• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pendapatan dan persepsi anggota terhadap penerapan Internal Control System (ICS) pada pertanian padi organik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis pendapatan dan persepsi anggota terhadap penerapan Internal Control System (ICS) pada pertanian padi organik"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENDAPATAN DAN PERSEPSI ANGGOTA

TERHADAP PENERAPAN

INTERNAL CONTROL SYSTEM (ICS)

PADA PERTANIAN PADI ORGANIK

NETRA MIRAWATI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam Tugas Akhir yang berjudul :

Analisis Pendapatan dan Persepsi Anggota terhadap

Penerapan Internal Control System (ICS) pada Pertanian Padi Organik

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan dari komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tugas akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2011

Netra Mirawati

(4)
(5)

ABSTRACT

NETRA MIRAWATI. Analysis of Revenue and Perception of Members of the Implementation of Internal Control System (ICS) in Organic Rice Farming. Supervised by ARIS MUNANDAR as Chairman, and SAPTA RAHARDJA as member.

Assurance of organic products through organic certification system is much demanded by consumers. Internal Control System (ICS) is a consolidated management concerning the effort to certify organic products. Due to its collective mechanism, farmers are able to manage its agribusiness more profitably financially. The purpose of this study was (1) to analyze the differences in income levels of farmer groups who are certified organic and non-certified organic, (2) to get an overview of the implementation of ICS in farmers group Gapoktan Simpatik, and (3) to analyze the perceptions of group members towards the implementation of

ICS either certified or non-certified organic. This research was on a case study at upperstream of Cideres and Cigunungjaga watershed in the district of Sukahening, Tasikmalaya, which is a member of Gapoktan Simpatik. The analysis was performed using the R/C ratio, homogeneity analysis of data by income level using the Kolmogorov-Smirnov, analysis of income differences between the two groups of independent farmers using the Mann-Whitney test, and biplot analysis for the analysis of perceptions of group members toward ICS implementation variables. The results showed that the R/C ratio for the certified group was 1.77, and for non-certified group 1.53. The average income level of certified group was Rp19,394,800/ha/ year, while the non-certified Rp12,728,940/ha/year. The results also showed that perception toward ICS

implementation of certified group was better than the non-certified. Most of the certified group respondent approached the vector of all variables, which means that they were satisfied and familiar with all the variables, while the group of respondents who were non-certified did not approach the vector. The parameters that were widely varied by respondent group responses were the certified variable (X8) of purchase, handling, processing, and export, while the most uniform response variables of the respondents were variable (X6) of organizational and ICS

personnel. While the groups that were not certified provided a variety of assessment on the variables (X3) of risk management and uniform assessment on (X9) external inspection and certification.

Keywords: consolidated management farmers group, organic certification system, organic farming rice participatory guarantee system

(6)

RINGKASAN

Netra Mirawati. Analisis Pendapatan dan Persepsi Anggota terhadap Penerapan Internal Control System (ICS) pada Pertanian Padi Organik. Dibawah bimbingan : ARIS MUNANDAR sebagai ketua dan SAPTA RAHARDJA sebagai anggota.

Tuntutan masyarakat akan makanan sehat, menyebabkan pengembangan pertanian organik di Indonesia semakin menarik banyak produsen, termasuk petani-petani kecil. Pertanian organik pada petani-petani kecil banyak dikembangkan pada lahan persawahan untuk memproduksi padi organik, namun perkembangan yang semakin pesat ini tidak diimbangi dengan pemberian jaminan kepada konsumen, sehingga saat ini banyak sekali beredar produk yang mengklaim sebagai organik tanpa pembuktian dari lembaga sertifikasi organik. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk tidak disertifikasi antara lain adalah biaya sertifikasi yang mahal dan harga yang tidak berbeda secara signifikan dengan produk yang tanpa sertifikasi. Saat ini, untuk mengatasi persoalan tersebut dikembangkan pola sertifikasi bagi petani-petani kecil dengan pola Internal Control System (ICS). ICS merupakan sistem penjaminan mutu yang terdokumentasi yang memperkenankan lembaga sertifikasi mendelegasikan inspeksi tahunan semua anggota kelompok secara individual kepada lembaga/unit dari operator yang disertifikasi. Lembaga sertifikasi akan melakukan evaluasi terhadap sistem pengawasan internal yang dilakukan kelompok, untuk memastikan sistem berjalan dengan baik dan efisien. Salah satu Gapoktan yang menerapkan ICS dan telah disertifikasi adalah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik di daerah hulu Sungai Cideres dan Sungai Cigunungjaga Kabupaten Tasikmalaya.

(7)

Hasil analisis pendapatan menunjukkan bahwa kelompok tani yang bersertifikat memiliki rata-rata tingkat pendapatan sebesar Rp.19.394.800/hektar/tahun, sedangkan kelompok yang tidak bersertifikat yang memiliki tingkat pendapatan sebesar Rp. 12.728.940/ha/tahun. Kedua kelompok menghasilkan nilai R/ C ratio yang lebih dari 1 yang berarti menguntungkan untuk dilaksanakan yaitu 1,77, untuk kelompok yang bersertifikat dan 1,53 untuk kelompok yang tidak bersertifikat. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan ada perbedaan tingkat pendapatan diantara kedua kelompok.

Analisis biplot terhadap persepsi anggota terhadap penerapan ICS pada kelompok bersertifikat organik menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai persepsi yang cukup baik untuk semua peubah, hanya beberapa responden dari kelompok Srilangen 2 yang memberikan nilai yang kurang memuaskan. Peubah yang paling beragam ditanggapi oleh responden adalah peubah (X8) pembelian, penanganan, pengolahan dan ekspor, sedangkan peubah yang paling seragam ditanggapi responden adalah peubah (X6) personel organisasi dan ICS. Secara umum responden Mekarjaya mempunyai persepsi yang lebih baik dari kelompok tani Srilangen 2.

(8)

© Hak Cipta IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

(9)

ANALISIS PENDAPATAN DAN PERSEPSI ANGGOTA

TERHADAP PENERAPAN

INTERNAL CONTROL SYSTEM (ICS)

PADA PERTANIAN PADI ORGANIK

NETRA MIRAWATI

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Judul Tugas Akhir : Analisis Pendapatan dan Persepsi Anggota terhadap Penerapan Internal Control System (ICS) pada Pertanian Padi Organik Nama Mahasiswa : Netra Mirawati

Nomor Induk : P054090125

Program studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Aris Munandar, MS Ketua

Dr. Ir. Sapta Rahardja, DEA Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Industri Kecil Menengah

Prof. Dr. Ir. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Batusangkar, Sumatera Barat pada tanggal 25 April 1974 sebagai putri bungsu dari pasangan Alm. H. Bustaman Habib dan Hj. Rohana Cadir. Tahun 1987, penulis lulus Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Sungayang, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Batusangkar dan lulus tahun 1990. Selanjutnya penulis diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Batusangkar dan lulus pada tahun 1993. Gelar sarjana diterima penulis tahun 1998 dari Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis sangat menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Aris Munandar, MS, Selaku ketua Komisi pembimbing atas pengarahan, bimbingan dan dorongan yang tiada henti dalam menyusun dan menyelesaikan tugas akhir.

2. Dr. Ir. Sapta Rahardja, DEA, selaku anggota Komisi pembimbing yang telah turut membantu dan menyumbangkan saran dan pikiran terhadap penulisan tugas akhir ini.

3. Prof. Dr. Ir. H. MH Bintoro, MAgr, selaku penguji luar atas pengarahan dan usulan perbaikan bagi kesempurnaan tugas akhir ini.

4. Seluruh staf administrasi dan dosen pengajar PS MPI IPB yang telah turut memberi bantuan dan dukungan kepada penulis.

5. Suamiku tercinta atas dukungan, bantuan serta dorongan semangat yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini, serta anak-anakku yang tersayang atas pengertian, senyum dan kelucuan yang sangat memberi inspirasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan ini.

6. Ketua Gapoktan Simpatik serta jajaran yang telah membantu memberikan ketersediaan data dan informasi serta Kepala Desa Kiarajangkung dan Sunda Kerta serta aparatnya, Petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Sukahening yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan informasi.

