• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu Mangrove Dan Perikanan (Studi Kasus Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu Mangrove Dan Perikanan (Studi Kasus Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)"

Copied!
281
0
0

Teks penuh

(1)

DESAIN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TERPADU

MANGROVE DAN PERIKANAN (STUDI KASUS

DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT)

GATOT YULIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu Mangrove dan Perikanan (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Februari 2017

(3)

RINGKASAN

GATOT YULIANTO. Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu Mangrove dan Perikanan (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Dibimbing oleh KADARWAN SOEWARDI, LUKY ADRIANTO dan MACHFUD

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan tidak terlepas dari karakteristik biofisik, peranan suatu ekosistem dalam menghasilkan jasa-jasa lingkungan, peranan aktor yang terlibat dalam pengelolaan serta rejim kepemilikan atas sumberdaya dan lingkungan. Di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu terdapat ekosistem mangrove, aktivitas perikanan tangkap skala kecil dan aktivitas perikanan budidaya tambak tradisional. Adanya persoalan degradasi mangrove dan degradasi sumberdaya ikan akan mengancam keberlanjutan kedua aktivitas perikanan tersebut. Persoalan degradasi, efek dan solusinya perlu dilakukan kajian untuk mencapai performa keberlanjutan.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menjelaskan kondisi mangrove dan status pemanfaatan sumberdaya ikan sekitar pantai, (2) menganalisis pengaruh ekosistem mangrove terhadap perikanan tangkap sekitar pantai dan budidaya

tambak tradisional-silvofishery, (3) menganalisis kelembagaan pengelolaan

mangrove dan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap dalam perspektif ekonomi kelembagaan, (4) mendesain struktur kebijakan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan untuk mendukung aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai

dan budidaya tambak tradisional-silvofishery dan (5) mendesain dan

memformulasikan skenario alternatif kebijakan terpadu dengan model dinamik keterkaitan mangrove dengan perikanan tangkap sekitar pantai dan budidaya tambak tradisional-silvofishery.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Indramayu dan waktu penelitian dilakukan mulai dari bulan Januari 2015 sampai dengan Juni 2016. Data penelitian terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data primer dilakukan dengan cara pengamatan lapangan, wawancara, diskusi mendalam dan diskusi pakar. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis bioekonomi, analisis fungsi produksi, analisis kelembagaan, analisis kebijakan, analisis ISM dan analisis sistem dinamik.

Hasil analisis terhadap kondisi luasan mangrove menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun luasan mangrove mengalami degradasi sekitar 6,68 % tahun-1. Hasil analisis dengan model bioekonomi Gordon-Schaefer menunjukkan kondisi ikan sekitar pantai (antara lain famili Leiognathidae, Sciaenidae dan Latidae) yang ditangkap dengan jaring pantai, jaring klitik dan sero yang beroperasi di sekitar pantai berada dalam kondisi overfishing, terdegradasi dan terdepresiasi. Hasil analisis bioekonomi interaksi mangrove dan perikanan menunjukkan bahwa mangrove berpengaruh terhadap perikanan tangkap sekitar pantai (skala kecil). Dilihat dari analisis fungsi produksi menunjukkan bahwa variabel mangrove secara parsial maupun secara bersama-sama dengan variabel bibit dan pakan berpengaruh terhadap produksi tambak.

(4)

keuntungan. Institusi kepemilikan lahan rakyat sudah menunjukkan pengelolaan mangrove secara mandiri dan terdapat kecenderungan peningkatan mangrove. Kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap ditunjukkan dengan (i) tidak adanya peraturan yang membatasi jumlah alat penangkapan ikan (PerMen.KKP 17/MEN/2006), (ii) tidak adanya pengelolaan berbasis property right dan (iii) tidak adanya peraturan berbasis pengendalian hasil tangkapan. Secara umum, kelembagaan pengelolaan mangrove dan kelembagaan pengelolaan perikanan menghasilkan performa sumberdaya mangrove dan sumberdaya ikan terdegradasi. Berdasarkan analisis ISM menunjukkan bahwa elemen-elemen penyusun sistem kebijakan mangrove terdiri atas (i) elemen masalah kebijakan dengan

subsub elemen kunci adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,

pengalihan hak pengusahaan lahan/ tambak dan kurangnya koordinasi antar instansi terkait, (ii) elemen tujuan kebijakan dengan sub-sub elemen kunci adalah kelestarian mangrove, mencegah abrasi dan intrusi air laut, meningkatkan

pendapatan petambak, (iii) elemen lingkungan kebijakan dengan subsub elemen

kunci adalah abrasi pantai dan pencemaran perairan, (iv) elemen tindakan

kebijakan dengan subsub elemen kunci adalah pengelolaan mangrove berbasis

masyarakat serta koordinasi yang terpadu antar Instansi, (v) elemen pelaku kebijakan dengan subsub elemen kunci adalah Dinas Perikanan dan Kelautan,

Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Lingkungan Hidup Daerah, Perhutani dan Petambak.

Adanya pengaruh mangrove terhadap perikanan tangkap, terhadap tambak

silvofishery-tradisional di salah satu sisi dan terjadinya degradasi mangrove di sisi lain (sebagai masalah kebijakan), maka solusi kebijakan pengelolaan mangrove

sebagai pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan (ecosystem approach

to fisheries and aquaculture management, EAFAM) adalah kebijakan restorasi

habitat mangrove yang mencakup (a) tata kelola kelembagaan (restorasi

institusi), dengan tindakan kebijakan meliputi : (i) pengelolaan mangrove berbasis

masyarakat, (ii) koordinasi yang terpadu antar Instansi, (iii) penataan kontrak

silvofishery, (iv) pengawasan dan penegakan hukum, (v) penetapan zonasi kawasan pesisir, (b) restorasi habitat (fisik), dengan tindakan kebijakan meliputi (i) pengembangan teknologi budidaya dan perikanan ramah lingkungan, (ii)

pembuatan bangunan pencegah abrasi, (c) tata kelola anggaran (restorasi

ekonomi), dengan tindakan kebijakan adalah peningkatan alokasi anggaran. Selain kebijakan pengelolaan mangrove untuk mendukung perikanan, maka kebijakan perikanan yang diperlukan sebagai solusi overfishing dan situasi open access fishery adalah Right Base Fishery Management (RBFM) bagi nelayan

jaring pantai, jaring klitik dan sero serta kebijakan pengendalian effort (input

control). Hasil simulasi yang mengakomodasi aspek lingkungan, ekonomi dan

kelembagaan menunjukkan bahwa kebijakan dengan target tutupan mangrove pada lahan Perhutani sebesar 50 % (target silvofishery berkelanjutan) dan tutupan mangrove di lahan masyarakat sebesar 14 % (target RUTR) serta pemberian

territorial fishing right dan pengendalian effort (input control) dengan jumlah optimal 1.747 unit mampu menghasilkan performa tambak tradisional dan performa perikanan tangkap sekitar pantai secara berkelanjutan.

(5)

SUMMARY

GATOT YULIANTO. Integrated Management Policy Design of Mangrove and Fisheries (Case Study in Indramayu, West Java). Supervised by KADARWAN SOEWARDI, LUKY ADRIANTO and MACHFUD.

Management of natural resources and environment can not be separated from aspects about the biophysical characteristics, an ecosystem services role to generate environment services, the role of actors involved in its management, and the ownership regime of its resources and environment. In coastal areas of Indramayu district there are mangrove ecosystems, fishing activities of small-scale fisheries and aquaculture traditional activities. The problems of degradation of mangroves and degradation of fish resources will threaten the both fishing activities sustainability. It is important to study the problems of degradation, the effect and the solution in order to to achieve sustainability of performance.

The purpose of this study is (1) to describe the mangrove condition and the status of utilization of fish resources around the beach, (2) to analyze the influence of mangrove ecosystems to marine nearshore fishery and aquaculture traditional-silvofishery, (3) to analyze the institutional management of mangrove and institutional management of fishing in the perspective of institutional economics, (4) to design policy structures of mangrove management on an ongoing basis to support fishing activities around the beach (nearshore fishery) and aquaculture traditional-silvofishery and (5) to design and formulate alternative scenarios integrated policy with a dynamic model of the relationship of mangroves to marine fisheries around the coast and aquaculture traditional-silvofishery.

The research was conducted in Indramayu regency and the time of study started from January 2015 to June 2016. The research data consisted of secondary data and primary data. Secondary data were obtained from the relevant office. Primary data was done by field observation, interviews, in-depth interviews and expert discussion. The data analysis of this study are the bioeconomic analysis, production function analysis, institutional analysis, policy analysis, ISM analysis and dynamic systems analysis.

