SKRIPSI
KETERLIBATAN NATO DALAM OPERASI MILITER
YANG DIPIMPIN OLEH AMERIKA SERIKAT DI
AFGHANISTAN MASA PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH
Oleh:
YEYEN MAGREYENI SINAPA
106083003762
HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KETERLIBATAN NATO DALAM OPERASI MILITER YANG DIPIMPIN OLEH AMERIKA SERIKAT DI AFGHANISTAN MASA
PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ilmu Sosial
Oleh: Yeyen Magreyeni Sinapa 106083003762
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “KETERLIBATAN NATO DALAM OPERASI
MILITER YANG DIPIMPIN OLEH AMERIKA SERIKAT DI
AFGHANISTAN MASA PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH” telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 6 Maret 2012. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.sos) Program Strata 1 (S1) Jurusan
Hubungan Internasional.
iv ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis keterlibatan NATO dalam invasi Amerika Serikat di Afghanistan masa pemerintahan George W. Bush. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keterlibatan NATO dalam operasi militer yang dipimpin oleh Amerika di Afghanistan serta untuk mengetahui efektifitas peran NATO dalam operasi militer yang dipimpin oleh Amerika Serikat di Afghanistan. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Peneliti menemukan bahwa keterlibatan NATO di Afghanistan dengan melakukan operasi militer di berbagai daerah di Afghanistan belum menunjukan kemampuan NATO untuk membantu Afghanistan menyelesaikan problematika yang terjadi di dalam negerinya. Ketidakefektifan tersebut disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah belum berpengalamannya NATO dalam melakukan peran organisasinya diluar kawasan Eropa. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan belum secara efektif menyentuh akar masalah yang ada di Afghanistan.
Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah organisasi internasional. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan mendeskripsikan intervensi yang dilakukan oleh NATO di Afghanistan selama masa pemerintahan George W. Bush.
v KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Keterlibatan NATO Dalam Operasi Militer yang Dipimpin Oleh
Amerika Serikat di Afghanistan Masa Pemerintahan George W. Bush." Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Bahtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua program studi Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Agus Nilmada Azmi, S.Ag, MSi., sebagai Sekretaris program studi Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Adian Firnas M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis. yang telah
memberikan arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat
vi
5. Nazaruddin Nasution, SH, M.A., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis.
6. Bapak/Ibu Dosen program studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Imu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan
tugasnya sebagai mahasiwi.
7. Yang tercinta Kakek dan Nenek, Taharudin (alm) & Ratna beserta kedua orang tua
Ayahanda Al Fauzi Zans dan Ibunda Anita Warti yang telah memberikan
dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama penulis menuntut
ilmu.
8. Kakak-kakak dari penulis, Riza, Arny, Firman yang memberikan dukungan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat terbaik penulis; Maya Damayanti, Mawar Meirizka Ramdhani,
Nurhasanah, Siti Alfiyah, Siti Hasanawati, Tulus Mira Solikah . Terima kasih atas
persahabatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis dalam proses
pembuatan skripsi ini .
10. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis di HI; Rosy Kamalia, Lilis Widyasari, Iyul
Yanti, yang telah sama-sama berjuang, membantu dan memberikan berbagai
vii
11. Teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi program studi Hubungan Internasional kelas
B dan A angkatan 2006 dan seluruh teman-teman Mahasiswa program studi
Hubungan Internasional.
12. Teman-teman KKN Garut/ Laskar Bintang 2009 terima kasih atas dukungan yang
telah diberikan selama proses pembuatan skripsi ini.
Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun
tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih. Semoga dengan segala bantuan
yang tidak ternilai harganya ini mendapat imbalan di sisi Allah SWT sebagai amal
ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depan.
Jakarta, 19 Desember 2011
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI...iv
KATA PENGANTAR ...v
DAFTAR
ISI...viiDAFTAR
SINGKATAN ... ix BAB I PENDAHULUAN 1. LatarBelakang Masalah ... 12. Pertanyaan Penelitian ... 5
3. Tujuan Penelitian... 5
4. Tinjauan Pustaka... 5
5. Kerangka Pemikiran ... 8
5.1.Organisasi Internasional ... 8
5.2.Keamanan Kolektif ... 11
5.3.Aliansi ... 13
6. Metoda Penelitian ... 14
7. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II STRATEGI NATO PASCA PERANG DINGIN 1. Sejarah Terbentuknya NATO ... 18
2. Struktur Sipil dan Militer NATO 2.1. Struktur Sipil NATO ... 22
3. Konsep Strategi Keamanan NATO Masa Perang Dingin ... 28
4. Konsep Strategi Keamanan NATO Pasca PerangDingin...30
BAB III KETERLIBATAN NATO DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT DI AFGHANISTAN MASA PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH 1. Kemitraan Startegis Amerika Serikat dan NATO... 36
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi keterlibatan NATO Dalam Invasi Amerika Serikat di Afghanistan Masa Pemerintahan George W. Bush... 40
Faktor internal 1. Artikel 5 North Atlantic Treaty... 40
Faktor Eksternal 1. Ancaman Terorisme ... 43
2. Mandat Dewan Keamanan PBB... 45
3. Pemerintahan Taliban... 47
3. Intervensi Militer NATO di Afghanistan... 50
4. Efektivitas Peran NATO Dalam Operasi Militer yang dipimpin Oleh Amerika Serikat Di Afghanistan Masa Pemerintahn George W. Bush ...63
BAB IV KESIMPULAN 1. Kesimpulan ... 66
2. Saran... 68
DAFTAR SINGKATAN
ARRC :Allied Command Europe Rapid Reaction Force
CJTF :Combine Task Force
DPC :Defence Planning Committee
ESDI :European Security and Defence Identity
IFOR :Implementation Force
ISAF :International Security Assistance Force
MC :Military Committee
NAC :North Atlantic Council
NACC :North Atlantic Cooperation Council
NATO :North Atlantic Treaty Organisation
NPG :Nuclear Planning Group
NSC :NATO’s Strategi Concept
OSCE :The Organization for Security and Cooperation in Europe
PfP :Partnership for Peace
PBB :Perserikatan Bangsa-Bangsa
SAC :Supreme Allied Commanders
SACEUR :Supreme Allied Commander Europe
SFOR :Stabilitation Force
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aliansi adalah bentuk kerjasama keamanan dalam bentuk formal atau informal yang terdiri dari dua atau lebih anggota negara yang berdaulat.1 Aliansi muncul
sebagai akibat adanya perasaan tidak aman masing-masing negara terhadap ancaman dari negara lain, sehingga keinginan untuk membentuk kekuatan
bersama diantara beberapa negara untuk membendung ancaman maupun mempertahankan diri menjadi solusi. Sebagai salah satu contoh aliansi adalah NATO, yang juga berperan sebagai suatu organisasi internasional. NATO
merupakan aliansi yang dibentuk Amerika Serikat bersama dengan 12 negara-negara Eropa Barat (Belanda, Belgia, Denmark, Inggris, Italia, Islandia,
Luxemberg, Norwegia, Prancis, dan Portugal) pada masa Perang Dingin tahun 1949 yang bertujuan untuk membendung sikap ekspansif (bebas) Uni Soviet.2
Pada tahun 1991 Uni Soviet runtuh dan Pakta Warsawa dibubarkan, menandai
hancurnya Blok Timur dan sekaligus berakhirnya Perang Dingin. Konsekuensinya, tugas NATO seharusnya berakhir. Namun, Amerika Serikat
sebagai pemimpin NATO terus mempertahankan aliansi tersebut yaitu dengan cara melakukan langkah adaptasi terhadap strategi keamanannya, dengan tetap kepada fungsi utamanya, memberikan jaminan keamanan bagi anggotanya.
Perubahan strategi NATO dimulai dengan diadopsinya NATO’s Strategi Concept
1
Irwanda Anastasia, Kebijakan Keamanan NATO Dalam Konflik Kosovo: Tinjauan Intervensi Militer NATO Dalam Konflik Kosovo(1998-1999), Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2001, h. 16-17.
2
(NSC) dan Declaration and Peace and Cooperation pada pertemuan para kepala
pemerintah dan negara NATO di Roma Bulan November 1991. NSC merupakan bentuk upaya NATO mengatasi masalah irrelevance dilemma (tidak lagi adanya ancaman monothic massive and simoultaneous attack Pakta Warsawa) yang
dihadapi NATO, melalui perlunya peningkatan kegiatan NATO yang lebih luas melalui strategi out of area.3 Strategi out of area tersebut mendasari perlunya
perluasan aktifitas NATO di luar kawasan dalam menghadapi perkembangan yang terjadi di negara-negara tersebut melalui operasi di luar kawasan (menjaga
perdamaian/peacekeeping) dan formulasi baru dalam hubungannya dengan
negara-negara bekas anggota Pakta Warsawa tersebut.
