• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Yang Berhubungan Dengan Pengguguran Kandungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Yang Berhubungan Dengan Pengguguran Kandungan"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUGURAN KANDUNGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

EVI SYAHRANI NIM: 090200264

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUGURAN KANDUNGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

EVI SYAHRANI NIM: 090200264

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr.M.Hamdan,SH,MH) NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Liza Erwina, SH, M.Hum) (Dr. M. Eka Putra,SH, M.Hum) NIP: 19610241989032002 NIP: 197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kepada Allah SWT, atas kasih dan

karunia-Nyalah, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, dan ketekunan

kepada penulis, sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini adalah salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini,

penulis menyadari terdapatnya kekurangan, namun demikian dengan berlapang

dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua

pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah lulus dan ikhlas dalam

memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam

penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum

USU Medan.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum, DFM sebagai Pembantu Dekan

(4)

4. Bapak O.K. Saidi, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum USU Medan.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum USU Medan.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum USU Medan dan sebagai Dosen Pembimbing I

penulis dalam pembuatan skripsi ini.

7. Bapak Dr. M.Eka Putra, SH, M.Hum, sebagai pembimbing II Fakultas

Hukum USU Medan yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya

untuk membimbing dan mengarahkan dalam pembuatan skripsi ini.

8. Bapak Hemat Tarigan SH,M.Hum sebagai penasehat akademik yang telah

banyak membantu penulis selama dalam menyelesaikan studi di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

9. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh

pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi perpustakaan serta para

pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Ungkapan yang tulus hormat serta cinta dan terima kasih kepada orang tua

penulis Ayahanda H.Muhammad Busro dan Ibunda Hj. Yuhani Lubis, atas

didikan, cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai, dorongan, semangat

dan pengorbanan serta doa yang tak henti-hentinya yang telah

(5)

ini. Tanpa kalian sangatlah sulit bagi Penulis untuk mencapai cita-citanya.

Semoga Allah SWT tetap memberikan limpahan rahmat dan karunia serta

kesehatan kepada ayahanda dan Ibunda tercinta.

12.Special Thanks to My Husband (Apriandi Pohan) dan My Baby

(Muhammad Adly Pohan), I love you soo

13.Penulis mengucapkan terima kasih kepada Abang dan Adik tersayang

yang selalu memberikan candaan-candaan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

14.Sahabat seperjuangan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum

USU (Nur Ayu Ningtyas,Amd dan Ade Kumala Sari,SH) serta

teman-teman seangkatan 09 Fakultas Hukum USU.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua

pihakyang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya

Allah yang dapat membalas budi baik semuanya. Semoga ilmu yang penulis telah

peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam menggapai

cita-cita.

Medan, 23 Juni 2014

Penulis

(6)

ABSTRAKSI Liza Erwina SH, M.Hum* Dr.M.Eka Putra SH, M.Hum**

Evi Syahrani***

*

Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana tinjauan kriminologi terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan pengguguran kandungan.Pengguguran kandungan selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Pengguguran Kandungan merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. istilah Pengguguran Kandungan diartikan sebagai dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak. Persoalan Pengguguran Kandungan pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat adalah suatu tindak pidana, namun dalam hukum positif di Indonesia tindakan aborsi pada sebagian kasus tertentu terdapat pengecualian. Dalam KUHP Pengguguran Kandungan itu dilarang sama sekali seperti yang telah di cantumkan dalam Pasal 299, 346 sampai pada Pasal 349, dimana ditegaskan bahwa Pengguguran Kandungan dilarang untuk dilakukan dengan alasan apapun tanpa terkecuali.

Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana ketentuan tentang tindak pidana pengguguran kandungan dan juga turut membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukannya pengguguran kandungan serta bagaimana penanggulangan tindak pidana pengguguran kandungan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dengan berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.………. i

ABSTRAKSI.……… iv

DAFTAR ISI………. v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………. 1

B. Permasalahan……… 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………. 8

D. Keaslian Penulisan……… 9

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kriminologi………... 10

2. Pengertian Tindak Pidana…………..……… 15

3. Pengertian Pengguguran Kandungan.………... 22

4. Teori Sebab-sebab Kejahatan ………... 24

F. Metode Penelitian……… 31

BAB II KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN A. Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 36Tahun 2009 tentang Kesehatan ……….……….… 33

B. Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana…...…… 36

BAB III FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DILAKUKAN PENGGUGURAN KANDUNGAN A. Kondisi Usia Masih Muda atau masih sekolah ………...…….. 53

B. Malu Diketahui oleh Orang Tua atau Keluarga dan Masyarakat...……… 53

C. Pria yang Menghamilinya Tidak Bertanggung Jawab………… 54

D. Kondisi Ekonomi yang Tidak Mencukupi……….. 55

E. Janin yang Dikandung dari Kasus Perkosaan………. 56

(8)

BAB IV UPAYA-UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN

A.Upaya Preventif……….. 62

B.Upaya Represif……… 63

C.Upaya Rehabilitatif………. 64

D.Penerapan Hukuman……… 65

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan……….. 67

B. Saran………... 68

(9)

ABSTRAKSI Liza Erwina SH, M.Hum* Dr.M.Eka Putra SH, M.Hum**

Evi Syahrani***

*

Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Skripsi ini berbicara tentang bagaimana tinjauan kriminologi terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan pengguguran kandungan.Pengguguran kandungan selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Pengguguran Kandungan merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. istilah Pengguguran Kandungan diartikan sebagai dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak. Persoalan Pengguguran Kandungan pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat adalah suatu tindak pidana, namun dalam hukum positif di Indonesia tindakan aborsi pada sebagian kasus tertentu terdapat pengecualian. Dalam KUHP Pengguguran Kandungan itu dilarang sama sekali seperti yang telah di cantumkan dalam Pasal 299, 346 sampai pada Pasal 349, dimana ditegaskan bahwa Pengguguran Kandungan dilarang untuk dilakukan dengan alasan apapun tanpa terkecuali.

Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana ketentuan tentang tindak pidana pengguguran kandungan dan juga turut membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukannya pengguguran kandungan serta bagaimana penanggulangan tindak pidana pengguguran kandungan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dengan berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini banyak perempuan hamil di luar nikah dan melakukan

tindakan pengguguran kandungan sebagai pertanda degradasi moral. Akan tetapi

kehamilan tersebut bukan alasan untuk membunuh janin, janin (bayi) adalah

Makhluk Tuhan, lalu mengapa harus dibunuh. Janin juga punya hak untuk hidup.

Melegalkan tindakan pengguguran kandungan bukan solusi untuk menekankan

AKI (Angka Kematian Ibu). Jumlahnya malah akan bertambah, sebab ada

kemungkinan pemilik janin (bayi) tersebut mengaku diperkosa agar dapat

dilakukan pengguguran pada kandungannya.

Seorang wanita mungkin tidak menyukai kandungannya karena alasan

tertentu. Untuk itu ia membujuk orang lain agar bersedia melakukan pengguguran

kandungan. Apabila pengguguran kandungan itu dilaksanakan, ada kemungkinan

wanita tadi akan menderita dan menjadi korban orang yang menggugurkan

kandungan atau pelaku kejahatan abortus. Kalaupun kandungan berhasil

digugurkan dan wanita tersebut selamat, pada hakikatnya wanita korban tadi turut

menjadi pelaku bersama dengan pelaku yang telah melaksanakan abortus

(11)

Kondisi aborsi di dunia menyebutkan bahwa1

1. Sebanyak 19 juta perempuan di seluruh dunia melakukan tindakan

pengguguran pada kandungannya secara tidak aman setiap tahunnya. 18,5 juta :

terjadidi Negara-negara berkembang. Negara-negara Afrika sebanyak 4,2 juta,

di Negara-negara Asia sebanyak 10,5 juta, di Negara-negara Amerika Latin

dan Karabia sebanyak 3,8 juta.

