• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB I SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA A. Arti Lambang Pancasila

Burung Garuda merupakan lambang negara Indonesia sejak negara ini berdiri. Akan tetapi tidak semua orang tahu tentang arti dan makna Garuda Pancasila sebagai lambang negara.

Sebagai bangsa Indonesia paling tidak kita tahu dan mengerti arti lambang negara kita sediri sebagai sikap penghargaan terhadap perjuangan para pendiri bangsa dan kelak dapat menceritakan kepada anak cucu kita sebagai generasi penerus bangsa.

Burung Garuda Pancasila dalam cerita kuno tentang para dewa adalah kendaraan Dewa Vishnu yang besar dan kuat. Warna Burung Garuda adalah kuning emas yang menggambarkan sifat agung dan jaya.

Garuda adalah seekor burung gagah dengan paruh, sayap, ekor, dan cakar yang menggambarkan kekuatan dan tenaga pembangunan

Jumlah bulu burung garuda pancasila memiliki melambangkan hari kemerdekaan Indonesia , 17 Agustus 1945:

a. Bulu masing-masing sayap berjumlah 17 helai

b. Bulu Ekor berjumlah 8 helai

c. Bulu Leher berjumlah 45 helai

(2)

dan berlindung untuk meraih tujuan. Perisai Garuda bergambar lima simbol yang memiliki arti masing-masing:

a. Bintang, sila ke-1 Pancasila, melambangkan Ketuhanan yang Maha Esa

b. Rantai Baja, sila ke-2, melambangkan Kemanusiaan yang adil dan beradab

c. Pohon beringin, sila ke-3, melambangkan Persatuan Indonesia

d. Kepala banteng, sila ke-4, melambangkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan

e. Padi dan kapas, sila ke-5, melambangkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Garis hitam tebal di tengah perisai melambangkan garis katulistiwa yang melukiskan lokasi Indonesia berada di garis katulistiwa. Warna dasar perisai adalah merah putih seperti warna bendera Indonesia.

B. Filsafat Pancasila

Sebagai suatu paham filosofis, pemahaman terhadap Pancasila pada hakekatnya dapat dikembalikan kepada dua pengertian pokok, yaitu pengertian Pancasila sebagai pandangan hidup dan sebagai Dasar Negara.

Secara etimologis kata ”filsafat“ berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang berarti “cinta kearifan” kata philosophia tersebut berasal dari kata “philos” (pilia, cinta) & “sophia” (kearifan).

(3)

Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia.

Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos. Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai pengetahuan bijaksana, karena itu yang mencarinya adalah oreang yang mencintai kebenaran.

Tentang mencintai kebenaran adalah karakteristik dari setiap filosof dari dahulu sampai sekarang. Di dalam mencari kebijaksanaan itu, filosof mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya (merenung).

Hasil filsafat (berpikir sedalam-dalamnya) disebut filsafat atau falsafah. Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan suatu yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.

C. Pengertian Pancasila

Pancasila merupakan ideologi dasar bagi negara Indonesia yang berasal dari ajaran budha dalam kitab tripitaka dua kata: panca yang berarti lima dan sila yang berarti dasar. Jadi, secara leksikal Pancasia bermakna lima aturan tingkah laku yang penting.

(4)

Pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang dalam, yang kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat. Sedangkan Notonagoro (Ruyadi, 2003:16) menyatakan, Filsafat Pancasila memberi pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakekat dari Pancasila.

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat, memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis tersendiri, yang membedakannya dengan sistem filsafat lain.

Secara ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Notonagoro (Ganeswara, 2007:7) menyatakan bahwa hakekat dasar ontologis Pancasila adalah manusia, sebab manusia merupakan subjek hukum pokok dari Pancasila. Selanjutnya hakekat manusia itu adalah semua kompleksitas makhluk hidup baik sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial.

Secara lebih lanjut hal ini bisa dijelaskan, bahwa yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial adalah manusia.

Kajian epistemologis filsafat Pancasila, dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakekat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Menurut Titus (Kaelan, 2007:15) terdapat tiga persoalan mendasar dalam epistemologi yaitu:

(1) tentang sumber pengetahuan manusia;

(5)

(3) tentang watak pengetahuan manusia.

Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana diketahui bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri serta dirumuskan secara bersama-sama oleh “The Founding Fathers” kita. Jad, bangsa Indonesia merupakan Kausa Materialis-nya Pancasila.

Selanjutnya, Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-silanya maupun isi arti dari sila-silanya. Susunan sila-sila Pancasila bersifat hierarkhis piramidal.

Selanjutnya, sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya yaitu nilai- nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan suatu kesatuan.

1. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia

Pancasila adalah suatu paham filsafat (philosophical way of thinking) oleh karena itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan dapat diterima oleh akal sehat.

Dalam pengertian tersebut, Pancasila disebut juga sebagai way of life, weltanschaung, pegangan hidup, petunjuk hidup, dan sebagainya.

(6)

Sebagai pandangan hidup yang merupakan penjelmaan falsafah hidup bangsa, Pancasila dalam pelaksanaannya sehari-hari tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama, norma-norma kesusilaan, normanorma sopan santun, serta norma-norma hukum yang berlaku.

2. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

Sebagai dasar negara, Pancasila harus dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis konstitusional (menurut hukum ketatanegaraan), oleh karena itu setiap orang tidak boleh atau tidak bebas memberikan pengertian/penafsiran manurut pendapatnya sendiri.

Pancasila dalam pengertian ini sering disebut pula sebagai dasar falsafah negara (philosofische grondslag) atau ideologi negara (staatsidee). Pancasila yang dikukuhkan dalam sidang I dari BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di kandung maksud untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka.

Ada pun dasar itu haruslah berupa suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya.

(7)

unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.

Peraturan selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas dan berpedoman pada UUD.

Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu disebut peraturan-peraturan organik yang menjadi pelaksanaan dari UUD. Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut.

Sebab itu, semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar negara Pancasila).

(8)

Di sinilah tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.

Adalah suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat, dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang didatangkan dari luar negeri.

Dasar negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga sekarang.

Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan banga dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.

3. Pancasila sebagai Jiwa Dan Kepribadian Bangsa Indonesia

Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan kepribadian Indonesia ialah : Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya.

(9)

Garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan budi bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh tempat, lingkungan dan suasana waktu sepanjang masa.

Walaupun bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai peradaban kebudayaan bangsa lain (Hindu, Tiongkok, Portugis, Spanyol, Belanda dan lain-lain) namun kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan berkembang.

Mungkin di sana-sini, misalnya di daerah-daerah tertentu atau masyarakat kota kepribadian itu dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hidup dalam kepribadiannya sendiri.

D. Sejarah Lahirnya Pancasila

BPUPKI yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat mulai melakukan perumusan Dasar Negara Indonesia pada sidang pertamanya yaitu pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 pada proses perumusan dasar negara inilah sejarah atau asal-usul Pancasila bermula. Dalam persidangan itu 3 tokoh besar negara yaitu Muhammad Yamin, Prof. Soepomo dan Ir. Soekarno menyampaikan gagasannya tentang dasar negara yang akan digunakan Indonesia pasca kemerdekaan. Muhammad Yamin yang mendapatkan kesempatan pertama menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia yang secara singkat terdiri dari 5 azas dasar negara kebangsaan Indonesia yang antara lain :

(10)

(4) Perikerakyatan (5) Kesejahteraan Rakyat

Ke-5 azas dasar negara kebangsaan Indonesia tersebut disampaikan M. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945. Setelah M. Yamin, pada tanggal 31 Mei 1945 Prof. Soepomo pun menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia dimana gagasan tersebut terdiri dari 5 point pula, yaitu :

(1) Persatuan (2)Kekeluargaan

(3)Keseimbangan lahir dan batin (4) Masyarakat

(5)Keadilan rakyat

Pada hari terakhir persidangan yaitu tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan gagasan dasar negaranya yang disebutnya dengan istilah Pancasila.gagasan Ir. Soekarno ini langsung diterima oleh sebagian besar anggota persidangan BPUPKI kala itu, sehingga pada tanggal tersebut kita sering memperingati hari lahirnya Pancasila. Gagasan Ir. Soekarno tentang Pancasila-nya ini terdiri 5 azas yaitu :

(11)