(13)

iii

8. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

Penulis sangat mengharapkan tulisan ini dapat menambah khasanah pengetahuan bagi penerapan pertanian organik di Indonesia sehingga suatu saat Indoensia dapat menjadi produsen organik yang terbesar sebagaimana yang dicita-citakan. Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik sangat diharapkan untuk kesempurnaannya. Akhirnya, penulis mengharapkan tulisan ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, Februari 2011

(14)

DAFTAR ISI

Halaman Daftar Isi ... IV Daftar Tabel ... VI Daftar Gambar ... VII Daftar Lampiran... VIII

I. Pendahuluan... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 8

II. Tinjauan Pustaka ... 9

2.1. Pertanian Organik ... 9

2.1.1.Definisi Pertanian Organik ... 9

2.1.2.Budidaya Padi Organik ... 10

2.2. Analisis Pendapatan Usahatani ... 14

2.2.1.Pengertian Usahatani ... 14

2.2.2.Pengeluaran Usahatani ... 16

2.2.3.Penerimaan Usahatani ... 17

2.2.4.Pendapatan Usahatani ... 18

2.2.5.Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio analysis) ... 18

2.3. Sistem Sertifikasi Organik... 19

2.4. Konsep Internal Control System (ICS) ... 21

III. Metodelogi Penelitian ... 25

3.1. Kerangka Pemikiran ... 25

3.2. Lokasi dan Waktu ... 26

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 27

(15)

v

3.5. Metode Analisis Data ... 28

IV. Hasil dan Pembahasan ... 33

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 33

4.2. Keadaan Umum Responden ... 34

4.3. Analisis Pendapatan Usahatani ... 37

4.3.1.Biaya usahatani ... 37

4.3.2.Penerimaan usahatani ... 40

4.3.3.Analisis R/C ratio ... 41

4.4. Analisis perbedaan pendapatan ... 42

4.5. Deskripsi penerapan Internal Control System (ICS) ... 44

4.6. Analisis persepsi anggota terhadap penerapan ICS ... 51

V. Kesimpulan dan Saran ... 58

5.1. Kesimpulan ... 58

5.2. Saran ... 59

(16)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Luas Areal Organik Dan Status Sertifikasinya Tahun 2009 ... 4

2. Perbedaan Sistem Budidaya Pertanian Organik Dengan Pertanian Non Organik ... 11

3. Peubah Pengamatan Penerapan ICS Pada Kelompok Tani ... 32

4. Skor dari Alternatif Jawaban ... 32

5. Data Responden Berdasarkan Tingkat Usia ... 34

6. Data Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 35

7. Data Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan ... 36

8. Data Responden Berdasarkan Kepemilikan Lahan... 37

9. Rata-Rata Biaya Variabel/Hektar/Tahun ... 38

10. Rata-Rata Biaya Tetap/Hektar/Tahun ... 39

11. Total Biaya/Hektar/Tahun ... 39

12. Pendapatan/Tahun Kelompok Bersertifikat Organik Dan Tidak Bersertifikat Organik ... 41

13. Nilai R/C Ratio Kelompok Bersertifikat Organik Dan Tidak Bersertifikat Organik ... 42

14. Hasil Uji Kenormalan Data Tingkat Pendapatan Kelompok Bersertifikat Organik Dan Tidak Bersertifikat Organik ... 42

15. Hasil Uji Perbedaan Pendapatan Antara Kelompok Bersertifikat Organik dan Tidak Bersetifikat Organik ... 43

(17)

vii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Struktur organisasi dan pola kerja ICS pada gapoktan simpatik ... 6

2. Kerangka Pemikiran ... 26

3. Hasil Biplot Untuk Kelompok Tani Bersertifikat Organik ... 52

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Peta Kecamatan Sukahening ... 63

2. Peta Hamparan Pertanian Desa Kiarajangkung Kecamatan Sukahening ... 64

3. Data Pendapatan Kelompok Bersertifikat Organik ... 65

4. Data Pendapatan Kelompok Tidak Bersertifikat Organik ... 66

5. Data Persepsi Anggota Kelompok Bersertifikat Organik ... 67

6. Data Persepsi Anggota Kelompok Tidak Bersertifikat Organik ... 68

7. Kuisioner Penelitian untuk Analisis Pendapatan Usahatani Organik Bersertifikat . 69 8. Kuisioner Penelitian untuk Analisis Pendapatan Usahatani Belum Bersertifikat Organik... ... 73

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Kesehatan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Banyak penelitian yang mengemukakan bahwa pola makan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kesehatan seseorang. Hal ini menyebabkan masyarakat semakin selektif terhadap makanan yang akan dikonsumsinya, terutama masyarakat golongan menengah keatas yang secara ekonomi telah memiliki cukup pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, sehingga tak heran bila kebutuhan akan pangan sehat setiap tahun semakin meningkat termasuk pangan yang berasal dari pengelolaan secara organik yang dianggap sebagai makanan sehat, termasuk di dalamnya kebutuhan akan beras organik. Beras merupakan makanan pokok hampir sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain berperan sebagai makanan pokok, beras juga merupakan sumber perekonomian

sebagian besar masyarakat di pedesaan. Kekurangan produksi berpengaruh terhadap

berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Menurut BPS (2010), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 234.181.300 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.33 persen. Tingkat konsumsi beras rakyat Indonesia pada tahun 2008 mencapai 94,07 kg/kapita/tahun dengan tingkat pertumbuhan 3,14 % per tahun (Deptan, 2009). Dengan data tersebut diperkirakan bahwa produksi beras di Indonesia pada tahun 2010 setidaknya harus mencapai 22.029.434 ton agar kebutuhan beras nasional terpenuhi. Berdasarkan hal ini, maka pengembangan padi organik di Indonesia harus diarahkan bagi peningkatan produksi sehingga kebutuhan beras masyarakat secara umum tidak terganggu.

(20)

produktivitas menurun kembali dan malah kemudian timbul dampak yang disebabkan oleh penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan. Dampak pemberian pupuk yang berlebihan tersebut antara lain adalah tanah menjadi tidak subur dan terjadi pengerasan lapisan olah, polusi air dan udara serta adanya residu pestisida pada produk hasil pertanian. Hal tersebut berakibat fatal bagi pertanian di Indonesia sehingga seringkali terjadi gagal panen (Dinarti, 2005).

Sejak berkembangnya pertanian organik di Indonesia, banyak kesimpangsiuaran tentang definisi dan persyaratan organik yang sesungguhnya. Pada tahun 2002, telah dirumuskan dan ditetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk sistem pangan organik yang tujuannya agar terdapat kesepakatan tentang pemahaman organik yang sama terutama antara produsen dan konsumen. Standar ini pada tahun 2010 telah direvisi untuk menyesuaikan dengan berbagai perkembangan organik yang ada, baik di Indonesia maupun di dunia internasional, sehingga dengan adanya standar ini diharapkan tidak akan ada yang salah mengartikan hakekat organik yang sesungguhnya.

SNI sistem pangan organik di Indonesia telah mulai diterapkan pada beberapa produk pertanian. Produk yang dihasilkan sesuai standar perlu dibuktikan dengan sertifikat organik. Sertifikat dapat memberikan kepastian hukum dan keuntungan bagi kedua belah pihak baik produsen maupun konsumen. Pemerintah berperan untuk menyiapkan aturan terkait sertifikasi organik, pelabelan, lembaga sertifikasi organik dan lain-lain, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi semua pihak. Pada tahun 2005 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah menunjuk Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian sebagai Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO) melalui Keputusan Menteri No. 380/Kpts/OT.130/10/2005. OKPO ini mempunyai tugas antara lain :

1. Merumuskan kebijakan pengaturan, pengawasan dan pembinaan sistem pangan organik

2. Merancang dan menformulasikan sistem dan acuan untuk dijadikan persyaratan wajib dalam pendirian lembaga sertifikasi pangan organik

(21)

3

Sampai saat ini OKPO telah mengeluarkan beberapa panduan mulai dari cara budidaya, pengawasan sampai kepada pelabelan organik yang dapat digunakan oleh produsen dan konsumen.

Harga beras organik yang berbeda sangat signifikan dengan beras bukan organik merupakan daya tarik tersendiri bagi banyak produsen. Jaminan dan kepastian bahwa produk yang dipasarkan sesuai dengan label yang dicantumkan merupakan hak konsumen yang harus dipenuhi oleh produsen. UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan UU Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan telah mengintruksikan agar pelabelan sesuai dengan yang sebenarnya sehingga konsumen tidak dirugikan.