2. Sebanyak 68.000 perempuan di Negara berkembang meninggal akibat

komplikasi terhadap pengguguran kandungan yang tidak aman setiap

tahunnya. Di Negara-negra Afrika sebanyak 30.000, di Negara-negara Asia

sebanyak 34.000, di Negara-negara Amerika Latin dan Karibia sebanyak

4.000.

3. Di Afrika 59% dari seluruh kasus tindakan pengguguran kandungan tidak

aman dilakukan oleh perempuan berusia 15-24 Tahun.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana dibuat pada zaman Belanda untuk

menyelamatkan ibu dari kematian akibat tindakan pengguguran kandungan yang

tidak aman oleh tenaga yang tidak terlatih misalnya dukun. Akibat tindakan itu

dilarang, angka kematian dan kesakitan ibu di Indonesia menjadi tinggi karena ibu

mencari pelayanan pada tenaga tidak terlatih padahal pengguguran kandungan

bisa dilakukan secara aman. Pengguguran kandungan yang aman seharusnya2

1

Dadang Hawari, Aborsi Dimensi Psikoreligi,(Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2006), hal 56.

2

ibid, hal 60

(12)

1. Dilakukan oleh dokter ahli kandungan atau dokter umum yang ditunjuk dan

terlatih (bersertifikat).

2. Diajukan di rumah sakit atau klinik yang ditunjuk.

3. Fasilitas kesehatan yang tidak ditunjuk pemerintah dilarang melakukan

pelayanan pengguguran kandungan.

4. Rumah sakit dan klinik yang ditunjuk hanya diisinkan memberikan pelayanan

pengguguran kandungan pada perempuan dengan usia kehamilan tidak lebih

dari usia kehamilan yang ditentukan.

5. Disetujui oleh sekurang-kurangnya seorang konselor dan seorang dokter yang

ditunjuk, atau oleh seorang dokter bila dalam keadaan darurat (emergency)

Dalam menentuka resiko terhadap tindakan pengguguran kandungan maka

dokter harus mempertimbangkan keadaan si ibu terlebih dahulu. Melakukan

tindakan pengguguran kandungan diperbolehkan dalam kondisi perempuan

sebagai berikut3

1. Usia kandungan tidak lebih dari 12 minggu dan hasil diagnosis menunjukkan

munculnya resiko lebih besar pada si ibu bila kehamilan itu dilanjutkan,

seperti gangguan mental, fisik dan psikososial. :

2. Ancaman gangguan/cacat mental permanen pada si ibu.

3. Membahayakan jiwa si ibu jika kehamilan dilanjutkan.

4. Resiko yang sangat jelas bahwa anak yang akan dilahirkan menderita cacat

fisik/mental yang serius.

3

(13)

Masih dalam garis yang sama, bisa dikatakan juga bahwa dalam kehamilan

yang membahayakan hidup si ibu, kita dihadapkan pada persaingan antara dua

persona yang sama-sama bernilai, tetapi berada dalam jalan buntu.

Dalam hal ini, kemungkinan untuk hidup diantara salah satu dari dua

orang itu ikut menentukan siapa yang harus diselamatkan. Pada prinsipnya, kalau

dua-duanya diselamatkan, maka keduanya harus diselamatkan. Akan tetapi, kalau

sampai harus memilih, maka hidup yang bisa diselamatkan harus lebih

diutamakan daripada yang tidak bisa diselamatkan. Oleh karena itu, kalau

indikasinya disini menjelaskan bahwa melangsungkan kehamilan itu akan

mematikan baik ibu maupun anaknya, maka menyelamatkan ibunya tentu saja

bisa dibenarkan secara moral. Demikian pula, apabila melanjutkan kehamilan

berarti kehamilan ibunya dan penghentian kehamilan (aborsi) bisa menyelamatkan

ibunya, maka menyelamatkan ibunya tentu bisa dibenarkan secara moral.

Bagaimana kalau secara medis yang terancam hanya hidup ibunya sedangkan

anaknya tidak? Apakah lebih baik menyelamatkan anaknya? Dalam kasus-kasus

tertentu, bisa saja dibenarkan kita memilih menyelamatkan bayinya. Misalnya,

wanita hamil yang entah karena kecelakaan lalu lintas, atau sebab lain berada

dalam tahap PVS (Persistent Vegetativ State), yakni suatu keadaan seseorang

hidup dalam fase tumnuh-tumbuhan, kehilangan kesadarannya secara permanen

karena kerusakan otak, sehingga otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Dalam situasi

semacam ini, bisa dibenarkan melanjutkan kehamilan dan mengadakan intervensi

medis untuk menyelamatkan bayinya, meskipun dapat mengakibatkan kematian

(14)

Lepas dari analogi diatas, orang sering membuat pembenaran untuk

melakukan tindakan pengguguran kandungan, dengan berpandangan bahwa aborsi

adalah pelaksanaan otonomi pribadi seorang wanita untuk mengatur tubuhnya

sendiri, menentukan sendirinya apa yang baik dan buruk untuk tubuhnya, apa

yang boleh dan tidak boleh bagi tubuhnya. Argumen ini sangat lemah berdasarkan

beberapa prinsip, sebagai berikut ini4

4

Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi,(Jakarta:PT.Grasindo,2002),hal164.

:

PERTAMA, memang benar bahwa semua orang berhak mengatur

tubuhnya sesuai dengan apa yang dipandang baik oleh sang empunya tubuh.

Bahkan seorang dokter pun tidak berhak melakukan intervensi medis pada tubuh

seorang pasien tanpa izin dari empunya tubuh. Akan tetapi, harus diingat bahwa

janin bukanlah bagian dari tubuh wanita, karena itu sang ibu tidak berhak untuk

mengaturnya. Memang benar bahwa sel telur itu keluar dari tubuhnya dan selama

belum keluar dari indung telurnya maka dia merupakan bagian dari tubuhnya.

Akan tetapi, begitu sel telur itu dibuahi, ia menjadi entitas yang lain sama sekali,

dan bukan bagian dari ibunya. Sebagaimana sudah kita liat dan kita ketahui,

bahwa sejak pembuahan, si janin sudah mempunyai kode genetik yang lain. Ia

sama sekali lain dengan bapaknya atau ibunya. Percampuran kromosom dari

bapak dan ibunya yang sama-sama menyumbangkan separuh untuk anaknya

tersebut, ternyata membentuk seorang manusia yang unik, yang tidak duanya. Ia

adalah seorang persona yang tidak ada duanya. Ia mempunyai keunikan golongan

(15)

Kalau benar bahwa janin adalah bagian dari tubuh ibunya maka harus

dikatakan bahwa si ibu mempunyai empat kaki, empat tangan, dua wajah, dan bila

janinya laki-laki maka dia mempunyai alat kelamin ganda, pria dan wanita.

Benarkah demikian? Program pembuahan artivisial, khususnya surrogate mother

(ibu yang dititipin janin orang lain), akan lebih menggaris bawahi keterpisahan

ini. Kalau ovum orang berkulit putih dibuahi oleh sperma orang kulit putih,

meskipun sesudah pembuahan dimasukkan kedalam rahim orang yang berkulit

hitam, si bayi akan tetap lahir berkulit putih. Secara genetis si ibu kulit hitam itu

tidak mempengaruhi apa-apa terhadap si bayi tersebut, meskipun si bayi berada

selama sembilan bulan didalam kandungannya, dan makan dari gizi yang dimakan

oleh si ibu hitam itu. Jadi bagaimanapun juga, sesudah sel telur itu dibuahi, ia

menjadi entitas yang berbeda dari ibunya. Ia bukan dari bagian ibunya lagi, karena

itu si ibu tidak berhak untuk mengaturnya sebagaimana dia mengatur tubuhnya

sendiri.

