Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Tentang Higiene dengan Infeksi Balantidium coli di Masyarakat Sekitar Peternakan Babi di
Namorambe
Oleh:
SITI HAJAR BINTI SHAMSUDIN 070100472
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Tentang Higiene dengan Infeksi Balantidium coli di Masyarakat Sekitar Peternakan Babi di
Namorambe
KARYA TULIS ILMIAH
SITI HAJAR BINTI SHAMSUDIN 070 100 472
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Tentang Higiene
dengan Infeksi Balantidium coli di Masyarakat Sekitar Peternakan
Babi di Namorambe
Nama : Siti Hajar Binti Shamsudin
NIM : 070100472
Pembimbing Penguji I
(dr. Lambok Siahaan, MKT) (dr. Datten Bangun, MSc, Sp.FK)
Penguji II
(dr. Rina Amelia, MARS)
Medan, Desember 2010, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Dekan,
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya, di atas izin-Nya saya telah dapat
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Hubungan Tingkat Pengetahuan,
Sikap dan Tindakan Tentang Higiene dengan Infeksi Balantidium coli di
Masyarakat Sekitar Peternakan Babi di Namorambe dengan baik dan tiada
hambatan suatu apapun.
Terima kasih atas bimbingan dosen pembimbing saya, dr. Lambok
Siahaan, MKT dan dosen-dosen Community Research Program di atas bimbingan
dan tunjuk ajar mereka. Tidak dilupakan kepada rakan-rakan dan kedua ibu bapa
saya yang telah banyak memberi sokongan dan dukungan.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Kepala Lurah Desa Namorambe
dan seluruh masyarakat di desa tersebut yang sangat membantu saya dalam
menjalankan penelitian ini, samada yang berpartisipasi sebagai subjek ataupun
tidak.
Kepada semua pihak yang telah membantu dan terlibat secara langsung
dan tidak langsung dalam penyelesaian proposal Karya Tulis Ilmiah ini, saya
sampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga bantuan yang telah
kalian berikan akan mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Amin.
Akhir kata, saya berharap penelitian ini memberi manfaat kepada semua
pihak.
Medan, 29 November 2010
Penulis,
SITI HAJAR BINTI SHAMSUDIN
ABSTRAK
Balantidiasis merupakan sebuah infeksi yang disebabkan oleh kista dari protozoa Balantidium coli. Balantidium coli adalah satu-satunya anggota dari divisi ciliate yang diketahui sebagai pathogen ke manusia dan merupakan protozoa terbesar. Saat ini, Balantidium coli didistribusikan ke seluruh dunia, namun kurang dari 1% dari populasi manusia yang terinfeksi. Babi adalah reservoir utama dari parasit, dan infeksi manusia lebih sering terjadi di daerah-daerah di mana babi banyak berinteraksi dengan manusia. Diketahui bahwa di kota Medan terdapat lokasi ternak babi yang sangat banyak yang hampir merata mengelilingi kota Medan.
Penelitian dilakukan dengan menjalankan wawancara, kuesioner dan pengamatan kepada subjek dan lingkungannya. Kemudian, sampel tinja diambil untuk mendiagnosa balantidiasis.
Dari penelitian yang telah dilakukan pada 67 subjek dari Desa Namorambe, didapatkan sejumlah tiga kasus balantidiasis yang teridentifikasi. Dari hasil penelitian ini, didapati rata-rata masyarakat Desa Namorambe memiliki tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan yang baik.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara umumnya tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan memiliki hubungan dengan infeksi Balantidium coli.
ABSTRACT
Balantidiasis is an infection which is caused by cyst of protozoa Balantidium coli. Balantidium coli is the only one of the family member from ciliate division which is known as the pathogen to human and it also is the biggest protozoa. In this moment, Balantidium coli is distributed to worldwide, but less than 1% from human population has been infected. Pig is the main reservoir from the parasite, and human infection more common in where pig and human has interacted. Reported in Medan, the location of pig farm is a lot and distributed well surrounding in Medan. So, the possibility of this infection to happen is high since Balantidium coli is proved in pig hostpes.
Research in done by interviews, questionnaire, and observations on subjects and their surroundings. Then, stool sample is taken to diagnose balantidiasis.
According to this study that was done among 67 subjects who are the people in Desa Namorambe, there was three subjects who has been diagnosed balantidiasis. From the study, in average the people was doing well in knowledge, attitude and action.
Based on the results of the study, there is a relation between the knowledge, attitude and the action of the people to the balantadiasis in Namorambe.
DAFTAR ISI
2.3.3. Patogenesis, Patologi dan Simptomatologi ... 12
2.3.4. Diagnosis ... 14
2.4.2. Distribusi Lokasi Peternakan Babi ... 16
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 18
3.1. Kerangka Konsep ... 18
3.2. Definisi Operasional ... 18
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 20
5.1.6. Distribusi Kejadian Balantidiasis Berdasarkan Kelompok Sampel ... 31
5.1.7. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Balantidiasis ... 33
5.1.8. Hubungan antara Sikap dengan Kejadian Balantidiasis .... 33
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 4.1. Nilai Validitas dan Reliabilitas 24
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur 26
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin 27
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Pekerjaan 27
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tingkat Pengetahuan 28
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
(Interpretasi) 28
Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Sikap 29
Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Sikap (Interpretasi) 29
Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tindakan 30
Tabel 5.9. Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tindakan
(Interpretasi) 30
Tabel 5.10. Distribusi Frekuensi Kejadian Balantidiasis 31
Tabel 5.11. Uji Silang antara Kejadian Balantidiasis Berdasarkan
Kelompok Umur 31
Tabel 5.12. Uji Silang antara Kejadian Balantidiasis Berdasarkan
Jenis Kelamin 32
Tabel 5.13. Uji Silang antara Kejadian Balantidiasis Berdasarkan
Pekerjaan 32
Tabel 5.14. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian
Balantidiasis 33
Tabel 5.15. Hubungan antara Sikap dengan Kejadian Balantidiasis 33
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 1 Kerangka Konsep Hubungan Tingkat Pengetahuan, 18 Sikap dan Tindakan dengan Infeksi Balantidium coli
ABSTRAK
Balantidiasis merupakan sebuah infeksi yang disebabkan oleh kista dari protozoa Balantidium coli. Balantidium coli adalah satu-satunya anggota dari divisi ciliate yang diketahui sebagai pathogen ke manusia dan merupakan protozoa terbesar. Saat ini, Balantidium coli didistribusikan ke seluruh dunia, namun kurang dari 1% dari populasi manusia yang terinfeksi. Babi adalah reservoir utama dari parasit, dan infeksi manusia lebih sering terjadi di daerah-daerah di mana babi banyak berinteraksi dengan manusia. Diketahui bahwa di kota Medan terdapat lokasi ternak babi yang sangat banyak yang hampir merata mengelilingi kota Medan.
Penelitian dilakukan dengan menjalankan wawancara, kuesioner dan pengamatan kepada subjek dan lingkungannya. Kemudian, sampel tinja diambil untuk mendiagnosa balantidiasis.
Dari penelitian yang telah dilakukan pada 67 subjek dari Desa Namorambe, didapatkan sejumlah tiga kasus balantidiasis yang teridentifikasi. Dari hasil penelitian ini, didapati rata-rata masyarakat Desa Namorambe memiliki tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan yang baik.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara umumnya tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan memiliki hubungan dengan infeksi Balantidium coli.
ABSTRACT
Balantidiasis is an infection which is caused by cyst of protozoa Balantidium coli. Balantidium coli is the only one of the family member from ciliate division which is known as the pathogen to human and it also is the biggest protozoa. In this moment, Balantidium coli is distributed to worldwide, but less than 1% from human population has been infected. Pig is the main reservoir from the parasite, and human infection more common in where pig and human has interacted. Reported in Medan, the location of pig farm is a lot and distributed well surrounding in Medan. So, the possibility of this infection to happen is high since Balantidium coli is proved in pig hostpes.
