EFEKTIFITAS EKSTRAK KULIT DUKU ( Lansiumdomesticum) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedesspp
TAHUN 2014
SKRIPSI
OLEH :
IKA JUNI A.GINTING NIM. 101000188
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
EFEKTIFITAS EKSTRAK KULIT DUKU ( Lansiumdomesticum) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedesspp
TAHUN 2014
Skripsi ini diajukan sebagai
Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH :
IKA JUNI A.GINTING NIM. 101000188
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Nyamuk Aedes spp merupakan vektor berbagai penyakit yakni demam berdarah, filariasis, chikungunya, dan demam kuning. Pengendalian penyebaran penyakit dilakukan melalui pengendalian vektor penyakit tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetis yang bersifat toksik pada manusia, sehingga diperlukan insektisida nabati yang lebih aman digunakan.
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana percobaan dilakukan dengan 3 macam perlakuan dan satu control, perlakuan penyemprotan dengan konsentrasi ekstrak kulit duku yaitu konsentrasi 0% ,konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% dilakukan dengan 3 kali pengulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan selama 30 menit,jumlah nyamuk yang mati berbeda-beda pada masing-masing konsentrasi. Pada konsentrasi 0,5% mencapai kematian 42%, konsentrasi 1% mencapai kematian 56 %, konsentrasi 1,5% mencapai kematian 82% dan pada kontrol dengan kosentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp.Untuk pengamatan selama 24 jam menunjukan hasil kematian untuk konsentrasi 0,5% mencapai kematian 44%, konsentrasi 1% mencapai kematian 62,konsentrasi 1,5% mencapai kematian 89% dan pada kontrol dengan kosentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah konsentrasi ekstrak kulit duku ( Lansium domesticum) yang paling cepat untuk membunuh nyamuk aedes spp adalah konsentrasi 1% dengan kematian nyamuk yang mencapai 60% dan dalam waktu pengamatan 30 menit.
ABSTRACT
Aedes spp is vectors of any diseases such as dengue, phylariasis, chikungunya
and yellow fever. Control of transmission of diseases is by control the vector of disease. One of efforts is by using toxic synthetic insecticide on human so it need the safe bio insecticide.
The method applied in this research is complete random sampling in which the experiment with 3 treatments and one control, the spraying with concentration of extract duku (Lansium domesticum) peel for concentration 0%, 05%. 1% and 1.5% by 3
repetition.
The result of research indicates that on the observation during 30 minutes, the number of dead mosquito is differed on each concentration. On concentration 0.5% the dead is 47%, concentration 1% is 60% dead, concentration 1.5% is 87% the death and on control with concentration 0% there is not the death of Aedesspp. For observation during 24 hours indicates that the death for concentration 0.5%, 1%, 1.5% and 0% is 47%, 67%, 95% and 0%, respectively.
The conclusion of this research is the concentration of duku (Lansium
domesticum) peel extract (Lansium domesticum) that kill the Aedes spp is concentration
of 1% with the death of mosquito is 60% in the observation for 30 minutes.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “EFEKTIFITAS EKSTRAK KULIT DUKU (Lansium Domesticum) SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedes spp TAHUN 2014.” Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk memperkaya materi skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. DR. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Ir.Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr.dr.Wirsal Hasan,MPH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Dra. Nurmaini,MKM,PhD selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Ir. Indra Chahaya S,Msi selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan bimbingan saran, serta masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.
7. dr. Surya Dharma,MPH selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memperhatikan penulis selama mengikuti pendidikan di FKM USU. 8. Kak Dian serta seluruf Staf di FKM USU yang telah banyak membantu
dalam penyelesaian urusan administrasi.
9. Teristimewa untuk Kedua Orangtua saya tercinta R. Ginting dan S. Br Barus serta adik saya Rafinus Ginting yang telah memberikan dukungan doa, kasih sayang serta semangat dalam penyelesaian skripsi ini
10.Sahabat tersayang Juliana Elisabeth Nainggolan SKM,Netty Paska Laoli SKM dan Heditra Sitepu SE,terimakasih telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis
11.Terima kasih kepada kak Dian serta seluruh keluarga besar Kesehatan Lingkungan FKM USU
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
Medan, Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ... ...iii
ABSTRAK ...iii
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI...v
DAFTAR TABEL...vi
DAFTAR GAMBAR...viii
DAFTAR ISTILAH...viii
RIWAYAT HIDUP ...viii
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1. Latar Belakang...1
1.2. Perumusan Masalah...4
1.3. Tujuan Penelitian...4
1.3.1. Tujuan Umum...4
1.3.2. Tujuan Khusus...4
1.4. Manfaat Penelitian...5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...6
2.1. Duku...6
2.1.1. Karakteristik Duku...6
2.1.2. Toksonomi Duku...6
2.1.3. Sifat dan Khasiat Tumbuhan Duku(L.domesticum)...7
2.1.4 Kandungan Kimia Kulit Buah Duku...7
2.2.Vektor Penyakit...12
2.3. Nyamuk Penular Peyakit DBD...15
2.4. Gambaran Umum Mengenai Nyamuk Aedes spp...16
2.4.1. Asal Mula Aedes spp...16
2.4.2. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp...17
2.4.3. Morfologi Nyamuk Aedes spp...18
2.4.4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp...29
2.4.5. Perilaku Aedes spp...21
2.5. Insektisida...22
2.5.1.pembagian insektisida...22
2.5.1.1 Insektisida Nabati...25
2.5.1.2 Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati...26
2.5.1.3 Larvasida...27
2.5.1.4 Repellent...29
2.4. Kerangka Konsep...30
BAB III METODE PENELITIAN...31
3.1. Jenis Penelitian...31
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian...31
3.2.1. Lokasi Penelitian...31
3.2.2. Waktu Penelitian...31
3.3. Objek Penelitian...31
3.4. Metode Pengumpulan Data...32
3.5.1. Data Primer...32
3.5.2. Data Sekunder...32
3.5. Alat dan Bahan Penelitian...32
3.5.1. Alat Penelitian...32
3.5.2.Bahan Penelitian... ..33
3.6. Prosedur Penelitian... ..33
3.6.1.Penyediaan hewan uji dan sampel...33
3.7. Cara mendapatkan ekstrak kulit duku...33
3.8. Definisi oprasional...34
3.9. Cara Mendapatkan Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku...35
3.10. Cara melakukan percobaan...35
3.11. Analisis Data...36
BAB IV HASIL PENELITIAN...37
4.1.Pengaruh Perlakuan Ekstrak Kuli Duku (Lansium Domesticum)terhadap Kematian Nyamuk Aedes spp...37
4.1.1. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 0% (Kontrol)...37
4.1.2. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 0,5%...37
4.1.3.Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1 %...38
4.1.4.Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1,5%...39
4.1.6. Rata-rata Kematian Aedes spp Pada 4 Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku (Lansium Domesticum) Selama 24 Jam Waktu
Pengamatan...40
4.1.7.Jumlah Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes spp Pada saat Lethal Dose 50 Tercapai setelah 30 Menit Pengamatan...40
4.2. Suhu Ruangan Penelitian...41
4.3. Kelembaban Udara Ruangan Penelitian...42
BAB V PEMBAHASAN...43
5.1. Pengaruh Ekstrak kulit Duku (Lansium Domesticu) Terhadap kematian nyamuk Aedes spp...43
5.2. Suhu dan Kelembaban...46
5.2.1. Suhu...46
5.2.2. Kelembaban...46
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...48
6.1. Kesimpulan...48
6.2. Saran...48 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Kematian nyamuk Aedes spp Pada
Konsentrasi 0,5% ... 38
Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes spp Pada
Konsentrasi 1 % ... 38
Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes spp Pada
konsentrasi 1,5 % ... 39
Tabel 4.4 Rata-rata dan Persentasi kematian nyamuk Aedes spp pada
Empat Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku (Lansium
Domesticum ) Selama 30 Menit Waktu Pemgamatan ... 39
Tabel 4.4 Rata-rata dan Persentasi kematian nyamuk Aedes spp pada
Empat Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku (Lansium
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Duku (Lansium domesticum) ...6
Gambar 2.2. Struktur Kimia Triterpenoid...9
Gambar 2.3. Struktur Kimia Flavonoid...10
Gambar 2.4. Struktur Kimia Saponin...12
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ika Juni Astaria Ginting
Tempat/ Tanggal Lahir : Tigajumpa/ 28 Juni 1991
Agama : Katholik
Status Perkawinan : Belum Menikah
Suku : Batak Karo
Jumlah Saudara : 2 orang
Nama Orang Tua : R. Ginting / S. Br Barus
Alamat Rumah : Suka Julu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo
Riwayat Pendidikan :
ABSTRAK
Nyamuk Aedes spp merupakan vektor berbagai penyakit yakni demam berdarah, filariasis, chikungunya, dan demam kuning. Pengendalian penyebaran penyakit dilakukan melalui pengendalian vektor penyakit tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetis yang bersifat toksik pada manusia, sehingga diperlukan insektisida nabati yang lebih aman digunakan.
