• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM PEMBUKTIAN DALAM BERACARA PIDANA, PERDATA DAN KORUPSI DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUKUM PEMBUKTIAN DALAM BERACARA PIDANA, PERDATA DAN KORUPSI DI INDONESIA"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

METODA PENEMUAN FAKTA

SECARA INKUISITOIR DAN AKUISITOIR

A. Metoda Manakah Yang Lebih Baik ?

Suatu kenyataan bahwa upaya untuk mencari dan menemukan fakta yang digarap oleh peradilan pidana dilakukan dengan berbagai sistem dan metoda yang dilakukan berbeda antara negara satu dengan yang lain. Merupakan masalah penting adalah usaha menjawab metoda manakah yang lebih baik?

Sistem peradilan pidana Anglo-Amerika dan Eropa-kontinental menunjukan dua cara pendekatan untuk menemukan fakta yang pada dasarnya berbeda: metoda akuisitoir (berlawanan) dan metoda inkuisitoir. Kedua metoda tadi seperti yang masih ditemukan masa kini lebih merupakan akibat pertumbuhan sejarah dan merupakan akibat pertanyaan dan penelitian ilmiah mengenai apa yang merupakan cara terbaik untuk menemukan fakta. Dengan kata lain masing-masing metoda dan sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tumbuh dalam sejarah penerapan hukum acara pidana dalam kurun waktu yang lama dan mapan pada masyarakat yang bersangkutan. Jadi sistem akuisitoir yang cocok di Amerika belum tentu di Eropa, demikian pula sistem inkuisitoir dan sebaliknya yang tumbuh dengan berbagai faktor pengaruh yang berbeda.

Di Amerika Serikat, Wigmore menyebut “pemeriksaan ulangan untuk mengetahui

kebenaran pemeriksaan sebelumnya” sebagai alat penggerak hukum terbesar yang pernah

ditemukan untuk mencari kebenaran hakiki. Sebagian besar sarjana Jerman menganggap metoda inkuisitoir untuk menanggapi barang bukti sebagai prosedur terbaik untuk menemukan fakta. Namun kedua pendapat tadi didasarkan pada keyakinan yang bersifat umum dan bukan didasarkan pada penelitian ilmiah yang empiris. Masalah penerapan sistem, apakah pemeriksaan secara inkuisitoir yang merupakan metoda yang lebih baik untuk menemukan kebenaran hakiki tidak dapat dijawab oleh para ahli hukum. Mereka harus berpaling kepada para ilmuwan sosial.

(8)

Beberapa tahun yang silam di Amerika Serikat, Thibaut dan Walker Psikoloog dan seorang ahli hukum telah mengadakan serangkaian eksperimen mengenai pendekatan secara akuisitoir ataukah pendekatan secara inkuisitoir yang merupakan metoda terbaik untuk menemukan fakta. Berdasarkan eksperimen-eksperimen ini mereka tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang sangat menyolok. Mereka menyatakan bahwa “untuk proses pengadilan perkara pidana prosedur yang biasa disebut secara akuisitoir jelas berada di paling atas”.

Berdasarkan eksperimen tadi prosedur akuisitoir mengakibatkan ditemukannya lebih banyak fakta yang dengan demikian memberikan perlindungan yang lebih baik dalam menghindari bahaya adanya keputusan yang keliru. Disamping itu diharap dapat menghindarkan kemungkinan timbulnya prasangka para hakim secara lebih baik dibandingkan dengan prosedur tipe lain. Partisipan maupun para pengamat telah merasakan bahwa metoda secara akuisitoir lebih adil dibandingkan dengan prosedur secara inkuisitoir.

Penjelasan secara mendetail mengenai eksperimen dimana kesimpulan-kesimpulan ini didasarkan tidak akan diuraikan disini, karena akan banyak sekali hasil penelitian tersebut dan tidak efektif untuk artikel ini. Jelaslah bahwa eksperimen-eksperimen tadi dipikirkan dengan mahir dan dilaksanakan dengan cara sempurna menurut metoda penelitian ilmiah yang representatif. Betapapun bisa ditemukan adanya kesangsian yang kuat yang sangat erat hubungannya dengan penghidupan yang sesungguhnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan yang sah mengenai acara yang bersifat inkuisitoir.

Eksperimen tadi diselenggarakan bersama mahasiswa dari fakultas hukum dan sekolah tinggi hukum dilengkapi dengan laboratoriumnya. Proses penemuan fakta dilakukan dengan mengumpulkan beberapa informasi berdasarkan fakta baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan bagi satu pihak atau lainnya yang harus dianggap benar.

Eksperimen tadi menyampingkan problem-problem khas dalam menanggapi dan menilai bukti yang berkaitan dengan keterangan-keterangan saksi yang samar-samar, tidak tegas dan berlawanan. Mereka juga tidak mempermasalahkan dilemma bahwa tersangka harus menghadapi alat-alat perlengkapan yeng kuat dari para penuntut umum (kejaksaan).

Masalah-masalah seperti ini terdapat dalam acara yang bersifat akuisitoir maupun inkuisitoir. Selanjutnya, Thibault dan Walker mengemukakan fakta bahwa dalam acara pidana sering timbul kesulitan bagi tersangka untuk menemukan bukti yang menguntungkan bagi dirinya sebelum persidangan. Mereka menyebutkan bagian dari masalah ketika mereka

(9)

Sebegitu jauh sampai kini, pertanyaan mengenai yang mana sebenarnya metoda pencarian fakta yang lebih baik belum terjawab secara memuaskan melalui riset yang empiris. Oleh sebab itulah pada kesempatan ini hanya dapat disampaikan komentar yang bersifat sementara. Kita dapat mempertentangkan demi kemanfaatan sistem inkuisitoir yaitu, bahwa hakim yang harus memutus perkara benar-benar mengetahui informasi apa yang ia butuhkan dan pertanyaan apa yang akan diajukan kepada tersangka dan kepada para saksi.

Dengan melakukan interogasi terhadap tersangka dan saksi hakim akan memperoleh informasi ini, jadi berbicara pada sumber dimana hakim dalam persidangan akuisitoir harus menunggu dan melihat apa yang akan disajikan kepadanya oleh para pihak. Hakim yang mengajukan sendiri sebagian besar pertanyaan tidak boleh memikul resiko yang sama yakni memperoleh informasi yang berat sebelah, seperti halnya hakim dalam persidangan inkuisitoir. Sebaliknya, kita harus selalu perhatikan, bahwa pada sistem inkuisitoir hakim

harus melakukan tiga macam pekerjaan sekaligus; ia harus mengadakan pemeriksaan pendahuluan, harus mengadakan pemeriksaan untuk memperbaiki pemeriksaan sebelumnya, dan ia harus menilai barang bukti.

Dalam menilai barang bukti mungkin hakim diharuskan menilai berdasarkan efisiensi pertanyaan sendiri. Terdapat resiko di mana hakim secara psikologis terlampau dibebani dengan tugas-tugas yang berlainan. Sudah barang tentu menarik sekali untuk mendengar dari para psikolog mengenai sejauh mana pertimbangan-pertimbangan tentang pelbagai cara menanggapi barang bukti dapat diterima atau disangkal berdasarkan data yang empiris.

Interogasi terhadap para saksi dan tersangka dapat dihubungkan dengan menyelenggarakan suatu wawancara. Masalah wawancara macam apa yang mirip dengan interogasi ini tidak dijelaskan. Riset terhadap masalah-masalah tehnis suatu tanya jawab telah mengungkapkan bahwa betapapun yang mewawancarai mengharapkan agar tidak memihak, ia dapat mempengaruhi orang yang diinterogasi melalui kepribadiannya, melalui peranan sosial dan profesional yang dimainkan dan melalui susunan pertanyaan-pertanyaan serta melalui ungkapan-ungkapan dalam pertanyaannya, sedemikian rupa sehingga hasil wawancara akan merupakan bahan yang bermanfaat bagi hakim dalam rangka mencari data yang dapat menunjang keyakinannya.

