• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar D-dimer Saat Awal Pemeriksaan Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kadar D-dimer Saat Awal Pemeriksaan Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KADAR D-DIMER SAAT AWAL

PEMERIKSAAN PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

TERHADAP KEMATIAN 30 HARI

TESIS

Oleh

FAHMI

NIM : 077101002

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HUBUNGAN KADAR D-DIMER SAAT AWAL

PEMERIKSAAN PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

TERHADAP KEMATIAN 30 HARI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar

Spesialis Penyakit Dalam dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam

pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

FAHMI

NIM : 077101002

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KADAR D-DIMER

SAAT AWAL PEMERIKSAAN PADA

PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

TERHADAP KEMATIAN 30 HARI

Nama Mahasiswa

: Fahmi

NIM

: 077101002

Program Studi : Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

Menyetujui,

Pembimbing Tesis I Pembimbing Tesis II

(dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP) (dr. E. N. Keliat, Sp.PD-KP) NIP .195104011977111001 NIP. 195207131982031002

Ketua Program Studi Ketua Departemen

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam

(dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH) (dr. Salli R Nasution, SpPD-KGH) NIP. 1953625 198201 1001 NIP. 19540514 198110 1002

Tanggal lulus : 5 Juni 2013

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama

: Fahmi

NIM

: 077101002

(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Fahmi

NIM : 077101002

Program Studi : Ilmu Penyakit Dalam Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul :

HUBUNGAN KADAR D-DIMER SAAT AWAL

PEMERIKSAAN PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

TERHADAP KEMATIAN 30 HARI

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat, dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 20 Mei 2013 Yang menyatakan

(6)

Abstrak

Hubungan Kadar D-dimer Saat Awal Pemeriksaan Pada Pasien

Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari ”

Fahmi, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan rencana tatalaksana selanjutnya yang lebih baik sehingga angka kematian 30 hari pada PK dapat dikurangi. D-dimer (DD) dikenal sebagai biomarker koagulasi yang berguna dalam menilai derajat keparahan PK. DD dapat berperan dalam prognosis penderita PK.

Tujuan :

Untuk mengetahui hubungan kadar D-dimer pada saat awal pemeriksaan pasien pneumonia komunitas terhadap kematian 30 hari.

Bahan dan Cara :

Penelitian dilakukan secara cohort study yang bersifat prospektif. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), DD, laboratorium darah, kultur sputum dan darah. Selanjutnya skor CURB-65 dihubungan dengan DD dan kematian 30 hari.

Hasil :

Dari 57 subjek penelitian dimana yang meninggal sebanyak 17 subjek (36,2%) yang tergolong dalam skor CURB-65 berat memiliki kadar DD > 500 μg/ L, dan sebanyak 3 subjek (6,4%) yang tergolong dalam skor CURB-65 ringan-sedang memiliki kadar kadar DD < 500 μg/ L. Setelah dilakukan chi-Square test

diperoleh hubungan signifikan antara peningkatan kadar DD dengan kematian 30 hari (p= 0,0001)

Kesimpulan :

Kadar D-dimer diawal pemeriksaan pada penderita pneumonia komunitas berkorelasi kuat dengan jumlah kematian 30 hari, dimana semakin tinggi tinggi kadar D-dimer maka semakin tinggi jumlah kematian 30 hari.

(7)

Abstract

Levels of D-dimer relationship Preliminary Examination In Patients At Community Against Pneumonia 30-Day Mortality

Fahmi, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Internal Medicine Department Division

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital Medan

Background

Pneumonia in patients with community, to assess the degree of severity in the early admission is crucial because it will determine the severity of the disease and subsequent treatment of the plan better so that 30-day mortality rate can be reduced on the PK. D-dimer (DD) is known as coagulation biomarkers are useful in assessing the degree of severity of community acquired pneumonia (CAP) . DD can play a role in the prognosis of patients with community acquired pneumonia (CAP).

Objective :

To determine the relationship of D-dimer levels at initial examination of community pneumonia patients to death 30 days.

Materials and Methods :

Research conducted a prospective cohort study. Subjects with CAP coming from the emergency department, after meeting the assessment criteria CURB-65 score (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age > 65 years), DD, laboratory blood, sputum and blood cultures. We had correlate the DD levels with CURB-65 to 30-day mortality.

Result:

Of the 57 subjects in which the dead were 17 subjects (36.2%) were classified in the CURB-65 score has a weight of DD levels > 500 μg/L, and as many as 3 subjects (6.4%) were classified in the CURB-65 score had mild-moderate levels of DD levels < 500 μg/L. After the chi-square test obtained a significant relationship between elevated levels of DD with 30-day mortality (p = 0.0001)

Conclusion :

D-dimer levels in patients with pneumonia early inspection is strongly correlated with the number of community deaths 30 days, where the higher the higher levels of D-dimer, the higher number of deaths 30 days.

Key Word : community acquired pneumonia, CURB-65 score, D-dimer,

(8)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu saya mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “ Hubungan Kadar D-dimer Saat Awal Pemeriksaan Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari “ yang

merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter ahli di bidang ilmu penyakit dalam pada fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H ADAM MALIK MEDAN yang telah memberikan kemudahan dan dorongan buat penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

2. Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH dan Sekretaris Program Ilmu Penyakit Dalam Dr Zainal Safri,

SpPD,SpJP yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan

membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.

3. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH sebagai Ketua TKP-PPDS FK USU ketika saya diterima sebagai peserta pendidikan spesialis penyakit dalam. Terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk dapat mengikuti program pendidikan spesialis. Demikian juga kepada Dr. Refli Hasan, SpPD-SpJP dan Dr. Arif Fadillah, SpPD yang telah bersedia member rekomendasi dan motivasi untuk bisa mengikuti pendidikan ini. Kiranya kebaikan yang telah beliau berikan kepada saya dibalas oleh Allah SWT.

4. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP dan Dr. Ermanta Ngirim Keliat, Sp.PD-KP sebagai pembimbing tesis, yang

(9)

Kiranya Allah SWT memberikan rahmat dan karunia kepada beliau beserta keluarga.

5. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUD Dr Pirngadi / RSUP H Adam Malik medan : Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH., Prof. Dr. Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM., Prof.

Dr. Habibah Hanum, KPsi., Prof. Dr. Sutomo Kasiman,

SpPD-KKV., Prof. Dr. Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAI-SpMK., Prof. Dr. OK

Moehad Sjah, SpPD-KR., Prof. Dr. Lukman H. Zain, SpPD-KGEH.,

Prof. Dr. M. Yusuf Nasution, SpPD-KGH., Prof. Dr. Azmi S Kar,

SpPD-KHOM., Prof. Dr. Gontar A Siregar, SpPD-KGEH., Prof. Dr.

Haris Hasan, SpPD-SpJP(K)., Dr. Nur Aisyah, SpPD-KEMD., Dr. A

Adin St Bagindo, SpPD-KKV., Dr. Lutfi Latief, SpPD-KKV., Dr.

Syafii Piliang, SpPD-KEMD (Alm)., Dr. T. Bachtiar Panjaitan, SpPD.,

Dr. Rustam Effendi YS, KGEH., Dr. Abiran Nababan,

SpPD-KGEH., Dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH (Alm)., Dr. Sri M

Sutadi, SpPD-KGEH., Dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH., Dr. Salli

R. Nasution, SpPD-KGH., DR. Dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH.,

Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP., Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis,

SpPD-KGH., Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD., DR. Dr Umar

Zein, SpPD-KPTI-DTM&H-MHA., Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI.,

Dr. Refli Hasan, SpPD-SpJP., Dr. EN. Keliat, SpPD-KP., DR. Dr.

Blondina Marpaung, SpPD-KR., Dr. Leonardo Dairy, SpPD-KGEH.,

Dr. Pirma Siburian, SpPD-KGer., Dr. Mardianto, SpPD-KEMD., Dr.

Santi Safril, SpPD-KEMD., Dr Zuhrial, SpPD-KAI., yang merupakan

guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.