Potensi pengembangan pertanian organik di Indonesia cukup terbuka luas karena kakayaan keanekaragaman hayatinya yang unik, limpahan sinar matahari, air dan tanah yang masih luas yang dapat dimanfaatkan bagi lahan organik. Menurut Aliansi Organik Indonesia/AOI (2009), luas total pertanian organik di Indonesia pada tahun 2009 sudah mencapai 231.697,11 ha yang tersebar di Sulawesi, Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Perkembangan ini tentunya sangat mengembirakan karena pemerintah melalui program

“Go Organik 2010” berkeinginan untuk mewujudkan Indonesia sebagai salah satu

(22)

Tabel 1. Luas Areal Organik dan Status Sertifikasinya Tahun 2009

Jenis Pertanian Organik Luas (ha)

Bersertifikat 97.352

Dalam Proses Sertifikasi (Konversi) Penjaminan Sertifikasi oleh AOI Tanpa Sertifikasi

132.765 16 1.564

Total 231. 697

Sumber : AOI, 2009

(23)

5

Jumlah Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) sudah cukup banyak di Indonesia. Menurut data Direktorat Mutu dan Standardisasi (2009) LSO nasional yang telah diakreditasi KAN ada 7 buah yaitu :Sucofindo (Jakarta), Mutu Agung Lestari (Depok), INOFICE (Bogor), BPTPH Sumatera Barat, LeSOS (Mojokerto), BIOCert Indonesia (Bogor), PT. Persada (Yogyakarta), sedangkan lembaga sertifikasi asing ada IMO (Intitute for Marketocologi), Control Union, NASAA, Naturland, GOCA, Ecocert dan ACO. Keberadaan lembaga sertifikasi organik diharapkan dapat mendorong produsen untuk disertifikasi, namun kenyataan di lapangan masih banyak produsen organik yang enggan untuk disertifikasi.

International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) telah mengembangkan cara sertifikasi berkelompok melalui penerapan Internal Control System (ICS) untuk mengatasi persoalan biaya sertifikasi. Sistem ini dikembangkan untuk tujuan memperkuat gerakan pertanian organik di negara berkembang (Lechleitner dan Eisenlohr, 2004). Gapoktan Simpatik yang berada di Kabupaten Tasikmalaya adalah Gapoktan yang telah menerapkan ICS yang berhasil disertifikasi oleh Institute for Merketecologi (IMO). Gapoktan ini juga telah berhasil melakukan ekspor beras organik ke Uni Eropa dan Amerika Serikat. Persoalan utamanya, sertifikasi ICS pada Gapoktan ini dikuasai oleh traider sehingga posisi tawar Gapoktan kurang kuat sehingga perlu dikaji apakah ada perubahan tingkat pendapatan antara yang telah mendapat sertifikat dan yang belum memiliki sertifikat.

(24)

kelompoknya sendiri. Hasil penilaian inspektur internal ini akan disampaikan kepada komisi persetujuan untuk diputuskan status organiknya. Stuktur Gapoktan memiliki tim teknis yang dapat dibantu oleh mantri tani dan dinas terkait untuk melakukan pembinaan kepada kelompok tani, dan juga bagian pemasaran yang akan mengatur sistem pembelian dan pemasaran produk. Hasil kerja semua bagian Gapoktan ini terutama hasil penilaian yang dilakukan inspektur internal dan keputusan yang diambil komisi persetujuan akan dinilai oleh inspektur internal dari lembaga sertifikasi organik. Inspektur internal akan melakukan sampling terhadap kelompok yang telah dinilai oleh inspektur internal, untuk selanjutnya diputuskan status sertifikasinya. Uraian stuktur struktur organisasi dan pola kerja ICS dapat terlihat seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Organisasi dan Pola Kerja ICS pada Gapoktan Simpatik (Sumber : data primer diolah, 2011)

Pembina :

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya

Gapoktan Simpatik : Ketua : Sekretarias I Sekretarias II

Bendahara

Unit ICS Tim Teknis Pemasaran

Kelompok tani

Inspektor internal

Mantri tani

Komisi Persetujuan

(25)

7

Tujuan pembentukan Gapoktan ini antara lain adalah peningkatan pemasaran beras organik dengan memberikan jaminan mutu terhadap produk beras organik yang dihasilkannya dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani anggotanya sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat tani. Penerapan Internal Control System (ICS) pada Gapoktan ini dimulai sejak tahun 2008. Penerapan ICS ini melalui beberapa tahap mulai dari penyusunan dokumen, pelatihan dan pemahaman kepada semua anggota kelompok. Berdasarkan hasil penilaian IMO, dari 28 jumlah kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Simpatik, 11 kelompok tani telah mendapat sertifikat

organik, 3 kelompok tani dalam tahap konversi, dan 14 kelompok tani masih belum

mendapat sertifikat karena dinilai belum sesuai dengan persyaratan yang tertuang dalam

dokumen ICS. Ketidakberhasilan semua anggota Gapoktan perlu dievaluasi, apakah ada

perbedaan persepsi antara kelompok yang bersertifikat dengan kelompok yang tidak

bersertifikat terhadap persyaratan yang tertuang dalam pedoman ICS. Hal ini penting

sebagai evaluasi bagi Gapoktan selanjutnya untuk dapat mensukseskan semua

anggotanya mendapat sertifikat organik.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan dalam kajian ini dapat dirumuskan

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sistem pertanian organik pada kelompok tani anggota Gapoktan Simpatik ?

2. Bagaimanakah tingkat pendapatan petani yang bersertifikat organik dengan yang tidak bersertifikat ?

3. Bagaimanakah penerapan Internal Control System (ICS) pada kelompok tani anggota Gapoktan Simpatik ?

4. Bagaimana persepsi anggota terhadap penerapan Internal Control System (ICS) khususnya kelompok yang sudah bersertifikat dan yang belum bersertifikat?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

(26)

2. Mendapat gambaran tentang penerapan ICS pada Gapoktan Simpatik

3. Menganalisis persepsi anggota terhadap penerapan ICS baik yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat organik.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini antara lain adalah :

1. Sumber informasi bagi gapoktan dan kelompok tani untuk perbaikan penerapan ICS pada anggotanya.

2. Sumber informasi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang tepat terkait dengan pengembangan padi organik di Indonesia.

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertanian Organik

2.1.1. Definisi Pertanian Organik

Definisi pertanian organik yang dikenal pada saat ini dikeluarkan oleh IFOAM dan Departemen Pertanian Amerika Serikat. Menurut IFOAM (FAO, 1998) dalam Dinarti, 2005, tujuan dan prinsip dari pertanian organik serta prosesnya berdasarkan sejumlah prinsip penting dan ide-ide, yaitu :

a) Memproduksi makanan dengan gizi berkualitas tinggi;

b) Mengedepankan siklus biologis di dalam sistem pertanian, meliputi mikro organisme, flora dan fauna tanah, ternak dan tanaman;

c) Menginteraksikan suatu kehidupan yang konstruktif dengan sistem dan siklus yang alami;

d) Memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah dalam jangka panjang;

e) Memproduksi dan menggunakan air yang sehat dan menjaga air, sumber air dan kehidupannya;

f) Membantu konservasi tanah dan air;

g) Menggunakan sejauh mungkin, sumber daya lokal yang dapat diperbaharui yang dikelola dalam sistem pertanian bekerja sejauh yang bisa dilakukan, dalam sistem tertutup yang menyediakan bahan organik dan unsur hara bagi tanaman;

h) Bekerja yang mungkin menggunakan bahan-bahan yang dapat didaur ulang yang berasal dari dalam maupun luar sistem pertanian;

i) Meminimalkan semua bentuk polutan yang dihasilkan dari kegiatan pertanian yang dilakukan;

j) Mempertahankan keragaman genetik di dalam sistem pertanian dan di sekitarnya, termasuk melindungi tanaman dan habitat liarnya;

k) Memberikan kondisi lingkungan yang aman dan nyaman bagi pekerja memperhatikan pengaruh sosial dan ekologis dari sistem yang diterapkan;

(28)

m) Memperkuat fungsi asosiasi pertanian organik;

n) Memajukan keseluruhan rantai pertanian yang bertanggung jawab secara sosial maupun ekologis.