KEDUA, hak untuk mengatur tubuhnya sendiri tersebut tentu saja berlaku bagi semua orang. Ia mempunyai hak itu bukan hanya ibu yang mengandung tapi

semua orang. Pelaksanaan hak itu tentu saja bisa dibenarkan sejauh tidak

menganggu pelaksanaan hak yang sama dari orang lain. Dengan kata lain,

pelaksanaan hak itu tidak pernah bisa dibenarkan kalau pelaksanaannya

menganggu pelaksanaan orang lain. Lebih tidak bisa dibenarkan lagi kalau yang

diganggu itu adalah hak dasar setiap manusia, yakni hak untuk hidup. Kebebasan

anda berhenti pada saat pelaksanaannya membentur pelaksanaan kebebasan orang

(16)

merokok.Dibanyak negara, merokok ditempat umum itu dilarang sebab sudah

terbukti bahwa orang yang tidak merokok terkena juga akibat racun rokok

(nikotin). Ada indikasi kuat bahwa nikotin lebih berbahaya bagi yang tidak

merokok daripada yang merokok. Yang tidak merokok yang sering disebut

sebagai perokok pasif berada dalam bahaya karena perbuatan orang lain. Oleh

karena itu, pemerintah membuat Undang-undang yang membatasi tempat-tempat

boleh merokok atau tidak boleh merokok. Jadi dalam hal ini, pelaksanaan hak

untuk merokok harus dibatasi, karena asap rokok mengganggu kesehatan orang

lain.

KETIGA,tidak sebanding. Memang harus diakui bahwa kehadiran janin di

dalam kandungan bagi ibu yang tidak menginginkannya bisa menjadi beban

mental dan menyebabkan penderitaan bagi ibunya. Meskipun demikian,

penderitaan si ibu itu tidak bisa menjadi alasan yang cukup untuk membalas

dendam, menimbulkan penderitaan yang lebih besar lagi kepada penyebabnya,

yakni kepada janinnya sendiri, apalagi kalau balasan itu sampai menghilangkan

hidup si bayi tersebut. Tentu saja hal ini merupakan suatu ketidakadailan.

Lebih-lebih kalau balas dendam itu dialamatkan kepada yang Lebih-lebih lemah dan tidak

berdaya, jelas tidak bisa dibenarkan. Disini berlaku ialah prinsip hukum

vulnerability yang berlaku dimana-mana, yakni yang kuat harus melindungi yang

lemah. Hanya dengancara inilah maka kita terhindar dari hukum rimba.

Masalah ini menimbulkan isu baru terutama oleh karena adanya anjuran

untuk membatasi kelahiran (keluarga berencana)status pengguguran kandungan

(17)

kepentingan keluarga berencana pengguguran kandungan sudah diperkenankan

yang dengan demikian delik pengguguran kandungan sudah hampir tidak menjadi

delik lagi.Dalam keadaan demikian disamping kurangnya pelapuran terhadap

kejahatan ini juga petugas aparat hukum yang berkewajiban melacak terjadinya

delik-delik akan bersikap lebih “dingin”.

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas membuat penulis

selaku Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertarik

mengangkat judul skripsi “TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP

TINDAK PIDANA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUGURAN KANDUNGAN”

B. Permasalahan

Berdasarkan pembahasan di atas maka permasalahan yang akan diangkat

oleh penulis, yaitu :

1. Bagaimana ketentuan tentang tindak pidana pengguguran kandungan?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi dilakukannya pengguguran

kandungan?

3. Bagaimana penanggulangan tindak pidana pengguguran kandungan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan tentang tindak pidana pengguguran

(18)

2. Untuk mengetahui bagaimanafaktor-faktoryang mempengaruhi dilakukannya

pengguguran kandungan

3.Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan tindak pidana pengguguran

kandungan

Sedangkan yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis

penulisan ini dapat menjadi kajian untuk memberikan informasi-informasi

dalam bidang pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana umumnya

khususnya.

2. Manfaat Secara Praktis

Dapat menjadi sumbangsih dan bahan masukan serta untuk memberikan

kontribusi pemikiran dari aparat penegak hukum dan memberikan informasi

kepada masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan batasan-batasan

terhadap tindak pidana pengguguran kandungan yang menimbulkan

perdebatan dimasyarakat saat ini.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP

TINDAK PIDANA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUGURAN KANDUNGAN”sehubungan dengan keaslian penulisan,penulis telah pengecekan pada kepustakaan Departemen Hukum Pidana dan dapat dinyatakan bahwa isi

tulisan ini tidak sama dengan tulisan yang lain. Dengan demikian, dilihat dari

(19)

maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli

yang disusun melalui refrensi buku-buku dan informasi dari media cetak

maupun media elekronik sehingga hasil penulisan ini dapat

dipertanggungjawabkan terutama secara ilmiah atau secara akademik.Apabila

nantinya ada penulisan yangsama atau menyerupai tulisan skripsi ini,maka akan

menjadi tanggung jawab saya sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kriminologi

Secara etimologis kriminologi berasal dari kata Crimen yang berarti

kejahatan dan Logos berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi kriminologi adalah

ilmu/pengetahuan tentang kejahatan.

Menurut E.H. Sutherland kriminologi adalah seperangkat pengetahuan

yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, termasuk didalamnya

proses pembuatan Undang-undang, Pelanggaran Undang-undang bahkan aliran

modren yang diorganisasikan oleh Von List menghendaki kriminologi bergabung

dengan hukum pidana sebagai ilmu bantuannya, agar bersama-sama menangani

hasil penelitian “kebijakan kriminal”, sehingga memungkinkan memberikan

pertunjuk terpat terhadap penanganan hukum pidana dan pelaksanaannya yang

semuanya ditujukan untuk melindungi “warga Negara yang baik” dari penjahat.

George C. Vold mengatakan bahwa dalam mempelajari kriminologi terdapat

masalah rangkap artinya kriminologi selalu menunjukkan pada perbuatan manusia

(20)

batasan atau pandangan terhadap perbuatan manusia dan juga

batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang

dilarang, apa yang baik dan apa yang buruk, yang semua itu terdapat di dalam

Undang-undang kebiasaan dan adat istiadat. Dan menurut Paul Moedigdo

Moeliono, kriminologi bahwa pelaku kejahatan mempunyai andil atas terjadinya

suatu kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang

ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku

untukmelakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat5

Kriminologi juga merupakan pengertian hukum yaitu perbuatan manusia

yang dapat dipidana oleh hukum pidana. Tetapi kriminologi bukan semata-mata

merupakan batasan Undang-undang artinya ada perbuatan-perbuatan tertentu yang

oleh masyarakat dipandang sebagai jahat, tetapi Undang-undang tidak

menyatakan sebagai kejahatan atau tidak dinyatakan sebagai tindak pidana, begitu

pla sebaliknya. Dalam hukum pidana orang seringkali membedakan antara delik

hukum (Rechts Delicten atau Mala Per se) khususnya tindak pidana yang disebut

kejahatan (Buku II KUHP) dan delik Undang-undang (Wetsdelicten atau Mala

Prohibita) yang berupa pelanggaran (Buku II KUHP). Mengenai perbedaan antara

Mala per se dengan Mala prohibita dewasa ini banyak dipertanyakan orang yaitu

apakah semua tindak pidana itu sebenarnya merupakan kejahatan. Oleh karena itu

perbuatan tersebut oleh Undang-undang ditunjuk atau dijadikan kejahatan (tindak

pidana). Dalam RKUHP sudah tidak ada perbedaan istilah kejahatan (Mal per se) .

5

(21)

dan istilah pelanggaran (mal Prohibita) hanya mengenal satu istilah yaitu tindak

pidana.