6. Dr. Armon Rahimi, KPTI., Dr. R Tunggul Ch Sukendar, SpPD-KGH (Alm)., Dr. Daud Ginting, SpPD., Dr. Tambar Kembaren,

SpPD., Dr. Saut Marpaung, SpPD., Dr. Dasril Effendi, SpPD-KGEH.,

Dr. Ilhamd, SpPD., Dr. Calvin Damanik, SpPD., Dr. Rahmat Isnanta,

SpPD., Dr. Jerahim Tarigan, SpPD., Dr. Endang, SpPD., Dr. T.

(10)

SpPD., Dr. Fransiskus Ginting, SpPD., Dr. Deske Muhadi, SpPD., Dr.

Syafrizal Nst, SpPD., Dr. Alwi Thamrin, SpPD, Dr. Ida Nensi Gultom,

SpPD., Dr. Imelda Rey, SpPD., Dr. Anita Rosari, SpPD., Dr. Wika

Hanida, SpPD., Dr. Radar R Ginting, SpPD., Dr. Ameliana Purba,

SpPD., Dr. Henny Syahrini Lubis, SpPD, Dr. Riri Andri Muzasti,

SpPD, dan Dr. Taufik Sungkar, SpPD., sebagai dokter kepala ruangan /

poliklinik / senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

7. Kepada teman-teman seangkatan selama pendidikan yang memberikan dorongan semangat: Dr. Halomoan Budi Susanto, SpPD, Dr. Trio A. L. Putra, SpPD, Dr. Alfred T Situmorang, SpPD, Dr. Johannes Purba,

SpPD, Dr. Melati Nasution, SpPD, Dr. Terang Meliala, SpPD dan

Dr. Sumi Ramadhani. Juga para teman sejawat dan PPDS interna lainnya

yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, paramedik dan Bapak Syarifuddin Abdullah, Kak Leli, Erjan, Deni, Fitri, Ita, Wanti, Yanti,

Tika dan Sari atas kerjasama yang baik selama ini.

8. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

9. Para co-asisten dan petugas kesehatan di SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan / RSUD Dr. Pirngadi Medan, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

10. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud.

11. Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang

(11)

Rasa hormat dan terima kasih saya yang setinggi-tingginya dan setulusnya penulis tujukan kepada ayahanda H. Rusli Abbas dan ibunda Hj. Yusnidar yang sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata yang tepat untuk mengucapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa -jasanya ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan kebahagian kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi. Demikian juga mertua saya (Alm) H. T.M. Kasfi dan (Alm) Hj. Rosminah yang telah mendukung, membimbing, menyemangati dan menasihati agar kuat dalam menjalani pendidikan, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kebahagiaan kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.

Kepada isteriku tercinta Hj. Cut Miflisa Diana, SEAk dan kedua anakku tercinta Nadhiratul Jasmine, dan (Alm) Farah Adeeba, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan dukungan yang telah diberikan selama ini. Semoga apa yang kita capai dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan diberkati oleh Allah SWT.

Kepada adik-adikku Arief Gunawan ST, Fitriani AmKeb, dan Azwir ST yang telah banyak membantu memberi semangat dan dorongan selama pendidikan, terima kasihku yang tak terhingga untuk segalanya.

Kepada semua pihak baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin kami ucapkan satu persatu yang telah membantu kami dalam menyelesaikan pendidikan spesialis ini, kami ucapkan banyak terima kasih

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih, maha pemurah dan maha penyayang.

Medan, Mei 2013

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembaran Pengajuan tesis ... ii

Lembaran Pengesahan... iii

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep ... 21

4.9 Ethical clearance dan informed consent ... 28

(13)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian... 29 5.2. Pembahasan ... 32 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.6.1 Skor CURB-65 ... 14 Tabel 5.1.1 Data karakteristik dasar subjek dengan pneumonia komunitas 30 Tabel 5.1.2 Hubungan D-dimer terhadap skor CURB-65 ... 31 Tabel 5.1.3 Hubungan D-dimer terhadap skor CURB-65

dengan kematian 30 hari ... 32

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.2.1 Degradasi bekuan fibrin ... 8

Gambar 2.3.1 Hubungan D-dimer dengan PSI ... 9

Gambar 2.4.1 Patogenesis penumpukan fibrin intrapulmoner ... 11

Gambar 2.8.1 Patofisiologi sepsis ... 18

(16)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama

ACCP The American College of Chest Physician

ALI Acute lung injury

APACHE Acute Physiology and Chronic Health Evaluation

APC Activated protein C

ARDS Acute Respiratory Distress Syndrome)

ATS American Thoracic Society

AUC Area Under Curve

BACTEC Best Patient Care Drug Neutralization Capabilities

BAL Broncoalveolar lavage

BTS British Thoracic Society

CURB-65 Confusion, Ureum, Respiratory rate, Blood pressure, Age 65.

DD D dimer

DIC Disseminated Intravascular Coagulation Dkk Dan kawan-kawan

DVT Deep Vein Thrombosis

FDP Fibrin degradation product

g/dl Gram per desiliter

HCAP Health-Care Associated Pneumonia

ICU Intensive care unit

IDSA Infectious Disease Society of American

IL Interleukin

m-ATS Modified ATS

mmHg Millimeter air raksa

MSOF Multy system organ failure n Jumlah subjek penelitian

SCCM The Society for Critical Care Medicine

SD Standar Deviasi

(17)

SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga

SLE Sistemik Lupus Eritematosus

ST Sensitivity test

TF Tissue factor

TFPI Tissue factor pathway inhibitor TNF-α Tumor necrosis factor

TREM-1 Triggering receptor expressed on myeloid cell-1

Z α Deviat baku untuk α

Z Deviat baku untuk

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1. Lembar Penjelasan Kepada Subjek ... 40

LAMPIRAN 2. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian ... 41

LAMPIRAN 3. Lembar Kerja Profil Peserta Penelitian... 42

LAMPIRAN 4. Lembar Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 43

LAMPIRAN 5. Daftar Riwayat Hidup ... 44

(19)

Abstrak

Hubungan Kadar D-dimer Saat Awal Pemeriksaan Pada Pasien

Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari ”

Fahmi, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang

Pada penderita pneumonia komunitas, melakukan penilaian derajat keparahan pada awal pasien masuk sangat penting sebab akan menentukan beratnya penyakit dan rencana tatalaksana selanjutnya yang lebih baik sehingga angka kematian 30 hari pada PK dapat dikurangi. D-dimer (DD) dikenal sebagai biomarker koagulasi yang berguna dalam menilai derajat keparahan PK. DD dapat berperan dalam prognosis penderita PK.

Tujuan :

Untuk mengetahui hubungan kadar D-dimer pada saat awal pemeriksaan pasien pneumonia komunitas terhadap kematian 30 hari.

Bahan dan Cara :

Penelitian dilakukan secara cohort study yang bersifat prospektif. Subjek dengan pneumonia komunitas yang masuk dari instalasi gawat darurat, setelah memenuhi kriteria dilakukan penilaian skor CURB-65(Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age >65 years), DD, laboratorium darah, kultur sputum dan darah. Selanjutnya skor CURB-65 dihubungan dengan DD dan kematian 30 hari.

Hasil :

Dari 57 subjek penelitian dimana yang meninggal sebanyak 17 subjek (36,2%) yang tergolong dalam skor CURB-65 berat memiliki kadar DD > 500 μg/ L, dan sebanyak 3 subjek (6,4%) yang tergolong dalam skor CURB-65 ringan-sedang memiliki kadar kadar DD < 500 μg/ L. Setelah dilakukan chi-Square test

diperoleh hubungan signifikan antara peningkatan kadar DD dengan kematian 30 hari (p= 0,0001)

Kesimpulan :

Kadar D-dimer diawal pemeriksaan pada penderita pneumonia komunitas berkorelasi kuat dengan jumlah kematian 30 hari, dimana semakin tinggi tinggi kadar D-dimer maka semakin tinggi jumlah kematian 30 hari.