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana percobaan dilakukan dengan 3 macam perlakuan dan satu control, perlakuan penyemprotan dengan konsentrasi ekstrak kulit duku yaitu konsentrasi 0% ,konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% dilakukan dengan 3 kali pengulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan selama 30 menit,jumlah nyamuk yang mati berbeda-beda pada masing-masing konsentrasi. Pada konsentrasi 0,5% mencapai kematian 42%, konsentrasi 1% mencapai kematian 56 %, konsentrasi 1,5% mencapai kematian 82% dan pada kontrol dengan kosentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp.Untuk pengamatan selama 24 jam menunjukan hasil kematian untuk konsentrasi 0,5% mencapai kematian 44%, konsentrasi 1% mencapai kematian 62,konsentrasi 1,5% mencapai kematian 89% dan pada kontrol dengan kosentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah konsentrasi ekstrak kulit duku ( Lansium domesticum) yang paling cepat untuk membunuh nyamuk aedes spp adalah konsentrasi 1% dengan kematian nyamuk yang mencapai 60% dan dalam waktu pengamatan 30 menit.
ABSTRACT
Aedes spp is vectors of any diseases such as dengue, phylariasis, chikungunya
and yellow fever. Control of transmission of diseases is by control the vector of disease. One of efforts is by using toxic synthetic insecticide on human so it need the safe bio insecticide.
The method applied in this research is complete random sampling in which the experiment with 3 treatments and one control, the spraying with concentration of extract duku (Lansium domesticum) peel for concentration 0%, 05%. 1% and 1.5% by 3
repetition.
The result of research indicates that on the observation during 30 minutes, the number of dead mosquito is differed on each concentration. On concentration 0.5% the dead is 47%, concentration 1% is 60% dead, concentration 1.5% is 87% the death and on control with concentration 0% there is not the death of Aedesspp. For observation during 24 hours indicates that the death for concentration 0.5%, 1%, 1.5% and 0% is 47%, 67%, 95% and 0%, respectively.
The conclusion of this research is the concentration of duku (Lansium
domesticum) peel extract (Lansium domesticum) that kill the Aedes spp is concentration
of 1% with the death of mosquito is 60% in the observation for 30 minutes.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang dapat
berakibat fatal dalam waktu yang relatif singkat.Penyakit ini susah dibedakan dari
penyakit DBD lain.Penyakit ini dapat menyerang semua umur baik anak-anak
maupun orang dewasa.(Hastuti,2008)
Penyakit ini tidak saja ditemukan di daerah perkotaan namun juga terdapat
di daerah pedesaan. Cara penularan penyakit DBD terjadi secara propagatif yaitu
virus dengue berkembang biak dalam tubuh nyamuk Aedes spp.
(Gandahusada,dkk,1998). WHO memperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar
penduduk dunia berisiko terinfeksi virus dengue dan setiap tahunnya terdapat
50-100 juta penduduk dunia terinfeksi virus dengue, 500 ribu diantaranya
membutuhkan perawatan intensif di fasilitas pelayanan kesehatan. Setiap tahun
dilaporkan sebanyak 21.000 anak meninggal karena DBD atau setiap 20 menit
terdapat satu orang anak yang meninggal (Depkes RI, 2008).
Jumlah kasus DBD di Asia Tenggara bervariasi hingga tahun 2006 terjadi
188.684 kasus.Sejak tahun 2003, jumlah kasus DBD semakin meningkat
meskipun angka kematian dapat ditekan di bawah 1%.Infeksi DBD berada di
semua negara di Asia Tenggara.Hingga tahun 2003, Thailand merupakan Negara
dengan jumlah infeksi DBD terbanyak.Namun, sejak tahun 2004, posisi itu
ditempati Indonesia hingga saat ini (Hadinegoro,2004).
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya tahun 1968, tetapi
dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di
Bandung dan Jogjakarta (1972) di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh
Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974, epidemic dilaporkan di
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat.Pada tahun 1994 DBD menyebar ke
seluruh propinsi di Indonesia. Saat ini, DBD sudah endemis di berbagai kota
besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di perdesaan.
(Hadinegoro, 2004)
Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita
DBD di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya
meninggal dunia. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya,
yakni tahun 2013 dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah
kasus meninggal sebanyak 871 penderita.( Depkes RI,2014)
Untuk daerah Sumatera Utara angka kejadian DBD mengalami
peningkatan dari Januari hingga September 2012, ditemukan sebanyak 3.060
kasus Demam Berdarah Dengue (DBD).Dari jumlah tersebut sebanyak 18 orang
yang meninggal.(Dinkes Prov. Sumut, 2012).
Data Dinas Kesehatan Kota Medan menyatakan penderita DBD di kota
Medan sejak Januari hingga Oktober tahun 2014 yakni sebanyak 1.077 pasien dan
9 orang meninggal dunia.Penderita DBD di kota Medan mengalami peningkatan
apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013, adapun total kasus
yang ditemukan sejak Januari hingga Oktober 2014 mencapai 60 persen. (Dinkes
Kota Medan,2014)
Cara yang tepat dalam pemberantasan penyakit DBD adalah dengan
Aedes spp dapat dilakukan dengan cara menggunakan insektisida atau tanpa
menggunakan insektisida. Penggunaan insektisida yang berlebihan dan berulang
dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan yaitu pencemaran lingkungan
dan mungkin timbul keracunan pada manusia dan hewan. Untuk mengurangi efek
samping dari bahan kimia maka perlu dikembangkan obat-obat penolak nyamuk
dari bahan yang terdapat di alam yang lebih aman untuk manusia dan lingkungan,
serta sumbernya tersedia dalam jumlah yang besar. Pemanfaatan insektisida alami
dalam pemberantasan vektor diharapkan mampu menurunkan kasus DBD. Selain
itu karena terbuat dari bahan alami, maka diharapkan insektisida jenis ini akan
lebih mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari
lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah
hilang.(Kardinan, 2004).
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Mirnawaty dan
Supriadi (2012), kulit duku mengandung flavonoid, saponin, dan triterpen (asam
langsat/minyak atsiri).Efek kandungan tersebut bisa mempengaruhi syaraf pada
nyamuk dan akibat yang ditimbulkannya adalah nyamuk mengalami kelabilan dan
akhirnya mati.Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui apakah ekstrak kulit duku mempunyai kemampuan sebagai
membunuh nyamuk Aedes spp agar dapat diperoleh suatu produk yang berguna
bagi masyarakat yang dapat digunakan sebagai alternatif terbaik sebagai
pengendalian penyebaran penyakit DBD.
Berdasarkan survei pendahuluan pada waktu musim buah duku, kulit duku
banyak ditemukan disembarangan tempat.Oleh karena itu, kulit duku tersebut
pemanfaatan kulit duku tersebut dapat memperoleh insektisida murah dan ramah
lingkungan serta dapat memanfaatkan kembali sampah kulit duku.
1.2. Perumusan Masalah
Nyamuk Aedes spp dapat menyebabkan terjadinya penyakit DBD berdasarkan
hal tesebut perlu dicari insektisida nabati yang dapat mengendalikan nyamuk
Aedes spp, oeh karena ituperlu diteliti pengaruh ekstrak kulit duku (Lansium
Domesticum) dalam pengendalian nyamuk Aedes spp dan pemanfaatan sampah
kulit duku sebagai insektisida nabati.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas ekstrak kulit duku(L. domesticum)sebagai insektisida nabati dalam membunuh nyamuk Aedes spp Tahun 2014
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes spp setelah di beri perlakuan
disemprot dengan aquadest tanpa campuran ekstrak kulit duku(L. domesticum)sebagai kontrol dan diamati selama 30 menit.
2. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kematian nyamuk Aedes spp setelah
diberi perlakuan disemprot dengan ekstrak kulit duku (L. domesticum )
pada konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1%, konsentrasi 1,5%, diamati selama
30 menit.
3. Untuk mengetahui konsentrasi yang paling cepat mematikan nyamuk
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan kepada masyarakat dalam memanfaatkan
insektisida nabati yang aman dan mudah di dapat dalam upaya pengendali
nyamuk Aedes spp.
2. Dapat digunakan sebagai insektisida alternatif, untuk mengurangi
pemakaian insektida nabati dalam pengendalian nyamuk Aedes spp
sehingga dampak negatif pemakaian insektisida dapat ditekan.
3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain, untuk melakukan penelitian
sejenis mengingat begitu banyaknya tanaman yang bersifat larvasida.
4. Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan mahasiswa khususnya
mahasiswa kesehatan lingkungan tentang insektisida nabati yang berasal
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Duku
2.1.1. Karakteristik Duku
Duku (L. domesticum) merupakan tanaman buah tropis bertipe iklim basah
yang berasal dari Malaysia dan Indonesia (Kalimantan Timur).Dari negara
asalnya, duku menyebar ke Vietnam,Myanmar, dan India. Nama lain yang sering
digunakan untuk duku L. domesticum adalah Aglaila dooko atau Aglala
domesticum (Corr). Duku merupakan tanaman hutan yang pohonnya menjulang
tinggi hingga 30m.Tanaman ini tidak besar dan berkayu keras.( Sunarjono.2002)
Gambar 2.1 : Duku (L.domesticum)
2.1.2. Toksonomi Duku
Sistematika tumbuhan Duku adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Famili : Meliaceae
Species :L.domesticum Corr var. ( widyastuti, 2000)
2.1.3. Sifat dan Khasiat Tumbuhan Duku (L. domesticum )
Duku (L.domesticum) selain buahnya dapat dimakan, masyarakat juga
menggunakan biji duku sebagai obat tradisional misalnya sebagai obat cacing dan
demam yaitu dengan cara menumbuknya dan mencampurnya dengan air. Kayu
pohom duku cukup keras untuk bahan bangunan.Kulit duku dikeringkan untuk
obat nyamuk atau setanggi.Sementara babakan (kulit batang) dapat digunakan
sebagai obat tradisional yaitu penyakit demam.( Sunarjono. 2002)
2.1.4.Kandungan Kimia Kulit Buah Duku
Kulit buah Duku banyak mengandung triterpenoid (asam lansat dan asam
lansiolat), Flavonoid, dan saponin.
A. Triterpenoid
Kata terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, dan istilah ini
digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa
tumbuhan itu berasal dari senyawa yang sama. Jadi, semua terpenoid berasal dari
molekul isoprene CH2==C(CH3)─CH==CH2 dan kerangka karbonnya dibangun
oleh penyambungan 2 atau lebih satuan C5 ini. Kemudian senyawa itu
dipilah-pilah menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam
senyawa tersebut, 2 (C10), 3 (C15), 4 (C20), 6 (C30) atau 8 (C40).
a. Terpenoid merupakan derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari senyawa
terpen. Terpen merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak
dihasilkan oleh tumbuhan dan sebagian kelompok hewan. Rumus molekul
terpen adalah (C5H8)n. Terpenoid disebut juga dengan isoprenoid. Hal ini
Secara struktur kimia terenoid merupakan penggabungan dari unit isoprena,
dapat berupa rantai terbuka atau siklik, dapat mengandung ikatan rangkap,
gugus hidroksil, karbonil atau gugus fungsi lainnya.
b. Terpenoid merupakan komponen penyusun minyak atsiri. Minyak atsiri
berasal dari tumbuhan yang pada awalnya dikenal dari penentuan struktur
secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom hydrogen dan atom
karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu 8 : 5 dan dengan perbandingan
tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa teresbut adalah golongan
terpenoid. Minyak atsiri bukanlah senyawa murni akan tetapi merupakan
campuran senyawa organic yang kadangkala terdiri dari lebih dari 25
senyawa atau komponen yang berlainan. Sebagian besar komponen minyak
atsiri adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan hydrogen atau
karbon, hydrogen dan oksigen. Minyak atsiri adalah bahan yang mudah
menguap sehingga mudah dipisahkan dari bahan-bahan lain yang terdapat
dalam tumbuhan. Salah satu cara yang paling banyak digunakan adalah
memisahkan minyak atsiri dari jaringan tumbuhan adalah destilasi. Dimana,
uap air dialirkan kedalam tumpukan jaringan tumbuhan sehingga minyak
atsiri tersuling bersama-sama dengan uap air. Setelah pengembunan, minyak
atsiri akan membentuk lapisan yang terpisah dari air yang selanjutnya dapat
dikumpulkan. Minyak atsiri terdiri dari golongan terpenoid berupa
monoterpenoid (atom C 10) dan seskuiterpenoid (atom C 15)
1. Sifat fisika dari terpenoid adalah :
2. Dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika
teroksidasi warna akan berubah menjadi gelap
3. Mempunyai bau yang khas
4. Indeks bias tinggi
5. Kebanyakan optik aktif
6. Kerapatan lebih kecil dari air
7. Larut dalam pelarut organik: eter dan alcohol Sifat Kimia
2. Sifat kimia
1.Senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik)
2.Isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk
enantiomer.
Gambar 2.2. Struktur Kimia Triterpenoid
B. Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon yang umumnya
tersebar di dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari
bunga dan kyanos, biru-tua) adalah pigmen berwarna yang umumnya terdapat di
bunga berwarna merah, ungu, dan biru . Pigmen ini juga terdapat di berbagai
bagian tumbuhan lain misalnya, buah tertentu, batang, daun dan bahkan akar.
Flavnoid sering terdapat di sel epidermis. Sebagian besar flavonoid terhimpn
divakuola sel tumbuhan walaupun tempat sintesisnya ada di luar vakuola.
Flavonoid merupakan salah satu jenis golongan fenol dan banyak ditemukan
di dalam tumbuhan. Secara biologis flavonoid memainkan peran penting dalam
penyerbukan tanaman pada serangga. Namun, ada sejumlah flavonoid mempunyai
rasa pahit sehingga dapat bersifat menolak serangga. Bila senyawa flavonoid
masuk ke mulut serangga dapat mengakibatkan kelemahan pada saraf dan
kerusakan pada spirakel sehingga serangga tidak bisa bernafas dan akhirnya mati.
Selain itu, sekolompok flavonoid yang berupa isoflavon juga memiliki efek pada
reproduksi serangga, yakni menghambat proses pertumbuhan serangga.
(Mirnawaty.2012).
Gambar 2.3. Struktur Kimia Flavonoid (Sastrohamidjojo. 1996)
C. Saponin
Saponin adalah sebuah kelas senyawa kimia, salah satu metabolit sekunder
dalam kelimpahan khusus dalam berbagai jenis tumbuhan. Khususnya, mereka
glikosida amphipathic dikelompokkan fenomenologis oleh sabun-seperti berbusa
yang mereka hasilkan ketika terguncang dalam larutan air, dan secara struktural
oleh komposisi mereka satu atau lebih gugus hidrofilik glikosida dikombinasikan
dengan triterpen lipofilik derivatif. contoh yang relevan adalah agen digoksin
cardio-aktif, dari foxglove umum.
Saponin secara historis dipahami sebagai tanaman yang diturunkan, tetapi
mereka juga telah diisolasi dari organisme laut. Saponin memiliki sifat seperti
detergen sehingga dinilai mampu meningkatkan penetrasi zat toksin karena dapat
melarutkan bahan lipofilik dalam air. Saponin juga dapat mengiritasi mukosa
saluran pencernaan. Selain itu, saponin juga memiliki rasa pahit sehingga
menurunkan nafsu makan larva kemudian larva akan mati kelaparan(Gunawan,
2004).