Results of the analysis of mangrove condition showed that within 15 years

the mangrove area is degraded around 6.68% yr-1. The results of Gordon-Schaefer

bio-economy model analysis showed the condition of the fish around the coast (for examples family Leiognathidae, Sciaenidae and Latidae) caught with beach nets, bottom nets and trap nets which operated around the beach were in a state of overfishing, degraded and depreciated. The bio-economic model analysis and fishery showed that mangrove effect on capture fisheries around the coast (small scale). The results of production function showed that mangrove variable partially or together with seed and feed variables that affect the production ponds.

(6)

are no regulations limiting the number of fishing gear (PerMen.KKP 17 / MEN / 2006), (ii) the absence of property rights-based management; and (iii) the absence of regulatory based on harvest control. In generally the existence of mangrove and of fishery management institutions showed that the performance of mangrove and fish resources area degraded.

The analysis of ISM result showed that the constituent elements of mangrove policy system consists of (i) the element of the policy issues with key sub-elements are the lack of monitoring and low enforcement, transferring of concession land / pond and the lack of coordination among relevant agencies, (ii) the element of policy objectives with key sub-elements are the preservation of mangrove, preventing erosion and intrusion of sea water, increasing the income of fish farmers, (iii) the element of the environmental policy with key sub-elements are coastal erosion and water pollution, (iv) the element of policy actions with key sub-element are community-based mangrove management and integrated coordination among institutions, (v) the element of stakeholders with key sub-element are the Department of Fisheries and Marine Resources, Department of Forestry and the Environment Agency, Perhutani and fish pond farmers.

As the influence of mangrove for marine fisheries, the pond of traditional-silvofishery on one hand and degradation of mangroves on the other hand (as a matter of policy), therefore the policy solutions for mangrove management as an ecosystem approach to fisheries and aquaculture management (EAFAM) is the policy of mangrove habitat restoration that includes (a) institutional governance (institution restoration) by policy actions include : (i) community-based mangrove management, (ii) integrated coordination among agencies, (iii) the arrangement of silvofishery contract, (iv) monitoring and law enforcement, (v) zoning of coastal areas, (b) habitat restoration (physical), by policy actions include (i) developing the aquaculture and fisheries which are environmentally friendly, (ii) the manufacture of building for preventing abrasion, (c) governance of the budget (economic restoration), with the policy action is to increase the budget allocation. Beside mangrove management policies to support the fishery, then the required fishery policy as a solution to overfishing and the situation of open access fishery is Right Base Fishery Management (RBFM) for fishermen beach nets, bottom nets and trap nets, also effort control (input control) policy. The results of the simulation that accomodatting environmental, economic and institution aspects indicated that the policy by the target of the mangrove cover on Perhutani land is by 50% (sustainable silvofishery target) and mangrove cover on community lands is by 14% (RUTR target) and territorial fishing right and effort control (input control) with the optimal amount of 1,747 units is capable of generating performance of traditional pond aquaculture and the performance of nearshore fisheries in a sustainable manner.

(7)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

DESAIN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TERPADU

MANGROVE DAN PERIKANAN (STUDI KASUS

DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT)

GATOT YULIANTO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof(Ris) Dr Ir Sonny Koeshendrajana, M.Sc : Dr Eva Anggraini, SPi, MSi

(10)

Judul Disertasi : Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu Mangrove dan Perikanan (Studi Kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

Nama : Gatot Yulianto

NIM : P062114031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Kadarwan Soewardi

Ketua

Dr Ir Luky Adrianto, MSc Prof Dr Ir Machfud, MS

Anggota

Diketahui oleh

Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)
(12)

PRAKARTA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul

―Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu Mangrove dan Perikanan (Studi Kasus

di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini menyampaikan peran jasa-jasa lingkungan ekosistem mangrove terhadap perikanan tangkap dan perikanan tambak tradisional. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi disampaikan kepada:

1. Prof.Dr.Ir.Kadarwan Soewardi, sebagai ketua komisi pembimbing,

Dr.Ir.Luky Adrianto, M.Sc dan Prof.Dr.Ir.Machfud, MS selaku anggota komisi pembimbing yang mengarahkan dan membimbing dalam proses penelitian dan penyusunan disertasi.

2. Prof.Dr.Ir.Cecep Kusaman, MS selaku ketua dan Dr.Ir.Widiatmaka, DEA

selaku sekertaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).

3. Prof.Dr.Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc dan Dr.Eva Anggraini, SPi, MSi

selaku penguji luar komisi.

4. Ketua Departemen, Dosen dan Staf Kependidikan Departemen Manajemen

Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB yang banyak membantu dalam penyelesaian disertasi.

5. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat dan staf serta Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu dan staf yang telah membantu dalam penyediaan data dan informasi.

6. Bapak Ir. Mochammad Judianto, MM selaku Kepala Biro Perencanaan

SDH, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dan Staf yang telah banyak membantu dalam penyediaan data dan informasi.

7. Kepala dan staf Kantor Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH)

Indramayu, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Indramayu yang telah membantu dalam penyediaan data dan informasi.

8. Kepala PPLH IPB dan staf yang telah banyak memberikan dukungan

moril.

9. Teman-teman PS PSL Angkatan Tahun 2011 dan Tahun 2012 atas

sumbang sarannya.

10. Ibunda, Istri dan Ananda tercinta dan seluruh keluarga atas doa

dukungannya.

Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat dan memberikan peran nyata bagi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia.

Bogor, Februari 2017

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ivx

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... ixx

1. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 7

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

Kerangka Pemikiran ... 11

Metode Penelitian ... 20

Stuktur Disertasi ... 20

2.

TINJAUAN PUSTAKA

... 25

Lingkungan dan Jasa Lingkungan... 25

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Keterkaitan Ekosistem di Wilayah Pesisir ... 26

Keterkaitan Mangrove dengan Perikanan ... 27

Pengelolaan Mangrove dan Degradasi Mangrove ... 31

Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Degradasi Sumberdaya Ikan ... 33

Penilaian Keterkaitan Mangrove-Perikanan : Pendekatan Bioekonomi ... 34

Kebijakan dan Institusi Pengelolaan serta Performanya ... 38

Penelitian-Penelitian Sebelumnya... 45

3. KONDISI MANGROVE DAN STATUS PEMANFATAAN SUMBERDAYA IKAN SEKITAR PANTAI ... 47

Pendahuluan ... 47

Metode ... 48

Hasil dan Pembahasan ... 57

Simpulan ... 69

4. PENGARUH EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PERIKANAN TANGKAP SEKITAR PANTAI DAN BUDIDAYA TAMBAK TRADISIONAL-SILVOFISHERY ... 70

Pendahuluan ... 70

Metode ... 70

Hasil dan Pembahasan ... 76

Simpulan ... 98

5. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN MANGROVE DAN PERIKANAN TANGKAP DALAM PERSPEKTIF EKONOMI KELEMBAGAAN ... 99

Pendahuluan ... 99

Metode ... 99

Hasil dan Pembahasan 102

(14)

6 KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE UNTUK

MENDUKUNG PERIKANAN TANGKAP SEKITAR PANTAI

SERTA TAMBAK SILVOFISHERY DAN TAMBAK TRADISIONAL 128

Pendahuluan ... 128

Metode ... 128

Hasil dan Pembahasan ... 133

Simpulan ... 154

7 MODEL DINAMIK DAN SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN TERPADU PENGELOLAAN MANGROVE DAN PERIKANAN ... 155

Pendahuluan ... 155

Metode ... 155

Hasil dan Pembahasan ... 156

Simpulan ... 188

8 PEMBAHASAN UMUM... 189

Perumusan Kebijakan Terpadu Pengelolaan Mangrove dan Perikanan... 189

Tinjauan Aspek Mangrove ... 189

Tinjauan Aspek Perikanan ... 190

Arahan Kebijakan Terpadu Pengelolaan Mangrove, Pengelolaan Tambak Silvofishery-Tradisional dan Pengelolaan Perikanan Tangkap ... 195

Nilai Kebaharuan (Novelty) ... 198

9 SIMPULAN DAN SARAN ... 200

Simpulan ... 200

Saran ... 201

DAFTAR PUSTAKA ... 203

LAMPIRAN ... 213

(15)