(20)

Abstract

Levels of D-dimer relationship Preliminary Examination In Patients At Community Against Pneumonia 30-Day Mortality

Fahmi, E.N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Pulmonology and Allergy-Immunology Internal Medicine Department Division

Faculty of Medicine University of Sumatera Utara H. Adam Malik General Hospital Medan

Background

Pneumonia in patients with community, to assess the degree of severity in the early admission is crucial because it will determine the severity of the disease and subsequent treatment of the plan better so that 30-day mortality rate can be reduced on the PK. D-dimer (DD) is known as coagulation biomarkers are useful in assessing the degree of severity of community acquired pneumonia (CAP) . DD can play a role in the prognosis of patients with community acquired pneumonia (CAP).

Objective :

To determine the relationship of D-dimer levels at initial examination of community pneumonia patients to death 30 days.

Materials and Methods :

Research conducted a prospective cohort study. Subjects with CAP coming from the emergency department, after meeting the assessment criteria CURB-65 score (Confusion, Urea, Respiratory rate, Blood pressure, Age > 65 years), DD, laboratory blood, sputum and blood cultures. We had correlate the DD levels with CURB-65 to 30-day mortality.

Result:

Of the 57 subjects in which the dead were 17 subjects (36.2%) were classified in the CURB-65 score has a weight of DD levels > 500 μg/L, and as many as 3 subjects (6.4%) were classified in the CURB-65 score had mild-moderate levels of DD levels < 500 μg/L. After the chi-square test obtained a significant relationship between elevated levels of DD with 30-day mortality (p = 0.0001)

Conclusion :

D-dimer levels in patients with pneumonia early inspection is strongly correlated with the number of community deaths 30 days, where the higher the higher levels of D-dimer, the higher number of deaths 30 days.

Key Word : community acquired pneumonia, CURB-65 score, D-dimer,

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pneumonia memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh dunia. Di Indonesia, berdasarkan data studi mortalitas dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 mencatat kematian akibat pneumonia dan infeksi saluran nafas sebanyak 34/100.000 penduduk (pada pria) dan 28/100.000 penduduk (pada wanita) (SKRT, 2001). Hardiyanto, dkk melaporkan dari 235 pasien yang dirawat di R.S. Hasan Sadikin Bandung, sebanyak 75,3% menderita pneumonia komunitas (PK) (Dahlan Z, 2000). Di negara maju seperti Amerika Serikat, PK menyebabkan angka rawatan 1,3 juta orang per tahun(De Frances CJ dkk, 2008; Mikaeilli H dkk, 2009; Mira JP dkk, 2008) dan tercatat sebagai penyebab terbesar sepsis berat dan kematian terbanyak akibat infeksi. Tingginya angka kejadian dan dampak mortalitas diikuti oleh tingginya biaya kesehatan terutama pada penderita PK berat (Mikaeilli H dkk, 2009; Mira JP dkk, 2008).

Pneumonia secara umum adalah radang dari parenkim paru, dengan karakteristik adanya konsolidasi dari bagian yang terkena dan alveolar terisi oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia yang berkembang diluar rumah sakit atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit disebut dengan pneumonia komunitas (PK) dan tidak memenuhi kriteria Health-Care Associated Pneumonia (HCAP) (Abidin A, 2010).

Berbagai sistem untuk memeriksa keparahan penyakit dan resiko kematian pada PK telah ada dan dipakai secara luas, antara lain PSI (Pneumonia Severity index), PORT (Patients Outcomes Research Team Score), sistem CURB65

(22)

dibandingkan dengan CURB-65 (AUC: 0,73 – 0,83), CRB-65 (AUC: 0,69 – 0,78) (Mira JP dkk, 2008; Crain MC dkk, 2010; Muller B dkk,2007). serta pentingnya peran biomarker dalam diagnosis, penatalaksanaan, maupun sebagai faktor prediktor untuk menilai prognosis pada PK. Ada beberapa biomarker koagulasi yang potensial yang dapat digunakan yaitu Protein C, D-Dimer (DD), thrombin-antithrombin complex, prothrombin fragment 1,2, activated partial thromboplastin time waveform

analysis (Mira JP dkk, 2008; Abidin A, 2010; Crain MC dkk, 2010).

Mikaelli dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada pasien yang

memiliki derajat keparahan PK yang berat dengan nilai (p <0,001) (Mikaeilli H dkk, 2009).Agapakis dkk, melaporkan bahwa DD sebagai biomarker koagulasi pada PK memiliki sensitivitas 90% dan spesifitas 78% untuk menentukan perlunya perawatan di rumah sakit, dengan nilai cut-off point DD 600 ng/ml, sedangkan AT-III memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 75% (Agapakis DI dkk, 2010).

D-dimer dikenal sebagai produk degradasi cross linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik (Mikaeilli H dkk, 2009; Shorr AF dkk, 2002). D-dimer (DD) menandakan adanya aktivasi sistem koagulasi. Kadar DD akan meningkat pada kelainan yang dapat memicu pembentukan fibrin dan katabolisasinya, kelainan ini antara lain adalah emboli paru,

deep vein thrombosis (DVT), tumor solid, leukemia, infeksi berat, trauma atau post-operatif, disseminated intravascular coagulation (DIC), kehamilan, stroke akut,

sickle-cell anemia, gagal jantung kongestif, dan gagal jantung (Shorr AF dkk, 2002; Arslan S,2010; Castro DJ, 2001).

(23)

Pneumonia yang awalnya infeksi lokal, mengakibatkan aktivasi koagulasi sistemik, ini disebabkan aktivasi lokal dari sistem koagulasi yang terjadi pada pneumonia dengan deposisi fibrin dalam kompartemen alveolar yang terinfeksi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, merangsang sitokin proinflamasi dan meningkatkan akumulasi neutrofil (Milbrandt dkk, 2009). Aktivasi koagulasi lokal yang muncul akan didorong terutama oleh tissue factor (Rijneveld dkk, 2006; Van der Poll T, 2008). Biasanya, sangat sedikit tissue factor (TF) yang keluar dari sirkulasi darah namun alveolar makrofag, neutrofil, dan sel endotel dapat mengeluarkan TF pada permukaan dimana membentuk thrombogenic tissue factor

yang selanjutnya berkembang menjadi gangguan koagulasi sistemik selama infeksi paru (Abraham E dkk, 2000).

Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan hubungan antara nilai DD dengan perluasan kerusakan paru yang terjadi pada penderita PK. Pada penelitian Levi dkk melaporkan hubungan antara perluasan kerusakan paru, gambaran radiologi, dan peningkatan DD pada penderita pneumonia berat (Levi M dkk, 2003). Ribelles dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada penderita dengan pneumonia lobar atau multilobar dibandingkan dengan pneumonia segmental. Selain itu penelitian tersebut juga menemukan hubungan yang erat antara angka mortalitas dan nilai DD pada penderita PK. Nilai mean DD 3,786 ± 2,646 ng/ml pada pasien yang meninggal, dan 1,609 ± 1,808 ng/ml pada pasien yang hidup. Mereka juga berhasil menemukan bahwa pasien PK dengan PSI kategori IV dan V yang memiliki nilai DD yang tinggi lebih dari 2000 ng/ml memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Sedangkan nilai DD yang rendah pada pasien PK (< 500 ng/ml) pada saat awal masuk ke rumah sakit ternyata menurunkan resiko untuk mengalami kematian lebih awal atau morbiditas yang berat (Ribelles JMQ dkk, 2004) Chalmer dkk, juga melaporkan bahwa nilai DD < 500 ng/ml pada pasien PK yang diperiksa

(24)

PK pada saat awal masuk sehingga dapat direncanakan tatalaksana dini yang lebih baik sehingga angka kematian 30 hari pada PK dapat dikurangi.

Oleh karena itu, peneliti berminat melakukan suatu penelitian yang mencari hubungan antara kadar D-dimer terhadap kematian 30 hari pada awal pasien PK datang ke rumah sakit. Selain itu, hingga saat ini penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Medan.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan kadar D-dimer saat awal pemeriksaan pada pasien pneumonia komunitas terhadap kematian 30 hari.

1.3. Hipotesa

Semakin tinggi kadar D-dimer saat awal pemeriksaan pada penderita pneumonia komunitas semakin tinggi jumlah kematian 30 hari.

1.4. Tujuan Penelitian

Diketahuinya hubungan kadar D-dimer saat awal pemeriksaan pada pasien pneumonia komunitas terhadap kematian 30 hari.

