• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Framing Pesan Moral Film Get Married

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Framing Pesan Moral Film Get Married"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FRAMING

PESAN MORAL FILM GET MARRIED

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos. I)

Oleh:

YAYU RULIA SYAROF

NIM: 104051001809

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

▸ Baca selengkapnya: pesan moral dari film langit tak selamanya abu-abu

(2)

ANALISIS FRAMING

PESAN MORAL FILM GET MARRIED

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial Islam (S. Sos. I)

Oleh

YAYU RULIA SYAROF

NIM: 104051001809

Pembimbing,

Drs. Wahidin Saputra, MA NIP: 150276299

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ANALISIS FRAMING PESAN MORAL FILM GET MARRIED, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 09 Juni 2008, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Program Studi Strata 1.

Jakarta, 18 Juni 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Murodi, MA Umi Musyarofah, MA

NIP: 150254102 NIP: 150281980 Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Drs. Sunandar Ibnu Nur, M.Ag Rubiyanah, MA NIP: 150273477 NIP: 150286373

Pembimbing,

(4)

ABSTRAK

Nama : Yayu Rulia Syarof NIM : 104051001809

Fakultas : Dakwah dan Komunikasi Jurusan : Komunikasi Penyiaran Islam

ANALISIS FRAMING PESAN MORAL

FILM GET MARRIED

Film merupakan saluran komunikasi massa yang paling efektif dalam penyampaian pesan, karena film dapat memberikan efek baik dari aspek edukatif, afektif maupun kognitif dengan mudah kepada penonton. Dalam penyampaian pesannya media film tidak hanya sekedar bercerita akan tetapi juga memberikan gambaran dalam kehidupan sosial sebuah komunitas. Begitu juga dengan film Get Married yang menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia dan dan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Film Get Married adalah buah karya Hanung Bramantyo yang berhasil menarik perhatian banyak penonton, dan juga berhasil menjadi film untuk kategori nominasi terbanyak di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2007. Dengan berbagai keunggulan film ini, maka penulis melakukan penelitian mendalam pada aspek cerita film ini, guna memahami isu dan pesan apa yang sebenarnya hendak disampaikan.

Permasalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana isi cerita film yang dibingkai oleh Hanung Bramantyo sebagai sutradara film Get Married ini. Dengan menggunakan teori analisis framing model Pan dan Kosicki, dapat ditelaah bagaimana proses penyampaian pesan dan pengemasan pesan oleh sutradara melalui elemen sintaksis, skrip, tematik dan retoris sesuai isu pesan yang ditonjolkan dalam frame-frame yang terdapat dalam cerita film tersebut.

Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dalam pelaksanaannya lebih dilakukan pada pemaknaan teks, dari pada penjumlahan katagori. Pengumpulan data melalui research document, kemudian data-data dianalisis melalui struktur framing model Pan dan Kosicki.

(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim.

Segala panjatan syukur kehadirat Allah SWT atas segala hidayah dan taufiq-Nya yang telah diberikan kepada saya, sehingga saya dapat berkesempatan menyelasaikan skripsi saya yang berjudul “Analisis Framing Pesan Moral Film Get Married”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial program studi SI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.

Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita memperoleh syafa’at-nya di akhir zaman nanti.

Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Siddik Muztaba dan ibunda Masanih atas keikhlasan dukungan dan do’a dan kasih sayang sepanjang masa yang telah mereka berikan. Juga kakak-kakak tercinta Hendi Hidayat beserta istri, Aas Nurhasana beserta suami dan Subki Hasan beserta istri yang senantiasa mencurahkan perhatian.

2. Dr. Murodi, M.A., selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

3. Drs. Wahidin Saputra, M.A., selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan ilmu yang sangat berharga.

4. Umi Musyarofah, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yang tidak pernah bosan memberikan dukungan dan memberikan nasihat.

(6)

seluruh staf bagian Akademik, dan seluruh staf bagian Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

6. Mulyadi, A.Md., selaku guruku yang selalu memberi insipirasi dan dorongan untuk tetap semangat dalam menuntut ilmu sampai akhir masa.

7. Sahabat-sahabatku di UIN Syarif Hidayatullah angkatan 2004, khususnya kelas KPI B yang telah memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini, dan telah memberikan ribuan kenangan manis yang tak kan terlupakan.

8. Rekan-rekan yang tergabung dalam Ikatan Remaja Nahdlatul Ulama (IRENA) Cinangka, yang telah memberikan semarak dan semangat hidup, sehingga selalu tercipta senyuman bahagia.

9. Sahabat-sahabat terdekat, Ashabul Kahfi, Nurmansyah, Agus Muharom, Dede Taufik Kurnia, Lisah Fauziah, Dewi Erian, Meriska, Nyla, Maulana, Cipto, Nani, Nasrul Ulum, dan Aan.

10.Adik-adikku Noor Wulandari dan Hamzah yang bersedia menjadi asisten.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dan kekhilafan dalam menyusun skripsi ini. Oleh karenanya sangat diharapkan saran dan kritik dan juga ralat demi kemajuan bersama di masa depan. Besar harapan semoga skripsi ini dapat menjadi motivasi dan inspirasi serta bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca sekalian.

Jakarta, 25 Mei 2008

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI……… i

KATA PENGANTAR………. ii

DAFTAR ISI……… iv

DAFTAR TABEL……… vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……… 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 4

D. Metodologi Penelitian………... 5

E. Tinjauan Pustaka……… 8

F. Sistematika Penulisan……….... 9

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pengertian Moral, Etika dan Akhlak……… 11

B. Teori Framing……….. 16

C. Film Sebagai Media Komunikasi dan Dakwah……… 22

D. Perkawinan Menurut Islam... 32

BAB III GAMBARAN UMUM FILM GET MARRIED A. Latar Belakang Pembuatan Film……….. 36

B. Sinopsis Film Get Married……… 39

(8)

BAB IV PESAN MORAL FILM GET MARRIED

A. Pengemasan Pesan Film Get Married……… 44 B. Pesan Moral Film Get Married……….. 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……… 69

B. Saran-saran.……… 70

DAFTAR PUSTAKA………. 72

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 01 Frame: Menikah Untuk Meneruskan Riwayat

Keluarga………. 47 Tabel 02 Frame: Menikah karena Perjodohan……….. 51 Tabel 03 Frame: Mencari Bantuan Paranormal Agar Segera

(10)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.

Jakarta,

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi dewasa ini sudah merasuk ke segala sendi kehidupan manusia dapat dilihat dari semakin meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu juga dengan kemajuan dibidang teknologi komunikasi massa.

Perkembangan globalisasi ini menjadikan media massa naik pada suatu tingkat yang lebih bermanfaat dan lebih dipilih orang banyak untuk melakukan komunikasi dengan seluruh manusia yang ada di seantero mayapada ini secara serentak. Dalam bahasa Dovifat (1967), teknologi komunikasi mutakhir ini telah menciptakan apa yang disebut “publik dunia”.1

Dewasa ini media tumbuh semakin pesat, sebagai media informasi, radio dan televisi unggul dalam menyampaikan informasi secara dini yang dilengkapi dengan ulasan penjelas. Manusia merupakan sasaran dari media tersebut, semua pesan media massa dikonsumsi oleh masyarakat serta menjadi bahan informasi dan referensi mereka.2

Disamping surat kabar, majalah, radio dan televisi, film juga menjadi bagian dari salah satu media komunikasi massa.3 Sebagai media komunikasi massa film dibuat dengan tujuan tertentu, kemudian hasilnya tersebut ditayangkan untuk dapat ditonton oleh masyarakat. Karakter psikologisnya khas bila dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal yaitu film

1

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), Cet. ke-21, h. 186.

2

Aep Kusnawan et.al, Komunikasi Penyiaran Islam (Bandung; Penerbit Benang Merah Press, 2004), Cet. 1, hal. 23.

3

(12)

bersifat satu arah. Jadi bila dibandingkan dengan jenis komunikasi lainnya, film dianggap jenis yang paling efektif.

