• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Produksi Peternakan Sapi Potong di Daerah Padat Ternak melalui Perbaikan Sarana dan Prasarana Pelayanan Reproduksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peningkatan Produksi Peternakan Sapi Potong di Daerah Padat Ternak melalui Perbaikan Sarana dan Prasarana Pelayanan Reproduksi"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

*

, .

4 r .*

-i:

i i

1 * ,

I

oleh :

(12)

ABSTRACT

ZAITUNI UDIN. The Increase'of Beef Cattle Production in

Densely Cattle Populated Areas Through Improvement of Facilities and Condition of Reproduction Services '(under

guidance of SOEBADI PARTODIHARDJO, HARIMURTI HARTOJO,

ASIKIN NATASASMITA. A.A. MATTJIK dan IMAN SUPRIATNA).

The objective of the research was to increase the beef cattle production by improving the facilities and condition of reproduction services. The research was conducted in the Artificial Insemination Location Unit

(ULIB) Kaliori and Sumber, Dati 11, Kabupaten Rembang,

Central Java, during a period of March 1990

-

August

1991.

The research comprised of four experiments :

[I]

The effect of intercom in Artificial Insemination Pro- gam. In this category, ULIB Kaliori (with intercom) was compared with ULIB Sumber (without intercom), and 5 groups of calving cattle with different stage of calving (first calving (B-0), second calving B - , third calving (B-2), fourth calving (B-3) and fifth calving (B-4). The number of cattle was 200. 121 The effect of suckling period on the first service after calving, and

the calving intervals. The suckling period was disti-

nguished by 3 groups of 2 months, 3 months and 4 months

and 5 groups of calving animals with different stages

(B-1, B-2, B-3, B-4 and B-5). The number of cattle used was 60. C33 The effect of resting period after calving on the uterus involution and the performance of repro- duction. This includes four groups of 15 days, 30 days

45 days and 60 days, and 5 groups (B-1, B-2, B-3, B-4

and B-5) of calving animals with different stages. The

number of cattle was 80. C41 The effect of the doses of

semen on the conception rate and the service per concep-

(13)

ministraw, and 5 groups (B-0, B-1,

B-2,

B-3 and B-4) of

calving animals. The number of animals was 400. The

data were processed by means of profile analyses.

1. The use of intercom in an artificial insemination program can regulate the timing of artificial inse- mination service. The conception rate in Kaliori (with intercom) and Sumber (without intercom) was

75.0% and 63.0% respectively.

2. Two-month suckling period was the shortest time for

first service after calving. The lactating period

for 2, 3 and 4 months was 85.5

+

18.60; 116.5

+

11.33 and 145.8 2 9.0 days respectively. The total

average was 116.26

+

9.97 days. The average of

calving intervals for 2, 3 and 4 month lactating

period was 383.25

+

19.01; 408.70

+

18.15 and 437.60

+ 18.60 days respectively, whereas the total average

-

was 409.85

+

15.25 days.

3. The fastest post-partum resting period

(P

< 0.05)

which quickened the uterus involution was during a

resting period of 45 days. On the other hand, the

affect of resting period on the performance of reproduction did not show an obvious differnce. The average of uterus involution on the resting periods

of 15, 30, 45 and 60 days was 7.0

+

0.2; 6.55 2

0.32; 6.15

+

0.45 and 6.2

+

0.45 weeks respectively;

while the total average was 6.47

+

0.34 weeks.

4.

A

doses of 1 ministraw frozen semen obviously

showed a higher conception rate and a lower number

of service peyJ+'conception than 1/2 ministraw. The

average of conception rate for 1/2 and 1 ministraw

was 63.5

+

6.51% and 76.5

+

7.45% respectively,

while the total average was 70.0

+

9.19%. The

average service per conception for 1/2 ministraw and

1 ministraw was 1.50 t 1.1% and 1.36

+

0.12% respec-
(14)

According to this observation during research, the

shortest calving interval was found in

the

case

using a dose of 1 ministraw and the first service

mating interval after 2 months of birth during rest

period (a time when the animals are not used in the field).

From this research, it can be concluded that the use of

intercom, the 2 months lactating period, 45 day resting

period (in dry season) and a doses of 1 ministraw are

(15)

RINGKASAN

ZAITUNI

UDIN.

Peningkatan Produksi Peternakan Sapi Po-

tong di Daerah Padat Ternak melalui Perbaikan Sarana dan

Prasarana Pelayanan Reproduksi (Di bawah bimbingan

SOEBADI PARTODIHARDJO sebagai ketua, HARIMURTI MARTOYO, ASIKIN NATASASMITA, IMAN SUPRIATNA, dan AHMAD ANSORI MATTJIK, sebagai anggota).

Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mening- katkan pendapatan masyarakat peternak melalui pening- katan produksi sapi potong, dengan jalan perbaikan Sara- na dan prasarana pelayanan reproduksi. Penelitian ini

dilakukan pada Unit Lokasi Inseminasi Buatan (ULIB) Ka-

liori dan ULIB Sumber, Daerah Tingkat I1 Kabugaten Rem-

bang, Jawa Tengah. Penelitian dimulai bulan Maret 1990

sampai Agustus 1991 atau selama 17 bulan.

Untuk mendapatkan data mengenai kinerja reproduksi sapi Peranakan Ongole (PO) pascapartum dilakukan 4 pene- litian, Penelitian pertama: Pengaruh penggunaan interkom

dalam pelaksanaan program IB. Digunakan 100 ekor sapi

dengan lima golongan beranak pada setiap ULIB Kaliori d m Sumber. Penelitian kedua: Pengaruh lama menyusui,

terdiri atas 3 tingkat lama menyusui yaitu 2 bulan (MI),

3 bulan (M2) dan 4 bulan

(Mg),

dan lima golongan beranak

yaitu

B1,

B2,

B3, B4

dan B5 (sudah pernah satu kali ber-

anak, dua kali, tiga kali, empat kali dan lima kali). Lokasinya di empat desa dan setiap desa mempunyai se-

orang KOTIB. Jumlah sampel pada masing-masing desa 15

ekor dan jumlah sampel keseluruhan 60 ekor. Penelitian

ketiga: Pengaruh lama istirahat yang terdiri atas 4

tingkat lama istirahat, yaitu: 15 hari

(I1),

30 hari

(I2), 45 hari (Ig), dan 60 hari (I4), dan 5 golongan

beranak. Jumlah sampel tiap desa 20 ekor, sedangkan

jumlah sampel keseluruhan 80 ekor. Penelitian keempat:

(16)

semen beku yaitu 1/2 ministraw

(Dl)

dan 1 ministraw (D2)

dan lima golongan beranak serta 4 ulangan ( d e s a ) . Jumlah

sampel pada setiap desa 100 ekor dan jumlah keseluruhan 400 ekor. Analisa data yang digunakan adalah analisis profil.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada

ULIB

Ka-

liori ini yang pelaksanaan IB-nya sudah maju, rata-rata jumlah akseptor 10 ekor per hari. ULIB ini juga telah dilengkapi dengan interkom sebagai sarana komunikasi an- tara inseminator dan para kontak tani inseminasi buatan di lapangan.

Basil Penelltlan

.

.

Pert-: Pengaruh penggunaan in-

terkom terhadap angka konsepsi. Penggunaan interkom

pada program

IB

dapat mengatur waktu pelayanan insemina-

si. Angka konsepsi pada ULIB Kaliori (dengan interkom) adalah 75% dan 63% untuk ULIB Sumber (tanpa interkom).

il Penelitian Kedua: Pengaruh lama menyusui: Jarak kawin pertama sesudah beranak dan selang beranak yang terpendek adalah pada lama menyusui dua bulan.

Rataan kawin pertama sesudah beranak untuk perlakuan

MI,

M,

'.

/dan M3 adalah 86.5

+

9.21 hari, 116.5

+

11.33 hari

dan 145.8

+

9.0 hari berturut-turut. Rataan keseluruhan

kawin pertama sesudah beranak adalah 116.26

+

9.97 hari.

Rataan selang beranak ( c a l v i n g interval) untuk perlakuan

MI, M2,

dan M 3 adalah 383.25

+

10.01 hari, 408.70

+

18.15 hari dan 437.60

+

18.60 hari berturut-turut.

