalau melakukan
evaluasi harus aman dan tangkas. Penyebab ketidakstabilan yang paling dini
timbul pada pasien luka bakar adalah cedera inhalasi berat sehingga jalan napas
atas mendekati letal. Pengamatan pertama harus cepat yaitu harus dapat
mengenali semua kesulitan-kesulitan tersebut. Pemeriksaan lain penting yang
harus dilakukan adalah pemeriksaan abdomen yang cermat sebelum pasien
mendapatkan analgesik dan sedatif.
2.12.2 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dimulai dan perhitungan darah lengkap,
elektrolit dan profil biokimia harus dilakukan setelah pasien tiba di fasilitas
perawatan. Konsentrasi gas darah dan karboksi hemoglobin juga perlu segera
diukur. Pemberian oksigen dapat mengatur keparahan keracunan karbon
monoksida yang dialami penderita.
Sebaiknya dilakukan rontgen dada karena tekanan yang terlalu yang kuat
pada dada, pasien luka bakar harus menjalani pemeriksaan radiografi dan
seluruh vetebra dan tulang belakang.
2.13 Komplikasi
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi
anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan udem dan menimbulkan
bula dengan membawa serta elektrolit. Hal ini menyebabkan berkurangnya
volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan
kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan, cairan yang
masuk ke bula pada luka bakar derajat II dan pengeluran cairan dari kropeng
pada luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar <20% biasanya mekanisme kompensasi tubuh
masih bisa mengatasi tetapi bila >20% terjadi syok hipovolemik dengan gejala
yang khas seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat,
tekanan darah menurun dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi
perlahan-lahan dan maksimal pada delapan jam (Nugroho, 2012).
2.13.2 Udem Laring
Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bila luka terjadi di muka,
dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, uap panas yang
terhisap, udem yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan
jalan napas karena udem laring. Gejala yang timbul adalah sesak napas,
takipnea, stridor, suara serak, dan dahak berwarna gelap karena jelaga.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi dan penyerapan cairan edema kembali ke pembuluh darah. Ini
2.13.3 Keracunan Gas CO
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lain. Karbon
monoksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak
mampu lagi mengikat oksigen. Tanda-tanda keracunan ringan adalah lemas,
bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma.
Bila >60% hemoglobin terikat dengan CO, penderita dapat meninggal
(Nugroho, 2012).
2.13.4 SIRS (systemic inflammatory respone syndrome)
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mata, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit untuk mengalami penyembuhan karena tidak
terjangkau oleh pembuluh darah kapiler yang mengalami trombosis. Kuman
penyebab infeksi berasal dari kulitnya sendiri, juga dari kontaminasi kuman
dari saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit.
Infeksi nosokomial ini biasanya berbahaya karena banyak yang sudah resisten
terhadap antibiotik.
Prosesnya dimulai oleh aktivasi makrofag, netrofil, dan pelepasan
mediator-mediator, yang kemudian diikuti oleh:
a. Gangguan hemodinamik berupa vasodilatasi, depresi miokardium,
gangguan sirkulasi dan redistribusi aliran.
b. Perubahan mikrovaskuler karena endotel dan edema jaringan, mikroemboli,
c. Gangguan oksigenasi jaringn. Ketiganya menyebabkan hipoksia seluler dan
menyebabkan kegagalan fungsi organ. Yang ditandai dengan meningkatnya
kadar limfokin dan sitokin dalam darah (Nugroho, 2012).
2.13.5 MOF (Multi Organ Failure)
Adanya perubahan permeabilitas kapiler pada luka bakar menyebabkan
gangguan sirkulasi. Di tingkat seluler, gangguan perfusi menyebabkan
perubahan metabolisme. Pada tahap awal terjadi proses perubahan
metabolisme anaerob yang diikuti peningkatan produksi dan penimbunan asam
laktat menimbulkan asidosis. Dengan adanya gangguan sirkulasi dan perfusi,
sulit untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel, iskemi jaringan akan
berakhir dengan nekrosis.