Film merupakan sesuatu yang unik dibandingkan dengan media lainnya, karena sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap, penerjemahannya melalui gambar-gambar visual dan suara yang nyata, juga memiliki kesanggupan untuk menangani berbagai subjek yang tidak terbatas ragamnya.4 Berkat unsur inilah film merupakan salah satu bentuk seni alternatif yang banyak diminati masyarakat, karena dengan mengamati secara seksama apa yang memungkinkan ditawarkan sebuah film melalui peristiwa yang ada dibalik ceritanya, film juga merupakan ekspresi atau pernyataan dari sebuah kebudayaan, serta mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat.5

Film indonesia bangkit lagi setelah meledaknya film Ada Apa Dengan Cinta karya sutradara muda Rudi Sudjarwo pada tahun 2002. Kebangkitan itu terus diperlihatkan oleh para sineas handal melalui karya-karya mereka yang semakin diminati penonton.

Di penghujung tahun 2007 Hanung Bramantyo mencoba mengangkat kembali pamor film komedi yang sempat jaya pada masa Warkop DKI atau Didi Petet dengan Kabayan-nya. Melalui filmnya yang berjudul Get Married, Hanung mencoba bersaing dengan film-film horor yang sedang ramai disuguhi kepada penonton.

4

Joseph M. Boggs, The Art of Watching Film, (Terj) Asrul Sani (Jakarta; Yayasan Citra Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, 1986), h. 5.

5

(13)

Dunia perfilman Indonesia memang sedang diwarnai oleh sederet film yang bernuansa mistis dan romantis, Hanung dengan cerdas memberikan kesegaran baru bagi penonton yang penat dari kegiatan sehari-hari mereka, dengan memberikan sentuhan komedi dengan bahasa yang ringan pada filmnya kali ini, film Get Married-pun menambah keceriaan penonton dalam merayakan hari raya ‘Idul Fitri.

Film Get Married adalah buah karya Hanung Bramantyo yang berhasil menarik perhatian banyak penonton, dan juga berhasil menjadi film untuk kategori nominasi terbanyak di ajang Festival Film Indonesia(FFI) 2007.

Dengan berbagai keunggulan film ini, maka penulis melakukan penelitian mendalam pada aspek cerita film ini, guna memahami isu dan pesan apa yang sebenarnya hendak disampaikan. Oleh karenanya judul yang diambil adalah

Analisis Framing Pesan Moral Film Get Married.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk menghindari terlalu luas dan melebarnya pembatasan maka penelitian ini dibuat suatu batasan. Ruang lingkup dibatasi hanya pada analisis tekstual dalam naskah film Get Married karya Hanung Bramantyo.

Sedangkan perumusan masalah yang diangkat adalah :

1. Bagaimana pengemasan pesan yang disampaikan Hanung Bramantyo dalam film Get Married?

(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pengemasan pesan yang disampaikan Hanung Bramantyo dalam film Get Married.

b. Untuk Mengetahui pesan moral yang terdapat pada film Get Married.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan kajian dakwah tentang media dan komunikasi massa, serta memberikan pandangan baru tentang analisis framing sebagai sebuah metode penelitian dalam analisis teks media.

b. Manfaat Praktis

Semoga dapat menjadi informasi bagi penelitian serupa di masa mendatang dalam melakukan telaah film terutama dilihat dari analisis framing.

D. Metodologi penelitian

1. Metode Penelitian

(15)

untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu.6 Dan penelitian ini bersifat kualitatif karena dalam pelaksanaannya lebih dilakukan pada pemaknaan teks, dari pada penjumlahan katagori.

Pendekatan analisis kualitatif menggunakan pendekatan logika induktif, silogismenya dibangun berdasarkan hal khusus atau data di lapangan dan bermuara pada hal-hal umum. Analisis ini tidak digunakan untuk mencari data frekuensi, akan tetapi untuk menganalisis dari data yang tampak, maka analisis ini digunakan untuk memahami fakta dan bukan untuk menjelaskan fakta tersebut.7

2. Jenis Penelitian

Berdasarkan dari tujuannya ini menggunakan jenis penelitian eksplanatif. Yaitu bertujuan untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang telah memiliki gambaran yang jelas, dan bermaksud menggali secara lebih dalam.8 Peneliti mencoba mencari tahu sebab dan alasan mengapa peristiwa bisa terjadi, diantaranya menjelaskan secara akurat mengenai satu topik masalah, menghubungkan topik-topik yang berbeda namun memiliki keterkaitan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh datanya, penulis melakukan document research artinya penulis hanya meneliti script atau naskah yang terdapat pada film Get Married

sebagai data primer atau sasaran utama dalam analisis, tanpa melakukan wawancara.

Selain melakukan research pada script tersebut, document research juga sebagai teknik pengumpulan data-data atau teori-teori melalui telaah dan

6

Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 302. 7

Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006), Cet. 1, h. 33-34.

8

(16)

mengkaji dari buku, majalah, internet dan literatur-literatur lainnya yang ada relevansi dengan materi penelitian ini.

4. Teknik Pengolahan Data

Data diolah dengan menggunakan penjelasan tabel-tabel dan teori analisis

framing yang merujuk pada model Pan dan Kosicki, sehingga dengan penyajian dan penjelasan tabel serta teori itu akan terlihat lebih jelas pesan yang ingin diangkat atau ditonjolkan oleh sutradara.

5. Unit Analisis

Subjek yang akan diteliti adalah film Get Married, sedangkan objek penelitiannya sendiri adalah pesan tekstual dalam skenario film Get Married.

6. Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis framing. Framing

didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih dari pada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada tersebut.

Framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media.9 Analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politik, atau kultural yang meliputinya (Sudibyo, 1999b : 176).10

9

Eriyanto, Analisis Framing (Yogyakarta : LKiS, 2002). 10

(17)

Analisis bingkai merupakan dasar struktur kognitif yang memandu persepsi dan representasi realitas – membongkar ideologi dibalik penulisan informasi,11 menjelaskan bahwa latar belakang budaya membentuk pemahaman terhadap sebuah peristiwa.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, yang merupakan salah satu dari empat teori alternatif dari analisis framing terpopuler yang digunakan untuk memperoleh gambaran isi pesan yang disampaikan. Model analisis ini dibagi dalam empat struktur besar, yakni meliputi struktur sintaksis, skrip, tematik, dan retoris.

Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2006), Cet. 1, h. 92.

PERANGKAT FRAMING

1. Skema Cerita - Skematik

(18)

Dalam penelitian Analisis Framing Pesan Moral Film Get Married ini, penulis terinspirasi pada skripsi-skripsi terdahulu. Diantaranya Analisis Framing Film Berbagai Suami Karya Nia Dinata yang ditulis oleh Junaidi dan Analisis Framing Berita Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi

Publik (RUU KMIP) di www.bipnewsroom.info Badan Informasi Publik

Departemen Komunikasi dan Informatika oleh Untung Sutomo pada tahun 2007. Junaidi dalam penelitiannya menjelaskan masalah pengemasan pesan yang disampaikan Nia Dinata dalam film Berbagi Suami dan mengungkap nilai-nilai yang melatar belakangi konstruksi sosial dalam pengemasan pesannya. Adapun Untung Sutomo meneliti RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, dalam analisis framingnya ia mendapatkan hasil konstruksi berita seputar RUU KMIP tersebut.

Kedua penelitian tersebut sama-sama menggunakan teori dan model yang sama seperti peneliti kali ini. Namun, penelitian kali peneliti tidak hanya mengungkap pengemasan pesan oleh sutradara, tetapi juga mengungkap pesan moral yang terdapat dalam film Get Married.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka dibuatlah sistematika penulisan yang terdiri dari beberapa bab, dan bab-bab tersebut memiliki beberapa sub-bab yaitu :

(19)

BAB II LANDASAN TEORITIS yang terdiri dari, Pengertian Moral, Etika dan Akhlak, Teori Framing, Film Sebagai Media Dakwah, dan Perkawinan Menurut Islam.

