• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Semiotik Pesan Moral Terhadap Film Confucius (孔子)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Semiotik Pesan Moral Terhadap Film Confucius (孔子)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA,KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau; pandangan; pendapat setelah menyelidiki, mempelajari dan sebagainya(KBBI,2008). Sedangkan pustaka adalah buku; kitab; kumpulan buku bacaan dan sebagainya.(KBBI,2008). Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui keaslian karya ilmiah. Oleh karena itu, ada beberapa tinjauan pustaka yang menginspirasi penulis dari beberapa skripsi-skripsi yang terdahulu di antaranya :

Ikhwanuddin Nasution, tahun 2010, Universitas Sumatera Utara, yang

melakukan penelitian dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra “Logat”, Volume IV, No.2 dengan judul “ Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra : Suatu Proses Komunikasi” yang dipaparkan dalam penelitian ini bahwa kode semiotika dalam sastra yang dapat di pahami dengan menggunakan model semiotik yang sama yaitu model semiotik Roland Barthes. Akan tetapi penelitian ini lebih terfokus pada proses komunikasi antar pengarang, teks, dan pembaca.

(2)

Penelitian ini sama-sama menggunakan potongan gambar dalam film untuk mengetahui kode semiotik yang ada di dalam film.

Yoyon Mudjiono, tahun 2011, Universitas Islam Negeri Surabaya, dalam jurnal Ilmu Komunikasi Vol.1 No.1 yang berjudul “Kajian Semiotik dalam Film” yang menggunakan semiotik yang sama. Akan tetapi, jurnal ini lebih memaparkan defenisi dari film dan bagian-bagian film. Jurnal ini memaparkan bahwa film sebaiknya dinilai dari segi artistic bukan secara rasional saja, sebab jika hanya dinilai secara rasional, sebuah film artistik boleh jadi tidak berharga karena tidak mempunyai maksud dan makna tertentu.

Taufan Saputra, tahun 2014, Universitas Mulawarman, dalam eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, Nomor 2, 2014: 273-286 yang berjudul “Representasi Analisis Semiotik Pesan moral dalam Film 2012 Karya Roland Emmrich” yang menggunakan semiotik yang sama. Akan tetapi, penelitian ini bertujuan untuk merepresentasikan analisis Semiotik pesan moral dalam film 2012 karya Roland Emmrich. Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian model Roland Barthes yang di mana pada scene-scene dalam film 2012 yang terdapat makna pesan moral positif diambil dengan mendenotasikan makna dari pesan serta makna konotasi dari makna sesungguhnya.

(3)

Johanes Ginting, tahun 2011, Universitas Sumatera Utara, dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Semiotika Eksploitasi Anak dalam Sinetron Buku Harian Baim” menjelaskan bahwa analisis semiotik yang mencari sebuah tanda dalam suatu karya maupun budaya dapat dipahami dengan benar. Akan tetapi, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peran seorang anak yang seharusnya bermain

selayaknya anak di bawah umur pada umumnya dengan anak yang sudah bekerja sebagai seorang profesional melalui sinetron tersebut yang saling berhubungan.

2.2 Konsep

Dalam konsep akan dipaparkan variabel-variabel yang terdapat dalam judul penelitian.

2.2.1 Tinjauan Umum Film

Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang

asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, Lumiere bersaudara

(4)

Film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan lisan, kemudian tulisan, dan kini muncul satu medium lagi dengan gambar bergerak, yang diceritakan adalah perihal kehidupan. Dari sini lah kita dapat mengatakan bahwa film sebagai representasi dunia nyata. Film dibuat representasinya oleh pembuat film dengan cara melakukan pengamatan terhadap masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa diangkat menjadi film dan menyingkirkan yang tidak perlu, serta merekonstruksi hal yang dimulai saat menulis skenario hingga film selesai dibuat. Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata yang merupakan hasil karya seni, dimana di dalamnya di warnai dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi.

Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarkan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia ditampilkan.

Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat

(5)

2.2.1.1 Jenis-Jenis Film

Marcel Danesi dalam buku Semiotik Media, menuliskan tiga jenis atau kategori utama film, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi, penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Film Fitur

Film fitur merupakan karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap pra-produksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan lainnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakhir, post-produksi (editing) ketika semua bagian film yang pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu.

2. Film Dokumenter

(6)

3. Film Animasi

Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar-bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting dari cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohnya.

2.2.1.2 Unsur-Unsur Pembentuk Film

Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik, yaitu:

1) Unsur Naratif

Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Dalam hal ini unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu adalah elemen-elemennya.

2) Unsur Sinematik

(7)

transisi sebuah gambar (shot) ke gambar lainnya, dan (d) Suara, yaitu segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran1

1

Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2009), h.1-2. .

2.2.1.3 Struktur Film

Adapun struktur yang terdapat dalam film adalah sebagai berikut :

1) Shot

Shot adalah satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang, yang hanya direkam dalam satu take saja. Secara teknis, shot adalah ketika kamerawan mulai menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali.

2) Scene

Scene adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang

memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu scene umumnya terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan.

3) Sequence

Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa

(8)

4. Sinematografi

Sinematografi adalah perlakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya. Unsur sinematografi secara umum dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Untuk kebutuhan penulisan ini, framing yang merupakan hubungan kamera dengan obyek yang akan dijadikan fokus dalam penulisan ini.

5. Jarak

Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap obyek dalam frame. Secara umum, dimensi jarak kamera terhadap obyek ini dikelompokkan menjadi tujuh, seperti ilustrasi berikut :

Gambar 1

Ilustrasi Jarak Kamera

1) Extreme Long Shot

Extreme Long Shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari

(9)

2) Long Shot

Pada long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Long shot seringkali digunakan sebagai establishing shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat.

Secara umum penggunaan shot jauh ini akan dilakukan jika: mengikuti area yang lebar atau ketika scene berjalan cepat, menunjukkan dimana scene berada atau menunjukkan tempat, juga menunjukkan progress.

3) Medium Long Shot

Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas.

Tubuh fisik manusia dan lingkungan relatif seimbang. Sehingga semua terlihat netral.

4) Medium Shot

Pada jarak ini meperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas.

Gesture serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan

dalam frame.

5) Medium Close-up

(10)

Seperti digunakan dalam scene percakapan normal.

6) Close-up

Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, dan kaki, atau obyek kecil lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gesture yang mendetail. Efek close up biasanya akan terkesan gambar lebih cepat, mendominasi menekan. Ada makna estetis, ada juga makna psikologis.

7) Extreme Close-up

Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah objek.

8) Sudut Kamera (Angle)

Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap obyek yang berada dalam frame. Secara umum, sudut kamera dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

Gambar 2

(11)

1) Low angle

Pengambilan gambar dengan low angle, posisi kamera lebih rendah dari objek akan mengakibatkan objek lebih superior, dominan, dan terlihat menekan.

2) High angle

Kebalikan dari low angle, high angle akan mengakibatkan dampak sebaliknya, objek akan terlihat imperior, tertekan.

3) Eye level

Sudut pengambilan gambar, subjek sejajar dengan lensa kamera. Ini merupakan sudut pengambilan normal, sehingga subjek kelihatan netral, tidak ada intervensi khusus pada subjek.

2.2.2 Tinjauan Umum Moral

Moral berasal dari kata Latin Mos jamaknya mores yang berarti cara hidup atau kebiasaan2

Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan arti susila. Adapun pengertian moral yang paling umum adalah tindakan manusia yang sesuai . Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan/atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.

2

(12)

dengan ide-ide yang diterima umum, yaitu berkaitan dengan makna yang baik dan wajar. Dengan kata lain, moral adalah suatu kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran-ukuran tindakan yang diterima oleh umum, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu. Kata moral selalu mengacu pada baik dan buruknya perbuatan manusia sebagai manusia.

Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik disebut sebagai orang yang tidak bermoral atau kurang bermoral (Purwa, 1992: 13-22). Moral dapat disamakan dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi3

Mitos adalah suatu cerita tradisional mengenai peristiwa gaib dan kehidupan dewa-dewa. Istilah mitos (mythos) berasal dari bahasa Latin yang artinya adalah “perkataan” atau “cerita”. Orang pertama yang memperkenalkan istilah mitos adalah

.

Surajiyo (2005: 89) mengatakan bahwa ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, atau peraturan, apakah lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.

Dari pengertian moral di atas, dapat disimpulkan bahwa moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan buruk, yang sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau pemikiran. Jadi, moral sangat berhubungan dengan benar salah, baik buruk, keyakinan, diri sendiri, dan lingkungan sosial.

2.2.3 Tinjauan Umum Mitos

3

(13)

cerita. Dalam KBBI, dijelaskan bahwa mitos adalah cerita suatu bangsa tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu sendiri.

Fiske (dalam Wibowo, 2011: 17) menyatakan bahwa mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas dan gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.

Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi terwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya.

2.3 Landasan Teori

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan teori yang menjadi landasan teori. Dalam penelitian ini diterapkan pisau analisis semiotik yang dikembangkan oleh Roland Barthes.

2.3.1 Pengertian Umum Semiotik

(14)

menurut Hippocrates merupakan semeion bahasa Yunani untuk penunjuk (mark) atau tanda (sign) fisik.

Semiotik secara umum didefinisikan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk

mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.

Saussure (dalam Sobur 2004: 12) mendefinisikan semiologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat, dan, dengan demikian menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah yang mengaturnya.

(15)

2.3.2 Tanda-Tanda Dalam Semiotik

Para ahli menempatkan sistem tanda dan makna sebagai gagasan pokok dalam semiotik.

Semiotik, menurut John Fiske mempunyai tiga bidang studi utama :

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup berbagai kode dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi selama komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaa kode-kode dan tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan bisa dipersepsi indra kita. Tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda tersebut dan bergantung pada pengamatan oleh penggunanya sehingga dapat dikatakan sebagai tanda.

Pierce (dalam Fiske 1990: 62) melihat tanda, acuan, dan penggunaannya sebagai tiga titik dalam segitiga. Sedangkan Saussure mengatakan bahwa tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental yang terkait. Konsep ini merupakan pemahaman atas realitas eksternal. Pierce juga menyebut tanda sebagai

(16)

Makna yang diperoleh dari sebuah tanda diistilahkan sebagai interpretan. Hal yang dirujuk oleh tanda, secara logis dikenal sebagai referen (objek atau petanda). Ada dua jenis referen: (1) referen konkrit, adalah referen yang dapat ditunjukkan hadir di dunia nyata, misalnya cat (kucing) dapat diindikasikan dengan menunjuk seekor kucing, dan (2) referen abstrak, yaitu referen yang bersifat imajiner dan tidak dapat diindikasikan hanya dengan menunjuk pada suatu benda, salah satu caranya adalah dengan membongkar akar-akar budaya dari setiap komponen tandanya.

Pierce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menujukkan hubugan yang berbeda di antara tanda dan objeknya atau apa yang diacunya, yaitu :

1) Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta.

2) Indeks ada hubungan langsung antara tanda dan objeknya. Ia merupakan tanda yang hubungan eksistensionalnya langsung dengan objeknya. Misalnya, asap adalah indeks api dan bersin adalah indeks flu.

3) Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan kata-kata umumnya adalah simbol. Palang merah adalah simbol dan angka adalah simbol. Ikonitas melimpah ruah dalam semua wilayah representasi manusia. Foto, potret, peta, angka Romawi seperti I, II, dan III adalah wujud ikonis yang

(17)

sebagainya. Ikon membuktikan bahwa persepsi manusia sangatlah tinggi terhadap pola-pola berulang dalam warna, bentuk, dimensi, gerakan, bunyi, rasa, dan seterusnya. Sementara indeks membuktikan bahwa manusia juga memperhatikan pola berulang dalam hubungan serta sebab-akibat yang tidak pasti dalam waktu dan ruang.