Gangguan sirkulasi makro menyebabkan gangguan perfusi ke
jaringan-jaringan organ penting terutama otak, hepar, paru, jantung, gunjal, yang
selanjutnya mengalami kegagalan menjalankan fungsinya. Dalam mekanisme
pertahanan tubuh, terjadi gangguan pada sistem keseimbangan tubuh
(homeostasis), maka organ yang dimaksud dalam hal ini adalah ginjal. Dengan
adanya penurunan atau disfungsi ginjal ini, beban tubuh semakin berat.
Resusitasi cairan yang inadekuat pada fase ini menyebabkan
berjalannya proses sebagaimana diuraikan diatas. Sebaliknya bila terjadi
kelebihan pemberian cairan (overload) sementara sirkulasi dan perifer tidak
atau belum berjalan normal, atau pada kondisi syok; cairan akan ditahan dalam
jaringan paru yang manifestasi klinisnya tampak sebagai edema paru yang
pertukaran oksigen dengan karbondioksida, kadar oksigen dalam darah sangat
rendah, dan jaringan hipoksik mengalami degenerasi yang bersifat ireversible.
Sel-sel otak adalah organ yang paling sensitif; bila dalam wakru 4 menit terjadi
kondisi hipoksik, maka sel-sel otak mengalami kerusakan dan kematian; yang
menyebabkan kegagalan fungsi pengaturan di tingkat sentral (Nugroho, 2012).
2.13.6 Kontraktur
Kontraktur merupakan salah satu komplikasi dari penyembuhan luka,
terutama luka bakar. Kontraktur adalah jenis scar yang terbentuk dari sisa kulit
yang sehat di sekitar luka, yang tertarik ke sisi kulit yang terluka. Kontraktur
yang terkena hingga lapisan otot dan jaringan tendon dapat menyebabkan
terbatasnya pergerakan.
Pada tahap penyembuhan luka, kontraksi akan terjadi pada hari ke-4
dimana proses ini bersamaan dengan epitelisasi dan proses biokimia dan seluler
dari penyembuhan luka. Kontraktur fleksi dapat terjadi karena kehilangan
lapisan superfisial dari kulit. Biasanya dengan dilakukan eksisi dari jaringan
parut yang tidak elastik ini akan menyebabkan sendi dapat ekstensi penuh
kembali. Pada luka bakar yang lebih dalam, jaringan yang banyak mengandung
kolagen akan meliputi neurovascular bundles dan ensheathed flexor tendons,
juga permukaan volar dari sendi akan mengalami kontraksi atau perlekatan
2.14 Perawatan Luka Bakar 2.14.1 Penggantian cairan
Penggantian cairan atau resusitasi cairan dimaksudkan untuk
mengurangi penurunan volume darah selama 24 jam pertama pasca luka bakar
dan mengembalikan kadar plasma pada nilai yang normal pada akhir periode
48 jam. Cairan yang dapat digunakan seperti kristaloid yaitu larutan natrium
klorida fisiologik atau larutan Ringer Laktat. Sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa pada luka bakar yang luas terdapat kegagalan pompa natrium-kalium
(suatu mekanisme fisiologik yang terlibat dalam pengaturan keseimbangan
cairan-elektrolit ditingkat seluler). Jadi pasien dengan luka bakar yang sangat
luas membutuhkan lebih banyak cairan per persen luas bakar dibandingkan
dengan pasien yang luka bakarnya lebih kecil. Pasien dengan luka bakar listrik,
cedera panas akan memerlukan tambahan cairan.
2.14.2 Debridemen
Debridemen merupakan sisi lain pada perawatan luka bakar, tindakan ini
Memiliki dua tujuan untuk:
a. menghilangkan jaringan yang terkontaminasi oleh bakteri dan benda
asing sehingga pasien terhindar dari kemungkinan infeksi bakteri.
b. menghilangkan jaringan yang sudah mati.
Debridemen dibagi 3 nama:
a. Debridemen alami
Pada debridemen alami, jaringan mati akan memisahkan diris secara
preparat topikal antibakteri cenderung memperlambat proses pemisahan eskar
alami ini.
b. Debridemen mekanis
Debridemen mekanis meliputi penggunaan gunting bedah untuk
memisahkan dan mengangkat eskar. Biasanya debridemen mekanis dikerjakan
setiap hari pada saat penggantian balutan serta pembersihan luka. Debridemen
dengan cara ini dilaksanakan sampai tempat yang terasa sakit dan
mengeluarkan darah.
c. Debridemen bedah
Debridemen bedah merupakan tindakan operasi dengan melibatkan
pengelupasan lapisan kulit yang terbakar secara bertahap hingga mengenai
jaringan yang masih viabel dan berdarah. Tindakan ini dapat dimulai beberapa
hari pasca luka bakar atau segera setelah kondisi hemodinamika pasien stabil
dan edemanya berkurang (Bare dan Smeltzer, 2001).
