• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ph-Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap (Indwelling Urethral Catheter)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Ph-Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap (Indwelling Urethral Catheter)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH Ph – URIN TERHADAP

PEMBENTUKAN ENKRUSTASI PADA PEMAKAIAN

KATETER URETRA MENETAP (INDWELLING URETHRAL CATHETER)

Peneliti ZEPRI SITORUS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

4.5. Variabel Yang Diteliti...13

4.6. Defenisi Operasional...13

4.7. Analisa Data………..13

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...14

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...19

(4)

DAFTAR GAMBAR

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemakaian kateter uretra sangat diperlukan pada penderita dengan inkontinensia

urin atau retensi urin. Di SMF Bedah RSU Pusat H. Adam Malik dan RSU Pirngadi

Medan cukup banyak penderita retensi urin yang memerlukan kateter menetap sebagai

tindakan sementara sebelum dilakukan tindakan definitive, terutama penderita “Benign

Prostate Hyperplasia” (BPH) dengan retensi urin. Dalam mempersiapkan tindakan

operasi definitive mereka menunggu cukup lama yaitu antara 2 sampai 4 minggu. Di

samping itu banyak penderita – penderita dengan penyakit kronis atau debilitas yang

memerlukan kateter uretral menetap yang menahun.

Di sisi lain terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan pemakaian kateter

uretra menetap (indwelling urethral catheter). Salah satunya adalah terbentuknya

enkrustasi pada permukaan kateter yang dapat menyebabkan tersumbatnya kateter

sehingga urine merembes diantara kateter dan mukosa uretra, terasa nyeri serta rasa tak

nyaman bagi penderita (Hukins DWL, 2005; Stickler DJ, 2004; Weber R. 2004).

Pemakaian kateter juga dapat menyebabkan infeksi saluran kemih (Weber R,

2004). Organisme penyebab bakteri aerob, seperti Proteus mirabilis dan Klebsiella

pneumonae (Madigan E et al, 2003; Stickler DJ, 2004 ). Bakteri tersebut merupakan

pemecah urea (urea splitter), sehingga dapat menyebabkan alkalinisasi urin. Akibat

meningkatnya pH–urin tersebut terjadi supersaturasi dengan Ammonium Magnesium

(6)

cenderung mengendap pada kateter dan lumennya yang dapat menyebabkan iritasi dan

kateter tersumbat. Sehubungan dengan permasalahan di atas peneliti ingin mengetahui

sejauh mana pengaruh pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada pemakaian kateter

uretra menetap.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang ingin kami jawab

melalui penelitian ini adalah :

(7)

BAB II

TUJUAN, HIPOTESA DAN MANFAAT PENELITIAN

2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Mengkaji pembentukan enkrustasi yang terjadi pada pemakaian kateter uretra

menetap.

Tujuan Khusus

a. Mengetahui keadaan pH–urin pada pemasangan kateter uretra menetap.

b. Mengetahui banyaknya kejadian pembentukan enkrustasi pada pemakaian kateter

uretra menetap.

c. Mengetahui pengaruh pH–urin terhadap pembentukan enkrustasi pada kateter

uretra menetap.

2.2. Hipotesa

Semakin tinggi pH-urin semakin mudah terjadi pembentukan enkrustasi pada

kateter.

2.3 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh data tentang pengaruh perubahan

(8)

BAB III

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pemakaian kateter uretra menetap sering dilakukan dalam menangani tindakan

sementara penderita retensi urin karena BPH. Enkrustasi merupakan komplikasi yang

paling sering terjadi pada pemakaian kateter uretra menetap dan sistem drainase urin

lainnya (Hukins DWL, 2005; Madigan E. et al, 2003; Stickler DJ, 2004; Weber R, 2004).

Akibat dari enkrustasi tersebut, terjadi penyumbatan kateter sehingga

menimbulkan rasa nyeri dan tidak nyaman karena retensi urin dan bocornya urin lewat

sela kateter. Terdapat 4 faktor penyebab disfungsi kateter yaitu kateter, penderita,

bakteriuria dan perawatan yang tidak baik. Permukaan kateter yang kasar karena

pengendapan enkrustasi tersebut menimbulkan rasa nyeri dan trauma terhadap uretra

pada saat kateter dilepas. Pemakaian kateter juga meningkatkan resiko infeksi dan

timbulnya enkrustasi akan melindungi bakteri terhadap pemberian antibiotika sehingga

terjadi infeksi yang persisten (Hukins DWL, 2005).