1.5. Manfaat Penelitian

5.1. Dapat membantu klinisi dalam mengidentifikasi hubungan derajat keparahan pneumonia dengan petanda koagulasi sehingga dapat menentukan tatalaksana pasien pneumonia komunitas secara dini.

5.2. Membantu meyakinkan klinisi dalam mengambil keputusan untuk pemberian antibiotika sejak awal.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biomarker pada Pneumonia

Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas) dan tanda (infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS, 2009). Sebagai penyakit infeksi, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003).

Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui A dkk,2006). Dalam suatu analisis receiving operating characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai akurasi diagnostik dari PK, didapatkan kelemahan gambaran klinik (demam, batuk, produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan

area under cover (AUC) sebesar 0,79 (Mira JP dkk, 2008).

Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi dan akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk,2006).

(26)

dalam menilai risiko kematian penderita PK. Salah satu biomarker koagulasi yang paling banyak diteliti adalah D-dimer (Rabello dkk, 2011).

Aktifasi sistem koagulasi dan aktifitas fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat (Crain MC dkk, 2010; Milbrandt EB dkk, 2009). Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan oleh Kollef dkk yang melaporkan bahwa adanya DD yang beredar dalam sirkulasi tidak hanya berkaitan dengan mortalitas tetapi juga insiden sepsis, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), MSOF (Multy system organ failure) dan trombosis vascular (Shorr AF, 2002).

2.2. D-dimer

D-dimer dikenal sebagai produk degradasi cross linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik (Mikaeilli H, 2009; Shorr AF dkk, 2010). D-dimer (DD) menandakan adanya aktivasi sistem koagulasi. Kadar DD akan meningkat pada kelainan yang dapat memicu pembentukan fibrin dan katabolisasinya; kelainan ini antara lain adalah emboli paru,

deep vein thrombosis (DVT), tumor solid, leukemia, infeksi berat, trauma atau post-operatif, disseminated intravascular coagulation (DIC), kehamilan, stroke akut,

sickle-cell anemia, gagal jantung kongestif (Shorr AF dkk, 2010; Arslan S dkk, 2010).

(27)

1. Langkah enzimatik, melalui peranan trombin yang merubah fibrinogen menjadi fibrin yang larut, selanjutnya dipecah menjadi 2 fibrinopeptida A dan 2 fibrinopeptida B.

2. Langkah polimerisasi yang pertama terjadi pelepasan fibrinopeptida A yang akan menyebabkan agregasi side to side kemudian dilepaskan fibrinopeptida B yang mengadakan kontak dengan unit-unit monomer dengan lebih kuat sehingga menghasilkan bekuan yang tidak stabil.

3. Langkah stabilisasi terjadi pembentukan fibrin tidak larut yang stabil yang membutuhkan trombin, faktor XIIIa dan ion kalsium (Ca2+).

Trombin mengaktifkan faktor XIII yang kemudian berfungsi sebagai

(28)

Sumber: N Engl J Med, 2003

Gambar 2.2.1 Degradasi bekuan fibrin (Bockenstedt P, 2003).

Hasil pemeriksaan kadar D-dimer secara kuantitatif dinyatakan dalam satuan

μg/L. Nilai cut off D-dimer dengan metode latex agglutination adalah 500 μg/L. Kadar D-dimer yang lebih dari nilai normal rujukan menunjukkan adanya produk degradasi fibrin dalam kadar yang tinggi; mempunyai arti adanya pembentukan dan pemecahan trombus dalam tubuh (Widjaja AC, 2010).

2.3. Hubungan D-dimer (DD) dengan Pneumonia

(29)

Shilon dkk, melaporkan bahwa pemeriksaan DD kuantitatif pada saat awal pasien masuk merupakan suatu marker derajat keparahan dan prognostik pada penderita PK. Kadar DD memiliki hubungan linier positif terhadap skor Acute Pgysiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dengan (r=0,44, p=0002), skor Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) dengan (r=0,36, p=002), lamanya perawatan di rumah sakit dengan (r=0,24, p=0,046), hal ini menunjukkan bahwa kadar DD berhubungan dengan derajat keparahan dan outcome klinis pada penderita PK. (Shilon Y dkk, 2003; Rabello dkk, 2011)

Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma D-dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi (3.786 vs 1.609 ng/ml dengan p < 0,00001). Selain itu, didapatkan juga hubungan linier antara D-dimer dengan skor PSI (Gambar 2.3.1) (Ribelles JMQ, 2004). Hasil ini membuka peluang untuk penelitian terhadap petanda koagulasi lainnya seperti prothrombin fragment 1.2 (PF1.2),

thrombin-antithrombin complex dan fibrinogen dalam hubungannya terhadap PK (Mira JP dkk, 2008; Crain MC, dkk, 2010)

Gambar 2.3.1. Hubungan D-dimer dengan PSI (Ribelles JMQ, 2004)

(30)

Mikaelli dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada pasien yang memiliki derajat keparahan PK yang berat dengan nilai (p <0,001) (Mikaeilli H dkk, 2009).

Agapakis dkk, melaporkan bahwa DD sebagai biomarker koagulasi pada PK memiliki sensitivitas 90% dan spesifitas 78% untuk menentukan perlunya perawatan di rumah sakit, dengan nilai cut-off point DD 600 ng/ml, sedangkan AT-III memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 75% (Agapakis DI dkk, 2010).

(31)

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai studi telah mencoba meneliti dalam respon host terhadap bakteri terutama terhadap aktivasi koagulasi. Respon terhadap infeksi yang memberikan dampak terhadap sistem koagulasi yang mungkin berperan dalam patogenesis disfungsi organ (Kaplan dkk, 2003).

Pneumonia yang awalnya infeksi lokal, mengakibatkan aktivasi koagulasi sistemik, ini disebabkan aktivasi lokal dari sistem koagulasi yang terjadi pada pneumonia dengan deposisi fibrin dalam kompartemen alveolar yang terinfeksi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, merangsang sitokin proinflamasi dan meningkatkan akumulasi neutrofil (Milbrandt dkk, 2009). Aktivasi koagulasi lokal yang muncul akan didorong terutama oleh tissue factor (Rijneveld dkk, 2006; Van der Poll T, 2008). Biasanya, sangat sedikit tissue factor (TF) yang keluar dari sirkulasi darah namun alveolar makrofag, neutrofil, dan sel endotel dapat mengeluarkan TF pada permukaan dimana membentuk thrombogenic tissue factor

yang selanjutnya berkembang menjadi gangguan koagulasi sistemik selama infeksi paru (Abraham E dkk, 2000).

Aktivasi koagulasi yang dimediasi oleh TF-kompleks faktor VIIa yang berperan dalam pembentukan fibrin, serta perubahan fibronogen menjadi fibrin. Secara bersamaan juga terjadi gangguan jalur antikoagulan alamiah (misalnya antithrombin dan protein C. Penumpukan fibrin akan mensupresi aktivitas fibrinolitik yang disebabkan oleh tingginya kadar plasminogen activator inhibitor (PAI)-1 (Levi M, dkk 2003).

(32)

Su mber : Crit Care Med.2003

Gambar 2.4.1. Patogenesis penumpukan fibrin intrapulmoner

Pembentukan thrombin broncoalveolar dapat terdeteksi melalui pemeriksaan prothrombin activation peptide fragment 1+2 atau thrombin-antithrombin complexes, kedua marker tersebut kadarnya dapat meningkat tiga kali lipat pada cairan

broncoalveolar lavage (BAL) selama terjadinya endotoksemia, serta pada pasien pneumonia juga terjadi peningkatan pembentukan thrombin pada cairan BAL (Levi M, dkk 2003).

Cairan bronchoalveolar mengandung faktor antikoagulan fisiologis yang mirip dengan yang hadir di sistem antikoagulan darah. Konsentrasi antitrombin yang rendah pada paru-paru ini dapat dengan cepat digunakan bahkan pada kasus prohemostatik ringan, misalnya, endotoksemia dosis rendah. Tidak jelas apakah elastase neutrofil yang teraktivasi mampu mendegradasi antithrombin, sehingga menyebabkan tidak terdeteksinya antitrombin pada acute lung injury (ALI). Pentingnya antitrombin dalam patogenesis endotoksin diinduksi cedera paru telah dibuktikan studi eksperimental. Hasil studi pada tikus endotoksemik, menunjukkan bahwa pemberian dosis tinggi antitrombin konsentrat dapat mencegah penumpukan fibrin di paru-paru (Levi M, dkk 2003).