BAB III GAMBARAN UMUM FILM GET MARRIED yang terdiri dari Latar Belakang Pembuatan Film Get Married, Sinopsis Film Get Married dan Tim Produksi Film Get Married.

BAB IV PESAN MORAL FILM GET MARRIED membahas hasil penelitian yang terdiri dari, Pengemasan Pesan Dalam Film Get Married, dan Pesan Moral Dalam Film Get Married.

(20)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Moral, Etika dan Akhlak

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, moral adalah penentuan baik-buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.12Kata moral sendiri berasal dari bahasa latin yaitu mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, dan cara hidup. Sedangkan secara etimologi moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas dari sifat, perangai, kehendak pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.13

Moral merupakan ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan kumpulan peraturan dan ketetapan lisan atau tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber dasar ajaran-ajaran moral adalah tradisi, adat istiadat, ajaran agama dan ideologi-ideologi tertentu.14

Beberapa pengertian moral juga dituliskan dalam buku The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, sebagai berikut:

1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk. 2. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah. 3. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.15

12

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, h. 278.

13

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), cet. 5, h. 94. 14

Sudirman Tebba, Etika dan Tasawuf Jawa, (Jakarta: Pustaka irVan, 2007), h. 11-12. 15

(21)

Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai atau ketentuan baik atau buruk, benar atau salah.

Dalam buku Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa moral adalah kesusilaan atau kebiasaan yang dapat mencakup:

a. Seluruh kaidah kebiasaan dan kesusilaan yang berlaku pada suatu kelompok tertentu.

b. Ajaran kesusilaan yang dipelajari secara sistematis di dalam etika, falsafah moral dan teologi moral.

Menurut Zakiah Darajat, moral adalah kelakuan sesuai dengan ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan tersebut.16

Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma yang terdapat di antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia.17 Adapun kategori berdasarkan pesan moral ada tiga macam:

1. Kategori hubungan manusia dengan Tuhan.

2. Kategori hubungan manusia dengan diri sendiri. Menjadi sub; ambisi, harga diri, takut dan lain-lain.

3. Kategori hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan sosial, termasuk hubungannya dengan alam. Dibagi menjadi sub kategori; persahabatan, kesetiaan, penghianatan, permusuhan dan lain-lain.

16

Zakiah Darajat, Peranan Agama Islam Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Masagung, 1993) h. 63.

17

(22)

Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.18

Menurut Franz Magnis Susesno, etika adalah sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental tentang bagaimana manusia harus bertindak.19 Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan suatu filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Jadi, etika merupakan sebuah ilmu dan bukan ajaran.

Kata moral lebih mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan etika adalah ilmu, yakni pemikiran rasional, kritis dan sistematis tentang ajaran-ajaran moral. Etika menuntun seseorang untuk mengapa atau atas dasar apa ia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Dalam artian ini etika dapat disebut filsafat moral (E. Y. Kanter, 2002:2).20

Jadi, ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk bagaimana kita harus memperlakukan kendaraan kita dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian tentang struktur dan teknologi kendaraan itu.

Dari beberapa definisi di atas tentang moral, maka peneliti menyimpulkan bahwa moral adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok tertentu dalam mengatur segala tingkah

18

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 90. 19

Ibid., h. 11. 20

(23)

lakunya. Sedangkan etika merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan baik dan buruknya sikap dan tingkah laku manusia, atau aturan tentang tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

Selain etika, akhlak juga punya makna yang sama dengan moral. Menurut bahasa akhlak berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, kelakuan, tabi’at, watak dasar, kebiasaan, kelaziman.

Sedangkan pengertian akhlak berdasarkan terminologi adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka yang menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.21

Ibn Miskawaih yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak terdahulu, secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang mendoronganya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.22

Sementara itu Imam al-Ghazali mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.23

Menurut Hamka, akhlak bersumber pada empat perkara yaitu:

1. Hikmat, ialah keadaan nafi (batin) yang dengan hikmat dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah segala perbuatannya yang berhubungan dengan ikhtiar.

21

Mohammad Ali Azis, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 117. 22

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 3. 23

(24)

2. Syuja’ah, ialah kekuatan ghabah (marah) itu dituntun oleh akal baik maju dan mundurnya.

3. Iffah, ialah mengekang kehendak nafsu dengan akal dan syara.

4. ‘Adalah, ialah keadaan nafs yaitu suatu kekuatan batin yang dapat mengendalikan diri ketika marah atau ketika syahwat naik.24

Akhlak terdiri dari dua macam, yaitu:

1. Akhlak Mahmudah; yaitu perbuatan baik terhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk-makhluknya.

2. Akhlak Madzmumah; yaitu perbuatan buruk terhadap Tuhan, sesama manusia dan makhluk-makhluknya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa etika dan moral berasal dari akal manusia dan budaya masyarakat. Sementara akhlak berasal dari wahyu Tuhan, yakni ketentuan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits.

B. Teori Framing

Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya dalam menganlisis teks media. Gagasan mengenai framing diawali oleh Beterson pada tahun 1995, awalnya frame dimaknai sebagai stuktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasikan realitas.25

Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu,

24

Hamka, Akhlak Karimah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), h.5. 25

(25)

hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari relitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal.26

Penonjolan yang dimaksud adalah mempertinggi probabilitas penerima akan informasi, sehingga dapat melihat pesan tersebut dengan lebih tajam dan dapat tersimpan dalam ingatan penerima pesan.

Media massa – khususnya film menghadirkan sebuah cerita dengan mengemas atau membingkai (framing) cerita tersebut dari realitas suatu peristiwa. Karena media apapun tidak terlepas dari bias-bias yang berkaitan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.27

Menurut Dedy N. Hidayat yang dikutip Racmah Ida, menjelaskan bahwa analisis framing dapat digunakan untuk melihat bagaimana upaya media menyajikan sebuah event yang mengesahkan obyektifitas, keseimbangan dan nonpartisan dan mengemasnya sedemikian rupa, sehingga khalayak mudah tergiring ke dalam kerangka framing pendefinisian realitas dan tertentu yang dilakukan oleh media melalui pemilihan kata, bahasa, penggunaan simbol dan sistem logika tertentu.28

Dalam mendefinisikan framing, Gamson menggunakan dua pendekatan, pertama pendekatan kultural yang menghasilkan framing dalam level kultural, dan kedua menggunakan pendekatan psikologis yang menghasilkan framing

dalam level individual.29

Analisis framing berusaha menemukan kunci-kunci tema dalam sebuah teks dan menunjukkan bahwa latar budaya membentuk pemahaman terhadap sebuah peristiwa.

26

Eriyanto, Analisis Farming, h. 66. 27

Ibid., h. 5. 28

Rachmah Ida, Ragam Penelitian Isi Media Kuantitatif, dalam Burhan Bungin, h. 150. 29

(26)

Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada “cara melihat” terhadap realitas yang dijadikan berita atau cerita, “cara melihat” ini berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realitas.30

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki mendefinisikan framing sebagai strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.31 Perangkat framing atau struktur analisis tersebut adalah sintaksis, skrip, tematik dan retoris.

1. Struktur Sintaksis

Struktur sintaksis berhubungan dengan bagaimana penulis menyusun gagasan dalam sebuah cerita. Bagian-bagian yang diamati adalah judul, latar dan lainnya. Bagian ini disusun dalam bentuk tetap dan teratur sehingga membentuk skema yang menjadi pedoman bagaimana cerita hendak disusun.

Dalam sebuah plot (peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang berdasarkan sebab akibat), hal yang sangat esensial untuk diperhatikan adalah peristiwa, konflik dan klimaks. Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga unsur tersebut. Demikian pula dengan masalah kualitas dan kadar kemenarikan sebuah cerita fiksi.32

30

Eriyanto, Analisis Framing, h. 10. 31

Ibid., h. 69. 32

(27)

Peristiwa dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu: peristiwa fungsional, kaitan dan acuan.33 Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan plot. Urutan-urutan peristiwa fungsional merupakan inti cerita sebuah karya fiksi yang bersangkutan.

Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-peristiwa penting (baca: peristiwa fungsional) dalam pengurutan penyajian cerita (atau: secara plot).

Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh. Dalam hal ini bukannya alur dan peristiwa-peristiwa penting yang diceritakan, melainkan bagaimana suasana alam dan batin dilukiskan.

Selain peristiwa dalam sebuah plot cerita dikenal juga adanya konflik. Konflik menyarankan pada sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita yang, jika tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya.34

Bentuk konflik sebagai bentuk kejadian, dapat dibedakan dalam dua kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal dan konflik internal. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi dengan sesuatu yang diluar dirinya – dengan lingkungan alam – dengan lingkungan manusia. Sedangkan

33

Ibid., h. 118. 34

(28)

konflik internal (atau: konflik batin) adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seseorang tokoh (atau: tokoh-tokoh) cerita.35

Ada satu hal lagi yang sangat menentukan (arah) perkembangan plot adalah klimaks. Menurut Stanton, klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntutan dan kelogisan cerita, perisatiwa dan saat itu memang harus terjadi tidak boleh tidak.36

2. Struktur Skrip

Struktur skrip melihat bagaimana strategi penulis cerita mengisahkan atau menceritakan peristiwa sesuai dengan plotnya, dan berdasarkan nilai konstruksi dramatik sebuah cerita dalam skenario.

Dalam berita, wartawan menggunakan beberapa perangkat dalam struktur skrip ini yaitu What (apa), When (kapan), Who (siapa), Where (di mana), Why

(mengapa) dan How (bagaimana). Begitu juga dengan penulis cerita tetap menggunakan unsur-unsur tersebut dalam mengisahkan cerita, namun sudah dikemas dalam unsur-unsur skenario film.

Cerita adalah perjuangan protagonis dalam mengatasi problema tama dan untuk bisa mencapai goal. Lintasan perjuangan terssebut berupa rangkaian adegan, yakni adegan yang merupakan pokok-pokok cerita, adegan-adegan yang indah dan memiliki nilai dramatik, yakni yang mengandung konflik, suspense, ketakutan dan sebagainya.37

3. Struktur Tematik

35

Ibid., h. 124. 36

Ibid., h. 127. 37

(29)

Struktur tematik berhubungan dengan cara penulis cerita mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.

Perangakat framing yang digunakan adalah detail, koherensi, bentuk kalimat dan kata ganti. Melalui perangkat-perangkat ini membantu melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan dalam bentuk yang lebih kecil.

Detail merupakan strategi komunikator mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Komunikator detail dalam mengemas pesan, mana yang dikembangkan dan mana yang diceritakan dengan detail yang besar, akan menggambarkan bagaimana wacana yang dikembangkan oleh media.38

Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, proposisi, atau kalimat. Sehingga cerita yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya.

Koherensi memiliki beberapa macam kategori: pertama, koherensi sebab-akibat, yaitu proposisi atau kalimat satu dipandang akibat atau sebab dari proposisi lain. Kedua, koherensi penjelas, yakni proposisi atau satu kalimat sebagai penjelas proposisi atau kalimat lain. Ketiga, koherensi pembeda, yakni proposisi atau kalimat satu dipandang menjadi kebalikan atau lawan dari proposisi atau kalimat lain.39

Adapun kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Gagasan yang tunggal

38

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2006), cet. Ke-6, h. 238.

39

(30)

dinyatakan dalam kalimat tunggal, dan gagasan yang bersegi dinyatakan dalam kalimat majemuk.40

Perangkat lain adalah proposisi, menurut Poespoprodjo proposisi adalah suatu penuturan yang utuh, atau ungkapan keputusan dalam kata-kata atau juga manifestasi luaran dari sebuah keputusan.41

Kata ganti adalah elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana.42

4. Struktur Retoris

Retoris berhubungan dengan bagaimana penulis cerita menekankan arti tertentu ke dalam cerita. Struktur ini akan melihat bagaimana penulis cerita memakai pilihan kata, idiom, bentuk citra yang ditampilkan sebagai penekanan arti tertentu kepada pembaca atau penonton.

Leksikon adalah pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa. Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.43

Sedangkan metafora, dimaksudkan sebagai ornamen atau bumbu dari suatu cerita. Pemakaian metafora ini bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makana suatu teks. Penulis cerita menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci untuk

40

E. Zaenal Arifin, dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), Ed. Baru, cet. Ke-1, h. 78.

41

Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), h. 170.

42

Eriyanto, Analisis Wacana, h. 253. 43

(31)

memperkuat pesan utama. Penggunaan metafora ini sebagai landasan berpikir atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik.44

C. Film Sebagai Media Komunikasi dan Dakwah

1. Pengertian Film

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2003), film diartikan sebagai: (1) Selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop); (2) Lakon (cerita) gambar hidup.45

Para teoritikus film menyatakan bahwa film adalah perkembangan yang bermuncul dari fotografi. Hanya saja foto tidak memperlihatkan ilusi gerak (baca: statis), sedangkan film meberikan ilusi gerak (moving camera).

Film adalah gambar hidup, juga sering disebut dengan movie. Gambar hidup adalah bentuk seni, bentuk popular dari hiburan dan juga bisnis. Film merupakan teknologi hiburan massa dan untuk menyebarluaskan informasi dan berbagai pesan dan skala luas disamping pers, radio, dan televisi.46 Sebagai media rekam film menyajikan gambar figuratif dalam bentuk objek-objek fotografis yang dekat dengan kehidupan manusia (Andre Garcies).47

Berdasarkan Undang-undang perfilman No. 8 Tahun 1992: film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan

44

Ibid., h. 259. 45

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi Ke-3, h. 316.

46

Sean McBride, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa Depan: Aneka Suara Satu Dunai, (Terj) (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h. 20.

47

(32)

teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, elektronik, atau lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya. Sedangkan perfilman itu sendiri adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan, jasa, teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukkan, dan/atau penayangan film.48

Film tidak hanya sekedar cerita semata melainkan sebuah gambaran dalam kehidupan sosial sebuah komunitas. Film memiliki realitas kelompok masyarakat baik realitas dalam bentuk imajinasi atau realitas dalam arti sebenarnya.

Film adalah fenomena sosial, psikologi dan estetika yang kompleks. Film adalah dokumen yang terdiri dari cerita dan gambar diiringi kata-kata dan musik. Jadi, film adalah produksi yang multi-dimensional dan sangat kompleks.49 Sehingga film dapat memberikan pengaruh bagi jiwa manusia, karena dalam suatu proses menonton film terjadi suatu gejala yang disebut oleh ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi sosiologi sesuai dengan karakteristik dan keunikan yang ada pada film, dan ini adalah salah satu kelebihan film sebagai media massa dibanding dengan media massa lainnya.

Film tidak hanya memberikan hiburan semata tetapi lebih dari itu film sudah masuk ke dalam sebuah kebudayaan yang tidak hanya sekedar objek estetika.

Dari banyak penjelasan di atas tentang film, maka penulis menyimpulkan bahwa pengertian film adalah cerita atau gambaran realita kehidupan

48

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32. 49

(33)

hari yang digambarkan melalui media elektronik audio-visual untuk disampaikan kepada khalayak ramai.

a. Perkembangan Film

Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang baru dimulai pada tahun 1906, ketika Ferdinand Zecca da Prancis membuat film yang berjudul The Story of Crime, dan Edward S. Porter membuat film yang berjudul The life of an American Fireman pada tahun 1902. Akan tetapi karya yang dianggap sebagai film cerita yang pertama adalah karya Edward S. Porter yang berjudul The Great Train Roberry50, karena film yang hanya berdurasi sebelas menit ini sudah memiliki teknik pembuatan film yang mengagumkan pada saat itu.