Sejarah Penemuan Enkrustasi pada Kateter

Terbentuknya enkrustasi dan batu pada benda asing yang ditempatkan pada buli –

buli diperkenalkan dan dibuktikan kebenarannya pada tahun 1790 oleh Austin. Hellstrom

(1938) membuktikan perbedaan antara batu saluran kencing yang berbentuk karena

metabolik steril dan batu yang terbentuk karena infeksi. Pada tahun 1950 Vermeulen dan

kawan – kawan memperlihatkan bahwa komposisi enkrustasi pada berbagai macam

benda asing dalam buli – buli adalah struvite. Pada abad ke 19, Ulex seorang ahli geologi

(9)

mineral tersebut diberi nama “Struvite” untuk memberi hadiah mentornya yang bernama

Baron H.C.G. von Struve seorang diplomat dan naturalis Rusia (Hukins DWL, 2005).

Hubungan antara batu struvite dan urin yang terinfeksi dengan bakteri pemecah urea

dijelaskan oleh Griffith dkk pada tahun 1976. Hedelin dkk (1984) dan Griffith dkk (1988)

mencoba melakukan pencegahan terbentuknya enkrustasi dengan cara menghilangkan

atau mengeradikasi infeksi atau mengubah kompoisi mineral dalam urin atau pH–urin

tetapi tidak berhasil.

Komposisi Enkrustasi

Bahan enkrustasi diperiksa dengan X–ray difraksi dan dengan analisa kimia

menunjukkan komponen terbanyak adalah Ammonium Magnesium Fosfat (Struvite) dan

Kalsium Fosfat (CaP). Sebenarnya komposisi dari struvite adalah magnesium ammonium

fosfat (Mg NH4 PO4.6H2O) dan carbonate apatit (Ca10(PO4)6.CO3), yang sering disebut

dengan tripel fosfat. Kalsium Oksalat juga merupakan komponen penting yang

ditemukan pada analisa enkrustasi tersebut. Komposisi ini sesuai dengan penelitian yang

pernah dilakukan Hedelin dkk dan Cox dkk. Terdapat hubungan yang bermakna antara

frekwensi sumbatnya kateter dengan kadar Kalsium Fosfat pada enkrustasi. Kalsium

Fosfat berupa serbuk yang lebih mudah menyumbat lumen kateter daripada kristal yang

lebih besar

Lokasi Enkrustasi

Enkrustasi terbentuk di permukaan kateter dan balon yasng terlindung oleh urine

dan tidak ditemukan pada permukaan yang berhubungan langsung dengan mukosa buli –

(10)

merupakan mekanisme pertahanan untuk mencegah melekatnya endapan (Kunin, 1987).

Lapisan ini mencegah melekat dan invasinya bakteri ke dinding buli – buli.

Peranan Mikroorganisme Pemecah Urea

Mikroorganisme Proteus, Klebsiella dan Pseudomonas menghasilkan urease yang

memecah urea menjadi ammonia dan CO2. Kuman tersebut disebut pemecah urea (urea

splitter). Infeksi dengan mikroorganisme pemecah urea mengakibatkan urin menjadi

alkalis, sehingga merupakan kondisi yang ideal untuk pengendapan struvite. Proteus

mirabilis dan Klebsiella pneumoniae yang seringkali sebagai penyebab terbentuknya batu

dan tersumbatnya kateter karena enkrustasi. Pada percobaan in vitro (Cox dkk, 1989)

dengan menggunakan urin artifisial yang ditambah urease, mula – mula terbentuk

enkrustasi Kalsium Fosfat, kemudian diikuti struvite pada peningkatan pH–urin di atas

7,2 (Hukins DWL, 2005).

Pemeriksaan enkrustasi kateter dengan “Scanning Electro Micrographs”

menunjukkan adanya mikro organisme yang mendasari pengendapan mineral (Cox dkk,

1989). Norberg dkk (1980) berpendapat bahwa pH–urin dalam kateter yang tersumbat

lebih tinggi daripada kateter yang baru dipasang. Hal inilah yang mendasari pendapat

bahwa urease diproduksi oleh mikroorganisme di permukaan kateter. Organisme

pemecah urea tidak selalu dapat dideteksi pada urin penderita dengan kateter yang

tersumbat (Weber R, 2004).