Selain merubah strategi keamanannya, para anggota NATO juga berusaha mencari ”peran baru” untuk NATO. Maka, pada tahun 1999 dalam KTT
Washington para anggota NATO menetapkan bahwa peran baru bagi NATO tersebut adalah memerangi ancaman seperti terorisme dan proliferasi senjata nuklir.4 Akan tetapi, ancaman-ancaman tersebut kurang mendapat perhatian dari
para anggota NATO dikarenakan tidak adanya ancaman terorisme dan proliferasi senjata nuklir yang terlalu mengancam keamanan wilayah Atlantik Utara.
Serangan terorisme di wilayah Atlantik utara baru terjadi pada tahun 2001, tepatnya pada hari selasa, 11 September 2001, di Amerika Serikat, dimana pada
saat itu para teroris berhasil membajak pesawat Boeing 767 milik maskapai American Airlines dan kemudian menghantamkannya ke menara utara gedung World Trade Center di New York City serta pesawat ketiga yang menabrak
Gedung Putih Pentagon sedangkan pesawat ke empat yang berniat menabrak
3
Ibid, h. 44. 4
Gedung Washington D.C. jatuh lebih dulu di Sommerset County, Pennsylvania,
setelah aksinya di gagalkan oleh para penumpangnya. 5
Akibat serangan teroris tersebut, Jumlah korban seluruhnya mencapai lebih dari 3000 jiwa, termasuk 19 orang pembajak keempat penerbangan sipil yang
digunakan dalam serangan tersebut, dilaporkan, 2.829 jiwa tewas di WTC, termasuk para penumpang American Airlines Flight 11 dan United Airlines Flight
175, serta 453 petugas keamanan masyarakat yang menangani keadaan darurat tersebut, di mana para korban yang tewas berasal dari 90 negara di seluruh dunia.
Sedangkan jumlah korban tewas di Pentagon mencapai 189 jiwa, termasuk 64 orang dalam pesawat American Airlines Flight 77. Sedangkan 44 orang lainnya tewas ketika United Airlines Flight 93 jatuh di Pennsylvania Barat. 6
Dahsyatnya bencana yang ditimbulkan akibat serangan 11 September tersebut, telah menghantui kredibilitas pemerintahan George W. Bush. Oleh karena itu,
beberapa saat setelah serangan terjadi, Bush langsung menuduh kelompok Al Qaedah pimpinan Osama bin Laden sebagai tersangka utama dalam serangan 11 September.7 Selain itu, Amerika Serikat juga melancarkan tuduhannya kepada
Afghanistan, karena negara ini oleh Amerika Serikat dianggap telah memberikan perlindungan kepada Osama Bin Laden. Sebelum terjadinya serangan 11
September, Amerika Serikat memang telah mengidentifikasi pemerintah Taliban di Afghanistan sebagai pelindung dan pendukung Al Qaedah.8 Maka, ketika Taliban menolak menyerahkan Al Qaedah terkait dengan tragedi 11 September,
5Rahmi Fitriyanti, “
Kajian Mengenai legalitas Formal Use Of Force Amerika Serikat terhadap Afghanistan,” Orbit: Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 1 No.1, Jakarta: Pusat Kajian Hubungan Intenasional, UIN, Januari 2008, h. 66.
Amerika Serikat lalu memutuskan untuk sekaligus menyerang pemerintah Taliban
dan gerakan Al Qaedah. Dalam penyerangannya ke Afghanistan Amerika Serikat merasa perlu memobilisasikan dukungan dari berbagai negara seperti dari Cina, Rusia, termasuk dari NATO.
Sebagai pimpinan NATO, Amerika Serikat yang pada saat itu dipimpin oleh George W. Bush, meminta kepada Sekretaris Jenderal NATO yaitu Lord
Robertson dan seluruh anggota NATO untuk bersedia ikut dalam invasi yang akan dilakukan oleh Amerika Serikat di Afghanistan pada tanggal 07 Oktober 2001.
Namun, dari pihak NATO hanya Inggris saja yang langsung menyetujui permintaan Amerika Serikat tersebut sedangkan anggota NATO yang lain tidak langsung menyetujui karena para anggota NATO ingin memastikan terlebih
dahulu apakah serangan tersebut benar berasal dari luar negeri atau bukan. Setelah melakukan penyelidikan, akhirnya pada tanggal 4 Oktober 2001, Dewan NATO
menyatakan bahwa serangan yang dilakukan pada tanggal 11 September tersebut benar berasal dari luar negeri yang dilakukan oleh Osama bin Laden bersama dengan kelompok teroris pimpinannya yaitu Al Qaeda dan pada saat itu juga
NATO merespon ajakan untuk ikut dalam inavasi Amerika Seriakt di Afghanistan.
Afghanistan sendiri adalah negara ketiga untuk NATO melaksanakan strategi out areanya setelah sebelumnya pernah dilakukan di Bosnia dan Kosovo dan juga
sekaligus menjadi negara pertama untuk NATO melaksanakan peran barunya
memerangi ancaman terorisme.
NATO Dalam Operasi Militer yang Dipimpin oleh Amerika Serikat di
Afghanistan Masa Pemerintahan George W. Bush.
2. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan mendasar yang menjadi acuan penelitian ini adalah:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi keterlibatan NATO dalam operasi militer yang dipimpin oleh Amerika Serikat di
Afghanistan masa pemerintahan George W. Bush?
2. Apakah keterlibatan NATO dalam operasi militer yang dipimpin oleh
Amerika Serikat di Afghanistan sudah berjalan dengan efektif?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan antara lain:
1. untuk mengetahui dan menganalisis keterlibatan NATO dalam Invasi Amerika Serikat ke Afganistan masa Pemerintahan George W. Bush
2. untuk memahami faktor-faktor yang mendorong NATO melibatkan diri dalam invasi Amerika Serikat ke Afghanistan.
3. untuk mengetahui efektivitas peran NATO dalam Invasi Amerika
Serikat ke Afganistan masa Pemerintahan George W. Bush
4. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian sudah dilakukan seputar masalah ketelibatan NATO di Afghanistan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Vincent Morelli dan Paul Belkin dengan judul “NATO in Afghanistan: A Test of the Transatlantic
beroperasi diluar kawasan Eropa untuk memerangi ancaman yang muncul seperti
terorisme dan proliferasi senjata nuklir.
Ancaman seperti terorisme sendiri baru terjadi pada tahun 2001, tepatnya di dua gedung penting milik Amerika Serikat yaitu gedung World Trade Center dan
Pentagon. Akibat serangan terorisme tersebut, pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk menyerang Afghanistan dikarenakan pemerintah negara
tersebut yaitu Taliban dianggap telah menyembunyikan Osama Bin laden. Dengan meminta bantuan sekutunya yaitu NATO, akhirnya pada tanggal 7 Oktober 2001
Amerika Serikat menyerang Afghanistan. Bagi NATO, Afghanistan adalah negara pertama baginya untuk melaksanakan peran barunya memerangi terorisme dan juga dijadikan sebagai tes aliansi politik dan uji kemampuan militer para pasukan
NATO.9 Di tahun 2003, setelah dua tahun berada di Afghanistan atas permintaan PBB dan Pemerintah Republik Islam Afghanistan NATO mengambil alih
pimpinan ISAF (International Security Assistance Force). ISAF di bawah kepemimpinan NATO berlangsung dalam empat tahap. Tahap pertama tahun 2003-2004 ISAF di bawah pimpinan NATO pindah ke bagian utara Afghanistan,
yang di dominasi oleh pasukan Perancis dan Jerman. Tahap kedua dimulai pada Mei 2005, ISAF di bawah pimpinan NATO pindah ke bagian barat Afghanistan,
yang di dominasi oleh pasukan Italia dan Spanyol. Tahap ke tiga yang berlangsung pada tanggal 31 Juli 2006 ISAF pindah ke bagian selatan Afghanistan yang merupakan markas dari Taliban. Tahap ke empat dimulai pada
5 Oktober 2006, dalam tahap ini Amerika Serikat mengirimkan 10.000 sampai 12.000 pasukannya sendiri untuk ISAF. Di Dalam tahap ke empat ini ISAF
9
diminta untuk dapat memperkuat pasukannya agar menguasai seluruh wilayah
yang ada di Afghanistan. Namun dalam tugas memimpin ISAF tersebut NATO menemui beberapa kendala diantaranya: harus menopang pemerintahan yang lemah di Kabul, menggunakan kemampuan militer di negara yang sangat jauh dan
mempunyai medan yang sangat kasar, dan membangun kembali negara yang hancur akibat perang dan terganggu akibat perdagangan narkotika.