Setelah film ditemukan pada akhir abad ke-19, film mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung. Pada awalnya hanya dikenal film hitam-putih dan tanpa suara.

Adapun menurut sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang diprodusir di Negeri ini adalah film yang berjudul Lady Van Java oleh seorang yang bernama David pada tahun 1926 di kota Bandung. Sehingga pada tahun 1930 masyarakat Indonesia telah disajikan dengan film-film yang semakin merebak seperti film Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh. Namun film yang disajikan masih merupakan film bisu.51

50

Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Alumni, 1978), h. 201-202.

51

Elvianaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar

(34)

Peralatan produksi film telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, pada akhir tahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film warna pada tahun 1930-an.52

Lebih lanjutnya Onong Uchjana effendy juga menjelaskan bahwa :

“Pada tahun 1953 diketengahkan sistem tiga dimensi, yaitu suatu sistem yang benar-benar menimbulkan kesan yang mendalam, karena apa yang dilihat penonton tidak lagi latar, sehingga terlihat tampak benar-benar seperti kenyataan. Pada tahun yang sama, perusahaan film 20 Century Fox memperkenalkan cinemascope dengan layarnya yang lebar. Sementara itu perusahaan film Paramount berhasil menampilkan sistem vista vision yang meskipun layarnya tidak selebar cinemascope tetapi gambar yang ditampilkan sangat tajam.”53 Dalam The Art of Film, Ernest Lindgren menyatakan, adalah mustahil untuk membayangkan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata atau didengar oleh telinga, baik sesuatu yang benar-benar ada maupun sesuatu yang ada dalam khayalan, yang tidak dapat disajikan dalam media film.54

b. Jenis-jenis Film

Dewasa ini terdapat pelbagai ragam film. Meskipun cara pendekatan berbeda-beda, semua film dapat dikatakan mempunyai satu sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan masalah-masalah yang dikandung. Selain itu film dapat dirancang untuk melayani keperluan publik terbatas maupun publik yang seluas-luasnya.

Pada dasarnya film dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni film cerita dan film noncerita. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukkan di bioskop dengan harga

52

Marseli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film (Jakarta: Grasindo, 1996), h. 9. 53

Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat komunikasi, Opcit, h. 58. 54

(35)

karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu.55

Film cerita memiliki pelbagai jenis, diantaranya sebagai berikut:

a. Film Drama; adalah suatu kejadian atau peristiwa hidup yang hebat, mengandung konflik pergolakan, clash atau benturan antara dua orang atau lebih. Sifat drama antara lain romance, tragedy dan comedy. b. Film Realisme; adalah film yang mengandung relevansi dengan

kehidupan sehari-hari.

c. Film Sejarah; melukiskan kehidupan tokoh tersohor dan peristiwanya. d. Film Horor/Misteri; mengisahkan cerita yang menyeramkan,

mengupas terjadinya fenomena supranatural yang menimbulkan rasa wonder, heran, takjub dan takut.

e. Film Perang; menggambarkan peperangan atau situasi di dalamnya atau setelahnya.

f. Film Anak; mengupas kehidupan anak-anak.

Dalam pembuatan film-film cerita ini dibutuhkan proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan atau cerita yang akan digarap. Sedangkan proses teknis berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Oleh karena itu film cerita dapat dipandang sebagai wahana penyebaran nilai-nilai.56

Sedangkan film non-cerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya. Jadi merekam kenyataan daripada fiksi tentang

55

Ibid. 56

(36)

kenyataan.57 Yang termasuk film noncerita adalah film dokumenter dan film faktual.

Film dokumenter adalah film yang hanya merekam kejadian tanpa diolah lagi, misalnya dokumentasi upacara kenegaraan. Selain mengandung fakta, film dokumenter juga mengandung subjektifitas pembuat.58 Subjektivitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. Adapun film faktual pasa umumnya hanya menampilkan fakta – sekedar merekam peristiwa.

Dengan kata lain, film dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film dokumenter.59

Adapun film faktual disebut juga dengan film berita (newsreel), yakni film mengenai fakta dan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi yang disajikan melalui media televisi, dengan dipandu gambar film dan berita yang pesannya lebih bersifat penerangan atau informasi atau pengetahuan bagi penonton.

c. Unsur-unsur Film

Menurut Adi Pranajaya dalam bukunya yang berjudul Film dan Masyarakat menuliskan bahwa film mempunyai beberapa unsur sebagai berikut:

a. Tittle adalah judul dari film.

b. Crident Tittle, meliputi produser, crew, aktor/artis, dan lain-lain. c. Tema Film, merupakan inti cerita yang terdapat dalam sebuah film.

d. Intrik, usaha pemeran oleh pemain dalam menceritakan adegan yang telah disiapkan dalam naskah untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh sutradara.

e. Klimaks, yaitu puncak dari inti cerita yang disampaikan. Klimaks dapat berbentuk komflik atau benturan antar pemain.

57

Ibid., h. 10. 58

Ibid., h. 14. 59

(37)

f. Plot, yaitu alur atau jalan cerita dalam film. Alur terdapat dua macam yakni alur maju yang disampaikan pada masa sekarang atau mendatang, dan alur mundur adalah cerita yang disampaikan tentang cerita masa lalu. g. Suspen, keterangan pada masalah yang terkatung-katung.

h. Million Setting, latar kejadian dalam sebuah film baik berupa waktu, tempat, perlengkapan, aksesoris atau fashion yang disesuaikan.

i. Sinopsis, gambaran cerita yang disampaikan dalam sebuah film dan berebentuk naskah.

j. Trailer, merupakan bagian film yang menarik.

k. Character, karakteristik dari para pelaku dalam sebuah film.

d. Stuktur-struktur Film

a. Pembagian cerita.

b. Pembagian adegan (squence). c. Penganbilan gambar (shoot).

d. Pemilihan adegan pembuka (opening). e. Alur cerita dan continuity.

f. Intrique yang meliputi jealousy, penghianatan, rahasi bocor, tipu muslihat dan lain-lain.

g. Anti klimaks, penyelesaian masalah – dilakukan setelah klimaks.

h. Ending, akhir cerita dari sebuah film, bisa berakhir bahagia (happy ending) atau berakhir menyedihkan (sad ending).60

2. Pendekatan Menganalisa Film

Menurut James Monaco dalam How to Read a Film, mengatakan bahwa memahami film adalah memahami bagaimana setiap unsur, baik sosial, ekonomi, politik, budaya, psikologi dan estetis film masing-masing mengubah diri dalam hubungannya yang dinamis.61

Menilai sebuah film pada hakikatnya dalah menganalisis unsur-unsur sebuah film tanpa terlepas dari kebulatannya. Baik sifat, proporsi, fungsi, dan saling hubungan dari unsur-unsurnya. Kalaupun kemudian terjadi sudut pandang dan hasil penilaian yang berbeda karena film memiliki keunikan dan kompleksitasnya sendiri. Yaitu memiliki dimensi etis, politis, psikologis, sosiologis dan estetis. Namun, film juga mengadaptasi nilai-nilai seni lainnya, seperti musik, drama, sastra dan lain-lain. Selain itu film tidak selalu memiliki struktur yang jelas, yang bisa didekati dengan formal, sistematis, rasional dan teratur. Akan tetapi jika sebuah film cukup efektif, maka ia dapat didekati dalam tanggapan emosional, intuitif, dan lewat pengalaman-pengalaman kehidupan.62

60

Ibid., h. 103. 61

Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1998), h. 76.

62

(38)

Apresiasi terhadap film dapat dikatakan sebagai upaya untuk meningkatkan daya persepsi seseorang terhadap film-film yang disaksikan setiap hari melalui televisi, bioskop umum dan tempat pertunjukkan lainnya. Dengan demikian penonton dapat membedakan antara film yang berkesan dangkal dan yang berkesan mendalam.