Departemen Pertanian Amerika Serikat pada tahun 1980 juga mengeluarkan definisi tentang pertanian organik sebagai suatu sistem produksi yang menghindarkan atau sebagian besar tidak menggunakan pupuk sintetis, pestisida, hormon tumbuh, pakan ternak tanpa zat additive.

Menurut BSN (2010), sistem pertanian organik adalah sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penerapan praktek-praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan input dari limbah kegiatan budidaya di lahan, dengan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat. Jika memungkinkan hal tersebut dapat dicapai dengan penggunaan budaya, metoda biologi dan mekanik, yang tidak menggunakan bahan sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam sistem.

2.1.2. Budidaya Padi Organik

Cara bertanam padi organik pada dasarnya tidak berbeda dengan bertanam padi secara konvensional (non organik). Perbedaannya hanyalah pada pemilihan varietas dan penggunaan pupuk dasar (Andoko, 2010). Menurut PPHP Deptan (2005) beberapa berbedaan antara budidaya pertanian organik dan non organik adalah sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.

Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan dalam budidaya padi secara organik : 1) Pemilihan verietas

(29)

11

Tabel 2. Perbedaan Sistem Budidaya Pertanian Organik dengan Pertanian Non Organik

Proses Pertanian non organik Pertanian organik

Persiapan benih Berasal dari rekayasa genetika Berasal dari pertumbuhan yang alami

Pengolahan tanah Maksimalisasi pengolahan tanah melalui mekanisasi pertanian

Persiapan bibit Bibit diperlakukan dengan bahan kimia sintesis

Bibit diperlakukan dengan alami

Penanaman Monokultur, rotasi tanaman hanya dari satu jenis tanaman

Pengairan Dapat menggunakan air dari mana saja

(30)

dipinggir tempat perbenihan dibuat parit yang dapat digunakan untuk mengeluarkan kelebihan air, sebaiknya lahan yang akan digunakan diberi pupuk kandang agar tanah menjadi subur dan benih dapat tumbuh dengan subur; (d) mengecambahkan benih, benih yang telah diseleksi direndam dalam air bersih selama 1- 2 hari, tujuannya agar memudahkan proses perkecambahan dan sekaligus dapat memisahkan benih yang bagus dengan yang jelek, benih yang bagus akan tenggelam dalam air, sedangkan yang kurang bagus biasanya akan mengapung, selanjutnya benih yang terpilih di hamparkan di atas lantai dan ditutup dengan karung goni basah atau dapat juga dimasukkan dalam wadah yang tertutup rapat; (e) menyebarkan benih, benih yang sudah berkecambah disebarkan secara hati-hati ke permukaan persemaian, usahakan benih tersebar secara merata dan tidak tumpang tindih serta tidak terbenam dalam tanah karena akan dapat menyebarkan terinfeksi patogen.

3) Penyiapan lahan

Pengolahan tanah terdiri dari pembajakan, garu dan perataan. Sebelum pengolahan tanah, lahan harus direndam air selama lebih kurang 7 (tujuh) hari. Menurut Purwono dan Purnawati (2009) kedalaman lapisan olah berkisar 15 – 20 cm, namun menurut Andoko (2010) untuk tanaman padi organik, kedalaman lapisan olah yang terbaik adalah mencapai 30 cm.

4) Penanaman

Menurut Andoko (2010), syarat benih yang baik untuk dipindahkan ke lahan penanaman adalah tinggi sekitar 25 cm, memiliki 5-6 helai daun, batang bawah besar dan keras, bebas dari hama penyakit serta jenisnya seragam. Jarak tanam yang umum digunakan petani di Indonesia adalah 25 cm x 25 cm dan 30 cm x 30 cm. Jumlah bibit yang ditanam berkisar 3 – 4 batang perlubang.

5) Penyulaman

(31)

13

6) Pengolahan tanah ringan

Tujuan pengolahan tanah ringan adalah agar terjadi pertukaran udara yaitu oksigen masuk ke dalam tanah dan gas-gas yang terbentuk dalam keadaan anerobik di dalam tanah dapat menguap. Pengolahan tanah ringan dilakukan sekitar 20 hari setelah tanam. Alat yang digunakan adalah sorok yaitu semacam garpu kayu bergerigi paku yang sudah ditumpulkan selebar kira-kira 15 cm dan bertangkai. Ujung sorok diarahkan ke tanah sekitar tanaman dengan gerakan maju mundur sambil sedikit ditekan.

7) Penyiangan

Penyiangan dimaksudkan untuk membuang tanaman liar yang tumbuh disekitar tanaman padi agar keberadaannya tidak menyaingi tanaman padi. Dalam pertanian non organik, biasanya tanaman liar diatasi dengan penggunaan herbisida kimia, namun untuk pertanian organik, dilakukan dengan penyiangan yaitu dengan cara pencabutan tanaman liar tersebut. Penyiangan pertama dilakukan saat tanaman berumur empat minggu, kedua umur 35 hari dan ketiga umur 55 hari.

8) Pemasukan dan pengeluaran air

Penggenangan sawah dilakukan sejak awal pertumbuhan, pembentukan anakan, masa bunting dan pembungaan. Pengeringan sawah dilakukan ketika menjelang bunting dan masa pemasakan biji.

9) Pemupukan

Perbedaan padi organik dan non organik terletak pada penggunaan pupuk. Tanaman organik menggunakan pupuk organik sedangkan tanaman padi non organik menggunakan pupuk kimia. Pertanian non organik cenderung menggunakan pupuk kimia yang meningkat dari tahun ketahun, berbeda dengan pertanian organik yang penggunaan pupuknya cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada pengolahan tanah pertama biasanya yang digunakan pupuk organik baik untuk pertanian organik maupun non organik.

(32)

0,5 ton/ha. Pada tanaman organik pemupukan kedua dan ketiga menggunakan pupuk organik cair. Dosis pemupukan disesuaikan dengan keadaan tanaman. 10) Pemberantasan hama dan penyakit

Pemberantasan hama dan penyakit pada tanaman organik dilakukan secara terpadu antara teknik budidaya, biologis, fisik (perangkap atau umpan) dan pestisida organik.

11) Panen

Waktu panen ditentukan oleh jenis verietas yang ditanam, karena setiap verietas memiliki umur panen yang berbeda. Panen yang terlalu cepat dapat menyebabkan kualitas butir gabah menjadi rendah sehingga mudah hancur saat digiling. Sebaliknya, panen yang terlambat dapat menurunkan produksi karena banyak butir gabah yang sudah dimakan burung atau tikus. Padi dikatakan siap panen bila butir gabah yang menguning sudah mencapai sekitar 80%.

2.2. Analisis Pendapatan Usahatani

2.2.1. Pengertian Usahatani

(33)

15

ternak dan tempat keluarga tani bermukim; (b) Adanya bangunan yang berupa rumah petani, gudang, kandang, lantai jemur, dan lain- lain; (c) Adanya alat-alat pertanian seperti cangkul, parang, garpu, linggis, penyemprot, traktor, pompa air dan lain- lain; (d) Adanya pencurahan kerja untuk mengolah tanah, menanam, memelihara dan lain- lain; (e) Adanya kegiatan petani yang menetapkan rencana usahataninya, mengawasi jalanya usahatani dan menikmati hasil usahataninya.

(34)

2.2.2. Pengeluaran Usahatani

Pengeluaran usahatani sama dengan biaya usahatani yang merupakan pengorbanan yang dilakukan produsen (petani) untuk mengelola usahanya guna mendapatkan hasil yang maksimal (Rahim dan Hastuti, 2007). Menurut Soekartawi (1986) dalam Purba, (2005) menyatakan bahwa pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Biaya usahatani dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap diartikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun output yang diperoleh banyak atau sedikit, contohnya pajak, sewa tanah, alat pertanian, bunga pinjaman dan lain sebagainya. Biaya tidak tetap merupakan biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi komoditas pertanian yang diperoleh, misalnya biaya untuk sarana produksi (saprodi).

Penentuan biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost) tergantung pada sifat dan waktu pengambilan keputusan tersebut. Misalnya sewa lahan adalah biaya variabel dalam kaitannya dengan keputusan petani untuk menyewa tambahan lahan, tetapi lahan yang sudah disewa dan digunakan adalah biaya tetap. Cara menghitung biaya tetap (fixed cost) adalah sebagai berikut :

��= �� �

�=1

Keterangan : FC = Fixed cost

Xi = Banyaknya input ke-i

Pxi = Harga dari variabel xi (input)

Biaya total atau total cost (TC) adalah jumlah dari biaya tetap atau fixed cost (FC) dan biaya tidak tetap atau variabel cost (VC). Rumusnya adalah sebagai berikut :

TC =��+��

(35)

17

Menurut Soekartawi dalam Rahim dan Hastuti, (2007), analisis usahatani dapat dilakukan dengan dua cara yaitu analisis finansial (financial analysis) dan analisis ekonomi (economics analysis). Analisis finansial menggunakan data riil yang sebenarnya dikeluarkan, sedangkan dalam analisis ekonomi data yang digunakan berdasarkan harga bayangan. Harga bayangan (shadow prices) adalah harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya maupun hasil.

2.2.3. Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani adalah perkalian antar produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut dapat dikatakan dalam rumus sebagai berikut :

�� = � Keterangan :

TR = Total penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani Py = Harga Y

Menurut Soekartawi (2002) dalam Purba (2005) menyebutkan bahwa penerimaan tunai usahatani merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Menurut Soekartawi (2002) dalam Rahim dan Hastuti (2007), untuk menghitung penerimaan usahatani beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :

a) Perhitungan produksi pertanian harus hati-hati karena tidak semua produksi pertanian dipanen secara serentak. Untuk tanaman padi hal ini tidak berlaku karena biasanya padi dipanen secara serentak.

b) Penerimaan petani juga harus dihitung dengan baik karena mungkin hasil produksi tidak dijual sekaligus dengan harga yang berbeda-beda. Analisis ini akan didasarkan harga rata-rata yang berlaku pada tahun penelitian dilakukan

c) Petani yang digunakan sebagai responden harus diwawancara dengan teknis yang baik untuk membantu mengingat kembali produksi dan hasil penjualan.

(36)

2.2.4. Pendapatan Usahatani

Pemenuhan kebutuhan hidup rumahtangga usahatani dicukupi dari pendapatan usahatani. Soeharjo dan Patong (1973) dalam Purba (2005) menyatakan bahwa pendapatan adalah balas jasa dari kerjasama faktor- faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal dan jasa pengelolaan. Pendapatan usahatani tidak hanya berasal dari kegiatan produksi saja tetapi dapat juga diperoleh dari hasil menyewakan atau menjual unsur-unsur produksi, misalnya menjual kelebihan alat-alat produksi, menyewakan lahan dan lain sebagainya. Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Rahim dan Hastuti, 2007) :

��=�� − �� Keterangan :

Pd = Pendapatan usahatani

TR = Total revenue (total penerimaan) TC = Total cost (total biaya)

Pendapatan usahatani yang diharapkan adalah yang memiliki nilai positif dan semakin besar nilainya semakin baik, meskipun besar pendapatan tidak selalu mencerminkan efisiensi yang tinggi karena pendapatan yang besar mungkin juga diperoleh dari investasi yang jumlahnya besar pula. Pengukuran keberhasilan usahatani biasanya dilakukan dengan melakukan analisis pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani dapat memberi gambaran keadaan aktual usahatani sehingga dapat dievaluasi dengan perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang. Analisis pendapatan usahatani diperlukan sebagai informasi untuk mengetahui keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan.

2.2.5. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio Analysis)

(37)

19

analisis R/C ratio merupakan perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dapat dinyatakan dengan rumus :

a= R C

Keterangan : a = R/C ratio

R = Total Penerimaan C = Total Biaya

Analisis ini menunjukkan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C maka akan semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani dikatakan menguntungkan. Kegiatan usahatani dikategorikan layak jika memiliki nilai R/C ratio lebih besar dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usahatani menguntungkan. Sebaliknya kegiatan usahatani dikategorikan tidak layak jika memiliki nilai R/C ratio lebih kecil dari satu, yang artinya untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya atau kegiatan usahatani merugikan. Sedangkan untuk kegiatan usahatani yang memiliki nilai R/C ratio sama dengan satu berarti kegiatan usahatani berada pada keuntungan normal.

2.3. Sistem Sertifikasi Organik

(38)

Second-party certification dan Third-party certification, Group certification and Internal Control Systems, Participatory Certification atau Participatory Guarantee System

(PGS) (Sulaeman, 2009).

a. Self-claim

Kebanyakan pemasaran pangan organik yang dilakukan oleh produsen di Indonesia dimulai dengan pola penjaminan self claim (pernyataan diri) mengenai status organik produk yang dihasilkannya. Penjaminan seperti ini memiliki keterbatasan dalam menumbuhkan tingkat kepercayaan konsumen dan keluasan distribusi produk. Produsen dengan pola penjaminan self claim biasanya membuka diri terhadap kunjungan konsumen ke lahan budidaya (farm visit) atau pengolahan pangan organiknya untuk mengantisipasi terbatasnya pemasaran. Apabila pola self claim dilakukan dengan sistematik dan dilengkapi dengan sistem dokumentasi yang cukup baik mengenai apa yang dilakukan dalam menghasilkan pangan organik, maka pola tersebut dapat dianggap sebagai first-party certification (sertifikasi pihak pertama). Produk yang dijamin dengan pola self claim dan first-party certification tidak dapat mencantumkan

logo Organik Indonesia. Biasanya produsen menuliskan kata “organik” pada kemasan

produk tersebut.

b. Second-party certification

Pola pengakuan ini dilakukan oleh dua pihak yang melakukan kerjasama dan perjanjian perdagangan, dimana pihak pembeli memberikan pengakuan terhadap produk yang dihasilkan mitra/pemasoknya. Biasanya pihak kesatu melakukan penilaian terhadap kinerja pihak produsen. Pihak penjamin dengan pola second-party certification biasanya menerbitkan surat pernyataan atau klaim bahwa produk tersebut organik. Produk dikemas menggunakan suatu merek tertentu dan dicantumkan kata

“organik”.

c. Third-party certification

(39)

21

2.4. Konsep Internal Control System (ICS)

Sistem Pengawasan Internal (Internal Control System/ICS) merupakan sistem penjaminan mutu yang terdokumentasi yang memperkenankan lembaga sertifikasi mendelegasikan inspeksi tahunan semua anggota kelompok secara individual kepada lembaga/unit dari operator yang disertifikasi. Lembaga sertifikasi melakukan evaluasi terhadap sistem pengawasan internal yang dilakukan kelompok, untuk memastikan sistem berjalan dengan baik dan efisien. Evaluasi dilakukan dengan mengecek sistem dokumentasi ICS, kualifikasi staf dan melakukan inspeksi ulang ke beberapa petani. Tahapan dasar ICS meliputi:

1. Memiliki organisasi tani/produsen kecil.

2. Memiliki struktur dan mekanisme internal organisasi, seperti: aturan internal kelompok, keanggotaan, sanksi, standar internal, pelatihan, pengawasan mutu, personil, dan lain-lain.

3. Mengidentifikasi petani, apabila petani belum memahami mengenai prinsip-prinsip organik, maka perlu menumbuhkan kesadaran mengenai hal tersebut.

4. Merekrut personel yang berkualitas dan memastikan bahwa mereka telah menerima pelatihan pertanian organik dan ICS.

5. Mulai mengembangkan formulir dan prosedur ICS secara tertulis yang sesuai dengan kondisi lokal.

6. Melakukan pengawasan mutu internal secara berkala

7. Mencatat semua proses yang dilakukan oleh petani, organisasi tani/produsen

8. Secara bertahap meningkatkan kualitas dokumen ICS (prosedur, formulir, dan sebagainya) dan penerapannya oleh staf ICS.

Sistem sertifikasi dengan pola ICS memungkinkan sertifikasi untuk wilayah yang cukup luas sehingga peta lahan menjadi bagian penting dalam menilaian yang dilakukan oleh inspektor eksternal. Peta lahan merupakan sumber informasi yang sangat penting tentang keadaan suatu wilayah pertanian, sehingga dapat dilihat batas-batas wilayah yang berpotensi menimbulkan kontaminasi dan juga sumber pengairan yang ada.