Karakteristik Penderita

Kunin dkk (1987) membagi penderita dalam kelompok berdasarkan kerentanan

(11)

“blockers” adalah kelompok yang mudah terjadi enkrustasi pada kateternya dalam

beberapa hari sampai beberapa minggu. Kelompok ini mengeluarkan urin yang lebih

alkalis daripada kelompok “non blockers”. Variasi komposisi urin, seperti perbedahaan

kadar Kalsium dan Magnesium juga dapat menjelaskan adanya perbedaan tersebut.

Getliffe dkk (1991) melakukan penelitian pada 81 penderita dengan kateter uretra

ternyata frekwensi sumbatnya kateter tidak ada hubungannya dengan usia, jenis kelamin,

riwayat penyakit atau mobilitas penderita. Terdapat beberapa macam bahan yang dapat

menghambat kristalisasi urin (pembentukan enkrustasi). Dibedakan dalam 2 kelompok

yaitu pertama bahan dengan berat molekul rendah seperti pyrofosfat, sitrat, magnesium

dan yang kedua kelompok makromolekul terdiri dari glikosaminoglikan, uromukoid,

poliribonukleotida dan lain – lain. Kohri dkk (1989) berpendapat bahwa kedua kelompok

tersebut berperanan dalam patogenesa terbentuknya batu Kalsium pada saluran kemih

atas, tetapi keterlibatannya pada pembentukan enkrustasi kateter tidak diketahui dengan

jelas.

Bahan Kateter

Kateter yang terbuat dari 100% silikon atau lateks yang dilapisi dengan silikon–elastomer

sering digunakan pada pemakaian kateter jangka lama karena kurang menimbulkan

inflamasi uretra daripada bahan yang lainnya (Hukins DWL, 2005). Lapisan ini

membentuk jala elastik dengan berat molekul tinggi di permukaan yang mencegah

toksisitas terhadap mukosa uretra dan buli – buli. Sekarang diperkenalkan kateter dengan

“hydrogel” yaitu kateter lateks dilapisi polimer hidrofilik dengan mudah dapat menyerap

cairan, kurang menyebabkan iritasi pada urotelium karena permukaannya lebih halus

(12)

Pada penelitian in vitro oleh Cox dkk (1988) menunjukkan bahwa kateter lateks berlapis

“hydrogel”, ketahanan terhadap pembentukan enkrustasi sama baiknya dengan kateter

silikon (Madigan E et al, 2003). Enkrustasi terjadi pada semua tipe kateter (Hukins DWL,

1983; Cox, 1988) dan masih diperdebatkan bahwa kerentanan terhadap enkrustasi lebih

dipengaruhi oleh masing – masing individu daripada bahan kateter yang dipakai.

Penggunaan kateter yang lebih mahal tidak jarang terjadi pemnyumbatan, oleh karena itu

perlu pemilihan yang tepat untuk setiap individu. Sifat fisikokimia permukaan polimer

merupakan faktor penting dalam menentukan ketahanan terhadap enkrustasi (Weber R,

2004). Liedberg (1990) dalam penelitiannya didapatkan bahwa kateter yang dilapisi

perak dapat mencegah atau menurunkan insiden infeksi saluran kencing (Hukins

DWL,2005; Madigan E et al, 2003; Tew L et al, 2005).

Ukuran Kateter

Kateter yang besar (>20F) sering menimbulkan kebocoran urin lewat sela kateter

atau kateternya sumbat. Kateter dan balon yang besar akan meningkatkan iritabilitas buli

– buli, sehingga menyebabkan spasme buli – buli dan urin merembes lewat sela – sela

kateter, terjadi penyumbatan kelenjar uretra, selanjutnya terjadi akumulasi debris

sehingga mudah terjadi infeksi. Pada pemakaian kateter uretra yang lama dianjurkan

memakai ukuran yang lebih kecil dengan balon diisi 5 sampai 10 ml (Cravens D et al,

2004).

Penggunaan Antibiotika dan Antiseptik

Pemberian antibiotika tidak dapat mencegah terjadinya infeksi pada pemakaian

kateter jangka lama (Kunin, 1987). Terapi antibiotika sistemik hanya efektif

(13)

terhadap antibiotika (Dudley et al, 1981). Demikian juga irigasi buli – buli dengan larutan

antibiotika atau antiseptik akan muncul kuman yang resisten (Cravens D et al, 2004).

Manfaat penggunaan klorheksidin pada irigasi buli – buli juga masih diperdebatkan.