(33)

Paru-activated protein C (APC) terdapat dalam cairan bronchoalveolar. Aktivasi protein C terdeteksi dalam paru-paru manusia dan mengalami penurunan selama inflamasi. Gangguan aktivasi protein C kemungkinan disebabkan oleh downregulation dari thrombomodulin, karena pada pemberian rekombinan thrombomodulin dapat mencegah cedera pembuluh darah paru pada tikus endotoksemik. APC mencegah cedera paru-paru pada studi eksperimental dan bakteremia endotoksemia pada berbagai hewan (Levi M, dkk 2003).

Sitokin berperan penting dalam menghubungkan inflamasi dan perubahan yang terjadi pada sistem koagulasi dan fibrinolisis bronkoalveolar. Sitokin yang dilepaskan sebagai respon terhadap adanya endotoksin memberikan efek yang berbeda. Interleukin (IL)-6 berperan dalam aktivasi koagulasi; tumor necrosis factor (TNF)-α berperan menghambat aktivitas fibrinolisis. Makrofag alveolar adalah sumber sitokin proinflamasi di paru-paru. Aktivasi makrofag alveolar dapat secara langsung menstimulasi terbentuknya TF (Levi M, dkk 2003).

2.5. Skor Klinis Pneumonia

Meskipun sistem untuk memeriksa keparahan penyakit dan resiko kematian pada PK telah ada dan dipakai secara luas seperti PSI, PORT sistem CURB 65, namun sistem tersebut terlalu rumit untuk digunakan dalam praktek sehari-hari sehingga diperlukan biomarker yang potensial dapat memberikan informasi mengenai prognosis yang setara dengan sistem skoring yang telah ada (Mikaeilli H dkk, 2009; Crain MC dkk, 2010).

(34)

2.6. Skor CURB-65

CURB-65, juga dikenal sebagai CURB kriteria, merupakan aturan prediksi klinis yang telah divalidasi untuk memprediksi kematian pada pneumonia komunitas (Lim WS dkk,2009). Skor CURB-65 (Tabel 2.6.1.) diperkenal oleh British Thoracic Society (BTS) pada tahun 2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang dihubungkan dengan risiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori skor kematian rendah dimana skor 0= 0,7% dan skor 1= 3,2%. Skor 2= 13% masuk kategori risiko kematian sedang dan skor >3 masuk dalam skor kematian tinggi (3= 17%, 4= 41,5% dan 5= 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan PSI yaitu dengan AUC: 0,73 -0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam

guideline PK yang terbaru menyadari kompleksitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan CURB-65 (Singanayagam A dkk, 2009; Mandell LA dkk, 2007).

Tabel 2.6.1. Skor CURB-65

Clinical Factor Points

C Confusion 1

U Blood urea nitrogen > or = 20 mg/dl 1

R Respiratory rate > or = 30 breaths/ min 1

B Systolic BP < 90 mm Hg or Diastolic < or = 60 mm Hg 1

2 6,8% Moderate Short inpatient / supervised outpatient

3 14,0% Moderate to High Inpatient

4 or 5 27,8% High Inpatient / ICU

(35)

Baik skor PSI maupun CURB-65 sama-sama memiliki kelemahan yang sama, yaitu masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan skor 65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini adalah dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan memiliki peforma yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC: 0,69

– 0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayagam A dkk, 2009; Bont J dkk, 2008).

2.7. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas

Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10% dari penderita harus dirawat di ICU (intensive care unit). Pada PK yang dirawat jalan mortalitas sebesar diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ (Nayak SB dkk, 2010).

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ. (Purba DB, 2010).

Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician (ACCP) and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsisdibawah ini:

(36)

- SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau lebih keadaan berikut :

1. Suhu > 38ºC atau < 36ºC

2. Takikardia (HR > 90 kali/menit)

3. Takipneu (RR > 20 kali/menit) atau PaCO2 < 32 mmHg 4. Lekosit darah > 12.000/µL, < 4.000/µL atau netrofil batang > 10%

- Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman.

- Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau

hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.

- Syok sepsis : Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan

secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ.

- Hipotensi : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari

tekanan darah normal pasien.

- Multiple Organ Dysfunction Syndrome: Disfungsi dari satu organ atau lebih, memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis (Purba, 2010; Carol dkk, 2003).

Dremsizov, dkk melakukan studi untuk menilai kemampuan SIRS dalam memprediksi terjadinya sepsis, sepsis berat dan kematian pada pasien PK. Hasil yang didapat antara lain bahwa 50 % dari penderita PK yang dirawat akan jatuh ke sepsis. Selain itu, jika dibanding dengan PSI, kriteria SIRS tidak lebih baik dalam memprediksi perburukan sepsis pada PK. Implikasi klinis dari studi ini adalah dapat digunakannya PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi organ (Rosner MH dkk, 2009).

2.8. Gangguan koagulasi pada Sepsis

(37)

Tranfer factor diekspresikan pada permukaan sel endotel, monosit, dan platelet ketika sel-sel ini distimulasi oleh toksin, sitokin atau mediator lain. Adanya endotoksin menyebabkan peningkatan beberapa sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)-α dan interleukin (IL)-6. Sitokin IL-6 merupakan sitokin proinflamasi yang paling berhubungan dengan klinis sepsis dan komplikasi. Pembentukan trombin yang diperantarai oleh TF merupakan tahap penting dari patogenesis sepsis. Secara fisiologis pembentukan ini segera dihambat oleh antitrombin, namun dengan pembentukan trombin yang sangat cepat jalur inhibisi ini bisa fatigue sehingga terjadi trombinemia. Setelah trombin terbentuk maka fibrinogen dipolimerasi sehingga terbentuk bekuan fibrin dan terdeposisi di mikrosirkulasi. Deposisi fibrin ini dapat menyebabkan disfungsi organ.

2. Gangguan mekanisme antikoagulan

Terdapat tiga mekanisme antikoagulan yang terganggu pada sepsis, yakni: a. Sistem antitrombin

Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan koagulasi pada sepsis, dibuktikan dengan jumlah antitrombin rendah pada sepsis. Jumlah antitrombin berkurang disebabkan karena antitrombin digunakan untuk menghambat formasi trombin, didegradasi oleh elastase yang dilepaskan sel neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat gagal hati pada sepsis.

b. Sistem protein C

Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein (APC) yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV. Pada sepsis, terjadi depresi sistem protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, gangguan hati, perembesan vascular, dan aktivasi TNF-α.

c. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)

(38)

3. Penghentian sistem fibrinolisis

Pada kondisi bakteremia dan endotoksemia dijumpai peningkatan aktivitas fibrinolisis yang mungkin disebabkan oleh pelepasan plasminogen activator

oleh sel endotel. Keadaan tersebut diikuti dengan supresi aktivitas fibrinolisis secara cepat oleh PAI-1. Jumlah PAI-1 yang tinggi dipertahankan sehingga menghentikan kemampuan fibrinolisis yang mengakibatkan penumpukan bekuan fibrin pada mikrosirkulasi.

Su mber : Thrombosis Journal, 2006

Gambar 2.8.1. Patofisiologi sepsis

(39)

Pada kondisi awal tidak tampak klinis koagulopati, namun proses koagulasi mulai teraktivasi dan terdeteksi melalui pengukuran marker molekular yang sensitif seperti D-dimer, protrombin fragmen 1+2, atau kompleks trombin-antitrombin.

2. Non-overt disseminated intravascular coagulation

Sedangkan tahap selanjutnya ditandai dengan pembentukan fibrin intravaskular yang menyebabkan gangguan pada mikrosirkulasi. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan marker aktivasi namun pemeriksaan lain masih normal.