Saponin mempunyai efek yang kuat jika digunakan sebagai insektisida
karena sifatnya yang sitotoksik dan hemolitik (Chaieb, 2010). Saponin juga dapat
menaikkan pemeabilitas kertas saring. Dengan adanya saponin, filter yang cukup
kecil untuk menahan partikel yang berukuran tertentu dapat meloloskan partikel
tersebut. Saponin juga dapat digunakan sebagai pengemulsi bagi cairan yang tidak
saling campur seperti minyak dan air (Mulyani dan Gunawan, 2010).
Saponin memiliki aktivitas insektisida yang jelas, saponin bekerja dengan
tepat dan cepat terhadap serangga. Efek yang paling sering diamati adalah
menyebabkan kematian, menurunkan nafsu makan, menurunkan berat badan, dan
menurunkan kemampuan reproduksi serangga. Saponin juga mempunyai aktivitas
serangga atau menimbulkan efek toksisitas. Rasa pahit dari saponin membuat
serangga ini menjadi tidak menyukai makanannya (Geyter, dkk, 2007).
Gambar 2.4. Struktur Kimia Saponin (Wikipedia,2014)
2.2. Vektor Penyakit
Salah satu cara mekanisme penularanatau transmisi agen infeksius adalah
melalui vektor antropoda.Antropodborne disease/vektorbornedisease adalah
penyakit yang ditularkan kepada manusia melalui vektor penyakit berupa
serangga. Vektor adalah antropoda yang dapat menularkan, memindahkan
dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia (Kemenkes,2010).
Di Indonesia, beberapa penyakit yang ditularkan melalui serangga antara lain,
demam berdarah dengue (DBD), malaria, kaki gajah dan kemudian muncul
chikungunya serta penyakit saluran pencernaan seperti kolera, disentri, demam
tifoid, dan demam paratifoid yang ditularkan secara mekanis oleh lalat rumah
(Chandra, 2007).
Ada 3 jenis cara penularan anthropodborne disease (Chandra, 2007) yaitu
1. Kontak langsung
Agen penyakit dipindahkan oleh anthropoda dari satu orang ke orang lain
melalui kontak langsung.
2. Transmisi secara mekanis
Anthropoda hanya bertindak sebagai pembawa mikroorganisme penyebab
penyakit yang berasal dari penderita (berupa tinja, muntahan atau
bahan-bahan infektif lainnya) ke makanan atau minuman orang yang sehat.
Dengan cara hanya melekat pada permukaan tubuh arthropoda, agen
masuk ke mulut anthropoda dan kemudian dimuntahkan atau melalui
kotoran anthropoda itu sendri. Di dalam tubuh anthropoda
mikroorganisme penyebab penyakit tidak mengalami perubahan apapun,
baik jumlah, bentuk maupun sifatnya. Sebagai contoh, peranan lalat rumah
dalam penularan penyakit amubiasis dan disentri basiler (Soedarto, 1990).
3. Transmisi secara biologi
Agen penyakit akan mengalami perubahan siklus dengan atau tanpa
multiplikasi di dalam tubuh anthropoda. Transmisi secara biologi dibagi 3
cara, yaitu :
a. Cyclo Propogative
Agen penyakit mengalami multiplikasi dan perubahan siklus di dalam
tubuh anthropoda. Misalnya, penularan plasmodium penyebab
penyakit malaria pada tubuh nyamuk Anopheles.
b. Cyclo Developmental
Agen penyakit mengalami perubahan bentuk/morfologi tanpa
cacing Wuchereria bancrofti penyebab filariaris yang ditularkan oleh
nyamuk Culex fatigans.
c. Propogative
Agen penyakit mengalami multiplikasi tetapi tidak mengalami
perubahan bentuk/morfologi di dalam anthropoda. Misalnya, pada
penularan penyakit pes, maka kuman pasteurella pestis akan
memperbanyak diri dalam tubuh pinjal tikus, dengan bentuh tubuh
yang sama dengan morfologi kuman pada saat dihisap dari tubuh
penderita. Penularan virus dengue pada nyamuk Ae.aegypti juga
merupakan propogative transmission.
Gambar 1. Diagram Propogative (Chandra, 2007)
Nyamuk betina menyimpan virus tersebut pada telurnya, sedangkan
nyamuk jantan akan menyimpan virus tersebut pada nyamuk betina saat
melakukan kontak seksual. Nyamuk betina akan menularkan virus tersebut ke
manusia melalui gigitannya. Nyamuk mengambil virus dengue dari manusia yang
mempunyai virus tersebut. Virus akan masuk ke dalam lambung
nyamuk,kemudian virus akan memperbanyak diri dalam tubuh nyamuk dan
menyebar ke seluruh jaringan tubuh nyamuk termasuk kelenjar air liurnya. Jika Defenitive Host
Manusia
Intermediate Host Aedes Aegypti
nyamuk yang telah mengandung virus ini menggigit orang sehat maka akan
mengeluarkan air liurnya agar darah tidak beku. Bersamaan dengan air liur
tersebut virus akan ditularkan. Siklus ini layaknya lingkaran setan yang sulit
ditemukan ujung pangkalnya (Satari dan Meiliasari, 2004).
Selain tiga penularan biologik tersebut diatas, penularan mikroorganisme
penyebab penyakit juga dapat terjadi secara transovarial. Pada keadaan ini mikroorganisme penyebab penyakit sudah masuk ke dalam tubuh serangga
(vektor) akan mengadakan multiplikasi didalam tubuh anthropoda tersebut,
kemudian mikroorganisme penyebab penyakit akan menginfeksi ovarium dan sel
telur dari anthropoda. Anthropoda generasi berikutnya akan mengalami
penularan. Penularan yang seperti ini adalah Srub typhus yang disebabkan oleh
Rickettesia tsutsugamushi dan Trombicula akamushi (Soedarto, 1990).
2.3. Nyamuk Penular Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Di Indonesia nyamuk Aedes yang paling penting adalah nyamuk Ae.
aegypti dan nyamuk Ae. albopictus, keduanya merupakan vektor penyakit demam
berdarah (Soedarto, 1990).
Demam berdarah tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia.
Virus dengue yang merupakan penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan
melalui gigitan nyamuk (Satari dan Meiliasari, 2004). Nyamuk merupakan
kelompok yang paling penting dari serangga lain dalam bidang kesehatan
masyarakat,karena dapat mengirimkan sejumlah penyakit, seperti malaria,
filariasis, demam berdarah, ensefalitis Jepang,dan menyebabkan jutaan kematian
Dalam penularan DBD di Indonesia, nyamuk Ae.aegypti di perkotaan
merupakan vektor endemik yang paling penting. Di daerah perkotaan nyamuk
Ae.aegypti selalu menggigit di dalam rumah sedangkan nyamuk Ae.albopictus
menggigit di luar rumah karena perindukan nyamuk ini berada di kebun dan
pohon-pohon (Soedarmo, 2009). Ae. aegypti juga dikenal sebagai vektor penular
penyakit demam kuning (yellow fever), sehingga sering disebut yellow fever
mosquito.
2.4. Gambaran Umum mengenai Nyamuk Aedes spp 2.4.1 Asal Mula Nyamuk Aedes, spp
Nyamuk Ae.aegypti pada awalnya berasal dari Mesir dan menyebar ke
seluruh dunia melalui kapal laut dan kapal udara. Ae.aegypti adalah spesies
nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan, biasanya berada diantara 40 LU dan
40 LS seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika (Hadinegoro dan Satari, 2004).
Distribusi Aedes juga dibatasi oleh ketinggian. Nyamuk aedes ini biasanya tidak
ditemukan diatas 1000 m.
Nyamuk Ae. albopictus adalah spesies hutan yang beradaptasi dengan
lingkungan hidup manusia di pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan. Di
laboratorium, nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dapat menularkan virus
dengue secara vertikal melalui nyamuk betina ke telur sampai keturunannya,
walaupun albopictus lebih cepat melakukannya (WHO, 2004).