Selain itu, penelitian lain juga dilakukan oleh Budiman dengan judul “Perubahan Struktur Komando NATO Pasca Tragedi 11 September 2001” pada
tahun 2005.10 Hasil penelitiannya, Budiman mengungkapkan bahwa pasca tragedi 11 September, Amerika Serikat berusaha menjaga keamanan wilayah dan warga negaranya dari kemungkinan terjadinya serangan terorisme berikutnya sebagai
sebuah kepentingan yang mendapatkan prioritas utama. Berbagai usaha dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya
tersebut, salah satu caranya adalah dengan melakukan perubahan di dalam struktur komando militer NATO. dalam struktur komando milter yang baru, NATO membentuk dua komando yaitu Allied Command Operations (ACO) dan
Allied Command Transformation (ACT). ACO bertugas untuk melaksanakan kegiatan operasional sedangkan ACT bertugas untuk melaksanakan transformasi
di dalam tubuh NATO. Selain itu NATO juga membentuk NATO Response Force (NRF) yaitu sebuah pasukan yang fleksibel dan mampu merespon segala macam situasi.
Skripsi ini dibuat untuk memberikan sumbangsih ilmu terkait keterlibatan NATO dalam invasi Amerika Serikat di Afghanistan Jika pada penelitian Vincent
10
dan Paul menitikberatkan pada kepemimpinan NATO dalam ISAF, maka analisa
penulis dalam skripsi ini lebih difokuskan pada intervensi militer yang dilakukan oleh NATO di Afghanistan. Sedangkan dalam penelitian Budiman yang membahas perubahan dalam struktur komando militer NATO, maka skripsi ini
memfokuskan pembahasan pada faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan NATO dalam operasi militer yang dipimpin oleh Amerika Serikat di Afghanistan
masa pemerintahan George W. Bush
5. Kerangka Pemikiran
Untuk menganalisa sebuah permasalahan tentunya kita harus memiliki alat untuk dapat mengetahuinya secara mendalam yaitu teori, yang merupakan penjelasan cukup mendasar mengenai bagaimana, mengapa dan kapan peristiwa
itu terjadi. Dengan kata lain teori merupakan alat prediksi. Lebih jelasnya teori berfungsi untuk memahami, memberikan kerangka hipotesis secara logis
disamping menjelaskan maksud terhadap berbagai fenomena yang ada.11 Tanpa menggunakan teori maka fenomena-fenomena serta data-data yang ada akan sulit dimengerti. Di sisi lain dari teori juga dapat berupa sebuah bentuk pernyataan
yang menghubungkan beberapa konsep secara logis dan sistematis.12
Konsep yang saya gunakan dalam menjelaskan dan menjawab pertanyaan
yang ada pada rumusan masalah yaitu organisasi internasional, aliansi, dan keamanan kolektif.
5.1 Organisasi Internasional
Menurut Theodore A. Couloumbus dan James H. Wolfe organisasi internasional merupakan suatu struktur formal dan berkelanjutan yang dibentuk
11
Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, PT.Kencana,Jakarta:2007. h 7 12
atas suatu kesepakatan antara anggota-anggota (pemerintah dan pemerintah) dari
dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan untuk mengejar kepentingan bersama para anggotanya.13
Selain itu A. Le Roy Bennet mengemukakan organisasi internasional
merupakan suatu perikatan antar subjek yang melintasi batas-batas negara dimana perikatan tersebut terbentuk berdasarkan suatu perjanjian dan memiliki organ
bersama.14
Pada dasarnya konsep organisasi internasional itu sendiri dikategorikan
menjadi dua bagian yaitu:
1. Organisasi antar pemerintah (inter-Governmental Organizations/ IGO); anggotanya terdiri dari delegasi resmi pemerintah negara-negara.
Contoh: World Trade Organization (WTO).
2. Organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organizations/ NGO);
terdiri dari kelompok-kelompok swasta di bidang keilmuan, keagamaan, kebudayaan, bantuan teknik atau ekonomi, dan sebagainya. Contoh: World Wildlife Fund (WWF).
Sementara itu, berbeda dengan A. Leroy Bennet, H. G. Schermers yang membagi organisasi internasional menjadi dua yaitu:15
1. organisasi yang bersifat universal; organisasi yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara tanpa membedakan sistem pemerintahannya atau sistem pemerintahannya. Contoh: PBB.
13
Theodore A. Couloumbus dan James H. Wolfe, ”Introduction to International Relation: Power and Justice,” dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005, h.92.
14
Ibid, h.93. 15
2. organisasi internasional terbatas; organisasi yang keanggotannya
didasarkan pada kriteria tertentu. Contoh: NATO. NATO dalam keanggotaannya tidak semata-mata didasarkan pada letak geografis dari anggotanya saja tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan
politik.
Sementara fungsi dari organisasi internasional menurut A. Leroy Bennet
adalah:
1. Menyediakan hal-hal yang dibutuhkan bagi kerjasama yang dilakukan
antar negara dengan tujuan menghasilkan keuntungan yang besar bagi seluruh bangsa.
2. Memperbanyak saluran komunikasi antar pemerintahan, sehingga
ketika masalah muncul ke permukaan, ide-ide dapat bersatu.16
Peranan organisasi internasional sendiri dalam pandangan pendekatan
liberalisme dianggap membawa dampak yang signifikan terhadap perilaku aktor negara dan non-negara dalam politik global. organisasi internasional tidak hanya menjadi alat seperti yang dikemukakan oleh kaum realis tetapi lebih dari itu
lembaga-lembaga internasional menyediakan pedoman kerjasama bagi negara-negara dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi bersama.17
Sebagai contoh untuk menjelaskan signifikansi dari pendekatan liberal yang menekankan peran lembaga internasional ini, dapat kita lihat dari kerjasama internasional yang paling maju yaitu NATO yang telah mengalami perluasan
jumlah anggota paska Perang Dingin berakhir dan bahkan 13 negara mantan anggota Blok Timur pimpinan Uni Soviet telah menyatakan diri bersedia
16
A. Leroy Bennet , “International Organization,” dalam Sri Setianingsih Suwardi, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: UI Press, 2004, h. 5-6.
17
bergabung dengan NATO. Kemajuan yang dialami oleh NATO tersebut sekaligus
membantah klaim kaum realis yang melihat persoalan kedaulatan negara secara kaku. Peranan lembaga internasional tidak hanya terlihat dalam kemajuan kerjasama global maupun regional tetapi juga dalam pemberlakuan rezim
internasional pada berbagai isu yang sifatnya membatasi perilaku nation state seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia, perang melawan terorisme dan
pencucian uang, proliferasi senjata nuklir dan perlindungan hak kekayaan intelektual.18
5.2. Keamanan Kolektif (Collective Security)
Menurut Joshua S. Goldstein, Keamanan kolektif adalah sistem kerjasama keamanan yang melihat ke dalam untuk menjamin terjaganya dan terpeliharanya
keamanan dalam sebuah kelompok negara-negara berdaulat. NATO adalah salah satu contoh organisasi yang menganut sistem keamanan kolektif dimana para
anggota NATO bersama-sama menjaga keamanan anggotanya dan apabila ada satu negara anggota mendapat serangan maka negara anggota pun ikut membantu sesama negara anggota.19
Keamanan kolektif yang merupakan sebuah pandangan tua, hingga saat ini masih terus dianut dan masih mengalami perubahan-perubahan seiring dengan
berjalannya waktu. Pada abad ke-20 keamanan kolektif paling tidak telah mengalami tiga era perubahan, yaitu setelah Perang Dunia Pertama, Perang Dunia Kedua, dan setelah Perang Dingin. Arnold Wolfers dalam bukunya ”Discord and
Collaboration” menyatakan bahwa ”Promosi sistem keamanan kolektif telah
menciptakan situasi psikologis dimana Amerika Serikat tidak dapat
18
Ibid, h. 50. 19
mengembalikan kepada konsep awalnya, bukan karena konsep keamanan kolektif
telah dapat diwujudkan, namun karena jutaan umat manusia percaya bahwa keamanan kolektif dapat dilaksanakan. Keamanan kolektif telah menjadi simbol utama dari sebuah harapan yang akan dibangun oleh semua bangsa-bangsa
dimana perang tidak akan terjadi lagi.20
Inis L. Claude dalam artikelnya yag berjudul ”Collective Security as an
Approach to Peace” menjelaskan bahwa keamanan kolektif dapat dipandang
sebagai kompromi antara pemerintahan internasional dan perimbangan kekuatan (Balance of Power).21 Konsep perimbangan kekuatan dipandang sebagai sistem
yang menghancurkan dan tidak cukup baik untuk memelihara keamanan dan perdamaian. Sedangkan pemerintahan internasional dianggap sebagai sesuatu hal
yang utopis dan sulit untuk dicapai untuk saat ini. Oleh karena itulah sistem keamanan kolektif dipandang sebagai jalan tengah dalam upaya memelihara dan
menjaga keamanan dan perdamaian internasional.