(5)Ketuhanan Yang Maha Esa

Pancasila ala Soekarno masih memiliki gaya bahasa yang terlalu kasar sehingga perlu diperhalus agar lebih baik lagi. Oleh karena itu, dibentuklah panitia berjumlah 9 orang yang bertugas merangkum semua gagasan dasar negara Indonesia dengan dijiwai oleh gagasan Soekarno. Hasil kerja panitia tersebut dikenal dengan nama Piagam Jakarta ( Jakarta Charter ). Piagam ini disampaikan pada 22 Juni 1945 dan berbunyi persis sama dengan sila-sila Pancasila yang kita kenal sekarang. Hanya saja ada beberapa bagian yang sengaja diganti untuk lebih menyempurnakannya. Bagian yang diganti adalah sila pertama yang awalnya berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Namun, Pancasila yang diusulkan oleh Soekarno saat itu, cukup berbeda dengan

Pancasila yang kita kenal saat ini. Perbedaan itu, terutama dalam hal susunan

redaksi, sistematika, atau urutan sila-silanya. Naskah resmi Pancasila yang kita

kenal pada saat ini, yaitu :

(1)Ketuhanan Yang Maha Esa

(2)Kemanusiaan yang adil dan beradab (3)Persatuan Indonesia

(4)Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan perwakilan

(5)Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

(12)

Indonesia (PPKI), bersamaan dengan disahkannya UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara.

BAB II

SEJARAH PENITIA SEMBILAN DAN PERUMUSAN PIAGAM JAKARTA

A. Sejarah Panitia Sembilan Dan Hasil Perumusan Piagam Jakarta Tanggal 22 Juni adalah hari yang bersejarah. Piagam Jakarta

ditandatangani. Inti dari Piagam Jakarta adalah pelaksanaan syariah Islam bagi

kaum Muslimin sebagai ganti republik ini belum menjadikan Islam sebagai Dasar

Negara.

Tetapi, setelah itu kenyataan berbicara lain. Tanggal 17 Agustus 1945

yang merupakan hari gembira bagi bangsa Indonesia karena diproklamirkannya

kemerdekaan, namun sehari setelah proklamasi, 18 agustus 1945, adalah hari

kelam bagi Umat Islam Indonesia. Pada hari itu kesepakatan antara umat Islam

(13)

Tujuh kata yang menjamin penegakan syariat Islam di Indonesia dihapus.

“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya” berganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Dengan penghapusan ini, pembukaan konstitusi yang tadinya disebut

sebagai Piagam Jakarta pun berubah drastis. Sebelumnya, para wakil kelompok

Islam yang menjadi anggota Dokuritsu Zyumbi Tyioosaki atau Badan Penyelidik

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) berusaha keras

menjadikan Islam sebagai Dasar Negara.

Perdebatan alot terjadi sehingga lahirlah kompromi berupa Piagam

Jakarta. Islam tidak menjadi dasar Negara, namun kewajiban bagi para

pemeluknya diatur dalam kontitusi.

BPUPKI kemudiaan menetapkan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni

1945. Naskah tersebut di tetapkan sebagai Mukaddimah UUD.

Pada tanggal 7 Agustus BPUPKI berubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia) yang di ketuai oleh Soekarno. Piagam Jakarta bertahan

sebagai Mukaddimah UUD hingga 17 Agustus 1945, karena selang sehari

kemudian dipersoalkan oleh golongan Kristen, yang selanjutnya dibantu para

pengkhianat. Padahal A.A Maramis yang menjadi wakil Kristen di PPKI sudah

setuju dengan piagam tersebut dan ikut menandatangani.

B. Rekayasa Politik

Kronologi penghapusan Piagam Jakarta cukup misterius. Pada tanggal 18

(14)

Indonesia timur. Jika tujuh kata dalam Sila Pertama pembukaan

(Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya) tidak dihapus, mereka akan memisahkan diri dari Indonesia

merdeka.