Penggantian kateter tidak dapat mengontrol masalah enkrustasi, juga masih tetap

ditemukan bakteri pada buli – buli dan uretra (Madigan E et al, 2003).

pH–Urin dan Osmolalitas

Penderita dengan memakai kateter uretra dianjurkan untuk minum air yang banyak

sehingga terjadi peningkatan produksi urin dan akan mencegah terjadinya pengendapan

(Tew L et al, 2005). Sulit untuk mempertahankan diuresis yang tinggi dan osmolalitas

urin yang rendah dalam waktu yang lama dengan peningkatan pemasukan cairan (minum

air yang banyak). Lagipula konsentrasi larutan urin tidak berhubungan dengan derajat

enkrustasi, walaupun diuresis membantu mengeluarkan mikroorganisme dalam buli –

buli. pH–urin di samping tergantung pada kebiasaan makanan juga tergantung pada

keseimbangan metabolik setiap individu, penyakit serta dapat dipengaruhi oleh obat –

obatan. pH dari urin yang baru dikeluarkan dari buli – buli pada orang yang sehat

berkisar antara 4,5 – 8 (biasanya antara 5 – 6). Pencegahan pengendapan struvite dengan

mempertahankan pH–urin rendah adalah sulit, terutama dengan adanya produksi urease.

pH–urin dipertahankan oleh infeksi mikroorganisme pemecah urea dan pengendapan

Fosfat pada kateter juga tergantung pada pH–urin (Hukins DWL, 2005). Enkrustasi lebih

banyak mengandung Kalsium Fosfat bila pH–urin lebih dari 6,8; sedangkan pH–urin

lebih besar dari 7,0 lebih banyak mengandung Ammonium Magnesium Fosfat.

(14)

turun lagi pada pH–urin lebih dari 8,0. Biasanya terjadinya enkrustasi rendah bila pH–

urin di bawah 6,8 (Hukins DWL, 2005).

Penatalaksanaan/Pengelolaan Kateter

Tingkat pertama untuk mencegah enkrustasi kateter adalah mencegah terjadinya

infeksi, tetapi dalam prakteknya tidak mungkin selama penderita masih memakai kateter.

Penatalaksanaan enkrustasi bervariasi tetapi sebagian besar tergantung pada penggunaan

larutan penghanyut dalam buli – buli. Irigasi kateter dengan menggunakan larutan asam

seperti asam sitrat (suby G) dapat melarutkan enkrustasi cukup baik, dan sekarang

digunakan secara luas (Madigan E et al, 2003; Mayes J et al, 2004; Promfred I et al,

2004). Asam asetohidroksamik yang diberikan per oral dapat menghambat tumbuhnya

mikroorganisme “urea splitter” sehingga mencegah alkalinisasi urin (Hukins DWL,

2005). Tetapi larutan asam dapat menghilangkan lapisan mukus di permukaan buli – buli

dan pengelupasan sel mukosa buli – buli meningkat, sehingga mudah terjadi infeksi

berulang (Madigan E et al, 2003). Oleh karena itu indikasi dan metode irigasi buli – buli

(15)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional longitudinal.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

RSUP Haji Adam Malik, RSU Dr Pirngadi Medan, dan rumah sakit jejaring

FK-USU sejak Januari – Juni 2007.

4.3 Objek Penelitian

Semua penderita retensi urin yang disebabkan oleh BPH atau Karsinoma Prostat

yang datang ke Sub Bagian Urologi RSUP. H. Adam Malik,RSUD Dr. Pirngadi Medan,

dan rumah sakit jejaring FK-USU lainnya dengan usia lebih dari 50 tahun.

4.3.1 Kriteria Inklusi

Penderita laki-laki berusia lebih 50 tahun yang mengalami Retensi urin yang

disebabkan oleh BPH atau Karsinoma Prostat.

4.3.2 Kriteria Ekslusi

a. Penderita retensi urin karena bukan BPH atau Karsinoma Prostat.

b. Penderita retensi urin karena BPH atau Karsinoma Prostat disertai batu pada

saluran kemih.

(16)

4.4 Pelaksanaan Penelitian

Cara Pengambilan Data

Pemasangan kateter dilakukan secara aseptik yaitu operator memakai sarung tangan

steril. Daerah genitalia eksterna didesinfeksi dengan betadine, lapangan operasi

dipersempit dengan kain steril. Selanjutnya kateter folley ukuran 16F dimasukkan

melalui uretra dan balon diisi dengan air steril sebanyak 10 cc. Setelah kateter terpasang

kemudian difiksasi ke arah samping atas dengan menggunakan plester agar tidak terjadi

komplikasi oleh karena penekanan kateter pada uretra.