(10)

Berkas yang ada pada hakim yang memeriksa dalam acara inkuisitorial sering menjadi sasaran kecaman oleh pengacara dalam Common Law. Hakim harus mempelajari berkas perkara dengan hati-hati sekali sebelum disidangkan, demikian pula jaksa (penuntut umum) yang mempersiapkan kasus dalam acara yang akuisitoir. Tanpa adanya berkas perkara, hakim tidak dapat memutuskan dalam susunan bagaimana barang bukti harus ditanggapinya, demikian pula ia tidak dapat mempersiapkan bahan-bahan untuk menginterogasi tersangka dan para saksi.

Dengan mempelajari berkas perkara yang telah dipersiapkan oleh polisi dan jaksa secara kurang cermat dapat menimbulkan resiko yang mengurangi upaya pencarian kebenaran hakiki, di mana hakim akan sangat dipengaruhi untuk memutus demi kepentingan mereka (jaksa, polisi). Pada waktu persidangan ia mungkin mengalami kesukaran untuk mendengar tentang barang bukti dengan pikiran yang terbuka. Pengaruh sampingan dari berkas yang dibuat polisi atau jaksa yang bisa mengurangi obyektivitas kebenaran dapat terjadi apabila oknum-oknum penyidik dan penuntut tidak melaksanakan misinya dengan dedikasi seorang penegak hukum dan penegak kebenaran.

Suatu eksperimen empiris yang dilakukan oleh para kriminolog telah mengungkapkan beberapa pengaruh prasangka berkas perkara terhadap para hakim. Masih merupakan pertanyaan yaitu apakah hasil yang telah diperoleh dalam situasi laboratorium ini dapat dianggap cukup representatif sebagai situasi persidangan yang sesungguhnya. Sebaliknya para psikolog memberitahukan bahwa persepsi sebagian besar tergantung pada asumsi secara tidak sadar yang dibawa kepada suatu saat. Mereka mendefinisikan persepsi sebagai suatu kompromi antara apa yang diharapkan untuk dilihat dan apa yang sesungguhnya dapat dilihat.  Apa yang dapat “diramalkan” dari kemungkinan asas psikologis ini sepanjang yang

menyangkut kemampuan menemukan fakta oleh hakim?

 Hingga sejauh manakah terdapat resiko di mana berkas perkara mempengaruhi pertimbangan yang dipengaruhi pengalaman profesi seorang hakim?

 Dapat orang bertanya lebih lanjut apakah dalam persidangan secara akuisitoir berkas perkara tidak dapat membantu hakim dalam menemukan fakta?

Sekali lagi riset yang bersifat empiris dapat membantu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas.

B. Penemuan Fakta Dalam Hubungan Dengan Adanya Acara Akuisitoir Dan Inkuisitoir

(11)

metoda akuisitoir di Inggris beda dengan di Amerika dan metoda inkuisitoir di Belanda beda dengan di Jerman dan seterusnya. Perbedaan-perbedaan ini harus diperhatikan apbila perbandingan antara kedua metoda penemuan fakta tadi yang kekuatan penerapannya harus didukung dan dihormati secara konsisten dengan segala konsekuensinya. Sebagai contoh di Amerika Serikat hakim yang mengadili suatu perkara menduduki posisi yang agak lemah.

Dalam sebagian besar jurisdiksi, hakim dalam persidangan bersama dewan juri tidak diperkenankan untuk memberikan komentar mengenai bobot barang bukti atau mengenai dapat dipercayainya saksi-saksi, agar tidak memberikan kesan kepada dewan juri bahwa ia condong ke pihak yang satu atau lainnya. Larangan bagi pemberian komentar mengenai barang bukti memaksa para hakim untuk tetap berhati-hati dalam seluruh persidangan, karena segala keterangan serta pertanyaan-pertanyaan bahkan intonasi (tekanan suara) suaranya dapat sangat sekali mempengaruhi dewan juri.

Bahkan dalam jurisdiksi-jurisdiksi Amerika di mana hakim dibolehkan memberikan komentar terhadap barang bukti, dan juga dalam persidangan di mana ia duduk tanpa juri, ia tetap bersifat positif dalam arti keobyektifannya untuk tidak memihak. Praktek pengadilan Inggris betapapun memperlihatkan bahwa praktek peradilan semacam itu adalah keliru. Sidang pengadilan di Inggris diselenggarakan dalam suatu suasana yang bersifat profesionalisme, kerjasama dan moderat.

Tidak seperti halnya dengan pengacara Amerika, di Inggris pengacara terikat keras oleh tolak ukur dan etika profesi. Lebih jauh dipertentangkan, bahwa persidangan yang bersifat akuisitoir sangat menguntungkan tertuduh yang mampu membayar pengacara yang ulung

(yang menguasai bidangnya). Ditinjau dari dekat, asumsi inipun nampaknya tidak beralasan. Sudah barang tentu kita tidak boleh meremehkan, bahwa memang ada manfaatnya untuk mendapatkan seorang pengacara yang baik, namun hal ini berlaku baik bagi sidang perkara yang menggunakan metoda akuisitoir maupun inkuisitoir.

Sebaliknya harus selalu dicamkan, bahwa dalam acara persidangan dengan sistem akuisitoir kedua belah pihak yakin jaksa dan pembela tidak mempunyai hak-hak dan

kewajiban yang serupa. Jaksa harus membuktikan perkaranya dengan kesangsian yang besar, sedangkan tertuduh tidak dibebani untuk membuktikan ketidak-salahannya. Jaksa harus tetap adil dan tidak memihak selama jalannya persidangan, ia tidak boleh menekan bukti yang menguntungkan terdakwa.

(12)

mereka secara aktif turut ambil bagian dalam menjajagi fakta-fakta (mencari fakta-fakta). Mereka pada umumnya tidak akan bimbang atau ragu-ragu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada para saksi dan memberikan komentar terhadap barang bukti.

Memang benar, terkadang hakim Inggris nampak melangkah terlampau jauh, pengadilan banding berpendapat bahwa hakim terlalu aktif, atau dengan perkataan lain terlampau

inkuisitorial”. Dalam diktumnya yang sangat terkenal Pengadilan banding menyatakan bahwa; hakim yang melakukan sendiri pemeriksaan dalam persidanga dapat dikatakan turun dalam arena dan penglihatannya dapat menjadi tertutup awan akibat debu sengketa tadi. Secara tidak disadari ia kehilangan manfaat observasi yang tidak memihak dan tenang. Dalam suatu perkara hakim terang-terangan menginterupsi penyajian barang bukti sedemikian seringnya hingga boleh dikatakan ia merintangi pembela.

Intervensi berlebihan yang dilakukan oleh hakim ini dianggap merupakan hal yang demikian seriusnya sebagai suatu kondite yang tidak baik hingga atas anjuran “Lord Chancellor” (semacam ketua Mahkamah Agung) ia diminta mengundurkan diri. Ini sudah barang tentu, sangat kontras dan bertentangan sekali dengan persidangan secara inkuisitorial di mana seperti yang telah ditandaskan tadi, hakim bebas untuk mencampuri pembela apabila ia menginginkannya. Seorang hakim Inggris harus berhenti karena ia telah memeriksa saksi-saksi. Ia telah berbuat tepat sekali seperti apa yang dilakukan para hakim di Eropa-Kontinental pada masa kini.