2.14.3 Penggantian Balutan
Pembalutan luka bakar dilakukan untuk menutupi luka sementara,
melindungi jaringan granulasi, mengurangi nyeri dan membantu menentukan
ketika luka yang tergranulasi akan menerima autograph (Nettina, 2001).
Menurut Nettina (2001), jenis balutan terbagi dua:
a. Balutan biologis
Balutan biologis digunakan untuk menutup luas permukaan tubuh.
kulit manusia maupun dan donor mamalia lain seperti babi, amnion manusia
juga dapat digunakan.
b. Balutan biosintetis
Balutan biosintetis digunakan ketika autograph permanen tidak bisa
didapat.
2.14.4 Penggunaan antibiotik
Pengguanaan terapi antibiotika pada luka bakar ada dua metode yaitu
terapi antibiotika topikal dan terapi intravena. Terapi antibiotika secara topikal
tidak mensterilkan luka bakar tetapi hanya mengurangi jumlah bakteri agar
keseluruhan populasi mikroba dapat dikendalikan oleh mekanisme pertahanan
tubuh pasien, terapi antibiotika topikal akan meningkatkan upaya untuk
mengubah luka yang terbuka dan tertutup serta kotor menjadi luka yang
tertutup dan bersih, contoh antibiotika preparat topikal yaitu: gentamisin sulfat.
Terapi antibiotika intravena dapat diberikan profilaksis untuk pencegahan
infeksi gram positif pada luka bakar (Nettina, 2001).
2.14.5 Mengurangi nyeri pada luka bakar
Nyeri terasa hebat pada luka bakar derajat dua ketimbang pada luka
bakar derajat tiga karena pada derajat dua ujung-ujung sarafnya tidak rusak,
ujung-ujung saraf yang terkena sangat sensitif terhadap aliran udara yang
dingin sehingga diperlukan kasa penutup steril yang bisa membantu
mengurangi rasa nyeri tersebut. Namun demikian pasien dengan luka bakar
Untuk meningkatkan efektivitas pengobatan, maka preparat nyeri analgetik
harus diberikan sebelum nyeri terasa hebat terjadi (Bare dan Smeltzer, 2001).
2.15 Faktor Kesembuhan Luka Bakar
Oleh karena banyaknya variabel luka bakar termasuk cedera penyerta,
penyakit kronik, lamanya waktu pasca luka bakar sebelum dirawat di rumah
sakit, dan kejadian-kejadian di sekitar luka bakar, maka mortalitas memiliki
nilai yang kecil dan sering kali menyesatkan (Schwartz, 2002). Gambaran
faktor yang menentukan beratnya luka bakar dan kemungkinan akibatnya bagi
seseorang dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Area permukaan Kedalaman cedera Umur pasien luka bakar kecuali yang lukanya sangat kecil. Ketepatan
pertolongan pertama yang dilakukan segera
Sifat luka bakar Penyakit yang
2.16 Permasalahan Pasca Luka Bakar
Setelah sembuh dari luka, masalah berikutnya adalah akibat jaringan
parut yang dapat berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat
mengganggu fungsi dan menyebabkan kekakuan sendi, atau menimbulkan
cacat estetis yang jelek sekali terutama bila parut tersebut berupa keloid.
Kekakuan sendi memerlukan program fisipterapi yang intensif dan kontraktur
memerlukan tindakan bedah.
Pada cacat estetik yang berat mungkin diperlukan ahli ilmu jiwa untuk
mengembalikan rasa percaya diri penderita, dan diperlukan pertolongan ahli
bedah rekonstruksi terutama jika cacat mengenai wajah atau tangan. Bila luka
bakar merusak jalan nafas akibat inhalasi, dapat terjadi atelektasis, neumonia
atau insufisiensi fungsi paru pasca trauma (Nugroho, 2012).