Rataan keseluruhan selang beranak adalah 409.85

+

15.25

hari. Angka perkawinan per kebuntingan untuk perlakuan

MI,

M2

dan M3 rata-rata adalah 1.65

+

0.13, 1.35

+

0.28

dan 1.25

+

0.35 berturut-turut. Rataan keseluruhan

angka perkawinan perkebuntingan adalah 1.41

+

0.20.

Korelasi selang beranak dengan kawin pertama sesudah beranak, angka perkawinan per kebuntingan dan lama bun-

(17)

Penelitian Ketiaa : Pengaruh lama istirahat: Is-

tirahat 45 hari sesudah beranak merupakan yang tercepat

terjadinya involusi uteri. Rataan involusi uteri untuk

perlakuan

I

12, I3 dan I4 adalah 7.0

+

0.2 minggu,

6.55

+

0.32 minggu, 6.15

+

0.45 minggu dan 6.2

+

0.45

minggu secara berturut-turut. Rataan keseluruhan adalah

6.47

+

0.34 minggu. Rataan kawin pertama sesudah ber-

anak 11, 12,

I3

dan I4 adalah 139.4

+

15.0 hari, 137.6

+

16.59 hari, 138.25

+

14.60 hari dan 139.15

+

9.92 hari

secara berturut-turut. Rataan keseluruhan adalah 138.6

+ 10.96 hari. Rataan selang beranak pada perlakuan 11,

-

12]

I3

dan

I4

adalah 434.7

+

19.29 hari, 431.75

+

26.20

hari, 426.45

+

17.95 hari dan 430.0

+

14.88 hari. Ra-

taan keseluruhan selang beranak adalah 431.47

+

18.62

hari. Untuk angka perkawinan per kebuntingan pada per-

lakuan 11, 12,

I g

dan

I4

rata-rata adalah 1.5

+

0.25,

1.4

+

0.37, 1.25

+

0.25 dan 1'.5 2 0.17 secara berturut-

turut. Rataan keseluruhan angka perkawinan per kebun-

tingan adalah 1.41 2 0.70. Selanjutnya rataan angka

konsepsi pada perlakuan 11, 12, I g dan I 4 adalah 65.0 2

13.69%, 70.0

+

20.91%, 80.0 2 20.41% dan 70.0

+

11.18%

berturut-turut. Rataan keseluruhan angka konsepsi ada-

lah 71.25

+

45.54 persen.

P e n e l i w Keern~a*: Pengaruh dosis semen beku:

Do-

sis semen beku 1 ministraw lebih tinggi angka konsepsi

dan lebih kecil angka perkawinan per kebuntingan dari

pada dosis semen beku 1/2 ministraw. Rataan angka

konsepsi untuk perlakuan Dl (1/2 ministraw) dan D2 (1

ministraw) adalah 63.5

+

6.51% dan 76.5

+

7.45% secara

berturut-turut. Rataan angka konsepsi secara keseluruh-

an adalah 70.0

+

9.19%, sedangkan rataan angka perkawin-

an perkebuntingan untuk perlakuan D l (1/2 ministraw) dan

D2 (1 ministraw) adalah 1.50

+

0.10 dan 1.36

+

0.12
(18)

kebuntingan adalah 1 . 4 4 2 0.13. Hasil pengamatan untuk selang beranak yang terpendek didapatkan pada penggunaan

1 dosis, jarak kawin pertama sesudah beranak 2 bulan

dan musim tidak bekerja di sawah (ringan).

Kesimpulan dari keseluruhan pembahasan pada peneli-

tian ini adalah penggunaan interkom, lama menyusui 2

bulan, lama istirahat 45 hari (musim bekerja ringan) dan

(19)

PENINGKATAN PRODUKSI PETEXNAKAN SAP1 POTONG

DI

DAERAR

PADAT TEXNAK MELALUI PWBAIKAN SARANA

DAN

PRASARANA PELAYANAN REPRODUKSI

Oleh

ZAITUNI UDIN

88524

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

B O G O R

(20)

Judul Disertasi : PENINGKATAN PRODUKSI PETERNAKAN SAP1

POTONG DI DA1GRAB PADAT

TERNAK

HELALUI

PERBAIKAN

SARANA DAN PRASARANA PELA-

YANAN REPRODUKSI

Nama Mahasiswa : ZAITUNI UDIN

Nomor Pokok : 88524

Menyetujui

1. Komisi Penasehat

W&41&----

Prof. Dr.

A.

Soebadi Partodihardjo

Ketua

t

Harimurti Martojo Prof. Dr. Asikin Natasasmita

----

Anggota Anggota

Dr. Ir.

H.A.

Ansori Mattjik Dr. Iman Supriatna

Anggota Anggota

2. Ketua Program Studi ram Pascasarjana

Biologi Reproduksi anian Bogor

---

r.

H.

E d i Guhard ja
(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada tanggal 7 September 1953.

Anak kelima dari pasangan Ayah Udin Dt.

R.

Nan Sati

(almarhum) dan Ibu Rahmadani (almarhumah).

Penulis tamat SD tahun 1966,

SMPN

tahun 1969 dan

SMAN tahun 1972 semuanya di Painan. Lulus sarjana pe- ternakan tahun 1979 pada Fakultas Peternakan, Universi- tas Andalas Padang. Memperoleh gelar Master of Science

pada University of Phillipines, Los Banos tahun 1985.

Pada tahun 1988 penulis mendapat kesempatan untuk melan- jutkan pendidikan program Sg (Program Doktor) pada ju- rusan Biologi Reproduksi, Institut Pertanian Bogor di Bogor.

(22)

UCAPAN TXRIM

KASIH

Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah

SWT

atas rahmat dan hidayahNya hingga penelitian ini dapat diselesaikan dan dituangkan dalam suatu tulisan berupa disertasi sebagai hasil akhir.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar

nya kepada Bapak Prof. Dr.

H.

Soebadi Partodihardjo se-

bagai gembimbing ketua, yang memberikan bimbingan,

nasehat, saran-saran serta dorongan moril sejak tahap persiapan penelitian sampai penulisan disertasi ini.

K,epada Bapak Prof. Dr.

H.

Harimurti Martoyo, Bapak

Prof. Dr. Asikin Natasasmita, Bapak Dr. Ir.

H.

A.

Ansori

Mattjik dan Bapak Dr. Iman Supriatna, sebagai pembimbing anggota, yang telah memberikan bimbingan, nasehat, kri- tik dan dorongan dengan tulus ikhlas, disampaikan pujian dan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Kepada yang terhormat Bapak Rektor dan Bapak Direk- tur Program Pascasarjana, Ketua Jurusan Biologi Repro- duksi beserta seluruh staf. Singkatnya keluarga besar Institut Pertanian Bogor atas fasilitas dan kesempatan yang diberikan untuk kelancaran studi penulis, untuk itu disampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.

(23)

diberikan kepada penulis dalam mengikuti studi di Pro- gram Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Bapak Marlan dan Bapak Daan selaku inseminator di Keca-

matan Kaliori dan Sumber Kabupaten Daerah Tingkat I1

Rembang dan kepada para Kontak Tani Inseminasi Buatan serta para peternak yang telah memberikan bantuan serta fasilitas penyediaan ternak selama penelitian berlang- sung.

Kepada Bapak Pimpinan dan Staf Dinas Peternakan

Daerah Tingkat I1 Rembang yang telah dengan sudi mela-

yani kebutuhan data penelitian.

Juga disampaikan penghargaan dan terima kasih

kepada TMPD Ditjen Dikti, Yayasan Supersemar yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.

Kepada ayahnda almarhum dan ibunda almarhumah yang penulis hormati dan cintai dan kakak-kakak serta adik- adik atas dorongan dan pengertiannya penulis aturkan te- rima kasih yang sebesar-besarnya.

Terima kasih juga kepada teman-teman sejawat yang tak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu atas

(24)

Akhir kata semoga tulisan ini ada manfaat hendaknya

dan semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang ber-

lipat ganda atas jasa, budi baik yang diberikan kepada

kami. Amin.

Bogor, Maret 1993

(25)

DAFTAR

IS1

Halaman

DAFTAR TABEL

. . .

iv DAFTAR GAMBAR

. . .

ix BAB I PENDAHULUAN

. . .

1

1.1 Latar Belakang

. . .

1

. . .

1.2 Identifikasi Masalah 5

1.3 Tujuan Penelitian

. . .

6

1.4 Manfaat Penelitian

. . .

7

. . .

1.5 Kerangka Pemikiran 7

BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA

. . .

9

2.1 Tinjauan Umum Sapi Peranakan

. . .