3. Transient consumption coagulopathy

Jika rangsangan prokoagulasi tetap terjadi maka akan terjadi ketidakseimbangan antara penggunaan plasma protein koagulasi dan sintesis di hati. Apabila rangsangan dihentikan dengan menghilangkan penyebabnya maka gangguan tersebut dapat teratasi dalam beberapa jam hingga beberapa hari. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan prothrombine time (PT), trombosit menurun, jumlah protein C menurun, fibrinogen dapat normal maupun menurun.

4. Overt DIC

(40)

2.9. Kultur Sputum

Dalam Infectious Disease Society of American (IDSA) dan American Thoracic Society Guidlines (ATS, 2007) menunjukkan bahwa penyebab PK terbanyak disebabkan bakteri Gram positif oleh kuman Streptococcus Pneumonia. Sedangkan kuman patogen penyebab PK lainnya mencakup Hemophilus Influenza, Mycoplasma Pneumoniae, Chlamydia Pneumoniae, Staphylococcus Aureus,

Streptococcus Pyogenes, Neisseria Meningitides, Moraxella Catarrhalis, Klebsiella

Pneumoniae, Legionella sp dan batang gram negatif lainnya.

Menurut British Thoracic Society Guidlines (BTS, 2009) menyatakan bahwa kuman patogen penyebab PK yang banyak ditemukan, yaitu Streptococcus Pneumonia dan diikuti kuman patogen lainnya Mycoplasma Pneumoniae, Chlamydia Pneumoniae dan kuman gram negatif lainnya. Di Asia Tenggara, Streptococcus Pneumonia juga paling sering ditemukan kemudian diikuti Chlamydia Pneumoniae

dan bakteri gram negatif (Wattanathum dkk, 2003).

Di Cina kuman patogen Streptococcus Pneumoniae paling banyak ditemukan lalu kuman-kuman lainnya seperti Mycoplasma Pneumoniae dan H Influenza (Huang HH dkk, 2006). Begitu juga di Jepang, Streptococcus Pneumonia paling umum ditemukan dan diikuti oleh H Influenza (Saito A dkk, 2006). Penelitian PK rawat inap di Asia misalnya Indonesia atau Malaysia mendapatkan patogen yang bukan

Streptococcus Pneumoniae sebagai penyebab tersering PK, antara lain Klebsiella Pneumoniae (Dahlan Z, 2009)

2.10 Kultur Darah

Kultur darah dianjurkan untuk semua pasien pada PK sedang dan berat, sebaiknya dilakukan pemeriksaan sebelum pemberian terapi antibiotik dimulai. Jika diagnosis PK telah pasti dikonfirmasi dan pasien dengan keparahan PK ringan tanpa komorbiditas penyakit, kultur darah boleh tidak dianjurkan. Kultur darah dapat membantu untuk mengidentifikasi bakteremia dan patogen resisten, dimana kuman

(41)

ATS dan IDSA merekomendasikan indikasi kuat untuk kultur darah pada PK berat. Pasien dengan PK berat lebih mungkin terinfeksi dengan kuman patogen selain

Streptococcus Pneumoniaee,termasuk Staphylococcus Aureus, PseudomonasAeruginosa, dan gram-negatif lainnya. Kultur darah yang positif pada Pneumonia hanya pada 5-16% kasus.Dimana kuman patogen yang paling umum ditemukan adalah Streptococcus Pneumoniae (ATS, 2007).

(42)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Pneumonia komunitas adalah infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara nafas atau ronkhi setempat) pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas

perawatan jangka panjang selama ≥ 14 hari sebelum timbulnya gejala ataupun

dalam rawatan rumah sakit ≤ 48 jam (Muller B dkk, β007).

3.2.2. Penilaian derajat keparahan penyakit adalah suatu alat bantu klinisi untuk membuat keputusan klinik seperti kebutuhan rawat inap, pemberian terapi intravena dan rencana monitoring lanjutan yang diperlukan oleh klinisi di tingkat primer maupun sekunder (Abidin A, 2010).

3.2.3. D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik ( < 500ng/ml) (Milbrandt EB dkk,

Derajat Keparahan Pneumonia Pada Awal Masuk Rumah Sakit

Kadar D-dimer

Penderita Pneumonia Komunitas

Kematian 30 hari Hubungan

(43)

3.2.4. Derajat keparahan pneumonia dinilai berdasarkan skor CURB- 65 menurut acuan BTS (British Thoracic Society) 2009, seperti yang terlihat pada uraian di bawah ini (Crain MC dkk, 2010) :

1. Konfusio/Confusion : gangguan kesadaran yang baru terjadi atau adanya abnormalitas skor mental.

2. Urea : > 7 mmol/l ; > 20 mg/dl.

3. Laju pernapasan/Respiratory rate: ≥ γ0x/menit.

4. Tekanan darah/ Blood Pressure: adanya tekanan darah rendah

(sistolik ≤ 90 mmHg dan atau diastolik ≤ 60 mmHg)

5. Umur/Age≥ 65 tahun.

Rentang nilai pada skor di atas adalah 0- 5 dimana setiap kriteria bernilai satu.

Untuk penilaian konfusio dapat dibantu dengan skor mental yang telah disesuaikan dengan pengetahuan di Indonesia.

Skor Mental (disesuaikan) 1. Berapa usia anda?

2. Kapan tanggal lahir anda?

3. Jam berapa saat ini?( tidak perlu menitnya) 4. Tahun berapa saat ini?

5. Apa nama Rumah Sakit yang anda datangi ini ?

6. Mengenal 2 orang ( contoh: dokter, perawat, anggota keluarga)

7. Alamat rumah saudara?

8. Menghitung mundur angka 20 sampai 1 9. Siapa nama Presiden Indonesia saat ini? 10. Tahun berapa Indonesia merdeka?

Setiap pertanyaan bernilai 1 dan jika nilai yang didapat ≤ 8, maka dapat

(44)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian dilakukan secara cohort study yang bersifat prospektif.

4.2. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan November 2012 s/d April 2013 di Instalasi Gawat Darurat, Ruang Rawat Inap dan Poliklinik Pulmonologi & Alergi Immunologi RS H.Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan.

4.3. Subjek Penelitian

Penderita Pneumonia Komunitas yang dirawat inap maupun rawat jalan di Rumah Sakit H. Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan.

4.4. Kriteria Inklusi

1. Usia di atas 18 tahun

2. Gambaran klinis dan radiologik sesuai dengan diagnosis pneumonia. 3. Bersedia mengikuti penelitian.

4.5. Kriteria Eksklusi

1. Dugaan emboli paru. 2. Wanita Hamil.

3. Pada saat 6 bulan post partum. 4. Riwayat trauma.

5. Stroke thrombosis.

(45)

9. Penyakit ginjal kronis tahap akhir yang menjalani hemodialisis. 10. Mendapat terapi antibiotik selama 48 jam terakhir.

11. Malignansi. 12. HIV.

4.6. Besar Sampel

Studi ini menggunakan sampel tunggal untuk uji hipotesis proporsi suatu populasi.

Dan perkiraan besar sampel :

(Zα√P0Q0 + Z √PaQa)2 = 1,96√0,198 x 0,80β + 1,0γ6√0,γ98x 0,60β

( Po – Pa)2 (0,2)2 = 51,4≈ 52 orang.

Dimana: Zα: deviat baku untuk α = 0,05 : 1,96 Z : deviat baku untuk = 0,10: 1,0γ6 Pa: Proporsi sekarang : 0,398

Qa= 1 – Pa= 1- 0,398= 0,602 Po: Proposi terdahulu : 0,198 * Qo= 1- Po = 1- 0,198= 0,802

Keterangan: *Christ Crain dkk, 2006 (Levi M dkk, 2003)

4.7. Cara Kerja

(46)

b. Dilakukan penilaian derajat keparahan pneumonia dengan skor CURB-65. Jika subjek memiliki skor 0-1 maka disebut ringan, skor 2 disebut sedang dan jika berada pada skor 3-5 disebut berat.

c. Kadar D-dimer diukur menggunakan reagen dari Coagulometer Sysmex CA-1500 dengan metode Latex enhance turbidimetric test.