Setiap harinya perbedaan-perbedaan dalam metode inquisitorial dalam menemukan fakta dapat dilihat dengan tajam apabila kita banyak melakukan pengamatan dengan membandingkan persidangan-persidangan pengadilan Prancis dan Jerman. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Prancis, baik jaksa maupun tertuduh bersama pembelanya boleh mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seorang saksi

apabila terjadi suatu sidang Pengadilan “Cour d’assises” di mana duduk tiga hakim

profesional dan sembilan hakim yang ditunjuk di antara orang awam dan yang memeriksa kasus-kasus yang serius.

(13)

Pada persidangan pengadilan di Jerman kurang diperhatikan adanya resiko pengaruh hakim-hakim awam yang dapat mengurangi faktor keobyektifan dalam persidangan. Dengan demikian, hak jaksa, tertuduh, dan pembela, untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tambahan setelah hakim selesai dengan interogasi terhadap saksi, tidak dibatasi.

Di Prancis, sebagian besar perkara diperiksa oleh suatu “tribunal correctionnel” (pengadilan koreksi), yang tidak mengikut-sertakan hakim-hakim awam. Pada persidangan-persidangan pengadilan ini pendengaran saksi-saksi dan penanggapan terhadap barang bukti sebagian besar diganti dengan sekedar memeriksa laporan-laporan polisi.

Laporan polisi dihubungkan dengan semacam nilai aprobasi hingga tersangka dibebani untuk menyangkalnya. Sebaliknya, tersangka tidak mempunyai hak untuk minta dikonfrontasikan dengan saksi yang telah memberikan kesaksiannya yang berlawanan terhadap polisi. Pada persidangan pengadilan Jerman lebih ditekankan pada penemuan fakta sesungguhnya oleh hakim. Hakim diharuskan untuk mendasarkan keputusannya pada apa yang ia telah dengar langsung dari para saksi, oleh sebab itu pernyataannya yang diberikan secara lisan tidak boleh diganti dengan membacakan catatan-catatan polisi pada pemeriksaan sebelumnya oleh pejabat kepolisian.

Ilustrasi-ilustrasi di atas yang secara kontras menyoroti perbedaan dalam persidangan antara negara-negara yang sama-sama menerapkan metoda yang sama tetap terdapat perbedaan. Maka di samping perbedaan prinsip antara metoda inquisitoir dibanding metoda yang akuisitoir, ternyata ada perbedaan yang kurang prinsipiil antara tiap metoda dalam penerapannya di negara yang berbeda (Inggris – Amerika, Jerman – Prancis dan lain sebagainya) Terjadinya kenyataan ini tentunya dipengaruhi oleh sejarah perkembangan acara baik dalam persidangan di pengadilan maupun pada tahap pemeriksaan pendahuluan ditiap negara.

Dalam hal ini tentu dipengaruhi oleh aspek-aspek lain yang khas (di luar acara peradilan semata) di masing-masing negara. Maka dalam perkembangannya sekarang dapat terjadi bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana terjadi kombinasi penerapan antara metoda inkuisitoir dan akuisitoir dengan mengambil unsur-unsur yang paling mendekati citra masyarakat yang bersangkutan.

(14)

SEGALA SESUATU YANG BERHUBUNGAN

DENGAN PEMBUKTIAN

A. ARTI HUKUM PEMBUKTIAN

Hukum pembuktian adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah,dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis dipersidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat- syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dengan undang-undang “tidak

cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa

“dibebaskan” dari hukuman sesuai pasal 191 (1) KUHAP yang berbunyi : jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil, pemeriksaan disidang kesalahan terdakwa atas perbuatannya yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang

disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman, yang sesuai dengan Pasal 193 (1) KUHAP yang berbunyi : jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.

(15)

Dalam uraian pembuktian ini, kita akan membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan masalah pembuktian, seperti apa yang dimaksud dengan pembuktian, sistem pembuktian, pembebanan pembuktian dan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang diatur oleh Undang-undang.

B. SUMBER - SUMBER FORMAL HUKUM PEMBUKTIAN

a. undang - undang:

b. doktrin atau pendapat para ahli Hukum; c. yurisprudensi/Putusan Pengadilan

-. Karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, maka sumber hukum yang utama Undang - Undang No. 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor.3209.

-. Apabila didalam praktik menemui kesulitan dalam penerapannya atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.

C. MEMBUKTIKAN

-. Menurut van Bummulen dan Moeljatno, adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang:

a. apakah hal yang tertentu itu sungguh - sungguh terjadi; b. apa sebabnya demikian.

-. Senada dengan hal tersebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

D. ALAT BUKTI

(16)

E. YANG BERHAK MENGAJUKAN ALAT BUKTI

-. Pengajuan alat bukti yang sah menurut undang-undang didalam persidangan dilakukan oleh:

a. penuntut umum dengan tujuan untuk membuktikan dakwaannya

b. terdakwa atau penasihat hukum, jika ada alat bukti yang bersifat meringankan, atau membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

-. Pada dasarnya yang mengajukan alat bukti dalam persidangan adalah penuntut umum (alat bukti yang memberatkan/acharge) dan terdakwa atau penasihat hukum (jika ada alat bukti yang bersifat meringankan/adhecharge)

-. Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Hal ini merupakan jelmaan asas praduga tak bersalah (Pasal 66 KUHAP). Jadi pada prinsipnya yang membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum.

-. Karena hakim dalam proses persidangan pidana bersifat aktif oleh karena itu apa bila dirasa perlu hakim bisa memerintahkan penuntut umum untuk menghadirkan saksi tambahan.

-. Demikian sebaliknya apabila dirasa oleh hakim cukup, hakim bisa menolak alat-alat bukti yang diajukan dengan alasan hakim sudah menganggap tidak perlu, karena sudah cukup meyakinkan. Namun demikian harus diingat bagi hakim, mengajukan alat bukti merupakan hak bagi penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum. Oleh karena itu penolakan pengajuan alat bukti haruslah benar-benar dipertimbangkan dan beralasan.

F. HAL - HAL YANG HARUS DIBUKTIKAN

-. Dasar pemeriksaan persidangan adalah surat dakwaan (untuk perkara biasa) atau catatan dakwaan (untuk perkara singkat) yang berisi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seorang terdakwa pada hari, tanggal, jam serta tempat sebagaimana didakwakan.

-. Oleh karena itu yang dibuktikan dalam persidangan adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yang dianggap melanggar ketentuan tindak pidana.

G. HAL- HAL YANG TIDAK PERLU DIBUKTIKAN

Yang tidak perlu dibuktikan adalah segala sesuatu yang secara umum sudah diketahui (fakta notoir) seperti: mata hari terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk barat,

(17)

H. TUJUAN DAN KEGUNAAN PEMBUKTIAN

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut:

a. bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.

b. bagi terdakwa atau penasihat hukum, pembuktian adalah merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya.Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat - alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.

c. bagi hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/terdakwa dibuat atas dasar untuk membuat keputusan.

J. ARAH PEMERIKSAAN PERSIDANGAN

Dalam pemeriksaan persidangan, majelis hakim setelah memeriksa dan memperhatikan alat - alat bukti yang ada, maka akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

(18)

SISTEM PEMBUKTIAN,

MACAM-MACAM ALAT BUKTI DAN

KEKUATAN PEMBUKTIAN

A. SISTEM PEMBUKTIAN

Adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara - cara bagaimana alat - alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya didepan sidang pengadilan.

1. Di dalam teori dikenal 2 (dua) sistem pembuktian yaitu: a. SISTEM PEMBUKTIAN POSITIF

- Sistem pembuktian positif (positief wetelijk) adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.

- Seorang terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti yang sah.

- Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan.

- Pada pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah yakni yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. - Seorang hakim laksana robot yang menjalankan undang-undang. Namun

demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif. Yaitu menurut cara-caradan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

- Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdara.

b. SISTEM PEMBUKTIAN NEGATIF

- Sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone.