Ongole (PO) 9

2.2 Aktivitas Reproduksi Pascaparturn

. . .

11

2.3 Pola Harmonal Periode Pascaparturn

. .

13

. . .

2.4 Involusi Uteri 14

2.5 Berahi Pertama Pascaparturn

. . .

17

2.6 Kawin Pertama Pascaparturn

. . .

20

2.7 Angka Perkawinan per Kebuntingan

( S e r v i c e p e r C o n c e p t i o n )

. . .

22

. . .

2.8 Angka Konsepsi (Conception R a t e ) 24

2.9 Lama Bunting

. . .

28

2.10 Selang Beranak ( C a f v i n g I n e e r v a l )

. .

31

2.11 Hubungan Fertilitas dan Pelaksanaan

. . .

Inseminasi Buatan 33

(26)

Halaman

BAB I11 MATERI DAN METODA PENELITIAN

. . .

37

3 . 1 Tempat dan Waktu Penelitian

. . .

37 3 . 2 Materi Penelitian

. . .

37

3.3 Alat yang Digunakan

. . .

38 3 . 4 Metoda Penelitian

. . .

38 3 . 5 Penilaian Konsentrasi Spermatozoa

. .

50

3 . 6 Cara Pemeriksaan Kebuntingan

. . .

52

3 . 7 Analisa Data

. . .

53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

. . .

54

4 . 1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

. . .

54

4.2 Keadaan Umum Peternakan pada

Lokasi Penelitian

. . .

55

4 . 3 Perkembangan Inseminasi Buatan pada

Lokasi Penelitian

. . .

5 9

4 . 4 Kegiatan Inseminasi Buatan pada

ULIB Kaliori

. . .

6 2

4 . 5 Penelitian I: Pengaruh Penggunaan Interkom dalam Pelaksanaan Program

Inseminasi Buatan

. . .

68 4 . 6 Penelitian 11: Pengaruh Lama Menyusui

terhadap Kawin Pertama sesudah Ber-

anak dan Selang Beranak Sapi PO

Pascapartum

. . .

75 4 . 6 . 1 Pengaruh Lama Menyusui ter-

hadap Kawin Pertama sesudah

Beranak Sapi

PO

Pascapartum . 7 5

4 . 6 . 2 Pengaruh Lama Menyusui ter- hadap Selang Beranak

(27)

Halaman

4.6.3 Korelasi Selang Beranak dengan Angka Perkawinan

per Kebuntingan (Service

per Conception ) , Kawin Pertama sesudah Beranak

dan Lama Bunting

. . .

4.7 Penelitian 111: Pengaruh Lama Istira-

hat terhadap Involusi Uteri dan Kinerja Reproduksi Sapi Peranakan

Ongole (PO) Pascaparturn

. . .

94

4.7.1 Pengaruh Lama Istirahat

terhadap Involusi Uteri

. . .

94

4.7.2 Pengaruh Lama Istirahat ter-

hadap Kinerja Reproduksi Sapi

PO Pascapartum

. . .

100

8 Penelitian

IV:

Pengaruh Dosis Semen

Beku terhadap Angka Konsepsi dan Angka Perkawinan per Kebuntingan

Sapi Peranakan Ongole

(PO)

. . .

4.8.1 Konsentrasi Spermatozoa

dalam Ministraw

. . .

104

4.8.2 Pengaruh Dosis Semen Beku

terhadap Angka Konsepsi

(Cortception R a t e )

. .

;

. . .

107

4.8.3 Pengaruh Dosis Semen Beku

terhadap Angka Perkawinan

per Kebuntingan ( S e r v i c e

per C o n c e p t i o n )

. . .

1 1 5

4.8.4 Respon Selang Beranak ter-

hadap Dosis Semen Beku dan Kelompok Kawin Pertama

sesudah Beranak

. . .

121

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

. . .

127

5.1 Kesimpulan

. . .

127
(28)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1 Pengaruh Beranak dan Musim terhadap Involusi

Uteri pada Sapi Perah setelah Beranak

. . .

16

2 Selang Waktu sesudah Beranak dan Involusi

Uteri, Ovulasi, Estrus dan Angka Kebuntingan pada Sapi Obersin Angus

. . .

3 Persentase Sapi yang Berahi sesudah Beranak

sampai Hari ke 42 Periode Kawin dan selama

21 Hari Periode Kawin

. . .

20 4 Pengaruh Lamanya Interval Waktu dari Kawin

Pertama sesudah Beranak sampai Menjadi

Bunting pada Universitas Illionis Dairy Herd

.

5 Kebuntingan pada Hari ke 21 Pertama Periode

Kawin

. . .

25

6 Angka Konsepsi (CR) pada Beberapa Sapi Bangsa

. . .

Zebu 26

7 Angka ~onsepsi dan Selang Waktu dari Beranak

-

Bunting

. . . : . . . ; . . .

27

8 Lama Bunting dari Beberapa Bangsa Sapi dan

Kerbau

. . .

30

. . .

9 Kerangka Penelitian Lama Menyusui 43

10 Kerangka Penelitian Lama Istirahat

. . .

45

11 Kerangka Penelitian Penggunaan Dosis Semen

Beku

. . .

49 12 Populasi Ternak Sapi Potong di Kabupaten

Daerah Tingkat I1 Rembang dari Tahun 1983

sampai dengan Tahun 1989

. . .

56

13 Jenis Pekerjaan, Lama Kerja dan Upah dari Sapi-sapi Peranakan Ongole di Kecamatan

Kaliori

. . .

58

14 Harga Ternak Sapi Peranakan Ongole di

(29)

Nomor Halaman

Tek%

Data Pelaksanaan Inseminasi Buatan di Kabupaten Dati I1 Rembang Tahun Anggaran

1980/1987 sampai dengan 1990/1991

. . .

61

Data Populasi Ternak Sapi Triwulan

I

Tahun

1991 Kecamatan Kaliori Daerah Tingkat I1

Rembang

. . .

63 Jarak dan Waktu Tempuh dari PIB menuju PIB

Lainnya Sesuai Pola Pelayanan Inseminasi

Buatan

. . .

69

Jarak dan Waktu Tempuh yang Dibutuhkan oleh

. . .

KOTIB dari PIB ke ULIB Sumber 71

Rataan Angka Konsepsi ( % ) pada Dua ULIB

. . .

dengan Lima Golongan Beranak 72

Petunjuk Praktis untuk Melakukan IB pada Sapi. 74

Respon Rataan Kawin Pertama sesudah Beranak (hari) pada Tiga Tingkat Lama Menyusui dan Lima Golongan Beranak Sapi PO Pascapartum

pada ULIB Kaliori

. . .

76 Respon Rataan Selang Beranak (hari) pada

Tiga Tingkat Lama Menyusui dan Lima Tingkat

Golongan Beranak Sapi

PO

Pascapartum di

. . .

ULIB Kaliori 85

. . .

Korelasi Selang Beranak pada Tiga Variabel 90

Respon Involusi Uteri (minggu) Sapi Peranakan

. . .

Ongole

(PO)

Pascapartum 95

Respon Kawin Pertama sesudah Beranak, Selang Beranak, Angka Perkawinan per Kebuntingan dan

Angka Konsepsi

. . .

101

Jumlah Spermatozoa dalam Ministraw Semen Beku. 106

Respon Angka Konsepsi (Conception Rate, X )

pada Dua Macam Dosis Semen Beku dan Lima

Golongan Beranak Sapi Peranakan Ongole (PO)

. .

109

Respon Angka Perkawinan per Kebuntingan

(Service per Conception) pada Dua Macam

Dosis Semen .Beku dan Lima Golongan Beranak

. . .

(30)

Nomor Halaman

Teks

29 Rataan Selang Beranak (hari) pada Dua Macam

Dosis Semen Beku dan Tiga Kelompok Kawin

. . .

Pertama Pascapartum 121

30 Rataan Selang (hari) Beranak Berdasarkan Musim

Bekerja

. . .

123

31 Data Frekuensi Inseminasi Buatan, Angka

Konsepsi, Angka Perkawinan per Kebuntingan

dan Selang Beranak pada Dua Musim

. . .

125

LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Kawin Pertama (hari) Sesudah Beranak pada

Tiga Tingkat Lama Menyusui dan Lima Golongan

Beranak

. . .

141

2 Sidik Ragam Kawin Pertama sesudah Beranak

pada Tiga Tingkat Lama Menyusui

. . .