2.4.2. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp
Mudah untuk membedakan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dari
bentuknya, pada albopictus garis toraksnya tidak mempunyai garis yang
utama nyamuk Ae. aegypti adalah ada dua garis lengkung yang berwarna putih
keperakan dikedua sisi lateral dan dua buah garis putih sejajar di garis median dari
punggungnya yang berwarna dasar hitam sehingga sering disebut black white
mosquito (Soegijanto, 2006). Di Indonesia nyamuk ini sering disebut sebagai
salah satu nyamuk rumah.
Aedes spp pengebarannya sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis
di seluruh dunia. Sebagai pembawa virus dengue, Aedes aegypti merupakan
pembawa utama (primary vektor) dan bersama Aedes albopictus menciptakan
siklus persebaran dengue di desa dan di kota. Mengingat keganasan penyakit
DBD masyarakat harus mampu mengenali dan mengetahui cara – cara
mengendalikan jenis nyamuk ini untuk membantu mengurangi persebaran
penyakit DBD (Wikipedia, 2014).
Kedudukan nyamuk Aedes spp dalam klasifikasi hewan adalah sebagai
berikut:
Filum: Arthropoda
Kelas: Insecta
Ordo: Diptera
Famili: Culicidae
Genus: Aedes
Spesies: Aedes spp (Sembel, 2009).
2.4.3. Morfologi Nyamuk Aedes spp
Nyamuk Aedes spp biasanya berukuran lebih kecil jika dibandingkan
mempunyai dinding bergaris-garis dan membentuk bangunan menyerupai
gambaran kain kasa. Sedangkan larva Aedes spp Nyamuk Aedes spp dewasa
memiliki ukuran sedang, dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan
tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan.
Di bagian punggung tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di
bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari Spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh
nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan
identifikasi pada nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk ini sering kali berbeda
antar populasi, tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh
nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari nyamuk
betina dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri
ini dapat diamati dengan mata telanjang (Gandahusada, ilahude dan Pribadi,
1998).
[image:33.595.205.454.482.587.2]2.4.4. Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp
Gambar 2.5. Siklus hidup Nyamuk Aedes spp.
Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes sppdapat dibagi
menjadi 4 tahap, yaitu telur, larva, pupa dan dewasa, sehingga termasuk
1. Telur
Telur biasanya diletakkan diatas permukaan air satu persatu atau dalam
kelompok.Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir
telur tiap kali bertelur. Telur dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama
ditempat yang kering tanpa air dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu 2 0
C-420C Namun bila air cukup tersedia, telur-telur itu biasanya menetas 2-3 hari
sesudah diletakkan. Telur Nyamuk Aedes spp berwarna gelap, berbentuk oval
biasanya telur diletakkan diatas permukaan air satu- persatu dalam keadaan
menempel pada dinding tempat perindukannya.( Sembel . 2009 ).
2. Larva
Telur menetes menjadi larva atau sering disebut jentik.Perkembangan
berlangsung 5-7 hari, perkembangan larva tergantung pada temperatur air,
kepadatan larva, dan tersedianya makanan, larva nyamuk hidup dengan memakan
organisme-organisme kecil. Larva akan mati pada suhu dibawah 100C dan diatas
suhu 360C Larva Aedes spp memiliki kepala yang cukup besar serta torak dan
abdomen yang cukup jelas. Untuk mendapatkan oksigen biasanya larva
menggantungkan dirinya agak tegak lurus pada permukaan air. (Sembel, 2009).
3. Pupa
Pupa berbentuk agak pendek, tidak memerlukan makanan, tetapi tetap aktif
bergerak dalam air terutama bila diganggu. Bila perkembangan pupa sudah
sempurna, yaitu sesudah 2 atau 3 hari berkisar 270C - 320C umum nya nyamuk
jantan menetas terlebih dahulu dari nyamuk betina, maka kulit pupa pecah dan
4. Nyamuk Dewasa
Pada stadium dewasa nyamuk yang keluar dari pupa menjadi nyamuk jantan
dan nyamuk betina dengan perbandingan 1 : 1. Nyamuk dewasa yang baru keluar
dari pupa berhenti sejenak diatas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya
terutama sayap-sayapnya sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk
dewasa akan segera kawin dan nyamuk betina yang telah dibuahi akan mencari
makan dalamwaktu 24-36 jam kemudian. Darah merupakan sumber protein
terpenting untuk mematang kan telurnya. Umur nyamuk dewasa dipengaruhi
aktifitas produksi dan jumlah makanan. Nyamuk Aedes spp dewasa rata-rata dapat
hidup selama 10 hari sedangkan di laboratorium mencapai umur 2 bulan, Aedes
spp mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun umumnya jarak terbangnya
pendek yaitu kurang lebih 40 meter dan maksimal 100 meter.( Sembel, 2009 ).
2.4.5. Perilaku Nyamuk Aedes spp
Nyamuk demam berdarah betina menghisap darah untuk proses pematangan
telurnya sedangkan nyamuk jantan tidak memerlukan darah tetapi menghisap sari
bunga atau nektar. Nyamuk betina sangat sensitif terhadap gangguan sehingga
memiliki kebiasaan menggigit berulang-ulang. Nyamuk biasanya menggigit pada
pukul delapan pagi hingga 1 siang dan pukul tiga hingga lima sore. Sementara itu,
pada malam hari, mereka bersembunyi disela-sela pakaian yang tergantung,
gorden dan diruang yang gelap serta lembab. Umumnya, penyebaran nyamuk
demam berdarah tidak terlalu jauh karena radius terbangnya hanya 100-200 meter,
2.4.6. Tempat Perkembangbiakan
Nyamuk-nyamuk Aedes yang aktif pada waktu sianghari seperti Ae, aegypti
dan Ae, albopictus biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-tempat
penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air,
vas bunga (dirumah, sekolah, kantor atau dipekuburan), kaleng-kaleng atau
kantung-kantung plastic bekas, diatas lantai gedung terbuka, talang rumah,
bamboo pagar, kulit-kulit buah seperti kulit buah rambuatan, tempurung kelapa,
ban-ban bekas, dan semua bentuk container yang dapat menampung air bersih.
Jentik-jentik nyamuk (nyamuk muda) dapat terlihat berenang naik turun
ditempat-tempat penampungan air tersebut. Kedua jenis nyamuk Aedes tersebut merupakan
vektor utama penyakit demam berdarah.( Sembel, 2009)
2.5. Insektida
Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang berasal
dari kata insekta dan cida.Insektisida merupakan golongan dari pestisida yang
berfungsi untuk mengendalikan serangga. Bahan aktif dari golongan organofosfat
dan karbamat selain memiliki persistensi lebih rendah, efektif untuk
mengendalikan hama tanah (soil borne) dan hama daun. Waktu aplikasi untuk
pestisida dengan persistensi rendah adalah faktor yang sangat menentukan.
Persistensi yang rendah berarti waktu yang efektif dari residu pestisida untuk
menjadi racun bagi hama penggangu yang lebih sempit. Secara umum,
pengendalian serangga pada tahap larva lebih disarankan, karena lebih mudah
Insektida dapat membunuh serangga dengan dua mekanisme, yaitu dengan
meracuni makanan (tanaman) dan dengan langsung meracuni serangga tersebut.
2.5.1 Pembagian Insektisida
Menurut cara masuknya insektida ke dalam tubuh serangga dibedakan
menjadi 5 kelompok sebagai berikut :
1. Racun Lambung
Racun lambung adalah insektida yang membunuh serangga sasaran dengan
cara masuk ke pencernaan melalui makanan yang mereka makan. Insektida akan
masuk ke organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding usus kemudian
ditranslokasikan ke tempat sasaran yang mematikan sesuai dengan jenis bahan
aktif insektida. Beberapa tempat sasaran itu seperti : menuju ke pusat saraf
serangga, menuju ke organ-organ respirasi, meracuni sel-sel lambung dan
sebagainya. Dalam hal ini serangga harus memakan tanaman yang sudah
disemprot insektida yang mengandung residu dalam jumlah yang cukup untuk
membunuh.