DAFTAR TABEL

1 Performa input dan output perikanan kecil di sekitar pantai di Kabupaten

Indramayu ... 4

2 Performa input dan output perikanan budidaya tambak di Kabupaten Indramayu... 5

3 Tujuan penelitian, jenis data, metode pengumpulan data, analisis data dan keluaran yang diharapkan ... 22

4 Parameter biologi dan parameter ekonomi pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai... 64

5 Hasil analisis optimasi statik pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai ... 65

6 Perbandingan performa perikanan tangkap pada keseimbangan OA, MSY dan MEY untuk model GS_STD dan model interaksi mangrove-perikanan ... 79

7 Prosentase perubahan performa perikanan akibat penurunan luasan mangrove ... 83

8 Tutupan mangrove, produksi pada perikanan tangkap dan produksi perikanan budidaya tradisional-monokultur bandeng... 92

9 Tutupan mangrove, penerimaan pada perikanan tangkap dan perikanan budidaya tradisional-monokultur bandeng ... 93

10 Tutupan mangrove, produksi pada perikanan tangkap dan produksi perikanan budidaya tradisional-polikultur bandeng dan udang ... 95

11 Tutupan mangrove, penerimaan pada perikanan tangkap dan perikanan budidaya tradisional-polikultur bandeng dan udang... 96

12 Desa-Desa Sekitar Hutan yang mempunyai Hutan Pangkuan Desa (HPD) .... 113

13 Struktur klaim dalam Kontrak-Perjanjian Kerjasama Pemanfaatan Kawasan Hutan Mangrove dengan Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ... 115

14 Hubungan kontekstual antar sub elemen untuk elemen masalah kebijakan (contoh) ... 131

15 Matriks Interaksi Tunggal Terstruktur (Structural Self Interaction Matrix /SSIM) kebijakan pengelolaan mangrove untuk elemen masalah kebijakan (contoh) ... 132

16 Kawasan pesisir potensial untuk penanaman vegetasi mangrove ... 135

17 Faktor, dampak, kecenderungan, dan nilai dari masalah degradasi mangrove ... 136

18 Subelemen dari elemen masalah degradasi mangrove ... 137

19 Subelemen dari elemen tujuan kebijakan pengelolaan mangrove ... 140

20 Subelemen dari elemen lingkungan kebijakan ... 144

21 Subelemen dari elemen tindakan kebijakan pengelolaan mangrove ... 147

22 Subelemen pelaku kebijakan pengelolaan mangrove. ... 151

23 Kebutuhan stakeholders untuk pengelolaan mangrove dan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. ... 159

24 Formulasi permasalahan pada pengelolaan mangrove dan perikanan ... 160

(16)

26 Simulasi dan analisis kebijakan alternatif pengelolaan mangrove pada

lahan masyarakat ... 180

27 Simulasi dan analisis kebijakan alternatif pengelolaan mangrove dan perikanan terhadap performa perikanan tangkap ... 182

28 Alternatif kebijakan pengelolaan mangrove dan kebijakan perikanan secara terpadu . ... 185

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka perumusan dan strategi penyelesaian masalah ... 9

2 Kerangka hubungan mangrove dan perikanan ... 13

3 Pengaruh mangrove terhadap daya dukung dan pertumbuhan ikan ... 14

4 Hipotetis hubungan antara mangrove dengan produksi tambak dan produksi perikanan tangkap di sekitar pantai ... 18

5 Kerangka pemikiran ... 19

6 Skema diagram konseptual fluks nutrien dan energi dalam ekosistem mangrove dan interaksinya dengan ekosistem air tawar dan ekosistem laut (Sumber : Islam and Haque 2004) ... 28

7 Proporsi kondisi existing area mangrove di dunia dan area di Asia Selatan dan Asia Tenggara (Sumber : Islam and Haque 2004) ... 32

8 Kurva pertumbuhan logistik ... 35

9 Kurva yield-effort lestari. ... 36

10 Perkembangan luas mangrove di Kabupaten Indramayu ... 58

11 Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi di sekitar pantai Kabupaten Indramayu ... 59

12 Daerah penangkapan ikanalat tangkap jaring pantai, jaring klitik dan sero ... 61

13 Perkembangan jumlah produksi setiap jenis alat tangkap ... 62

14 Kurva hubungan effort-produksi perikanan dan CPUE ... 63

15 Keseimbangan bioekonomi statik sumberdaya ikan sekitar pantai ... 66

16 Hubungan tingkat discount rate dengan biomas (A), effort (B), hasil tangkapan (C) dan rente ekonomi (D) ... 68

17 Hubungan antara mangrove dengan produksi dan CPUE ... 77

18 Perbandingan kondisi keseimbangan statis antara model bioekonomi Gordon-Schaefer (CYP), model Habitat Fakultatif, (FH) dan Habitat Penting (IH) ... 81

19 Efek penurunan mangrove terhadap kondisi keseimbangan statis pada model Habitat Fakultatif (FH) ... 84

20 Tipe kelas tambak ... 86

21 Alat impes dan hasil impes (udang dan ikan liar) ... 87

22 Grafik hubungan tutupan mangrove dengan produksi perikanan tangkap dan produksi perikanan budidaya tradisional-monokultur bandeng ... 93

(17)

24 Grafik hubungan tutupan mangrove dengan produksi perikanan tangkap dan produksi perikanan budidaya tradisional-polikultur bandeng dan

udang ... 96

25 Grafik hubungan tutupan mangrove dengan penerimaan perikanan tangkap dan penerimaan perikanan budidaya tradisional-polikultur bandeng dan udang ... 97

26 Tipikal kondisi mangrove di lahan tradisional-Perhutani ... 107

27 Tipikal mangrove di saluran tambak (A) dan di sungai ((B) ... 108

28 Penanaman mangrove di lahan-lahan kritis milik Perhutani ... 116

29 Pematang yang terkikis ombak angin (A) dan penanam mangrove di lahan masyarakat (tambak milik) (B) ... 119

30 Kerangka model (desain) kebijakan pengelolaan mangrove dan perikanan ... 130

31 Matriks driver-dependence power untuk suatu elemen (contoh) ... 132

32 Matriks driver-dependence power untuk elemen masalah degradasi mangrove ... 139

33 Model struktural masalah kebijakan : degradasi mangrove ... 140

34 Matriks driver-dependence power untuk elemen tujuan kebijakan ... 142

35 Model struktural tujuan kebijakan pengelolaan mangrove ... 143

36 Matriks driver-dependence power untuk elemen lingkungan kebijakan ... 146

37 Model struktural lingkungan kebijakan pengelolaan mangrove ... 147

38 Matriks driver-dependence power untuk tindakan kebijakan ... 149

39 Model struktural tindakan kebijakan pengelolaan mangrove ... 150

40 Matriks driver-dependence power untuk pelaku kebijakan ... 152

41 Model struktural pelaku kebijakan pengelolaan mangrove ... 152

42 Model kebijakan pengelolaan mangrove untuk mendukung perikanan ... 153

43 Model sasaran yang berubah ... 154

44 Diagram input output : model dinamik kebijakan terpadu pengelolaan mangrove dan perikanan ... 161

45 Diagram alir (causal loop diagram) model dinamik kebijakan terpadu pengelolaan mangrove dan perikanan ... 161

46 Stock flow diagram subsistem pengelolaan mangrove di lahan Perhutani tanpa intervensi kebijakan ... 162

47 Stock flow diagram subsistem pengelolaan budidaya tambak silvofishery di lahan Perhutani tanpa intervensi kebijakan ... 163

48 Kondisi tutupan mangrove dan luas tambak pada lahan milik Perhutani (tanpa kebijakan pengelolaan mangrove) ... 164

49 Penerimaan (TR) dan keuntungan tambak silvofishery pada lahan milik Perhutani akibat adanya konversi mangrove (tanpa kebijakan pengelolaan mangrove) ... 164

50 Stock flow diagram subsistem pengelolaan mangrove di lahan Masyarakat (tanpa kebijakan pengelolaan mangrove) ... 165

51 Stock flow diagram subsistem subsistem budidaya tambak tradisional di lahan Masyarakat di lahan Masyarakat (tanpa kebijakan pengelolaan mangrove) ... 166

52 Kondisi tutupan mangrove dan luas tambak pada lahan masyarakat ... 167

(18)

54 Kondisi tutupan mangrove di lahan Perhutani dan lahan Rakyat di

Kabupaten Indramayu (tanpa kebijakan pengelolaan mangrove) ... 168

55 Penerimaan (TR) dan keuntungan tambak pada lahan Perhutani dan lahan Rakyat akibat adanya konversi mangrove (tanpa kebijakan mangrove) ... 168

56 Stock flow diagram subsistem pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai (tanpa adanya kebijakan mangrove dan tanpa kebijakan perikanan atau kondisi status quo) ... 169