Terlibatnya NATO dalam kasus invasi Amerika Serikat terhadap Afghanistan, karena Amerika Serikat yang merupakan salah satu anggota NATO telah
mendapat serangan terorisme pada tanggal 11 September 2001 yang dilakukan oleh Osama bin Laden beserta jaringannya yaitu Al Qaedah, yang diduga
mendapat perlindungan dari Taliban yang merupakan pemimpin negara Afghanistan. Maka dari itu, NATO bersedia ikut serta bersama dengan Amerika Serikat melalukan perang di Afghanistan.
20
http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/pol116/wolfers.htm, diakses pada tanggal 24 Agustus 2011.
21
5.3. Aliansi
Konsep aliansi menurut George Modelski adalah bentuk kerjasama keamanan dalam bentuk formal atau informal yang terdiri dari dua atau lebih anggota negara yang berdaulat.22 Aliansi mengutamakan kebijakan untuk mendukung
kepentingan-kepentingan keamanan anggotanya dan memfasilitasi tujuan-tujuan tertentu dari kepentingan bersama organisasinya. NATO merupakan organisasi
internasional formal yang menyediakan forum pengaturan bersama untuk mengevaluasi dan mengendalikan kebijakan keamanannya.
Sedangkan Douglas T. Stuart melihat bahwa aliansi merupakan perjanjian formal antar negara untuk melakukan aksi bersama sebagai salah satu bentuk respons terhadap situasi politik tertentu.23
Evolusi eksistensi NATO sebagai aliansi pertahanan kolektif yang solid dirancang untuk menangkal dan mempertahankan diri dari ancaman militer
langsung pihak lawan, memiliki kewajiban-kewajiban aliansinya tercantum dalam Pasal 5 perjanjian NATO yang menyatakan bahwa semua serangan militer yang ditujukan untuk melawan salah satu atau lebih Negara anggota NATO yang
berada di Amerika utara atau Eropa secara tidak langsung menjadi serangan
yang ditujukan kepada seluruh Negara anggota, dan menjadi tanggungan
bersama”.
22
Irwanda Anastasia, Kebijakan Keamanan NATO Dalam Konflik Kosovo: Tinjauan Intervensi Militer NATO Dalam Konflik Kosovo(1998-1999), Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2001, h. 16-17.
23
Pasal 5 tersebut direalisasikan salah satunya dalam membantu Amerika
Serikat dalam memerangi Jaringan Al Qaeda di Afganistan yang telah berhasil menghancurkan Gedung WTC dan Pentagon di Amerika Serikat tahun 2001 lalu.
Jack C Plano dan Roy Olton memberikan definisi yang lebih spesifik tentang aliansi. Mereka mengatakan bahwa :
”Aliansi adalah suatu bentuk persetujuan formal antara dua Negara militer
Jika salah satu Negara yang menjadi anggota perjanjian tersebut di serang Oleh
pihak lawan dan tujuan lainnya untuk mengembangkan kepentingan bersama”.
Alasan pembentukan aliansi berkaitan erat dengan:
1. kebutuhan domestik, dalam hal ini adalah kepentingan-kepentingan
Amerika Serikat dan Eropa, seperti kepentingan ekonomi, politik,
kepentingan keamanan.
2. Adanya persepsi ancaman bersama seperti potensi ancaman Uni Soviet
pada waktu Perang Dingin, dan ancaman terorisme yang dilakukan
oleh kelompok teroris seperti Al Qaeda.24
6. Metoda Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
24
diamati.25 Penelitian kaulitatif sendiri dapat dianalisis dalam berbagai format,
diantaranya kajian peluang yang ditawarkan oleh format riset observasi (termasuk observasi partisipan), wawancara, riset sumber dokumen dan riset media.26
Proses pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah melalui teknik
penelitian kepustakaan yaitu pengumpulan data sekunder. Data sekunder yang dimaksud adalah data-data yang diperoleh dari beberapa tulisan orang lain yang
telah dipublikasikan, seperti pada situs http://www.nato.int, http://daccess-dds-ny.un.org, dan http://www.isaf.nato.int. selain itu juga disertai dengan data-data
yang berasal dari buku, jurnal, artikel, media cetak dan media lainnya , yang penulis peroleh dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Indonesia, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Perpustakaan Nasional, dan
Perpustakaan Umum Freedom. Data-data sekunder yang digunakan oleh penulis kebanyakan dari internet, dikarenakan kurangnya informasi mengenai keterlibatan
NATO di Afghanistan.
7. Sistematika Penulisan
Penulis membagi makalah ini menjadi 4 bab, dimana masing-masing bab
dirinci secara singkat dan sederhana, pembagian bab serta perinciannya dapat dijelaskan, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Pertanyaan Penelitiaan 3. Tujuan Penelitian 4. Tinjauan Pustaka
25
Nurul Zuriah, Metodelogi Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori Aplikasi Jakarta: Bumi Aksara, 2006, h. 92.
26
5. Kerangka pemikiran
5.1. Organisasi Internasional 5.2. Aliansi
5.3. Keamanan Kolektif (Collective Security)
6. Metode Penelitian 6.1. Bentuk Penelitian
6.2. Teknik Pengumpulan Data 7. Sistematika Penulisan
BAB II STRATEGI NATO PASCA PERANG DINGIN
1. Sejarah Terbentuknya NATO 1.1. Struktur Sipil dan Militer NATO 1.1.1. Struktur Sipil NATO
1.1.2 Militer NATO
2. Konsep Strategi Keamanan NATO Masa Perang Dingin
3. Konsep Strategi Keamanan NATO Pasca Perang Dingin
BAB III KETERLIBATAN NATO DALAM OPERASI MILITER YANG DIPIMPIN OLEH AMERIKA SERIKAT DI AFGHANISTAN MASA PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan NATO Dalam
Operasi Militer yang dipimpin Oleh Amerika Serikat di Afghanistan Masa Pemerintahan George W. Bush
3. Intervensi Militer NATO di Afghanistan
4. Efektifitas Peran NATO Dalam Operasi Militer yang dipimpin Oleh Amerika Serikat di Afghanistan
BAB IV KESIMPULAN
BAB II
STRATEGI NATO PASCA PERANG DINGIN
Dalam bab II ini akan membahas mengenai strategi NATO pasca perang
dingin. Pembahasan ini dalam bab ini akan diawali oleh sejarah terbentuknya NATO. Kemudian dilanjutkan oleh pembahasan mengenai strategi NATO masa
perang dingin dan strategi NATO pasca perang dingin.
Pembagian pembahasan dalam dua periode ini dilakukan agar pembahasan
dapat berjalan secara periodik sehingga lebih mudah dalam mengurutkan kejadian serta sebab akibatnya.
1. Sejarah Terbentuknya NATO
Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan North Atlantic Treaty Organisation (NATO) adalah sebuah organisasi
internasional untuk keamanan bersama yang didirikan pada 4 April 1949 dengan penandatangan North Atlantic Treaty di Washington D.C. oleh 12 negara (Belanda, Denmark, Inggris, Italia, Islandia, Luxemberg, Perancis, dan Portugal)
ditambah dua negara Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada)27. Collective security merupakan landasan terbentuknya NATO. Konsep ini dapat menjelaskan,
mengapa negara-negara bergabung dalam wadah keamanan bersama. Adanya perasaan tidak aman yang dirasakan oleh suatu negara menyebabkan mereka harus menggabungkan diri dalam suatu kekuatan yang besar sehingga jaminan
keamanan atas dirinya semakin besar, dan hal ini terjadi pada negara anggota NATO.
27
Pada masa perang dingin, kiprah NATO Sangat signifikan sebagai salah satu
kekuatan blok, yaitu blok barat. NATO pada saat itu mempunyai kekuatan Sangat besar yang tidak ada tandingannya. Terbukti, eksistensi NATO mendapat reaksi cepat dari kekuatan blok timur dengan terbentuknya Pakta Warsawa yang
bertujuan mengimbanginya. Disini konsep keseimbangan kekuatan diterapkan. Kedua organisasi pakta pertahanan ini saling unjuk kekuatan dan pengaruh yang
bertujuan agar tidak ada dominasi diantara keduanya. Runtuhnya Uni Soviet juga menyebabkan ambruknya Pakta Warsawa. NATO pun melakukan serangkaian
adaptasi dengan perubahan konstelasi dan kontestasi politik global. Sebelum terorisme berkembang di dunia, NATO tidak hanya memaknai konsep keamanan secara militer, tetapi diperluas lagi. NATO seringkali melakukan aksi
humanitarian intervention sebagai instrumen perlindungan keamanan manusia
dari kejahatan perang. Yugoslavia dapat dijadikan contoh menarik. NATO
melakukan aksi humanitarian intervention terhadap Yugoslavia karena telah dianggap membahayakan keamanan manusia pada sekitar tahun 1997.