2. Racun Kontak
Racun kontak adalah insektida yang masuk kedalam tubuh serangga melalui
kulit, celah/lubang alami pada tubuh (trachea) atau langsung mengenai mulut
serangga. Serangga akan mati apabila bersinggungan langsung (kontak) dengan
insektida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun
3. Racun Pernapasan
Racun pernapasan adalah insektida yang masuk melalui trachea serangga
dalam bentuk pertikel mikro yang melayang di udara. Serangga akan mati bila
menghirup partikel mikro insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan
racun pernapasan berupa gas, asap, maupun uap dari insektida cair.
4. Racun Metabolisme
Racun ini membunuh serangga dengan mengintervensi proses
metabolismenya.contoh insekrestisida dengan mode ofaction ini yaitu
deafentiuron yang mengganggu respirasi sel dan bekerja di mitokondria.
5. Racun Fisik (Racun Non Spesifik)
Racun fisik membunuh serangga dengan sasaran yang tidak spesifik
sebagai contohnya debu inert yang bisa menutupi lubang-lubang pernapasan
serangga sehingga serangga mati lepas karena kekurangan oksigen. Debu yang
hygrokopis (misalnya bubuk karbon atau tanah diatom) bisa membunuh serangga
[image:38.595.111.503.537.755.2]karena debu yang menempel dikulit serangga menyerap cairan tubuh berlebihan.
Tabel 2.1. Insektisida ditinjau dari mekanisme terjadinya efek.
Kelas Sub-Golongan Mekanisme terjadinya efek
Organoklor Tipe DDT
Siklodin,
Derivative,
sikloheksan
Umumnya terjadi pada perifer pada sistem
syaraf sensor. Menghasilkan negatif potensial
yang lama dengan menginhibisi enzim, yang
diperlukan untuk transport ion, hasilnya adalah
persisten depolarisasi. Umumnya terjadi pada
SP dengan menginhibisiion transport enzim
transport klorida, menghasilkan ikatan pola
yang persisten.
Piretroid Piretroid alamiah
Piretroid buatan
tipe I
Piretroid buatan
tipe II
Sama dengan piretroid buatan dibawah, tetapi
juga menyebabkan reaksi alergi
Menghasilkan potensial negatif lebih lama,
sebagian dari sistem prifer syaraf, hampir
sama dengan inhibisi transport, menyebabkan
ikatan polar yang persisten, juga mengihibisi
GABA disebabkan transport klorida.
Perbedaan antara tipe I dan tipe II ester adalah
pada kekuatan dan durasi inhibisi enzim.
Anti
kolinesterase
Organofosfat
Karbamat
Inhibisi jaringan syarafasetilkolinesterase
(Ache) terjadi, pada keadaan asetilkolin yang
tinggi yang tidak dapat didegradasi dengan
rangsangan berlebihan.
Berbeda sedikit dalam gejala, karbamat
menginhibisi Ache secara reversible,
organofosfat menginhibisi menjadi persisten.
2.5.1.1 Insektisida Nabati
Penggunaan insektisida kimia sintetis merupakan masalah yang sangat perlu
dipertimbangkan terutama dampak residu terhadap lingkungan, kesehatan
manusia, dan terhadap makhluk hidup lainnya serta satwa-satwa liar. Salah satu
komponen dalam budi daya organik adalah pemanfaatan pestisida nonkimiawi
sintetis baik merupakan insektisida hayati maupun nabati untuk mengendalikan
serangga. (sarjan, 2007)
Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami berasal dari
tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit skunder yang mengandung
beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, fenolik, dan zat kimia sekunder
lainnya. Senyawan bio aktif yang terdapat pada tanaman dapat dimanfaatkan
seperti layaknya insektisida sintetik. perbedaannya adalah bahan aktif pada
insektisida nabati disintesa dari tumbuhan dan jenisnya bisa lebih dari satu macam
(campuran).
Bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit dan batang dan
sebagiannya dapat digunakan dalam bentuk utuh, bubuk, ataupun ekstraksi
(dengan air ataupun pelarut organik). Insektisida nabati merupakan bahan alami
bersifat mudah terurai di alam (bio dgredable) sehingga tidak mencemari
lingkungan dan relatif aman bagi manusia maupun ternak karena residunya mudah
hilang (Naria.2005).
2.5.1.2 Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati
Penggunaan insektisida nabati memiliki keunggulan dan kelemahan yaitu
I. Keunggulan
1. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada
komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman
dari pada insektisida sintetis/kimia.
2. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam sehingga
tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.
3. Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana.
4. Bahan membuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar rumah.
5. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida.
(Naria, 2005)
II. Kelemahan
Selain keunggulan insektisida nabati, tentunya kita tidak dapat
mengesampingkan beberapa kelemahan pemakaian insektisida nabati tersebut
kelemahanya antara lain :
1. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi di banding kan
dengan insektisida sintesis. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida
nabati adalah karena sifatnya yang mudah terurai di lingkungan sehingga
harus lebih sering di aplikasikan.
2. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple
activeingredient ) dan kadang kala tidak dapat di deteksi.
3. Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang
berbeda. Iklim berbeda, jenis tanah berbeda, umur tanaman berbeda, dan
waktu panen yang berbeda mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat
2.5.1.3 Larvasida
Pemberantasan Aedes spp dapat dilakukan dengam memberantas nyamuk
dewasa dan memberantas larvanya. Pemberantasan larva dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu : (Nurcahyo, 1996)
1. Meniadakan tempat perindukannya, yang dikenal dengan gerakan 3M
(menguras dan menutup tempat penampungan air, dan mengubur barang
bekas yang bisa menampung air hujan), dan
2. Menggunakan larvasida untuk tempat penampungan air yang sulit
dikuras menurut Gafur (2006) mengutip dari penelitian ponlawat, dkk,
saat ini larvasida yang paling luas digunakan untuk mengendalikan larva
Ae. Aegypty adalah temefos. Di Indonesia temefos 1% (Abate 1 SG) telah
digunakan sejak 1976, dan sejak 1980 abate telah dipakai secara massal
untuk program Ae. Aegypti di Indonesia. Namun cara ini tidak menjamin
terbasminya tempat perindukan nyamuk secara permanen, karena
masyarakat pada umumnya tidak begitu senang dengan bau yang
ditimbulkan larvasida selain itu pula dibutuhkan abate secara rutin untuk
keperluan pelaksanaanya (cahaya, 2003)
Selain dengan abate, telah banyak penelitian yang menghasilkan larvasida
yang terbuat dari bahan alami misalnya penelitian Susana, dkk (2003) mengenai
potensi daun pandan wangi untuk membunuh larva nyamuk Ae. Aegypti. Ekstrak
daun pandan wangi mempunyai pengaruh terhadap tingkat kematian larva Ae.
Aegypti. Semakin tinggi yang digunakan maka tingkat kematian larva semakin
tinggi pula. LC5o dengan waktu pengamatan kematian 24 jam setelah perlakuan
perlakuan terletak pada 1669,1678 ppm penelitian mengenai uji toksisitas jamur
Metarhizu anisoppliae terhadap larva nyamuk Ae. Aegypty yang memberi hasil M.
anisoplia membunuh 50% (LC5o) dan membunuh 90%(LC9o) larva nyamuk III
Ae. Aegypty asal Denpasar pada kondisi laboratorium (Widianti. 2004)
2.5.1.4Repellent
Repellent adalah bahan-bahan kimia yang mempunyai kemampuan
untukmenjauhkan serangga dari manusia sehingga dapat dihindari gigitan
serangga atau gangguan oleh serangga trhadap manusia. DEET
(N,N-diethyl-m-tolaumide) adalah salah satu contoh repellent yang tidak berbau, akan tetapi
repellent ini menimbulkan rasa terbakar bila mengenai mata, luka dan jaringan
membran (Soedarto,1992).