Research in done by interviews, questionnaire, and observations on subjects and their surroundings. Then, stool sample is taken to diagnose balantidiasis.
According to this study that was done among 67 subjects who are the people in Desa Namorambe, there was three subjects who has been diagnosed balantidiasis. From the study, in average the people was doing well in knowledge, attitude and action.
Based on the results of the study, there is a relation between the knowledge, attitude and the action of the people to the balantadiasis in Namorambe.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Balantidiasis merupakan sebuah infeksi yang disebabkan oleh kista dari
protozoa
divisi ciliate yang diketahui sebagai patogen ke manusia dan merupakan protozoa
terbesar, kira-kira 200 μm (Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964). Saat ini,
Balantidium coli didistribusikan di seluruh dunia, namun kurang dari 1% dari
populasi manusia yang terinfeksi (Chijide, V.M., 2008). Babi adalah reservoir
utama dari parasit, dan infeksi manusia lebih sering terjadi di daerah-daerah di
mana babi banyak berinteraksi dengan manusia. Ini termasuk tempat-tempat
seperti Filipina, sebagaimana disebutkan sebelumnya, tetapi juga termasuk
negara-negara seperti Bolivia dan Papua Nugini (Smith, S., 2003).
Infeksi terjadi bila sebuah penjamu memasukkan kista, yang biasanya
terjadi selama kejangkitan konsumsi air atau makanan. Namun, dari diagnosa
Balantidiasis dapat dipertimbangkan bila pasien diare telah digabungkan dengan
kemungkinan sejarah sekarang terpapar amebiasis melalui perjalanan, kontak
dengan orang terinfeksi, atau anal intercourse. Selain itu, dari diagnosa
Balantidiasis dapat dibuat oleh pemeriksaan mikroskopis dari sampel kotoran atau
jaringan (Soedarto, 2008).
Diketahui bahwa di kota Medan terdapat lokasi ternak babi yang sangat
banyak yang hampir merata mengelilingi kota Medan. Dimulai dari Medan
Belawan, Marelan, Helvetia, Sunggal, Selayang, Tuntungan, Amplas, Area, Kota
dan Medan Denai. Jadi, sangat memungkinkan lingkungan sekitar peternakan
babi ini dapat mengontaminasikan masyarakat di sekitarnya memandangkan
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
apakah ada hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan tentang higiene
dengan infeksi Balantidium coli di masyarakat di sekitar peternakan babi di
Namorambe.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan tentang
higiene dengan infeksi Balantidium coli di masyarakat di sekitar peternakan babi
di Namorambe.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi Balantidiasis di sekitar peternakan babi.
2. Mengetahui tingkat pengetahuan penduduk di sekitar peternakan babi
tentang higiene.
3. Mengetahui sikap dan tindakan masyarakat dalam menjaga kebersihan di
sekitar peternakan babi.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Memberikan informasi prevalensi kasus Balantidiasis di beberapa daerah
permukiman yang berdekatan dengan peternakan babi di Medan.
2. Memberikan informasi lebih mendalam tentang kaitan tempat tinggal yang
dekat dengan lokasi peternakan babi dengan angka kejadian Balantidiasis.
3. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam mendiagnosa infeksi
Balantidiasis.
4. Dijadikan bahan bacaan dan sumber rujukan umum dalam penelitian akan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku Kesehatan
Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang
pada dasarnya menyangkut dua aspek utama, yaitu fisik, seperti misalnya
tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, dan non-fisik yang
menyangkut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang
besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat. Perilaku manusia
merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia
dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon seorang individu terhadap
stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat
bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif
(melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat
dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan
lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang
kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Notoatmodjo
S.,1997).
Keberhasilan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tergantung pada
kesediaan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan dan menjaga perilaku
sehat. Banyak dokumentasi penelitian yang memperlihatkan rendahnya
partisipasi masyarakat dalam pemeriksaan kesehatan, imunisasi, serta berbagai
upaya pencegahan penyakit dan banyak pula yang tidak memanfaatkan
pengobatan modern. Karena itu tidaklah mengherankan bila banyak ahli ilmu
perilaku yang mencoba menyampaikan konsep serta mengajukan bukti-bukti
penelitian untuk menggambarkan, menerangkan, dan meramalkan
2.1.1. Bentuk Perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme
atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Pada
tahun 1938, menurut Skiner seorang ahli psikologis dalam Notoatmodjo (1997),
merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Respon ini berbentuk dua macam, yakni pertama
adalah bentuk pasif atau respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia
dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berfikir,
tanggapan atau sikap batin, dan pengetahuan. Misalnya seorang anak itu sadar
bahwa bermain di lingkungan yang kotor boleh menyebabkan dirinya terpapar
banyak penyakit, meskipun ia tetap bermain di sana. Contoh lain adalah seorang
yang menganjurkan orang lain untuk menjaga kebersihan lingkungan tempat
tinggal meskipun ia tidak berencana untuk melakukannya. Dari kedua contoh
tersebut terlihat bahwa masyarakat telah mengetahui tentang pentingnya pengaruh
kebersihan dengan kesehatan dan mereka telah mempunyai sikap yang positif
untuk mendukung kelestarian lingkungan yang bersih dan sejahtera meskipun
mereka sendiri belum melakukan secara konkret terhadap kedua hal tersebut.
Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung (covert behavior)
(Notoatmodjo S.,1997).
Bentuk kedua pula adalah bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas
dapat diobservasi secara langsung. Misalnya pada kedua contoh tersebut, si anak
sudah berhenti dari bermain di tempat yang kotor, dan orang pada kasus kedua
sudah mengikuti langkah-langkah membersihkan lingkungan di sekitarnya
walaupun hanya di sekeliling rumahnya. Oleh karena perilaku mereka ini sudah
tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka disebut “overt behavior”
(Notoatmodjo S.,1997).
2.1.2. Domain Perilaku Kesehatan
Notoatmodjo (1997) berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat
kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Perilaku itu dibagi ke
mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan
untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan
adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang
terdiri dari ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan
ranah psikomotor (psychomotor domain). Dalam perkembangan selanjutnya oleh
para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga
domain ini diukur dari pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang
diberikan (knowledge), sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi
pendidikan yang diberikan (attitude) dan praktek atau tindakan yang dilakukan
oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan
(practice) (Notoatmodjo S.,1997).
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai
pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus
yang berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan
baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam
bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan
yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan
menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau
sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian, di dalam
kenyataan stimulus yang diterima subjek dapat langsung menimbulkan tindakan.
Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih
dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice)
seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap (Notoatmodjo
S.,1997).
Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena
itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan. Notoatmodjo (1997) mengungkapkan pendapat Rogers di dalam
tulisannya bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di
dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni pertama adalah
Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek), kedua Interest (merasa tertarik)
terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai terbentuk.
Ketiga pula ada Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik
lagi. Seterusnya ada Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus dan yang terakhir adalah
Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian dari penelitian
selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu
melewati tahap-tahap tersebut di atas (Notoatmodjo S.,1997).
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu stimulus atau objek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat
disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.
Seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan atau perilaku. Dalam bagian lain, menurut Notoatmodjo
(1997), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yakni
kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; Kehidupan
emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek; dan Kecendrungan untuk
bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang
utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan,
dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya, seorang ibu telah
mendengar penyakit infeksi (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan
supaya anaknya tidak terkena infeksi. Dalam berfikir ini komponen emosi dan
keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat akan mengawal aktivitas
anaknya dan menjaga perilaku yang berhubungan dengan kesehatan keluarganya
untuk mencegah anaknya terkena infeksi (Notoatmodjo S.,1997).
Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni
menerima (Receiving) dimana subjek mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan objek, merespon (Responding) yaitu memberikan jawaban apabila
ditanya serta mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan, menghargai
(Valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
terhadap suatu masalah, bertanggungjawab (Responsible) atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap
dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan
bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara
tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis,
kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo S.,1997).
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas.
Sikap ibu yang sudah positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari
suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut dapat
mengimunisasikan anaknya. Tingkat-tingkat Praktek terdiri dari Persepsi
(Perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil, Respon Terpimpin (Guided Respons) dimana
individu itu dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh, Mekanisme (Mechanism) yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan
sesuatu dengan benar secara otomatis, atau suatu ide sudah merupakan suatu
kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga, Adaptasi (Adaptation)
yang merupakan praktek yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan
itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya
tersebut. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni
atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran langsung dengan mengobservasi
tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo S.,1997).
2.2. Higiene
Kata ’higiene’ berasal dari bahasa Yunani yang berarti perawatan dan
pemeliharaan kesehatan. Bahan makanan yang diolah tanpa prinsip higiene dapat
mengakibatkan penyakit. Badan manusia merupakan tempat yang sangat
menguntungkan bagi tumbuhnya berbagai macam kuman. Kuman tersebut
berkembang cepat di lingkungan yang hangat seperti di kulit, apalagi jika orang
berkeringat, ia ’menyediakan’ zat dan air bergizi bagi kuman. Pengalih kuman
yang utama adalah tangan. Oleh karena itu, penting sekali mencuci tangan
dengan sabun (Widker, P., 2006).
Dalam Undang-undang Kesehatan, tidak ada penjelasan tentang pengertian
kesehatan lingkungan. Untuk mengetahui pengertian kesehatan lingkungan kita
harus melihat ketentuan hukum sebelumnya yang mengatur tentang materi yang
sama, yaitu dalam Undang-undang No. 11 tentang Higiene/Tahun 1966.
Walaupun kedua undang-undang di atas sudah tidak berlaku lagi sebab sudah
dicabut dengan diberlakukannya UU Kesehatan, namun isinya perlu diketahui
untuk memahami tentang kesehatan lingkungan yang terdapat dalam ketentuan
hukum yang baru. Sebelum istilah kesehatan lingkungan yang dipergunakan
sekarang, dalam undang-undang untuk maksud yang sama dipergunakan istilah
Higiene. Dalam Undang-undang N0. 11 Tahun 1962 tentang Higiene untuk
Usaha-Usaha Bagi Umum dijelaskan : Higiene ialah segala usaha untuk
memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan. Usaha bagi umum ialah
usaha-usaha yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah, swasta maupun perseorangan
yang menghasilkan sesuatu untuk atau yang langsung dapat dipergunakan oleh
2.3. Balantidium coli
Semua anggota dari kumpulan protozoa golongan Ciliata diklasifikasikan
ke dalam subfilum Ciliofora, dimana termasuk organisma satu sel yang dilengkapi
dengan ekstensi pendek seperti bebenang yang merupakan membran ektoplasmik
atau lebih dikenali sebagai silia saat beberapa peringkat siklus hidup mereka.
Satu-satunya spesies yang menarik perhatian di bidang medis dalam famili ini
adalah Balantidium coli, yaitu tergolong dalam Order Spinotrichida, Suborder
Heterotrichina, Famili Balantidiidæ (Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964).
Parasit protozoa bersilia yang juga merupakan satu-satunya bersifat
patogenik terhadap manusia ini pertama kali diterangkan oleh Malmsten pada
tahun 1857 (Paniker, C.K.J., 2002; Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964). Protozoa
ini kemudiannya dinamakan Paramæcium coli yang pada ketika itu dijumpai pada
tinja dua orang pasien yang disenterik yang kemudiannya diobservasi lagi oleh
Leuckart pada tahun 1861 dalam Faust, E.C., and Russel, P.F., (1964) yang
menamakannya sebagai Holophyra coli dan Stein dalam Faust, E.C., and Russel,
P.F., (1964) yang menamakannya sebagai Leukophyra coli pada tahun 1860.
Mereka kemudiannya memindahkan spesies ini ke genus Balantidium yang
dicipta pertama kali oleh Claparède dan Lachmann pada tahun 1858 untuk siliata
yang dijumpai pada usus kodok. Anggota dari genus ini berparasit hanya di
dalam salur pencernaan penjamu vertebrata maupun invertebrata. (Faust, E.C.,
and Russel, P.F., 1964).
2.3.1. Distribusi Geografis
Balantidium coli terdistribusi di seluruh dunia dimana ia pernah dilaporkan
di berbagai negara terutama yang penduduknya banyak menternak babi dan
beriklim panas seperti daerah di Timur Eropah, Asia dan Amerika, contohnya di
Rusia, Asia Tenggara, Indocina, Filipina, Texas serta Carolina Utara dan Selatan
(Smith, S., 2003; Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964; Piekarski, G., 1962). Tetapi
infeksi yang ditimbulkan oleh parasit ini atau lebih dikenali sebagai Balantidiasis
mempunyai angka prevalensi yang sangat rendah di kalangan manusia walaupun
kodok, marmut, kecoa dan lain-lain (Greenwood et. al, 2002; Paniker, C.K.J.,
2002; Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964). Di Papua Nugini, prevalensi penyakit
ini sekitar 29 persen (Yatim, F.,2001). Infeksi pada manusia dapat juga
ditemukan di daerah-daerah yang lebih dingin kecuali di komunitas yang
masyarakatnya tidak berpendidikan tinggi dengan tingkat higienis personal yang
rendah (Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964).
2.3.2. Morfologi, Biologi dan Siklus Hidup
Balantidium coli merupakan protozoa terbesar yang memparasit manusia,
dimana seiring waktu, ia hampir dapat terlihat hanya dengan mata kasar, yaitu
berukuran kira-kira 50 hingga 150 μm dan ia bermultiplikasi secara pembelahan
ganda dua. Secara umumnya, ia kurang lebih berbentuk bujur, terdiri dari
sitostom yang ketara, mempunyai silia yang membungkus seluruh tubuhnya,
vakuol-vakuol yang kontraktil, makronukleus dan mikronukleus. Siklus hidup
siliata ini mempunyai dua stadium, yaitu trofozoit dan kista (Baron, S., 1996;
Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964).
Pada tinja yang disentrik atau diare, dapat ditemukan trofozoit yang besar
dan berbentuk bujur dimana ia diselubungi oleh silia pendek yang panjangnya
rata-rata hampir sama dan pada organisma hidup ia menghasilkan gerakan yang
konstan dan serentak untuk mendorong protozoa ini bergerak ke hadapan. Bagian
ujung anterior parasit ini agak tajam dan pada satu sisi aksis longitudinalnya
terdapat satu lekukan berbentuk kerucut yang terbalik dan dalam yang merupakan
mulutnya, yaitu sitostom. Di bagian ini juga terdapat peristom dan satu
tenggorokan yang tumpul dan pendek, yaitu sitofaring. Silia di sekitar area mulut
adalah lebih besar (adoral cilia). Manakala bagian posterior pula adalah
berbentuk bulat yang lebar dan terdapat satu pori anus yang kecil yaitu cytopyge.
Trofozoit bervariasi dari segi panjangnya, yaitu dari 50 hingga 200 mikron dengan
lebar dari 40 hingga 70 mikron. Apabila siliata ini difiksasi pada film tinja basah
(wet fecal films) dan diwarnakan dengan warna merah tua menggunakan
terletak di bawah membran sel. Silia peristomal parasit ini agak panjang (Paniker,
C.K.J., 2002; Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964).