Hatta dan Soekarno, yang memang termasuk kelompok sekuler, kemudian

membujuk anggota PPKI dari kelompok Muslim untuk menyetujui penghapusan

tujuh kata itu. Di antara mereka hanya Ki Bagus Hadi Kusumo yang bersikeras

tak mau. Menurut Ki Bagus, itu berarti mencederaigentlemen

agreement (Kesepakatan di antara para pria terhormat) yang sudah mereka

sepakati bersama. Soekarno dan Hatta kemudian menyuruh Tengku Moh. Hassan

(anggota PPKI dari Aceh) dan Kasman Singodimedjo (Anggota Muhammadiyah

seperti Ki Bagus) untuk membujuk Ki Bagus. Kasman-lah yang berhasil

meyakinkan, terutama dengan janji syariat Islam akan masuk kembali dalam

dalam konstitusi daerah setelah MPR terbentuk enam bulan kemudian. Dan,

kenyataannya, Soekarno ingkar janji. Para pemimpin Islam kena tipu mulut

manisnya Soekarno. Jadi, kelak, itulah salah satu alasan utama yang

melatarbelakangi timbulnya perjuangan DI-TII pimpinan Kartosuwirjo.

Kelak Kasman sangat menyesali peran dalam penghapusan tujuh kata

tersebut. Ternyata hal tersebut berujung pada nasib tragis umat Islam di Indonesia

yang mayoritas tetapi tidak boleh menjalankan syariat di dalam negeri

sendiri. Kabarnya, Kasman Singodimedjo, selalu menangis jika teringat perannya

membujuk Ki Bagus.

(15)

Pertanyaan pertama dan kedua agak sulit dijawab. Sampai wafatnya, Hatta

tak pernah membuka mulut siapa pemberi dan penyampai pesan itu. Ia mengaku

lupa (atau pura-pura lupa, ada juga dugaan itu fiktif, red) siapa nama opsir jepang

tersebut. Ada beberapa spekulasi yang menyebut bahwa pemberi pesan itu adalah

dr. Sam Ratulangi, tokoh krsten dari Sulawesi utara. Kini namanya diabadikaan

sebagai nama universitas di Manado.

Artawijaya, dalam Peristiwa 18 Agustus 1945: “Pengkhianatan Kelompok

Sekuler Menghapus Piagam Jakarta”, menguraikan beberapa teori yang mungkin

bisa menjawab pertanyaan di atas. Pertama, soal Opsir Jepang, Artawijaya

mengambil teori Ridwan Saidi, seperti dikutip dari Dr Sujono Martoesewojo dkk,

dalam bukunya “Mahasiswa ’45 Prapatan 10”. Menurut Ridwan, anggapan bahwa

ada opsir jepang yang datang ke rumah Hatta pada petang hari tanggal 18

Agustus 1945 kemungkinan karena kesalahpahaman saja. Iman Slamet,

mahasiswa kedokteran yang menemani Piet Mamahit menemui Hatta memang

berpostur tinggi, rambut pendek, mata sipit, dan suka berpakaian putih-putih.

Iman Slamet inilah yang kemungkinan dikira Opsir Jepang oleh Hatta. (Ini aneh.

Jika betul Hatta mengira Slamet sebagai opsir Jepang, apa dia, Hatta, tidak

bertanya tentang Slamet, kenapa bisa langsung menyimpulkan sebagai opsir

Jepang

D. Kenapa tokoh Kristen tak menghadiri acara penting dan sangat bersejarah itu?

(16)

kata dalam piagam Jakarta. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno

yang mengatakan bahwa malam hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia

mendapat telepon dari sekelompok mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan

bahwa siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal 17 Agustus), tiga orang anggota PPKI

asal Indonesia timur, dr Sam Ratulangi, Latuharhary, dan I Gusti Ketut Pudja

mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang aktivis mahasiswa.

Mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat dalam Piagam Jakarta, bagi

mereka, sangat menusuk perasaan golongan Kristen.

Pada saat itu Latuharhaary sengaja mengajak dr. Sam Ratulangi, I Gusti

ketut Pudja, dan dua aktivis asal Kalimantan timur, agar seolah-olah suara mereka

mewakili masyarakat Indonesia wilayah timur. Mereka juga sengaja melempar isu

ini ke kelompok mahasiswayang memang mempunyai kekuatan menekan, dan

mengharap isu ini juga menjadi tanggung jawab mahasiswa.

Kelompok mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian

mengundang para mahasiswa untuk datang menemuinnya pukul 17.00 WIB.

Hadir dalam pertemuan itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit dan Iman Slamet.

Setelah berdialog Hatta kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata

dalam Piagam Jakarta. Setelah dari Hatta malam itu juga para mahasiswa

menelpon Soekarno untuk menyatakan keberatan dari tokoh Kristen Indonesia

timur.