Penyakit demam berdarah yangditularkan oleh nyamuk Aedes spp
merupakan penyakit yang hampir selalu terjadi setiap tahunnya dibeberapa daerah
di Indonesia. Salah satu cara untuk menghindarinya adalah dengan penggunaan
lotion anti nyamuk yang pada umumnya berbahan aktif bahan kimia sintetis
(Kardinan, 2007). Repellent harus memenuhi beberapa syarat yaitu tidak
mengganggu orang disekitarnya, tidak menimbulkan iritasi pada kulit,tidak
beracun, tidak merusak pakaian, dan daya bertahan mengusir serangga cukup
2.6.Kerangka konsep
Jumlah Nyamuk Aedes spp
Jumlah Nyamuk Aedes spp yang mati
Ekstrak kulit duku yaitu : konsentrasi 0%, konsentrasi 0,5%,
konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% diamati selama 30 menit
- Suhu
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis penelitian
Penelitian ini berbentuk eksperimen semu (Quasi ekspperiment) yaitu
meneliti efektifitas ekstrak kulit duku (L.domesticum) dalam pengendalian
nyamuk Aedes spp, dan tidak mengabaikan faktor yang mempengaruhi kehidupan
nyamuk Aedes spp, yaitu suhu dan kelembaban udara. Metode yang di gunakan
dalam penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana
percobaan dilakukan dengan 3 macam perlakuan dan satu control, perlakuan
penyemprotan dengan ekstrak kulit duku konsentrasi 0%,konsentrasi
0,5%,konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5 % serta 3 kali pengulangan.
3.2. Lokasi dan Waktu penelitian 3.2.1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL)
Medan.
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari- Maret 2015.
3.3. Objek penelitian
Objek penelitian adalah ekstrak kulit duku sebagai pengendali nyamuk
Aedes spp stadium dewasa yang diambil dari kotak pemeliharaan, dan dimasukkan
kedalam kotak perlakuan berukuran 50cm x 50cm x 50cm (p x l x t) sebanyak 10
kotak. Jumlah nyamuk Aedes spp pada masing-masing perlakuan dan kontrol
sebanyak 15 ekor. Jumlah sampel diambil berdasarkan kebutuhan penelitian yaitu
3.4. MetodePengumpulan Data
3.4.1. Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan (BTKL) Medan
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku dan jurnal serta
literatur-literatur yang mendukung sebagai bahan kepustakaan.
3.5. Alat dan Bahan Penelitian 3.5.1. Alat Penelitian
1. Pisau
2. Timbangan
3. Blender
4. Saringan
5. Beaker glass
6. Jam untuk mengukur
7. Alat penyemprot
8. Aspirator
9. Pipet Tetes
10. Alat destilasi
11. Erlenmeyer
12. Thermometer
13. Hygrometer
14. Wadah tempat kulit duku
16. Kotak pengamatan
3.5.2. Bahan penelitian 1. Air gula
2. Aquadest
3. nyamuk Aedes spp dewasa
4. Kulit duku ( L. domesticum )
5. Kloroform
6. Metanol
3.6.Prosedur penelitian
3.6.1. Penyediaan Hewan Uji dan Sampel
Nyamuk Aedes spp, diperoleh dari Laboratorium BTKL Medan
3.7. Cara Mendapatkan ekstrak kulit duku
Untuk mendapatkan ekstrak kulit duku dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Siapkan kulit duku yang sudah dipotong-potong haluskan potongan kulit
duku dengan blender.
2. Diperoleh sebanyak 750 gram kulit duku yang sudah dihaluskan
3. Ekstraksi sampel dengan cara maserasi yaitu merendam sampel dalam
pelarut methanol teknisi selama 24 jam.
4. Saring hasil ekstraksi agar terpisah antara residu dan filtrat
5. Masukkan filtrat kedalam alat evaporator untuk memisahkan ekstrak kulit
duku dengan pelarutnya.
3.8. Definisi Operasional
1. Jumlah nyamuk Aedes spp adalah sebanyak 150 ekor yang belum
disemprot dengan beberapa ekstrak kulit duku.
2. Ekstrak kulit duku adalah banyaknya hasil penyulingan dengan metode
ekstrak yang akan disemprotkan terhadap nyamukAedes spp yaitu :
konsentrasi 0 %,konsentrasi 0,5 %,konsentrasi 1 %, dan konsentrasi 1,5 %.
3. Suhu adalah temperatur yang diukur selama penelitian dilakukan dengan
menggunakan alat thermometer, dinyatakan dalam derajat celcius.
4. Kelembaban adalah kelembaban udara di tempat penelitian yang diukur
dengan menggunakan alat hygrometer, dinyatakan dalam persen.
5. Jumlah nyamuk Aedes spp yang mati adalah banyaknya nyamuk Aedes
spp yang mati setelah dilakukan perlakuan dengan masing-masing
konsentrasi ekstrak kulit duku.
6. Keefektifan ekstrak kulit duku adalah : konsentrasi ekstrak kulit duku
yang paling rendah yang dapat membunuh nyamuk Aedes spp, sebanyak
50 % hewan percobaan (LD50).
3.9. Cara Mendapatkan Konsentrasi Ekstrak Kulit Duku
Cara untuk mendapatkan masing-masing konsentrasi kulit duku adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan Konsentrasi 0 %
Untuk mendapatkan konsentrasi 0 % maka yang digunakan aquadest
2. Untuk mendapatkan konsentrasi 0,5%
Ditimbang ekstrak kulit duku sebanyak 0,5 gram
Dilarutkan dengan aquadest sebanyak 100 ml.
3. Untuk mendapatkan konsentrasi 1%
Ditimbang ekstrak kulit duku sebanyak 1 gram
Dilarutkan dengan aquadest sebanyak 100 ml.
4. Untuk mendapatkan konsentrasi 1,5%
Ditimbang ekstrak kulit duku sebanyak 1,5 gram
Dilarutkan dengan aquadest sebanyak 100 ml.
3.10. Cara melakukan percobaan A. Pada Konsentrasi 0 %
1. Sediakan 1 buah kotak pengamatan
2. Masukkan 15 ekor nyamuk Aedes spp dewasa diambil dari kotak
pemeliharaandengan menggunakan alat aspirator ke dalam kotak
pengamatan
3. Lakukan penggunaan penyemprotan dengan konsentrasi 0% ekstrak kulit
duku dengan jarak 30 cm dari kotak pengamatan.
4. Amati dan catat nyamuk Aedes spp yang mati setelah 30 menit
B. Pada Konsentrasi 0,5%, Konsentrasi 1% dan Konsentrasi 1,5%
1. Sediakan 3 buah kotak pengamatan untuk masing-masing ( konsentrasi
0,5%, konsentrasi 1%, dan konsentrasi 1,5% )
2. Beri label pada setiap kotak pengamatan, yaitu label A untuk konsentrasi
3. Masukkan 15 ekor nyamuk Aedes spp dewasa diambil dari kotak
pemeliharaan dengan menggunakan alat aspirator ke dalam masing-masing
kotak pengamatan
4. Lakukan penggunaan penyemprotan dengan konsentrasi 0,5%,konsentrasi
1%, dan konsentrasi 1,5% ekstrak kulit duku dengan jarak 30 cm dari
kotak pengamatan .
5. Amati dan catat nyamuk Aedes spp yang mati setelah 30 menit
6. Lakukan pengulangan sebanyak 3 kali pada konsentrasi 0,5%,konsentrasi
1% dan konsentrasi 1,5%.
3.11. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil percobaan dianalisa menggunakan metode
distribusi frekwensi ( Deskriptif ) data diperoleh dari hasil 3 kali perlakuan dan
satu kontrol dengan ekstrak kulit duku konsentrasi 0%,konsentrasi 0,5%,
konsentrasi 1%, konsentrasi 1,5%, serta 3 kali pengulangan pada yang paling
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Pengaruh Perlakuan Ekstrak Kulit Duku (Lansium domesticum) terhadap kematian nyamuk Aedes spp.
Dalam penelitian ini menggunakan nyamuk Aedes spp sebanyak 150 nyamuk
dewasa dengan masing-masing perlakuan 15 ekor nyamuk yang berada didalam
masing-masing kotak pengamatan. Tiap perlakuan dilakukan pengamatan selama
30 menit dan 24 jam. Hasil penelitian menggunakan berbagai yaitu konsentrasi
0%, konsentrasi 0,5%, konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% dengan ekstrak kulit
duku yang di semprot untuk membunuh nyamuk Aedes spp atau 3 perlakuan dan 1
kontrol dengan 3 kali pengulangan selama 30 menit pengamatan.