57 Performa perikanan tangkap : penerimaan (TTR_HF_OA) dan rente ekonomi (RRent_HF_OA) tanpa kebijakan pengelolaan mangrove dan tanpa kebijakan pengelolaan perikanan tangkap (status quo) ... 169

58 Dampak penurunan mangrove terhadap penerimaan tambak (TR) dan penerimaan perikanan tangkap (TTR) ... 170

59 Stock flow diagram subsistem pengelolaan mangrove di lahan Perhutani (dengan adanya kebijakan pengelolaan mangrove) ... 172

60 Stock flow diagram subsistem pengelolaan budidaya tambak silvofishery di lahan Perhutani (dengan adanya kebijakan pengelolaan mangrove) ... 173

61 Stock flow diagram subsistem pengelolaan mangrove di lahan Masyarakat dengan adanya kebijakan pengelolaan mangrove) ... 178

62 Stock flow diagram subsistem pengelolaan budidaya tambak tradisional di lahan Masyarakat dengan adanya kebijakan pengelolaan mangrove) ... 179

63 Stock flow diagram subsistem pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai (dengan adanya kebijakan pengelolaan mangrove dan kebijakan pengelolaan perikanan) ... 182

64 Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu Mangrove dan Perikanan. ... 191

65 Hubungan Tujuan Penelitian, Analisis, Hasil Penelitian dan Arahan Kebijakan . ... 199

DAFTAR LAMPIRAN

1 Luas lahan, tambak, mangrove dan panjang pantai di lokasi penelitian ... 214

2 Analisis Model Bioekonomi-CYP untuk perikanan sekitar pantai ... 215

3 Jenis-jenis ikan sekitar pantai yang ditangkap dengan pukat pantai, jaring klitik dan sero di Kabupaten Indramayu ... 220

4 Perhitungan discount rate ... 221

5 Famili biota perairan komersial yang berasosiasi dengan mangrove ... 222

6 Penyelesaian persamaan habitat fakultatif dan habitat penting ... 224

7 Optimasi Pengelolaan Model GS-CYP, Pengelolaan Model Habitat Penting (IH) dan Pengelolaan Model Habitat Fakultatif (FH) ... 226

8 Efek penurunan mangrove terhadap kondisi keseimbangan statis pada model Habitat Fakultatif (FH) ... 228

9 Jenis-jenis barang investasi budidaya tambak ... 230

10 Jenis-jenis input produksi budidaya ikan-udang di tambak ... 231

(19)

12 Data dan print out analisis regresi hubungan input-ouput produksi pada

tambak silvofishery-tradisional ... 235

13 Perundang-undangan dan peraturan penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan negara di Indramayu ... 238

14 Peraturan-Peraturan terkait pengelolaan sumberdaya ikan ... 240

15 Tingkat hubungan kontekstual antar subelemen dari setiap elemen kebijakan pengelolaan mangrove menurut Pakar ... 245

16 Print out pengolahan data analisis ISM ... 251

17 Uji validitas ... 254

(20)

DAFTAR ISTILAH

CYP (Clarke, Yoshimoto,

Pooley)

Pendekatan yang digunakan untuk menduga parameter biofisik laju pertumbuhan intrinsik (r), koefisien kemampan alat tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K)

drs, decreasing return to scale Skala ekonomi berkurang atau pengaruh skala ekonomi yang menurun yang menunjukkan

kondisi bahwa melipatduakan input produksi akan

mengakibatkan hasil produksi yang kurang dari dua kali lipat.

EAFAM Pendekatan kebijakan pengelolaan ekosistem

mangrove untuk kepentingan perikanan tangkap dan budidaya tambak tradisional.

Ikan asosiasi mangrove Jenis-jenis ikan yang sebagian hidup atau seluruh

hidupnya bergantung pada ekosistem mangrove, sehingga ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai tempat asuhan, tempat pemijahan, tempat berlindung dan tempat mencari makan. Beberapa jenis ikan demersal merupakan ikan asosiasi mangrove.

Ikan demersal Kelompok ikan yang habitatnya berupa lumpur

atau lumpur berpasir. Ikan-ikan utama yang termasuk dalam ke dalam kelompok ikan demersal dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu ikan demersal besar dan ikan demersal kecil (Subani dan Barus 1989; Broer et al. 2001). Jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal adalah dogol, jogol, cantrang, jaring insang dasar/labuh (jaring klitik), rawai dasar, bubu dasar, pukat tepi/pantai (beach net), jaring arad (otter trawl) dan pancing tangan (Subani dan Barus 1989) dan sero (Dwiponggo 1987; Tenriware 2005). Ikan demersal di sekitar pantai merupakan target utama usaha penangkapan ikan oleh nelayan Kabupaten Indramayu dengan menggunakan alat tangkap sero, jaring klitik dan jaring pantai.

Kebijakan Seperangkat pernyataan strategis yang didukung

oleh fakta (Suharto 2010) untuk memberikan arah

terhadap pelaksanaan strategi-strategi

pembangunan. Dalam konteks sistem dinamis

(Muhammadi et al. 2001), kebijakan adalah suatu

upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan.

Keseimbangan Open Access

(OA)

Kondisi keseimbangan pada pengelolaan

(21)

adanya kelembagaan pengelolaan yang mengatur jumlah effort yang digunakan, sehingga nelayan secara bebas keluar dan masuk (free entry) dalam industri perikanan. Keseimbangan OA dicapai pada saat penerimaan perikanan (Revenue) sama dengan biaya penangkapan sehingga industri perikanan berada dalam kondisi zero profit.

Keseimbangan Maximum

Sustainable Yield (MSY)

Kondisi keseimbangan pada pengelolaan

perikanan tangkap yang terjadi pada saat produksi lestari berada pada titik tertinggi kurva yield effort.

Keseimbangan Maximum

Economic Yield (MSY)

Kondisi keseimbangan pada pengelolaan

perikanan tangkap yang terjadi pada saat marginal

revenue sama dengan marginal cost

Model GS_STD Model standar bioekonomi perikanan yang

diturunkan dari persamaan pertumbuhan populasi ikan dan persamaan produksi Schaefer yang

menghasilkan persamaan hubungan antara

produksi penangkapan dan selanjutnya persamaan

tersebut digunakan untuk menentukan

keseimbangan statik pada kondisi OA, MSY dan MEY setelah memasukkan paramater ekonomi (harga dan biaya penangkapan).

Model GS-CYP Model standar bioekonomi dengan pendugaan

parameter r, q dan K melalui pendekatan CYP.

Model habitat penting Model interaksi antara habitat-mangrove dengan

ikan-ikan dimana mangrove bersifat penting bagi ikan-ikan yang berasosiasi dengan mangrove

tersebut. Model ini mensyaratkan adanya

informasi awal yang cukup adanya keterkaitan antara mangrove dan ikan atau kelompok jenis ikan.

Model habitat fakultatif Model interaksi antara habitat-mangrove dengan

ikan-ikan dimana mangrove bersifat fakultative bagi ikan-ikan yang berasosiasi dengan mangrove tersebut. Model ini digunakan bila tidak ada informasi awal yang cukup adanya keterkaitan antara mangrove dan ikan atau kelompok jenis ikan.

Silvofishery Kebijakan pengelolaan hutan mangrove dengan

pola empang parit, yaitu memanfaatkan aliran air di antara hutan mangrove untuk budidaya ikan

dan udang. Perkembangan berikutnya silvofishery

(22)

oleh tambak selebar 3 meter untuk budidaya ikan dan udang (Suhaeri 2005). Prinsip dasar dari

silvofishery (pola tambak tumpang sari empang parit) adalah untuk melindungi vegetasi hutan mangrove sekaligus memberikan hasil bagi perikanan (Nur 2002).

Sumberdaya ikan sekitar

pantai

Berbagai jenis ikan komersial yang terdiri dari kelompok ikan demersal (dominan) dan ikan pelagis kecil yang berada di perairan pantai

Indramayu dengan luas 804 km dan kedalaman

dari 0 (tepi pantai) sampai dengan 20 meter.