Sitoplasma mengandung satu atau dua vakuol kontraktil dan beberapa
vakuol makanan. Sel mempunyai dua inti, yaitu makronukleus yang berbentuk
seperti ginjal, dan di dalam kelekukannya terdapat satu mikronukleus.
Makronukleus mempunyai bentuk seperti kacang yang sempit dan dipadati
dengan granul-granul kromatin dimana tampak seperti hanya satu massa.
Manakala inti yang lebih kecil, yaitu mikronukleus terletak di tengah-tengah
kekelokan makronukleus. Ia merupakan satu massa bundar yang menyerap
pewarnaan dengan sangat tinggi dan dipercayai bahwa ia berfungsi sebagai
sebuah organel yang kinetik (Paniker, C.K.J., 2002; Faust, E.C., and Russel, P.F.,
1964).
Habitat alamiah bagi B.coli adalah usus besar manusia, monyet dan babi,
dimana trofozoit organisma ini mendapat makanan dari sel-sel di dinding usus
ataupun bakteri dan mukus seperti parasit lumen (Chijide, V.M., 2008). Di sana,
mereka bermultiplikasi secara belahan ganda transversal, yaitu memproses
mikronukleus, kemudian makronukleus pula membelah diri dan terakhir adalah
sitoplasma yang terpisah menjadi dua organisma lain. Sementara konjugasi
(contohnya pertukaran silang akan materi inti) diobservasi pada B.coli, hal ini
adalah kurang lazim kecuali sebagai untuk homogenitas pada pewarnaan
campuran dan juga berkemungkinan tidak diperlukan dalam menjamin
kelangsungan hidup spesies ini (CDC& P, 2009; Faust, E.C., and Russel, P.F.,
1964; Piekarski, G., 1962).
Enkistasi trofozoit berlangsung saat materi dalam tinja yang dibawa
menuruni usus menjadi dehidrasi, ataupun ia juga boleh terjadi setelah evakuasi
semi-formed dan formed stool. Pada proses ini, organisma akan berkumpul secara
parsial, lalu tanpa penarikan kembali secara sempurna pun silianya akan
mengeluarkan sebuah dinding kista yang sangat kokoh. Tidak seperti proses
enkistasi pada ameba, pada B.coli ini tidak didahului oleh pengeluaran makanan
yang tidak tercerna; sebaliknya tidak seperti kebanyakan ameba yang tidak
stadium dienkistasi (enycsted) berlangsung, jadi hanya satu organisma yang
muncul saat ekskistasi terjadi (CDC&P, 2009; Paniker, 2002; Faust, E.C., and
Russel, P.F., 1964).
2.3.3 Patogenesis, Patologi dan Simptomatologi
Balantidium coli, setelah ditemukan pada manusia, adalah
berkemungkinan merupakan sebuah penyerang jaringan (invasi). Setelah
ekskistasi dalam usus halus, trofozoit yang bebas akan melewati ke dalam usus
besar dan berkontak dengan permukaan mukosa dalam jangka waktu yang cukup
untuk melobangi sel dan membina koloni di sana. Tindakan ini banyak dibantu
oleh silia yang banyak untuk mempertahankan posisi parasit saat ia berusaha
masuk ke dalam jaringan. Telah dibuktikan bahwa Balantidium coli
menghasilkan enzim hyaluronidase yang memecahkan ikatan substrat hyalurat
jaringan ikat dan hal ini mungkin secara mekanik dan fisiologiknya membantu
dalam kemampuan organisma ini dalam menginvasi jaringan (Chijide, V.M.,
2008; Greenwood et. al, 2002; Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964).
Selain karakteristik lesi awal pada Balantidiasis yang secara umumnya
menyerupai seperti pada Entamoeba hystolytica, jalan masuk ke mukosa
berdiameter besar, leher ulkus itu pendek dan kuat serta permukaan dasarnya
membulat secara kasar. Infiltrasi seluler ulkus kurang lebih umum terjadi dan
berlangsung awal karena mudahnya bakteri untuk masuk ke dalam ulkus itu
(Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964).
Walaupun B.coli adalah patogen, ia mungkin juga hidup dalam periode
waktu yang terbatas dalam lumen usus manusia tanpa menimbulkan sebarang
simptom. Pada kebanyakan individu yang terinfeksi dapat ditemukan gejala diare
dan pada kasus yang lebih parah dapat juga dijumpai ulserasi usus. Organisma
parasit ini mungkin berpenetrasi ke dalam lapisan epitelial membran mukosa usus
yang sehat; telah dibuktikan bahwa proses penetrasi itu tidak selalunya ditemani
dengan nekrosis atau ulserasi. Di dalam jaringan balantidia ini bermultiplikasi
dimana seiring waktu ia menyebar ke lapisan otot. Ulkus boleh berbentuk bulat,
ovoidal maupun irregular, dengan pinggiran di bawah dan dasarnya mengandung
pus dan materi nekrotik yang lain. Abses pula biasanya kecil dan apabila diinsisi,
ia dipenuhi dengan material mukoid yang mengandung banyak balantidia
(Greenwood et. al, 2002; Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964).
Membran mukosa antara ulkus boleh terlihat normal atau bengkak dan
berdarah (Soedarto, 2008; Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964). Seperti pada
infeksi ameba, ulkus boleh berhubungan antara satu sama lain oleh aluan di bawah
membran mukosa ataupun di atas permukaan mukosa. Bagian usus yang
terinfeksi menunjukkan infiltrasi round-cell, koagulasi yang mati dalam dinding
ulkus dan abses, area yang hemoragik dan banyak organisma dalam koloninya di
dalam jaringan atau di dalam kapilari, saluran limfe dan kalenjar limfe yang
bersebelahan. Tanpa bukti penetrasi membran mukosa mungkin hiperemik,
menunjukkan nekrosis superfisial dan area-area yang hemoragik (Faust, E.C., and
Russel, P.F., 1964; Piekarski, G., 1962).
Pada kasus-kasus yang sangat jarang, B.coli memasuki bagian
ekstraintestinal. Pernah dilaporkan dua kasus kematian yaitu peritonitis
balantidial yang diikuti dengan ruptur ulkus kolonik. Ada juga ditemukan
balantidia di saluran kemih seorang pasien wanita yang menderita uretritis, siotitis
dan pyelonefritis dan dijumpai B.coli pada radang vaginitis pada wanita yang
berusia 62 tahun. Ada juga kasus vaginitis balantidial yang didiagnosa di bagian
Utara Amerika. Dan pada setiap kasus ini infeksi di luar sistem pencernaan
diduga merupakan infeksi sekunder dari Balantidiasis kolonik (Faust, E.C., and
Russel, P.F., 1964).
Simptomatologi untuk infeksi B.coli ini bervariasi. Banyak individu tidak
menunjukkan sebarang simptom, tetapi kebanyakan dari kasus diare atau disentrik
ini adalah berkarakteristik, ditemui bersama-sama dengan kolik abdomen,
tenesmus, mual dan muntah. Hilang selera makan, nyeri kepala, insomnia, lemah
otot dan turunnya berat badan juga dapat diobservasi pada penderita infeksi ini
(Chijide, V.M., 2008). Disentri boleh berkembang secara perlahan-lahan atau
memberi hasil negatif, tetapi biasanya kolon akan menjadi agak lunak dan kedua
membran kulit dan mukosa boleh terlihat anemia. Pada beberapa kasus
simptom-simptomnya adalah seperti pada kasus disentrik tipe ameba yang parah, dan tinja
boleh mengandung darah dan mukus yang banyak, sementara pada penderita yang
lain bisa terjadi konstipasi (Soedarto, 2008; Paniker, C.K.J., 2002; Faust, E.C.,
and Russel, P.F., 1964).