Analisa tidak menuntut, atau bahkan berusaha untuk menjelaskan segalanya tentang suatu bentuk karya seni. Gambar-gambar yang mengalir lincah, akan selalu menghindar dari analisa yang sempurna dan tidak ada jawaban final yang tersedia buat setiap karya seni. Jadi, film tidak sepenuhnya dapat ditangkap oleh sebuah analisa.63

Menganalisa sebuah film merupakan bentuk latihan mempersepsi dan memahami film. Dengan menganalisa sebuah film kita akan memperoleh manfaat yang maksimal dari pertunjukkan film, menghargai film yang berkualitas baik dan mengesampingkan film yang buruk, serta kita dapat menjaga diri dari pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin timbul dari film.64

3. Film Sebagai Media Dakwah

Era informasi yang ditandai dengan maraknya berbagai macam media massa sebagai sarana komunikasi sudah seharusnya umat Islam mampu memanfaatkan media massa tersebut untuk berdakwah. Tentu saja dakwah melalui media massa ini yang harus berjalan seiring dengan pelaksanaan format dakwah lainnya.

Media komunikasi (radio, televisi, internet, buku, koran dan majalah) memiliki nilai strategis sebagai media dakwah, karena media-media tersebut mempunyai banyak keutamaan:65

1. Program yang dipersiapkan oleh seorang ahli, sehingga materi yang disampaikan benar-benar bermutu.

63

Sumarno, Apresiasi Film, h. 46. 64

Ibid., h. 28. 65

(39)

2. Media komunikasi tersebut merupakan bagian dari budaya masyarakat. 3. Mudah dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat.

4. Media tersebut memiliki barbagai fungsi positif bagi kebaikan kehidupan sosial manusia yang antara lain menyampaikan kebijakan, informasi secara tepat dan akurat.

Pada perkembangan zaman sekarang ini pemanfaatan berbagai macam sarana komunikasi dan informasi yang semakin canggih, media cetak maupun elektronik, audio atau audio visual dan internet adalah merupakan sarana penunjang untuk berdakwah agar ajaran Islam dapat diterima di masyarakat. Dari sekian banyak media yang digunakan salah satunya adalah film yang mempunyai daya tarik tersendiri dengan keragaman cerita serta aktor dan artis yang tidak membosankan bagi audiensnya.

Dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks ini, dakwah Islam memerlukan sebuah strategi baru yang mampu mengantisipasi perubahan zaman yang semakin dinamis. Oleh sebab itu, dalam rekayasa peradaban Islam sekarang ini guna menyongsong kebangkitan umat di zaman modern saat ini diperlukan formasi strategi yang tepat.

Salah satu di antara unsur penting dalam sistem kebudayaan adalah kesenian. Melalui kesenianlah manusia mampu memperoleh saluran untuk mengekspresikan pengalaman serta ide yang mencerdaskan kehidupan batinnya. Di antara jenis kesenian yang diciptakan manusia adalah film.

Sebagai komunikasi massa, film dapat memainkan peran dirinya sebagai saluran menarik untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu dari dan untuk manusia, termasuk pesan-pesan keagamaan yang lazimnya disebut dengan dakwah.66 Karena kelebihan film adalah memiliki pengaruh terhadap penonton

66

(40)

mulai dari gaya hidup bahkan sampai karakter diri sang penonton. Dengan begitu film juga dapat berfungsi sebagai media dakwah yang efektif.

D. Perkawinan Menurut Islam

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan pranata sosial yang telah ada sejak manusia diciptakan oleh Allah SWT, yakni antara Adam a.s. dan Siti Hawa. Sehingga dapat dikatakan bahwa sudah menjadi fitrah manusia untuk hidup berpasang-pasangan.

Menurut bahasa perkawinan adalah pengumpulan, sedangkan menurut

syar’i (hukum) perkawinan adalah suatu akad yang mengandung kebolehan untuk bersenang-senang bagi masing-masing pasangan (suami-istri) atas dasar yang disyariatkan.67 Sedangkan dalam UU No. 1/1974 pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri.68

Di kalangan bangsa Arab, lafadz nikah (perkawinan) dipergunakan untuk arti akad, senggama dan bersenang-senang. Akan tetapi secara hakikat lafadz nikah dikhususkan untuk akad dan secara kiasan dipergunakan sebagai arti senggama. Secara umum penggunaan lafadz nikah dalam al-Qur’an hanya dipergunakan dalam arti akad, bukan senggama.69

Perkawinan dalam Islam dinamakan “zawaj” atau “nikah”. Zawaj berasal dari kata zaujun yang berarti pasangan yang tidak dapat dipisahkan. Jadi zawaj adalah pasangan dalam arti dua makhluk dijadikan pasangan hidup.70 Sedangkan nikah membawa arti lebih sempit, yakni menghubungkan dua jenis

67

Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita (Tangerang: CV Pamulang, 2005), h. 1-2.

(41)

manusia untuk hidup bersama dan menghalalkan – menggunakan tubuh masing-masing untuk apa yang telah dihalalkan oleh Allah.71

Perkawinan dalam Islam memiliki lima rukun yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun ini dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum ini dapat berakibat hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban. Lima rukun tersebut meliputi calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab - kabul.72

2. Tujuan Perkawinan

Allah telah menciptakan lelaki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai dan menghasilkan keturunan serta dapat hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebagaimana tersebut dalam Q.S. ar-Rum ayat 21.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir.”

Dengan memahami tujuan ini, maka pasangan yang hendak mewujudkan sebuah rumah tangga haruslah mempunyai komitmen bahwa “penyatuan” antara mereka berdua bukanlah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga untuk saling memahami, saling menghormati dan saling menghargai antar kedua belah pihak.

Bahkan dituliskan pula oleh Abdur Rahman dalam bukunya yang bertajuk

Perkawinan Dalam Syariat Islam, bahwa Nabi Muhammad memerintahkan

71

Ibid., h. 9. 72

(42)

umatnya untuk memasuki ikatan perkawinan, karena itu berarti melaksanankan “separuh dari agamanya”.73 Karena seperti sudah dipaparkan bahwa dengan menikah dapat melindungi dari kekacauan baik itu zinah, fitnah, pertikaian dan sebagainya yang akhirnya dapat mengakibatkan rusaknya tatanan kekeluargaan ideal.

3. Hukum Perkawinan

Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anas sebagaiman dikutip Abdur Rahman mengatakan bahwa meskipun menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai kebolehan/hal yang dianjurkan, namum bagi beberapa pribadi tertentu, hukumnya dapat menjadi wajib.74

Lebih jelasnya Adur Rahman menjelaskan secara gambalang bahwa: “Apa yang keluar dari pertimbangan seksama perintah Qur’an dan al-Hadits adalah bahwa perkawinan diwajibkan bagi seseorang lelaki yang memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar mahar, menafkahkan istri dan anak-anak, sehat jasmani dan dikhawatirkan bila tidak menikah dia akan melakukan zina. Nikah juga diwajibkan bagi wanita yang tidak memiliki kekayaan apapun untuk membiayai hidupnya, dan dikhawatirkan kebutuhan seksnya akan menjerumuskannya ke dalam perzinaan. Namun akan bersifat sunah bagi seseorang yang memiliki daya yang kuat untuk mengendalikan tuntutan seksnya, sehingga tidak akan terjerumus ke dalam bujukan syaitan, namun berkeinginan memperoleh keturunan dan orang yang merasa bahwa dengan menikah tidak akan menjaukannya dari pengabdiannya kepada Allah. Menikah diharamkan kepada seorang laki-laki yang tidak memiliki kekayaan untuk membiayai istri dan anak-anak, atau dia menderita suatu penyakit yang cukup gawat dan akan menular kepada istrinya atau keturunannya. Menikah akan menjadi makruh bagi seorang laki-laki yang tidak memiliki keinginan seksual sama sekali, atau diyakini akan mengakibatkannya lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena menikah itu.”75

73

Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1992), h. 9. 74

Ibid., h. 7. 75

(43)

Masih dikutip dari buku yang sama, menurut mazhab Maliki menikah humnya fardhu/wajib bagi orang muslim sekalipun mungkin dia tidak mampu memperoleh nafkah hidup.76

Namun, beberapa ulama tidak sepakat dengan hal itu dan mengingatkan bahwa jika seorang laki-laki tidak mampu memperoleh nafkah hidup halal maka dia tidak dianjurkan/diperbolehkan menikah.77

Dari banyak pernyataan tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa hukum menikah bagi setiap individu bersifat kondisional sesuai dengan kondisi dan keadaan individu tersebut.