Model GS_STD Model standar bioekonomi perikanan yang

diturunkan dari persamaan pertumbuhan populasi ikan dan persamaan produksi Schaefer yang

menghasilkan persamaan hubungan antara

produksi penangkapan dan selanjutnya persamaan

tersebut digunakan untuk menentukan

(23)

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan tidak terlepas dari karakteristik biofisik, peranan suatu ekosistem dalam menghasilkan jasa-jasa lingkungan, peranan aktor yang terlibat dalam pengelolaan serta rejim kepemilikan atas sumberdaya alam dan lingkungan. Interaksi antara ekosistem dengan manusia merupakan aspek penting dalam ilmu lingkungan. Proses-proses dan fungsi-fungsi ekosistem, antara lain siklus energi dan air akan menyokong produksi jasa-jasa lingkungan. Jasa-jasa ekosistem mampu menyediakan nilai ekonomi yang penting (Costanza et al. 2014) yang berguna bagi manusia. Di wilayah pesisir terdapat ekosistem mangrove yang menghasilkan jasa-jasa lingkungan dan karena itu perlu dikelola dengan baik agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia dan lingkungan. Pengelolaan wilayah pesisir tidak

terlepas dari peranan jasa-jasa ekosistem. Dahuri et al. (2008) menyatakan bahwa

pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang terpadu adalah suatu pendekatan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Namun demikian program-program dalam penerapan pendekatan kebijakan terpadu sering menemui kegagalan, yang salah satu satunya disebabkan oleh lemahnya desain kebijakan (Vince 2015).

Pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir pada dasarnya memiliki tujuan

untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat (social well-being),

terutama komunitas nelayan kecil yang bermukim di kawasan pesisir (Kusumastanto 2003). Aspek ekologi dalam hal kelestarian sumberdaya dan fungsi-fungsi ekosistem harus dipertahankan sebagai landasan utama untuk

mencapai kesejahteraan tersebut (Arsyad et al. 2007). Dalam pemanfaatan

sumberdaya tersebut diupayakan tidak merusak fungsi ekosistem hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs), dan padang lamun (sea grass) yang mempunyai keterkaitan ekologis dengan keberlanjutan sumberdaya ikan tersebut (Dahuri 2003). Jasa-jasa ekosistem tersebut mempunyai manfaat langsung (antara lain mangrove menghasilkan kayu bakar) dan tidak langsung (antara lain mangrove sebagai habitat berbagai biota perairan). Dengan demikian pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa ekosistem yang berkelanjutan akan mendukung peningkatan kesejahteraaan nelayan dan petambak yang sebagian besar bermukim di perdesaan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ekosistem pesisir terdapat berbagai jasad hidup (biotik) dan lingkungan fisik (abiotik) yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, saling terkait dan saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya (Dahuri et al.

2008). Selain itu, di antara komponen biotik juga terdapat interaksi, antara lain ekosistem mangrove dengan ikan. Ekosistem mangrove mampu mendukung rantai makanan yang sangat kompleks dan mendukung semua organisme tropik level

serta niche untuk kehidupan, sehingga mangrove memiliki produktivitas dan daya

dukung yang tinggi bagi biota perairan (Islam and Haque 2004). Mangrove

mampu menyediakan pasokan makanan (Sasekumar et al 1992; Islam and Haque

(24)

and Padilla 1999; Barbier 2003; Manson et al 2005; Allen et al 2012), tempat

berlindung bagi biota tersebut dari ancaman pemangsa (Nagelkerken et al 2008),

sebagai habitat ikan (Sasekumar et al 1992; Barbier 2003, Saenger et al 2013),

baik untuk seluruh siklus hidup maupun sebagian siklus hidupnya (Nagelkerken et

al 2008). Sebagai area pembesaran ikan, mangrove mempunyai peranan penting

dalam mendukung perikanan komersial (Barbier 2000, Allen et al 2012).

Mangrove sebagai habitat ikan mempunyai keterkaitan dengan perikanan, sebagai contoh keterkaitan yang erat dengan populasi udang (Martosubrtoto dan Naamin 1977; Lee 2004; Islam and Haque 2005; Harahab 2009) dan sebagai habitat penting bagi ikan demersal (Barbier dan Strand 1997, Barbier 2000). Perikanan artisanal dengan kontribusi sebesar 85-95% sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove (Islam and Haque 2004). Menurut Lai (1984) Di Fiji sekitar 60 % ikan-ikan yang ditangkap menghabiskan waktu di mangrove. Sekitar 70% hasil tangkapan perikanan pantai di Nigeria secara langsung dan tidak langsung bergantung pada mangrove (Udoh 2016). Pentingnya memahami interaksi antara mangrove dengan perikanan mengingat jika adanya perubahan dalam ekosistem mangrove, maka akan berefek terhadap perubahan aktivitas perikanan.

Secara geografis, Kabupaten Indramayu berada pada posisi 107o52‘ -

108o36‘ BT dan 6o15‘ - 6o40‘ LS. Kabupaten Indramayu memiliki luas 2.099,42 km2 dengan luas seluruh kawasan pesisir sekitar 35 % dari luas seluruh kabupaten. Pantainya membujur mulai dari Kecamatan Sukra hingga Kecamatan Karangampel, dengan panjang pantai sekitar 114 km. Selain itu, Kabupaten Indramayu juga memiliki 3 (tiga) pulau kecil, yaitu Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian. Wilayah pesisir dan perairan laut Kabupaten Indramayu memiliki potensi sumberdaya non hayati seperti tambang dan mineral serta sumberdaya hayati berupa keanekaragaman ekosistem yang sangat tinggi seperti estuaria, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan pantai berpasir.

Ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu dilihat peranannya sebagai habitat berbagai biota perairan merupakan ekosistem hutan mangrove terluas di Jawa Barat. Sayangnya, ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu telah mengalami degradasi (Sukardjo 1993; Hamdan 2007; Gumilar 2010). Berdasarkan data dari Perhutani (2000), pada tahun 1999 luas hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu tercatat sekitar 12.153 hektar, namun pada awal tahun 2008 luasnya sudah berkurang menjadi 7.807,65 hektar (Gumilar 2010) atau sekitar 36 persen. Selanjutnya, menurut Dephut (1999) pada tahun 1999 luas hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu tercatat sekitar 17.782,06 hektar, namun pada tahun 2008 luasnya sudah berkurang hanya tinggal 8.062,50 hektar (45,34 %) yang terdiri dari 7.942,50 hektar (98,51 %) hutan mangrove daratan (binaan dan bukan binaan Perhutani) dan 120 hektar (1,49 %) hutan KKLD di Pulau Biawak (Gumilar 2010). Meskipun terdapat program rehabilitasi dari tahun 1995 sampai dengan 2009 dengan luas 4.120 ha di 24 desa/lokasi berbeda yang dilaksanakan oleh BRLKT, Dinas LH, Wetland, OISCA, Dinas Perkebunan dan Kehutanan (BP DAS), Himateka IPB dan Himapikan IPB (DPK Kabupaten Indramayu 2009), namun program-program tersebut nampaknya belum mampu mengatasi laju degradasi mangrove.

(25)

(1998) menyatakan bahwa underestimation terhadap nilai total dan aktivitas manusia merupakan penyebab utama degradasi mangrove. Berdasarkan persepsi

stakeholders di Indramayu, kerusakan hutan mangrove disebabkan karena faktor alam, seperti abrasi dan aktivitas manusia karena alasan ekonomi (Gumilar 2010). Degradasi mangrove diperkirakan akan semakin meningkat dengan memperhatikan persepsi stakeholders seperti disampaikan oleh Gumilar (2010) yang menyatakan bahwa mangrove tidak memiliki manfaat penting bagi kegiatan tambak, penegakan hukum lingkungan dinilai masih kurang memadai dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan ada kecenderungan mengalami penurunan. Terkait dengan pemanfaatan lahan milik Perhutani yang

dikelola dengan sistem silvofishery, fenomena degradasi mangrove diduga karena

kontrak antara Perhutani dan petambak penggarap tidak memberikan insentif bagi petambak untuk memenuhi ketentuan rasio mangrove dan tambak sebesar 80:20. Petambak cenderung memperluas lahan garapannya untuk areal budidaya. Menurut Nur (2002) ketentuan rasio luasan 80 : 20 sulit diimplementasikan karena ketentuan tersebut lebih menekankan pada aspek ekologi (konservasi) dan kurang memperhatikan nilai ekonominya, sehingga petambak cenderung meningkatkan luasan tambaknya. Suhaeri (2005) menyatakan bahwa melalui pendekatan institusi (antara lain menerapkan kebijakan kepemilikan dan pengelolaan secara bersama) akan menghasilkan skala ekonomi lahan garapan yang memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, pemerintah dan lingkungan.