(19)

- Hakim didalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri.

- Jadi didalam sistem negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni:

WETTELIJK : adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

NEGATIEF : adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan

bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. - Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditembah dengan alat

bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan dipersidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan.

2. Setelah dipelajari beberapa sistem pembuktian, dapatlah dicari sistem pembuktian apa yang dianut oleh KUHAP.

- Dalam KUHAP sistem pembuktian diatur dalam Pasal 183 yang berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.”

- Dari Pasal tersebut di atas, putusan hakim haruslah didasarkan pada 2(dua) syarat, yaitu:

a. minimum 2 (dua) alat bukti

b. dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

- Jadi meskipun didalam persidangan telah diajukan dua atau lebih, namun bila hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa tersebut akan dibebaskan.

- Dari yang diuraikan diatas jelaslah bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian negatife wettelijk.

- Minimum pembuktian yakni 2 (dua) alat bukti yang bisa disimpangi dengan 1 (satu) alat bukti untuk pemeriksaan perkara cepat (diatur dalam Pasal 205 sampai Pasal 216 KUHAP). Jadi jelasnya menurut penjelasan Pasal 184 KUHAP, pemeriksaan perkara cepat cukup dibuktikan dengan 1 (satu) alat bukti dan keyakinan hakim.

B. MACAM-MACAM ALAT BUKTI MENURUT UU YANG BERLAKU

1. Alat bukti dahulu diatur dalam Pasal 295 Het Hezelane Inland Reglement( HIR), yang macamnya disebutkan sebagai berikut:

(20)

c. Pengakuan.

d. tanda-tanda (petunjuk).

Yang dianggap sebagai bukti yang syah hanyalah apa yang terdapat dalam pasal 295 HIR, selain dari yang empat macam ini tidak dianggap syah, umpamanya: sangkaan belaka, hasil nujun perdukunann yang lazim dipraktekkan di kampungang-kampung seperti misalnya melihat tanda-tanda dalam sebuah primbon, melihat gambar dikuku yang telah dicat hitam oleh anak kecil, melihat telapak tangan, dan mencocokkan fenomena alam dan sebagainya.

Yang dimaksud kesaksian yaitu keterangan lisan seorang, dimuka sidang pengadilan, dengan disumpah terlebih dahulu, tentang peristiwa tertentu yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan dialami sendiri. Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukan

merupakn kesaksian yang syah, melainkan disebut saksi “ de auditu/testimoni deauditu ”.

Tiap-tiap orang yang tidak dikecualikan dalam Undang-undang wajib memberikan kesaksian, sesuai dengan pasal 80 HIR yang berbunyi ayat 1: pegawai dan Penuntut Umum atau jaksa pembantu yang melakukan pemeriksaan itu menyuruh supaya sitertuduh atau terdakwa dan saksi-saksi yang dianggapnya perlu, datang kepadanya untuk didengarkan keteranaganya.

dan ayat 2 untuk pememeriksaan terdakwa atau tertuduh dia tidak ditahan dan saksi-saksi disuruh panggil, orang-orang yang dipanggil wajib datang kepadanya, dan selain dari itu saksi-saksi wajib memberikan keterangan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kalau orang-orang tersebut itu tidak datang, maka mereka itu dapat disuruh panggilnya sekali lagi dan dalam hal itu dapat dapat disertakannya perintah untuk membawanya, ataupun kemudian dari pada itu diperintakannya akan menjemput dan membawanya.

(21)

dan pasal 224 KUHP, barang siapa sipanggil sebagai saksi, atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidakmemenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya diancam:

1.dalam perkara pidana, pidana penjara paling lama sembilan bulan 2.dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Dan yang dapat dikecualikan sebagai saksi diatur dalam pasal 274. Dengan memperhatikan apa yang ditentukan dalam pasal yang berikut di bawah ini, maka tidak dapat didengar sebagai saksi dan dapat meminta mengundurkan diri sebagai saksi :

1. Keluarga sedarah atau keluarga semenda dalam turunan ke atas atau ke bawah dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan;

2. Suatu atau istri dari pesakitan atau dari salah seorang atau perempuan dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan; lagi pula saudara ibu atau saudara bapa baik laki-laki, maupun perempuan, juga yang karena perkawinan, dan anak saudara laiki-laki dan anak saudara perempuan.

3. Suami atau istri dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan, biarpun telah bercerai;

4. Budak yang telah dibebaskan oleh pesakitan atau dari salah seorang yang serta menjadi tertuduh (Semenjak tahun 1860 perbudakan sudah tidak ada lagi).

Pasal 275. (1) Jika jaksa pada pengadilan negeri dan pesakitan bersama-sama dengan tegas mengizinkan, maka orang-orang yang tersebut pada pasal di atas ini, dapat juga dikabulkan memberi kesaksian asal mereka turut meluluskan.

(2) Orang itu dapat diluluskan oleh pengadilan negeri untuk memberi keterangan dengan tidak bersumpah, biarpun tidak ada izin itu.

Pasal 277. (1) Orang-orang, yang diwajibkan menyimpan rahasia kerena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya yang sah dapat meminta mengundurkan diri dari memberikan kesaksian; akan tetai hanya mengenai hal yang diketahui dan dipercayakan kepadanya itu saja.

Pasal 278. Hanya dapat diperiksa untuk memberi keterangan dengan tidak mengangkat sumpah ;

1. anak-anak, yang belum diketahui dengan pasti apakah umurnya sudah sampai lima belas tahun;

(22)

Keterangan saksi itu harus diberikan dimutidka sidang pengadilan, jadi bukan di muka penyidik Polisi dan Jaksa, kecuali dalam hal tertentu bahwa keterangan orang yang diberikan diatas sumpah dalam pemeriksaan pendahuluan oleh Polisi, Jaksa, KPK, pun dapat dianggap sebagai kesaksian apa bila itu tidak dapat menghadap sidang Pengadilan, karena telah meninggal dunia, atau tidak dipanggil karena bertempat tinggal jauh dan keterangan itu dibacakan dimuka persidangan.

Surat sebagai alat bukti ditentukan dalam pasal 304,305, dan 306 HIR. Pasal 304 menentukan: bahwa peraturan tentang kekuatan bukti surat-surat umum dan surat-surat khusus dalam perkara perdata harus diperhatikan pula terhadap bukti dalam perkara pidana. Surat dapat dibagi dua, surat atau akte otentik : surat yang dibuat dalam bentuk menurut Undang-undang oleh atau disaksikan oleh pejabat umum (Polisi, Jaksa, Notaris atau PPAT, Dokter, Panitra, Juru sita, Camat, Wedana dan lain sebagainya). Yang ditempat surat itu dibuat berkuasa untuk itu seperti yang diatur dalam pasal, 1868-1872 BW : Suatu akte otentik ialah suatu yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh dan dehadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat dan 165 HIR. : Surat (akte) yang syah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau didepan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat dak daripadanya tentang segala hal yang disebut didalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahnya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte) tersebut.

Yang dimaksut dengan “dibuat” dan “disaksikan” artinya bahwa pegawai itu hanya

menyebutkan (menuliskan) saja dalam dalam surat itu hal-hal yang diberitahukan kepadanya oleh orang lain, misanya penyidik Polisi membuat berita acara laporan atau pengaduan atau seorang notaris membuat surat wasiat atau surat perjanjian untuk orang-orang yang menghadap kepadanya.

(23)

disangkal atau palsu oleh salah satu pihak, maka bagi pihak yang menyangkal surat atau menyatakan palsu harus dapat membuktikannya, bahwa tanda tangan atau surat itu tidak palsu.