2.3.4. Diagnosis
Diagnosa untuk infeksi ini tergantung penemuan B.coli dalam tinja pasien.
Trofozoit yang bisa bergerak (motil) biasanya ditemukan apabila tinja pasien
bersifat diare atau disentrik, sementara kista dapat dijumpai pada semi-formed dan
formed stools (Soedarto, 2008; Paniker, C.K.J., 2002; Faust, E.C., and Russel,
P.F., 1964; Piekarski, G., 1962).
2.3.5. Pengobatan
Pengobatan tuntas pernah dilaporkan untuk kasus Balantidiasis dengan
menggunakan karbason dengan dosis total 5 hingga 10 gram, yaitu diberikan
secara oral sebanyak dua kali sehari dengan dosis 0.25 hingga 0.5 gram selama 10
hari. Tetapi pada tahun itu juga, bahwa karbason juga dikatakan hanya melegakan
gejala untuk sementara sahaja dan diiodohidroksikuin (Diodoquin) dengan dosis
10 tablet dimana setiap tablet mengandung 0.21 gram diberikan setaip hari selama
20 hari adalah efisien dalam menyingkirkan parasit ini. Kemudian, beberapa
tahun kemudian, biniodida raksa digunakan secara intramuskular dalam 9 kasus
yang ditangani dan dilaporkan sembuh total untuk kesemua kasus tersebut,
walaupun satu daripadanya diperlukan enema sebagai tindakan tambahan (Faust,
E.C., and Russel, P.F., 1964).
Tetrasiklin dan antibiotik yang lain yang lebih modern seperti
metronidazol dan nitromidazol juga dapat diberikan ke dalam pengobatan untuk
mengeliminasi infeksi Balantidiasis. Contoh dosis bagi tetrasiklin adalah 500
dapat diberikan dengan dosis 750 miligram sebanyak tiga kali dalam sehari
selama 5 hari. Selain itu, dapat diberikan juga oksietrasiklin dengan pemberian
500 miligram sebanyak empat kali dalam sehari selama 10 hari (Soedarto, 2008;
Greenwood et. al, 2002; Faust, E.C., and Russel, P.F., 1964).
2.3.6. Prognosis
Pada individu yang sehat infeksi B.coli biasanya hilang secara sendirinya
atau ia boleh menjadi laten. Banyak kasus infeksi dapat diobati. Penderita yang
tidak menunjukkan sebarang simptom biasanya mudah disembuhkan dengan
tindakan terapeutik. Tetapi pada pasien yang lebih lemah infeksi Balantidiasis
boleh menjadi parah sehingga menyebabkan kematian (Faust, E.C., and Russel,
P.F., 1964).
2.3.7. Pencegahan
Penyebaran B.coli dapat dicegah dengan selalu menjaga higiene
perorangan dan kebersihan lingkungan agar tidak tercemar dengan tinja babi.
Memasak makanan dan minuman dengan benar akan mampu untuk mencegah
penularan parasit ini pada manusia (Soedarto, 2008; Ditjen P3L, 2005).
2.4. Kecamatan Namorambe 2.4.1. Demografi
Daerah yang diambil sebagai subjek dalam penelitian ini adalah sebuah
daerah yang diketahui memiliki banyak lokasi penternakan babi, yaitu
Namorambe yang terletak di kabupaten Deli Serdang, Medan. Selain dari
banyaknya jumlah lokasi peternakan, daerah ini juga mempunyai kepadatan
penduduk yang tinggi yang dekat dengan lokasi tersebut dimana hal ini menepati
Kabupaten Deli Serdang secara geografis, terletak diantara 2°57’ - 3°16’
Lintang Utara dan antara 98°33’ - 99°27’ Bujur Timur, merupakan bagian dari
wilayah pada posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat dengan luas wilayah
2.497,72 kilometer. Dari luas Propinsi Sumatera Utara, dengan batas sebagai
berikut; sebelah utara berbatasan dengan Selat Sumatera. Sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Karo. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Serdang Bedagai dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karo dan
Kabupaten Langkat (Pemkab Deli Serdang, 2009).
Daerah ini secara geografis terletak pada wilayah pengembangan Pantai
Timur Sumatera Utara serta memiliki topografi, kountur dan iklim yang
bervariasi. Kawasan hulu yang kounturnya mulai bergelombang sampai terjal,
berhawa tropis pegunungan, kawasan dataran rendah yang landai sementara
kawasan pantai berhawa tropis pegunungan (Pemkab Deli Serdang, 2009).
Sementara itu, dilihat dari kemiringan lahan, Kabupaten Deli Serdang
dibedakan atas tiga dataran. Pertama adalah dataran pantai yang terdiri dari 4
kecamatan (Hamparan Perak, Labuhan Deli, Percut Sei Tuan, dan Pantai Labu).
Kedua pula adalah dataran rendah yang terdiri dari 11 kecamatan ( Sunggal,
Pancur Batu, Namorambe, Deli Tua, Batang Kuis, Tanjung Morawa, Patumbak,
Lubuk Pakam, Beringin, Pagar Merbau, dan Galang) dengan jumlah desa
sebanyak 197 desa/kelurahan. Potensi utama bagi dataran di sini adalah pertanian
pangan, perkebunan besar, perkebunan rakyat, peternakan, industri, perdagangan,
dan perikanan darat. Dataran terakhir yang terkategori adalah dataran
pegunungan yang terdiri dari 7 kecamatan (Kutalimbaru, Sibolangit, Biru-biru,
STMHilir, STM Hulu, Gunung Meriah, Bangun Purba) dengan jumlah desa
sebanyak 133 desa (Pemkab Deli Serdang, 2009).
2.4.2. Distribusi Lokasi Peternakan Babi
Untuk Deli Serdang, dari data Dinas Pertanian dan Peternakan yang ada
hampir di semua kecamatan ada peternakan babi. Jumlah babi ternak yang terdata
adalah seperti berikut : Di Gunung Meriah 724 ekor, STM Hulu 1.219 ekor,
Namorambe 166 ekor, Biru-Biru 461 ekor, STM Hilir 8.319 ekor, Bangun Purba
355 ekor, Galang 524 ekor, Tanjung Morawa 479 ekor, Patumbak 724 ekor,
Delitua 1.228 ekor, Sunggal 2.446 ekor, Hamparan Perak 3.499 ekor, Labuhan
Deli 502 ekor, Percut Sei Tuan 3.047 ekor, Batangkuis 547 ekor, Pantai Labu 828
ekor, Beringin 2.740 ekor, Lubuk Pakam 464 ekor dan Pagar Merbau 47 ekor
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 1. Kerangka konsep hubungan perilaku dan sanitasi lingkungan dengan infeksi Balantidium coli di kalangan masyarakat yang tinggal dekat dengan peternakan babi.
3.2. Definisi Operasional
1. a)Tingkat Pengetahuan diukur dengan mengemukakan pertanyaan mengenai
gejala diare dan sebagainya sebanyak 10 pertanyaan.
b)Sikap diukur dengan mengemukakan pertanyaan mengenai bagaimana
mereka menyikapi tindakan menjaga kebersihan dan sebagainya sebanyak 10
pertanyaan.
c)Tindakan diukur dengan mengemukakan pertanyaan mengenai bagaimana
tindakan mereka dalam menjaga kebersihan sebanyak 10 pertanyaan.
Lalu, ketiga-tiga bagian akan dikategorikan menjadi (Nursalam dan Efendi, F.,
2008) :
1.Buruk, bila jawaban ya <5 soal (< 56%).
2.Cukup, bila jawaban ya 6-8 soal (56-75%).
3.Baik, bila jawaban ya 9-10 soal (76-100%).
2. Infeksi Balantidium coli adalah apabila ditemukan trofozoit atau kista
Balantidium coli pada kotoran segar melalui pemeriksaan tinja subjek
penelitian.