Aktivitas perikanan di Kabupaten Indramayu mencakup pemanfaatan potensi sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir. Dilihat dari aspek aktivitas perikanan tangkap, degradasi mangrove memberikan dampak terhadap perikanan tangkap yang beroperasi di sekitar pantai (nearshore fishery) yang merupakan perikanan skala kecil atau perikanan tradisional 1. Pada tahun 2014, nelayan di Kabupaten Indramayu berjumlah 40 545 jiwa, 6.115 RTP dengan jumlah armada perikanan (perahu) sebanyak 6.115 unit. Dari jumlah tersebut terdapat 3.109 unit (sekitar 50,84 %) dan 1.659 RTP (sekitar 27,13%) merupakan armada dan RTP yang mengoperasikan perahu berbobot di bawah 5 GT dengan daerah penangkapan ikan di sekitar pantai. Nelayan skala kecil yang beroperasi di sekitar pantai Kabupaten Indramayu diantaranya adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat pantai, jaring klitik dan sero dengan hasil tangkapan antara lain dari famili Leiognathidae, Latidae dan Cynoglossidae.

Dalam kurun waktu antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2014, jumlah unit alat tangkap pukat pantai mengalami kenaikan disertai dengan produksi per unit upaya yang cenderung menurun, sedangkan jaring klitik dan sero mengalami penurunan jumlah alat tangkap disertai dengan kenaikan produksi per unit upaya (Tabel 1). Dari tabel tersebut dapat dikatakan bahwa performa input (effort) dan

output (hasil tangkapan) nampaknya terjadi perubahan yang cukup tajam dan diduga adanya faktor kebijakan perikanan yang menyebabkan perubahan respon (prilaku) nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan. Peningkatan jumlah alat tangkap yang memanfaatkan sumberdaya ikan tanpa melihat jumlah maksimum

1

(26)

ikan yang boleh ditangkap akan menyebabkan semakin terkurasnya sumberdaya ikan.

Kebijakan perikanan tangkap dengan tidak memperhatikan jumlah maksimum alat tangkap yang diperbolehkan akan mengancam keberadaan perikanan itu sendiri. Pengelolaan perikanan sesungguhnya terkait dengan pengelolaan stock sumberdaya ikan. Oleh karena itu, diperlukan suatu desain kebijakan pengelolaan mangrove dan kebijakan perikanan tangkap secara bersamaan untuk menuju keberlanjutan perikanan. Dalam konteks ini kebijakan pengelolaan perikanan dipandang sebagai kebijakan yang mengintegrasikan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove sebagai habitat perikanan dengan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap itu sendiri.

Keberadaan ekosistem mangrove dapat berpengaruh terhadap produksi perikanan tangkap dan produksi budidaya tambak tradisional. Mangrove berperan dalam aktivitas budidaya tradisional-silvofishery dengan menghasilkan produk sampingan (berkorelasi positif), namun berkorelasi negatif dengan perolehan hasil utama dan pada akhirnya berkorelasi positif dengan direct benefit (Haris et al. 2013). Pada tahun 2014 jumlah rumah tangga perikanan budidaya tambak tradisional sekitar 99 % dengan hasil utama produksi berupa ikan bandeng dan udang windu serta hasil produksi sampingan berupa ikan kakap putih (Lates calcalifer), belanak (Mugil cephalus), mujair (Oreochomis mossambicus), udang api-api (Metapenaeus spp), udang putih (Penaeus spp) dan jenis-jenis ikan dan udang lainnya. Untuk mendapatkan hasil utama produksi dibutuhkan bibit

bandeng (nener) dan bibit udang (benur) sebagai input produksi utama, sedangkan

untuk memperoleh hasil sampingan, petambak tidak mentransformasikan bibit ikan/udang sebagai input produksi. Input tersebut berasal dari ‗alam‘ yang salah

satunya bersumber dari perairan ekosistem mangrove yang masuk ke dalam tambak untuk kemudian menjadi besar setelah periode waktu tertentu. Hasil sampingan umumnya ditangkap secara harian dengan menggunakan alat tangkap impes yang umumnya dipasang di dekat pintu air.

Tabel 1 Performa input dan output perikanan skala kecil di sekitar pantai di Kabupaten Indramayu

Tahun Jumlah alat tangkap (unit/effort) Produksi (ton unit

-1

tahun-1) Pukat Pantai Jaring Klitik Sero Pukat Pantai Jaring Klitik Sero

2000 268 811 322 22,28 3,18 5,79

2014 1.459 407 225 5,50 6,55 3,5

Perubahan (%) 444,44 (49,82) (30,12) (75,31) 105,97 (39,55)

Sumber : Buku statistik perikanan tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan diolah

Dalam kurun waktu tahun antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2014, jumlah RTP, luas tambak, produksi tambak dan produktivitas tambak tradisional

mengalami kenaikan. Selanjutnya, performa input dan output perikanan budidaya

(27)

dengan akhir tahun 2014, hanya 100 RTP atau 1 % dari 12.412 RTP yang menerapkan tambak intensif dan semi intensif.

Tabel 2 Performa input dan output perikanan budidaya tambak di Kabupaten Indramayu

Tahun RTP

Luas Tambak (Air)

Produksi (ton tahun-1

)

Bandeng Windu

2000 4.939 12.417,00 3.423,50 2.251

2014 12.412 17.880,25 48.175,62 28.283,98

Perubahan (%) 151,31 44,00 1.307,20 1.156,51

Sumber : Buku statistik perikanan budidaya, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan diolah

Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dan jasa ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu penting didesain guna memberikan arah bagi tercapainya tujuan pembangunan. Bohari (2010) menyatakan bahwa permasalahan pengelolaan wilayah pesisir yang kompleks dan dinamis perlu pendekatan integratif-holistik dengan pendekatan kesisteman. Solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan adalah skenario kebijakan Progrestik-Optimistik dengan melakukan perbaikan pada atribut yang sensitif. Suharto (2010) menyatakan bahwa dengan adanya kebijakan diharapkan adanya rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas yang diwujudkan dalam program-program pelayanan yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan. Kebijakan menurut Titmuss dalam Suharto (2010) senantiasa

berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan

(action-oriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah seperangkat pernyataan strategis yang didukung oleh fakta (Suharto 2010) atau bermakna suatu peraturan atau ketetapan yang mengatur mengenai cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk memecahkan masalah yang ada dan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan (Marliana et al

2013). Oleh karena itu, problem penurunan luasan mangrove yang berimbas pada penurunan manfaat bagi perikanan budidaya dan perikanan tangkap serta penurunan stock sumberdaya ikan akibat tingginya aktivitas penangkapan perlu dicarikan suatu solusi kebijakan.

Di tengah era otonomi daerah yang menekankan pada perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), kelestarian lingkungan menjadi terabaikan dan sumberdaya alam terdegradasi. Anna dan Fauzi (2005) menyatakan bahwa degradasi sumberdaya penting untuk diperhitungkan, sebab kebijakan pengelolaan yang mengabaikan degradasi sumberdaya alam akan menghasilkan kebijakan yang

(28)

1. Adanya kebijakan pengelolaan terpadu antara pengelolaan mangrove dan pengelolaan perikanan tangkap. Kebijakan ini akan memandang pengelolaan sumberdaya pesisir sebagai satu sistem pengelolaan terpadu antara subsistem pengelolaan mangrove, subsistem pengelolaan perikanan tangkap skala kecil

dan sub sistem perikanan budididaya tambak tradisional-silvofishery.

Pemahaman terhadap keterkaitan mangrove dan perikanan penting bagi pembuat kebijakan agar dapat memberikan penilaian secara benar terhadap sumberdaya alam dan lingkungan pesisir.

2. Dikaitkan dengan pengembangan minapolitan, Kabupaten Indramayu

merupakan salah satu kawasan pengembangan minapolitan di bidang perikanan tangkap dan budidaya2. Salah satu keberhasilan pengembangan minapolitan adalah adanya kontinuitas stock ikan sebagai natural input dan kualitas lingkungan perairan yang baik. Oleh karena itu, penting untuk

melihat keterkaitan mangrove dan perikanan ((mangrove-fishery linkages)

dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut untuk mengatasi degradasi mangrove dan sumberdaya ikan di sekitar pantai.. Hasil penelitian diharapkan dapat menghasilkan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan

stock sumberdaya ikan dan perbaikan ekosistem mangrove untuk menjaga proporsi antara luas mangrove dan tambak, sehingga dapat meningkatkan hasil tangkapan dan produksi budidaya yang selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan.

3. Kebijakan yang dihasilkan juga dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah

untuk meningkatkan coverage mangrove yang dapat berkonstribusi terhadap

luasan RTH (Ruang Terbuka Hijau) dengan target RTH 30 % (UU No. 26/2007), sehingga tata ruang wilayah pesisir lebih mencerminkan integrasi berbagai aspek, termasuk memperkuat adaptasi wilayah pesisir terkait dengan perubahan iklim global.