4.7.1. Pengambilan sampel darah

Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti dengan terlebih dahulu dilakukan tindakan anti septik dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Pengambilan darah sebanyak 6 cc dilakukan dengan menggunakan dispossible syringe 10 cc yang dibagi atas 2 bagian. Bagian pertama sebanyak 3 cc darah dengan antikoagulan EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap. Bagian kedua sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan dan diambil serumnya untuk pemeriksaan D-dimer. Pengambilan sampel darah dilakukan tanpa memperdulikan hari keberapa pasien dirawat, dimana apabila ditemukan pasien sepsis maka diambil sampel darahnya dalam waktu 24 jam. Dan pada saat pengambilan sampel darah , pasien dalam posisi berbaring.

Pemeriksaan darah lengkap dilakukan dengan alat Cell Dyne 3700 dan morfologi darah tepi diidentifikasi dari blood film dengan pewarnaan Giemsa. Pemeriksaan Laju Endap Darah dilakukan dengan cara Westergren.

4.7.2. Teknik Pemeriksaan D-dimer

 Tidak ada persiapan khusus untuk pemeriksaan D-dimer

 Spesimen yang digunakan adalah plasma darah dengan antikoagulan natrium citras 3,2 %

 Siapkan seluruh reagen, standar kerja dan specimen.

 Darah dihomogenkan, disentrifugasi 3000 rpm selama 5 menit.

(47)

 Kadar D-dimer diperiksa menggunakan alat dan reagen dari Coagulometer Sysmex CA-1500 dengan metode Latex enhance turbidimetric test.

 Hasil akan tercetak secara otomatis

Cut off kadar D-dimer metode ini adalah 500 μg/ L.

 Berdasarkan kadar D dimer subjek penelitian akan dibagi menjadi 4 kelas yaitu:

Klas I : < 500 μg/ L. Klas II : 500-999 μg/ L. Klas III: 1000-1999 μg/ L. Klas IV: > 2000 μg/ L.

Selanjutnya akan dicari hubungan kadar D-dimer dengan jumlah kematian 30 hari menggunakan Chi-Square test (Chalmers JD, dkk 2009).

4.7.3. Kultur sputum

o Satu ose bahan sputum ditanam ke media padat blood agar dan Mc

Conkey, masukkan ke inkubator 37 C selama 24 jam.

o Dibaca dan dilihat pertumbuhan bakterinya, jika tumbuh dibuat direct

smear dan dilakukan pengecatan gram.

o Bahan yang tumbuh di Mc Conkey agar, dilanjutkan ke reaksi

biokimia untuk dimasukkan lagi ke inkubator selama 24 jam dan dibaca serta ditentukan jenis kumannya.

o Kalau hanya tumbuh pada blood agar, langsung dibaca dan ditentukan

jenis kumannya.

o Selanjutnya skor CURB-65 yang didapat akan dicari hubungannya

dengan kadar D-dimer.

4.7.4. Kultur Darah dan GAL dengan BACTEC 9050

Prinsip Pemeriksaan: Membiakkan dan menginokulasikan bakteri yang

(48)

Metode: Kultur : Sampel  Jenis : Darah

 Volum : 8-10 ml (untuk pasien dewasa), 1-3 ml (untuk pasien anak)  Stabilitas: 24 Jam pada suhu ruang pada media Bactec plus Aerobic. Langkah Kerja

 Persiapan

 Prosedur Kerja Penanganan Sampel

- Disinfeksi penutup botol dengan kapas alkohol 70%

- Dengan menggunakan spuilt, masukkan 8-10 ml (untuk pasien dewasa) darah ke dalam botol Bactec Plus Aerobic atau 1-3 ml (untuk pasien anak) darah ke dalam botol Bactec Peds Plus.

- Masukkan botol ke alat Bactec 9050 - Inkubasi botol fan aerobic selama 5 hari - Keluarkan botol dari alat Bactec 9050 Inokulasi Sampel

- Dengan menggunakan spuit, ambil 1 ml sampel dari botol yang menunjukan hasil positif kemudian ratakan dengan ose (dilakukan secara aseptis) pada permukaan media agar.

- Inkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam.

- Lakukan pewarnaan Gram, identifikasi dan atau uji kepekaan terhadap koloni tersangka

Catatan : untuk kultur Gal, lakukan konfirmasi dengan test serologi anti sera

terhadap salmonela.

4.8. Analisa Data

(49)

 Untuk melihat hubungan kadar D dimer berdasarkan tingkatannya terhadap derajat keparahan PK dengan skor CURB-65 digunakan uji

Chi square, jika tidak memenuhi syarat maka digunakan Kolmogorov smirnov danjika tidak memenuhi digunakan korelasi spearman.

 Untuk melihat hubungan kadar D dimer terhadap variabel lain digunakan digunakan korelasi pearson untuk data yang berdistribusi normal, sedangkan untuk data distribusi tidak normal digunakan korelasi spearman.

 Untuk menilai perbedaan rerata pada dua kelompok digunakan uji t independent atau Uji Mann-Whitney.

 Analisa data menggunakan program SPSS 15 for windows

 Untuk semua uji statistik p < 0,05 dianggap bermakna dalam statistik.

4.9. Ethical Clearence dan informed consent

Ethical clearence (izin untuk melakukan penelitian) diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang ditandatangani oleh Prof. Dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, Sp.JP (K) pada tanggal 31 Januari 2013 dengan nomor 28/KOMET/FK USU/2013.

(50)

4.10. Kerangka Operasional

Penderita Pneumonia komunitas

Kriteria Eksklusi

 Darah lengkap

 Ureum, creatinin

 D-dimer

 Kultur sputum/ST dan/atau kultur darah/ST

Kadar D-dimer

Jumlah Kematian dalam 30 hari Kriteria

Insklusi

(51)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Selama periode penelitian (Desember 2012 s/d Maret 2013) di Instalasi gawat darurat dan ruang rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan dan RS Pirngadi Medan, diperoleh 57 subjek penelitian dengan pneumonia komunitas. Subjek penelitian terdiri dari 32 orang wanita (56.1%) dan 25 orang pria (43.9%) dengan rerata umur (±SD) yaitu 52.39 ± 14.09 tahun. Rerata tanda vital yaitu tekanan darah sistolik (TDS) 110.88 ± 18.06 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) 70.53 ± 11.09 mmHg. Untuk hasil laboratorium didapatkan rentang nilai hemoglobin (Hb) terletak antara 7,3 - 12,5 gr/dl dengan rerata 9.99 ± 2.63 gr/dl, rerata leukosit 14387.06 ± 5081.71/mm3, rerata ureum 47.88 ± 54.18 mg/dl.

Rerata D dimer 1897,14 ± 1476,11 μg/ L yang terdiri dari 10 subjek (17,5%) memiliki kadar D dimer < 500 μg/ L, 12 subjek (21,1%) 500-999 μg/ L, 11 subjek (19,3%) 1000-1999 μg/ L dan 24 subjek (42,1%) > 2000 μg/ L. Untuk Skor CURB-65 didapatkan rerata 1.95 ± 1.54 yang terdiri dari 11 subjek(19.3%) dengan skor 0, 18 subjek (31.6%) dengan skor 1, 6 subjek (10.5%) dengan skor 2, 9 subjek (15.8%) dengan skor 3, 11 subjek (19.3%) dengan skor 4 dan 2 subjek (3.5%) dengan skor 5.

Dari 31 subjek (54.3%) dengan kultur sputum yang positif, dijumpai 20 subjek (64.5%) dengan Klebsiela pneumonia, 9 subjek (29.03%) dengan

Streptococcus pneumonia, 2 subjek (6.45%) dengan Streptococcus viridans,

sedangkan dari 20 subjek (35.08%) yang dilakukan kultur darah, hanya 3 subjek (5.3%) yang kultur darahnya positif dengan kuman yang terdeteksi Pseudomonas sp, Staphylococcus epidermidis dan Klebsiella pneumonia. Dari ketiga kuman yang terdeteksi dalam kultur darah hanya satu kuman yang sesuai dengan kultur sputum yang diperoleh yaitu Klebsiella pneumonia. Dari 57 subjek yang diikuti selama 30 hari didapatkan sebanyak 20 subjek (35.1%) yang meninggal dan 37 subjek (64.9%) yang hidup. (Tabel 5.1.1).