Surat-surat sebagai bukti, baik otentik maupun bawah tangan misalnya: surat kelahiran, surat nikah, surat ijajah, surat wasiat, surat perjanjian hutang, surat jual beli, surst tanah, surst mobil atau motor, surat muatan, surat neraca, surat kapal, obligasi, visum et repertum, surat keterangan lembaga kriminologi dari Universitas Indonesia, surat dari

laboratorium mabes Polri dan lain sebagainya.

Pasal 305 HIR : keterangan, laporan dan pemberitaan yang diperbuat oleh orang-orang yang mengaku jabatannya, pangkat atau pekerjaannya yang umu, harus berisi pernyataan bahwa mereka memberikanya atau memperbuatkannya atas sumpah ketika menerima jabatan atau kemudian dapat diperkuat dengan sumpah supaya berlakusebagai surat keterangan.

Pasal306 HIR : ayat 1 pemberitaan seorang ahli yang diangkat karena jabatannya untuk menyatakan timbangan dan pendapatnya atau segala hal ihkwal atau keadaan suatu perkara, hanya dapat digunakan sebagai keterangan bagi hakim. Ayat 2 hakim sekali-kali tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat seorang ahli yang diberikan itu, jika pendapat itu bertentangan dengan keyakinannya.

2. Sedangkan dalam KUHAP, macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:

 Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat

d. petunjuk

e. keterangan terdakwa.

3. Sedangkan alat bukti yang diatur oleh Undang-undang tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) No 11 tahaun 2008 yaitu:

a. Alat bukti sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan

(24)

 Matahari terbit diufuk Timur, dan tenggelam dibagian barat, besi yang ditempa itu panas, air limbah mengalir dari atas kebawah, berjalan sebelah kiri, menyalakan lampu kendaraan pada malam hari.

 Bila dibandingkan dengan alat-alat bukti yang tercantum dalam (Pasal 295 HIR), maka alat-alat bukti yang disusun oleh KUHAP lebih banyak jumlahnya dan

susunan yang berlainan. Yaitu dengan ditambahkan alat bukti “keterangan ahli”

dalam HIR, diganti istilahnya dengan “keterangan terdakwa” pada KUHAP.  Ada alat bukti lain, yang disebut “pengetahuan hakim”, yakni alat bukti pada

pemeriksaan tingkat pertama dan terakhir pada Mahkamah Agung, yang disebut forum previlegiatum. Pada zaman republik Indonesia Serikat (RIS), maka forum

itu diadakan, yakni untuk memeriksa dan mengadili para pejabat tinggi, setingkat

dengan Menteri, anggota DPR dan lain sebagainya. Alat bukti “pengetahuan hakim” itu tidak dikenal sebagai alat bukti dilingkungan KUHAP.

4. Alat bukti menurut Undang-undang N0 24 tahun 2003 tentang makamah kositusi pasal 36 ayat 1 yang terdiri dari:

a. Surat atau tulisan b. Keterangan saksi c. Keterangan ahli d. Keterangan para pihak e. Petunjuk

f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpansecara elektronik dengan alat optikatau yang serupa dengan itu.

5. Undang-undang PTUN NO 9 Tahun 2004 yang diatur dalam pasal 100 ayat 1 terdiri dari:

a. surat atau tulisan b. keterangan ahli c. keterangan saksi d. pengakuan para pihak e. pengetahuan hakim.

6. Urutan Alat Bukti yang diatur Undang-undang Makamah Agung

Pada Pasal 78 Undan-undang NO 1 tahun 1950,Undang-undang NO14 tahun 1984 dan Undang-undang NO 5 2004 susunan dan urutan alat bukti ditingkat Mahkamah Agung (sama dengan Pasal 339 Ned Sv yang baru), sebagai berikut:

(25)

- Keterangan saksi (verklaring van de getuige),

- Keterangan orang ahli (verlaring van de deskundige), dan - Surat-surat (schriftelijke bescheiden)

KUHAP tidak meniru ketentuan Undang-undang N0. 1 tahun 1950, atau Nederlans Strafrecht, dan juga HIR, tetapi berupa paduan antara yang lama dan yang baru,

dengan menambah alat bukti “petunjuk” yang tidak diatur dalam Undang-undang N0. 1 tahun 1950 dan Nederlands Strafrecht. KUHAP juga tidak meniru Pasal 295 HIR, yang menyatakan bahwa “segala macam alat bukti dapat dirobohkan dengan

alat bukti penyangkal.”

Menurut R. Tresna, maksud dari Pasal 295 HIR itu tiada lain pernyataan bahwa didalam perkara pidana tiada satu alat buktipun mempunyai kekuatan memaksa hakim, sehingga hakim harus menerima saja bukti itu sebagai hal yang tidak dapat disangkal lagi.

Menurut hemat penulis, Pasal 295 HIR tidak perlu ditiru, sebab pembuktian dalam perkara pidana tidak mengenal adanya bukti penyangkal seperti dalam perkara perdata. Keyakinan hakim dalam beracara pidana memegang peran penting. Biarpun terdapat setumpuk alat bukti diajukan oleh penuntut umum, namun jika hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka tidak ada arti alat bukti yang setumpuk itu diserahkan kepada hakim.

3. Dari urutan-urutan penyebutan alat bukti dapat disimpulkan bahwa pembuktian dalam perkara pidana, lebih dititikberatkan pada keterangan saksi.

4. keterangan ahli merupakan hal yang baru dalam hukum acara pidana Indonesia. Hal ini merupakan pengakuan bahwa dengan adanya kemajuan teknologi, seorang hakim tidak bisa mengetahui segala hal, untuk itu diperlukan bantuan seorang ahli.

Dahulu keterangan ahli hanya sebagai penerang bagi hakim seperti yang diatur dalam Pasal 306 HIR. Hakim sekali-kali tidak diwajibkan untuk meyakini pendapat seorang ahli apabila keyakinan hakim bertentangan dengan pendapat ahli tersebut. 5. Pengakuan Terdakwa

- Pengakuan terdakwa sudah dibuang di dalam KUHAP, diganti dengan keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa mempunyai arti yang lebih luas dari pada pengakuan terdakwa. Dalam keterangan terdakwa dimungkinkan adanya pengakuan dari seorang terdakwa.

(26)

- Dahulu ada pendapat bahwa pengakuan merupakan raja dari segala alat bukti, dengan alas an siapa yang paling tahu suatu perbuatan pidana terjadi kecuali diri terdakwa sendiri.

C. KEKUATAN PEMBUKTIAN

─ Kekuatan dan penilaian alat bukti terdapat dalam Pasal 185 sampai dengan Pasal 189 KUHAP. Kekuatan alat bukti atau juga dapat disebut sebagai efektivitaksi alat bukti terhadap suatu kasus sangat tergantung dari beberapa faktor. Sebut saja faktor itu adalah psiko sosial (kode etika, kualitas sikap penegak hukum, dan hubungan dengan warga masyarakat dan partisipasi masyarakat. Salah satu fungsi hukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia, sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap hukum secara ilmiah.

Suatu sikap tindak atau perilaku hukum dianggap efektif, apabila sikap atau perilaku pihak lain menuju ke satu tujuan yang dikehendaki: artinya apabila pihak lain itu mematuhi hukum. Tetapi kenyataan tidak jarang orang tidak mengacuhkan atau bahkan melanggar dengan terang-terangan, yang berarti orang itu tidak taat pada hukum.

─ Arti kekuatan alat bukti adalah seberapa jauh nilai alat bukti itu masing – masing dalam hukum pembuktian, yang diterangkan oleh:

a. Pasal 185 KUHAP, mengatur penilain keterangan saksi. b. Pasal 186 KUHAP, mengatur penilain keterangan ahli. c. Pasal 187 KUHAP, mengatur penilain surat.

d. Pasal 188 KUHAP, mengatur penilain petunjuk.

e. Pasal 189 KUHAP, mengatur penilain keterangan terdakwa.

─ Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi 2 (dua) golongan:

a. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya yang benarnya atau semestinya demikian.

 Yang dimaksud sesuatu, misalnya: - harga emas lebih mahal dari perak.

- tanah dikota lebih mahal harganya dari pada tanah didesa.  Yang dimaksud dengan peristiwa, misalnya:

- pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia. b. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan

demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya:

- kendaraan yang larinya 100 km/jam, maka kendaraan tersebut akan tidak stabil dan sulit dihentikan seketika.

(27)

ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI

1. PEMANGGILAN DAN PEMERIKSAAN SAKSI-SAKSI 2. Pemanggilan Terhadap Saksi

Menurut Pasal 146 ayat (2) dan Pasal 227 KUHAP:

- Pemanggilan terhadap saksi, dilakukan oleh penuntut umum yang harus memuat tanggal, hari serta jam sidang serta perkara apa ia dipanggil.

- Harus sudah diterima saksi, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum mulai sidang.

- Pemanggilan dilaksanakan ditempat tinggal mereka atau ditempat kediaman terakhir.

- Petugas yang melaksanakan Pemanggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan tersebut telah diterima yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tanda tangan. Bila yang dipanggil tidak mau menandatangani maka petugas harus mencatat.

(28)

- Apabila yang dipanggil tidak terdapat disalah satu tempat sebagaimana dimaksud, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa dan bila diluar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia ditempat dimana orang yang dipanggil biasa berdiam. Bila tidak berhasil surat panggilan ditempelkan ditempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan.

3. Saksi Tidak Mau Hadir di Persidangan

- Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil kesuatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang – undang yang berlaku (penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP).

- Dalam hal saksi tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi tidak akan mau hadir maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan (Pasal 159 ayat (2) KUHAP).

- Perintah menghadapkan saksi dipersidangan tersebut bila perlu dengan pengawalan polisi Negara.

- Pasal 224 KUHP : Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut Undang-undang yang harus dipenuhinya diancam pidana:

1. di dalam perkara pidana maksimum 9 (sembilan) bulan penjara; 2. di dalam perkara perdata maksimum 6 (enam) bulan penjara.

4. Syarat-syarat untuk Menjadi Saksi

a. Pada dasarnya setiap orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi (Pasal 1 butir 26 KUHAP).

b. Namun demikian agar di dalam persidangan bisa didapatkan keterangan saksi yang sejauh mungkin objektif dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa, KUHAP membagi dalam 3 (tiga) golongan pengecualian:

Golongan A:

Tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi (Pasal 168 KUHAP):

 keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa.

(29)

 suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Alasan bagi keluarga untuk tidak dapat didengar sebagai saksi antara lain adalah: - pada umumnya mereka tidak obyektif bila didengar sebagai saksi;

- agar hubungan kekeluargaan mereka tidak retak;

- agar mereka tidak merasa tertekan waktu memberikan keterangan;

- secara moral adalah kurang etis apabila seseorang menerangkan perbuatan yang kurang baik keluarganya.

Golongan B

Golongan saksi yang dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan (Pasal 170 KUHAP):

- mereka yang karena pekerjaannya atau harkat martabatnya atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yaitu tentang hal yang dipercayakan kepadanya dan hal tersebut haruslah diatur oleh peraturan perundang-undangan;

- agar jika tidak ada ketentuan yang mengatur jabatan atau pekerjaannya, maka hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.

1. Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan, misalnya adalah dokter, apoteker, Notaries atau PPAT.

2. orang yang terkena harkat dan martabatnya, misalnya adalah pastor.

3. orang yang terkena jabatannya, misalnya adalah banker terhadap keuangan nasabahnya.

Golongan C

Golongan saksi yang boleh diperiksa tanpa sumpah (Pasal 171 KUHAP): - anak yang umurnya belum 15 (lima belas) tahun atau belum pernah kawin

- orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

1. Terhadap orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa sangat berbahaya untuk diperiksa sebagai saksi. Karena menurut KUHP, orang-orang seperti itu tidak bisa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Oleh karena itu sebaiknya jangan mengajukan saksi orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa.

2. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 29 KUHAP).

(30)

a. absolute onbevoegd, yaitu mutlak tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi karena umurnya masih muda atau sakit ingatan.

b. relatief onbevoegd, yaitu orang-orang yang bisa mengundurkan diri sebagai saksi.

4. Tata Cara Memeriksa Saksi

a. mencegah jangan sampai saksi berhubungan dengan yang lain sebelum memberi keterangan dipersidangan (Pasal 159 ayat (1) KUHAP).

ketentuan ini bermaksud agar para saksi tidak mempengaruhi dan saling menyesuaikan didalam memberikan keterangan.

b. - Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang, setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum (Pasal 160 ayat 1 huruf a KUHAP).

- Yang didengar pertama-tama adalah saksi korban (Pasal 160 ayat 1 huruf b KUHAP).

c. Hakim ketua menanyakan identitas saksi yakni nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan (Pasal 160 ayat 2 KUHAP). Maksud dan ketentuan ini adalah agar saksi tersebut tidak keliru dengan orang lain.

d. Apakah saksi tersebut kenal dengan terdakwa sebelum atau sesudah melakukan perbuatan yang didakwakan serta apakah berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa (Pasal 160 ayat 2 KUHAP).

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas adalah untuk mengetahui, apakah saksi tersebut bisa didengar keterangannya sehubungan dengan ketentuan Pasal 168 dan Pasal 169 KUHAP.

e. Sebelum memberi keterangan saksi wajib bersumpah atau berjanji menurut cara agamanya masing-masing (Pasal 160 ayat 3 KUHAP).

f. - Segala kejadian di sidang dicatat dalam berita acara. Berita Acara tersebut memuat hal-hal yang penting dari keterangan saksi, kecuali oleh hakim ketua cukup menunjuk kepada keterangan pemeriksaan penyidikan.

- Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim, ketua sidang wajib memerintahkan supaya dibuat catatan khusus tentang suatu keadaan atau keterangan.

(31)

5. Sumpah Saksi

a. Bunyi sumpah saksi adalah bahwa ia sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada sebenarnya (Pasal 160 ayat 3 KUHAP). b. Sumpah saksi bisa diberikan sebelum saksi memberikan keterangan (Promissoris)

atau sesudah saksi memberikan keterangan baru dikuatkan dengan sumpah sumpah (assertoris). Demikian bunyi Pasal 160 ayat 3, 4 KUHAP.

c. Sumpah bagi seorang saksi sebenarnya untuk mendorong atau memotivasi seorang saksi untuk berkata benar. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan penyumpahan sebelum seorang saksi memberikan keterangan.

d. Bagi seorang yang agamanya tidak memperbolehkan bersumpah, sumpah tersebut diganti dengan berjanji (Staatsblad 1920 Nomor 69 Pasal 5).

e. Keterangan saksi yang diberikan dibawah sumpah atau janji merupakan alat bukti. Jika keterangan tersebut diberikan tanpa mengucapkan sumpah atau janji bukan merupakan alat bukti, tetapi hanya merupakan keterangan saja yang menguatkan keyakinan hakim.

f. Pengucapan sumpah atau janji bisa dilakukan di luar sidang dan hakim dapat menunda pemeriksaan atas saksi tersebut. Pengucapan sumpah atau janji tersebut dihadiri panitera dengan pembuatan berita acara (Pasal 223 KUHAP).

6. Saksi Tidak Mau Bersumpah

- Terhadap saksi yang tidak mau bersumpah atau berjanji tanpa alasan, pemeriksaan tetap dilakukan.