Keterkaitan antara mangrove dan perikanan tangkap sudah banyak diteliti (antara lain Martosubrtoto dan Naamin 1977; Barbier 2000, Barbier 2003; Lee 2004; Islam and Haque 2005; Faunce and Serafy 2006; Marlianingrum 2007, Chong 2007; Harahab 2009; Allen et al 2012; Saenger et al 2013; Mykoniatis and Ready 2013; Udoh 2016) dan peran mangrove dengan budidaya tambak sudah banyak dibahas dan diteliti (antara lain Fahrudin 1996; Muluk C. 2000;

Mardawati 2004; Primavera 2005; Rangkuti AR 2013; Haris et al 2013).

Penelitian tersebut hanya bersifat parsial, namun keterkaitan antara mangrove (M) dengan perikanan tangkap (F) dan tambak (A) serta analisis kebijakan pengelolaan mangrove dan perikanan secara bersamaan (simultan) belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian terhadap keterkaitan mangrove dengan perikanan tangkap dan budidaya tambak serta analisis kebijakan pengelolaannya penting dilakukan, sehingga keberlanjutan aktivitas perikanan tangkap dan keberlanjutan budidaya tambak akan terjamin dengan tetap mempertahankan keberadaan mangrove. Selanjutnya, preskripsi yang dihasilkan tersebut dapat mendukung pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

2

(29)

Perumusan Masalah

Kompleksitas persoalan pengelolaan sumberdaya pesisir yang mencakup degradasi mangrove, overfishing, dan ketidakpastian stock sumberdaya berimbas pada ketidakpastian produksi, sehingga diperlukan suatu pendekatan holistik dalam menelaah pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Kompleksitas sistem pengelolaan dicirikan dengan banyaknya elemen yang menyusun sistem tersebut dan di antara elemen tersebut mempunyai keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Degradasi ekosistem mangrove dan degradasi sumberdaya ikan sekitar pantai akibat persoalan kelembagaan merupakan masalah yang mendasar dan penting, sehingga perlu dipecahkan melalui analisis kelembagaan. Penelitian ini difokuskan pada fakta terjadinya degradasi mangrove akibat persoalan kelembagaan pengelolaan dan efeknya terhadap aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai (nearshore fishery) dan terhadap aktivitas budidaya ikan. Sumberdaya ikan selama ini juga diduga sudah mengalami degradasi. Keterkaitan mangrove dengan perikanan akan dianalisis dengan bioekonomi interaksi. Dari berbagai penelitian dan fakta-fakta di lapangan, nampaknya faktor manusia (antropogenik) lebih mendominasi penyebab degradasi. Prilaku manusia yang eksploitatif terhadap sumberdaya alam dan lingkungan diduga disebabkan oleh kelembagaan pengelolaan yang diterapkan.

Terjadinya degradasi sumberdaya mangrove dan sumberdaya ikan secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut :

(1) Degradasi mangrove.

Tiga kategori lahan yang mengalami degradasi mangrove dilihat dari penyebab dan rezim kepemilikannya adalah

a. Lahan milik Perhutani. Degradasi mangrove diduga disebabkan oleh

masalah institusi pengelolaan silvofishery dimana proporsi luasan

mangrove (M) dan tambak (T) dalam kontrak silvofishery tidak

memberikan struktur insentif terhadap petambak, sehingga ada kecenderungan petambak menebang mangrove untuk memperluas areal

tambaknya. Pengaturan proporsi lahan mangrove dengan luas tambak

(m1) agar tidak terjadi penebangan mangrove menjadi problem pada lahan milik Perhutani.

b. Lahan milik Pemerintah Daerah. Degradasi mangrove diduga disebabkan

lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap sempadan sungai dan sempadan pantai. Konversi mangrove menjadi tambak masih terus berlangsung.

c. Lahan (tambak) milik individu (masyarakat). Masih adanya persepsi di sebagian besar petambak bahwa memelihara mangrove di areal tambak (dalam sistem usaha tambak) menimbulkan biaya pengelolaan yang tinggi, seperti timbulnya predator ikan/udang dan kesulitan dalam memanen hasil produksi. Meskipun diakui bahwa petambak tradisional masih mengharapkan adanya produk sampingan dengan benih dari alam yang

masuk dalam sistem tambak. Oleh karenanya, masalah pengaturan

(30)

Perubahan kelembagaan (status kepemilikan) akan berpengaruh terhadap luasan mangrove, sehingga akan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem mangrove baik struktur, fungsi maupun jasa-jasa yang diproduksinya. Ekosistem mangrove memberikan jasa-jasa ekosistem dengan menyediakan pasokan ikan

dan udang untuk perikanan tangkap sekitar pantai (nearshore fishery) dan

mendukung aktivitas budidaya tradisional-silvofishery. Dalam kondisi tersebut,

ekosistem mangrove dapat dipandang sebagai input bagi kedua aktivitas

perikanan tersebut. Perubahan terhadap input (meningkatnya luasan mangrove) pada akhirnya mampu memasok biota perairan lebih banyak (memperbesar

carrying capasity) dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pengurangan biaya

pemanfaatan dengan makin dekatnya fishing ground (makin menuju ke arah

pantai) dan peningkatan output perikanan. Penurunan biaya operasi penangkapan

ikan sangat diharapkan di tengah meningkatnya biaya bahan bakar yang merupakan komponen terbesar biaya operasional. Dengan demikian pengelolaan

bagi perikanan tangkap selain pengelolaan habitatnya (ecosystem based

management) juga dilakukan pengelolaan konvensional, yakni kebijakan

perikanan yang mampu mempengaruhi prilaku nelayan dalam penggunaan input

(effort). Bagi aktivitas tambak akan berpengaruh terhadap sediaan pasokan nutrien, kualitas air dan pasokan udang/ikan sebagai hasil sampingan.

(2) Degradasi sumberdaya ikan sekitar pantai

Pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu saat kini menunjukkan kondisi kurang berkelanjutan (Hamdan 2010). Selain karena rusaknya habitat ikan, degradasi juga disebabkan karena kapasitas penangkapan ikan yang berlebih. Performa tragedy of the common akibat rejim pengelolaan

open access sumberdaya ikan sekitar pantai. Situasi open access dapat mendorong kapasitas penangkapan ikan berlebih (over capacity) yang diindikasikan dengan

meningkatnya upaya penangkapan (effort) dan menurunnya hasil tangkapan

(catch per unit effort). Dengan perkataan lain, kondisi tersebut diduga tidak

dilakukannya kebijakan perikanan yang mengarah pada optimally management

yang mengacu pada konsep MEY (maximum economic yields) oleh Pemerintah

Daerah.

Dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan adanya 2 (dua) persoalan penting, pertama: degradasi mangrove sebagai habitat ikan yang berimplikasi terhadap penurunan stock ikan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan ikan skala kecil serta tambak tradisional dan kedua:

overcapacity aktivitas penangkapan ikan. Oleh karena itu kelembagaan

pengelolaan sumberdaya pesisir yang menyangkut fishery-mangrove linkages

(31)
[image:31.595.112.514.83.730.2]

Gambar 1 Kerangka perumusan masalah dan strategi penyelesaian masalah

Perubahan aktivitas perikanan

tangkap sekitar pantai Perubahaan luas

area Mangrove Masyarakat (private; jual beli & grant )

Perhutani (state, administratif,

silvofishery)

Pemda (state, sempadan)

Performa Pengelolaan Saat Kini

Situasi „open access fisheries‟ ? Status Kepemilikan Lahan Mangrove

Analisis Bioekonomi Interaksi Habitat-Perikanan

(kondisi open access) Kelembagaan Pengelolaan Mangrove

Analisis Sistem Dinamik (simulasi)

Situasi „trade off ‟lahan mangrove & tambak

Analisis Bioekonomi (statis dan dinamis) Analisis

Kelembagaan

Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Tangkap

Perubahan aktivitas budidaya

tambak

Analisis Fungsi Produksi

Ekosistem Mangrove

-struktur & proses-proses; - fungsi ekosistem -ecosystem services - provisioning services

Performa PengelolaanYang Diharapkan

(Mangrove tidak degradasi, produksi/nilai produksi tambak & perikanan berkesinambungan)

Kesenjangan :

“Masalah”

Perumusan Masalah Kebijakan

A

n

al

is

is

IS

M

Solusi Masalah/ Tindakan Kebijakan

Masalah Kebijakan

Tanpa kebijakan (status quo) (Tanpa pengendalian Effort, E dan

pengelolaan Mangrove, M)

Dengan kebijakan (Pengendalian Effort, E dan

pengelolaan Mangrove, M)

Mangrove Perikanan

(32)

Tujuan meningkatkan stock sumberdaya ikan melalui rehabilitasi mangrove dapat dilakukan melalui desain kebijakan yang dapat meningkatkan rasio

covarage mangrove terhadap ketersediaan lahan pesisir (availabe land) yang dimiliki oleh institusi berbeda untuk menuju keberlanjutan mangrove. Identifikasi terhadap masalah kebijakan perlu dilakukan untuk memperoleh solusi kebijakan dengan analisis Interpretative Structural Modelling, ISM. Selain itu, agar tidak terjadi degradasi sumberdaya ikan dalam jangka panjang perlu kebijakan pengelolaan perikanan dari berbagai skenario pengelolaan yang dapat mengubah

situasi open access menuju optimally managed fishery dengan mengacu pada

konsep MEY (maximum economic yields).