Dalam operasionalnya, NATO dilandasi oleh prinsip-prinsip yang menjadi
landasannya.28
1. Solidaritas : berkomitmen menciptakan perdamaian dunia.
2. Freedom : menjaga kebebasan dan keamanan negara-negara anggotanya. 3. Demokrasi : menjaga nilai-nilai demokrasi.
4. Transatlantik link : membentuk hubungan keamanan transatlantik.
Prinsip-prinsip dasar ini harus dipatuhi oleh anggota NATO secara keseluruhan. Prinsip-prinsip ini memberikan kekuatan bagi NATO dalam setiap
28
melakukan aktivitasnya. Selain itu, prinsip NATO juga tertuang dalam tujuannya,
pada perjanjian pasal 5,“semua serangan militer yang ditujukan untuk melawan salah satu atau lebih Negara anggota NATO yang berada di Amerika utara atau
Eropa secara tidak langsung menjadi serangan yang ditujukan kepada seluruh
Negara anggota, dan menjadi tanggungan bersama”. Jika serangan militer itu
benar-benar terjadi, seluruh anggota NATO memiliki hak untuk membantu segera
dengan memberikan bantuan militer dan pertahanan demi menjaga dan melestarikan keamanan kawasan atlantik utara.
Keanggotaaan NATO pada awalnya berjumlah 12 negara. Yunani dan Turki bergabung pada masa perang dingin tepatnya pada tahun 1952. Pada 7 Mei 1954 Inggris dan Amerika Serikat menolak upaya Uni Soviet untuk bergabung dalam
NATO. Jerman Barat sebaliknya diajak bergabung dalam NATO pada saat ditandangani Persetujuan Paris, 23 Oktober 1954, Jerman Barat dan Italia masuk
dalam Western European Union (WEU). Enam bulan kemudian Jerman Barat menjadi Anggota NATO, 5 Mei 1955. sembilan hari setelah Jerman Barat bergabung ke dalam NATO, Pakta Warsawa dibentuk. Uni Soviet, Albania,
Bulgaria, Czechoslovakia, Jerman Timur, Hungaria, Polandia dan Romania menandatangani Traktat Warsawa, 14 Mei 1955. secara ideologis para anggota
Pakta Warsawa sama-sama menganut komunisme.29
Perluasan NATO berlanjut Spanyol menjadi anggota NATO yang ke 16 pada 30 Mei 1982. hasil refendum yang diadakan Perdana Menteri Felipe Gonzalez
pada 12 Maret 1986 menunjukkan bahwa rakyat Spanyol mendukung agar
29
Spanyol tetap dalam NATO, tanpa berpartisipasi dalam NATO’s integrated
military Structure.30
Berakhirnya perang dingin dan dibubarkannya Pakta Warsawa tidak menyurutkan hasrat untuk menambah keanggotaan NATO, dengan masuknya
Jerman Timur di tahun 1990, Polandia, Czechoslovakia, Hungaria pada 12 Maret 1999. Dengan perluasan NATO ini maka perbatasannya jauh bergeser ke timur,
langsung bersebelahan dengan Rusia. Di tahun 2004 banyak negara pecahan Uni Soviet yang bergabung dengan NATO diantaranya Bulgaria, Estonia, Latvia,
Lithuania, Romania, Slowakia, Slovenia, dan di tahun 2009 Albania dan Kroasia.31 Para penandatangan perjanjian menyatakan keinginan mereka untuk hidup damai dengan semua negara di dunia dan juga mempertegas prinsip PBB
unutk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan juga untuk menjaga stabilitas wilayah Atlantik Utara.
Adapun yang menjadi tugas utama NATO adalah:32
1. Menjamin Keamanan Eropa dengan berdasarkan demokrasi dan kepercayaan bahwa selalu ada cara-cara damai untuk menyelesaikan suatu
konflik.
2. Memberikan kesempatan kepada negara-negara anggotanya untuk saling
berkonsultasi satu sama lain dalam setiap hal yang dapat mempengaruhi kepentingan negara-negara anggotanya, termasuk perkembangan yang dapat mengancam keamanannya, dan juga memfasilitasi kerjasama
berdasarkan kepentingan bersama.
30
http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_52044.htm, , diakses pada tanggal 07 Oktober 2010 31
http://nasional.kompas.com/read/2009/04/08/06201121/memaknai.esensi.nato.setelah.60.tahun, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010.
32
3. NATO berfungsi sebagai penangkal dan sebagai suatu pertahanan dari
setiap agresi yang dapat mengancam wilayah negara-negara anggotanya. 4. NATO berfungsi untuk memelihara stabilitas dan keamanan dengan cara
membina hubungan baik dan melakukan kerjasama dengan negar-negara
mitranya.
5. NATO harus mengembangkan adanya kesamaan wawasan mengenai
keamanan internasional dan tujuan dari diadakannya kerjasama.
2. Struktur Sipil dan Militer NATO 2.1. Struktur Sipil
Struktur sipil NATO sejak awal pembentukkannya pada tanggal 4 April sudah banyak mengalami perubahan. Perubahan dalam badan-badan NATO
dilakukan untuk menyesuaikan kondisi organisasi dengan perubahan lingkungan eksternal pasca perang dingin. Tetapi tidak semua badan yang ada dalam NATO mengalami perubahan, seperti Dewan Atlantik Utara (North Atlantic Council).33
Dewan ini masih merupakan pemegang komando tertinggi dalam organisasi NATO. Di dalam North Atlantic Council setiap negara akan mempunyai
perwakilan, yang mempunyai tugas untuk membahas semua permasalahan atau isu-isu yang menyangkut perdamaian dan keamanan Negara anggotanya. Di
dalam organisasi NATO setiap negara mempunyai hak yang sama, setiap persetujuan dicapai melalui kata sepakat, dan tidak dilakukan sistem pemungutan suara seperti voting atau keputusan dengan suara terbanyak dan hal itu berarti
setiap keputusan diambil dengan suara bulat. Jika suatu keputusan telah diambil maka keputusan tersebut akan mengikat setiap negara anggotanya dan jika ada
33
negara yang tidak setuju dengan keputusan tersebut maka hal itu harus
disampaikan kepada dewan (council).34
Dalam struktur NATO ada dua badan penting yang mempunyai tugas untuk mengatur operasionalisasi organisasi. Defence Planning committee (DPC)
merupakan bagian dari North Atlantic Council (NAC) dan DPC dikepalai oleh sekretaris Jendral NATO. DPC berfungsi untuk mengatur setiap kegiatan sipil dan
militer organisasi.35 Setiap negara anggota NATO mempunyai perwakilan di dalam DPC kecuali Perancis. Badan lainnya yang mempunyai peran penting sama seperti DPC yang berada di bawah kewenangan NAC adalah NPG (Nuclear
Planning Group). Di dalam NPG tersebut terdiri dari seluruh perwakilan
menteri-menteri pertahanan negara anggota yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang
dilakukan oleh DPC dengan demikian Perancis tidak termasuk dalam NPG. Setiap NPG melakukan pertemuan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal. NPG mempunyai
tugas dalam kegiatan NATO yeng berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan masalah persenjataan dan kekuatan nuklir.36
2.2. Struktur Militer NATO
NATO merupakan salah satu aliansi militer. Selama Perang Dingin NATO bertujuan untuk mencegah adanya ancaman yang dilakukan oleh Uni Soviet,
NATO menciptakan suatu strategi yang dapat melindungi Eropa dari ancaman Uni Soviet. Struktur kekuatan NATO tersebut meliputi penggunaan senjata konvensional dan senjata nuklir. Sejak perang dingin berakhir, peran NATO
mengalami perubahan.NATO tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan, tetapi juga berfungsi sebagai penjaga perdamaian. Agar dapat efektif dalam
34
http://www.nato.int/docu/handbook/2001/hb070101.htm, diakses pada tanggal 7 Oktober 2010. 35
http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_49201.htm, diakses pada tanggal 07 Oktober 2010 36
melaksanakan fungsinya sebagai penjaga perdamaian, NATO menciptakan suatu
badan yang disebut dengan Integrated Military Force.37
Dalam Organisasi NATO, keputusan politik untuk mengambil tindakan militer merupakan wewenang dari Sekretaris Jendral. Sekretaris Jenderal mendapatkan
wewenang tersebut dari North Atlantic Council. Dalam NATO ada komando tertinggi Supreme Allied Commanders (SAC) yang bertanggung jawab untuk
melalukan operasi militer NATO. Kedua Komando tersebut mempunyai tugas untuk mengawasi semua asset militer di dalam wilayah wewenang tanggung
jawabnya masing-masing. Kedua SAC tersebut adalah Supreme Allied Commander Europe (SACEUR)38 dan Supreme Allied Commander Atlantic (SACLANT).39 SACEUR bertanggung jawab untuk mengatur dan
mengembangkan kemampuan kekuatan pertahanan yang dibutuhkan dalam bidang manajemen krisis, kemanusiaan, dan melindungi kepentingan aliansi.40
Selain itu SACEUR juga bertindak sebagai jurubicara resmi dari NATO. SACEUR dan SACLANT masin-masing bertanggung jawab kepada komisi militer (military committee) NATO.41
Military Committee (MC) adalah pemegang wewenang tertinggi yang
beranggotakan kepala staff militer masing-masing anggota. Military Committee
berada dibawah kewenangan politik NAC dan DPC. Military Committee terdiri dari kepala staf setiap Negara anggota, yang mengadakan pertemuan sedikitnya tiga kali dalam setahun atau kapanpun diperlukan. Military Committee mempunyai
37
http://www.nato.int/docu/handbook/2001/hb1201.htm, diakses pada tanggal 10 Oktober 2010. 38
NATO handbook: Partnership and cooperations, Brussel, : NATO Office of Information and Press, 2001 h.259.