(40)

lingkungan sekitar dan sumber air. Dalam pertanian organik yang terpenting adalah bagaimana mengendalikan faktor-faktor tersebut agar sesuai dengan standar yang diacu, sehingga tindakan perbaikan yang berkelanjutan perlu dilakukan dan semuanya harus terdokumentasi dengan baik.

Koordinator ICS diperlukan untuk dapat menjalankan ICS sebagaimana yang diharapkan. Pemilihan personil koordinator ditentukan oleh anggota kelompok yang dapat berasal dari pengurus Gapoktan. Tidak ada persyaratan baku yang ditetapkan untuk posisi ini, hanya saja agar dapat berjalan tentu diperlukan adanya kemampuan personil setidaknya dalam pengelolaan administrasi, melatih dan mampu melakukan koordinasi dengan semua pihak yang berhubungan dengan program sertifikasi. Koordinator ICS merupakan kontak person yang akan terlibat dengan lembaga sertifikasi eksternal.

Inspektor internal merupakan pengawas lapangan yang berasal dari kelompok tani yang akan melakukan pengawasan kepada kelompok lain yang bukan kelompoknya. Inspektor internal ini mempunyai persyaratan minimal yaitu harus memahami sistem pertanian organik dan sistem prosedur yang sudah ditetapkan ICS sehingga orang-orangnya harus terlatih dan yang utama lagi tidak ada konflik kepentingan. Tugas dari inspektor internal adalah melakukan pengawasan secara berkala dan dapat juga sewaktu-waktu jika diperlukan terhadap anggota yang menjadi bagian pengawasannya. Hasil dari pengawasan inspektor ini, harus dilaporkan kepada komisi persetujuan untuk dapat ditentukan status keorganikannya. Komisi persetujuan yang akan memutuskan posisi anggota kelompok berdasarkan hasil audit inspektor internal dengan turut melibatkan pakar atau tim teknis.

Menurut Setyowati (2008) dalam pengembangan ICS, yang perlu direfleksikan adalah perjalanan proses penguatan organisasi yang menjadi kunci utama dari keberhasilan pengorganisasian petani maupun pengorganisasian produk yang akan dipasarkan. Orientasi pasar juga harus dipertimbangkan, baik pasar lokal, nasional, maupun internasional, karena rangkaian pengorganisasian produk dan arah pemasaran akan berpengaruh pada strategi dalam menjalankan ICSnya.

(41)

23

maksimal, karena komitmen dari semua anggota dan pengurus menjadi ukuran keberhasilan penjaminan mutu produk yang dilakukan sehingga konflik internal bisa teratasi. Oleh karena itu penerapan ICS di kelompok harus diawali dengan pemahaman tentang ICS itu sendiri, menyusun organisasi ICS, membangun mekanisme organisasi, tujuan ICSnya, wilayah pengorganisasian ICS, basis pengorganisasiannya, pilihan komoditinya, pasar produk yang dituju, penyusunan standar proses produksi organik, serta spesifikasi produknya.

Sikap responden terhadap penerapan ICS dapat dinilai dengan mengajukan pertanyaan perseptual dengan skala likert. Menurut Sugiyono (2001) dalam Widyanto (2006), skala likert dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial. Singarimbun dan Effendi dalam Widyanto (2006), juga menyebutkan bahwa salah satu cara yang paling sering digunakan dalam menentukan skor adalah dengan menggunakan skala likert. Skala nilai yang diberikan dalam Skala likert dapat memberikan makna yang dapat diukur. Pengujian yang bersifat positif misalnya, nilai yang lebih besar dapat diartikan memiliki penilaian yang lebih bagus dan sebaliknya.

Persepsi anggota dari masing-masing kelompok dianalisis menggunakan biplot. Biplot tergolong dalam analisis eksploratif dimensi ganda yang dapat menyajikan secara simultan segugus objek pengamatan dan peubah dalam suatu grafik dua dimensi sehingga ciri-ciri peubah dan objek pengamatan serta posisi relatif antar objek pengamatan dengan peubah dapat dianalisis (Jollife 1986) dalam Nuryanti 2003.

Analisis biplot dapat diinterpretasikan sebagaimana diuraikan berikut ini: 1. Panjang vektor peubah sebanding dengan keragaman peubah tersebut. Semakin

panjang vektor peubah maka keragaman peubah tersebut semakin tinggi.

2. Nilai cosinus sudut antara dua vektor peubah menggambarkan korelasi kedua peubah. Semakin sempit sudut yang dibuat antara dua peubah maka semakin positif tinggi korelasinya. Apabila sudut yang dibuat tegak lurus maka kolerasi keduanya rendah, dan sebaliknya jika sudutnya tumpul (berlawanan arah) maka korelasinya negatif.

(42)

objek arah yang ditunjuk oleh suatu peubah maka semakin tinggi peubah tersebut ke objek itu, sedangkan jika arahnya berlawanan, maka nilainya rendah.

(43)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini didasarkan pada kerangka pemikiran bahwa penerapan Internal Control System (ICS) pada Gapoktan Simpatik memerlukan evaluasi sebagai informasi untuk melakukan tindakan perbaikan. Perbaikan perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk kemajuan anggotanya. Evaluasi ini dapat diketahui dengan melihat dan menganalisa persepsi anggota terhadap penerapan ICS dalam kelompok mereka. Penerapan ICS pada Gapoktan ini dilakukan pada banyak kelompok, baik yang telah berhasil disertifikasi maupun yang belum disertifikasi organik, sehingga evaluasi terhadap kedua macam kelompok ini diperlukan. Tujuan dari evaluasi ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi gapoktan untuk melakukan pembinaan baik kepada kelompok yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat. Informasi ini penting agar kelompok yang bersertifikat dapat mempertahankan stutus organik yang telah dimilikinya, dan bagi kelompok yang belum disertifikasi dapat memperoleh sertifikat organik.

(44)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

3.2. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini bersifat studi kasus dengan penentuan lokasi kajian dilakukan secara sengaja yaitu Gapoktan yang telah menerapkan sertifikasi organik dengan pola Internal Control System (ICS). Salah satu Gapoktan yang telah menerapkan ICS adalah Gapoktan Simpatik di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Gapoktan Simpatik merupakan gabungan 28 kelompok tani yang terdiri dari 2.333 orang anggota. Berdasarkan penilaian IMO tahun 2009 dari jumlah tersebut, 11 kelompok bersertifikat

organik, 3 kelompok tani dalam tahap konversi, dan 14 kelompok belum bersertifikat Karakteristik Gapoktan SIMPATIK

Kajian terhadap :

- Kondisi umum Gapoktan

- Kondisi umum kelompok tani responden

- Penerapan sistem pangan organik (evaluasi konseptual Sertifikasi organik dengan Internal Control System (ICS))

Petani bersertifikat

organik

Petani belum bersertifikat

organik

- Identifikasi faktor-faktor biaya - Identifikasi penerimaan

- Analisis pendapatan usahatani - Analisis R/C

- Analisis perbedaan tingkat pendapatan

Usahatani dan penerapan ICS yang lebih baik bagi kemajuan Gapoktan

- Analisis persepsi petani terhadap penerapan ICS dengan analisis biplot

(45)

27

(konvensional). Mengingat penelitian ini dibatasi oleh waktu dan biaya, maka penelitian

ini dibatasi hanya pada kelompok tani yang berada dalam satu kecamatan yaitu

Kecamatan Sukahening. Kelompok tani bersertifikat organik yang dijadikan contoh

adalah kelompok tani Srilangen 2 dari Desa Kiara Jangkung dan kelompok tani

Mekarjaya dari Desa Sunda Kerta, sedangkan kelompok yang belum bersertifikat adalah

kelompok tani Srilangen 1 dari Desa Kiara Jangkung dan kelompok tani Sribangkit 2

dari Desa Sundakerta. Total jumlah petani yang bersertifikat organik adalah 131 orang dan yang belum bersertifikat 110 orang. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan bahwa kedua desa saling berdekatan dan memiliki sumber perairan yang tidak jauh berbeda yaitu sama-sama berada di daerah hulu sungai yaitu Sungai Cideres dan Sungai Cigunungjaga sehingga memungkinkan mendapatkan air yang relatif belum terkontaminasi. Dengan demikian keberhasilan disertifikasi atau tidaknya keduanya memiliki peluang yang hampir sama. Peta hamparan desa Kiarajangkung yang berbatasan langsung dengan Sundakerta seperti disajikan pada Lampiran 1. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September hingga Desember 2010.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Data dan informasi yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode pengambilan data dilakukan dengan cara :

1. Data primer diperoleh melalui penelitian lapang dengan mengumpulkan data yang terkait langsung dengan topik penelitian. Data primer dilakukan dengan :

a. Interview yaitu tanya jawab langsung dengan pengurus Gapoktan dan ICS, pengurus kelompok tani, inspektor internal dan petani.

b. Observasi dengan melihat dan mengamati secara langsung kondisi dan pelaksanaan dilapang dan membandingkan dengan teori yang ada.