- Terhadap saksi tersebut bisa dilakukan penyanderaan di dalam Rumah Tahanan Negara (rutan) yang paling lama 14 (empat belas) hari berdasarkan penetapan ketua majelis hakim.

- Apabila waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lampau, maka keterangan yang diberikan merupakan keterangan saja, yang menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 KUHAP dalam hal saksi atau ahli tampa alasan yang sah menolak untu disumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 ayat 3 dan ayat 4 maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang pengadilan dapat dikenakan sandera ditempat rumah tahanan negara paling lama 14 hari kurungan.

(32)

a. - Penuntut umum atau penasihat hukum boleh bertanya kepada para saksi dengan perantaraan hakim ketua sidang.

- Hakim ketua sidang bisa menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya. (Pasal 164 KUHAP). - Dalam praktek baik penuntut umum atau penasihat hukum boleh bertanya kepada saksi secara langsung. Apabila pertanyaan tersebut tidak relevan, hakim ketua baru memperingatkan untuk tidak bertanya seperti itu.

b. - Urutan-urutan yang memberikan pertanyaan adalah hakim ketua sidang dan anggota, penuntut umum baru penasihat hukum atau terdakwa. (Pasal 165 KUHAP). Martiman Prodjohamidjojo menyatakan bahwa hakim tidak boleh mengambil oper tugas dan kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Karena dalam KUHAP menganut sistem yang membuat surat dakwaan adalah penuntut umum. Oleh karena itu yang harus membuktikan adalah penuntut umum. Karena itu urutan-urutan yang mengajukan pertanyaan adalah penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, baru majelis hakim.

8. Pertanyaan-Pertanyaan Yang Dilarang Diajukan Kepada Saksi

- Dalam ketentuan Pasal 166 KUHAP, disebutkan bahwa pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada saksi.

- Pertanyaan yang bersifat menjerat adalah pertanyaan mengenai suatu perbuatan atau tindak pidana yang tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah dinyatakan oleh saksi.

- Ketentuan ini mencerminkan bahwa keterangan saksi harus diberikan secara bebas dipersidangan di semua tingkat pemeriksaan (Penjelasan Pasal 166 KUHAP). - Contoh pertanyaan yang menjerat kepada saksi:

 Jadi terdakwa ini yang mengambil uang saudara?

padahal saksi tidak menyatakan bahwa terdakwa yang mengambil uangnya, karena waktu itu ia sedang bepergian (tidak berada ditempat).

 - sebenarnya yang seharusnya dilarang tidak hanya pertanyaan yang bersifat menjerat saja, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan:

 bersifat mengarahkan  memberikan alternative

 menyebut kualifikasi yang didakwakan.

(33)

 Yang dilakukan terdakwa kepada saksi B apakah memukul?

Seharusnya bunyi pertanyaannya adalah, apa yang dilakukan terdakwa kepada saksi B?

-. Contoh pertanyaan yang menyebut kualifikasi.  Siapakah yang membunuh A?

 Siapakah yang mencuri uang saudara?

Membunuh dan mencuri merupakan hal yang harus dibuktikan. Jadi pertanyaan kepada saksi harus mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa, sehingga jawabnya misalnya menikam atau mengambil.

9. Keterangan Yang Diberikan Oleh Saksi Harus Bersifat Bebas

- Dalam pemeriksaan perkara pidana R.SOESILO,. Saksi merupakan kawan penting bagi polisi, jaksa dan hakim. Karena itu sudah sewajarnya mereka mendapat perlakuan yang layak, kecuali bila ada alasan-alasan untuk tidak bersikap demikian. Tiap-tiap saksi mempunyai alasan-alasan sendiri untuk memberi keterangan atau tidak. Kepada mereka masing-masing pemeriksa harus mengambil sikap berlainan yang setimpal.

- Saksi didalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan haruslah bebas (Pasal 153 ayat (2) huruf b KUHAP).

- Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh mengadakan tekanan bagaimanapun bentuknya, lebih-lebih didalam persidangan. Tekanan tersebut misalnya ancaman dan sebagainya menyebabkan saksi menerangkan hal yang berlainan dari pada hal yang dianggap sebagai pernyataan yang bebas (penjelasan Pasal 166 KUHAP).

- Pemeriksaan oleh penuntut umum sudah tidak dikenal lagi dalam sistem KUHAP, karena penuntut umum sudah tidak berwenang lagi melakukan penyidikan lanjutan. Dulu dalam RUU-HAP memang ada ketentuan yang menyatakan penuntut umum bisa melakukan penyidikan lanjutan. Rupanya ketika dibahas di DPR-RI, penjelasan Pasal 166 KUHAP lupa disesuaikan. - Apabila dirasa saksi memberi keterangan akan merasa tertekan dengan kehadiran

saksi lainnya, maka saksi yang lain tersebut bisa dikeluarkan dari ruang sidang (Pasal 172 KUHAP).

- Demikian bila saksi merasa tertekan dengan kehadiran terdakwa, maka terdakwa tersebut dikeluarkan dari ruang sidang. Pemeriksaan tersebut baru boleh dilanjutkan, bila keterangan saksi tersebut diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 173 KUHAP). Maksud ketentuan tersebut, agar terdakwa bisa memberikan tanggapan.

(34)

- Setiap saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya (Pasal 164 ayat 1 KUHAP).

- Tidak ada ketentuan yang mengharuskan terdakwa untuk membenarkan keterangan saksi, oleh karena itu terdakwa boleh membantah.

- Bahkan untuk itu terdakwa barhak mengajukan saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka (Pasal 165 ayat 4 KUHAP).

- Dengan demikian baik saksi yang meringankan (a decharge) atau yang memberatkan (a charge) bagi terdakwa, yang mencantumkan dalam surat pelimpahan perkara dan yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum bisa dihadirkan. Hakim berkewajiban untuk mendengarkan saksi tersebut. (Pasal 160 ayat 1 huruf c KUHAP).

Mengenai pengajuan saksi ada SEMA Nomor 2 Tahun 1985 yang menyatakan Mahkamah Agung berpendapat tanpa mengurangi kewenangan hakim dalam menentukan jumlah saksi-saksi mana yang dipanggil untuk hadir di sidang pengadilan, juga terdakwa atau penasihat hukum untuk kepentingan pembelaannya, hendaknya hakim menseleksi secara bijaksana terhadap saksi untuk hadir dipersidangan. Karena tidak ada keharusan hakim untuk memeriksa seluruh saksi yang ada dalam berkas perkara.

11. Keterangan Saksi Berbeda Dengan Berita Acara Penyidikan

- Keterangan saksi yang diberikan di depan penyidik sebagaimana terdapat dalam berita acara penyidikan (berkas perkara) merupakan pedoman dalam pemeriksaan sidang.

- Jika terangan saksi di dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada dalam berkas perkara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta meinta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan (Pasal 163 KUHAP).

- Namun harus diingat bahwa perbedaan keterangan saksi tersebut harus disertai alasan yang bisa diterima. Apabila bisa diterima baru bisa dicatat dalam berita acara persidangan. Namun apabila tidak bisa diterima akal, tentu saja pencabutan keterangan saksi tersebut harus ditolak.

12. Saksi Tidak Hadir Dalam Sidang Dengan Alasan Yang sah a. Saksi yang tidak bisa hadir di dalam sidang dengan alasan:

- meninggal dunia

- karena berhalangan yang sah

(35)

- karena tugas negara

maka keterangan yang telah diberikan di dalam pemeriksaan penyidikan dibacakan (Pasal 162 ayat 1 KUHAP).

b. keterangan saksi yang dibacakan tersebut sama nilainya dengan keterangan saksi yang tidak dibawah sumpah atau janji.

c. Jika keterangan saksi tersebut diberikan di muka penyidik dengan mengucapkan sumpah atau janji maka nilainya sama dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diberikan dalam sidang (Pasal 162 ayat 2 KUHAP).