tugas untuk mengkoordinasi aktifitas-aktifitas militer NATO. Setiap kepala staf
memilih perwakilan militer tetap yang berfungsi sebagai anggota komite militer yang dipilih tiga tahun sekali. Hanya Iceland yang negaranya tidak mempunyai kekuatan militer.42
Dalam sidang komite, komite militer mengadakan pertemuan yang dilakukan secara dimarkas besar NATO di Brusel untuk mengkaji kembali kekuatan dan
strategi militer NATO. Komite militer bertanggung jawab untuk memformulasi dan merekomendasikan kepada badan-badan politik NATO, mengenai
tindakan-tindakan apa saja yang diperlukan untuk menjamin pertahanan bersama dan adanya satu kebijakan untuk tentara NATO yang dikirimkan kepada operasi-operasi militer yang berbeda-beda seperti dibekas negara Yugoslavia.43 Komite
militer membantu untuk mengembangkan konsep strategi aliansi dan melakukan sejumlah dan melakukan sejumlah penilaian dalam aset NATO. Dalam waktu
krisis dan perang, komite militer dapat berfungsi sebagai suatu badan yang memberikan nasehat kepada Defence Planning Committee mengenai penggunaan kekuatan militer.
Untuk mendukung pekerjaan para stafnya NATO mempunyai jaringan yang sangat luas. International Military Staff terdiri dari para personel militer yang
telah dipilih oleh NATO. Bekerja demi tujuan bersama aliansi dan bukan demi negaranya sendiri. Agar dapat mengatur sejumlah besar tugas-tugas yang diberikan, maka IMS dibagi dalam lima bagian.44
42
http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_49608.htm, diakses pada tanggal 10 Oktober 2010. 43
http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_49608.htm, diakses pada tanggal 10 Oktober 2010 44
1. Planning and Policy division
Divisi ini bertugas untuk mengembangkan dan mengkoordinasikan kebijakan pertahanan dan perencanaan startegis NATO dengan komite militer. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup penilaian dan mempelajari
lingkungan strategis dimana NATO harus bertindak. Penilaian ini mencakup pengkajian pertahanan yang diadakan setahun sekali, yang
berguna untuk menciptakan untuk menciptakan tingkat kekuatan militer yang dibitihkan untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Operation Division
Divisi operasi bertanggung jawab untuk memberi nasehat kepada militer mengenai rencana operasi dan manjemen operasi. Selain itu divisi ini juga
bertugas untuk mengkoordinasikan pengiriman sejumlah pasukan dalam setiap operasi yang dilakukan oleh aliansi.
3. Intelligence Division
Divisi intelejen bertanggung jawab untuk mengumpulkan setiap informasi yang dibutuhkan memperlancar operasi NATO. Divisi intelejen bertugas
untuk memonitor setiap kejadian diseluruh dunia dan mendapat informasi dari setiap negara anggotanya.
4. Cooperation and Regional Security Division
Divisi kerjasama dan keamanan regional bertugas untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara non-NATO dan menciptakan keamanan
penjaga perdamaian (peacekeeping) dan operasi membangun perdamaian
(peacebuilding).45
5. Logistic Armaments and Resource Divison
Divisi ini bertugas untuk menjamin terpenuhinya setiap peralatan yang
dibutuhkan oleh NATO dalam melakukan operasinya. Divisi ini bertugas untuk menjamin bahwa pasukan NATO menggunakan persenjataan dan
sistem komunikasi yang sesuai dengan jenis operasi yang dilakukannya. NATO juga mempunyai tiga kekuatan utama (three primary forces) yang
digunakan untuk membantu setiap kegiatan operasi yang dilakukannya dan untuk memenuhi apa yang menjadi tujuan strategisnya:46
1. Immediate and Rapid Reaction Forces
Pasukan ini merupakan pasukan yang sangat terlatih dan siap siaga untuk dikirimkan dalam setiap misi NATO. Pasukan ini terdiri dari pasukan
darat dan laut. Setiap negara anggota yang tergabung dalam Integrated Military Structure saling bergantian untuk menjaga kesiapan unit-unit pasukannya dalam siap siaga penuh apabila terjadi sustu krisis.
2. Main Defense Forces
Tugas pasukan ini adalah mencegah negara lain melakukan tindakan
agresi yang dilakukan terhadap negara-negara anggota NATO. Kekuatan ini terdiri dari kekuatan konvensional dan kekuatan nuklir yang bertugas untuk menangani setiap ancaman yang mungkin terjadi terhadap anggota
NATO. Ada empat pasukan multinasional yang ditempatkan di Jerman. Pasukan ini juga dpat digunakan sebagai penjaga perdamaian.
45
Ibid, h. 243. 46
3. Augmentation Forces
Pasukan ini merupakan pasukan cadangan NATO. Pasukan ini dapat digunakan untuk memperkuat pasukan NATO kapanpun jika diperlukan.
4. Konsep Strategi Keamanan NATO Masa Perang Dingin
Konsep strategi keamanan NATO pada waktu pertama kali NATO di kenal dengan sebutan The Strategic Concept for the defence of The North Atlantic area.
Strategi tersebut dikembangkan antara Oktober 1949 dan April 1950, dirancang sebagai operasi skala besar untuk mempertahankan wilayah negaranya dari
kemungkinan serangan yang dilakukan oleh Uni Soviet. Pada bulan Desember 1954, NATO mengembangkan strategi Massive Retaliation (pembalasan secara besar-besaran). Strategi ini menekankan pada pentingnya konsep deterrence
(penangkalan), dimana jika terdapat ancaman yang dapat mengganggu keutuhan wilayah negara anggotanya, maka NATO akan melakukan tindakan dengan
menggunakan cara apapun, termasuk penggunaan senjata nuklir untuk menyelesaikan masalah tersebut.47
strategi Massive Retaliation ini banyak menimbulkan kritik dikalangan ahli
strategi sipil maupun militer. Salah satu kritik yang diajukan adalah dengan menggantungkan diri pada kekuatan nuklir, jika serangan yang dilakukan oleh
Uni Soviet menggunakan kekuatan konvensional, maka tindakan pembalasan yang dilakukan oleh Amerika Serikat akan menghancurkan peradaban seluruh manusia. Oleh karenanya strategi Massive Retaliation dianggap sebagai kebijakan
yang tidak bermoral dari beresiko tinggi.48
47
Ibid, h.43. 48
Akibat banyaknya kritik terhadap strategi Massive Retaliation, maka Pada
tahun 1950-an NATO memulai pembahasan mengenai kemungkinan untuk merubah pendekatan strategi Massive Retaliation tersebut, dan pembahasan ini berlangsung sampai tahun 1967. pada tanggal 9 Mei 1967 setelah melalui
perdebatan yang panjang, maka strategi Massive Retaliation digantikan dengan strategi Flexible Respond.49 Strategi Flexible Respond ini menuntut NATO untuk
mempunyai kapabilitas guna merespons berbagai ancaman militer dari Pakta Warsawa dengan tingkat respons yang tepat.50
NATO perlahan-perlahan mulai mencari cara untuk mengurangi bahaya dan untuk mencari dasar untuk mengembangkan hubungan yang lebih lanjut melalui hubungan yang baik dengan Uni Soviet dan negara-negara lain anggota Pakta
Warsawa. Pada tahun 1967 dikeluarkan Harmed Report, yang mendirikan pertahanan dan dialog termasuk didalamnya pengendalian senjata, sebagai
pendekatan NATO yang baru.