Kateter yang telah dipakai penderita selama 2 minggu dilepas kemudian dikeringkan

dalam suhu kamar. Setelah kering enkrustasi yang terdapat pada permukaan kateter

dilepaskan dan ditimbang beratnya dalam milligram. Pemeriksaan pH–urin dilakukan

dengan menggunakan alat pHep (pHmeter). Evaluasi pH–urin dilakukan setiap hari mulai

penderita dipasang kateter sampai hari ke empat belas. Pemeriksaan pada hari pertama

sampai hari ke empat belas dilakukan pada urin pagi hari (jam 8.00. Apabila selama

evaluasi terjadi gangguan pada kateter seperti penyumbatan atau merembes lewat sela

kateter maka kateter dapat diganti dan enkrustasi yang terjadi tetap dikumpulkan.

Pengukuran berat enkrustasi dilakukan dengan menggunakan timbangan secara manual

(17)

Bahan dan Alat

Bahan yang dipakai adalah kateter lateks berlapis silicon merek Norta dengan ukuran

16F. Alat yang dipakai untuk mengukur berat enkrustasi adalah timbangan secara manual

merek Christian Becker dengan satuan milligram, sedangkan pH–urin diukur dengan alat

pHep.

4.5 Varibel yang Diteliti

Varibel bebas adalah perubahan pH urin.

Varibel tidak bebas adalah pembentukan enkrustasi.

4.6 Definisi Operasional

1. pH–urin adalah keadaan pH pada urin yang baru keluar dari buli – buli penderita,

diperiksa setiap jam 08.00 pagi selama dua minggu.

2. Pembentukan enkrustasi adalah adanya krusta di permukaan kateter yang

berhubungan langsung dengan urin dalam buli – buli. Banyaknya krusta pada

permukaan kateter tersebut dievaluasi pada akhir minggu kedua dan ditimbang dalam

satuan milligram.

4.7 Analisis Data

Hasil data yang didapatkan kemudian ditabulasi dan diuji secara statistik dengan

menggunakan komputer.Untuk menentukan distribusi data diperlukan uji

Kolmogorov-Simirnov dengan penentuan < 0,01. Selanjutnya dianalisis dengan statistik parametrik

(18)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Dari antara 46 subjek yang diteliti terdapat 37 orang yang dapat diobservasi

sampai akhir penelitian dan memenuhi syarat penelitian, dengan demografi seperti yang

ditunjukkan pada tabel 5.1.

5.1.1. Distribusi Subjek Menurut Umur

Kisaran umur berada di antara 57 hingga 83 tahun. Dari 37 subjek umur

didominasi oleh kelompok umur antara 61 hingga 70 tahun sebanyak 21 subjek (56,8%)

dan terendah berada di antara kelompok umur antara 81 hingga 90 tahun sebanyak 1

subjek (2,7%). Sedangkan kelompok umur antara 51 hingga 60 tahun sebanyak 8 subjek

(21,6%), antara 71 hingga 80 tahun sebanyak7 subjek (18,9%).

Tabel 5.1. Distribusi Subjek Menurut Umur

Umur (tahun) Frekwensi Persentase (%)

51 – 60 8 21,6

61 – 70 21 56,8

71 – 80 7 18,9

81 – 90 1 2,7

(19)

5.1.2. Keadaan pH-Urin pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap

pH-urin harian yang diperoleh selalu meningkat setiap hari. Nilai ini dijumlahkan dan

dicari pH-urin rata-rata. Data pH urin rata-rata pada pengamatan selama 2 minggu dapat

dilihat pada tabel 5.2. Hanya 1 subjek (2.7%) yang mempunyai pH-urin rata-rata ≤6, 10

subjek (27%) mempunyai pH-urin rata-rata antara 6,1 – 6,7 dan sisanya 26 subjek (

70,3%) dengan pH-urin ≥6,8, berkisar antara 6,8 – 8,17 (rata-rata 7,73).

Tabel 5.2. Keadaan pH- Urin pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap

Rata-rata pH-urin Frekwensi Persentase (%)

≤6 1 2,7

6,1 – 6,7 10 27

≥6,8 26 70,3

Jumlah 37 100

.