13. Keterangan Saksi Palsu a. Menurut Pasal 174 KUHAP

- Apabila keterangan saksi yang diberikan dipersidangan disangka palsu, ketua majelis hakim memperingatkan pada saksi bahwa saksi bisa diancam dengan Pasal 242 ayat 1 KUHP: barang siapa dalm keadaan dimana Undang-undang menentukan supaya memberikan keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengansengaja memberikan keteranagan palsu diatas sumpah, baik dengan lisan atau tertulis, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

- Apabila saksi tetap dalam keterangannya, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut dengan dakwaan saksi palsu.

- panitera segera membuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditanda tangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang.

- jika perlu hakim ketua sidang bisa menangguhkan persidangan perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.

b. Bahwa keterangan saksi yang diberikan tersebut tidak hanya sekedar berbohong, akan tetapi keterangan saksi tersebut haruslah justru bertentangan dengan yang diterangkan mengenai fakta-fakta yang terjadi.

(36)

d. Sehubungan dengan hal tersebut di atas timbul dua permasalahan yakni:

- siapakah yang diserahi tugas melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang disangka telah memberikan keterangan palsu, mengingat perkara tersebut adalah perkara baru

- siapakah yang berwenang untuk melakukan penahanan atas perintah hakim tersebut.

e. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP dikemukakan jalan keluar sebagai berikut: - saksi yang telah disangka memberikan keterangan palsu sebelumnya sudah

diperiksa oleh penyidik. Jika penuntut umum menganggap perlu dilakukan pemeriksaan dapat dilakukan melalui penyidik, akan tetapi jika penuntut umum berpendapat tidak perlu dilakukan pemeriksaan, maka langsung perkara tersebut diajukan ke sidang pengadilan atas dasar berita acara sidang yang ditandatangani hakim ketua sidang dan panitera. Perkara tersebut bila diajukan dengan acara singkat atau acara biasa.

- sebaiknya yang melakukan penahanan terhadap saksi yang memberikan keterangan palsu adalah hakim ketua sidang dengan mengeluarkan penetapan penahanan.

A. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI 1. Bunyi Pasal 185 KUHAP

(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan.

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

(6) Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan.

(37)

c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu;

d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

2. Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti

Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan yang bertitik berat sebagai alat bukti ditujukan kepada permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian. Syarat sahnya keteranagn saksi, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkra pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi,”the degree of evidence”keterangan saksi, mempunyai nilai kekuatan pembuktian. (Pasal 185 ayat 1 KUHAP).

a. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP maka yang harus diterangkan dalam sidang adalah:

 apa yang saksi lihat sendiri;  apa yang saksi dengar sendiri;  apa yang saksi alami sendiri.

dengan menyebut alasan mengapa saksi dapat melihat, mendengar dan mengalami hal itu.

b.- Keterangan saksi didepan penyidik, bukan keterangan saksi, jadi bukan merupakan alat bukti. Keterangan saksi didepan penyidik hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara dalam sidang.

- Apabila berbeda antara keterangan yang diberikan di depan penyidik dengan yang diberikan di depan sidang, hakim wajib menanyakan dengan sungguh-sungguh dan di catat (Pasal 163 KUHAP)

3. Asas Unnus Testis Nullus Testis

(38)

keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.

b. Asas Unnus Testis, nullus testis tersebut dapat disimpangi berdasarkan Pasal 185 ayat 3 KUHAP, yang menyatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang sah.

c. Berdasarkan tafsir, acontrario keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti lain, misalnya:

- satu keterangan saksi ditambah keterangan terdakwa. - satu keterangan saksi ditambah satu alat bukti surat.

d. Mengenai ketentuan “satu saksi bukanlah saksi”, menurut Mr.Modderman dalam

bukunya “De wettelijk bewijsleer instrafzakenA.Karim Nasution, mengemukakan bahwa inti sebenarnya dari aturan tersebut bukanlah terletak pada angkanya, karena tidaklah ada suatu alasan untuk mengatakan bahwa keterangan seorang saksi kurang dipercaya kejujurannya, dibandingkan dengan keterangan dua orang saksi, tapi alasannya adalah bahwa dengan keterangan seorang saksi saja, maka kemungkinan untuk mengadakan pengecekan timbal balik antara alat-alat bukti akan tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu untuk pembuktian yang sah diperlukan sekurang-kurangnya dua kesaksian, untuk dapat menghukum atas dasar dua kesaksian tidaklah diisyaratkan bahwa harus ada persesuaian tertentu antara kedua kesaksian tersebut, tetapi yang penting terdapat titik pertemuan antara satu sama lain.

4. Penilaian Dari Keterangan Saksi

a. Penilaian terhadap keterangan yang diberikan oleh seorang saksi adalah bebas, artinya seorang hakim bebas untuk menerima atau menolak isi keterangan seorang saksi yang diberikan di Persidangan.

b. Keadaan tersebut ada benarnya, karena seringkali seorang saksi di dalam menerangkan dilandasi suatu motivasi tertentu.

c. Ada ketentuan yang harus diperhatikan oleh hakim di dalam menilai keterangan seorang saksi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan saksi secara bebas, jujur dan obyektif.

Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 185 ayat 6 KUHAP. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus bersungguh-sungguh memperhatikan

(39)

─ persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain

─ alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan

tertentu.

─ cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

5. Saksi Tanpa Sumpah

a. Agar keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian, pada prinsipnya harus memenuhi syarat:

─ saksi hadir dalam persidangan; ─ saksi harus bersumpah;

─ saksi tersebut menerangkan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia

alami dengan menyebutkan dasar pengetahuannya.

b. Dalam Pasal 185 ayat 7 KUHAP disebutkan, bahwa keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

c. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 185 ayat 7 KUHAP, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa keterangan saksi dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Keterangan saksi yang disumpah. 2. Keterangan saksi yang tidak disumpah.

d. Keterangan saksi, baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apabila dinyatakan saksi yang sebelumnya disumpah/berjanji atau dikuatkan oleh sumpah/janji.

e. Keterangan saksi yang tidak disumpah, bisa terjadi karena:

─ saksi menolak untuk bersumpah atau berjanji dan dalam waktu penyanderaan telah lampau, saksi tersebut tetap tidak mau bersumpah (Pasal 161 KUHAP).

─ berita acara pemeriksaan saksi yang dibacakan di sidang, karena saksi tersebut tidak bisa dihadirkan

dan waktu pemeriksaan penyidikan tidak disumpah (Pasal 162 KUHAP).

─ saksi yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan yang memberikan keterangan tanpa sumpah (Pasal 169 ayat 2 KUHAP).

─ anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. (Pasal 171 KUHAP)

Referensi

Dokumen terkait

peran jaksa dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, Suryawan menekankan pada peran jaksa dalam pemberantasan

1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal

Kemudian Pasal 91 (1) KUHAP menyatakan: (1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada penelitian ini, penulis mencoba untuk mengkaji lebih jauh mengenai pengembalian aset negara melalui gugatan perdata dalam

Penjelasan ketentuan ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketentuan tertentu adalah pemberatan kepada pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan

(1) Selain perlindungan yang dimaksud dalam Pasal 5, Pelapor Pelaku berhak mendapatkan penanganan secara khusus dan penghargaan atas tindak pidana yang diungkap atau atas tindak

Pada hakikatnya pengembalian harta kekayaan merupakan suatu sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, menyita,

Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara” dalam Pasal 2 ayat 1 tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu delik formil yaitu adanya tindak pidana