(46)

2. Data sekunder diperoleh dengan cara penelusuran ke perpustakaan, dokumen mutu dan data terkait lainnya dari Gapoktan Simpatik, laporan penelitian, artikel, majalah, karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah penelitian dan melalui internet.

3.4. Metode Penarikan Sampel

Sampel diambil dari dua kelompok yang berbeda yaitu petani yang bersertifikat organik dan yang tidak bersertifikat organik dalam satu kecamatan yang sama yaitu Kecamatan Sukahening. Masing-masing kelompok tani baik yang bersertifikat organik maupun yang tidak bersertifikat organik diambil contoh sebanyak 20 orang sehingga total responden berjumlah 80 orang. Penyebaran kuisioner dilakukan dengan metode judgement sampling yaitu memilih responden yang paling tepat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

3.5. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui kondisi umum Gapoktan Simpatik, dan data lainnya meliputi : - Kepengurusan Gapoktan dan kelompok tani

- Budidaya pertanian yang dilaksanakan dan kondisi geografis - Penerapan ICS meliputi prosedur dan kebijakan yang ditetapkan - Kepemilikan lahan

- Kelembagaan kelompok dan gapoktan - Hubungan kemitraan dengan traider - Permodalan Gapoktan dan kelompok tani

- Profil responden (usia, pendidikan, pengalaman, keluarga dll) - Informasi lain yang terkait

Analisis kuantitatif meliputi :

a) Analisis Pendapatan Usahatani

(47)

29

�= �� − �� Keterangan :

Pd = Pendapatan usahatani

TR = Total revenue (total penerimaan) TC = Total cost (total biaya)

Selanjutnya, untuk kedua jenis usahatani dilakukan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis) dengan rumus :

� = �

�฀

Keterangan : a = R/C ratio

R = Total penerimaan C = Total biaya

Nilai a > 1 menunjukkan bahwa usahatani layak untuk diusahakan, dan sebaliknya jika nilai a < 1 artinya usahatani tersebut tidak layak untuk diusahakan. Nilai a = 1 berarti bahwa usahatani berada dalam posisi tidak untung dan tidak rugi.

Sebelum melakukan uji perbedaan pendapatan usahatani bersertifikat dan yang tidak bersertifikat terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas. Uji homogenitas dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila data terdistribusi normal, maka dilakukan uji parametrik dengan uji t, namun bila data tidak terdistribusi secara normal, maka dilakukan uji non parametrik yaitu uji Mann-Whitney. Pengujian dilakukan dengan uji hipotesis dengan membandingkan nilai z hitung dan z tabel. Hipotesis Ho : µ=µ1 artinya rata-rata pendapatan usahatani bersertifikat dan yang tidak bersertifikat

sama dan H1 : µ ≠ µ1 yang berarti rata-rata pendapatan usahatani bersertifikat tidak

(48)

atau terima H1 yang berarti ada perbedaan pendapatan antara petani yang bersertifikat organik dengan yang tidak bersertifikat.

b) Analisis Perbedaan Pendapatan Usahatani

Analisis perbedaan pendapatan usahatani organik bersertifikat dan tidak bersertifikat memerlukan metode statistik. Menurut Walpole (1993) menyebutkan bahwa metode statistik adalah prosedur-prosedur yang digunakan untuk pengumpulan, penyajian, analisis dan penafsiran data. Metode-metode tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu statistik deskriptif dan inferensia statistik. Statistik deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna, sedangkan inferensia statistik mencakup semua metode yang berhubungan dengan analisis sebagian data untuk kemudian sampai pada peramalan atau penarikan kesimpulan mengenai keseluruhan gugus data induknya. Menurut Siegel (1994) dalam perkembangan metode-metode statistik moderen, teknik-teknik inferensia pertama yang muncul adalah teknik-teknik yang membuat sejumlah besar asumsi mengenai sifat populasi dari mana skor-skor diambil. Nilai-nilai popolasi yang diambil adalah berupa parameter sehingga disebut statistik parametrik. Perkembangan statistik selanjutnya juga memunculkan statistik non parametrik yang banyak digunakan untuk menganalisa data yang bersifat kualitatif.

Diantara analisis statistik parametrik yang banyak dikenal adalah uji t. Uji t dapat digunakan untuk menganalisa perbedaan dua mean (nilai tengah) baik pada sampel yang berhubungan maupun tidak. Pengujian analisa pendapatan usahatani organik bersertifikat dan tidak bersetifikat, dapat digunakan uji t yang diadopsi adalah uji t untuk analisis sampel yang tidak berhubungan (independen). Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan uji t untuk sampel yang tidak berhubungan diantaranya adalah :

a. Variabel yang dihubungkan berbentuk numerik dan kategorik b. Data harus homogen atau terdistribusi secara normal

c. Kedua kelompok data independen

(49)

31

homogenitas. Uji homogenitas berguna untuk melihat kehomogenan data sampel. Apabila hasil pengujian menunjukkan bahwa data tidak homogen, maka dapat dilakukan uji non parametrik yang tidak mempersyaratkan data harus homogen, namun dapat memberikan hasil yang lebih valid. Analisis uji dua sampel independen, dapat menggunakan uji Mann-Whitney. Asumsi-asumsi yang diperlukan untuk uji ini adalah : a. Data merupakan sampel acak hasil-hasil pengamatan X1, X2, …, Xn1, dari populasi 1 dan sampel acak hasil-hasil pengamatan Y1, Y2, …, Yn1, dari populasi 2.

b. Kedua sampel tidak saling mempengaruhi.

c. Variabel yang diamati adalah variabel acak kontinu.

d. Skala pengukuran yang dipakai sekurang-kurangnya ordinal.

e. Fungsi-fungsi distribusi kedua populasi hanya berbeda dalam hal lokasi, yakni apabila keduanya sungguh berbeda.

Untuk melakukan uji perbedaan pendapatan dilakukan dengan uji hipotesis. Menurut Sunyoto (2009) hipotesis pada dasarnya merupakan suatu proporsi atau tanggapan yang sering digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan/solusi persoalan dan juga untuk dasar penelitian lebih lanjut. Pengujian hipotesis statistik adalah prosedur yang memungkinkan keputusan dapat dibuat yaitu keputusan untuk menolak atau menerima hipotesis. Hipotesis yang dirumuskan dengan harapan akan ditolak membawa penggunaan istilah hipotesis nihil (Ho) yang mangakibatkan penerimaan suatu hipotesis alternatif (Ha, H1 atau Hi).

c) Analisis Persepsi Anggota terhadap Penerapan ICS

Analisis persepsi anggota terhadap penerapan ICS bertujuan untuk mengetahui sikap anggota baik dari kelompok bersertifikat organik dengan tidak bersertifikat terhadap penerapan ICS. Kelompok yang akan diamati meliputi kelompok tani Srilangen 1 dan Srilangen 2 dari Desa Kiara jangkung dan kelompok tani Mekarjaya

(50)

Tabel 3. Peubah pengamatan penerapan ICS pada kelompok tani

Kode Uraian

X1 Mengelola kemutahiran dan pendistribusian panduan ICS X2 Uraian struktur dan kegiatan kelompok

X3 Manajemen risiko

X4 Standar organik internal yang digunakan X5 Pengawasan lahan dan prosedur persetujuan X6 Personel organisasi dan ICS

X7 Pelatihan

X8 Pembelian, penanganan, pengolahan dan ekspor X9 Inspeksi dan sertifikasi eksternal

Sikap responden ditentukan dengan mengajukan pertanyaan yang terkait dengan peubah dalam bentuk skala likert. Penentuan skor atau nilai berdasarkan alternatif jawaban yang telah ditetapkan, yakni sebanyak 5 (lima) alternatif jawaban seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Skor dari Alternatif Jawaban

Alternatif Jawaban Skor Positif

Sangat tidak puas/sangat tidak paham 1

Tidak puas/tidak paham 2

Cukup puas/cukup paham 3

Puas/paham 4

Sangat puas/sangat paham 5

(51)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Sukahening merupakan salah satu dari 39 kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya. Kecamatan ini terdiri dari tujuh desa yaitu Desa Kudadepa, Sundakerta, Kiarajangkung, Sukahening, Calingcing, Banyurasa dan Banyuresmi. Berdasarkan letak geografisnya Kecamatan Sukahening sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciawi dan Jamanis, sebelah Timur dengan Kecamatan Rajapolah, sebelah Barat dengan Kabupaten Garut dan sebelah Selatan dengan Kecamatan Cisayong.