Ada tiga jenis dasar indeks, yaitu:

1. Indeks ruang, yang mengacu pada lokasi spasial sebuah benda, makhluk, dan peristiwa dalam hubungannya dengan pengguna tanda. Tanda yang dibuat dengan tangan seperti jari yang menunjuk, figure seperti anak panah.

2. Indeks Temporal, indeks ini menghubungkan benda-benda dari segi waktu, kata keterangan seperti sebelum, sesudah, sekarang, tanggal di kalender. 3. Indeks Persona. Indeks ini saling menghubungkan pihak-pihak yang ambil

bagian dalam sebuah situasi, kata ganti seperti aku, kau, atau ia. Sementara simbol mewakili sumber acuannya dalam cara yang konvensional yang dibangun melalui kesepakatan sosial atau melalui saluran berupa tradisi historis.

2.3.3 Representasi dalam Semiotik

(18)

tertentu. Dengan kata lain, representasi juga merupakan sebuah proses bagaimana sebuah referen mendapatkan bentuk tertentu dengan tanda-tanda.

Representasi merupakan bentuk konkret (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa daripada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari.

2.3.4 Model-Model dalam Semiotik

Analisis dalam semiotik bertujuan untuk menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Model-model dalam semiotik mengacu pada proses komunikasi.

Fiske (dalam Suprapto,2011: 94) menyebutnya sebagai “model-model struktural”, di mana setiap anak panah menunjukkan relasi di antara unsur-unsur penciptaan makna. Model sruktural ini tidak mengasumsikan adanya serangkaian tahap atau langkah yang dilalui pesan, melainkan lebih memusatkan perhatian pada analisis serangkaian relasi terstruktur yang memungkinkan sebuah pesan menandai sesuatu.

(19)

Pierce. Kedua, model dari ahli linguistik Ferdinand de Saussere. Namun, dalam penulisan ini kedua model tersebut tidak akan dibahas begitu mendalam, karena penulis akan menggunakan model semiotik Roland Barthes, yang merupakan penerus pemikiran Saussure.

Seperti telah disebutkan sebelumnya Pierce telah mengungkapkan tiga elemen semiotik yang utama, yaitu tanda, acuan tanda, dan pengguna tanda

(interpretant). Tiga elemen ini disebut Pierce sebagai teori segitiga makna atau

triangle of meaning (Fiske, dalam Sobur, 2012: 115). Sehingga persoalannya

adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi.

Hubungan ketiga elemen ini digambarkan Pierce sebagai berikut:

Interpretant

Representanment ... Object

Gambar 3

Model Semiotik Pierce

(20)

Sebuah tanda yang salah satu bentuknya adalah kata, mengacu kepada sesuatu di luar dirinya sendiri objek dan ini dipahami oleh seseorang serta ini memiliki efek dibenak penggunanya. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.

Sementara itu Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut dengan signifier (penanda) dan signified (petanda). Jadi, ide sentral dalam semiotik adalah

konsepsi khusus (particular) dari struktur sebuah tanda (sign) yang didefinisikan sebagai ikatan antara yang menandai (signifier) dan yang ditandai (signified).

Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek

(21)

Gambar 4

Model Semiotik Saussure, Sumber: McQuail, 2000: 31228

Hubungan antara penanda dan petanda tersebut adalah produk kultural. Hubungan diantara keduanya bersifat arbiter dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut.

(22)

2.3.5 Model Semiotik Roland Barthes

Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit,

tersembunyi dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukkan (denotative) (Sobur, 2004: 126-127).

Salah satu pakar semiotik yang memfokuskan permasalahan semiotik pada dua makna tersebut adalah Roland Barthes. Ia adalah pakar semiotik Prancis yang pada tahun 1950-an menarik perhatian dengan telaahnya tentang media dan budaya pop menggunakan semiotik sebagai alat teoretisnya. Struktur makna yang terbangun di dalam produk dan genre media diturunkan dari mitos-mitos kuno, dan berbagai peristiwa media ini mendapatkan jenis signifikansi yang sama dengan signifikansi yang secara tradisional hanya dipakai dalam ritual-ritual keagamaan.