142

3 Data Selang Beranak (hari) pada Beberapa Golongan Beranak dan Lama Menyusui Sapi

PO

Pascaparturn

. . .

143

4 Sidik Ragam Selang Beranak (Calving Interval)

pada Tiga Tingkat Lama Menyusui

. . .

144

5 Data Lama Bunting (hari) pada Tiga Tingkat

Menyusui Sapi

PO

Pascapartum

. . .

145

6 Data Angka Perkawinan per Kebuntingan

(Service per Conception ) pada Tiga Tingkat

Lama Menyusui

. . .

I

7 ~ a t a Angka Konsepsi (CR, % ) .pada Beberapa

Golongan Beranak dan Lama Menyusui Sapi PO

Pascaparturn

. . .

147 8 Data Involusi Uteri Sapi Peranakan Ongole

Pascapartum

. . .

148

. . .

(31)

Nomor Halaman

1 0 Kawin Pertama Sesudah Beranak pada Empat

Tingkat Lama Istirahat (hari)

. . .

1 5 0

11 Analisis Sidik Ragam Kawin'Pertama sesudah

Beranak pada Empat Tingkat Lama Istirahat

. . . .

1 5 1

1 2 Selang Beranak ( C a l v i n g I n t e r v a l ) pada Empat

. . .

Tingkat Lama Istirahat Sapi PO Pascapartum 1 5 2

1 3 Analisis Sidik Ragam Selang Beranak ( C a l v i n g

I n t e r v a l ) pada Empat Tingkat Lama Istirahat

. .

1 5 3

Data Angka Konsepsi (CR, % ) pada Empat

Tingkat Lama Istirahat Sapi PO Pascapartum

. . .

Analisis Sidik Ragam Angka Konsepsi

( C o n c e p t i o n R a t e ) pada Empat Tingkat Lama

. . .

Istirahat

Data Angka Perkawinan ( S e r v i c e p e r C o n c e p t i o n )

pada Empat, Tingkat Lama Istirahat Sapi

PO

Pascapartum

. . .

Analisis Sidik Ragam Angka Perkawinan per Kebuntingan ( S e r v i c e p e r C o n c e p t i o n ) pada

Empat Tingkat Lama Istirahat

. . .

Data Angka Konsepsi ( C o n c e p t i o n R a t e ) pad8 Dua

. . .

Macam Dosis Semen Beku

Analisis Sidik Ragam Angka Konsepsi

( C o n . c e p t i o n R a t e ) pada Dua Macam Dosis Semen Beku

. . .

Data Angka Perkawinan per Kebuntingan

( S e r v i c e per C o n c e p t i o n ) pada Dua Macam Dosis

. . .

Semen Beku

Analisis Sidik Ragam Angka Perkawinan per Kebuntingan ( S e r v i c e p e r C o n c e p t i o n )

. . .

pada Dua Macam Dosis Semen Beku

2 2 Rataan Selang Beranak (hari) pada Dua Macam Dosis Semen Beku dan Tiga Kelompok Kawin

. . .

Pertama Sesudah Beranak 1 6 2

23 Uji t Berdasarkan Dosis Semen Beku dan

(32)

Nomor Halaman

24 Rataan Selang Beranak (hari) pada Dua Nacam

Dosis dan Dua Musim Bekerja

. . .

164

25 Uji t Berdasarkan Musim Kerja

. . .

165

26 Rataan Angka Konsepsi (CR), Angka Perkawinan

per Kebuntingan (S/C) dan Selang Beranak (CI)

pada Dua Macam Dosis dan Dua Musim

. . .

166

27 Skema Pelaksanaan Inseminasi Buatan pada

ULIB

Kaliori dan

ULIB

Sumber

. . .

167 28 Struktur Organisasi Pelaksanaan Inseminasi

Buatan di Daerah

. . .

168

29 Peta Kabupaten Daerah Tingkat I1 Rembang

. . .

169
(33)

Nomor

1 Profil Rataan Kawin Pertama sesudah Beranak

pada Tiga Tingkat Lama Menyusui

. . .

81

2 Profil Selang Beranak (Calving Interval)

pada Tiga Tingkat Lama Menyusui

. . .

87

3 Profil Rataan Involusi Uteri Sapi Peranakan

Ongole

(PO)

. . .

98

4 Profil Rataan Angka Konsepsi (Conception R a t e )

pada Dua Macam Dosis Semen Beku dan Lima

Golongan Beranak Sapi Peranakan Ongole (PO)

. .

112

5 Profil Rataan Angka Perkawinan per Kebuntingan

(Service per Conception) pada Dua Macam Dosis

(34)

Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan sapi yang ba- nyak dipelihara di Indonesia, baik digunakan sebagai penghasil daging maupun sebagai tenaga kerja. Sapi-sapi potong ini dipelihara secara tradisional dan merupakan usaha rakyat. Di Indonesia, populasi sapi potong dari

tahun 1969

-

1990 mengalami peningkatan sekitar 63% dan

pada tahun 1990 tercatat populasi sapi potong di Indone-

sia mencapai 10 520 000 ekor (Soehadji, 1991). Hal ini

diikuti dengan peningkatan produksi daging sejak Pelita

I

sampai dengan tahun 1990, produksi daging meningkat

dari 390.3 ton menjadi 10 081.8 ribu ton atau meningkat

sekitar 250%. Produksi daging dalam negeri telah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri kecuali daging yang ber-

kualitas masih diimpor dalam jumlah yang kecil. Pada

tahun 1990 jumlah daging yang diimpor 3.85 ribu ton atau

0.35% dari permintaan nasional. Seiring dengan itu kon-

sumsi masinq-masing produksi ternak selama tahun 1969

-

1990 mengalami peningkatan pula. Untuk daging dari

311.4 ribu ton pada tahun 1969 menjadi 1 085.5 ribu ton

pada tahun 1990 atau meningkat sekitar 249%.

Berdasarkan perkembangan konsumsi nasional di-

(35)

perkapita pertahun meningkat dari 1.40 g perkapita per-

hari pada tahun 1969 menjadi 3.04 g perkapita perhari

atau setara dengan daging 6.07 kg, telur 3.24 kg dan

susu 3.81 kg perkapita pertahun pada tahun 1990. Namun

demikian dibanding dengan norma gizi sebesar 4.5 g per-

kapita perhari atau setara dengan 7.6 kg daging, 3.5 kg

telur dan 4.6 kg susu perkapita pertahun, tingkat pen- capaian ini masih rendah atau baru mencapai 68% (Soe- hadji, 1991). Konsumsi protein asal ternak dari standar

4.5 gr/kapita/hari pada tahun 1992 tercapai 3.47 g

4

(77,1%) yang berasal dari daging 2.06 g , telur 0.94 gr dan susu 0.47 g. Dalam periode 25 tahun terakhir produk peternakan (daging, telur, susu) telah tumbuh secara me-

ngesankan, yakni daging 5 . 9 % , telur 10.4% dan susu 13.4%

pertahun (Soehadji, 1993).

(36)

khususnya sapi potong seperti dilaporkan oleh Soewardi (1989) bahwa selang beranak untuk sapi perah dan sapi potong adalah lebih panjang dari 16 bulan dan angka kon-

sepsi adalah 62% dan 45% untuk sapi perah dan sapi po-

tong berturut-turut. Rendahnya angka reproduksi ini me- nyebabkan rendahnya produksi anak sapi yang dilahirkan setiap tahun. Hal ini akan menyebabkan kurangnya atau rendahnya pendapatan peternak yang berasal dari sapi po- tong peternakan rakyat di Indonesia. Secara tidak lang- sung ini juga berpengaruh terhadap motivasi beternak.

Kinerja reproduksi ternak sapi sangat dipengaruhi oleh faktor manajemen dan biologi. Kedua faktor ini tidak berjalan sendiri-sendiri tapi selalu bersama-sama dalam suatu periode reproduksi. Pada peternakan rakyat ha1 ini belum diperhatikan, yang mungkin disebabkan oleh pengetahuan peternak yang masih rendah.