(52)
(53)

Mati 20 (35.1%)

Gambar 5.1.1. Korelasi antara D-dimer dengan skor CURB-65

Semakin berat skor CURB-65 maka kadar D-dimer juga semakin tinggi dan kuat hubungan sesungguhnya antara D-dimer dengan CURB-65 sebesar 90% (Gambar 5.1.1)

Tabel 5.1.2. Hubungan D-dimer terhadap skor CURB-65*

(54)

Jika dihubungkan Kadar D-dimer dengan CURB-65 maka didapati pada kadar D-dimer < 500 μg/ L, dijumpai 10 Subjek (17,5%) dengan skor CURB-65 ringan sedang, demikian juga pada kadar D-dimer 500-999 μg/ L dijumpai 12 subjek (21,1%) dengan skor CURB-65 ringan sedang, kadar 1000-1999 μg/ L dijumpai 11 subjek (19,3%) dengan skor CURB-65 ringan sedang, dan pada ketiga kelompok tersebut tidak ada subjek dengan skor CURB-65 yang berat. Sedangkan pada kadar D-dimer > 2000 μg/ L dijumpai 24 subjek (42,1%), dimana 2 subjek (3,5%) pada skor CURB-65 ringan sedang dan 22 subjek (38,6) dengan skor CURB-65 yang berat. Sehingga disini terlihat bahwasanya semakin berat skor CURB-65 maka kadar D-dimer juga semakin tinggi dan berbeda signifikan secara statistik (Tabel 5.1.2).

Tabel 5.1.3. Hubungan D dimer terhadap skor CURB-65 dengan

(55)

jumlah kematian 30 hari sebanyak 20 subjek penelitian (42,6%) dan berbeda signifikan secara statistik (Tabel 5.1.3).

5.2. Pembahasan

Penilaian derajat keparahan penyakit merupakan salah satu langkah awal dalam menentukan rencana manajemen setelah menegakkan diagnosis. Kunci manajemen PK yang aman dan efesien adalah kemampuan untuk memprediksi pasien yang akan membaik atau justru akan mengalami perburukan (Huang DT dkk, 2008). Dalam hal ini, telah banyak sistem skoring klinis yang diuji manfaatnya, antara lain seperti skor CURB-65 (AUC: 0,73-0,83) maupun CRB-65 (AUC:0,69-0,78) telah tervalidasi untuk memprediksi kematian dalam 30 hari dan cukup sederhana untuk diterapkan (Singanayagam A dkk, 2009).Hubungan antara biomarker terhadap derajat keparahan penyakit dalam beberapa studi masih kontroversi (Mira JP dkk, 2008; Singanayagam A dkk, 2009).

Pada studi ini kami mencari hubungan kadar D dimer saat awal pemeriksaan pada pasien PK terhadap kematian 30 hari. Temuan ini menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara kadar D dimer dengan kematian 30 hari dimana semakin tinggi kadar D dimer maka semakin banyak angka kematian 30 hari. Pada hasil penelitian untuk kematian 30 hari pada nilai D dimer ≥ 500 μg/L dengan skor CURB-65 yang berat sebanyak 17 subjek (36,2%) dari total 20 subjek yang mengalami kematian 30 hari dan pada nilai DD < 500 μg/L tidak ada subjek yang mengalami kematian 30 hari. Hal ini sesuai dengan sebelumnya oleh Snijders dkk yang menyimpulkan bahwa pada nilai DD < 500 μg/L tidak ada seorangpun pasien PK yang meninggal (Snijders dkk, 2012).

(56)

penderita PK yang hidup diperoleh nilai rerata DD 1609 ± 1808 ng/ml (p<0,0001) (Ribelles dkk, 2004). Penelitian lain yang dilakukan oleh Guneysel dkk yang melibatkan 51 pasien PK dan kelompok kontrol diperoleh nilai rerata DD pada kelompok penderita PK yang berat yaitu 2438,1 ± 2158,1 ng/ml, pada kelompok penderita PK non-berat diperoleh nilai rerata DD 912,6 ± 512,6 ng/ml sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh nilai rerata DD 387,94± 99,56 ng/ml (Guneysel dkk, 2004).

Pada hasil studi ini didapatkan bahwa DD memiliki sensitivitas 100%, spesifisitas 27% dan nilai positive predictive value 43%, negative predictive value

100%, negative likelihood ratio 0,41 (95% CI 0,10-1,72). Penelitian yang dilakukan oleh Chalmer dkk yang melibatkan 314 pasien PK, untuk kematian 30 hari, kadar DD > 500 ng/ml memiliki nilai positive predictive value 9,0%, negative predictive value

100%, sensisitivitas 100%, dan spesifisitas 34,7%, negative likelihood ratio 0 (95% CI 0-1,37) dan AUC 0,7 (95% CI 0,64-0,76). Nilai skor CURB-65 ≥ γ memiliki nilai

positive predictive value 17,5%, negative predictive value 97,7%, sensisitivitas 77,3%, dan spesifisitas 72,6%, negative likelihood ratio 0,31 (95% CI 0,14-0,68) dan AUC 0,79 (95% CI 0,14-0,68) namun pada penelitian tidak dapatkan hubungan yang signifikan antara DD dimer, skor CURB-65 dan angka kematian 30 hari (Chalmers dkk, 2009). Snijders dkk juga menyatakan bahwa kadar DD memiliki tingkat akurasi yang lemah untuk meprediksi outcome klinis pada hari ke 30 rawatan {AUC 0,62, (95% CI 0,51- 0,73)} maupun kematian 30 hari {AUC 0,71, (95% CI 0,51- 0,91)} (Snijders dkk, 2012).

(57)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Kadar D-dimer diawal pemeriksaan pada penderita pneumonia komunitas berkorelasi kuat dengan jumlah kematian 30 hari, dimana semakin tinggi kadar D-dimer maka semakin memungkinkan terjadinya kematian 30 hari, sehingga D-dimer dapat digunakan sebagai biomarker koagulasi untuk menentukan prognosis pasien PK sejak awal masuk rumah sakit.

6.2. Saran

1. Perlunya penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih besar untuk mendapatkan hubungan antara D-dimer, skor CURB-65 dengan mortalitas penderita PK.

2. Penelitian lebih lanjut perlu mengikutsertakan pasien dengan daya tahanmenurun (immunocompromised) sehingga dapat membantu memutuskan pemberian antibiotik pada populasi tersebut.

Gambar

Gambar 2.2.1 Degradasi bekuan fibrin (Bockenstedt P, 2003).
Gambar 2.3.1. Hubungan D-dimer dengan PSI (Ribelles JMQ, 2004)
Gambar 2.4.1. Patogenesis penumpukan fibrin intrapulmoner
Tabel 2.6.1. Skor CURB-65
+6

Referensi

Dokumen terkait

Capaian Program Jumlah Partai Politik Yang Mendapatkan Pembinaan Peningkatan Kapasitas.

Keluaran Jumlah Parpol yang mendapat bantuan keuangan 11 Parpol Hasil Persentase Partai Politik Yang Mendapatkan.

Unit Layanan Pengadaan (ULP) Polres Karangasem akan melaksanakan Pelelangan Sederhana Pascakualifikasi pengadaan Makan Jaga Kawal (ULP Non Organik/Jaga Fungsi)

[r]

162.635.000,- dengan Nilai Ambang Batas 70 dengan sumber Pembiayaan APBN UIN Suska Riau Tahun Anggaran 2012, dengan ini ditetapkan Rekanan yang lulus Evaluasi Administrasi, Teknis

Kontribusi Pengendalian Intern, Sistem Informasi Akuntansi, dan Financial Value Added terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan serta Dampaknya terhadap Kinerja Organisasi

Kesimpulan yang bisa diambil dari analisis ini adalah ada pengaruh positif dan signifikan profesi Tenaga Kerja Indonesia terhadap angka perceraian di Kabupaten Ponorogo

Tujuan: mengetahui pengaruh pen- didikan kesehatan dengan media puzzle terhadap perilaku cuci tangan pakai sabun (CTPS) anak Di TK Aba Siliran Karangsewu Galur Kulon