Dalam terminologi Barthes, jenis budaya populer apapun dapat diurai kodenya dengan membaca tanda-tanda di dalam teks.Tanda-tanda tersebut adalah hak otonom pembacanya atau penonton. Saat sebuah karya selesai dibuat, makna yang dikandung karya itu bukan lagi miliknya, melainkan milik pembaca atau penontonnya untuk menginterpretasikannya begitu rupa.

(23)

misalnya, dan menyelewengkannya ke tujuan-tujuan komersil. Hal ini kemudian disebut sebagai struktur.

Dalam semiotik Barthes, proses representasi itu berpusat pada makna denotasi, konotasi, dan mitos. Ia mencontohkan, ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak

/ lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi

juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes

menyebut fenomena ini membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos.

Untuk itulah, Barthes meneruskan pemikiran Saussure dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan

diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Two Order

of Signification” (Signifikansi Dua Tahap).

Gambar 5

(24)

Melalui gambar di atas, Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan

signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk signifikansi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikansi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (Sobur, 2006: 127-128).

• Makna Denotasi:

Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya. Makna ini tidak dibisa dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi merupakan generalisasi. Dalam terminologi Barthes, denotasi adalah sistem signifikansi tahap pertama.

• Makna Konotasi:

Makna yang memiliki sejarah budaya di belakangnya yaitu bahwa ia hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi adalah mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks kreatif seperti puisi, novel, komposisi musik, dan karya-karya seni.

• Mitos:

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut dengan mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan

(25)

untuk memberikan sebuah justifikasi ilmiah kepada kehendak sejarah, dan membuat kemungkinan tampak abadi (Barthes, 2009: 208).

Mitos oleh Barthes (dalam disebut sebagai tipe wicara), ia juga menegaskan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide. Mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk. Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana.

Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola tiga dimensi yang disebut Barthes sebagai penanda, petanda, dan tanda. Ini bisa dilihat dalam peta tanda Barthes yang dikutip dari buku Semiotika Komunikasi, karya Alex Sobur:

Tabel 2.3.5

1) Denotative sign (Tanda Denotasi)

2) Connotative Signifier (Penanda

Konotatif)

3) Connotative

Signified

(Petanda Konotatif)

(26)

Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2).Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “angsa” barulah konotasi seperti

Gambar

Gambar 1
Gambar 2
Gambar 4
Gambar 5
+2

Referensi

Dokumen terkait

Selamat datang dalam Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI-X) 2016 yang diselenggarakan oleh Program Studi Teknik Mesin dan Program Studi Teknik Industri

Penduduk Kabupaten Aceh Barat terdiri dari berbagai suku bangsa yang telah mengalami asimilasi dalam kurun waktu yang cukup lama. Selama periode waktu 2001–2003 jumlah

Spektrum FTIR Minyak Pelumas Berdasarkan Gambar 2 diatas sebagai parameter untuk analisa FTIR didapat bahwa reaksi yang terjadi pada minyak pelumas

Dewan Komisaris, Direksi dan seluruh jajaran manajemen perusahaan harus mendukung sepenuhnya penerapan kebijakan perusahaan mengenai pengendalian gratifikasi, sehingga

Dalam rangka melaksanakan amanah Standar Pendidikan Dokter SpOG tsb, Kolegium Obstetri dan Ginekologi akan menyelenggarakan Pelatihan Calon Pelatih ( Training of

[r]

Pedoman Kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di PT Jasa Raharja (Persero) berisi panduan dan aturan yang harus dipatuhi oleh Pejabat Wajib Lapor

Bagi klien yang mengalami anemia selama kehamilan sampai masa nifas diharapkan untuk mempertahankan perilaku positif yang telah didiskusikan dengan tenaga kesehatan dan