Infeksi Balantidium coli Perilaku kebersihan masyarakat
1. Tingkat Pengetahuan
2. Sikap
3.3. Hipotesa
Ada hubungan antara perilaku dan higiene sanitasi lingkungan dengan
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan desain penelitian cross sectional
analitik.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di daerah Namorambe, kota Medan dari
bulan Agustus hingga Oktober 2010.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah masyarakat yang tinggal dekat dengan
peternakan babi di daerah Namorambe, kota Medan. Sampel yang diambil harus
memenuhi kriteria inklusi yaitu haruslah yang berumur dari 12 hingga 30 tahun
dan yang tinggal dekat dengan peternakan babi yaitu dalam jangkauan radius 100
meter. Manakala, kriteria eksklusi adalah apabila subjek penelitian tidak bersedia
memberikan sampel tinja walaupun telah melakukan sesi wawancara atau
sebaliknya.
Perkiraan besar sampel yang minimal pada penelitian ini diambil
berdasarkan rumus di bawah ini, dimana kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5
persen sehingga Zα = 1,64 (Wahyuni, 2007). Sementara selisih proporsi infeksi
minimal yang dianggap bermakna ditetapkan sebesar 0,1. Maka diperoleh 67
sampel subjek penelitian berdasarkan rumus (Dahlan, 2008; Sastroasmoro,
2008):-
N =
d2 Zα2pq
N = besar sampel minimum
p = nilai prevalensi dari penelitian sebelumnya. Oleh karena tiada penelitian
sebelumnya, jadi digunakan nilai 0,5
q = 1 - p
= 0,5
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Subjek penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal dekat dengan
penternakan babi di daerah Namurambe. Subjek tersebut akan diwawancara oleh
seorang pewawancara untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan
kebiasaan sehari-hari lalu dikumpulkan tinja untuk pemeriksaan parasitologis
tinja.
Pemeriksaan telur cacing kualitatif secara natif (Direct slide). Dipergunakan
untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi
ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Digunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%)
atau eosin 2%. Eosin 2% dimasukkan untuk lebih jelas membedakan telur cacing
dengan kotoran di sekitarnya. Metode pemeriksaan feses
Cara kerja :
• Pada gelas objek bersih, teteskan 1-2 tetes NaCl 0,9% atau eosin 2%. • Ambil tinja sedikit dengan lidi dan ditaruh pada larutan tersebut.
• Dengan lidi tadi, kita ratakan/larutkan, kemudian ditutup dengan gelas penutup (cover glass)
• Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Perbesaran lensa okuler 10x dan lensa obyektif 10x
• Preparat feses harus cukup tipis/transparan sehingga mudah diamati dengan mikroskop
Data identitas subjek juga akan dicatat sebagai verifikasi atas validitas penelitian
Dalam penelitian ini, data yang akan digunakan adalah data primer yang
diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner
kepada subjek yang terpilih sebagai sampel yang berisi pertanyaan dan pilihan
jawaban yang telah disiapkan.
Sebelum itu, kuesioner tersebut akan diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji
validitas akan diuji dengan menggunakan teknik korelasi “product moment”
dengan menggunakan rumus koefisien korelasi (pearson) :
N (∑XY) – (∑X∑Y)
√ {(N∑X2 – (∑X)2 } {(N∑Y2 – (∑Y)2 }
Manakala untuk uji reliabilitas pula menggunakan uji Cronbach
(Cronbach Alpha) dengan menggunakan rumus :
k ∑ Si2 1 - i=1
k-1 ST2
α = koefisien alpha
k = banyaknya butir pertanyaan
Si2 = jumlah varians butir pertanyaan ke-i
ST2 = varians total
Setelah diyakini validitas dan reliabilitasnya, kuesioner tersebut akan
diberikan kepada sampel untuk mengisi respons mereka. r =
[
]
Peneliti meminta izin kepada Kepala Lurah Desa Namorambe untuk
melakukan penelitian di Kelurahan tersebut. Responden pada penelitian ini
adalah masyarakat Desa Namorambe yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Responden telah diminta mengisi kuesioner mengenai pengetahuan,
sikap dan tindakan terhadap penyakit diare, yakni gejala utama dari Balantidiasis.
4.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan
uji reliabilitas pada setiap pertanyaan pada kuesioner tertutup yang akan diguna
dalam wawancara dengan orang masyarakat Desa Namorambe. Uji validitas
dilakukan adalah untuk mengetahui sejauh mana ukuran yang diperoleh
benar-benar menyatakan hasil pengukuran yang ingin diukur. Uji validitas juga suatu
ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan dan kesahihan suatu
instrumen (Arikunto S., 2007).
Validitas dari alat pengumpul data sangat diperlukan agar alat pengumpul
data tersebut dapat memberikan data yang valid dari setiap penelitian yang
dijalankan. Uji reliabilitas bertujuan untuk menunjukkan sejauh mana suatu alat
ukur dapat dipercaya atau diandalkan. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan
Tabel 4.1 Nilai Validitas dan Reliabilitas untuk Pertanyaan Tentang Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Variabel Soal Total Pearson
Correlation Status Alpha Status
Pengetahuan 1 0,686 Valid 0,958 Reliabel
Dari tabel 4.1, didapatkan bahwa kesemua soal mengenai pengetahuan,
sikap dan tindakan adalah valid berdasarkan uji korelasi pearson. Pada uji
reliabilitas, nilai maksimum adalah sebesar 0,960 manakala nilai minimum adalah
sebesar 0,957 dan semua soal ini adalah reliabel jika R>0,650. Dari tabel juga
didapatkan bahwa semua soal tentang pengetahuan, sikap dan tindakan adalah
4.5. Pengelolaan dan Analisa Data
Data dari setiap subjek akan diperiksa silang oleh supervisor di lapangan.
Setiap ketidak konsistenan akan diperbaiki sebelum pulang. Data diambil secara
manual untuk menentukan persen penduduk yang terkena infeksi balantidiasis.
Data yang diperoleh akan dimasukkan ke dalam bar chart untuk presentasi hasil.
Pada penelitian ini, variabel pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat
tentang kebersihan diri dan lingkungan serta kejadian infeksi akan dianalisa secara
Chi Square yang merupakan analisis bivarat untuk menghubungkan satu variabel
independen dengan variabel dependen. Analisis statistik ini akan dilakukan
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian 5.1.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Namorambe, Kecamatan Deli
Serdang, Medan pada bulan November 2010 dengan sampel 67 orang sebagai
subjek di mana jumlah penduduk desa tersebut adalah kira-kira seramai 500 orang
dan jumlah peternakan babi sebanyak 32 buah.
5.1.2. Karakteristik Sampel
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan frekuensi kelompok umur dari 67
orang yang termasuk ke kelompok umur 1-15 tahun berjumlah 13 orang (19,4%),
kelompok umur 16-30 tahun berjumlah 27 orang (40,3%), kelompok umur 31-45
tahun berjumlah 21 orang (31,3%), dan kelompok umur 46-60 tahun serta 61-75
tahun masing-masing berjumlah 3 orang (4,5%) (tabel 5.1).
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur
No Kelompok Umur (tahun) Frekuensi Persentase (%)
1 1-15 13 19,4
2 16-30 27 40,3
3 31-45 21 31,3
4 46-60 3 4,5
5 61-75 3 4,5
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa frekuensi subjek yang
berjenis kelamin laki-laki berjumlah 28 orang (41,8%) dan yang berjenis kelamin
perempuan berjumlah 39 orang (58,2%) (tabel 5.2).