Sebelumnya di tahun 1966, ketika NATO masih membahas tentang Strategi Flexible Respond,51 Perancis secara mengejutkan menyatakan diri keluar dari
keanggotaan NATO. Hal tersebut dipicu oleh pertentangan-pertentangan yang sering dialami Perancis dengan Amerika Serikat. Pertentangan tersebut dapat
dlihat ketika Perancis memberikan usulan mengenai pembentukan Dewan Pimpinan yang terdiri dari tiga negara yaitu Amerika Serikat, inggris dan Perancis, namun, ditolak oleh Presiden Eisenhower (AS) dengan alasan bahwa
jika Dewan Pimpinan dilanjutkan maka hal itu akan memudarkan peranan NATO
49
http://www.nato.int/cps/en/natolive/topics_56626.htm, diakses pada tanggal 15 Maret 2012. 50
Ibid, 39. 51
yang difokuskan pada negara-negara anggota yang mayoritas terdapat di Eropa
Barat.52
Puncak pertentangan antara Perancis dan Amerika Serikat ketika Amerika Serikat dan Inggris membuat suatu persetujuan yang diberi nama anglo American.
Di dalam persetujuan anglo American tersebut, Inggris bersedia membantu Amerika Serikat dengan memberikan sebagian senjata nuklirnya. Hal ini membuat
Presiden Perancis yaitu Charles de Gaulle menjadi tidak suka. De Gaulle menyatakan Perancis harus bisa mengembangkan kekuatannya nuklirnya sendiri
tanpa membaginya dengan negara lain. De gaulle sangat sadar bahwa kekuatan militernya sendiri terlampau kecil untuk memungkinkan negara tersebut memegang peranan utama di dunia. Masalah ini akhirnya membuat Perancis
memutuskan untuk keluar dari NATO pada tanggal 7 Maret 1966.53 Walaupun begitu, ini tidak berarti Perancis keluar sepenuhnya dari NATO, De Gaulle
menyatakan bahwa Perancis masih bersedia terus untuk bekerjasama dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Walaupun, Perancis tidak keluar sepenuhnya dari NATO, De Gaulle tetap meminta agar markas besar NATO yang berada di
Perancis segera dipindahkan, maka atas permintaan Perancis tersebut akhirnya markas besar NATO dipindahkan ke Brussel, Belgia.54
5. Konsep Strategi Keamanan NATO Pasca Perang Dingin
Pasca perang dingin yang ditandai oeh runtuhnya Uni Soviet ternyata tidak membuat dunia khususnya Eropa menjadi aman tetapi malah memunculkan
ancaman keamanan baru seperti konflik etnis, migrasi, konflik perbatasan, pelanggaran hak asasi manusia dan instabilitas politik dan ekonomi di sejumlah
52
Ibid, h.33. 53
http://www.nato.int/history/index.html, diakses pada tanggal 16 Maret 2012. 54
negara Eropa Timur dan Tengah yang memiliki potensi dapat meluas ke negara
lain atau secara langsung mengganggu kepentingan keamanan negara anggota aliansi. Perkembangan yang terjadi tersebut menandai perubahan baru lingkungan keamanan di Eropa dan menuntut NATO untuk melakukan langkah adaptasi
terhadap strategi keamanannya, dengan tetap kepada fungsi utamanya, memberikan jaminan keamanan bagi anggotanya.
Perubahan strategi NATO dimulai dengan diadopsinya NATO’s Strategi Concept (NSC) dan Declaration and Peace and Cooperation pada pertemuan para
kepala pemerintah dan negara NATO di Roma Bulan November 1991.55 NSC merupakan bentuk upaya NATO mengatasi masalah ”irrelevance dilemma (tidak
lagi adanya ancaman monothic massive and simoultaneous attack Pakta
Warsawa)56 yang dihadapi NATO, melalui perlunya peningkatan kegiatan NATO yang lebih luas melalui strategi out of area.57 Strategi out of area tersebut
mendasari perlunya perluasan aktifitas NATO di luar kawasan dalam menghadapi perkembangan yang terjadi di negara-negara tersebut tersebut melalui operasi di luar kawasan (menjaga perdamaian/peacekeeping) dan formulasi baru dalam
hubungannya dengan negara-negara bekas anggota Pakta Warsawa tersebut. Pada intinya konsep baru strategi NATO adalah menggabungkan suatu
pendekatan keamanan yang didasarkan kepada dialog dan kerjasama dengan memelihara kemampuan NATO Collective defence.58 Konsep ini mencerminkan tugas baru NATO yang meliputi (1) pengembangan proses kerjasama, dialog dan
55
NATO handbook: Partnership and cooperations, Brussel: NATO office and Press, 2001 h. 44. 56
Monothic massive and simoultaneous attack Pakta Warsawa adalah ancaman secara besar-besaran yang dilakukan sendiri oleh Pakta Warsawa dan penyerangannya dilakukan pada waktu bersamaan.
57
Ibid, h. 44. 58
kemitraan dengan negara Eropa Tengah dan Timur serta negara lain dalam The
Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE), (2) kerjasama
yang lebih erat dengan institusi lain di bidang keamanan Eropa seperti OSCE, Western European Union (WEU) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta
merumuskan struktur komando dan kekuatan baru yang mencerminkan perubahan dan perkembangan lingkungan tersebut.59
Dibidang militer, NATO mengurangi ketergantungan terhadap senjata nuklir dan melakukan perubahan kekuatan militernya melalui pengurangan secara
signifikan tingkat kekuatan dan kesiagaan, dan menyiapkan tingkat kekuatan NATO untuk mampu melaksanakan misi-misi baru seperti crisis management dan peacekeeping, dengan tetap menjaga kemampuan collective defence.60
Langkah NATO untuk menata kembali postur pertahanannya sudah dimulai jauh sebelum KTT Roma tahun 1991. Aliansi menganggap perlu untuk
membentuk pasukan yang secara cepat dan fleksibel, dapat beraksi menghadapi berbagai kemungkinan ancaman baru karena menurunnya Soviet. Pada tahun 1990 Markas NATO di Eropa (SHAPE) membentuk pasukan gerakan cepat
NATO yang bernama ARRC (Allied Command Europe Rapid Reaction Force) yang dimaksudkan untuk mampu menangkal berbagai kemungkinan resiko yang
berasal dari wilayah periphery (wilayah pinggiran/pedesaan) NATO di Eropa Timur, mulai dari operasi perdamaian hingga pecahnya perang saudara. Dalam pertemuan NAC tahun 1991, ARRC, yang telah memenuhi persyaratan
institutional NATO dalam menghadapi berbagai tingkat crisis management Pasca Perang Dingin, berada di bawah komando Inggris dan akan beroperasi pada tahun
59
Ibid, h. 45. 60
1995. ARRC merupakan kekuatan darat NATO yang berada di bawah kendali
SACEUR yang fleksibel dalam mendukung operasi out of area di berbagai wilayah konflik.
Sementara itu, dalam upaya mendukung struktur kekuatan NATO agar lebih
fleksibel dan responsif terhadap kondisi keamanan di Eropa, pada pertemuan Para Pemimpin NATO di Brussels tahun 1994 diperkenalkan konsep CJTF (Combine
Task Force)61 yang memfasilitasi NATO dengan kemampuan untuk merespon berbagai tingkat misi dan tugas dari collective defence hingga crisis management
dan peacekeeping sebagai langkah operasional konsep out of area peran NATO. Strategi CJTF tentunya dapat mendukung NATO untuk melaksanakan operasi bersama dengan negara-negara mitra NATO lain, sebagaimana dalam misi
peacekeeping Implementation Force (IFOR)62 tahun 1995 maupun dalam misi Stabilitation Force (SFOR)63 tahun 1996 dalam penyelesaian konflik Bosnia
Herzegovina. Strategi CJTF tersebut juga dapat digunakan sebagai instrumen bagi NATO dalam menyediakan dukungan bagi operasi-operasi yang dilakukan WEU,
61
CJTF merupakan suatu (grup) kekuatan yang melibatkan dua negara atau lebih – tidak eksklusif-dengan menggunakan berbagai kekuatan (laut, udara, atau darat) untuk melaksanakan operasi/misi militer seperti operasi peacekeeping, peace enforcement dan kemanusiaan. CJTF menggunakan peralatan yang efisien dan fleksibel dan NATO dapat turut serta dengan menempatkan kekuatannya atau memanfaatkan fasilitas NATO, atas pertimbangan kasus per kasus oleh NAC. (Lihat NATO Office of Information an Press, Brussel, 2001, h. 253-254).