Program inseminasi buatan yang mencakup pengetahuan peternak, efisiensi pelayanan oleh inseminator dan pe-

nyediaan semen beku sangat menentukan sekali terhadap

kinerja reproduksi terutama angka konsepsi. Rendahnya

angka konsepsi dan tingginya kawin ulang disebabkan oleh pengontrolan yang kurang balk oleh peternak maupun oleh

inseminator. Dosis semen beku untuk satu kali insemi-

nasi dengan menggunakan straw adalah 30 juta spermato- zoa. Hampir semua program inseminasi buatan di Indone- sia menggunakan ministraw baik sapi perah maupun sapi

(37)

Pada Daerah Tingkat I1 Kabupaten Rembang populasi

sapi potong selama tahun 1983 s/d 1989 mengalami kenaik-

an dengan nyata, walaupun dalam jumlah kenaikan itu se-

dikit. Pada tahun 1989 populasi sapi potong adalah

88 769 ekor, sedangkan populasi sapi potong di daerah

penelitian yaitu Kecamatan Kaliori tercatat 5 772 ekor.

Pelaksanaan inseminasi buatan pada Kecamatan Kaliori ini telah berkembang dengan baik. Hal ini tercermin dengan meningkatnya jumlah akseptor setiap tahun. Pada tahun

1989/1990 tercatat jumlah akseptor 19 147 ekor dan tahun

1990/1991 tercatat akseptor 22 000 ekor.

Unit Lokasi Inseminasi Buatan (ULIB) Kaliori adalah merupakan daerah penelitian, mempunyai fasilitas yang baik dan inseminator yang berpengalaman. Hal ini yang menunjang program inseminasi buatan pada ULIB ini ber- jalan lancar dan maju. Adanya inseminator, mani beku, Kontak Tani Inseminasi Buatan (KOTIB) dan sarana komuni- kasi interkom untuk meningkatkan produksi peternakan sapi potonp adalah merupakan langkah maju. Tetapi bila disimak lebih lanjut maka masih ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki ditambah dan ditunjang demi peningkatan

produksi peternakan sapi potong.

(38)

cara penanganan sapi-sapi yang baru melahirkan. Demiki- an juga dengan penyediaan sarana komunikasi dan penggu- naan dosis yang tepat dalam pelaksanaan program Insemi- nasi Buatan (IB). Dalam pelaksanaan program IB sering terjadi jumlah semen beku dalam ministraw yang dibawa tidak sesuai dengan jumlah akseptor yang harus diinsemi- nasi pada saat itu. Jalan keluar yang ditempuh oleh inseminator adalah dengan menggunakan satu straw semen beku untuk dua ekor akseptor. Hal ini disebabkan oleh komunikasi yang terlambat antara peternak dengan para kontak tani inseminasi buatan (KOTIB). Tetapi ada juga inseminator yang sengaja melakukan cara di atas hanya untuk mengetahui tingkat keberhasilannya dan ternyata kebuntingan bisa terjadi.

Berdasarkan beberapa kasus yang ditemui di lapangan seperti dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan beberapa upaya untuk meningkatkan produksi

sapi potong Peranakan Ongole

(PO)

pada Unit Lokasi In-

seminasi Buatan Kaliori Daerah Tingkat

I1

Kabugaten

Rembang. -

1.2 Jdentifuasi Masalah

Untuk meningkatkan produksi sapi potong rakyat,

maka perlu dilakukan perbaikan sarana dan prasarana pe-

(39)

1. Penggunaan interkom untuk meningkatkan angka konsep-

si melalui ketepatan waktu pelayanan.

2. Pembatasan lama menyusui untuk memperpendek selang

waktu kawin pertama sesudah beranak dan selang ber- anak

.

3. Istirahat sesudah beranak sebelum dipekerjakan ter- hadap involusi uteri dan kinerja reproduksi.

4. Penggunaan dosis semen beku yang cukup untuk mening- katkan angka konsepsi dan angka perkawinan per ke- buntingan.

Ini semua akan meningkatkan budidaya peternakan rakyat Indonesia. Sebenarnya masih ada faktor lain yang menghambat program peningkatan peternakan ini, misalnya tingkat pengetahuan dan daya tangkap peternak terhadap penerangan yang diberikan oleh Dinas Peternakan.

1.3 M u a n Penelitian

Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mening- katkan pendapatan masyarakat peternak melalui peningkat-

an produksi sapi potong, dengan jalan perbaikan sarana dan prasarana pelayanan reproduksi.

Secara khusus bertujuan untuk mengetahui:

1. Pengaruh penggunaan interkom terhadap angka kon- sepsi.

(40)

3. Pengaruh lama istirahat sesudah beranak terhadap involusi uteri, dan kinerja reproduksi.

4. Pengaruh dosis semen beku terhadap angka konsepsi

( c o n c e p t i o n r a t e ) dan angka perkawinan per kebun- tingan ( s e r v i c e per c o n c e p t i o n )

.

Hasil penelitian ini dapat hendaknya meningkatkan produksi sapi potong rakyat di Indonesia, khususnya sapi potong di daerah padat ternak pantai Utara Pulau Jawa.

Rendahnya produktivitas sapi potong pada peternakan rakyat di Indonesia antara lain karena kegagalan repro-

duksi. Hal ini biasanya disebabkan oleh tatalaksana

yang kurang baik disamping faktor ternak itu sendiri.

Rice ( 1 9 5 5 ) dan Partodihardjo ( 1 9 8 7 ) berpendapat bahwa

kegagalan reproduksi dibedakan atas sterilitas dan in-

fertilitas. Sterilitas adalah kegagalan yang bersifat

permanen misalnya karena radang menahun pada saluran reproduksi, dan infertilitas adalah bersifat sementara

misalnya manajemen. Ditambahkan oleh Toelihere (1979)

bahwa penyebab kegagalan reproduksi pada ternak dapat juga berasal dari faktor manusia yang mempertemukan kedua jenis sel kelamin atau garnet dan dapa

(41)

Dengan kondisi reproduksi yang sekarang ini, sapi

potong pada

ULIB

Kaliori dapat dipertahankan populasi-

nya. Dengan kata lain tingkat kesuburan cukup tinggi,

hanya yang perlu diperbaiki adalah tatalaksana reproduk- si, yang mencakup perbaikan sarana dan prasarana pela- yanan reproduksi.

(42)

BAB

I1

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Ongole berasal dari India dan termasuk golong-

an Zebu atau Bas i n d i c u s (Payne, 1970; Sasroamidjojo,

1975). Pada tahun 1906 dan tahun 1912 sapi Zebu mulai

diintroduksikan ke Indonesia. Selanjutnya dilakukan

persilangan dengan sapi setempat (sapi Jawa), yang ter-

nyata dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai tenaga

tarik (Atmadilaga, 1976). Pada tahun 1908 baru mulai

dilakukan ongolisasi secara besar-besaran yaitu dengan

mendatangkan sapi Ongole dari India yang kemudian di-

persilangkan dengan sapi Jawa atau sapi lokal. Hasil

persilangannya disebut sapi Peranakan Ongole (Atmadila-

ga, 1976; Pane, 1980).

Menurut Payne (19701, ternak sapi Ongole berbadan besar, leher pendek dan anggota badannya (kaki) relatif

panjang. Warna bulu ternak sapi Ongole yang t'elah baku ialah keputih-putihan dengan warna gelap di kepala, le-

her, gumba dan lutut. Warna-warna gelap seperti ini

terutama ditemukan pada ternak sapi Ongole jantan.

Warna lain yang kadang-kadang ditemukan ialah merah dan

merah bercampur putih. Kepala dan tanduk pendek serta

kuat yang mula-mula rnengarah ke sebelah luar dan selan-

jutnya ke belakang. Punuk pada sapi Ongole berkembang

(43)

Sapi peranakan Ongole (PO) mirip dengan sapi Ongole yang mempunyai tanda-tanda punuk besar, dengan lipatan- lipatan kulit yang terdapat di bawah leher dan perut,

teli,nga panjang dan mengantung, mata besar dan tenang, kulit di sekitar lubang mata selebar kurang lebih satu

cm berwarna hitam. Tanduk pendek kadang-kadang hanya bungkul kecil saja, tanduk rang betina lebih panjang dari yang jantan. Warna bulu putih atau putih kehitam- hitaman dengan warna kulit kuning. Bobot badan sapi

jantan sekitar 600 kg dan sapi betina sekitar 450 kg

(Sasroamidjojo, 1975).