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
1 Laki-laki 28 41,8
2 Perempuan 39 58,2
Jumlah 67 100
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan frekuensi pekerjaan subjek yang
masih bersekolah berjumlah 13 orang (19,4%), yang bekerja sebagai petani
berjumlah 14 orang (20,9%), yang bekerja sebagai pedagang berjumlah 18 orang
(26,9%), yang bekerja sebagai wiraswasta berjumlah 8 orang (11,9%), yang
bekerja sebagai sopir berjumlah 5 orang (7,5%) dan yang tidak bekerja berjumlah
9 orang (13,4%).
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Pekerjaan
No Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)
1 Siswa 13 19,4
2 Petani 14 20,9
3 Pedagang 18 26,9
4 Wiraswasta 8 11,9
5 Sopir 5 7,5
6 Tidak bekerja 9 13,4
5.1.3. Tingkat Pengetahuan
Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner, pada pertanyaan kedua,
seluruh subjek ternyata menjawab benar (skor=1). Namun, pada pertanyaan
ketiga, terdapat 26 orang (38,8%) yang menjawab salah (skor=0) (table 5.4).
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tingkat Pengetahuan
No Pertanyaan tentang Pengetahuan
Frekuensi Persentase (%) Benar (1) Salah (0) Benar (1) Salah (0)
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan frekuensi subjek berdasarkan
tingkat pengetahuan yang baik adalah seramai 37 orang (55,2%), yang sedang
seramai 21 orang (31,3%) dan yang buruk seramai 9 orang (13,4%) (tabel 5.5).
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tingkat Pengetahuan (Interpretasi) No Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
1 Baik 37 55,2
2 Sedang 21 31,2
3 Buruk 9 13,4
5.1.4. Sikap
Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner, pada pertanyaan ketujuh,
seluruh subjek ternyata menjawab benar (skor=1). Namun, pada pertanyaan
kesepuluh, terdapat 30 orang (44,8%) yang menjawab salah (skor=0) (tabel 5.6).
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Sikap
No Pertanyaan tentang Sikap Frekuensi Persentase (%) Benar (1) Salah (0) Benar (1) Salah (0)
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan frekuensi subjek berdasarkan
sikap yang baik adalah seramai 35 orang (55,2%), dan yang buruk seramai 3
orang (4,5%) (tabel 5.7).
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Sikap (Interpretasi)
No Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
1 Baik 35 55,2
2 Sedang 29 43,3
3 Buruk 3 4,5
5.1.5. Tindakan
Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner, serta pengamatan pada
beberapa aspek, seluruh subjek ternyata menjawab benar (skor=1) pada
pertanyaan kedua dan kelima. Namun, pada pertanyaan kesepuluh, terdapat 30
orang (44,8%) yang menjawab salah (skor=0) (tabel 5.8).
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tindakan
No Pertanyaan tentang Tindakan
Frekuensi Persentase (%) Benar (1) Salah (0) Benar (1) Salah (0)
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan frekuensi subjek berdasarkan
tindakan yang baik adalah seramai 44 orang (65,7%) (tabel 5.9).
Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Tindakan (Interpretasi)
No Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
1 Baik 44 65,7
2 Sedang 20 29,8
3 Buruk 3 4,5
5.1.6. Distribusi Kejadian Infeksi Balantidium coli Berdasarkan Kelompok Sampel
Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi masyarakat Desa Namorambe
yang positif Balantidiasis yaitu yang terinfeksi protozoa Balantidium coli
sebanyak 3 orang (4,48%) dan yang negatif Balantidiasis sebanyak 64 orang
(95,52%) (tabel 5.10).
Tabel 5.10
Distribusi Frekuensi Kejadian Balantidiasis
No Kejadian Balantidiasis Frekuensi Persentase (%)
1 Positif 3 4,48
2 Negatif 64 95,52
Jumlah 67 100
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan frekuensi kelompok umur dari 67
orang masyarakat Desa Namorambe yang termasuk ke kelompok umur 1-15 tahun
dan negatif terkena Balantidiasis sebesar 100%, kelompok umur 16-30 tahun dan
negatif terkena Balantidiasis sebesar 100%, dan bagi kelompok umur 31-45 tahun,
46-60 tahun dan 61-75 tahun yang positif terkena Balantidiasis masing-masing
terdapat 1 orang (tabel 5.11).
Tabel 5.11
Uji Silang antara Kejadian Balantidiasis Berdasarkan Kelompok Umur
Berdasarkan hasil penelitian, frekuensi masyarakat Desa Namorambe
berjenis kelamin lelaki dan positif Balantidiasis sebanyak 3 orang (10,7%) dan
yang negatif Balantidiasis sebanyak 25 orang (89,3%). Subjek yang berjenis
kelamin perempuan dan negatif Balantidiasis sebanyak 39 orang (100%) (tabel
5.12).
Tabel 5.12
Distribusi Frekuensi Kejadian Balantidiasis
No Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan frekuensi pekerjaan subjek yang
bekerja sebagai sopir dan positif terkena Balantidiasis sebesar 40% dan yang tidak
bekerja dan positif terkena Balantidiasis adalah sebesar 11,1% (tabel 5.13).
Tabel 5.13
Uji Silang antara Kejadian Balantidiasis Berdasarkan Kelompok Pekerjaan
5.1.7. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Infeksi Balantidium coli
Subjek yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik dan positif
terkena Balantidiasis adalah sebesar 0%. Sedangkan subjek yang mempunyai
tingkat pengetahuan yang buruk dan positif terkena Balantidiasis adalah sebesar
33,3% (tabel 5.14).
Tabel 5.14
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Infeksi Balantidium coli
No Tingkat
5.1.8. Hubungan antara Sikap dengan Kejadian Infeksi Balantidium coli Subjek yang mempunyai sikap yang baik dan positif terkena Balantidiasis
adalah sebesar 0%. Manakala subjek yang mempunyai sikap buruk dan positif
terkena Balantidiasis adalah sebesar 33,3% (tabel 5.15).
Tabel 5.15
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Kejadian Infeksi Balantidium coli
Hasil uji statistik dengan Chi-square antara variabel sikap dengan kejadian
Balantidiasis didapatkan p-value sebesar 0,019 lebih kecil dari 0,05 (0,019<0,05)
yang artinya ada hubungan antara sikap dengan kejadian Balantidiasis.
5.1.9. Hubungan antara Tindakan dengan Kejadian Infeksi Balantidium coli
Berdasarkan penelitian, subjek yang melakukan tindakan yang baik dan
positif terkena Balantidiasis adalah sebesar 0%. Sementara subjek yang
melakukan tindakan yang buruk dan positif terkena Balantidiasis adalah sebesar
66,7% (tabel 5.16).
Tabel 5.16
Hubungan antara Tindakan dengan Kejadian Infeksi Balantidium coli
No Tindakan
Kejadian Balantidiasis
Total Negatif Positif
n % n %
1 Baik 44 100 0 0 44 100
2 Sedang 19 95,0 1 5,0 20 100
3 Buruk 1 33,3 2 66,7 3 100
Jumlah 64 95,5 3 4,5 67 100
X2 = 5,74 df = 2 p = 0,000
Hasil uji statistik dengan Chi-square antara variabel tindakan dengan
kejadian Balantidiasis didapatkan p-value sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05
(0,000<0,05) yang artinya ada hubungan antara tindakan dengan kejadian
Balantidiasis.
5.2. Pembahasan Analisa Data 5.2.1. Tingkat Pengetahuan
Setelah dilakukan wawancara, ternyata masyarakat di sekitar peternakan
di Namorambe mempunyai tingkat pengetahuan yang rata-ratanya baik. Setelah
diselidiki, ternyata ramai di antara subjek penelitian yang memiliki taraf
pendidikan yang baik, contohnya memiliki sarjana sehingga tingkat pengetahuan
mereka juga baik. Bagi subjek anak-anak yang berumur di bawah 12 tahun pula,
mereka juga memiliki pengetahuan yang memuaskan memandangkan telah
dididik oleh orang tua mereka dengan baik.