62
The NATO-Led IFOR dibentuk berdasarkan ketentuan (Anex I) perjanjian Damai Bosnia tanggal 14 Desember 1995. perjanjian tersebut mewajibkan pihak bertikai untuk menarik mundur kekuatannya dari wilayah perbatasan kedua belah pihak sebagai tindak lanjut genjatan senjata yang telah disetujui sebelumnya. Adapun tugas IFOR adalah implementasi di bidang militer dalam menjamin genjatan senjata, proses penarikan mundur , dan pengumpulan senjata berat ke kantong. Serah terima tugas operasi dilakukan dari UNPROFOR kepada IFOR (SACEUR) tanggal 20 Desember 1995. pasukan IFOR terdiri dari atas 60.000 orang yang diantaranya berasal dari anggota NATO bersama 14 negara PfP dan 4 negara mitra lainnya.
63
sebagai bentuk kontribusi NATO dalam membangun European Security and
Defence Identity (ESDI).
Di bidang politik, strategi NATO adalah lebih diarahkan pada upaya meningkatkan dialog, kerjasama dan kemitraan dnegan negara-negara Eropa
Timur dan Tengah di bidang keamanan dan bidang terkait lainnya. Hal ini terkait dengan dikeluarkannya Deklarasi London pada bulan Juli 1990 yang menyatakan
konsep baru NATO mengenai Eropa sebagai one geopolitical and cultural entity, tidak lagi dibatasi oleh blok yang bermusuhan, dan memandang pakta warsawa
bukan lagi sebagai ancaman utama. Strategi NATO tersebut menjembantani bagi upaya kerjasama yang lebih erat dengan Eropa Timur dan Tengah dalam mendukung stsbilitas keamanan kawasan.
Pada tahun 1991 terjadi krisis di Yugoslavia dan di tahun itu juga terjadi Peristiwa Coup di Rusia. Untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut, pada
bulan Desember 1991 NATO mendirikan sebuah forum yang diberi nama North Atlantic Cooperation Council (NACC) NACC memiliki peranan konstruktif
dalam memfasilitasi transisi struktur bipolar dan konfrontasi Eropa pada masa
Perang Dingin menuju suatu pola baru kerjasama dan dialog antara anggota aliansi dengan lawannya di Timur.64
Untuk memperdalam tingkat kerjasamanya, pada pertemuan di Brussel tahun 1994, NATO kemudian membentuk Partnership for Peace (PfP) yang mengundang negara-negara anggota NACC dan OSCE untuk berpartisipasi dalam
program kerjasama NATO melalui operational role, termasuk keikutsertaan dalam operasi peacekeeping, crisis management dan kemanusiaan. PfP merupakan
64
forum kerjasama politik dan keamanan antara NATO dengan negara mitranya atas
BAB III
KETERLIBATAN NATO DALAM OPERASI MILITER YANG DIPIMPIN OLEH AMERIKA SERIKAT DI AFGHANISTAN
MASA PEMERINTAHAN GEORGE W. BUSH
Afghanistan adalah sebuah negara di Asia Tengah yang menjadi fokus
perhatian internasional setelah terjadinya tragedi 11 September 2001 di Amerikat Serikat. Afghanistan ialah negeri yang bergunung-gunung, walau ada dataran di
utara dan barat daya dan Afghanistan merupakan tempat dari sejumlah suku diantaranya yaitu: Pashto 42%, Tajik 27%, Hazara 9%, Uzbek 9%, Aimak4%; Turkmen 3%, Baluchi 2% dan sisanya 4%.65 Pada bab tiga ini penulis akan
melihat latar belakang histroris dari konflik yang terjadi, operasi militer di Afghanistan yang dilakukan selama masa pemerintahan George W. Bush,
selanjutnya akan dibahas mengenai keterlibatan NATO di Afghanistan, operasi-operasi militer yang dilakukan oleh NATO di Afghanistan, dan efektifitas peran NATO dalam invasi Amerika Serikat di Afghanistan.
1. Kemitraan Strategis Amerika Serikat dan NATO
NATO adalah sebuah organisasi regional yang anggotanya tidak hanya berasal
dari benua Eropa saja tetapi juga ada yang berasal dari luar benua Eropa yaitu Amerika Serikat, sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh oleh H. G. Schermers dalam tulisannya International Law as Applied by International Courts
and Tribunals bahwa di dalam organisasi regional tidak semata-mata didasarkan
pada letak geografis anggotanya, tetapi regional di sini lebih ditekankan kepada
65
kepentingan politik daripada geografis, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa
alasan bergabungnya Amerika Serikat ke dalam NATO.66
Pertama, NATO dibutuhkan sebagai penjamin untuk memelihara keamanan
dan kebebasan Eropa dari berbagai ancaman. Komitmen Amerika Serikat
terhadap keamanan Eropa melalui penempatan tentaranya dalam NATO di Eropa
merupakan ”kebijakan asuransi ” untuk mencegah munculnya ancaman dominasi
kekuatan lain atau konflik terbuka di Eropa. Bagi Amerika Serikat, biaya yang harus ditanggung dengan menempatkan ribuan pasukannya ke dalam NATO pada
saat damai lebih kecil daripada harus mengirimkan ratusan ribu tentara untuk memadamkan konflik yang muncul akibat tidak adanya suatu kekuatan lain yang dapat menjamin keamanan Eropa, seperti yang terjadi pada 2 Perang Dunia lalu.67
Kedua, NATO dibutuhkan untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi di Eropa yang memiliki pengaruh besar pada perekonomian Amerika Serikat.
Komitmen Amerika Serikat terhadap pertahanan bersama di Eropa diperlukan untuk menjamin stabilitas ekonomi Amerika Serikat. Ketiga, NATO merupakan ”kendaraan” yang dapat digunakan untuk memperkuat dan memperluas faham
kebebasan dan demokrasi di Eropa. Keterlibatan Amerika Serikat dalam NATO akan memperkukuh upaya terciptanya NATO sebagai komunitas bangsa yang
demokrasi. NATO tidak hanya mewakili sebagai ”zona damai dan aman” namun juga sebagai zona ”demokrasi”.
Sejak awal terbentuknya NATO, peran Amerika Serikat terhadap kebijakan
NATO sangat menentukan. Hal ini terlihat dengan kepimpinan Amerika Serikat
66
Sri Setianingsih Suwardi, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: UI Press, 2004, h. 31. 67
sebagai komandan utama militer dalam struktur SACEUR dan SACLANT yang
bertanggung jawab terhadap Military Committee, sebagai badan otoritas tertinggi militer NATO, meskipun langkah tersebut selalu mendapat gugatan dari negara-negara Eropa lainnya. Pengaruh Amerika Serikat juga terlihat dalam pengambilan
kebijakan politik NATO, seperti diterimanya konsep PfP atas atas usulan Les Aspin (AS) oleh seluruh anggota NATO dan ditolaknya pencalonan Ruud Lubers
sebagai Sekjen NATO oleh Amerika Serikat meskipun sebagian besar negara anggota NATO sudah mendukung Ruud Lubers.68
Dominasi Amerika Serikat yang lain dalam NATO juga dapat dilihat pada masa kepemimpinan George W. Bush. Pada masa Bush, Amerika Serikat meminta kepada seluruh negara anggota NATO agar ikut dalam invasi Amerika
Serikat di Irak yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein. Untuk mendapat dukungan dari NATO agar mau membantu dalam invasi ke Irak
tidaklah mudah bagi Amerika Serikat, karena ada beberapa anggota NATO yang tidak setuju dengan rencana invasi Amerika Serikat ke Irak. Seperti Perancis yang secara tegas menolak ajakan Amerika Serikat untuk menyerang Irak. Hal yang
sama juga dilakukan oleh anggota NATO lainnya yaitu Jerman yang menentang aksi militer terhadap Irak. Namun, pada pertemuan KTT NATO di Praha pada
tanggal 21 November 2002, NATO akhirnya menyetujui untuk ikut dalam invasi Amerika Serikat ke Irak dan menyatakan NATO allians stand united in their commitment to take effective action to assist and support the efforts of the UN to
ensure full and immediate compliance by Iraq, without conditions or restrictions,
68