Sampai saat ini sifat-sifat khas atau karakteristik sapi Peranakan Ongole belum banyak diungkapkan secara

terinci. Menurut Hattab (1978) sifat sapi Peranakan

Ongole identik dengan sapi Brahman yaitu dapat rnenye- suaikan diri dengan lingkungan beriklim panas dan mampu merurnput pada padang rumput yang kurang baik. Ditambah-

kan oleh Ngadiono (1988) bahwa sapi Peranakan Ongole me-

rupakan sapi tipe kerja yang baik, tenaga kuat, ukuran tubuhnya besar, watakny.a sabar, tahan panas, tahan lapar dan haus serta dapat menyesuaikan diri dengan pakan yang

sederhana. Selanjutnya Rangkuti, Pulungan dan Rahman

(1972) menyatakan bahwa karakteristik ternak sapi Per-

anakan Ongole tidak banyak berbeda dengan ternak sapi

(44)

Di Indonesia sapi peranakan Ongole banyak menyebar

di Jawa Timur, Jawa Tengah (Pane, 1980) dan Jawa Barat,

Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera, Kalimantan dan Su- lawesi Utara (Usri, 1980).

Dalam,dua dasawarsa yang lampau, inseminasi buatan

pada sapi potong mulai digalakkan. Dikenalnya insemina- si buatan dengan menggunakan mani beku, proses pening-

katan mutu genetik ternak potong semakin pesat. Semula

telah digunakan berbagai macam bangsa dalam program in-

seminasi buatan ini antara lain Brahman, Hereford, Cha-

rolais dan sebagainya. Namun akhirnya hanya ada dua

bangsa sapi yang paling banyak digunakan, yaitu bangsa

sapi Brahman dan Ongole. Akhirnya sekarang, terutama di

pulau Jawa, berbaurlah sapi-sapi silangan Brahman x Per-

anakan Ongole dan Ongole x PO yang sulit dibedakan

secara eksterior (Hardjosubroto, 1988).

Pascapartum adalah periode segera sesudah melahir- kan yang ditandai dengan dimulainya laktasi dan kembali-

nya siklus reproduksi berikutnya (Hafez, 1987). Selan-

jutnya dijelaskan bahwa di antara melahirkan dan timbul-

nya berahi pertama, uterus harus mengalami involusi

supaya terjadi kebuntingan. Pada periode pascapartum

ini ada suatu masa yang disebut dengan puerpureum yaitu

(45)

12

plasenta hingga kembalinya ke dalam siklus berahi yang normal. Perubahan-perubahan yang penting dalam periode ini adalah regenerasi endometrium, involusi uteri dan

berahi setelah partus (Partodihardjo, 1987; Hafea 1987).

Toelihere (1985) berpendapat bahwa sesudah partus, hewan

betina harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyi- apkan uterus, ovarium dan organ-organ kelamin lainnya dan sistem endokrin untuk memulai suatu siklus yang nor- mal dan kebuntingan baru.

Involusi uteri adalah peristiwa pengecilan uterus dari volume pada waktu mengandung menjadi ukuran normal

tidak bunting. Dalam pengecilan ini termasuk proses

regenerasi epitel endometrium, pengecilan serat-serat

urat daging myometrium dan pembuluh-pembuluh darah

uterus (Partodihardjo, 1987). Faktor-faktor yang mempe- ngaruhi involusi uteri adalah kelahiran yang abnormal

seperti distokia, r e t a i n e d piasenta, musim, uterus yang

infeksi, pyometra dan derajat kontaminasi dari saluran alat kelamin dan produksi susu (Casida and Winisky, 1950; Foote, Hauser dan Casida, 1960).

Berahi setelah beranak dipengaruhi oleh stress ka- rena penyakit, iklim, kekurangan nutrisi, produksi susu atau laktasi yang tinggi, dan menyusui yane terlalu lama (McDonald, 1980; Hafez, 1987). Selanjutnya Peter (1984) berpendapat bahwa berat dan kondisi badan serta terlam-

batnya involusi uteri juga mempengaruhi kemhalinya

(46)

Lama menyusui memperpanjang jarak antara berahi pascapartum dan ovulasi pada sapi potong (Oxenreider,

1968; Wettermann, Turman, Wyatt dan Totysek, 1978). Di-

pertegas oleh Carruthers dan Hafs (1980) bahwa menyusui

menghambat ovulasi pertama pascapartum melalui penekanan

fungsi

LH

dan rangsangan menyusui dan pemerahan ini me-

nyebabkan peningkatan kadar prolaktin

(PRL)

dalam serum.

Bellin, Hinshel, Hauser dan Ax (1984) menyatakan bahwa

pada hari ke-5 pascapartum perkembangan folikel lebih

besar pada sapi yang tidak menyusui daripada yang menyu-

sui. Dengan demikian dapat diketahui bahwa menyusui dan ovarium bekerja sama selama periode pascapartum untuk

menahan kadar

LH

pada sapi potong (Winder, Imakawa, Day,

Zalezky, Kittok dan Kinder, 1984).

2.3 Pola Harmonal Periode Pascaparturn

Hafez (1987) berpendapat bahwa progesteron yang

tinggi selama kebuntingan akan menurun dengan drastis menjelang kelahiran, dilanjutkan dengan kenaikan level estrogen .yang menyebabkan timbulnya ekspresi berahi.

Level progesteron menurun dari 2.1

+

1.2 ng/ml pada hari

ke 2 prepartum menjadi 0.1 2 0.01 ng/ml pada hari ke 6

pascapartum (Humprey et a l . , 1983). Demikian juea dengan

estradiol 17 pada waktu melahirkan adalah 113

+

54 pg/

ml dan menurun dengan cepat menjadi 7

+

3 pg/ml pada

hari keenam pascapartum. Sebaliknya dengan kadar prolak-

(47)

dan 28.4 ng/ml pada minggu pertama dan kedua (Oxenrei-

der, 1968; Short, Bellows, Moody dan Howland, 1972 dan

Niswinder, 1983). Selama menyusui konsentrasi hormon

prolaktin meningkat dan ini berhubungan terbalik dengan

konsentrasi FSH dan LH (Reeves, 1987). Ukuran folikel

dengan pembebasan LH berkorelasi positif (Lishman, Alli-

son, Fogwell, Butcher dan Inskeeps, 1979). Selanjutnya

kadar LH tinggi pada sapi yang tidak menyusui anak dari- pada yang menyusui anak, karena itu tidak ada ovulasi

pada periode ini (Britt, Kittok dan Harrison, 1974).

Mekanisme penekanan konsentrasi LH pada masa menyusui

akibat dari umpan balik positif terhadap estradiol 1 7 p

karena konsentrasi estrogen rendah pada masa menyusui (Bellin et a 1

.

, 1984).

2.4 Involusi Uteri

Hafez (1987) dan Partodihardjo (1987) berpendapat

bahwa pemulihan uterus kepada ukuran tidak bunting dan fungsi yang normal sesudah melahirkan disebut involusi

uteri. Gier dan Marion (1968) melaporkan bahwa beberapa

hari sesudah melahirkan dimensi tanduk uterus menurun dengan cepat yang disebabkan oleh adanya kontraksi myo-

metrium. Sapi waktu akan melahirkan panjang uterusnya

adalah satu meter dan beratnya 9 kg. Perubahan uterus

sesudah beranak mengalami tiga fase yaitu menurunnya ukuran, hilangnya jaringan dan pemulihan. Pada hari ke

(48)

dari ukuran pada waktu melahirkan dan menjadi seperti-

ganya pada hari ke 30 pascapartum. Involusi sempurna

pada hari ke 50 pascapartum, sedangkan berat uterus ber-

kurang dari 9 kg menjadi 1 kg pada hari ke 30 dan 0 . 7 5

kg pada hari ke 50 pascapartum. Marion, Norwood dan

Gier ( 1 9 6 8 ) mendapatkan bahwa rata-rata interval penyu-

sutan uterus dari pluripara dan primipara pada sapi pas-

capartum adalah 4 0 . 6 dan 3 4 . 0 hari berturut-turut.

Interval involusi uteri selama empat musim dapat di- lihat pada Tabel 1.

Menurut Morrow, Roberts, McEntel and Gray ( 1 9 6 6 )

bahwa pada sapi yang uterusnya abnormal dan retained

p l a s e n t a membutuhkan waktu 3

-

5 hari lebih lama kembali

normal dari sapi yang mempunyai uterus normal. Rata-

rata 1 5 hari pascapartum ovulasi sudah terjadi pada ke-

lahiran yang normal dan 34 hari pada sapi yang melahir- kan tidak normal. Namun demikian perbedaan yang paling besar pada diameter serviks antara sapi yang normal me-

lahirkan dan tidak normal adalah 10 rnm pada tiga minggu

pascapartum (Oltenacu, Britt dan Mellenberger, 1 9 8 3 ) .