Oleh karena itu dalam ilmu pengetahuan, kriminologi masuk dan terletak

dalam kelompok ilmu pengetahuan sosial. Dalam realita, kejahatan tidak hanya

berkaitan dengan hukum pidana tapi juga terdapat hubungan baik dengan norma-

norma yang berlaku dalam masyarakat, ada masyarakat yang menerapkan

norma-norma agama, ada juga yang menerapkan norma-norma-norma-norma hukum, dan ada

masyarakat yang menerapkan norma norma adat kebiasaan tang telah ditentukan

oleh nenek moyangnya.

Kriminologi dalam arti sempit adalah mempelajari kejahatan. Sedangkan

dalam arti luas, kriminologi ini mempelajari tentang penologi dan metode-metode

yang berkaitan dengan kejahatan dan masalah prevensi kejahatan dengan

tindakan-tindakan yang bersifat non-punitif. Secara tegas dapat dikatakan bahwa

batasa kejahatan dalam arti yuridis adalah tingkah laku manusia yang dapat

dihukum berdasarkan Hukum Pidana6

Dalam hal memberikan pengertian kriminologi belum ada suatu definisi

yang sama antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lainnya. Namun

demikian penulis mencoba untuk meninjau dari dua segi antara lain .

7

a. Segi Etimologi

:

6

Romli Atmasasmita, Kriminologi,(Bandung:Mandar Maju,1997), hal 26

7

(22)

Bila diartikan dari segi Etimologi, Kriminologi berasal dari dua suku kata

yakni, Crime = Kejahatan, Logos = Ilmu pengetahuan. Kalau diartikan secara

lengkap kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk

beluk kejahatan.

b. Menurut Pendapat Sarjana

1. Mr. W.A. Bonger

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan, menyelidiki gejala-

gejala kejahatan seluas luasnya.

2. Mr. Paul Moedikdo Moeliono

Menyatakan Kriminilogi adalah ilmu pengetahuan dari berbagai ilmu yang

membahas kejahatan sebagai masalah manusia.

3. Edwin H Sutherland

Kriminologi adalah keseluruhan ilmu pengetahuan mengenai kejahatan

sebagai gejala sosial. Jadi kalau kita perhatikan definisi tersebut

meyakinkan kita bahwa kejahatan hanya terdapat dalam masyarakat. Oleh

karena itu perlu memperhatikan kondisi masyarakat bila mempelajari

masalah kejahatan, sebab tidak dipungkiri bahwa ada saling pengaruh

antara individu dengan masyarakat. Dari uraian diatas Sutherland

meletakkan pendapatnya bahwa Crime berakar pada organisasi

masyarakat, dimana kejahatan kejahatan yang tinggi di sebabkan

kekacauan masyarakat.

(23)

Kriminologi adalah keselurahan keterangan tentang perbuatan lingkungan

mereka dan bagaimana mereka diperlakukan oleh godaan-godaan

masyarakat dan oleh anggota masyarakat.

5. Wood

Kriminologi mengikuti keseluruhan pengetahuan yang didasarkan pada

teori pengalaman yang berhubungan dengan kejahatan dan penjahat,

termasuk reaksi reaksi masyarakat atas kejahatan dan penjahat.

6. Noach

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang membahas kejahatan dan

penyelewengan tingkah laku manusia baik gejala sosial maupun gejala

psikologis.

7. Prof. Vrij

Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan

kejahatan sebagai gejala maupun sebagai faktor penyebab dari kejahatan

itu sendiri.

8. Sutherland

Kriminologi adalah keseluruhan ilmu mengenai kejahatan sebagai gejala

masyarakat.

9. Van Bemelen

Kriminolohi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan, yaitu perbuatan

yang merugikan dan kelakuan yang tidak sopan yang menyebabkan

(24)

Dari pendapat sarjana diatas dapat kita ketahui bahwa yang menjadi

penyelidikan kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari serta

menyelidiki maupun membahas masalah kejahatan, baik mengenai pengertiannya,

bentuknya, sebab-sebabnya, akibat-akibatnya, dan penyelidikan terhadap suatu

kejahatan maupun hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kejahatan itu8

Jika dikaji secara keseluruhan, perkembangan kriminologi untuk menjadi

disiplin ilmu yang berdiri sendiri, penulis menarik kesimpulan bahwa

.

9

1. Kriminologi merupakan studi tentang tingkah laku manusia tidaklah berbeda

dengan studi tentang tingkah laku lainnya yang bersifat nonkriminil :

2. Kriminologi merupakan ilmu yang bersifat inter dan multidisiplin, bukan ilmu

yang bersifat monodisiplin

3. Kriminologi berkembang sejalan dnegan perkembangan ilmu pengetahuannya

lainnya

4. Perkembangan studi kejahatan telah membedakan antara kejahatan sebagai

suatu tingkah laku dan pelaku kejahatan sebagai subjek perlakuan sarana

peradilan pidana

2. Pengertian Tindak pidana

Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok

yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut

8

Ridwan,Azas-azas Kriminologi,(Medan:USU Press,1994),hal 2

9

(25)

meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta

korban. Sebagai obyek dalam ilmu hukum pidana masalah perbuatan jahat perlu

dibedakan dalam :

a. Perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara concrete

sebagaimana terwujud dalam masyarakat, yaitu perbuatan manusia yang

memperkosa/menyalahi norma-norma dasar masyarakat secara konkret. Ini

adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologis.

b. Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana. Perbuatan jahat disini adalah

perbuatan jahat sebagaimana terwujud in abstracto dalam

peraturan-peraturan pidana.10

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”.11 Tindak pidana atau Strafbaar feit pada

dasarnya adalah suatu pelanggaran dan terganggunya ketertiban umum, terhadap

para pelakunya mempunyai kesalahan dimana pemidanaan yang diberikan adalah

wajar untuk menyelanggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan

umum.12

Pembentuk Undang-undang kita menggunakan istilah strafbaar feit untuk

menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci

mengenai strafbaar feit tersebut.13

10

A. Fuad Usfa dan Tongat,Pengantar Hukum Pidana,(Malang:Universitas Muhammadiyah Malang Press,2004), hal 32.

11

Adhami Chazawi, Pelajaran hukum Pidana(Jakarta:Raja Grafindo, 2002),hal 67

12

SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal 203

13

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi,(Jakarta: Sinar Grafika,2005), hal 5

Selain itu istilah tindak pidana muncul karena

(26)

perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi

“tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada

hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret.14

1. Berdasarkan pandangan ( aliran ) dualistis yaitu pandangan yang memisahkan

antara perbuatan dengan dan orang yang melakukannya.

Selain itu dalam hal untuk memberikan pengertian mengenai pengertian

tindak pidana dapat dibagi menjadi dua aliran mengenai pengertian tindak pidana

yaitu pengertian tindak pidana dalam pandangan dualisme dan pengertian tindak

pidana dalam pandangan monisme yaitu, sebagai berikut :

15

Menurut para ahli hukum yang dapat digolongkan menganut pandangan

(aliran) dualistis yaitu :

a. Menurut W.P.J Pompe, suatu strafbaar feit, (definisi menurut hukum

positif) itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang

menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai

tindakan yang dapat dihukum. Pompe mengatakan, bahwa menurut teori

(definisi menurut teori) strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat

melawan hukum, yang dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

Dalam hukum positif, sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah sifat

yang mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar feit). Untuk penjatuhan

pidana tidak cukup, dengan adanya tindak pidana, akan tetapi selain itu

harus ada orang yang dapat dipidana.16

14

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: Rineka Cipta,2008), hal 60

15

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana,( Medan:USU Press,2010), hal 81

16

(27)

b. Menurut H.B Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang

diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.17

c. Menurut R. Tresna, peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang

dan peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan

tindakan penghukuman.18

Tidak ada persamaan pendapat dikalangan para ahli tentang syarat-syarat

yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa pidana, oleh

karena itu R.Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa

peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :

1. Harus ada suatu perbuatan manusia.

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam

ketentuan hukum.