Secara teoritis, analisis optimally managed fishery dapat dilakukan namun preskripsinya sulit diimplementasikan mengingat pertimbangan sosial, ekonomi dan institusi pengelolaan. Oleh karena itu, konsep MEY akan diintegrasikan dengan pendekatan institusi untuk mencapai performa yang diinginkan. Fakta

adanya degradasi mangrove, penurunan stock ikan dan kesulitan dalam penerapan

preskripsi optimally managed fishery akan diatasi melalui penataan-skenarioan (formulasi) kebijakan pengelolaan mangrove dan pengelolaan perikanan secara terpadu. Melalui analisis sistem dinamik akan dilakukan simulasi alternatif kebijakan yang berefek pada performa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

adanya fakta degradasi sebagai performa yang tidak diharapkan akibat permasalahan kelembagaan pengelolaan mangrove dan perikanan akan dicarikan solusi untuk menghasilkan performa yang lebih baik. Selanjutnya, perumusan masalah dan strategi penyelesaian masalah dapat dilihat pada Gambar 1.

Perumusan masalah penelitian seperti yang telah diuraikan di atas diakhiri dengan pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut :

(1) Bagaimana kondisi mangrove dan status pemanfaatan sumberdaya ikan

sekitar pantai? Apakah sudah terjadi overfishing dan terdegradasi ?

(2) Apakah ada pengaruh mangrove terhadap perikanan tangkap sekitar pantai

dan budidaya tambak tradisional-silvofishery ?

(3) Apa yang terjadi dengan adanya degradasi mangrove (perubahan luasan)

terhadap produksi perikanan tangkap sekitar pantai (nearshore fishery) dan budidaya tambak tradisional-silvofishery secara simultan ?

(4) Bagaimana kelembagaan pengelolaan mangrove dan kelembagaan

pengelolaan perikanan serta performanya saat kini ?

(5) Bagaimana struktur kebijakan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan

untuk mendukung aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai dan budidaya tambak tradisional-silvofishery ?

(6) Bagaimana performa perikanan tangkap dan budidaya tambak pada masa

mendatang dengan adanya perubahan luasan mangrove dalam simulasi model dinamik? Dalam bentuk skenario kebijakan, berapa sebenarnya luasan mangrove (tolerable) yang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi perikanan tangkap dan budidaya tambak?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

(1) Menjelaskan kondisi mangrove dan status pemanfaatan sumberdaya ikan

(33)

(2) Menganalisis pengaruh ekosistem mangrove terhadap perikanan tangkap

sekitar pantai (nearshore fishery) dan budidaya tambak

tradisional-silvofishery

(3) Menganalisis kelembagaan pengelolaan mangrove dan kelembagaan

pengelolaan perikanan tangkap dalam perspektif ekonomi kelembagaan.

(4) Mendesain struktur kebijakan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan

untuk mendukung aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai (nearshore fishery) dan budidaya tambak tradisional-silvofishery.

(5) Mendesain dan memformulasikan skenario alternatif kebijakan terpadu

dengan model dinamik keterkaitan mangrove dengan perikanan sekitar pantai dan budidaya tambak tradisional-silvofishery.

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah

1) Bagi ilmu pengetahuan: sebagai referensi lebih lanjut dalam pengelolaan

sumberdaya dan lingkungan di wilayah pesisir dengan memfokuskan pada keterkaitan ekosistem mangrove dengan perikanan.

2) Bagi stakeholders: sebagai masukan informasi bagi pengelolaan mangrove,

perikanan tangkap dan budidaya tambak secara terpadu untuk menuju pengelolaan secara berkelanjutan.

3) Bagi Pemerintah Daerah sebagai masukan informasi dalam menyusun

kebijakan dan implementasi kebijakan pengelolaan mangrove dan perikanan tangkap secara terpadu untuk menyusun tata ruang pesisir, revitalisasi tambak, pengembangan minapolitan dan mendukung pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran

Jasa-jasa ekosistem merupakan konsep dan tool yang digunakan dalam

Millennium Ecosystem Assessment dan suatu perubahan dalam ekosistem akan

mempunyai konsekuensi terhadap human well-being (MEA 2005). Jasa-jasa

ekosistem adalah manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu ekosistem (Liu et

al. 2010). Dalam suatu ekosistem terdapat struktur dan fungsi-fungsi ekosistem

yang merupakan prasyarat bagi tumbuhnya jasa-jasa eksosistem (ecosystem

services) yang berfungsi sebagai provisioning services, regulating services dan

culture services. Jasa-jasa tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia guna memenuhi kesejahteraaanya. Konsep jasa-jasa ekosistem merupakan alat yang

berguna bagi konektivitas antara natural system dengan human system

(Vihervaara et al. 2010) dan menyediakan nilai ekonomi yang penting (Costanza

et al. 2014) dan perlu dihitung nilainya (Liu et al 2010). Dari pendekatan jasa-jasa ekosistem menurut Vihervaara et al. (2010) dan terkait dengan penelitian ini

bahwa ekosistem mangrove mempunyai provisioning services dengan

menyediakan produk dan jasa-jasa yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, seperti menyediakan berbagai jenis ikan dan udang komersial. Bagi kepentingan budidaya, selain menyediakan hasil sampingan budidaya (hasil impes), ekosistem

mangrove juga memiliki regulating services, seperti memperbaiki kualitas

perairan yang pada akhirnya berpengaruh pada hasil produksi. Konektivitas antara

(34)

dipengaruhi oleh kelembagaan pengelolaan yang berlaku dalam kehidupan. Kelembagaan di sini mencakup batas jusrisdiksi, property right dan aturan representasi yang selanjutnya akan menentukan performa lingkungan pesisir akibat prilaku manusia dalam manfaatkan produk dan jasa-jasa ekosistem tersebut.

Berbagai jenis ikan sering ditemui di perakaran mangrove yang terendam air, sehingga mangrove dapat disebut sebagai habitat ikan (Lai 1984). Mangrove mempunyai peranan yang penting dilihat dari aspek fisik, ekologi, dan ekonomi

(Islam and Haque 2

Gambar

Gambar 1  Kerangka perumusan masalah dan strategi penyelesaian masalah
Gambar 2  Kerangka hubungan mangrove dengan perikanan
Gambar 5  Kerangka pemikiran
Tabel 3  Tujuan  penelitian, jenis data, metode pengumpulan data, analisis data dan keluaran yang diharapkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan sosial dengan sistem tumpangsari pola empang parit merupakan alternatif pelestarian ekosistem mangrove untuk tetap

YAYAN HIKMAYANI. Evaluasi Program Rasionalisasi Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO dan DARMAWAN. Salah satu kebijakan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Desain Kawasan Konservasi Mangrove untuk Meningkatkan Resiliensi Delta Cimanuk, Indramayu Jawa Barat Terhadap Perubahan

YAYAN HIKMAYANI. Evaluasi Program Rasionalisasi Perikanan Tangkap di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO dan DARMAWAN. Salah satu kebijakan

Pendekatan policy study dan analysis dari Hogwood and Gunn (1984) terhadap kebijakan pengelolaan Perikanan Tangkap (PT) lingkup intemasional, nasional dan daerah

Sedangkan model regresi luas hutan mangrove dengan beberapa komoditi (ikan belanak, udang, kerang, kepiting, dan teri) adalah: (1) regresi luas hutan mangrove

Bagaimana tutupan lahan sawah yang terdapat di Kabupaten Indramayu dengan menggunakan citra Airborne Hyperspectral bulan Juni 2011..

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Pengelolaan Ekosistem Mangrove dalam Upaya Meningkatkan Produksi Perikanan di Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten