• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Strategy to improve competence of Islamic Extension Agent in Three Districts of West Java Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Strategy to improve competence of Islamic Extension Agent in Three Districts of West Java Province"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENINGKATAN KOMPETENSI PENYULUH

AGAMA ISLAM DI TIGA DAERAH

PROVINSI JAWA BARAT

MOHAMMAD TAUFIK HIDAYATULLOH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Strategi Peningkatan Kompetensi Penyuluh Agama Islam di Tiga Daerah Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Mohammad Taufik Hidayatulloh NIM I.361100041

(4)
(5)

RINGKASAN

MOHAMMAD TAUFIK HIDAYATULLOH. Strategi Peningkatan Kompetensi Penyuluh Agama Islam di Tiga Daerah Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO, MA’MUN SARMA dan PANG S ASNGARI.

Disertasi ini menjelaskan tentang peningkatan kompetensi Penyuluh Agama Islam. Tujuan penelitian adalah: (1) Menganalisis karakteristik pribadi Penyuluh Agama Islam, motivasi kerja Penyuluh Agama Islam, tingkat pelaksanaan peran Penyuluh Agama Islam, dukungan kelembagaan penyuluhan, dukungan lingkungan sosial, tingkat pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam, dan kompetensi Penyuluh Agama Islam, (2) Menganalisis pengaruh karakteristik pribadi Penyuluh Agama Islam, motivasi kerja Penyuluh Agama Islam, tingkat pelaksanaan peran Penyuluh Agama Islam, dukungan kelembagaan penyuluhan dan dukungan lingkungan sosial terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam, (3) Menganalisis pengaruh karakteristik pribadi Penyuluh Agama Islam, motivasi kerja Penyuluh Agama Islam, tingkat pelaksanaan peran Penyuluh Agama Islam, dukungan kelembagaan penyuluhan, dukungan lingkungan sosial dan tingkat pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam terhadap kompetensi Penyuluh Agama Islam, dan (4) Merumuskan strategi peningkatan kompetensi Penyuluh Agama Islam di tiga daerah Provinsi Jawa Barat.

Penelitian ini dilakukan dari bulan September-Desember 2012 di Provinsi Jawa Barat (Kota Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Ciamis). Sampel penelitian berjumlah 114 orang Penyuluh Agama Islam dan 120 kelayan penyuluhan agama. Sampel Penyuluh Agama Islam diambil dengan menggunakan prosedur sensus dan sampel kelayan penyuluhan agama diambil dengan menggunakan Teknik Bola Salju. Data penelitian diolah sesuai dengan tujuan penelitian di antaranya analisis statistik deskriptif, analisis Uji Beda Mann Whitney, Path Analysis dan analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan induktif.

(6)

kelembagaan penyuluhan dan mengembangkan kerjasama dengan stakeholders

penyuluhan agama.

Kata kunci: Penyuluh Agama Islam, kelembagaan penyuluhan, lingkungan sosial, tingkat pemenuhan kebutuhan dan kompetensi

(7)

SUMMARY

MOHAMMAD TAUFIK HIDAYATULLOH. The Strategy to improve competence of Islamic Extension Agent in Three Districts of West Java Province. Supervised by: PUDJI MULJONO, MA’MUN SARMA, and PANG S ASNGARI.

This dissertation describes on the increasing of Islamic Extension Agent competencies. The objectives of this research are to : (1) analyze the personal characteristics of Islamic Extension Agent, job motivation, the role of implementation of Islamic Extension Agent, institutional support of extention, social environment supports, the fulfillment degree of Islamic Extension Agent, and Islamic Extension Agents competencies, (2) analyze the influence of personal characteristics of Islamic Extension Agent, their job motivation, the level of role implementation of Islamic Extension Agent, institutional support, environmental and social support to the fulfillment of the role of Islamic Extension Agent, (3) analyze the influence of personal characteristics of Islamic Extension Agent, their job motivation, the level of implementation of the role of Islamic Extension Agent, institutional support, social and environmental support level fulfillment of Islamic Extension Agent against the competencies of Islamic Extension Agent, and ( 4) to formulate the strategies for improving the competencies of Islamic Extension Agent in three districts of West Java Province.

This study was conducted from September to December 2012 located in Bandung City, Bogor and Ciamis Districts in the province of West Java. Meanwhile the respondents amounted of 114 of Islamic Extension Agent and 120 clients under their guidance of Islamic Learning Group (Majelis Ta’lim) members. Sampling procedure was taken by census of Islamic Extension Agent and by using the Snowball Technique for majelis ta’lim members. The Data collection techniques were questionnaire, observation, in-depth interview, and documentary study. The statistical analysis used were descriptive statistic analysis and path analysis of different test Mann Whitney, path analysis and qualitative analysis were done by using an inductive approach.

The findings indicated that: (1) the positive personal characteristics of Islamic Extention Agent are the age, informal education and learning orientation degree; affiliated impulse is the highest kind of job motivation; the role of motivator is the highest kind of type; extention institutional support indicates the low category, especially in terms of facilities and education resources ; whereas the social environment support sphere shows the highest category; need for creativity is the highest kind of fulfillment too; The most lowest competency lies in developing professional competence and develop the extension, (2) the factors that affect the fulfillment of Islamic Extension Agent are: age; the role of educator; central institution policy support; and support of the leader, (3 ) Competence Extension Islam influenced by : the level of learning orientation ; job motivation; the role of motivator ; support facilities and extension resources; information needs; and the fulfillment need of Islamic Extension Agent, (4) increasing the competence Extension Strategies Islamic done by strengthening extention of institutional support and develop cooperation with the extention stakeholders.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

STRATEGI PENINGKATAN KOMPETENSI PENYULUH

AGAMA ISLAM DI TIGA DAERAH

PROVINSI JAWA BARAT

MOHAMMAD TAUFIK HIDAYATULLOH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc

(11)

Judul Penelitian : Strategi Peningkatan Kompetensi Penyuluh Agama Islam di Tiga Daerah Provinsi Jawa Barat

Nama : Mohammad Taufik Hidayatulloh

NIM : I.361100041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si Ketua

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec Prof. Dr. Pang S Asngari Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(12)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat, hidayah dan inayah-Nya telah memberi kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian disertasi dengan judul “Strategi Peningkatan Kompetensi Penyuluh Agama Islam di Tiga Daerah Provinsi Jawa Barat.”

Berbagai pihak telah terlibat dalam menyelesaikan disertasi ini, oleh sebab itu penulis mengucapkan banyak terima kasih terutama kepada para responden, baik Penyuluh Agama Islam maupun kelayan penyuluhan agama di Kota Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Ciamis yang telah menyediakan waktu untuk diwawancarai. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Pudji Muljono, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang disela-sela kesibukannya masih sempat memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada penulis. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS. M.Ec yang secara intensif mencurahkan pikiran dan waktu beliau yang sangat banyak kepada penulis dan kepada Prof. Dr. Darwis S Gani, MA (Alm) penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dengan kebaikan dan kebijaksanaannya membimbing penulis hingga draft disertasi siap untuk diujikan. Kepada Prof. Dr. Pang S Asngari selaku anggota komisi pembimbing pengganti yang telah memberikan kebijaksanaan demi sempurnanya disertasi ini. Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si dan Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc selaku penguji pada ujian tertutup, serta Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA, MH dan Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc selaku penguji pada ujian terbuka.

Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada orang tua, mertua, semua keluarga, saudara dan sahabat. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta Masruro atas pengertiannya yang mendalam, pengorbanan yang besar dan dukungan tak terhingga serta ke dua putri terhebat Najma Hagia dan Ghaida Puskanegara atas semua rajukan dan do’a mereka. Selanjutnya kepada teman-teman seperjuangan PPN penulis ucapkan terimakasih atas semua sharing dan kebersamaannya.

Tiada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan disertasi ini. Akhirnya sampailah pada penghujung kata semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, 3 Februari 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Masalah dan Tujuan Penelitian ... 3

Telaah Pustaka ... 4

Kerangka Berpikir Konseptual ... 25

II DESKRIPSI PENYULUH AGAMA ISLAM DAN FAKTOR- FAKTOR TERKAIT DI TIGA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT Pendahuluan ... 39

Metode Penelitian ... 40

Hasil dan Pembahasan ... 44

Simpulan ... 81

III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PEMENUHAN KEBUTUHAN PENYULUH AGAMA ISLAM DI TIGA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT Pendahuluan ... 83

Kerangka Berpikir ... 84

Hipotesis Penelitian ... 85

Metode Penelitian ... 86

Hasil dan Pembahasan ... 89

Simpulan ... 95

IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMPETENSI PENYULUH AGAMA ISLAM DI TIGA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT Pendahuluan ... 96

Kerangka Berpikir ... 97

Hipotesis Penelitian ... 101

Metode Penelitian ... 101

Hasil dan Pembahasan ... 107

Simpulan ... 117

V PEMBAHASAN UMUM ... 118

VI SIMPULAN DAN SARAN ... 132

DAFTAR PUSTAKA ... 135

(14)

DAFTAR TABEL

1.1 Perbedaan antara Penyuluh Agama Islam Fungsional dengan Penyuluh Agama Islam Honorer

7

1.2 Pengelompokan majelis ta’lim 11

1.3 Analisis tingkat pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam 21

1.4 Analisis kompetensi Penyuluh Agama Islam 23

1.5 Analisis kompetensi inti Penyuluh Agama Islam 24 1.6 Menuju paradigma pengembangan penyuluhan agama yang berbasis

pada pemenuhan kebutuhan masyarakat

25

1.7 Ciri-ciri kompetensi Penyuluh Agama Islam 27

1.8 Ciri-ciri karakteristik pribadi Penyuluh Agama Islam 30 1.9 Ciri-ciri motivasi kerja Penyuluh Agama Islam 31 1.10 Ciri-ciri tingkat pelaksanaan peran Penyuluh Agama Islam 32 1.11 Ciri-ciri dukungan kelembagaan penyuluhan 33

1.12 Ciri-ciri dukungan lingkungan sosial 35

1.13 Ciri-ciri tingkat pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam 36 2.1 Sebaran karakteristik pribadi responden (X1) 46

2.2 Sebaran motivasi kerja responden (X2) 49

2.3 Sebaran tingkat pelaksanaan peran responden (X3) 52

2.4 Sebaran dukungan kelembagaan penyuluhan(X4) 56

2.5 Sebaran dukungan lingkungan sosial (X5) 63

2.6 Sebaran tingkat pemenuhan kebutuhan responden (Y1) 67

2.7 Sebaran kompetensi Penyuluh Agama Islam menurut persepsi Penyuluh Agama Islam (Y2)

72 2.8 Sebaran kompetensi Penyuluh Agama Islam menurut

persepsi kelayan penyuluhan agama (Y3)

78 3.1 Hasil analisis regresi tingkat pemenuhan kebutuhan

Penyuluh Agama Islam

91 4.1 Sebaran lokasi penelitian berdasarkan tipologi daerah dan

wilayah

101 4.2 Gradasi Skala Likert dengan menggunakan empat pilihan 103 4.3 Hasil analisis regresi kompetensi Penyuluh Agama Islam 109 4.4 Dekomposisi pengaruh antar peubah model tingkat pemenuhan

kebutuhan dan kompetensi Penyuluh Agama Islam

111 5.1 Perubahan nomenklatur kelembagaan penyuluhan agama

di lingkungan Kementerian Agama

(15)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Model gunung es dan lingkaran terpusat kompetensi 22

1.2 Kerangka berpikir konseptual 37

3.1 Hubungan antar peubah faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam

86 3.2 Gambaran model faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam

88 3.3 Diagram faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pemenuhan

kebutuhan Penyuluh Agama Islam

90 4.1 Hubungan antar peubah faktor-faktor yang mempengaruhi

kompetensi Penyuluh Agama Islam

100 4.2 Gambaran model faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi

Penyuluh Agama Islam

106 4.3 Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam dan kompetensi Penyuluh Agama Islam

110

5.1 Model peningkatan kompetensi Penyuluh Agama Islam di tiga daerah, Provinsi Jawa Barat

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tujuan pendekatan berdasarkan kelompok sasaran penyuluhan agama

144 2 Analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam

146 3 Analisis jalur melalui regresi faktor-faktor yang mempengaruhi

kompetensi Penyuluh Agama Islam

164 4 Perhitungan validitas item instrumen penelitian pada kuesioner

responden Penyuluh Agama Islam

186

5 Perhitungan reliabilitas instrumen 190

6 Hasil analisis uji beda U Test (Mann Whitney) kompetensi

Penyuluh Agama Islam menurut penyuluh dan kelayan antar lokasi penelitian

192

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 Juni 1976 sebagai anak kedua dari pasangan H. Yahya Munajat (Alm) dan Hj. Siti Barkah. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Studi Islam Universitas Djuanda Bogor, lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) pada Program Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dan selesai pada akhir tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan dengan biaya mandiri ke program doktor diperoleh pada tahun 2010 pada Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah di Kabupaten Bogor, selain menjadi salah seorang pengurus MUI Kabupaten Bogor, juga menjadi pengurus BAZNAS Kabupaten Bogor. Penulis juga tercatat sebagai Penyuluh Agama Islam di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor mulai tahun 2009. Selanjutnya penulis mengajar di Universitas Nusa Bangsa Bogor dan STKIP Ar Rahmaniyah Depok.

(18)
(19)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Agama dalam pembangunan nasional berfungsi sebagai landasan spiritual, moral dan etika yang menempatkannya pada kedudukan dan peranan yang sangat strategis. Menjadikan agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh semua komponen bangsa, baik dalam tataran individu, keluarga, komunitas maupun bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu akan sangat wajar bila pembangunan bidang agama Islam perlu mendapat perhatian terutama berkaitan dengan penghayatan maupun pengamalan agama. Hal tersebut sekali lagi perlu mendapatkan prioritas semata-mata karena pembangunan bidang keagamaan memiliki nilai strategis.

Selama ini, pembangunan bidang keagamaan mengarah kepada beberapa hal (Romly 2003), yaitu: (1) Peningkatan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan sistem pendidikan nasional dengan didukung sarana dan prasarana yang memadai, (2) Peningkatan dan pemantapan kerukunan hidup antar umat beragama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangan kemajemukan melalui dialog antar umat beragama, (3) Peningkatan kemudahan umat beragama dalam menjalankan ibadahnya, termasuk penyempurnaan kualitas pelaksanaan ibadah haji dan pengelolaan zakat dengan memberikan kesempatan luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraannya, dan (4) Peningkatan peran dan fungsi lembaga-lembaga keagamaan dalam ikut mengatasi dampak perubahan yang terjadi dalam semua aspek kehidupan untuk memperkukuh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua pembangunan tersebut diusahakan untuk dapat mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin. Dengan demikian pembangunan bidang keagamaan mencakup di dalamnya peningkatan kualitas pendidikan agama, pemantapan kerukunan umat beragama, peningkatan akses beribadah umat beragama serta pengkapasitasan lembaga keagamaan menuju kelembagaan yang profesional dan mandiri.

(20)

hidup beragama (Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009b).

Penyuluhan agama merupakan ujung tombak untuk menjawab berbagai tantangan di muka baik dalam tingkat mikro (individual), messo (lintas sektoral), maupun makro (masyarakat). Pada tingkat mikro, penyuluhan agama dapat meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama, serta memahami cara untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Tingkat messo, penyuluhan agama berperan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan (lingkungan hidup), meningkatkan pemahaman tentang pentingnya kebersihan (kesehatan), meningkatkan pemahaman masyarakat akan berbagai aspek agama dalam pertanian seperti: praktek mudharabah, musyarakah, zakat pertanian dan sebagainya (pertanian). Di tingkat makro dapat mencegah munculnya radikalisme, dan mencegah meluasnya pengaruh aliran sesat. Secara umum penyuluhan agama telah memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional.

Di tengah giatnya pembangunan agama ini, terdapat berbagai kendala penyuluhan agama di daerah penelitian, yaitu faktor internal berupa: (1) Penyuluh Agama Islam (PAI) belum dibekali oleh kecukupan sarana maupun prasarana penunjang tugas oleh organisasinya, dan (2) PAI mendapatkan tugas yang memerlukan pembiayaan lebih sehingga sangat membebani penyuluh. Akibatnya, pelaksanaan tugas oleh PAI hanya didasarkan pada orientasi pemenuhan tugas minimal dibanding orientasi pelayanan prima terhadap masyarakat. Kondisi yang seperti ini yang berdampak pada menurunnya kualitas layanan bimbingan dan penyuluhan agama yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kompetensinya.

Kendala lain datang dari faktor eksternal berupa: banyaknya kemaksiatan dan munculnya aliran sesat yang dapat menyebabkan goyahnya benteng rohaniah umat. Ketiga daerah penelitian telah menunjukkan berbagai kasus keagamaan yang memicu konflik bernuansa agama yang bermula dari ketidakpahaman akan ajaran agama. Tampilnya radikalisme yang mengatasnamakan agama. Sebagaimana disebutkan Umar (2008) bahwa masalah lainnya yang bersentuhan dengan bimbingan masyarakat adalah masalah aliran sesat dan radikalisme. Kondisi ini tentunya akan menyulitkan PAI dalam menjalankan tugasnya karena tidak ditunjang oleh kompetensi yang sesuai untuk menjawab berbagai tantangan eksternal tersebut.

Memperhatikan kondisi kendala internal PAI dan berbagai tantangan eksternal menunjukkan pentingnya PAI memiliki kompetensi yang kuat untuk dapat mewujudkan peningkatan keimanan dan ketaqwaan masyarakat terhadap TuhanNya dan mengamalkan ajaran agama dalam berbakti kepada nusa dan bangsa melalui peningkatan partisipasinya dalam menyukseskan pembangunan.

(21)

Masalah dan Tujuan Penelitian

Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk turut berperan mensukseskan pembangunan nasional dapat ditempuh melalui peningkatan kompetensi PAI. Kompleksnya permasalahan dan beratnya tantangan dalam kehidupan keagamaan mengakibatkan PAI harus memiliki kompetensi yang unggul. Melalui kompetensi yang tinggi, PAI akan dapat mengelola kegiatan penyuluhan agama dengan tepat dan optimal.

Upaya untuk meningkatkan kompetensi PAI memerlukan karakteristik pribadi yang kuat sebagai modal dasar pengembangan sumber daya manusia. PAI tidak dapat sendirian dan melakukan tugas apa adanya, melainkan sangat membutuhkan berbagai dukungan baik dari lingkungan sosial maupun kelembagaan penyuluhan. Melalui dukungan tersebut, PAI memiliki legitimasi yang kuat sekaligus akan dapat mengalokasikan berbagai jenis dukungan untuk mengatasi kendala yang ditemui bahkan dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kekuatan perubahan perilaku yang diharapkan.

Peningkatan kompetensi PAI akan berhasil dengan baik bila ditunjang dengan tingkat motivasi yang kuat. Dengan motivasi yang kuat PAI akan terdorong untuk terus menerus mengasah diri agar dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Kompetensi PAI akan berhasil dengan baik bila dapat melakukan berbagai peran penyuluh. Peran yang terus menerus dilakukan PAI pada akhirnya akan meningkatkan beberapa aspek kemampuan yang menjadi komponen kompetensinya.

PAI dalam menjalankan tugas pekerjaannya membutuhkan pengambilan keputusan yang tepat, kepercayaan terhadap apa yang dilakukan dan kemampuan memecahkan masalah. Semuanya itu akan dapat tercapai bila PAI terpenuhi semua kebutuhannya. Terpenuhinya kebutuhan PAI akan semakin meningkatkan kesadaran aktualisasi dirinya yang memerlukan dukungan kompetensi yang kuat. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini memfokuskan pada masalah : (1) Bagaimana karakteristik pribadi PAI, motivasi kerja PAI, tingkat pelaksanaan

peran PAI, dukungan kelembagaan penyuluhan, dukungan lingkungan sosial, tingkat pemenuhan kebutuhan PAI dan kompetensi PAI ?

(2) Sejauhmana pengaruh karakteristik pribadi PAI, motivasi kerja PAI, tingkat pelaksanaan peran PAI, dukungan kelembagaan penyuluhan dan dukungan lingkungan sosial terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan PAI.

(3) Sejauhmana pengaruh karakteristik pribadi PAI, motivasi kerja PAI, tingkat pelaksanaan peran PAI, dukungan kelembagaan penyuluhan, dukungan lingkungan sosial dan tingkat pemenuhan kebutuhan PAI terhadap kompetensi PAI.

(4) Bagaimana strategi peningkatan kompetensi PAI untuk mewujudkan sumber daya manusia profesional di Kota Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.

Sebagaimana rumusan masalah di atas, penelitian tentang kompetensi PAI di Kota Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Ciamis ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

(22)

lingkungan sosial, tingkat pemenuhan kebutuhan PAI dan kompetensi PAI ? (2) Menganalisis pengaruh karakteristik pribadi PAI, motivasi kerja PAI, tingkat

pelaksanaan peran PAI, dukungan kelembagaan penyuluhan dan dukungan lingkungan sosial terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan PAI.

(3) Menganalisis pengaruh karakteristik pribadi PAI, motivasi kerja PAI, tingkat pelaksanaan peran PAI, dukungan kelembagaan penyuluhan, dukungan lingkungan sosial dan tingkat pemenuhan kebutuhan PAI terhadap kompetensi PAI.

(4) Merumuskan strategi peningkatan kompetensi PAI untuk mewujudkan sumber daya manusia profesional di Kota Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.

Telaah Pustaka

Penyuluhan Agama Islam

Penyuluhan Agama

Menurut Misra (1991) terdapat empat hal yang harus diwujudkan dalam setiap pembangunan, yaitu: (1) Barang bagi masyarakat yang lebih banyak dan lebih lestari, (2) Menghargai sesama dan menjadi manusiawi, (3) Bebas dari tirani, dan (4) Kehidupan masyarakat yang memiliki “sense of belonging” yang

tinggi. Dengan kata lain, selain pembangunan bertujuan untuk terpenuhinya kebutuhan fisik, juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan mental masyarakatnya. Pembangunan juga bertujuan untuk mengembangkan rasa kebersamaan dan kepemilikan yang tinggi terhadap hasil-hasil pembangunan. Keempat elemen pembangunan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan demikian jika komponen yang satu dicapai, namun tidak berhasil mencapai elemen yang lain, maka proses tersebut tidak dapat disebut sebagai pembangunan.

Untuk melaksanakan pembangunan secara nyata di lapangan tentunya memerlukan berbagai upaya pendekatan untuk memecah suatu tujuan besar ke dalam tujuan-tujuan kecil. Selain itu, pembangunan juga memerlukan proses kerja di mana selama prosesnya, pembangunan dilakukan melalui dua cara (Ndraha 1986), yaitu: (1) Secara staretual (Melalui tahapan manajemen yang baik), dan (2) Secara spiritual (Pembentukan pola pikir manusia pembangunan). Satu cara dengan mempersiapkan alat dan teknologi, dan cara lainnya dengan membentuk pola pikir manusianya. Dengan demikian, tujuan hakiki pembangunan bukan hanya menitikberatkan kepada sarana dan prasarana saja, melainkan juga terhadap mental manusia yang melakukan pembangunan itu sendiri. Pembangunan pada dasarnya menjadikan manusia sebagai subjek ataupun pelaku pembangunan daripada menjadikan manusia sebagai objek pembangunan. Dengan menjadikan manusia sebagai subjek pembangunan, maka manusia akan memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan untuk mempengaruhi masa depannya.

(23)

pembangunan dan sebagai motivasi untuk meningkatkan mutu kehidupan. Pembangunan yang berhasil dalam berbagai bidangnya telah diiringi dengan peran pendidikan moral sebagaimana hasil beberapa penelitian di antaranya Nitobe tentang moral Bushido dan Weber tentang moral Protestan (Langgulung 1995). Dengan demikian, peran agama dalam pembangunan sebagai instrumen pelembagaan nilai-nilai positif dalam kehidupan dan sarana yang efektif untuk mewujudkan pembangunan. Pelembagaan nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan agama yang berkisar antara dua dimensi hidup, yaitu: penanaman rasa taqwa kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama (Madjid 2010). Pendidikan keagamaan dapat ditempuh dengan melalui jalur formal, informal maupun non formal.

Untuk pembangunan bidang keagamaan, diperlukan program pendidikan non formal berupa penyuluhan agama yang akan dapat mengubah pola pikir masyarakat dari pasif menjadi aktif, mampu menghasilkan perubahan-perubahan nyata, bukannya perubahan semu, dari objek menjadi subjek sebagaimana dianjurkan oleh ajaran agama. Sebagaimana disampaikan Sumardjo (2012) bahwa penyuluhan idealnya mampu mengubah sasaran penyuluhan baik secara individu, kelompok maupun masyarakat dari kondisi “apatis” ke kondisi “berdaya” dan bermuara pada kondisi “mandiri”. Penyuluhan agama sebagai salah satu jalur pendidikan non formal dalam pembangunan bidang keagamaan merupakan salah satu cara terbaik untuk mencapai tujuan pembangunan karena melibatkan begitu banyak masyarakat dan sekaligus para tokoh agama yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.

Salah satu penyuluhan agama adalah penyuluhan agama Islam yang pada mulanya dikenal sebagai Penyiaran Agama Islam di Indonesia yang dilaksanakan oleh para pemuka agama seperti ulama, kiyai, mubaligh/mubalighah, ustadz/ustadzah, da’i/da’iyah atau mu’alim/mua’alimah yang secara langsung menyampaikannya kepada masyarakat (Departemen Agama Kantor Wilayah Jawa Barat 2009b). Kegiatan tersebut lebih dikenal dengan sebutan tabligh atau dakwah yang dilakukan di rumah-rumah, langgar, mushola, masjid, sekolah, madrasah, pesantren, majelis ta’lim dan tempat lainnya. Hal-hal yang disampaikannya dapat berupa masalah kemasyarakatan atau masalah pemahaman ajaran Agama Islam. Kegiatan ini disinyalir sudah dilaksanakan sejak awal mula masuknya Islam di Indonesia.

(24)

petugas penerangan agama.

Kegiatan penyuluhan agama ini semakin tumbuh subur dalam masyarakat sehingga timbul badan-badan atau organisasi pembinaan rohani baik secara struktural resmi maupun struktural tidak resmi yang kemudian dikenal dengan nama Binroh (Bimbingan Rohani), Babinrohis (Badan Pembinaan Rohani Islam), Bintal (Pembinaan Mental), Rawatan Rohani dan sebagainya. Kegiatan pembinaan rohani ini kemudian ditingkatkan melalui pembinaan karyawan dan keluarganya yang diselenggarakan baik di kantor-kantor maupun komplek-komplek perumahan, di rumah-rumah para pejabat, di pendopo maupun tempat lainnya di masyarakat (Departemen Agama Kantor Wilayah Jawa Barat 2009b). Istilah penyuluhan agama ini kemudian dikenal dengan bimbingan atau penyuluhan agama.

Penyuluhan agama ini merupakan kegiatan nonformal dalam bidang keagamaan. Menurut HM. Arifin (dalam Romly 2003) bahwa penyuluhan agama sebagai segala kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami kesulitan-kesulitan rohaniah dalam lingkungan hidupnya. Penyuluhan agama dengan demikian merupakan bagian dari konsep dakwah yang dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan religious social engeneering—yaitu kegiatan pendidikan non formal yang ditujukan kepada kelompok sasaran untuk lebih berperan dalam membentuk pola perilaku keagamaannya sebagai syarat untuk dapat memperbaiki kualitas kehidupannya menjadi lebih baik. Penyuluhan agama selain sangat diperlukan dalam tataran organisasi negara, juga diperlukan dalam tataran sosial kemasyarakatan (Asy Syabanah 2004).

Menurut Williamson (dalam Arifin 1996), penyuluhan agama dikaitkan juga dengan kegiatan layanan bimbingan atau konseling (counseling) yang diartikan sebagai suatu bentuk khas daripada hubungan antara kelayan yang relatif dalam waktu singkat dengan konselor. Konselor ini memiliki pengalaman yang cukup memadai bagi pemecahan problema yang berhubungan dengan perkembangan seseorang. Konselor juga memberikan cara untuk memperlancar perkembangan tersebut di satu pihak dan klien di pihak lain yang sedang menghadapi kesulitan yang jelas maupun yang tak jelas dalam upaya mencapai pengendalian dan pengarahan dirinya ke arah perkembangan yang diinginkan.

Dalam penelitian ini, penyuluhan agama adalah kegiatan pendidikan non formal yang ditujukan kepada kelompok sasaran umat Islam untuk lebih berperan dalam membentuk pola perilaku keagamaannya sebagai syarat untuk dapat memperbaiki kualitas kehidupannya menjadi lebih baik.

Definisi Penyuluh Agama Islam

(25)

untuk melaksanakan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan kepada masyarakat melalui pendekatan bahasa agama. Penyuluh agama honorer merupakan penyuluh dari kalangan masyarakat umum. Mereka adalah pembimbing umat beragama dalam rangka pembinaan mental, moral dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Istilah honorer di sini dikarenakan mereka mendapatkan honorarium yang diberikan setiap bulan sebagai ucapan terimakasih atas pengabdiannya itu (Departemen Agama Kantor Wilayah Jawa Barat 2009b).

Tabel 1.1 Perbedaan antara Penyuluh Agama Islam Fungsional dengan Penyuluh Agama Islam Honorer

No Unsur Penyuluh Agama

Fungsional

Penyuluh Agama Honorer

1 Status pekerjaan PNS Non PNS

2 Pendidikan yang dipersyaratkan

Jurusan Dakwah, Ushuluddin, Syariah, Teologi

Tidak ada pendidikan khusus yang dipersyaratkan, namun

diprioritaskan kepada S1 semua jurusan

3 Sistem perekrutan Penyeleksian melalui tes maupun pengangkatan dari Penyuluh Agama Honorer

Penunjukan berdasarkan kelayakan

4 Tingkatan Penyuluh Agama muda, madya dan utama

Tidak ada tingkatan

5 Wilayah penugasan

Kecamatan Kelurahan / Desa

6 Pemberian insentif

Gaji Honorarium

Tidak ada pembagian tingkatan penyuluh agama honorer ini, namun berbeda dengan penyuluh agama fungsional yang terbagi menjadi 3 (tiga) klasifikasi, yaitu:

(1) Penyuluh Agama Muda; Bertugas pada masyarakat di lingkungan pedesaan. (2) Penyuluh Agama Madya; Bertugas pada masyarakat di lingkungan perkotaan. (3) Penyuluh Agama Utama; Bertugas di lingkungan para pejabat instansi

pemerintah/swasta, kelompok ahli dalam berbagai bidang (Departemen Agama Kantor Wilayah Jawa Barat 2009b).

Berdasarkan hal tersebut, istilah PAI yang akan dipergunakan pada penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan bimbingan atau penyuluhan Agama Islam dan pembangunan kepada masyarakat melalui pendekatan bahasa agama Islam.

Tugas Pokok Penyuluh Agama Islam

Ditinjau dari sisi tugas kepenyuluhan, sekurangnya ada tiga tugas yang diemban PAI, yaitu:

(26)

baik disebabkan pengaruh dari dalam maupun pengaruh dari luar Agama Islam itu sendiri. Perwujudannya ditandai dengan munculnya aliran-aliran atau sikap ekstrim dengan menentang tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,

(2) Menyampaikan gagasan pembangunan. Pembangunan merupakan realisasi pengamalan ajaran agama, karenanya pembangunan hendaklah dapat memberikan kemudahan, kemakmuran dan kesejahteraan lahir bathin kepada para pemeluk agama, dan

(3) Meningkatkan kerukunan hidup beragama. Pembangunan yang berhasil akan membutuhkan keikutsertaan masyarakat baik sebagai subjek pembangunan sekaligus sebagai objek pembangunan. Hal ini membutuhkan suasana yang kondusif bagi terlaksananya upaya tersebut. Oleh karena itu kerukunan hidup beragama yang dicerminkan melalui trilogi kerukunan hidup beragama akan menjadi indikator terhadap terciptanya suasana yang kondusif untuk usaha pembangunan bangsa yang dilakukan masyarakat (Departemen Agama Kantor Wilayah Jawa Barat 2009b).

Dengan demikian, tugas PAI dalam kerangka besarnya harus mengupayakan pemberian materi bimbingan agama sebagai tugas utama dan pembangunan sebagai tugas pembantuan sedangkan peningkatan kerukunan hidup beragama merupakan tugas penunjang.

Tugas PAI bukan sekedar melakukan pendidikan agama pada umat, tetapi juga melakukan penyuluhan pembangunan, meliputi:

(1) Penerangan tentang program-program pemerintah melalui bahasa agama guna meningkatkan peran serta umat dalam pelaksanaan pembangunan,

(2) Pengembangan umat dalam upaya pemberdayaan kehidupan dan penghidupannya agar maju dan mandiri melalui karsa swadaya masyarakat (Kementerian Agama Kantor Wilayah Jawa Barat 2010a).

PAI sebagai pemuka agama selalu membimbing serta menggerakkan masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan yang terlarang. PAI menjadi tempat bertanya bagi masyarakatnya untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah dengan nasihatnya. PAI sebagai pemimpin masyarakat bertindak sebagai imam atau pemimpin dalam masalah agama dan masalah kemasyarakatan, begitu pula dalam masalah kenegaraan dengan usaha menyukseskan program pemerintah. Dengan demikian, tugas PAI bukan semata-mata melaksanakan penyuluhan agama dalam arti sempit berupa pengajian, akan tetapi seluruh kegiatan penyuluhan baik berupa bimbingan maupun penerangan berbagai program pembangunan agar masyarakat menjadi lebih baik.

Dalam penelitian ini, tugas pokok PAI adalah penyuluh agama yang melaksanakan penyuluhan Agama Islam dalam arti sempit berupa pengajian dan juga melaksanakan penyuluhan agama dalam arti luas baik berupa bimbingan maupun penerangan tentang berbagai program pembangunan dengan menggunakan bahasa agama.

Peranan Penyuluh Agama Islam

(27)

beberapa hal berikut:

(1) Pembangunan memerlukan partisipasi seluruh anggota masyarakat dan umat beragama,

(2) Umat beragama merupakan salah satu modal dasar pembangunan,

(3) Agama merupakan motivator pembangunan, karenanya ajaran agama harus dapat menggugah dan merangsang umatnya untuk berbuat dan beramal shaleh menuju kesejahteraan jasmani dan rohani, dan

(4) Media penyuluhan merupakan sarana dan modal penting dalam melaksanakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Beban tugas PAI lebih ditingkatkan lagi dengan usaha menjabarkan segala aspek pembangunan melalui bahasa agama. Oleh karenanya, PAI berperan pula sebagai sebagai motivator pembangunan dengan usaha memberikan penerangan pengertian tentang maksud dan tujuan pembangunan, mengajak serta menggerakkannya untuk ikut serta aktif menyukseskan pembangunan. Peranan ini tampaklah lebih penting karena pembangunan di Indonesia tidak semata-mata membangun manusia dari sisi lahiriah dan jasmaninya semata, melainkan juga membangun sisi rohaniahnya secara bersama-sama. Dengan kata lain, peranan penyuluh agama selain sebagai pendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, juga berperan untuk ikut serta dalam mengatasi berbagai hambatan yang mengganggu jalannya pembangunan, khususnya dalam mengatasi dampak negatif pembangunan yang tidak bisa dihindarkan keberadaannya.

Dalam penelitian ini, peranan PAI adalah sebagai upaya penyuluh memfasilitasi, mendidik, memberikan konsultasi, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, juga berperan untuk ikut serta dalam mengatasi berbagai hambatan yang mengganggu jalannya pembangunan, khususnya dalam mengatasi dampak negatif pembangunan yang tidak bisa dihindarkan keberadaannya.

Sasaran Penyuluhan Agama Islam

Sasaran penyuluhan agama adalah umat Islam dan masyarakat yang belum menganut salah satu agama di Indonesia yang beraneka ragam budaya dan latar belakang pendidikannya. Dilihat dari tipikal masyarakat yang ada di Indonesia, dalam garis besarnya dibagi ke dalam tiga bagian besar, yaitu: (1) Masyarakat pedesaan, (2) Masyarakat perkotaan, dan (3) Masyarakat cendekiawan (Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009b).

(28)

Dalam penelitian ini, sasaran penyuluhan agama Islam adalah berbagai kelompok dalam masyarakat Islam yang membutuhkan pendekatan agama Islam untuk menyelesaikan persoalan hidupnya, baik itu masyarakat kota maupun desa, masyarakat awam maupun cendekiawan, masyarakat dalam kelompok keagamaan maupun kelompok umum, atau masyarakat yang berada dalam pembinaan pihak tertentu maupun yang tidak sedang dalam pembinaan pihak tertentu yang berada dalam suatu majelis ta’lim.

Majelis Ta’lim sebagai Kelompok Sasaran

Penyuluhan Agama Islam

Menurut akar katanya, istilah majelis ta'lim tersusun dari gabungan dua kata; majelis (tempat) dan ta'lim (pengajaran) yang berarti tempat pengajaran atau pengajian bagi orang-orang yang ingin mendalami ajaran-ajaran Islam. Sebagai sebuah sarana dakwah dan pengajaran agama, majelis ta'lim sesungguhnya memiliki basis tradisi yang kuat, yaitu sejak Nabi Muhammad SAW mensyiarkan agama Islam di awal-awal risalah beliau (Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009a).

Meski telah melampaui beberapa fase perubahan zaman, eksistensi majelis ta'lim cukup kuat dengan tetap memelihara pola dan tradisi yang baik sehingga mampu bertahan di tengah kompetisi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang bersifat formal. Bedanya, kalau dahulu majelis ta'lim hanya sebatas tempat pengajian yang dikelola secara individual oleh seorang kyai yang merangkap sebagai pengajar sekaligus, maka perkembangan selanjutnya dari majelis ta'lim ini telah menjelma menjadi lembaga atau institusi yang menyelenggarakan pengajaran atau pengajian agama Islam dan dikelola dengan cukup baik, oleh individu, kelompok perorangan, maupun lembaga (organisasi).

Sebagai sebuah institusi yang bersifat non formal, majelis ta’lim mengemban tujuan pendidikan sepanjang hayat yang digambarkan Daradjat (2008) sebagai terbentuknya insan kamil dengan pola taqwa. Majelis ta’lim dengan demikian bertujuan untuk menghasilkan insan yang baik. Tujuan mulia tersebut sudah tentu sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 3), yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencakup pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab.

(29)

Majelis ta'lim memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai lembaga dakwah dan lembaga pendidikan non-formal yaitu selain mengajarkan ajaran Islam, juga sebagai syiar dakwah dari para mualim kepada jamaahnya. Majelis ta’lim merupakan perkembangan lebih lanjut dari Al Kuttab atau Zawiyah di masa sebelumnya. Lembaga pertama mengacu pada pengajaran dasar-dasar agama sedang lembaga kedua mengacu pada tempat menegakkan syi’ar agama dan menyebarkan ilmu pengetahuan (Al Jumbulati dan Tuwaanisi 2002). Fleksibilitas majelis ta'lim inilah yang menjadi kekuatan sehingga menjadi lembaga pendidikan Islam yang paling dekat dengan umat (masyarakat). Majelis ta’lim merupakan lembaga pendidikan nonformal yang keberadaanya sudah masuk ke berbagai pelosok. Majelis ta'lim juga merupakan wahana interaksi dan komunikasi yang kuat antara masyarakat awam dengan para pengajarnya (mualim), dan tentunya antara sesama anggota jamaah majelis ta'lim tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu.

Majelis ta'lim telah menjelma menjadi lembaga pendidikan keagamaan Islam alternatif bagi mereka yang tidak memiliki cukup tenaga, waktu dan kesempatan untuk menimba ilmu agama Islam pada pendidikan formal. Kemudahan inilah yang kemudian menjadikan lembaga majelis ta'lim memiliki nilai, karakteristik dan citra tersendiri dibanding lembaga-lembaga pendidikan keagamaan lainnya. Mengingat pelaksanaannya yang fleksibel dan terbuka untuk segala waktu dan kondisi, keberadaan majelis ta'lim telah menjadi lembaga pendidikan yang dicintai dan berlaku seumur hidup bagi umat Islam.

Tabel 1.2 Pengelompokan majelis ta’lim No Indikator

pengelompokan

Banyaknya jenis Keterangan

1 Usia 3 - Pengajian bapak/ibu

- Pengajian Pemuda - Pengajian Remaja

2 Profesi Sesuai jenis profesinya

- Pedagang pasar - Karyawan bank

- Pegawai dinas pendidikan

3 Pengikat jamaah 4 - Berdasarkan kelembagaan non

formal

- Berdasarkan kewilayahan - Berdasarkan persamaan instansi - Berdasarkan perkumpulan tertentu

4 Metode pengajian

4 - Metode ceramah

- Metode halaqoh (belajar kelompok) - Metode mudzakaroh (diskusi) - Metode campuran

Sumber : Diadaptasi dengan beberapa penyesuaian dari Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat (2009a)

Majelis ta’lim memiliki beragam fungsi. Setidaknya ada enam fungsi dari majelis ta’lim (Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009a), yaitu:

(30)

(2) Fungsi pendidikan; yakni menjadi pusat kegiatan belajar masyarakat (learning society), keterampilan hidup, dan kewirausahaan,

(3) Fungsi social; yakni menjadi wahana silaturahmi, menyampaikan gagasan, dan sekaligus sarana dialog antara ulama, umara dan umat,

(4) Fungsi ekonomi; yakni sebagai sarana tempat pembinaan dan pemberdayaan ekonomi jamaah,

(5) Fungsi seni dan budaya; yakni sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Islam, dan

(6) Fungsi ketahanan bangsa; yakni menjadi wahana pencerahan umat dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa.

Pengelompokan majelis ta’lim yang terjadi selama ini adalah: pengelolaan majelis ta'lim yang jama'ahnya berdasarkan kelompok usia, dan juga ada yang pembagiannya berdasarkan pada kelompok profesi (Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009a). Dilihat dari aspek dasar pengikat jamaah, majelis ta'lim dapat dibedakan menjadi empat jenis (Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009a), di antaranya:

(1) Majelis ta'lim yang dikelola oleh masjid, mushalla, atau pesantren tertentu. Peserta terdiri dari orang-orang yang berada di sekitar masjid, mushalla, atau pesantren yang bersangkutan. Jadi faktor pengikatnya adalah persamaan masjid atau mushalla.

(2) Majelis ta'lim yang dikelola oleh Rukun Warga (RW) atau Rukun Tetangga (RI) tertentu. Peserta terdiri dan warga RW atau RT itu. Dengan demikian, dasar pengikatnya adalah persamaan wilayah administratif.

(3) Majelis ta'lim yang dikelola oleh kantor atau instansi tertentu dengan peserta yang terdiri dari para pegawai atau karyawan beserta keluarganya. Dasar pengikatnya adalah persamaan kantor atau instansi tempat bekerja.

(4) Majelis ta'lim yang dikelola oleh organisasi atau perkumpulan tertentu. Jamaah atau pesertanya terdiri dari para anggota atau simpatisan dari organisasi atau perkumpulan tersebut. Jadi, dasar pengikatnya adalah keanggotaan atau rasa simpati peserta terhadap organisasi atau perkumpulan tertentu.

Ditinjau dari metode penyajian, majelis ta’lim bisa dibedakan menjadi empat jenis (Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009a), yaitu:

(1) Majelis ta’lim yang dikelola dengan metode ceramah. Metode ini dilaksanakan dengan 2 (dua) cara. Pertama, ceramah umum sehingga mualim (ustadz, kiyai) bertindak aktif dengan memberikan pelajaran atau ceramah, sedangkan peserta berperan pasif, hanya mendengar atau menerima materi yang diceramahkan. Kedua, ceramah terbatas, di sini biasanya terdapat kesempatan untuk bertanya jawab dalam hal mana juga antara mualim dengan jamaah sama-sama aktif.

(31)

menonjol. Mualim seringkali harus mengulang-ulang sesuatu bacaan dengan ditirukan oleh jamaah serta membetulkan bacaan yang salah.

(3) Majelis ta’lim yang dikelola dengan metode mudzakaroh. Metode ini dilaksanakan dengan cara menukar pendapat atau diskusi mengenai suatu masalah yang telah disepakati untuk dibahas. Dalam metode ini mualim (ustadz atau kiyai) seolah-olah tidak ada, karena semua jamaah biasanya terdiri dari orang-orang yang pengetahuan agamanya setaraf atau jamaahnya terdiri dari para ulama. Namun demikian, peserta awam biasanya diberi kesempatan.

(4) Majelis ta’lim yang dikelola dengan metode campuran. Artinya, satu majelis ta’lim menyelenggarakan kegitan pendidikan atau pengajian tidak dengan satu macam metode saja, melainkan dengan berbagai metode secara berselang-seling.

Kegiatan majelis ta’lim umumnya dimulai dengan mengadakan zikir, shalawat, membaca Al Qur’an, melakukan dialog keagamaan, mendengarkan taushiah, hadroh dan terkadang disertai arisan (Basit 2010). Majelis ta’lim dalam penelitian ini merupakan lembaga pendidikan keagamaan Islam alternatif bagi mereka yang tidak memiliki cukup tenaga, waktu dan kesempatan menimba ilmu agama Islam di jalur pendidikan formal yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat.

Materi Penyuluhan Agama Islam

Materi penyuluhan agama Islam mengacu pada pokok-pokok yang diperlukan kelompok sasaran. Penekanannya lebih kepada pemberian materi atau pengetahuan praktis bukannya pengetahuan teoritis. Sifat materi penyuluhan agama Islam memiliki ciri berorientasi peningkatan kesadaran masyarakat atau umat untuk berperilaku agama Islam yang taat serta untuk memberikan dorongan kepada kelompok sasaran sebagai bagian dari masyarakat dan umat melalui pembahasaan agama untuk lebih berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan.

Umumnya materi penyuluhan diberikan pada kegiatan pengajian di majelis ta’lim, karena majelis ta’lim ini merupakan tempat terbanyak bagi pelaksanaan penyuluhan agama Islam. Materi yang disuluhkan oleh PAI berupa materi yang menyangkut ilmu-ilmu agama dan materi yang menyangkut pengetahuan atau wawasan keagamaan atau materi bidang agama Islam dan materi bidang pembangunan (Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009a).

(32)

phenomenologi, semantik, historiografi dan hermeunitik (Departemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009a).

Dalam penelitian ini, materi penyuluhan agama Islam adalah materi bimbingan penyuluhan yang berorientasi pada peningkatan kesadaran masyarakat atau umat Islam untuk berperilaku agama Islam yang disyariatkan serta untuk memberikan dorongan kepada kelompok sasaran sebagai bagian dari masyarakat dan umat melalui pembahasaan agama untuk lebih berpartisipasi dalam melaksanakan pembangunan.

Filosofi Penyuluhan Agama Islam

Menurut Asngari (2008), ada tiga patokan filosofi penyuluhan, yaitu: dasar pengertian, dasar untuk melakukan kegiatan dan dasar dalam bekerja. Filosofi mengarah pada suatu pemahaman yang mendasari atau menjadi landasan melaksanakan kegiatan yang lebih layak untuk mendapatkan hasil yang prima.

Filosofi pokok dalam penyuluhan secara umum dijelaskan oleh Asngari (2008), yaitu:

(1) Falsafah mendidik atau pendidikan (bukannya klien “dipaksa -terpaksa-terbiasa”). Falsafah mendidik atau pendidikan (bukannya klien “dipaksa- terpaksa-terbiasa”). Ki Hajar Dewantoro menyebutkan bahwa dalam proses pendidikan digunakan falsafah “Ing ngarsa sung tulada (memberi atau menunjukkan arah akan perubahan), Ing madya mangun karsa (merangsang terjadinya perubahan), tut wuri handayani (mengembangkan dan mewujudkan potensi klien),

(2) Falsafah pentingnya individu. Pentingnya individu ditonjolkan dalam pendidikan/penyuluhan pada umumnya, sebab potensi diri pribadi seseorang individu merupakan hal yang tiada taranya untuk berkembang dan dikembangkan.

(3) Falsafah demokrasi. Falsafah ini memberi klien kebebasan untuk berkembang agar mereka dapat mandiri dan bertanggungjawab sesuai perkembangan intelektualnya,

(4) Falsafah bekerja bersama. Falsafah Ki Hadjar Dewantoro “Ing madya mangun karsa” mengandung makna adanya kerjasama antara penyuluh/agen pembaruan dengan klien. Penyuluh bekerjasama dengan klien agar klien aktif berprakarsa (dalam proses belajar) mengembangkan usaha bagi dirinya, (5) Falsafah “membantu klien membantu dirinya sendiri”. Thompson Repley

Bryant—penyuluh dari Amerika Serikat, menggarisbawahi falsafah ini dengan mengatakan “Makna falsafah ini menunjukkan landasan orientasi pentingnya individu membantu diri sendiri”. Dari falsafah ini pula dikembangkan landasan kegiatan dari mereka, oleh mereka, dan untuk mereka,

(6) Falsafah keberlanjutan. Dunia berkembang, jadi harus sesuai dengan perkembangan : materi, cara penyajian, dan alat bantu penyajian.

(33)

yang lain, ini pendekatan kelompok yang semuanya belum membangun. Bagi seorang individu, falsafah ini pun berlaku, dengan bertahap penuh kesabaran menunggu perkembangan. Falsafah ini memang harus dilandasi adanya kesabaran menunggu perkembangan individu klien.

Dari sekian banyak falsafah penyuluhan, yang paling umum disepakati banyak orang adalah falsafah membantu orang lain untuk membantu dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan penyuluhan, Ellerman (dalam Slamet 2003) telah berhasil merangkum delapan teori pemberian bantuan yang dapat diandalkan sebagai upaya membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri, yaitu:

(1) Proses pembelajaran yang dilakukan oleh para penasehat terhadap aparat birokrat,

(2) Proses belajar melalui pengalaman yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya,

(3) Belajar dari pengalaman yang dilakukan oleh guru spiritual terhadap muridnya,

(4) Pemberian tanggung jawab yang dilakukan oleh manajer terhadap karyawannya,

(5) Pemberian saran yang dilakukan oleh dokter kepada pasiennya,

(6) Proses demokratisasi yang dilakukan oleh organisator kepada masyarakatnya, (7) Proses penyadaran yang dilakukan para pendidik kepada masyarakatnya, dan (8) Proses perbantuan yang dilakukan oleh agen-agen pembangunan terhadap

lembaga-lembaga lokal.

Penggunaan filosofi pada penyuluhan agama Islam pada dasarnya sama dengan filosofi penyuluhan pembangunan lainnya (seperti penyuluhan pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan dan sebagainya) yang merujuk pada filosofi untuk membantu kelompok sasaran dalam upaya membantu dirinya untuk keluar dari permasalahan hidup. Berbagai pengetahuan ataupun materi yang sifatnya abstrak telah menjadikan filosofi penyuluhan agama Islam ini lebih sulit diterapkan karena keterlihatan hasilnya (observabilitas) rendah. Hal inilah yang menjadi ciri khas filosofi penyuluhan agama Islam dibandingkan dengan filosofi penyuluhan lainnya. Dalam penelitian ini, filosofi penyuluhan agama Islam adalah filosofi untuk membantu kelompok sasaran dalam upaya membantu dirinya untuk keluar dari permasalahan hidup dengan ciri khas mempergunakan pendekatan agama Islam.

Penyuluhan Agama Islam dan Hubungannya dengan Dakwah

Definisi Dakwah

(34)

dalam rangka menyampaikan pesan-pesan agama Islam tersebut dan menjalankannya dengan baik, dalam kehidupan individual maupun masyarakat untuk mencapai kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di akherat dengan menggunakan berbagai media dan cara-cara tertentu.

Beberapa istilah serupa dengan pengertian dakwah di antaranya adalah: penerangan, penyiaran, pendidikan, pengajaran dan indoktrinasi (Omar 2004). Adapun dalil naqli (dasar hukum yang berasal dari kitab suci Al Qur’an) yang terkait dengan perintah dakwah di antaranya adalah; QS. Al-Mudatsir: 1-7 (perintah dakwah); QS. Fushilat: 33 (dakwah bil hal); QS. Al-Ashri: 1-3 (dakwah dengan sistematis dan logis), QS. Ali-imran: 104 (dakwah fardu ain bagi setiap muslim); QS. Ali-Imran: 110 (dakwah untuk amar ma’ruf); QS. An-Nahl: 125 (berdakwah santun); QS. Al-Baqarah 190-193 (perintah dakwah bil hal); QS. Saba’: 28 (perintah dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar); QS. Saba’: 46 (Penggunaan akal dalam berdakwah).

Objek Dakwah

Penerima dakwah disebut mad’u, objek perlu diklasifikasikan, agar pendakwah bisa menyesuaikan diri dengan bahasa dan metode dakwah yang sesuai dengan mad’unya sehingga pesannya sampai (Amin 2008). Pengklasifikasian ini diperlukan dalam rangka mengidentifikasi karakteristik mad’u sehingga dapat dicari metode yang lebih efektif untuk menyampaikan sesuatu hal kepadanya. Menurut Amin (2008) bahwa objek dakwah atau sasaran dakwah ini diklasifikasikan menjadi: kelompok awam, menengah, intelektual, anak-anak, remaja, pemuda, ibu-ibu, dewasa.

Pembagian lain dari objek dakwah secara lebih lengkap dikemukakan Arifin (1997) yang ditujukan pada:

(1) Masyarakat pedesaan, terasing, kota besar dan kecil, masyarakat marginal (Penggolongan menurut sosiologis)

(2) masyarakat, pemerintah dan keluarga (Penggolongan menurut struktur kelembagaan)

(3) Priyayi, abangan dan santri (Penggolongan menurut sosial kultural) (4) Anak-anak, remaja dan orangtua (Penggolongan menurut usia)

(5) Petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri (Penggolongan menurut profesi)

(6) Kaya, menengah dan miskin (Penggolongan menurut sosial ekonomi) (7) Laki dan perempuan (Penggolongan menurut jenis kelamin)

Berdasarkan uraian di atas semakin jelas bahwa objek dakwah tidak semata didasarkan pada tingkat pemahaman masyarakatnya, namun juga didasarkan pada kesamaan unsur struktur sosial, ataupun pada organisasi sosialnya.

Etika dan Prinsip Dakwah

(35)

dan (2) jujur (terutama dalam mengemukakan dalil dan pembuktian). Etika dalam melaksanakan dakwah ini mengandung dua dimensi, pertama dari sisi kapasitas pendakwah harus mengedepankan cara-cara yang santun, menghargai kearifan lokal dan sesuai dengan karakteristik sosial budaya setempat. Kedua, dari sisi substansi yang harus jujur dan rasional dalam mengemukakan dalil ataupun pembuktian tertentu.

Sebagai kegiatan yang kompleks, pelaksanaan dakwah perlu memegang prinsip yang tegas, yaitu: meluruskan itikad, meneruskan amal, membersihkan jiwa, mengokohkan kepribadian, mengokohkan persaudaraan, dan menolak subhat agama (Omar 2004). Prinsip yang tegas akan merangsang kegiatan dakwah terbaik semata-mata untuk melakukan pengabdian yang tertinggi kepada Allah SWT. Taufieq dan Gonibala (2006) menyebutkan beberapa prinsip dakwah sebagai berikut: ditujukan kepada kerabat terdekat terlebih dahulu, sikap rendah hati dalam berdakwah, dilakukan secara berkesinambungan, dan tidak boleh berputus asa.

Metode Dakwah

Dakwah yang secara sederhana sering disamakan dengan pemberian

tausiah yaitu memberikan nasehat mengajak kebaikan dengan didukung oleh dalil agama. Pemberian tausiah ini sering menggunakan beragam metode atau cara menyampaikan. Secara umum, dakwah sebagai kegiatan mengajak sebanyak-banyaknya orang (mobilisasi massa) memiliki beberapa metode, yaitu: dakwah bil lisan, dakwah bil hal dan dakwah bil qalam (Amin 2008). Menurut QS. An Nahl ayat 125, metode dakwah hendaklah disesuaikan dengan sasaran dakwah, yaitu: bila sasarannya kalangan umum atau masyarakat kebanyakan maka gunakan metode bil hikmah, bila sasarannya kalangan menengah sangat efektif bila menggunakan metode mauidzatul hasanah, dan bila sasarannya kalangan intelektual, maka pergunakan metode jaadilhum hiya ahsan.

Pengkategorian metode dakwah sebagaimana telah disebutkan menyiratkan betapa kompleks dan beragamnya medan dakwah ini. Namun jelasnya metode dakwah sangat berkorelasi dengan siapa mad’unya. Berdasarkan hal tersebut maka realitas di masyarakat membutuhkan berbagai kombinasi metode yang beragam agar mencapai tujuan secara maksimal.

Kepribadian Juru Dakwah

Menurut Al-Ghozali (dalam Hasjmy 1994) ada tiga sifat dasar yang harus dimiliki juru dakwah, yaitu: (1) Setia kepada kebenaran, (2) Menegakkan perintah kebenaran, dan (3) Menghadapi semua manusia dengan kebenaran. Juru dakwah harus senantiasa menyuarakan kebenaran kepada siapa saja meskipun banyak penentangnya. Juru dakwah harus memulai dengan komitmen diri sendiri untuk berpegang teguh kepada kebenaran atau hal-hal yang menjadi kepentingan umum sesuai syariat kemudian memberikan nasehat dan tausiah kepada masyarakat untuk mengikuti aturan yang benar (syariat) serta menghadapi semua feedback

(36)

Taufieq dan Gonibala (2006) menyebutkan beberapa kriteria mubaligh, yaitu: mendalami pengetahuan keagamaan, mampu menyatukan pengetahuan klasik dengan pengetahuan modern, berbicara sesuai dengan bahasa masyarakat setempat, menguasai cara berdakwah, berakhlak mulia, berpenampilan baik, menunjukkan keteladanan, kemampuan komunikasi, dan menjadi pemimpin yang terpercaya.

Penyuluhan Agama Islam dan Hubungannya dengan Beberapa Peubah Penelitian

Karakteristik Pribadi Penyuluh Agama Islam

Karakteristik pribadi adalah berbagai faktor personal yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungan. Karakteristik ini merupakan ciri yang melekat pada diri seseorang di antaranya: usia, masa kerja, pendidikan formal, pendidikan nonformal, tingkat kekosmopolitan dan tingkat orientasi belajar.

Usia bukan merupakan faktor psikologis, namun hal-hal yang diakibatkan oleh usia inilah yang merupakan faktor psikologis dalam belajar (Padmowihardjo 1999). Masa kerja berkaitan erat dengan pengalaman seseorang dalam melakukan aktivitas tertentu. Padmowihardjo (1999) menyatakan bahwa pengalaman seseorang merupakan suatu pengetahuan yang dialami orang tersebut dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan akan berdampak pada hal positif bagi perilaku yang sama dan akan diterapkan pada situasi berikutnya.

Slamet (1992) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ada kecenderungan semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan, efisiensi bekerja dan semakin tahu banyak tentang teknik bekerja yang lebih baik dan menguntungkan. Padmowihardjo (1999) mengemukakan bahwa proses belajar menjadi faktor penting dalam membentuk kemampuan seseorang. Blackenburg and Sach (dalam Hohnholz 1990) berpendapat bahwa elemen pendidikan dan kemungkinan informasi yang lebih baik menghadapkan petani pada pengaruh sistem nilai yang asing dan menyadarkan mereka akan relativitas kekuatan sendiri.

Sumpeno (2004) menyatakan bahwa peningkatan kemampuan belajar tidak hanya dilakukan secara formal, tetapi juga melalui pelatihan, lokakarya, kunjungan, magang, on the job training. Penyuluhan adalah sistem pendidikan bagi masyarakat agar mereka menjadi tahu, mau dan mampu berswadaya melaksanakan peningkatan produksi, pendapatan dan perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakat (Mardikanto 1993). Penyuluhan dalam pengertian ini bermakna pendidikan non formal yang dapat menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya.

(37)

pihak luar sangat erat terutama mempengaruhi kesediaan dalam menerima hal-hal yang baru.

Menurut Sheffield (1962) bahwa orang dewasa memiliki beberapa orientasi belajar, yaitu : tujuan belajar (learning) yang dilandasi motivasi mencari ilmu yang berguna dan mencapai prestasi, tujuan pribadi (personal goal) yang dilandasi keinginan meraih keuntungan ekonomis dan sosial dengan harapan mencapai kesejahteraan pribadi yang berupa status ekonomi dan status sosial, tujuan bersosialisasi (desire of sociability) yang keinginan menemukan hubungan yang baik bagi pribadi, kelompok, lingkungan dan sahabat, tujuan masyarakat (societal goal) yang dilandasi kepedulian pada masyarakat agar mencapai suatu kemajuan, dan tujuan pemenuhan kebutuhan (need fulfilment) yang dilandasi keinginan memuaskan pada lingkungan tempat seseorang berada misalnya lepas dari kebosanan, lepas dari frustasi.