3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya

harus dapat dipertanggungjawabkan.

4. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum.

5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam

Undang-undang.

d. Moeljatno, dalam pidato dies natalis UGM tahun 1995, memberi arti

“perbuatan pidana” sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana,

17

Adhami Chazawi, op.cit, hal 72

(28)

barang siapa melanggar larangan tersebut. Menurut Moeljatno, untuk

adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:19

Perbuatan (manusia)

a. Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (merupakan syarat

formil)

b. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil)

Syarat formil harus ada, oleh karena tuntutan asas legalitas dalam Pasal 1

ayat (1) KUHP. Sedangkan keharusan adanya syarat materiil, oleh karena

perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai

perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan, oleh karena

bertentangan dengan tata pergaulan masyarakat yang dicita-citakan.

Menurut Moeljatno, kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si

pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal

tersebut melekat pada orang yang berbuat.

2. Berdasarkan pandangan (aliran) monistis yaitu pandangan yang tidak

memisahkan antara perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya

(pertanggungjawaban).20

Menurut para ahli hukum yang digolongkan menganut pandangan monistis,

yaitu:21

1. Simons dalam P.A.F Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai suatu

tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang

19

A. Fuad Usfa dan Tongat, op.cit, hal. 35

20

Mohammad Eka, op.cit, hal.83

(29)

oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum

Alasan dari simons apa sebabnya “strafbaar feit” itu harus dirumuskan

seperti di atas adalah karena :

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus

terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh

undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban

semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum.

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut

harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di

dalam undang-undang. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran

terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada

hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum.

2. Wirjono Prodjodikoro, mengatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.22

22

Wirjono Prodjodikoro,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,(Bandung:PT. Eresco, 1986), hal 45

Berdasarkan berbagai

pendapat diatas mengenai istilahstrafbaar feit, dalam hal ini penulis

menggunakan istilah strafbaar feit mengartikannya sebagai tindak pidana

yang bersifat konkret merupakan perbuatan pidana (perbuatan yang

dilarang) yang dilakukan dengan kesalahan yang dapat

(30)

Keragaman pendapat diantara para sarjana hukum mengenai definisi

strafbaar feit diatas, telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan

mengenai strafbaar feit itu sendiri, yaitu:23

1. Perbuatan Pidana

Prof. Mulyatno, S.H menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan

pidana. Menurut pendapat beliauistilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada

makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu

yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.

Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa

kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu

adalah hanya manusia

Selain itu kata “perbuatan” lebih menunjuk pada arti sikap yang diperlihatkan

seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya

dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu

yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

2. Peristiwa Pidana

Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H.,

dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah “peristiwa pidana”

pernah digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam

Pasal 14 ayat (1). Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana”

lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik

olehperbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam

23

(31)

percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu

merupakan peristiwa alam.

3. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah diperkenalkan

oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah banyak

dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya

Undang-undang Tentang Kesehatan.

3. Pengertian pengguguran Kandungan

Abortus provocatus24

Sangatlah aneh jika abortus yang disengaja dengan abortus yang spontan

disetarakan. Padahal dua cara ini sangat berbeda, karena kematian alami

merupakan akibat tidak terhindarkan dari proses-proses alami, sedangkan

pembunuhan merupakan akibat kekerasan yang dipakai manusia. Demikian juga adalah istilah latin yang secara resmi dipakai dalam

kalangan kedokteran dan hukum, maksudnya adalah dengan sengaja mengakhiri

kehidupan kandungan dalam rahim seseorang perempuan hamil (Pengguguran

Kandungan). Karena itu abortus provocatus harus dibedakan dengan abortus

spontaneus, dimana kandungan seorang perempuan hamil dengan spontan gugur,

jadi perlu dibedakan antara ábortus yang disengaja dan abortus spontan. Dalam

bahasa Indonesia, yang pertama kita sebut adalah Pengguguran kandungan.

Sedangkan yang kedua dinamai keguguan. Tindakan pengguguran kandungan ini

diatur pada Pasal 75, 76, 77 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentanh

Kesehatan

24

(32)

pada abortus spontan adalah suatu kejadian alami dan karena itu tidak

menimbulkan masalah etika, sedangkan abortus yang disengaja adalah akibat dari

ulah manusia dan karena itu menimbulkan masalah etika yang benar.

Kadang-kadang abortus spontan disebabkan oleh penyakit, sehingga setelah diobati

memungkinkan lagi kehamilan baru. Tetapi, sering kali abortus spontan tidak

mempunyai sebab yang jelas. Sebaliknya abortus yang di sengaja adalah

pembunuhan terhadap makhluk insani yang dilakukan oleh manusia.25

Secara medis aborsi dimengerti sebagai penghentian kehamilan semana

janin belum lahir, belum dapat hidup mandiri di luar rahim, artinya sampai

kira-kira 24 minggu atau sampai awal. Tetapi dalam hal ini usia janin tidak merupakan

kriteria palin menentukan karena yang tidak kalah penting adalah berat dan

panjang janin. Dan yang lebih penting lagi adalah tersedia tidaknya teknologi

modren seperti yang dipakai dalam Unit Rawat Intensif Neonatal. Dengan

memakai teknologi canggih kini janin dapat diselamatkan beberapa minggu

sebelum usia 24 minggu.26

Pengguguran kandungan adalah penghentian kandungan yang kurang

masanya atau kurang kejadiannya, tidak ada perbedaan antara kehamilan anak

perempuan atau laki-laki, baik pengguguran ini dilakukan dengan sengaja atau

tidak.Sebab-sebab dilakukannya tindakan pengguguran kandungan ini sangat

beragam, bisa saja si ibu meminum obat atau mengangkat bebat berat atau

25

Dadang Hawari,Op.cit, hal 62

26

(33)

mencium bau tidak sedap yang mengakibatkan gugurnya janin. Tetapi sebab yang

paling penting adalah:27

1. Tujuan menggugurkan kandungan karena takut miskin atau penghasilan yang

tidak memadai.

2. Tujuan menggugurkan kandungan karena ibu khawatir anak yang tengah

disusuinya terhenti mendapatkan ASI

3. Takut janin tertular penyakit yang diderita ibu atau ayahnya

4. Kekhawatiran akan kelangsungan hidup ibu apabila kehamilan

membahayakan kesehatannya

5. Niat menggugurkan janin pada kandungan kehamilan yang tidak disyariatkan

akibat perzinahan

4. Teori Sebab-sebab Kejahatan28 A. Mazhab Antropologi

Lambroso berpendapat, bahwa kejahatan adalah bawaan sejak lahir.

Namun pada suatu masa tertentu pandangan terhadap orang-orang buas,

jahatbukanlah suatu pengecualian, tetapi suatu aturan hukum karena itu pula tidak

ada yang memandangnya sebagai kejahatan dan perbuatan demikian disamakan

dengan tindakan-tindakan yang sama sekali tidak dapat dicegah. Lambroso

mencoba membuktikan rumus ini tanpa kritikan, dan sering dicari dari sumber

27

Abbas Syauman,Hukum Aborsi dalam Islam,(Jakarta:Cendekia Sentra Muslim,2004), hal 60

28

(34)

yang paling buruk, bahan-bahan untuk membuktikan, bahwa orang lelaki

yangperadabannya penjahat dari sejak lahirnya (pencuri, suka memperkosa dan

membunuh) dan kalau perempuan adalah pelacur.