76

Ibid., h. 9. 77

(44)

BAB III

GAMBARAN UMUM FILM GET MARRIED

A. Latar Belakang Pembuatan Film Get Married

Diantara pertarungan sekuel-sekuel horor yang disebut sineas Rizal Mantovani dengan “Lebaran Blockbusters” tahun 2007 lalu, terselip satu film komedi-romantis yang semenjak promonya sudah mengundang perhatian banyak masyarakat karena sebarisan cast-nya. Get Married, produksi terbaru PT. Kharisma Starvision kembali mengeluarkan film yang berhasil memikat banyak penonton, dan berhasil meraih banyak penghargaan di ajang perfilman di penghujung tahun 2007.

Film ini disutradarai oleh sineas muda dan berbakat yang akhir-akhir ini cukup produktif dengan karya-karyanya yang gemilang, yaitu Hanung Bramantyo, namanya kembali menyeruak di jagad raya Indonesia karena karya film teranyarnya “Ayat-ayat Cinta”. Selain disutradarai oleh Hanung film Get Married ini juga mencantumkan nama Musfar Yasin sebagai penulis skenario.

Sejak kesuksesan Nagabonar Jadi 2, nama penulis skenario Musfar Yasin yang sebelumnya menulis Kiamat Sudah Dekat memang jadi sangat terangkat, namun sedikit berbeda dengan dua komedi yang kental dakwahnya itu, disini Musfar justru menghadirkan segudang dialog berisi sindiran demi sindirannya terhadap berbagai aspek sosial, idealisme nyeleneh bangsa kita termasuk dalam hal religi, dan memang, disinilah letak kekuatan utama Get Married

(45)

Mengandalkan tema komedi dengan kandungan persilangan budaya didalamnya, maka Get Married berusaha menaikkan kembali pamor film komedi yang sempat jaya di masa Warkop DKI, duet Kadir-Doyok ataupun Didi Petet dengan Kabayan-nya.78

Mengikuti gaya satir sosialnya setelah film Kamulah Satu-satunya, kiprah Hanung terlihat semakin berkualitas. Atmosfer dan kekuatan komedi dalam film Get Married ini dapat disejajarkan dengan sineas senior yaitu Abas Akup yang dulu sangat terkenal dengan filmnya Inem Pelayan Seksi dan Cintaku di Rumah Susun yang dimainkan oleh duo Kadir-Doyok.79 Get Married bisa jadi pilihan yang tak hanya luar biasa menghibur, namun juga mengandung sejuta makna lewat pesan bijaknya tanpa harus membawa beban berat.

Menurut Chand Parwez sang Produser dalam kesempatan Press Conference film ini di Planet Hollywood Jakarta pada tanggal 4 Oktober 2007 lalu mengatakan bahwa film persembahan Starvision ini sangat bisa menghibur dan bisa dinikmati oleh semua kalangan dan semua umur. Dan sang produserpun menyatakan bahwa Get Married ini memang dipersiapkan untuk mengisi dan dapat menjadi sebuah hiburan di hari kemenangan yakni hari raya ‘Idul Fitri tahun 2007 lalu.

Menurut Hanung cerita dalam film ini sangat tepat menggambarkan kondisi ibu kota negara kita tercinta – Jakarta, banyaknya pengangguran, sistem kepemerintahan yang kurang rapi, dan termasuk juga culture orang tua yang menginginkan anaknya segera menikah.80 Adapun tema yang dikisahkan dari film ini adalah tentang persahabatan, solidaritas, dan pernikahan budaya diantara jepitan modernitas.

78

http://ruangfilm.com 79

Ibid., 80

(46)

Beberapa artis senior juga meramaikan dalam film ini, seperti Meriam Bellina, Jaja Mihardja, Ira wibowo, Inggrid Widjanarko, Deby Debora, Iga Mawarni, dan Epi Kusnandar.

Film ini pun telah menjadi film tersukses di tahun 2007 dengan pencapaian penonton sekitar 1,4 juta penonton. Selain itu film Get Married

juga mendapatkan beberapa nominasi di Festival Film Bandung (FFB) yang akan berlangsung tanggal 29 April 2008. nominasi tersebut adalah kategori film terpuji, penulis skenario terpuji, editing terpuji, penata musik terpuji, pemeran utama pria dan wanita terpuji, pemeran pembantu pria dan wanita terpuji dan sutradara terpuji.81 Selain itu film ini juga berhasil mendapatkan Piala Citra Festival Film Indonesia 2007, dengan kategori sutradara terbaik, editing terbaik dan pemeran pendukung terbaik.

Salah satu yang menarik adalah keikutsertaan SLANK dalam menggarap

soundtrack film ini yang memuat sepuluh lagu. Dalam album ini ada satu lagu lama ciptaan A. Rafiq yang berjudul “Pandangan Pertama” sebagai theme song film yang diaransemen ulang dengan featuring Nirina Zubir yang merupakan bintang utama film Get Married, satu lagu baru yaitu “Kuil Cinta”, dan delapan lagu lainnya diambil dari album lawas SLANK seperti “Orkes Sakit Hati”, “Sosial Betawi Yoi (SBY)”, “Loe Harus Pulang dan lain-lain.

B. Sinopsis Film Get Married

Film yang bertajuk Get Married yang mengangkat sosok empat anak muda yang bersahabat sejak kecil yang mengakui diri mereka sebagai anak muda paling frustrasi se-Indonesia. Mae (Nirina Zubir) ingin menjadi Polisi Wanita akan tetapi dimasukkan ke Akademi Sekretaris oleh orang tuanya. Beni

81

(47)

(Ringgo Agus Rahman) yang bercita-cita jadi Petinju malah masuk Sekolah Pertanian. Eman (Aming) yang ingin mengabdikan dirinya di dunia politik – jadi Politikus, dimasukkan ke Pesantren oleh orang tuanya. Dan Guntoro (Desta ‘Club Eighties’) yang berangan-angan jadi pelaut biar bisa keliling dunia, malah bisa merasakan kursus komputer.

Jadilah mereka anak-anak muda yang frustrasi, yang mengisi hari-hari mereka dengan bermain gaple bersama, dan sesekali menyerobot tugas polisi sebagai pengatur lalu lintas di pertigaan.

Tiba-tiba saja ada kesadaran pada orang tua Mae (Jaja Miharja dan Meriam Bellina), bahwa setiap manusia mestilah berkembang biak, anak beranak cucu bercucu. Satu-satunya penerus mereka adalah Mae. Tapi Mae yang tomboy yang tak pernah merawat diri sebagai perempuan sejati, tak tersentuh kosmetik. Apalagi sehari-harinya bergaul dengan tiga pemuda tidak jelas.

Mae pun dicarikan jodoh di luar kampungnya. Ternyata yang berminat, hanya anak muda yang cuma bermotor bebek. Sementara selera Mae ternyata tinggi. Ingin punya suami yang gagah dan mentereng. Lelah? Begitulah akhirnya yang dialami kedua orang tua Mae. Sampai akhirnya muncullah sang pangeran, Rendy (Richard Kevin) seorang pemuda yang tampan lagi pula kaya yang mampu membuat Mae jatuh cinta pada pandangan pertama.

(48)

Ibu Mae jatuh sakit karena memikirkan anaknya yang tak juga berjodoh. Bila ia meningggal dan Mae belum juga kawin, maka ia mengancam akan mati penasaran.