Motivasi Kerja Penyuluh Agama Islam

Motivasi dalam kehidupan manusia berperan sebagai tenaga pendorong bagi terlaksananya suatu aktivitas tertentu. Motivasi merupakan unsur penting dalam diri manusia karena berhubungan secara langsung dengan berbagai aktivitas manusia pada umumnya seperti bekerja. Motivasi didefinisikan sebagai dorongan untuk mencapai tujuan tertentu (Hamalik 1993; Kontz et al. 1980). Motivasi juga diartikan sebagai proses melakukan suatu tindakan tertentu (Terry 1997; Handoko 1995; Schiffman and Kanuk 1992; Padmowihardjo 1999).

Motivasi itu sendiri terdiri dari berbagai jenis, tergantung pendekatan yang digunakan. Secara sederhana jenis motivasi dilihat dari sumbernya ada motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik (Reece and Brandt 1981). Jenis motivasi dilihat dari kebutuhannya, menurut McClelland (dalam Shah and Gardner 2008) ada dorongan berprestasi, dorongan beafiliasi dan dorongan pengaruh. Sejalan dengan teori-teori tersebut sebelumnya, maka dalam penelitian ini penulis hanya akan mengambil teori yang relevan yaitu teori motivasi Mc. Clelland.

Tingkat Pelaksanaan Peran Penyuluh Agama Islam

Peranan adalah suatu gambaran tentang hak dan tanggungjawab seseorang dalam melakukan sesuatu hal. Peranan dihubungkan dengan suatu posisi tertentu (Soekanto 1990). Peranan dengan demikian akan menjawab pertanyaan sesuatu yang sebenarnya dilakukan oleh seseorang di dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya selain dihubungkan dengan kedudukan sesorang dalam menjalankan pekerjaannya di organisasi atau masyarakat. Peranan ini timbul manakala seseorang menghadapi lingkungan yang berlainan, sehingga peran seseorang juga berlainan meski melakukan kegiatan yang sama. Hal tersebut dikemukakan Swanson (1984) bahwa peranan seorang penyuluh berbeda-beda yang tergantung pada pendekatan yang digunakan.

(38)

analis, advisor, advokator, dan inovator (Gallaher and Santopolo 1967), perencana program (dari sebagai manajer program sampai ke tahapan evaluasinya (Swanson

et al. 1997), fasilitator, pendidikan, perwakilan dan teknik (Ife 2002), pemercepat perubahan, perantara, pendidik, tenaga ahli, perencana sosial, advokat dan sebagai aktivis (Adi 2003), sebagai fasilitor, pendidik, utusan, teknikal (Nasdian 2003), katalis, pemberi solusi, penolong proses dan penghubung sumberdaya (Valera et al. 1987), pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan, menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan dan memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran (Lippitt et al. 1958), serta berbagai peran lainnya baik sebagai peran yang berkaitan dengan administrasi, konten, program, sumber daya maupun berkaitan dengan kelayan.

Dukungan Kelembagaan Penyuluhan

Secara sederhana kelembagaan disinonimkan dengan kelompok atau organisasi. Dalam pengertian luas, kelembagaan disamakan dengan tempat terjadinya suatu kepentingan dengan mekanismenya sendiri. Kelembagaan terdiri atas empat komponen (Mardikanto 2010), di antaranya: komponen person, komponen kepentingan, komponen aturan dan komponen struktur. Pengembangan penyuluhan sangat berkaitan erat dengan dua hal, yaitu: lembaga yang melaksanakan penyuluhan dan kualifikasi pelaksana penyuluhan (Slamet 2003).

Hal ini bermakna bahwa untuk dapat mengembangkan suatu sistem penyuluhan diperlukan kesiapan kelembagaan penyuluhan dan pelaksananya yaitu penyuluh. Kedua komponen tersebut bila tidak saling mengisi dapat dipastikan saling mempengaruhi. Hal ini mengandung arti bahwa sangat diperlukan dukungan kelembagaan penyuluhan agar penyuluh memiliki rencana induk dan target besar yang hendak dicapai secara maksimal melalui menjalankan perannya yang kemudian akan menjadikan penyuluhan berkembang ke arah yang diharapkan.

Dukungan Lingkungan Sosial

Manusia dikelilingi oleh lingkungan masyarakat sekitarnya, sehingga dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam bersikap, tata nilai, maupun cara memandang dan memahami sesuatu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hurlock (1979) yang menyatakan bahwa sikap seseorang tidak hanya ditentukan oleh pribadi orang bersangkutan, melainkan pula dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Kelompok dan organisasi juga sebagai unit kelembagaan yang mengitari kehidupan manusia dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi manusia dalam kehidupannya. Sebagaimana terlihat dalam model POET yang dicetuskan Duncan (dalam Adiwibowo 2007) yang memberikan batas analisis ekologi dengan konsep “the human ecological complex” sebagai hubungan yang saling

(39)

Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Penyuluh Agama Islam

Kebutuhan dapat mengarahkan dorongan (drivers) bagi seorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu (Doyal and Gough 1991). Kebutuhan berbeda dengan keinginan. Kebutuhan apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan ketidakseimbangan antara fisiologis dan psikologisnya, maka keinginan berlaku sebaliknya, yaitu apabila tidak dipenuhi tidak akan sampai menimbulkan ketidakseimbangan antara fisiologis dan psikologisnya (Slamet 2000).

Tabel 1.3 Analisis tingkat pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam

No Nama teori kebutuhan dan elemen Tokoh penggagas Dimensi tingkat kebutuhan yang terkait

1 Need understanding Need to know Kebutuhan informasi

Muray Knowles Noorwood

Kebutuhan informasi

2 Kebutuhan sosial dan aktualisasi diri

Keinginan berkelana Kebutuhan relatedness Kebutuhan relatedness Kebutuhan relatedness Need of affiliation Personal growth need

Maslow

Halsey Alderfer Deci dan Ryan Miller

Muray Ryff

Kebutuhan

mengembangkan identitas diri

3 Kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri

Kebutuhan growth Need of Adventure

Maslow

Alderfer Muray

Kebutuhan berkreativitas

Sumber :

Diolah dari berbagai sumber (2012)

Dilihat dari segi pilihan penggunaan, Doyal and Gough (1991) membagi kebutuhan ini menjadi kebutuhan objektif dan kebutuhan universal. Selain itu, kebutuhan manusia dilihat dari sisi keragaman dan wujudnya dibedakan Newstorm (dalam Ibrahim 2001) sebagai kebutuhan primer dan sekunder. Ada dua macam kebutuhan (Mardikanto 1993), yaitu: kebutuhan nyata (real need) dan kebutuhan yang dirasakan (felt need).

Berkaitan dengan kebutuhan seseorang, maka teori kebutuhan yang dapat menjelaskan adalah teori hirarkhi kebutuhan Maslow (dalam Shah and Gardner 2008), teori kebutuhan fisik dan mental Halsey (1983), teori ERG dicetuskan Clayton Alderfer (dalam Caulton 2012), teori kebutuhan Murray (dalam Pittman and Zeigler 2006), teori kebutuhan orang dewasa Malcolm Knowles (dalam Ota

et. al 2006), teori kebutuhan informasi Noorwood (dalam Ward and Lasen 2009), teori Teori Self Determination Theory (SDT) Deci and Ryan (dalam Ifedili and Ifedili 2012), dan teori kebutuhan yang dikemukakan Miller (2005).

Gambar

Tabel 1.3 Analisis tingkat pemenuhan kebutuhan Penyuluh Agama Islam
Tabel 1.4 Analisis kompetensi Penyuluh Agama Islam
Tabel 1.5 Analisis kompetensi inti Penyuluh Agama Islam
Tabel 1.6 Menuju paradigma pengembangan penyuluhan agama yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan penelitian Nasution (2010) tentang “Pengaruh senamkaki terhadap peningkatan sirkulasi darahkaki pada pasien penderita DM di RSUD Haji Adam Malik, dari

“ Pengaruh Kepercayaan Pada Merek ( Trust In a Brand) Terhadap Loyalitas Merek ( Brand Loyalty) Pada Konsumen Teh Siap Minum dalam Kemasan Merek Teh Botol Sosro di

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya klarifikasi dan negosiasi dan dengan berakhirnya masa sanggah, untuk itu kami mengundang Direktur Utama / Pimpinan Perusahaan

But as many experienced travelers could tell you, a great road trip is often made before you leave-by making sure you have the right items to ensure a more entertaining and

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR1. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

The papers published in this proceedings are from various disciplines of transportation and highway engineering, namely traffic engineering, transportation

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “KEABSAHAN AKTA HIBAH

Semiotika adalah ilmu tentang tanda, menurut Broadbent (dalam Darma, 2010), semiotika ( semiotics) berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang memiliki arti yakni tanda,