Potensi luas lahan untuk persawahan di Kecamatan Sukahening cukup besar yaitu 826 ha. Dari luas tersebut 30% merupakan lahan sawah yang terdapat di desa Kiarajangkung dan Sundakerta. Kedua desa ini merupakan desa yang letaknya paling tinggi dan berbatasan langsung dengan hutan rakyat sehingga peluang untuk menerapkan pertanian organik sangat memungkinkan. Wilayah ini memiliki ketinggian antara 650 m dpl sampai 750 dpl dengan tingkat kemiringan antara 8% sampai 59%. Sumber perairan utama pertanian di Kecamatan ini bersumber dari air pegunungan yang mengalir alami melalui sungai dan kemudian dialirkan melalui selokan-selokan kecil untuk dapat mencapai sawah-sawah yang ada. Jenis tanah di wilayah ini didominasi oleh jenis tanah Andosol coklat kekuningan dengan kedalamam olah efektif antara 30 cm sampai 80 cm.

Jumlah penduduk di Kecamatan Sukahening pada tahun 2007 tercatat 28.008 orang yang terdiri dari 14.116 orang laki-laki dan 14.132 orang perempuan. 3.519 orang merupakan warga Desa Sundakerta (12,6%) dan 3.553 orang merupakan penduduk Desa Kiarajangkung (12,7%). 77% penduduk Kecamatan Sukahening berpenghasilan dari sektor pertanian dan sisanya dari sektor lain seperti perdagangan dan jasa. Tingkat pendidikan lebih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) yakni sejumlah 52,84%, tingkat SLTP 32,43%, SLTA 8,47% dan sisanya 5,74% belum atau tidak tamat.

(52)

secara bertahap baru dimulai sejak tahun 2006. Sejak tahun 2001, kelembagaan petani pun ikut berkembang, terbukti dengan semakin banyaknya terbentuk kelompok tani dari sebelumnya hanya 21 kelompok menjadi 32 kelompok atau meningkat 50%. Salah satu kelompok tani yang terbentuk di Desa Kiarajangkung sejak mengenal pertanian organik adalah kelompok tani Srilangen 1 yang berdiri tahun 2001 dan Srilangen 2 yang berdiri tahun 2002, sedangkan di Desa Sundakerta terbentuk kelompok tani Mekarjaya yang berdiri tahun 2001 dan kelompok tani Sribangkit 2 yang berdiri tahun 2004.

4.2. Keadaan Umum Responden

Berdasarkan tingkat usia responden, untuk kelompok petani yang bersertifikat organik, 47,5% merupakan petani dengan usia antara 32 tahun - 48 tahun, 50% berusia antara 49 tahun - 64 tahun, dan sisanya 2,5% berusia diatas 64 tahun. Responden dari kelompok tani yang tidak bersertifikat organik 42,5% berusia antara 32 tahun – 48 tahun, 50% berusia antara 49 tahun – 64 tahun dan 7,5% berusia diatas 64 tahun. Berdasarkan data tersebut secara total usia responden adalah 45 % berusia antara 32 tahun – 48 tahun, 50% berusia antara 49 tahun – 64 tahun dan 5% berusia lebih dari 64 tahun. Menurut Wirosoehardjo (1981) batasan usia produktif penduduk adalah antara 15 tahun – 64 tahun, sehingga berdasarkan data responden yang ada, 95% responden berada dalam usia produktif. Data lengkap usia responden dapat dilihat dalam Tabel 5.

Tabel 5. Data Responden berdasarkan Tingkat Usia

Usia Sumber : Data primer diolah (2011)

(53)

35

bersertifikat organik 97,5% merupakan responden yang berpendidikan hanya tamatan SD, dan 2,5% berpendidikan SLTP. Sesuai data tersebut, terlihat ada perbedaan tingkat pendidikan antara kelompok tani yang bersertifikat organik dengan kelompok yang tidak bersertifikat organik. Responden yang bersertifikat organik memiliki anggota yang berpendidikan sarjana, yang merupakan pengurus kelompok tani, dan berperan besar sebagai motor penggerak dalam kelompok untuk menerapkan pertanian organik sehingga berhasil disertifikasi organik. Secara umum tingkat pendidikan pada semua kelompok relatif masih rendah yaitu tamatan SD. Secara lengkap data tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Data Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Sumber : Data primer diolah (2011)

(54)

Tabel 7. Data Responden berdasarkan Jumlah Tanggungan

Jumlah Tanggungan

(orang)

Jenis Kelompok

Total Persentase (%) Bersertifikat Tidak Bersertifikat

Jumlah Persentase

(%) Jumlah

Persentase (%)

< 3 13 32,5 24 60 37 46,25 3- 5 24 60 13 32,5 37 46,25 >5 3 7,5 3 7,5 6 7,5 Jumlah 40 100 40 100 80 100 Sumber : Data primer diolah (2011)

(55)

37

Tabel 8. Data Responden berdasarkan Kepemilikan Lahan

Luas Lahan Sumber : Data primer diolah (2011)

Petani organik yang telah bersertifikat maupun yang tidak bersertifikat memiliki perbedaan dari lamanya pengalaman dalam bertani organik. Dari responden yang diamati, untuk kelompok yang telah bersertifikat organik, semua responden merupakan petani yang telah menerapkan pertanian organik lebih dari 3 tahun, sedangkan untuk kelompok yang belum bersertifikat organik semua responden memiliki pengalaman bertani organik kurang dari 3 tahun.

4.3. Analisis Pendapatan Usahatani

4.3.1. Biaya Usahatani

Gambar

Gambar 1. Struktur Organisasi dan Pola Kerja ICS pada Gapoktan Simpatik
Tabel 2.  Perbedaan Sistem Budidaya Pertanian Organik dengan Pertanian
Gambar 2.  Kerangka Pemikiran
Tabel 7.   Data Responden berdasarkan Jumlah Tanggungan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Aliansi / joint development (produksi, pemasaran) (S1,2,3,4,5,6 – T1,T3,T4) Dengan adanya klaster industri, produk yang memiliki karakteristik relatif sama dapat dikembangkan

Upaya yang dapat ditempuh guru dalam meningkatkan self-confidence siswa dalam belajar matematika adalah menerapkan model inkuiri terbimbing dalam proses pembelajaran..

Peningkatan dari tes kemampuan awal ke siklus I juga belum mencapai tingkat kemampuan atau ketuntasan klasikal secara keseluruhan, sehingga diberikan tindakan

Lingkup dan tujuan penelitian ini adalah membuat suatu formulasi sediaan pasta gigi herbal dari kombinasi ekstrak gambir dengan daun sirih dengan menggunakan

Suatu produk dengan ekuitas merek yang kuat dapat membentuk landasan merek yang kuat, sehingga dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam melakukan pembelian sebuah produk.Penelitian

Klortalidon adalah merupakan suatu derivat tiazid yang bersifat seperti hidroklorotiazid. Memiliki ,asa kerja yang panjang dank arena itu sering digunakan untuk

Dalam pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah cara pembuatan dari mulai menentukan struktur navigasi, membuat design antarmuka , pembentukan elemen, penggabungan

Aspek yang tidak kalah pentingnya dalam pelayanan pendidikan adalah Responsiveness yaitu sikap cepat tanggap karyawan Universitas Warmadewa kepada mahasiswa, penilaian