Sebagai contoh: Pembunuhan anak (Pengguguran Kandungan atau

pembunuhan terhadap anak yang baru lahir) banyak sekali terjadi dikalangan

orang yang masih sederhana peradabannya (yang hidupnya masih menggembara)

dan oleh mereka sendiri tidak dipandang sebagai perbuatan jahat. Keterangan

mengapa mereka berbuat demikian adalah berhubungan dengan sulitnya

penghidupan, yang memaksa mereka berbuat demikian, jika tidak berbuat

demikian, seluruh kelompok akan musnah. Ini semua bukan karena kebengisan

atau kurang cinta terhadap anaknya.

Berdasarkan pandangan ini, Lambroso mengadakan penyelidikan secara

antropologi mengenai penjahat-penjahat yang terdapat di dalam rumah penjara

dan terutama mengenai tengkoraknya. Kesimpulan dari penyelidikan tersebut

adalah bahwa para penjahat dipandang dari sudut antropologi mempunyai

tanda-tanda tertentu umpamanya pencuri isi tengkoraknya kurang dari pada yang lain,

terdapt kelainan dari pada tengkoraknya. Juga dalam otaknya terdapat keganjilan

yang seakan-akan memperingatkan pada otak hewan, biarpun tidak dapat

ditunjukkan adanya kelainan-kelainan penjahat yang khusus. Roman mukanya

juga lain dari pada orang biasa, seperti tulang rahang lebar, muka menceng, tulang

dahi melengkung ke belakang, dan lain-lain.

Kesimpulannya adalah penjahat umumnya dipandang dari sudut

(35)

bangsa Negro yang dilahirkan sedemikan rupa tidak mempunyai predisposisi

untuk kejahatan, tetapi suatu predistinansi, dan tidak ada pengaruh lingkungan

yang dapat merubah bentuk rupa. Sifat sejak lahir ini juga dikenal dari adanya

stigma-stigma lahir, jadi terdapat suatu Negro yang dapat dikenal, demikian juga

halnya dengan penjahat.

Selama beberapa waktu Lambroso dengan penganut-penganutnya

menyatakn bahwa penjahat adalah seorang penderita penyakit epilepsi. Winkler

dalam pernyataannya lebih berhati-hati dari pada Lmbroso dan tidak menyebutkan

adanya type penjahat, tetapi menyatakan bahwa dengan tidak insyaf hakim

memilih orang-orang yang dahinya sempit dan tulang rahangnya lebar,

dikategorikan sebagai penjahat.

Bahwa ajaran Lambroso pada umumnya tidak dapat hasil yang baik,

baik teorinya mengenai penjahat sejak lahir maupun type penjahat tidak

dipertahankan

B. Mazhab Perancis atau Mazhab Lingkungan

Ketika Lambroso dengan penganutnya memajukan ajarannya tetang

kejahatan yang bercorak antropologi pada tahun 70-an dari abad ke-19, sejak

permulaan dunia kedokteran, Perancis sudah menentangnya.Tokoh yang

terkemuka ialah A.Lacassagne (1843-1924) sesudah menolak hypotesa atavisme,

ia merumuskan ajarannya mazhab lingkungan sebagai berikut: “Yang penting

adalah keadaan sosial sekelilingnya kita. Keadaan sekeliling kita adalah suatu

(36)

C. Mazhab Bio-Sosiologi

Bila ditekankan pada perkataan : “tiap-tiap”, maka suatu kejahatan

tertentu adalah hasil dari dua unsur tadi dan rumus tersebut berlaku untuk semua

perbuatan manusia, jahat ataupun baik. Pada dasarnya manusia itu tidak ada yang

sama, dalam hal apa saja. Sebelum memulai mengupas bagaimana pengertian

rumus tersebut untuk ilmu kriminologi, maka perlu diterangkan lebih dahulu

unsur individu itu pada saat sesuatu perbuatan dilakukan yaitu :

a. Keadaaan lingkungan individu dari lahir sampai saat dia melakukan

perbuatan

b. Bakat yang terdapat dalam individu.

Sebagai contoh : dua orang yang betul-betul hidup dalam keadaan yang

sama, dan mempunyai kesempatan yang lain untuk melakukan kejahatan, dan

dua-duanya sama sekali tidak terhalang menurut rasa budi pekertinya.

Pada saat harus berbuat sesuatu yang satu berani bertindak, sedangkan

yang lain takut dan tidak bertindak. Jadi apakah dapat dikatakan bahwa

keberanian adalah sutu unsur kejahatan dan ketakutan adalah suatu unsur

kebaikan,.

Dan sebaliknya yang satu demikian cerdiknya, dapat mengetahui

kemungkinan yang terjadi lalu tidak berbuat; dan satu bodoh lalu berniat. Apakah

juga dapat dikatakan bahwa kecerdikan adalah unsur kebaikan dan kebodohan

(37)

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa semua sifat dapat mendorong

manusia untuk berbuat jahat ataupun mencegahnya.

Tentu saja seperti laki-laki lebih berbakat untuk berbuat jahat daripada

seorang perempuan, sepertiorang yang kuat dan berani lebih berbakat untuk

melakukan kejahatan dengan kekerasan daripada orang yang lemah dan penakut.

Walaupun akhirnya pada tiap-tiap bakat dapat dicarikan macam kejahatan yang

sesuai. Seorang atlit lebih sesuai untuk memukul orang, seorang yang pandai

bicara lebih berbakat untuk menipu. Namun semua aktivitas yang memerlukan

kekuatan badan, kemahiran berbicara, keberanian, kecepatan bergerak,

ketangkasan, dan sebagainya tidaklah dapat dikatakan suatu pekerjaan yang jahat.

D. Mazhab Spiritualis

Dalam mazhab ini sebab timbulnya kejahatan dikaitkan dengan

kepercayaan pada agama. Dengan kata lain bahwa tingkah laku manusia ini erat

kaitannya dengan kepercayaan. Yang beragama akan bertingkah laku lebih baik

dari pada orang-orang yang tidak beragama. Pendapat ini dikemukakan

berdasarkan penelitian di penjara bahwa orang yang dipenjara kurang beragama,

sebab kepercayaan kepada Tuhan kurang diyakini, secara pasif belum dapat

(38)

E. Mazhab Mr. Paul29

Menurut Mr.Paul Muliono dalam pembahasan ajaran sebab musabab

kejahatan, dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Golongan salahmu sendiri

Adanya golongan yang berpendapat bahwa kejahatan adalah ekspresi

(pernyataan) kemauan jahat dari diri si pertindak itu sendiri. Tegasnya adalah

bila kau berbuat kejahatan, salahmua sendiri karena masyarakat dan

pihak-pihak lain terlepas dari pertanggungjawaban atas timbulnya

kejahatan-kejahatan. Bahwa kalau kita pelajari secara seksama tentang golongan ini,

maka terdapatlah dua aliran:30

a. Aliran keagamaan yakni yang bersumberkan kepada kitab-kitab suci

agamanya masing-masing yang berlandaskan pada ajaran keagamaan,

maka setiap manusia dalam hidupnya diberi pedoman berupa perintah dan

larangan, dan siapa yang mematuhi perintah dan larangan agama akan

memperoleh pahala dari Tuhan dan sebaliknya yang melanggar akan

berdosa.

b. Aliran seculirasi, antara lain :

b.1. hedonisme yang mengatakan bahwa kenikmatan (kesenangan) egoistis

adalah tujuan terakhir manusia.

b.2. Rationalisme = suatu aliran yang berpendapat bahwa ratio manusia

adalah sumber Ekspresi atau manifestasi daripada jiwa manusia.

29

B.Simanjuntak,Pengantar Kriminologi dan Pathologi,(Bandung:Tarsito,1977), hal 199

30

(39)

b.3. utilitarianisme ; dalam mencari kebahagiana terbesar menurut

kegunaannya dalam memajukan kebaikan bersama. Moralitas diukur dari

segi manfaatnya.