Mae kelimpungan, dan akhirnya ia memutuskan untuk kawin dengan salah seorang dari tiga sahabatnya tersebut. Kabar ini membuat Bu Mardi sembuh total dari sakitnya. Setelah pengundian berkali-kali, siapakah yang beruntung mendapatkan Mae?

C. Tim Produksi dan Pemeran Film Get Married

Tim Produksi:

Sutradara : Hanung Bramantyo

Penulis Skenario : Musfar Yasin

Produser : Chand Parwez Servia Executif Produser : Bustal Nawawi dan Fiaz Servia Line Produser : Tika Ansela Sandy

Director of Photography : Faozan Rizal Casting Director : Amelia Octavia Art Director : Alan Sebastian Make up & Costume Design : Retno dan Damayanti

Sound Design : Adityawan Susanto dan Adi Maulana

Music Director : SLANK

Editor : Cesa David Lukmansyah

Still Photographer : Erik Wira Sakti

(49)

Narator : Arie Dagienkz 1st Assistant Director : Fajar GBI

2nd Assistant Director : Emil Heraldi, Andreas Sullivan dan Indra Gunawan

Script Continuity : Pritha Githa, Septi Nitaria, Hestu Saputra, Dwi Agus, Andi dan Raymond

Talent Coordinator : Karin Binanto Produksi Manager : Daim Pohan

Produksi Unit : Koko Permana, Sony Trisnanto dan Buchori Muslim

Finance Unit : Amir Jumandi

Equipment Unit : Adit Hadi Suryadi

Cameraman : Kasnan

2nd Cameraman : Agung P. 2nd Assistant Cameraman : Gandang

3rdCameraman : Boang

3rd Assistant Cameraman : A’inudin dan Teguh

Loader : Wanda

Clapper : Resa dan Breges

Gaffer : Tarmidji

Lighting man : Soni Wibisono, Barok, Ijal, Firman, Dede, Budi, Purwanto dan Asep

Dolly Operator : Ebo

Boomer : Eko Bareko, Caca

(50)

Art Director Assistant : Kohar

Prop Master : Donny

Property man : Ary Usu, Doblem, Arek, Heru, dan Pa’i Set Builder : Mudin Bubun, Cecep, Pendi dan Dedi Start Coordinator : Dedy Ilyas

Main Cast Stunt : Dedy Andovi Make up Assistant : Tweety dan Shanty

Wardrobe : Minto

Post Runner : Ary Muryanto Editor Assistant : Ariva Nuryani Graphic Design : Arsianto Fahri Titling Design : Capluk Office man : Hadi Sunaryanto Office Secretary : Maghda Obata Film Distribution : Adi Kurniawan

Pemeran Tokoh:

Mae : Nirina Zubir

Beni : Ringgo Agus Rahman

Guntoro : Desta “Club 80’s”

Eman : Aming

Rendi : Richard Kevin

Pak Mardi : Jaja Mihardja Bu Mardi : Meriam Bellina Ibunya Rendi : Ira Wibowo

(51)

Ibunya Beny : Debdy Debora Ibunya Guntoro : Iga Mawarni

Penghulu : Epi Kusnandar

Dukun : Saiful Anwar

Dokter : Bagus Gustomo dan Sony Gunawan

Mantri : Wahyu Hidayat

(52)

BAB IV

PESAN MORAL DALAM FILM GET MARRIED

A. Pengemasan Isu Pesan dalam Film Get Married

Dalam film Get Married ini ditemukan beberapa fakta tentang beberapa pemikiran yang dijadikan alasan sebagian besar masyarakat melakukan pernikahan. Paradigma atau pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam film itulah yang akan diangkat dalam frame atau bingkai isu yang ditonjolkan dalam film ini.

Pesan-pesan yang akan dikemukakan berikut ini menggunakan pendekatan analisis framing yang dikembangkan Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki (model Pan dan Kosicki).

1. Frame : Menikah Untuk Meneruskan Riwayat Keluarga

Dengan judul Get Married semakin terlihat jelas skema cerita ini sangat menekankan frame tentang perintah untuk seseorang agar segera menikah. Dalam pengenalan tokoh, film ini sudah memulai dengan inti dari tema film yang bertajuk “Get Married” ini. Karena, masih dalam adegan-adegan pembuka atau awal, sutradara sudah menyuguhkan inti dari isi cerita di mana Mae (pemeran utama) diminta untuk segera menikah oleh orang tuanya karena Mae telah selesai merampungkan kuliahnya, namun Mae belum juga mengenyam dunia kerja (sequence 1).

(53)

lakunya yang seperti anak laki-laki. Keadaan seperti itu ternyata membuat Bapak dan Ibu Mardi berpikir bahwa sebaiknya Mae segera menikah saja, dengan tujuan melepaskan tanggung jawab mereka terhadap Mae.

Untuk itu orang tua Mae punya rencana untuk mencarikan jodoh buat Mae di luar kampung mereka. Bapak dan Ibu Mardi membicarakan hal ini pada puterinya, dengan penekanan kalimat “meneruskan riwat keluarga” mereka meminta Mae agar menyetujui rencananya tersebut. Untuk lebih jelas lihat dialog berikut:

“Bu Mardi : Mae bagaimanapun keadaan kamu, kami menyayangi kamu.

Pak Mardi: Mangkenye, lu ini anak satu-satunye, lu punya kewajiban sejarah untuk nerusin riwayat keluarga kita.”

Dalam Bab 11 telah dijelaskan bahwa tujuan dari pernikahan sendiri adalah agar laki-laki dan perempuan dapat berhubungan satu sama lain, saling mencintai dan menghasilkan keturunan serta dapat hidup dalam kedamaian.

Begitu juga dengan keinginan orang tua Mae yang sangat berharap agar Mae dapat meneruskan riwayat keluarga mereka. Karena Mae adalah anak tunggal, Bapak dan Ibu Mardi merasa khawatir kalau-kalau Mae tidak bisa meneruskan keturunan mereka. Alasan ‘meneruskan generasi’ adalah penekanan ungkapan yang digunakan untuk meluluhkan hati Mae agar mau segera menikah.

“Pak Mardi : Ya.. ini ikhtiar orang tua. Jangan merasa terhina, jangan merasa ditawar-tawarin!

Mae : Nggak ko Pak, kan seperti kata bapak, itu kan kewajiban sejarah.

Pak Mardi : Ya bener itu bener. Asal lu tau manusia itu mesti berkembang biak.”

Gambar

Tabel 02 Frame: Menikah karena Perjodohan…………………………..   51
Grafika, 1999), h. 170.
Grafika, 1999.

Referensi

Dokumen terkait

PESAN MORAL SOSIAL DALAM FILM SOEGIJA (Analisis Isi Pada Film Soegija Karya Garin

Kritik sosial dapat disampaikan melalui media komunikasi massa, seperti pada media film, karena dalam sebuah film, paling tidak memiliki sebuah pesan tertentu dalam pembuatanya,

Berdasar hasil temuan data, dapat disimpulkan bahwa pesan pro sosial lebih mendominasi dibanding pesan anti sosial pada tujuh film anak Indonesia terlaris

Judul penelitian ini adalah “Analisis Semiotik Pesan Moral Terhadap Film Confucius” yang membahas tentang makna denotasi, konotasi, dan mitos yang mempresentasikan pesan moral

Sinematografi adalah perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya. Unsur sinematografi secara umum dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film, framing , serta

Pesan yang dapat diambil dari film Persepolis antara lain dapat ditarik sebagai berikut, pesan pertama Marjane jelas ingin mempertentangkan ideologi Islam

dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “Analisis Pesan Moral Dalam Film Nyai Ahmad Dahlan Karya Dyah Kalsitorini (Analisis Semiotika Pada Isi Pesan Moral

Hal tersebut sangat penting untuk mengurai pesan-pesan yang hendak disampaikan oleh sutradara melalui film tersebut, sebagai skripsi yang berjudul Islamophobia