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu
penelitian dilakukan pada waktu tertentu. Penelitian dilakukan sebagai tahap
pertama dengan tujuan memberikan gambaran pengobatan penanganan luka
bakar di rumah sakit umum daerah dr. Pirngadi Kota Medan.
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tahun 2012 di rekam medis RSUD dr.
Pirngadi Kota Medan.
3.2 Rancangan Penelitian 3.2.1 Subjek penelitian
Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit yang
menderita luka bakar. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode
retrospektif yaitu berdasarkan penelusuran terhadap dokumen terdahulu berupa
data rekam medis pasien luka bakar tahun 2011.
3.2.2 Populasi sasaran
Penderita luka bakar yang mendapat terapi albumin dan penderita luka
bakar tanpa terapi albumin.
3.2.4 Besar sampel
Ukuran sampel dihitung menurut rumus (Madiyono, dkk., 2002;
Sudigdo dan Sofyan, 2006).
Besar sampel yang dibutuhkan adalah:
( 1,96 + 1,036 ) x 0,457
n ≥
2
0,25
Berdasarkan perhitungan di atas maka sampel yang dibutuhkan minimal 30
kasus.
3.2.5 Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan:
a. Mengumpulkan data rekam medis pasien luka bakar. Pada tahap ini
dilakukan pencatatan rekam medis seperti: Nama, MR, usia, berat
badan, riwayat penyakit, amnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
b. Memisahkan data yang memenuhi kriteria inklusi dengan ekslusi. Data
yang diteliti memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien dewasa dan pasien
yang berdasarkan pemeriksaan dengan kadar albumin >3 diperoleh 30
orang yang terdiri 18 orang laki-laki dan 12 orang perempuan.
c. Hasil data yang diperoleh dianalisis dengan melakukan pemisahan
menurut penggunaan albumin pada pasien luka bakar sehingga nantinya
akan diperoleh pola penggunaan albumin. Juga dilakukan pemisahan
pada saat pasien pulang agar diketahui kondisi pasien dengan
penggunaan albumin pada saat pulang dari rumah sakit. Serta keadaan
pasien didata ketika masuk dan keluar dari rumah sakit. Sample diuji
dengan uji Kolmogorov-Smirnov 2 tailed dan Fisher’s Exact Test
2-sided.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jumlah Pasien Luka Bakar
Penelitian terhadap pasien luka bakar di rumah sakit umum daerah dr.
Pirngadi Kota Medan tercatat sejumlah 45 orang pasien luka bakar, setelah
dilakukan pencatatan dan seleksi diperoleh data pasien luka bakar yang
termasuk inklusi adalah 30 orang untuk diteliti yaitu terdiri dari 18 orang
laki-laki dan 12 orang perempuan. Hasil pengumpulan data jumlah pasien luka
bakar seluruhnya dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 46. Hasil
pengumpulan data jumlah pasien luka bakar berdasarkan demografi dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data demografi pasien luka bakar
Tabel 4.1 (Lanjutan)
Keterangan: LOS = length of stay
Pada Tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa jumlah pasien luka bakar
wanita luka bakar umumnya disebabkan api sedangkan pria karena sengatan
listrik sehubungan dengan risiko kerja mereka (Morison, 2004). Pada
penelitian ini dijumpai lebih banyak laki–laki karena sehubungan dengan risiko
pekerjaan mereka.
Berdasarkan waktu datang pasien ke rumah sakit adalah sebanyak 19
orang (63,33%) segera atau kurang dari 1 hari ke rumah sakit, sebanyak 7
orang (23,33%) datang ke rumah sakit setelah 1–3 hari dan sisanya sebanyak 4
orang (13,33%) datang ke rumah sakit setelah lebih dari 3 hari luka bakarnya
(Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Waktu kedatangan pasien ke rumah sakit
Hari Jumlah pasien (orang) Persentase
<1 19 63,33
1-3 7 23,33
>3 4 13,33
Total 30 100
Berdasarkan data pasien sembuh dan meninggal yang datang ke rumah
sakit <3 hari sebanyak 26 orang; 17 orang sembuh dan 9 orang meninggal.