2. golongan tiada yang salah

Mengemukakan bahwa penyebab kejahatan ada beberapa faktor yaitu:

Herediter biologis, kultural lingkungan, bakat + lingkungan, perasaan

keagamaan

3. Golongan salah lingkungan

Aliran ini mengatakan timbulnya kejahatan akibat faktor lingkungan yang

salah (tidak sehat)

4. Golongan kombinasi

Golongan ini menyatakan sebab-sebab timbulnya kejahatan karena adanya

tiga kombinasi dalam diri yakni : Ide, Ego, SuperEgo

5. Golongan dialog

Golongan dialog mendasarkan diri pada filsafah eksistensi, sebab falsafah ini

mendapatkan wujud manusia sebagai thema sentral.Wujud manusia secara

konkrit senantiasa berhubungan dengan sesama antara manusia dengan Tuhan.

Dia merealisir dirinya secara terus-menerus dalam suatu alam, mengadakan

kontak dengan alamnya, dia mengadakan dialog.

Karena manusia berdialog dengan lingkungan, maka dia dipengaruhi

lingkungan dan mempengaruhi lingkungan. Mempengaruhi lingkungan berarti

memberi struktur pada lingkungan, manusia sedang dipengaruhi lingkungan

(40)

ini kalau kita perhatikan secara seksama, berarti bakat bersama lingkungan

berdialog dengan individu. Dari aliran dialoglah yang paling relevan dengan

filsafat pancasila. Sebab aliran dialog mengakui kebebasan dimana

terlambangkan sila demokrasi dalam pancasila.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh

secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh

langsung dari masyarakat dinamakan data primer, sedangkan yang diperoleh dari

bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder. Di dalam penelitian

hukum, data sekunder mencakup31

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari: :

a. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu pembukaan Undang-undang Dasar

1945

b. Peraturan dasar:

i. Batang tubuh Undang-undang 1945

ii. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Peraturan Perundang-undangan:

i. Undang-undang dan peraturan yang setaraf

ii. Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf

iii. Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf

iv. Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf

v. Peraturan-peraturan Daerah

31

(41)

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat.

e. Yurispudensi

f. Traktat

g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku

seperti, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang merupakan

terjemahkan yang secara yuridis formal bersifat tidak resmi dari wetboek

van strafrecht)

2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, seperti Undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari

kalangan hukum, dan seterusnya.

3. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah

kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat

dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan

(disamping adanya penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama

meneliti data primer), maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

penelitian hukum normatif atau studi kepustakaan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini ,maka akan dibahas

(42)

BAB I PENDAHULUAN

Sejalan dengan judul skripsi ini, maka pada bab pendahuluan ini yang dasar

diletakkan dalam bab pendahuluan ini adalah bertumpu pada bagian latar

belakang, pendahuluan pengertian dan tujuan dan penelitian serta tinjauan

dibicarakan adalah dasar-dasar pemikiran penulis serta gambaran umum tentang

tujuan karya ilmiah ini. Berangkat dari sasaran yang ingin dicapai ini maka

kepustakaan ini berarti bahwa tumpuan yang dimaksud diatas mempunyai

pengaruh pula pada bagian-bagian dari bab lain. Singkatnya bab pendahuluan

adalah berisikan pengertian dan latar belakang, permasalahan, keaslian penulis,

tujuan penulisan, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan

sistematika penulis.

BAB II: KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN

KANDUNGAN

Pada bab ini yang nanti akan dibagi lagi menjadi sub bab yang pertama berjudul

bagaimana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang

Kesehatan dan bagaimana ketentuan dalam kitab Undang-undang hukum pidana.

BAB III: FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DILAKUKANNYA

PENGGUGURAN KANDUNGAN

Pada bagian ini akan membahas mengenai beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi dilakukannya tindakan Pengguguran kandungan antara lain adalah

kondisi usia yang masih muda atau masih sekolah, malu diketahui oleh orang tua

(43)

kondisi ekonomi yang tidak mencukupi, janin yang dikandung dari kasus

perkosaan, dan dorongan dari keluarga.

BAB IV: PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENGGUGURAN

KANDUNGAN

Pada bagian ini akan membahas bagaimana upaya preventif,bagaimana upaya

represif ,bagaimana upaya rehabilitatif,dan bagaimana penerapan hukumannya.

BAB V: PENUTUP

Pada akhirnya penulisan skripsi ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang

telah dibahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan

(44)

BAB II

KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN

A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mengatur

mengenai masalah pengguguran kandungan yang secara subtansi berbeda dengan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam Undang-undang tersebut tindakan

pengguguran kandungan ini diatur dalam Pasal 75. Menurut Undang-undang

inipengguguran kandungan dilarang dan dapat dilakukan apabila ada indikasi

medis dan trauma pada korban perkosaan.

Pasal 75 :

1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi

2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan

berdasarkan :

a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik

yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit

genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki

sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis

bagi korban perkosaan

3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan

(45)

konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan

berwenang.

Pasal 76 :

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid

terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis

b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang

memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh Mentri

c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan

d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh

Menteri.

Pasal 77 :

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana

dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan

tidak bertanggung jawab secara bertentangan dengan norma agama da ketentuan

perundang-undangan

Pasal 194 :

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

(46)

a) Unsur subjektif : dengan sengaja

b) Unsur-unsur objektif : 1. Setiap orang

2.melakukan aborsi

3. aborsi dilakukan tidak sesuai ketentuan

Pada Pasal 75 diatas, yang dimaksud dengan konselor adalah setiap orang

yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan.

Dan yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat,

tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan

untuk itu.

Pada Pasal 77 diatas, yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak

bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan

dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar

profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan

imbalan materi dari pada indikasi medis.

Seperti yang kita ketahui Peraturan - peraturan hukum pidana Umum di

Indonesia terwujud dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

sedangkan peraturan – peraturan Hukum Pidana Khusus adanya tersebar dalam

perbagai Undang – undang yang secara khusus dan tersendiri mengatur tentang

delik – delik tertentu lebih mendalam daripada pengaturannya dalam KUHP yang

bersifat umum. Selaras dengan adagium atau semboyan “Lex Specialis Derogat

Lex Generali” (hukum yang khusus menyingkirkan hukum yang umum), maka

(47)

diatur oleh undang – undang tersendiri, KUHP tidak berlaku penerapannya

terhadap delik – delik tertentu tersebut32

1. Tindakan pengguguran kandungan hanya boleh dilakukan dalam keadaan

darurat sebagai cara untuk menyelamatkan ibunya, jadi tindakan

penggugurankandungan yang dilakukan karena alasan lain jeals-jelas dilarang.

Alasan lain ini misalnya bayi cacat, jenis kelaminnya tidak sesuai dengan yang

diinginkan orang tuanya, kehamilan yang tidak dikehendaki (bisa termasuk

perkosaan), incest, gagal KB dan lain sebagainya.

Di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

terdapat beberapa hal yang bisa diuraikan yaitu sebagai berikut :

2. Yang sering disebut-sebut sebagai indikasi medis sebenarnya tidak secara

langsung disebutkan di dalam Undang-undang itu, ada kemungkinan bahwa

indikasi medis itu untuk menyelamatkan janin. Padahal hasil akhir

pengguguran kandungan adalah kematian janin, bukan untuk menyelamatkan

janin. Indikasi medis ini sangat terbatas yakni hanya boleh dalam keadaan

darurat sebagai upaya menyelamatkan nyawa ibu, tidak boleh menjadi alasan

untuk menggugurkan kandungan, sebab ia tidak membahayakan nyawa ibu.