5.1.3. Angka Kejadian Pembentukan Enkrustasi di Permukaan Kateter

Tabel 5.3. menunjukkan hasil pengamatan tentang angka kejadian pembentukan

enkrustasi pada pemakaian kateter uretra menetap. Terdapat 26 subjek (70,3%)

ditemukan enkrustasi permukaan kateternya dengan berat bervariasi antara 11,5 – 343 mg

(rata-rata berat enkrustrasi 116,65 mg), sedangkan sisanya 11 subjek (29,7%) tidak

(20)

Tabel 5.3. Angka Kejadian Pembentukan Enkrustasi di Permukaan Kateter

Pembentukan Enkrustasi Frekwensi Persentase (%)

(-) 11 29,7

(+) 26 70,3

Jumlah 37 100

5.1.4. Pengaruh pH-Urin terhadap Pembentukan Enkrustasi

Tabel 5.4. menunjukkan hasil pengamatan pengaruh pH-urin terhadap pembentukan

enkrustasi. Subjek yang 1 orang dengan pH-urin rata-rata ≤6 pada permukaan kateternya

tidak ditemukan enkrustasi. Dari 10 subjek dengan pH-urin rata-rata 6,1 - 6,7 dijumpai 9

subjek dengan enkrustasi tidak ada pada permukaan kateternya, sedangkan 1 subjek

dijumpai enkrustasi. Dari 26 subjek dengan pH-urin rata-rata ≥6,8 dijumpai 1 subjek

dengan enkrustasi tidak ada pada permukaan kateternya, sedangkan 25 subjek dijumpai.

Tabel 5.4. Pengaruh pH-Urin terhadap Pembentukan Enkrustasi

Rata-rata pH-Urin Enkrustasi (-) Enkrustasi (+) Jumlah

≤6 1 0 1

6,1 – 6,7 9 1 10

≥6,8 1 25 26

Jumlah 11 26 37

6,44 7,20

SD 0,34 0,33

(21)

Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata pH-urin pada subjek yang ditemukan

enkrustasi pada permukaan kateternya adalah 7,20 (SD 0,33) lebih tinggi dibandingkan

dengan nilai rata-rata pH-urin pada subjek yang tidak ditemukan enkrustasi pada

permukaan kateternya yaitu 6,44 (SD 0,34). Ada perbedaan bermakna antara pH-urin

pada subjek dengan enkrustasi kateter dengan kateter yang tidak ada enkrustasinya

p=0,0001. Ini mendukung hypotesa bahwa semakin tinggi pH-urin semakin mudah

terjadi pembentukan enkrustasi pada kateter.

Gambar 5.1. Hubungan pH-Urin dengan Berat Enkrustasi

-50

Dari gambar 5.1 terlihat bahwa pembentukan enkrustasi dimulai pada pH-urin 6,8 dan

(22)

Pada uji statistik regresi sederhana diperoleh hasil sebagai berikut :

Berat Enkrustasi = 145,419 pH-urin – 933,221

Berat enkrustasi dipengaruhi 145,41 pH-urin.

Jadi semakin tinggi urin semakin banyak terbentuknya enkrustasi, penambahan

pH-urin sebesar 1 akan menambah berat enkrustasi sebesar 145,41 mg.

5.2. Pembahasan

Dari hasil pengamatan pH-urin setelah pemakaian kateter uretra menetap sebagian

besar menunjukkan peningkatan pH-urin. Pada penelitian invitro yang dilakukan oleh

Hedelin dkk (1985) juga menunjukkan adanya peningkatan urin dan mencapai

pH-urin tertinggi pada hari ke 10 pemakaian kateter uretra menetap.

Terjadinya peningkatan pH-urin setiap hari pada pemakaian kateter uretra menetap

adalah merupakan bukti adanya infeksi bakteri pemecah urea sesuai dengan yang

disebutkan Hukins (2005). Hasibuan (2007) pada penelitiannya menemukan bahwa pada

hari ke 4 pemakaian kateter uretra menetap dijumpainya bakteri pada kultur urin.

Angka kejadian pembentukan enkrustasi pada permukaam kateter cukup tinggi

(70,3%) walaupun berat enkrustasi yang terbentuk pada masing-masing kateter berbeda.

Enkrustasi yang semakin banyak pada permukaan kateter pada peningkatan pH-urin

adalah sesuai dengan teori yang disebutkan Stickler (2004) bahwa alkalinisasi urin akan

memudahkan terjadinya pengendapan Amonium Fosfat dan Kalsium Fosfat dan garam

ini cenderung mengendap pada kateter yang disebut enkrustasi.