Pasien yang datang >3 hari sebanyak 4 orang dengan 3 orang sembuh dan 1
orang meninggal (Tabel 4.3), sampel diuji dengan Fisher’s Exact Test 2-sided
diperoleh P = 1, berarti tidak ada pengaruh waktu datang pasien kerumah sakit
(Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Data pasien sembuh dan meninggal
Pasien datang ke RS Sembuh Meninggal Total
<3 hari 17 9 26
>3 hari 3 1 4
4.2 Terapi Albumin
Pada Lampiran 1 (halaman 46) tampak bahwa tidak semua pasien luka
bakar diberikan terapi albumin, tergantung dari kondisi dan kadar albumin
pasien. Data pemberian albumin pada pasien luka bakar dapat dilihat pada
Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Data penggunaan albumin
Hasil Tanpa
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas bahwa jumlah pasien sembuh 20 orang
dan meninggal 10 orang, dimana 18 orang tanpa penggunaan albumin dan 12
orang menggunakan albumin.
Sample diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov 2 tailed diperoleh angka
1,549 dan P = 0,016 di mana P <0,05 yang menunjukkan adanya perbedaan
pemberian terapi albumin dengan tanpa terapi albumin.
Dari data LOS (length of stay) 18 orang yang dirawat selama 1–12 hari
ternyata 12 orang sembuh dan 6 orang meninggal, pada 12 pasien yang dirawat
selama 13-30 hari terlihat 8 orang sembuh dan 4 orang meninggal (Tabel 4.5).
Tabel 4.5 Data LOS (length of stay)
LOS (hari) Sembuh Meninggal Total
1–12 12 6 18
Sampel diuji dengan Fisher’s Exact Test 2-sided diperoleh P = 1, berarti
tidak ada perbedaan dengan hari rawatan sembuh dan meninggal. Dari hasil
penelitian tidak semua pasien luka bakar mendapat terapi albumin, sebab
hipoalbuminemia bukan satu-satunya indikasi untuk pemberian albumin karena
hipoalbuminemia tidak berhubungan langsung dengan plasma dan volume
cairan lainnya, tetapi karena kelebihan dan defisit cairan di intravaskular yang
disebabkan dilusi, penyakit dan faktor distribusi (Allison dan Lobo, 2000).
Berdasarkan fungsi dan fisiologis, secara umum albumin di dalam tubuh
mempertahankan tekanan onkotik plasma, peranan albumin terhadap tekanan
onkotik plasma mencapai 80% yaitu 25 mmHg. Albumin mempunyai
konsentrasi yang tinggi dibandingkan dengan protein plasma lainnya, dengan
berat molekul 66,4 kDa lebih rendah dari globulin serum yaitu 147 kDa, tetapi
masih mempunyai tekanan osmotik yang bermakna. Efek osmotik ini
memberikan 60% tekanan onkotik albumin. Sisanya 40% berperan dalam
usaha untuk mempertahankan intravaskular dan partikel terlarut yang
bermuatan positif (Nicholson dan Wolmaran, 2000; Dubois dan Vincent,
2002).
Hubungan antara hipoalbuminemia dengan hasil akhir yang buruk telah
memotivasi para klinisi untuk memberikan albumin eksogen pada pasien
dengan hipoalbuminemia. Human albumin telah diindikasikan untuk terapi
hipoalbuminemia di Amerika Serikat dan negara lainnya. Tetapi masih terdapat
kontroversi, meskipun hipoalbuminemia secara langsung menyebabkan hasil
4.3 Persentase Pasien Sembuh dan Meninggal
Pada Tabel 4.4 dapat dilihat 30 pasien yang diteliti ternyata 20 orang
pasien sembuh (66,70%) dan 10 orang (33,30%) pasien meninggal, dengan
perincian pasien yang datang ke rumah sakit <3 hari sebanyak 26 orang dengan
17 orang sembuh, meninggal 9 orang. Sedangkan yang datang ke rumah sakit
>3 hari sebanyak 4 orang dengan 3 orang sembuh dan 1 orang meninggal.
Harapan hidup pasien setelah luka bakar tidak berhubungan langsung dengan
terapi albumin tetapi berhubungan erat dengan ketepatan dan kecepatan
pertolongan pertama yang diberikan.