Involusi uteri pada sapi potong tidak dipengaruhi oleh

ovariectomi atau dengan membuang korpus luteum. Ran-

sangan gonadotropin terhadap korpus luteum tidak mem- pengaruhi involusi uteri. Pada Tabel 2 terlihat selang antara melahirkan dan involusi uteri pada sapi potong

(49)

T a b e l 1 . Pengaruh Beranak dan Musim t e r h a d a p I n v o l u s i U t e r i pada S a p i P e r a h s e t e l a h Beranak

M u s i m Jumlah s a p i I n v o l u s i uteri

( e k o r ) ( h a r i )

Semua s a p i yang normal Gugur

D i n g i n Semi Panas

S a p i p l u r i p a r a Gugur

D i n g i n Semi Panas

S a p i p r i m i p a r a Gugur

Dingin Semi Panas

Sumber: Marion et a l . (1968)

, S p i c e r , Leung, Convey, G u n t h e r , S h o r t dan Tucker ( 1 9 8 6 ) menyatakan bahwa i n v o l u s i u t e r i sempurna pada

h a r i k e 28 u n t u k s a p i yang t i d a k o v u l a s i . Berkurangnya

d i a m e t e r u t e r u s dan b e r a t d i m u l a i pada h a r i k e 7 dan 28.

P a r t o d i h a r d j o ( 1 9 8 7 ) menambahkan bahwa k o r p u s u t e r i

umumnya amat pendek, k i r a - k i r a 2 . 5 sampai 4 c m , panjang-

nya k o r p u s u t e r i t e r g a n t u n g pada urnur dan j e n i s hewan

yang b e r k i s a r a n t a r a 15 c m sampai 30 cm. Menurut P e r -

k i n s dan Kidder (1963) r a t a - r a t a i n v o l u s i u t e r i a d a l a h

3 6 . 5 h a r i dengan s t a n d a r d e v i a s i 14.0 h a r i u n t u k s a p i

[image:49.564.54.507.31.741.2]
(50)

Tabel 2. Selang Waktu sesudah Beranak dan Involusi Uteri, Ovulasi, Estrus, dan Angka Konsepsi pada Sapi Aberden Angus

Hari s e s u d a h b e r a n a k

Ye- J u n - P e r l a k u a n

...

lorn- l a h I n v o l u s 1 Ovul a s i E s t r u s K o n s e p s i p o t s a p i u t e r l

2 3 C L d i b u a n g 77 + -- ! 45 t 7 54 +_ 1 ? ( 2 ! 54 + - 1 2 1 2 )

-v

\ 4 d i r a n g s a n g 3 0 + 2 A t 1 2 7 t - 1 40 +_ 7 i 3 j o v u l a s i

5 3 m e n y u s u i 2 e k o r ? 4 + - 3 5 5 + 9 5 5 ~ 8 9 2 anak s a p i

6 2 d i b e r i g r o w t h 2 9

+

7 3 0 t h 2 9 5 6 4 0

+

4 hnrmon

7 b k o n t r o l 3 0 t 2 3 4 + b

-

5 3 5 3 6 1 t 10

- - - _ - - - . - - -

Sumber: Oxenreider (1968)

untuk sapi Angus, ha1 ini menunjukkan adanya pengaruh

genetik terhadap involusi uteri.

2.5 Berahi Pertama Pasca~artum

Segera setelah melahirkan akan terjadi fase an estrus. Kembalinya berahi sesudah beranak bisa terjadi

pada hari ke-30

-

70 (Partodihardjo, 1987). Wettermann

et a l . (1978) melaporkan bahwa berahi pertama pasca- partum dan ovulasi terjadi lebih awal pada sapi rang menyusui satu anak daripada yang menyusui dua anak.

Berahi terjadi pada 90 hari pascapartum adalah 71.4

[image:50.555.43.514.51.742.2]
(51)

induk lain dan 42.8 persen sapi yang menyusukan dua

anak. Sapi yang menyusui anak lebih lama interval invo- lusi, ovulasi, estrus dan bunting dari sapi yang disapih

(Oxenreider, 1968; Short et a l . , 1972).

Menurut Smith dan Vincent (1972) bahwa rata-rata

interval berahi pertama pascapartum adalah signifikan lebih rendah pada penyapihan yang awal (45 hari) diban-

dingkan dengan yang menyusui anak (55 hari). Tidak ada

perbedaan berahi pertama antara pluripara dan primipara

atau rata-ratanya berahi pertama pascapartum adalah 52

dan 48 hari berturut-turut. Selanjutnya Spicer et al.

(1986) menjelaskan bahwa sapi yang tertunda involusi

uteri dan serviks pascapartum akan memperpanjang inter- val berahi pertama dan bunting. Randel (1981) menambah-

kan bahwa sapi

F1

Brahman x Hereford dibagi jadi dua

group, yang menyusui normal dan hanya satu kali selama

30 menit didapatkan bahwa sapi yang menyusui anak satu

kali selama 30 menit interval berahi pertama pascagartum

lebih pendek dari yang menyusui normal. Pertambahan

berat anak rendah pada satu kali menyusui selama 30

menit tetapi berat sapihnya hampir sama (147.2

+

4.5

v s . 146.8

+

5 kg berturut-turyt). Menurut Marion dan

Gier (1968) bahwa berahi pertama sesudah melahirkan

tergantung kepada produksi susu yaitu 28.4, 33.1 dan

36.9 hari untuk produksi susu rendah, sedang dan tinggL

(52)

bahwa prosenta'se sapi memperlihatkan berahi sebelum 60

hari pascapartum adalah 38.7 persen untuk berahi pertama

dan 28.0 persen untuk berahi kedua, serta 7.2 persen dan

0.3 persen untuk berahi ketiga dan keempat dari 1 209

ekor sapi

.

Selanjutnya Laster, Glimp dan Gregory (1973) bahwa

penyapihan akan meningkatkan prosentase sapi yang mem- perlihatkan berahi sesudah melahirkan selama musim kawin

21 hari adalah 39.2 persen, 23.5 persen untuk yang ber-

wnur 2 dan 3 tahun berturut-turut. Tidak ada pengaruh

berahi sesudah beranak pada sapi dewasa. Pada Tabel 3

dapat dilihat pengaruh penyapihan pada beberapa bangsa terhadap berahi.

Menurut Oltenacu et al. (1983) bahwa alat reproduk-

si pada awal pascapartum merupakan faktor biologi yang sangat erat hubungannya dengan kinerja reproduksi ber- ikutnya.

Dari hasil penelitian Wagner dan Hansel (1969)

bahwa rata-rata berahi pertama pascapartum adalah 14

hari, berkisar dari 10

-

22 hari, sedangkan sapi yang

menyusui tidak ada memperlihatkan berahi pada waktu itu.

Rata-rata ovulasi pertama pascapartum untuk yang diperah

adalah 14 hari, berkisar dari 10

-

22 hari dan untuk

sapi yang menyusui anak adalah 27.5 hari, berkisar dari

(53)

Tabel 3. Prosentase Sapi yang Berahi sesudah

Beranak samgai Hari ke 42 Periode Kawin

dan selama 21 Hari Periode Kawin

E a n g s a B e r a h i p a d a 42 h a r i B e r a h i p a d a 21 h a r i s a p i S t a t u s p e r t a m a p a s c a p a r t u m p e r t a n a p a s c a p a r t u r n

[image:53.559.50.543.23.738.2]

( % 1 ( 1

...