(23)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa:

1. pH-urin akan meningkat pada sebagian besar penderita dengan pemakaian kateter

uretra menetap dalam jangka lama.

2. Angka kejadian pembentukan enkrustasi pada pemakaian kateter uretra menetap

mencapai 70,3%.

3. Semakin tinggi pH-urin semakin banyak terbentuk enkrustasi pada permukaan

kateter.

6.2. Saran

1. Penderita dengan memakai kateter uretra menetap dianjurkan untuk mencegah

diet makanan yang dapat menaikkan pH-urin, sehingga mencegah timbulnya

enkrustasi.

2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang pemakaian obat-obatan seperti asam

asetohidroksamik atau irigasi kateter dengan asam sitrat dengan tujuan mencegah

alkalinisasi urin sehingga dapat menurunkan terjadinya enkrustasi pada

permukaan kateter.

3. Perlu penelitian tentang berapa lama sebaiknya kateter uretra yang dipakai

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Cravens D. Zweig S, Indwelling Urinary Catheter Management, GP and Residen-

tal Age Care Kit, West Melbourne, 2004, 1 – 11.

Gleeson MJ, Griffith DP, Infection Stones. In: Urolithiasis, A Medical and Surgical Refe-

Ce, WB Saunders Co, Philadelphia, 1990, 8, 113 – 32.

Hedelin H, Grenabo L, Petterson S, Urease-induced Crysttalization in Synthetic Urine, The Journal of Urology, 133, 1985, 529 – 32.

Holmes SAV, Cheng C, Whitfield HN, The Development of Synthetic Polymers

That Resist Encrustation on Exposure to Urine, Br. J. Urol., 69, 1992, 429-34.

Hukins DWL, Preventing Encrustation in Indwelling Urethral Catheters, Medical

Device Technologi, 1, 2005, 25 – 7.

Jones G L, Muller CT, O’Reilly, Stickler DJ, Effect of Triclosan on the Develop-

mental of Patogens on Urinary Catheters, Jour. Of Antimicrobial Chemo-

therapy, 57, 2006, 266 – 72.

Madigan E, Neff DF, Care of Patient with Long-Term Indwelling Catheter,

OJIN, 2003,1 – 9.

Mayes J, Bliss J, Griffiths P, Preventing Blockage of Long-Term Indwelling

Catheter in Addult: Are Citric Acid Solutions Effective?, Mini Review,

Kelsingtone and Chelse Primary Care Trust, London, 2004, 1 – 4.

Pomfret I, Tew L, Urinary Catheters and Assosiated UTI’s, JCN Online Jour, 18,

2004, 13 – 20.

Ramakrishnan K, Mold JW, Urinary Catheters: A Review, The Internet Family

Practice, 3, 2, 2005, 1 – 15.

Stricler D, Simulate: Catheter Encrustation, Biomed Centre Bristol Urological

Institute, Bristol, 2004, 1 – 2.

Tenke P, KonvacsB, Jackel M, Nagy E, The Role of Biofilm Infection in Urology,

World Journal of Urology, 24, 2006, 13 – 20.

Tew L, Pomfret I, Infection Risks Assosiated with Urinary Catheters, NS, 20, 7,

2005, 55 – 61.

Trilland H, Pariente JL, Rabie A, Grenier N, Detection of Encrusted Indwelling

Urethral Stens Using a Twin- kling Artifact Revealedon Color Doppler

Sonography, Case Report, AJR,176, 2001, 1446 – 48.

Webber R, Advances in Urinary Catheter Technology, Coustomer Contact Centre,

(25)

LAMPIRAN 1 Lembar Pengumpulan Data (LPD)

PENGARUH pH URIN TERHADAP PEMBENTUKAN ENKRUSTASI PADA PEMAKAIAN KATETER URETA MENETAP

Apakah pernah infeksi sal kencing seblmnya? Ya/ tidak

Bila ya, kapan? Hari/minggu/bulan/tahun sebelumnya

Apakah diterapi? Ya/ tidak

(26)