Tokoh dimaksud adalah dr. Sam Ratulangi yang sebelumnya mendatangi

(17)

Ratulangi meminta mereka untuk terlibat dalam penghapusan tujuh kata dalam

Piagam Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan Hatta

mengatur pertemuan pada sore harinya.

Berdasarkan fakta tadi maka keterangan Hatta soal adanya pertemuan

dengan Opsir Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan. Karena itu dalam sebuah

diskusi tentang piagam Jakarata, Ridwan Saidi mengatakan,“Dengan segala

hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus

piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa ia berdusta.

Penelitian Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang diterbitkan

di Cornell University AS, yang mengatakan bahwa dalang di balik sosok misterius

opsir Jepang adalah dr. Sam Ratulangi, yang disebut dalam buku itu sebagaian

astune Christian politician from Manado, north Sulawesi (Seorang politisi Kristen

yang licik dari Manado, Sulawesi Utara).

Jadi, menurut teori Ridwan Saidi, Hatta menyembunyikan fakta bahwa

yang ia temui bukanlah seorang opsir Jepang. Bisa jadi yang ia temui dan

disangka Opsir Jepang adalah mahasiswa, Iman Slamet, yang fisik dan

pakaiannya mirip orang jepang. Sementara tokoh Indonesia timur yang membawa

pesan itu adalah dr. Sam Ratulangi. (Tapi andai pun benar opsir Jepang,

memangnya kenapa, tetap tak ada juga alasan untuk berkhianat,red).

E. Kaum Islamfobia

Pendek cerita, tujuh kata itu dihapus. Namun tak hanya itu, beberapa

(18)

ketiga, benarkah Indonesia Timur yang mayoritas Kristen tak akan melepaskan

diri setelah penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta?

Sejarah kemudian membuktikan, kawasan yang menjadi modal klaim

kelompok Kristen itu ternyata tetap berusaha melepaskan diri dari naungan NKRI

—meskipun tujuh kata sebagai pengorbanan umat Islam itu sudah dihapus. Tapi,

walaupun umat Islam (khususnya para pimpinan dan toloh Islam) kala itu sudah

dikhianati, dikadalin dan ditipu, berikutnya tak jua mengambil pelajaran dari

pengalaman pahit ini!

Pemberontakan RMS di Maluku dan Permesta di Sulawesi Utara

membuktikan, tanpa tujuh kata tentang Syariat Islam pun, kelompok Kristen

memang tak betah bernaung di bawah NKRI. Kelak kebencian itu menggelora

lagi di kawasan yang sama. Sekian abad dimanja Belanda sebagai warga kelas

satu membuat kelompok Kristen tak sudi dipimpin oleh Muslim.

Faktanya lagi, pada saat bangsa Indonesia masih berpegang teguh pada

UUD 1945 (hasil perubahan yang memenuhi aspirasi kelompok

Kristen), tohorang-orang Kristen dan Katolik dari Timur itu ternyata tetap sangat

kuat keinginannya untuk melepaskan diri dari Indonesia. Munculnya gerakan

RMS, FKM, Kongres Papua, Papua Merdeka, adalah sebagai bukti. Demikian

pula, peristiwa Ambon dan Poso yang dilatarbelakangi rebutan posisi politik lokal

menunjukkan sinyalemen tersebut.

Yang terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 betul-betul tragedi hitam bagi

(19)

dikhianati dan dibohongi! Tapi, sayangnya, dalam banyak peristiwa umat Islam

negeri ini masih juga tak mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya.

Kerap gagap, kegigit lidah dan mudah jadi pecundang! Atau mengalah demi

toleransi yang padahal golongan lain (yang minoritas) itu pun tak pernah mau

bertoleransi dengan umat yang mayoritas ini.

Sebagai contoh, umat Islam ingin melaksanakan ajarannya sendiri yang

diatur melalui Piagam Jakarta, lantas apa urusannya kelompok lain keberatan?

Kenapa mereka menolak umat Islam untuk melaksanakan syariat yang diatur

dengan aturan yang dibuat sendiri oleh umat Islam? Begitu pula dengan

sejumlah Perda yang mengatur umat Islam, kenapa harus sewot jika kaum

Muslimin melaksanakan ajarannya sesuai ketentuan dalam Perda itu?