3. Indikasi medis itu tidak sama dengan indikasi kesehatan. Oleh karena itu

alasan demi kesehatan baik ibu maupun janin tidak boleh menjadi alasan

untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan. Misalnya ibu yang

mengandung dan kesehatannya terganggu, tetapi gangguan itu tidak

32

(48)

mengancam nyawanya, maka ini tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan

tindakan pengguguran kandungan

B. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Dalam pandangan hukum pidana di Indonesia, tindakan pengguguran

kandungan tidak selalu merupakan perbuatan jahat atau merupakan tindak pidana,

hanya aborsi provocatus criminalis saja yang dikategorikan sebagai suatu

perbuatan tindak pidana, adapun pengguguran kandungan yang lainnya terutama

bersifat spontan dan medikalis bukan merupakan suatu tindak pidana.

Pengguguran kandungan dalam keperluan untuk tindakan medis memang

diperkenankan, tetapi tindakan medis tersebut tidak berarti bahwa kehidupan

manusia yang satu dikorbankan kepada kehidupan manusia yang lain. Sebab hal

itu tidak pernah diperbolehkan, jika terjadi diluar kemauan dari yang

bersangkutan. Dalam indikasi medis, terdapat suatu dilematis, menurut pemikiran

etika dalam situasi seperti itu sebaiknya berpegang pada prinsip the lesser evil

(dari dua hal yang jelek harus dipilih yang kurang jelek). Dan pada ibu maupun

janin akan mati atau malah satu dari mereka akan mati, kita memilih bahwa ibu

akan hidup, karena itu mau tidak mau janin harus digugurkan/aborsi.

Makna kejahatan dalam pengguguran kandungan sangat ditentukan oleh

nilai-nilai yang dianut dalam suatu masyarakat tertentu. Misalnya di beberapa

Negara barat tindakan pengguguran kandungan sudah dianggap bukan merupakan

perbuatan jahat, baik bersifat medikalis atau bukan. Misalnya di antara

(49)

kandungansecara radikal, artinya larangan pengguguran kandungan dicoret begitu

saja dari hukum pidana. Masyarakat memang memiliki penilaian tertentu dalam

persoalan ini. Dalam banyak hal melarang pengguguran kandungan secara mutlak

memang tidak memecahkan masalah, karena pada dasarnya masyarakat

membutuhkan pengguguran kandungan. Menolak pengguguran kandungan adalah

suatu yang sangat dilematis. Di Negara-negara yang sekarang sudah melegalisasi

tindakan pengguguran kandungan, dulu juga demikian. Barang yang dibutuhkan

tidak tersedia secara resmi akan mengakibatkan pasar gelap.33

1. Pasal 299 KUHP:

Di Indonesia tindakan pengguguran kandungan diatur dalam beberapa

peraturan perUndang-undangan yang terpisah, misalnya Kitab Undang-undang

Hukum Pidana yang menjelaskan bahwa segala macam tindakan pengguguran

kandungan itu dilarang, dengan tanpa pengecualian, sebagaimana diatur dalam

pasal-pasal sebagai berikut :

1) Barang siapa yang dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh

seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan

pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya,

dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda

sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah.

2) Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan atau melakukan

kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia seorang

dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya.

33

(50)

3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat

dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.

Tindak pidana yang dimaksudkan dalam ketentuan pidana yang diatur

dalam Pasal 299 ayat(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdiri atas

unsur-unsur sebagai berikut:

c) Unsur subjektif : dengan sengaja

d) Unsur-unsur objektif : 1. barang siapa

2.merawat

3.menyarankan untuk mendapat suatu perawatan

4.memberitahukan atau memberikan harapan

bahwa dengan perawatan tersebut,suatu

kehamilan dapat terganggu.

5.seorang wanita

Sesuai yang dijelaskan didalam Memorie van Toelichting, yakni apabila

didalam perumusan ketentuan pidana tersebut terdapat kata-kata dengan sengaja

,maka kata-kata tersebut meliputi semua unsur tindak pidana yang terdapat

dibelakangnya ,unsur-unsur subjektif dengan sengaja dengan rumusan ketentuan

pidan yang diatur dalam pasal 299 ayat 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

meliputi unsur-unsur objektif kedua samapai yang kelima.

Untuk menyatakan seorang terdakwa terbukti telah memenuhi unsur

subjektif dengan sengaja tersebut,disidang dipengadilan yang memeriksa dan

mengadili perkara terdakwa yng didakwa melanggar larangan yang diatur dalam

(51)

maupun hakim harus dapat membuktikan tentang adanya kehendak,maksud atau

niat terdakwa untuk:

a) Merawat

b) Menyarankan untuk mendapat suatu perawatan

c) Memberitahukan atau memberikan harapan bahwa dengan perawatan tersebut

suatu kehamilan dapat terganggu.

Jika salah satu kehendak terdakwa maupun pengetahuan terdakwa ternyata

tidak dapat dibuktikan,dengan sendirinya tidak ada alasan baik bagi penuntut

umum maupun bagi hakim untuk menyatakan terdakwa terbukti telah memenuhi

unsur dengan sengaja didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur pada Pasal

299 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hakim harus memberikan

putusan bebas bagi terdakwa.

Untuk dapat menyatakan terdakwa terbukti telah memenuhi unsur dengan

sngaja yang terdapat dalam rumusan ketentuan pidana yang diataur Pasal 299

Kitab Undang-undang Hukum Pidana,dengan sendirinya hakim tidak perlu

menggantungkan diri pada adanya pengakuan dari terdakwa,melainkan ia dapat

menyimpulkannya dari kenyataan yang terungkap disidang pengadilan yang

memeriksa dan mengadili perkara terdakwa,baik yang diperoleh dari keterangan

para saksi maupun yang diperoleh dari keterangan terdakwa sendiri.

Unsur objektif pertama dari tindak pidana yang diatur Pasal 299 ayat (1)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah unsur barang siapa.Kata barang siapa

menunjukkan pada orang yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua

(52)

(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana,maka ia dapat disebut pelaku dari tindak

pidana yang dimaksudkan kedalam ketentaun pidana tersebut.

Unsur objektif kedua dari tindak pidana yang dimaksudkan didalam

ketentuan pidana yang diatu Pasal 299 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum

pidana ialah unsur merawat. Kata-kata merawat menmpunyai arti yang sangat

luas, sehingga dapat dimaksudkan kedalam pengertian tindakan-tindakan seperti

melakukan segala tindakan yang sifatnya operasioanal,perawatan dengan

cara-cara yang sifatnya intern, bahwa perawatan yang dilakukan dengan cara-cara

mwemberikan saran-saran atau nasihat-nasihat.

Unsur objektif ketiga dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam

ketentuan pidana yang diatur pasal 299 ayat (1) KUHP ialah unsur een

behandeling doen ondergaan atau menyarankan untuk mendapat suatu

perawatan.Menurut Prof.Simons34yakni sesuai dengan yang dijelaskan di dalam

Memorie van Toelichtin

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan Penyuluhan Anti Narkoba diberikan kepada peserta yang hadir merupakan target potensial penyebaran narkoba yang terdiri kalangan geenrasi muda yaitu siswa

[r]

Fig. Motor unit discharge parameters during motor responses corresponding to three directions of illusory movements of the hand. Grand averages over 89 motor units for ECR 25 for

[r]

were measured separately at fixed latencies corresponding Animals injected with pilocarpine showed walking and to the peak response of the components being analysed crouching

industri Kecil Niaga adalah sesuatu usaha dengan modal > 400 Juta dengan kegiatan ekonomi dan jasa yang mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi

Foto FESEM untuk sampel dengan konsentrasi 100 mM dan aspek rasio 1:1 menunjukkan bahwa nanopartikel ZnO yang tumbuh di atas substrat FTO lebih merata dan

If multivariate analysis methods are applied to phenotypic traits according to the UPOV descriptor for the standard grain quality maize inbreds there is a clear indication that