4.1.1. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 0 % ( Kontrol )
Pada konsentrasi 0% ( Kontrol ) dengan waktu pengamatan selama 30
menit dan 24 jam tidak ada nyamuk yang mati (konsentrasi 0% ).
4.1.2. Kematian nyamuk Aedes spp pada konsentrasi 0,5%
Hasil pengamatan Kematian nyamuk setelah penyemprotan Ekstrak Kulit
Tabel 4.1. Hasil pengamatan Kematian nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 0,5%
Waktu Pengamatan
Jumlah Nyamuk Aedes spp Yang mati setelah
Perlakuan pada Konsentrasi 0,5%
Rata- Rata
Ulangan
I II III
30 menit 6 6 7 6
24 jam 6 7 7 7
Berdasarkan tabel 4.1. di atas menunjukan bahwa kematian nyamuk Aedes
spp untuk konsentrasi 0,5% sudah mencapai LD50 dimana rata-rata kematian
nyamuk Aedes spp 7 ekor setelah 24 jam. Kematian nyamuk Aedes spp tertinggi
terjadi pada 24 jam pengamatan dengan kematian rata-rata sebanyak 7 ekor.
4.1.3. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1% Tabel 4.2.Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1%
Waktu Pengamatan
Jumlah Nyamuk Aedes spp Yang mati setelah Perlakuan pada Konsentrasi 1%
Rata- Rata
Ulangan
I II III
30 menit 8 9 8 8
24 jam 9 10 8 9
Berdasarkan tabel 4.2. diatas menunjukan bahwa kematian nyamuk Aedes
spp untuk konsentrasi 1% sudah mencapai LD50 yaitu rata-rata kematian 8 ekor
terjadi padapengamatan 30menit.Kematian nyamuk Aedes spp tertinggi terjadi
[image:52.595.113.499.476.575.2]4.1.4. Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1,5%
Tabel 4.3. Hasil pengamatan Kematian Nyamuk Aedes spp Pada Konsentrasi 1,5%
Waktu Pengamatan
Jumlah Nyamuk Aedes spp Yang mati setelah
Perlakuan pada Konsentrasi 1,5%
Rata- Rata
Ulangan
I II III
30 menit 13 10 14 12
24 jam 14 12 14 13
Berdasarkan tabel 4.3. di atas menunjukan bahwa kematian nyamuk Aedes
spp untuk konsentrasi 1,5% selama 30 menit pengamatan sudah mencapai LD50
dengan rata-rata 12 ekor nyamuk. Kematian seluruh nyamuk Aedes spp setelah 24
jam dengan rata-rata 13
[image:53.595.111.499.182.278.2]4.1.5. Rata-Rata Kematian Nyamuk Aedes spp Pada 4 Ekstrak Kulit Duku (Lansium Domesticum )Selama 30 Menit Waktu Pengamatan.
Tabel 4.4. Rata-Rata dan Persentasi Kematian Nyamuk Aedes spp Pada empat konsetrasi Ekstrak Kulit Duku ( Lansium Domesticum ) Selama 30 Menit Waktu Pengamatan
Konsentrasi (%) Jumlah Ulangan
Rata Rata % Kematian Rata-rata nyamuk
I II III Suhu Kelem-
(ekor) baban
Konsentrasi 0% 15 0 0 0 0 0 28oC 65%
Konsentrasi 0,5% 15 6 6 7 7 42 27oC 70%
Konsentrasi 1% 15 8 9 8 9 56 27oC 62%
Konsentrasi 1,5% 15 13 10 14 13 82 28oC 70%
Berdasarkan tabel 4.4. menunjukan kematian tertinggi nyamuk Aedes spp
dalam presentasi setiap berturut-turut adalah untuk 0,5% mencapai kematian 42%
selama 30 menit pengamatan, 1% mencapai kematian 56 % selama 30 menit
[image:53.595.109.533.537.634.2]pada kontrol dengan 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp selama 30
menit pengamatan.
4.1.6. Rata-Rata Kematian Nyamuk Aedes spp Pada 4 Ekstrak Kulit Duku ( Lansium Domesticum )Selama 24 jam Waktu Pengamatan.
Tabel 4.5. Rata-Rata dan Persentasi Kematian Nyamuk Aedes sppPada empak konsentrasi Ekstrak Kulit Duku ( Lansium Domesticum ) Selama 24 jam Waktu Pengamatan
Konsentrasi (%) Jumlah Ulangan
Rata Rata
% Kematian
Rata-rata nyamuk
I II III Suhu Kelem-
(ekor) baban
Konsentrasi 0% 15 0 0 0 0 0 27oC 65%
Konsentrasi 0,5% 15 6 7 7 7 44 27oC 70%
Konsentrasi 1% 15 9 10 9 9 62 28oC 70%
Konsentrasi 1,5% 15 14 12 14 14 89 27oC 63%
Berdasarkan tabel 4.5. menunjukan kematian tertinggi nyamuk Aedes spp
dalam presentasi setiap berturut-turut adalah untuk 0,5% mencapai kematian 44%
selama 24 jam pengamatan, 1% mencapai kematian 62% selama 24 jam
pengamatan dan 1,5% mencapai kematian 89% pengamatan selama 24 jam, pada
kontrol dengan 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes spp selama 24 jam
pengamatan.
4.1.7. Kematian nyamuk Aedes spp Pada saat Lethal Dose 50
Lethal Dose 50 (LD 50) dicapai setelah 30 menit pengamatan untuk semua
perlakuan, sehingga untuk melakukan perbandingan uji Deskriptif dapat
[image:54.595.109.535.299.398.2]Tabel 4.6.Jumlah dan Rata-rata Kematian nyamuk Aedes spp Pada 4 Konsentrasi Dengan 3 kali ulangan pada saat Lethal Dose 50 (LD 50) Tercapai Setelah 30 Menit Pengamatan
Konsentrasi (%) Jumlah Ulangan Rata-rata
nyamuk
I II III %
(ekor) Kematian
Konsentrasi 0% 15 0 0 0 0
Konsentrasi 0,5% 15 6 6 7 42
Konsentrasi 1% 15 8 9 8 56
Konsentrasi 1,5% 15 13 10 14 82
Hasil penelitian tersebut dianalisa secara Deskriptif setelah terlebih dahulu
jumlah kematian nyamuk Aedes spp pada setiap ulangan ditransformasi untuk
menghilangkan angka nol dalam perhitungan. Transformasi data dilakukan
dengan tujuan supaya data yang diolah telah memenuhi asumsi yang mendasari
pemakaian suatu analisa data, sehingga hasil analisa data ini akan mampu
mencerminkan kejadian yang sebenarnya terjadi dalam suatu percobaan. Karena
terdapat jumlah kematian nyamuk Aedes spp dibawah 10 ekor maka digunakan
transformasi data (Hanafiah, 2005 )
4.2. Suhu Ruangan Penelitian
Suhu ruangan merupakan variabel penting yang mempengaruhi
penelitian. Oleh sebab itu, pengukuran suhu perlu dilaksanakan selama
berlangsungnya penelitian. Suhu ruangan diukur dengan menggunakan
thermometer dan diperoleh hasil pengukuran yakni pada ulangan I adalah 27oC,
ulangan II adalah 27oC, ulangan III adalah 28oC dan rata-rata suhu ruangan
4.3. Kelembaban Udara Ruangan Penelitian
Kelembaban merupakan salah satu variabel yang dihitung dalam penelitian
ini. Kelembaban diukur dengan menggunakan hygrometer dan didapatkan hasil
yaitu kelembaban pada pengulangan I sebesar 65%, pada pengulangan II sebesar
62,5%, pada pengulangan III sebesar 70% maka rata-rata kelembaban ruangan
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Pengaruh Ekstrak kulit Duku (Lansium Domesticum) Terhadap kematian nyamuk Aedes spp
Hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan 4 macam
konsentrasi perlakuan yaitu konsentrasi 0% ( sebagai kontrol ),konsentrasi
0,5%,konsentrasi konsentrasi 1% dan konsentrasi 1,5% dengan tiga kali ulangan
selama 30 menit dan 24 jam pengamatan diperoleh jumlah kematian nyamuk
Aedes spp pada wakt