Oleh karena banyaknya variabel luka bakar seperti faktor psikososial,
sifat dari luka bakar (kedalaman, luas permukaan dan letak) dan faktor dari
pasien sendiri (umur, malnutrisi) termasuk cedera penyerta, penyakit kronik,
lamanya waktu pasca luka bakar sebelum dirawat di rumah sakit, dan
kejadian-kejadian di sekitar luka bakar, maka mortalitas memiliki nilai yang kecil dan
sering kali menyesatkan (Schwartz, 2002). Artinya, tidak semua penderita luka
bakar akan meninggal hanya disebabkan luka bakarnya saja, tetapi juga
ditentukan oleh variabel yang menyertai luka bakar itu sendiri. Pada penelitian
ini umumnya pasien cepat dibawa ke rumah sakit untuk penanganan luka
bakarnya sehingga risiko mortalitas kecil. Dengan cepatnya pertolongan
pertama pada luka bakar dan tepatnya pengobatan membuat risiko mortalitas
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan:
a. Jumlah pasien luka bakar pada penelitian ini adalah 30 orang
b. Jumlah pasien sembuh 20 orang (66,70%) dan 10 orang pasien meninggal
(33,30%), dimana 18 pasien tanpa terapi albumin sebanyak 16 orang pulang
dengan kondisi sembuh dan 2 orang meninggal.
c. Sedangkan pada pemberian terapi albumin sebanyak 12 pasien, dimana 4
orang sembuh dan 8 orang meninggal. Ternyata ada perbedaan antara
pemberian terapi albumin dan tanpa terapi albumin.
d. Pada penelitian ini hanya pasien yang membutuhkan albumin saja yang
diterapi albumin. Penyembuhan luka bakar ternyata tidak hanya tergantung
pemberian albumin saja. Salah satunya adalah cepat atau lambatnya pasien
dibawa ke rumah sakit dan penanganan yang tepat di rumah sakit.
5.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh agar dapat
dilakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai pola penggunaan albumin
dengan jumlah pasien yang lebih banyak sehingga dapat diperoleh adanya
pasien luka bakar yang tepat dan benar, sehingga penanganan pasien tidak
DAFTAR PUSTAKA
Anonim1. (2004). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
http://depkes.go.id/downloads/UU_No._40_Th_2004_ttg_Sistem_Jamin an_Sosial_Nasional.pdf. Diakses pada tanggal 4 Juni 2013.
Anonim2. (2013). Luka Bakar.
Aslam, M., Tan, C.K., dan Prayetno, A. (2003). Farmasi Klinis (Clinical Pharmacy), Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal. 56-66.
Bare, B.G., dan Smeltzer, C. (2001). Keperawatan Medical Bedah. Edisi Kedelapan. Jakarta: EGC. Hal. 1917-1940.
Boldt, J. (2010). Use of Albumin: an Update. British Journal of Anaesthesia.
104(3): 276-284.
Danang, S. (2011). Analisis Untuk Penelitian Kesehatan. Cetakan I.
Yogyakarta: Mulia Medika. Hal. 140-161.
Dubois, M.J., dan Vincent, J.L. (2002). Use Of Albumin In The Intensive Care Unit. TATM. 4: 80-4.
Evans, T.W. (2002). Albumin As A Drug-Biological Effects Of Albumin Unrelated To Oncotic Pressure. Review Article. Aliment Pharmacol Ther. 5: 6-11.
Gum, E.T., Swanson, R.A., Alano, C., Liu, J., Hong, S., Weinstein, P.R., et al. (2004). Human Serum Albumin And Its N-Terminal Tetrapeptide (DAHK) Block Oxidant-Induced Neuronal Death. Stroke. 35: 590-595.
Khafaji, A., dan Web, A.R. (2003). Should Albumin Be Used To Correct Hypoalbuminemia In The Critically Ill. TATM. 5: 392-396.
Mardiyono, B., Moeslichan, M.Z., Sastroasmoro, S., Budiman, I dan Purwanto, S.H. (2002). Dasar-Dasar Metodelogi Penelitian Klinis. Edisi I.
Jakarta: UI. Hal. 259-287.