PEMERIKSAAN FISIK

Tekanan darah: mmHg Nadi: x/mnt Temperatur: ºC

Ginjal : KIRI KANAN

Palpasi Teraba/Tidak teraba Teraba/Tidak teraba

Nyeri/Tidak nyeri Nyeri/Tidak nyeri

Buli : kosong/penuh

Colok dubur : BPH/Susp Karsinoma Prostat

- Grade : I/II/III

- Nodule : + / - Lokasi : Kanan/ Kiri/ Diffuse

LABORATORIUM

Sedimen urin : Eritrosit : plp

Lekosit : plp

Epitel : plp

Kristal : plp

Kuman/Bakteri : + / -

Lain-lain :

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS :

Foto polos perut : Batu radio opaque + / -

(27)

HASIL PEMERIKSAAN

Hari ke 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

pH Urin

Berat enkrustasi setelah 14 hari pemakaian kateter : ……… mg

KOMPLIKASI

- Nyeri di penis/ buli + / - ; sejak kapan : ………

- Urin lewat sela kateter + / - ; sejak kapan : ………

- Kateter tersumbat + / - ; sejak kapan : ………

- Lain-lain : ……….

(28)
(29)

20. Zainal Abidin 67 32-57-25 7,3 115

21. Aripin Sibuea 73 32-17-18 7,8 270

22. Rosi Karo-Karo 78 32-36-56 7,2 112

23. Jon Linus Malau 62 32-38-25 7,1 108

24. Wahiman 67 32-61-14 7,7 200

25. Admadi 59 32-31-57 7,4 125

26. B Sinuaya 57 05-91-44 6,9 60

27. Asiman Sinaga 57 32-52-91 6,5 0

28 Patia Sibuea 73 32-85-07 6,7 0

29. Lemari S 67 32-37-77 6,8 30

30. Dahlan 62 32-62-14 6,6 0

31. Mangaratua 65 32-32-30 7,1 108

32. Suheri Endang 65 32-34-11 7,2 112

33. Ramlan 63 32-50-14 7,2 112

34. Sofyan Jekson 67 32=84-91 7,0 89

35. Aman 61 32-61-17 7,1 108

36. Jalo Siagian 67 32-35-10 7,0 89

37. Supriono 63 11-52-44 6,6 0

(30)

LAMPIRAN 3

SURAT KETERANGAN

SUDAH DIPERIKSA KARYA TULIS TUGAS AKHIR

JUDUL : PENGARUH pH-URIN TERHADAP PEMBEN- TUKAN ENKRUSTASI PADA PEMAKAIAN KATETER URETRA MENETAP ( INDWEL- LING URETHRAL CATHETER)

PENELITI : ZEPRI SITORUS

BAGIAN : DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK-USU

INSTITUSI : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, JUNI 2007

KONSULTAN

METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN USU MEDAN

Gambar

Tabel 5.2.   Keadaan pH- Urin pada Pemakaian Kateter Uretra Menetap
Tabel 5.4.    Pengaruh pH-Urin terhadap Pembentukan Enkrustasi
Gambar 5.1.  Hubungan pH-Urin dengan Berat Enkrustasi

Referensi

Dokumen terkait

Magdalena Siregar : Pengaruh Pemakaian Baking Soda Dalam Pasta Gigi Terhadap pH Saliva, 2004... Magdalena Siregar : Pengaruh Pemakaian Baking Soda Dalam Pasta Gigi Terhadap pH

Dengan mengetahui adanya pola kuman urin penderita yang menggunakan kateter uretra yang dirawat di ruang perawatan intensif dan bangsal bedah dapat dilakukan penyediaan antibiotika

Kesimpulan:Korelasi positif antara ekspresi p53 dan p21 pada sel mukosa buli buli penderita HPJ dengan retensi urin yang dipasang kateter uretra menunjukkan bahwa fungsi

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pola bakteri pada urin pasien yang menggunkan kateter dengan sampel yang lebih banyak dan merata untuk setiap kelompok usia dan

Penelitian yang dilakukan oleh Afsah (2008), tentang “tingkat kejadian infeksi saluran kemih pada pasien dengan terpasang kateter urin di RS PKU Muhammadiyah

Sependapat dengan Ernawati bahwa ada pengaruh antara perawatan kateter dengan kejadian ISK pada pasien menggunakan kateter menetap (p-value=0,009) dengan nilai RP

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur efisiensi Urin dan bakteri Eschericia Coli dalam menghasilkan elektron dan mengetahui pembentukan biofilm yang

Pada penelitian ini didapatkan kejadian infeksi saluran kemih 11 kasus (22%) pada pemasangan kateter menetap 12 jam pasca seksio sesarea sedangkan bila pemasangan menetap 24