Seluruh subjek mengetahui tentang ciri-ciri orang yang mengalami diare,
yaitu lemah dan lesu. Namun, apabila ditanya mengenai penyebabnya, masih ada
sebagian yang menjawab dikarenakan oleh musim hujan, memandangkan saat
penelitian dijalankan, ternyata ramai dari subjek yang sedang menderita diare dan
memang pada saat itu musim hujan. Selain itu, jumlah subjek yang masih
menganggap bahwa kandang ternak dan sekitarnya yang kotor itu biasa masih
tinggi yaitu seramai 18 orang. Seramai 19 orang dari jumlah subjek mengatakan
bahwa banyakkan buah merupakan penanganan awal dari gejala diare.
Tingkat pengetahuan individu itu biasanya cenderung mempengaruhi
tindakan seseorang. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena itu, dari pengalaman dan
penelitian, ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebagai contoh, apabila
seseorang itu tahu tentang menjaga kebersihan itu penting untuk menghindari
agar kebersihan diri dan tempat tinggalnya terjaga untuk menghindari infeksi
tersebut.
5.2.2. Sikap
Kesadaran dalam mencari tahu penyebab diare itu penting disetujui oleh
sebagian besar subjek, yaitu seramai 61 orang. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka telah mulai mementingkan tingkat kesehatan mereka. Namun, masih
ramai yang menganggap bahwa penyakit diare itu tidak termasuk berat atau
serius. Selain itu, sebagian dari jumlah subjek yaitu seramai 30 orang menyetujui
bahwa tindakan menjaga kebersihan dilakukan hanya untuk mensukseskan
program pemerintah, bukannya demi kebaikan mereka itu sendiri.
Sebagian masyarakat desa tersebut bersetuju bahwa tindakan menjaga
kebersihan itu dilaksanakan hanya untuk mensukseskan program pemerintah
karena pihak pemerintah daerah telah pun menugaskan para pekerja untuk
membersihkan kawasan kampung pada setiap dua minggu sekali. Jadi, mereka
yakni masyarakat desa ini tidak lagi bersikap peduli, sebaliknya hanya
menyerahkan tugas membersihkan tersebut kepada orang-orang yang telah
ditugaskan.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
merupakan presisposisi tindakan atau perilaku. Suatu contoh misalnya, seorang
ibu telah mendengar penyakit infeksi (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya
dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berfikir dan berusaha
supaya anaknya tidak terkena infeksi. Dalam berfikir ini komponen emosi dan
perilaku yang berhubungan dengan kesehatan keluarganya untuk mencegah
anaknya terkena infeksi.
5.2.3. Tindakan
Sebagian besar subjek mencatat angka yang tinggi dalam skor tingkat
pengetahuan dan sikap, namun rendah dalam skor tindakan. Hal ini menunjukkan
bahwa kebanyakkan dari mereka tahu dan sedar akan kepentingan dan bagaimana
menjaga kebersihan diri dan higiene sanitasi lingkungan mereka, namun mereka
masih tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mungkin
dikarenakan kebiasaan yang mereka lakukan dari dulu sehingga mereka
mendapati agak sulit dalam mempraktekkannya, misalnya hal-hal kecil seperti
memotong kuku dan memakai alas kaki.
Selain itu, saat pengamatan dilakukan, terdapat beberapa area tempat
tinggal yang memenuhi kriteria dari indikator nasional tentang higiene sanitasi
lingkungan yang baik. Contohnya masih ada beberapa rumah yang tidak memiliki
jamban yang layak, sebaliknya keluarga tersebut membuang air besar di sumur.
Namun begitu, hal ini tidak menyumbang kepada terjadinya infeksi
memandangkan perilaku mereka dalam menjaga kebersihan diri rata-rata baik.
Contohnya mereka tetap mencuci gelas atau piring dengan memakai sabun dan
memasak air minum dengan baik. Selain itu, lantai dalam rumah mereka dalam
Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata, diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas.
Sikap ibu yang sudah positif terhadap menjaga kebersihan harus mendapat
konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas yang mudah memungkinkan agar ibu
tersebut dapat menjaga rumahnya tetap bersih. Di samping itu, ada juga
kemungkinan sebagian individu yang tidak mengaplikasikan pengetahuan dan
sikapnya yang positif dalam mencegah infeksi ke dalam bentuk tindakan, namun
jumlahnya sedikit. Secara umumnya, tindakan sesorang itu dalam menjaga
kebersihan diri dan higiene sanitasi lingkungan juga menyumbang kepada
terjadinya infeksi.
5.2.4. Infeksi Balantidium coli
Setelah dilakukan penelitian, didapatkan data seramai tiga orang yang
positif terkena Balantidiasis. Dua orang dari yang positif itu adalah merupakan
sopir truk dan memiliki tingkat pengetahuan yang buruk. Salah seorang
daripadanya memiliki sikap yang sedang dan tindakan yang buruk, manakala
seorang lagi memiliki sikap yang buruk dan tindakan yang sedang. Hal ini
mungkin dikarenakan pekerjaan mereka yang menuntut mereka untuk bepergian
ke banyak tempat sehingga mereka dapati agak sulit untuk menyikapi dan
mempraktekkan tindakan-tindakan yang baik dalam aspek kebersihan. Selain itu,
tiadanya gejala diare yang dialami membuat mereka semakin memandang mudah
Seterusnya, satu lagi subjek penelitian yang positif terkena Balantidiasis
merupakan lansia, yaitu berumur 67 tahun. Walaupun kondisi tubuhnya secara
fisik masih baik, yaitu masih mampu berjalan sendiri, namun status mentalnya
yang mulai pikun mungkin berperan dalam tindakannya yang ternyata buruk.
Ketiga-tiga subjek yang positif ini ternyata tidak mengalami gejala utama
dari Balantidiasis, yaitu diare. Hal ini dikarenakan mereka merupakan inang
pembawa (carrier) dimana protozoa Balantidium coli ini menginfeksi mereka
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan
dengan kejadian infeksi Balantidium coli.
6.2. Saran
Saran yang dapat diajukan sebagai berikut :
1) Adanya kebijaksanaan Pemerintah Kota Desa Namorambe Kabupaten Deli
Serdang dalam menyediakan saluran air dan ketersediaan jamban yang layak
buat masyarakat sekitar.
2) Peningkatan kerjasama antara masyarakat desa dengan pemerintah setempat
untuk melaksanakan pengarahan tentang higiene perorangan dan sanitasi
lingkungan sekitar rumah dan peternakan dalam upaya menurunkan prevalensi
penyakit diare.
3) Diharapkan adanya peran serta orang tua dalam usaha pencegahan dan
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., 2003. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja Tentang Imunisasi. Universitas Sumatera Utara. Available from :
2010]
Arikunto, S., 2007. Analisis Data Penelitian Deskriptif dalam Manajemen Penelitian. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 268-273
Baron, S., 1996. Balantidium coli. University of Texas Medical. Available from :
[Accessed 13 April 2010]
Centers for Disease Control & Prevention, 2009. Balantidiasis. National Center for Zoonotic, Vector-Borne, and Enteric Diseases. Division of Parasitic Diseases. Available from :
2010]
Chijide, V.M., 2008. Balantidiasis. University of Saskatchewan, Available from :
2010]
Dahlan, SM., 2008. Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Sagung Seto. Jakarta : 65-68
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2006, Pedoman Program Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan Rumah Tangga, Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah : 12
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan R.I., 2005. Balantidiasis. Available from :
http://www.pppl.depkes.go.id/catalogcdc/Wc6dec6d45c4f4.htm [Accessed 30 April 2010]