Belakangan, ketika sejumlah Perda yang mengatur pelaksanaan syariah

untuk umat Islam muncul, kelompok yang dulu menolak Piagam Jakarta,

termasuk kaum sekuler dan liberal saat ini, kembali sewot! Padahal, Soekarno

sendiri dalam dekritnya, 5 Juli 1959, jelas-jelas menyatakan bahwa Piagam

Jakarta menjiwai UUD ’45. Jadi, jika sekarang umat Islam mengatur dirinya

melalui Perda Syariah, itu sah-sah saja, dan sangat sesuai dengan UUD ’45,

karena Piagam Jakarta itu menjiwai UUD.

Itu, baru segitu, kelompok yang sebenarnya tidak benar-benar berjuang

untuk Indonesia merdeka (karena mereka lebih suka dipimpin penjajah yang

ideologinya sama), mereka sudah sewot dan menusuk dari belakang. Nah,

(20)

diberlakukannya Piagam Jakarta atau Dasar Negara yang berdasarkan Islam,

sebagaimana janji Soekarno?

Sebab, walau bagaimanapun, umat mayoritas ini berhak merealisasikan

Piagam Jakarta—lantaran penghapusan tujuh kata dan pengebirian kesepakatan

lainnya dalam UUD 45 itu adalah tidak sah. Piagam Jakarta itu sudah disepakati

dan disahkan pada 22 Juni 1945, dan golongan Kristen, AA Maramis pun sudah

tanda tangan!

Jadi, jika Perda-perda Syariah itu dijalankan, sah-sah saja dan merupakan

hak umat Islam sebagai bagian pelaksanaan Piagam Jakarta. Sedang penghapusan

tujuh kata itu dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan wakil-wakil Islam yang

bersama-sama kelompok nasionalis-sekuler dan wakil dari golongan Kristen

menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945.

Karenanya, sekali lagi, penghapusan tujuh kata itu tidak sah. Dengan

demikian, Piagam Jakarta itu sampai sekarang tetap berlaku. Apalagi disebutkan,

UUD 45 itu dijiwai oleh Piagam Jakarta. Sementara Dasar Negara Islam yang

dijanjikan belum jua diberlakukan, karena pengkhianatan, pembohongan dan

penipuan yang dilakukan terhadap umat Islam.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

http://www.netralnews.com/news/singkapsejarah/read/9414/sejarah.lahirnya.

(22)

http://www.salam-online.com/2012/06/22-juni-seputar-piagam-jakarta-soekarno-berkhianat-bohong-hatta-berdusta.html

http://news.okezone.com/read/2015/06/01/337/1158200/menengok-sejarah-lahirnya-pancasila

Referensi

Dokumen terkait

Sebahagian besar perkataan dalam Bahasa Banjar adalah sama dengan Bahasa Melayu, begitu juga dengan awalan seperti di, ber, ter, men, meng, dan akhiran seperti kan, an

Yaitu : PENYARING AIR KOLAM UNTUK BUDIDAYA LOBSTER AIR TAWAR SECARA OTOMATIS MENGGUNAKAN SISTEM MIKROKONTROLER, agar lobster air tawar dapat hidup sehat dengan

Berdasarkan hasil peneliti mendapatkan bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini memiliki kinerja yang baik.Kinerja seorang dosen di dalam suatu perguruan

Selain itu, buku- buku cerita yang disiapkan untuk pelatihan, yang nantinya diberikan kepada mitra sebagai koleksi di ruang Kid’s zone dan ruang rawat anak mereka, adalah

Pengadaan 46 Tabel 4.2 Kriteria Usulan Pemilihan Supplier (Dickson 1966) 48 Tabel 4.3 Hasil Kuesioner Delphi Putaran 1 50 Tabel 4.4 Hasil Kuesioner Delphi Putaran 2 51

Penghitungan jumlah kromosom ikan hias mas koki diploid dan tetraploid diperoleh dari hasil perlakuan yang diberikan, dilakukan dengan cara mengambil 10 ekor ikan

Evaluasi teknis dilakukan terhadap peserta yang memenuhi syarat evaluasi administrasi. Unsur-unsur yang dievaluasi sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pemilihan :

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kecerdasan verbal-linguistik melalui metode bernyanyi pada anak kelompok