---

2 t h 3 t h ) 4 t h 2 t h 3 t h

>

4 t h

H e r e f o r d d i s a p i h 75.0 100.0 100.0 59.1 92.7 72.4 t d k d i s a p i h 57.1 73.3 73.5 47.4 60.2 7 2 . 6

A n g u s d i s a p i h 100.0 90.9 100.0 74.6 68.1 75.1 t d k d i s a p i h 91.7 73.7 97.0 50.4 56.8 75.0

C h a r 0 1 a i 5 d i s a p i h 100.0 81.8

-

75.5 58.9

-

(112) t d k d i s a p i h 72.2 84.2

-

53.2 59.7

-

Red P o l l d i s a p i h 100.0 101).0 75.0 100.0 100.0 55.4

t d k d i s a p i h 3 3 . 3 80.0 75.0 0 39.2 55.6

Brown S w i s s d i s a p i h 100.0 100.0 100.0 51.3 33,s 41.1 t d k d i s a p i h 14.3 33.3 63.6 15.6 19.8 41.3

S e n u a d i s a p i h 92.0 96.7 97.7 72.5 70.6 61.0 t d k d i s a p i h 6 3 . 0 70.0 81.4 33.3 47.1 61.1

P e r b e d a a n 2 9 . O* 26.7* 16.3 39.2'' 23.5' -.l

Sumber: Laster et al. (1973)

Fertilitas akan meningkat dengan lamanya interval

kawin pertama sesudah beranak yaitu 100

-

120 hari
(54)

Tabel 4. Pengaruh Lamanya Interval Waktu dari Kawin Pertarna sesudah Beranak sampai Menjadi Bunting pada Universitas

Illionis Dairy Herd

Interval sesudah Total Total Service bun-

beranak

-

kawin yang yang per ting

pertama (hari) bunting kawin conception ( % )

Total rata-rata

117 (hari) . 16.74 3 2 9 3 1.97 50.8

Sumber: Van Demark dan Salisbury (1950)

Menurut Laster et d l . (1973) bahwa persentase sapi

yang bunting tinggi d i d a ~ a t k a n ~ p a d a periode perkawinan

42 hari pascaparturn. Perkins dan Kidder (1963) menam-

bahkan bahwa angka konsepsi akan tinggi apabila sapi

[image:54.559.47.526.7.734.2]
(55)

dalam mencapai kebuntingan pada sapi potong daripada involusi uteri.

Selanjutnya Britt (1975) berpendapat bahwa perka- winan dapat dengan normal dimulai 40 hari pascapartum dengan angka penampilan reproduksi yang baik dan manaje-

men yang praktis. Selang beranak 12 bulan atau kurang

dapat dicapai dengan jalan memperpendek interval insemi-

nasi pertama sekitar 50

-

60 hari pascapartum. Apabila

interval inseminasi pertama lebih lama maka selang ber- anak akan lebih panjang. Angka konsepsi pada sapi po- tong lebih rendah apabila dikawinkan pada berahi pertama

pascapartum daripada yang dikawinkan setelah beberapa siklus berahi pascapartum (Smith, Chenault, Meallister dan Landerdale, 1987).

2.7 A m k a Perkawinan per Kebuntin~an ( S e r v i c e per con-

ception

1

Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) merupakan penilaian atau perhitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau

konsepsi. Nilai S/C yang normal berkisar antara 1.6

-

2.0. Samakin rendah nilai ters$but maka semakin tinggi

kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut. Seba-

liknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai ke-

(56)

yang lebih pendek akan membutuhkan inseminasi yang lebih banyak untuk bunting (Carter, Dierschke, Ruttledge dan

Hauser, 1980).

Angka perkawinan per kebuntingan pada lima kelompok sapi perah adalah 2.26, 2.58, 2.32, 2.21 dan 1.75 untuk Jersey, Holstein, Guernsey, Brown Swiss dan Ayrshire berturut-turut, secara keseluruhan rata-rata angka per-

kawinan per kebuntingan adalah 2.48 (Thatcher dan

Wilcox, 1972). Menurut Britt (1975) sapi perah rang di- kawinkan lebih awal pada pascapartum akan meningkatkan produksi anak dan susu, tetapi angka perkawinan per

kebuntingan juga lebih banyak.

Hasil penelitian yang dilakukan di Sumsel oleh Sutan (1988) menunjukkan bahwa angka perkawinan per

kebuntingan untuk sapi Brahman, PO dan Bali adalah rata-

rata 2.73 5 1.76, 1.97

+

1.23 dan 1.68

+

1.05 secara

berturut-turut. Tidak jauh berbeda dengan hasil peneli-

tian Partiman (1982) pada sapi PO adalah 2.2 dan 2.3

pada daerah Gunung Kidul dan Kulon Progo berturut-turut. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Kumar (1982) pada sapi Zebu di India adalah 2.36.

Menurut McDowell, Jonas, Pont, Roy, Siegenzales dan Stonffer (1972) bahwa dengan pengelolaan yang baik, ni-

lai rata-rata angka perkawinan adalah 1.3

-

1.6. Pada

pengelolaan yang kurang baik bisa dua atau lebih. Untuk

sapi yang berada di daerah tropis dan Eropa berkisar da-

(57)

, 2.8

Am&

-psi ( C o n c e p t r ' o n R a t e )

Suatu ukuran terbaik dalam penilaian hasil insemi- nasi adalah persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama dan disebut dengan conception rate atau angka konsepsi. Angka konsepsi ini ditentukan ber- dasarkan hasil diagnosa kebuntingan dalam selang waktu

40

-

60 hari sesudah inseminasi (Toelihere, 1979).

Angka konsepsi ini dipengaruhi oleh kesuburan pejantan, kesuburan betina, keterampilan inseminator dan faktor kebetulan (Partodihardjo, 1987).

Perkin dan Kidder (1963) mendapatkan bahwa angka konsepsi pada sapi potong yang dikawinkan pada berahi pertama pascapartum adalah 42.3 persen untuk sapi yang sudah involusi uteri dan 29.2 persen untuk yang tidak

involusi uteri. Shanks et al. (1979) mendapatkan rata-

rata angka konsepsi adalah 87 persen dengan standar

deviasi 33 persen. Ditambahkan oleh Laster et a l .

(1973) bahwa penyapihan akan meningkatkan angka konsep-

si. Pengaruh penyapihan pada tiga bangsa sapi dapat di-

lihat pada Tabel 5.

Menurut Soenarjo (1980) nilai angka konsepsi

pada sapi

PO

di daerah RernbangYadalah 66.74 persen de-

ngan simpangan baku 15.58 persen. Sutan (1988) menda-

patkan nilai angka konsepsi sapi Bali,

PO

dan Brahman

adalah 61.17, 48.11 dan 37.78 persen pada kawin alam

(58)

Tabel 5. Kebuntingan pada Hari ke-21 Pertama Periode Kawin

Bunting pada hari ke-21 periode kawin Bunting pada hari

Bangsa Status

...

42 pesiode kawin

sapi % total group % sapi diinseminasi

---

---

---

( % I

2

th 3 th

>

4 th 2 th 3 th

>

4 th 2 th 3 th

>

4 th

Hereford Disapih

Tdk disapih

Angus Disapih

Tdk disapih

Charolais Disapih

(1/2 1 Tdk disapih

Semua . Disapih

Tdk disapih Perbedaan

(59)

konsepsi lebih rendah yaitu 29,82%, 31.11% dan 26.25%

untuk sapi Bali,

PO

dan Brahman berturut-turut.

Angka konsepsi lebih tinggi pada sapi potong dari-

pada sapi perah (Herman, 1969). Hal ini terlihat dari

hasil penelitian West (1975) bahwa angka konsepsi pada

sapi perah sekitar 65 persen dan pada sapi potong se-

kitar 70 persen. Nautiyal, Singh, dan Katpatal (1980)

mendapatkan nilai angka konsepsi di India pada beberapa

sapi Zebu seperti tertera pada Tabel 6. Selanjutnya

Smith dan Vincent (1972) mendapatkan bahwa angka kon-

sepsi pada sapi primipara adalah 10 persen lebih rendah

daripada sapi pluripara. Tetapi perbedaan ini tidak

nyata. Pada Tabel 7 terlihat pengaruh penyapihan dan

pemberian hormon terhadap angka konsepsi.

Tabel 6. Angka Konsepsi (CR) pada Beberapa Sapi

Bangsa Zebu

Lokasi (India) Bangsa Jumlah sapi Angka kebunting-

sapi di

IB

an

(CR;

% )

- I , - - . - - - c ~ ~ - , , , - - -

Uttar Pradesh Hariana 140 43.6

Hariyana Hariana 177 36.7

West Benpal Hariana 166 31.9

Madhya Pradesh Gir 70 32.8

Maharashtra State Gir 292 22.7

Andra Pradesh Ongole 284 26.8

_____.-l_l__-________---

(60)

Tabel 7. Aneka Konsepsi dan Selang Waktu dari Beranak

-

Bunting

Item Jumlah % bunting % bunting % Bunting Rata-rata inter-

sapi pada kawin dari sapi dari semua val bunting

pertama yang berahi sapi (h'ari 1

Penyapihan awal

Penyapihan awal

+

hormon 21 15

Menyusui

Menyusui + hormon 18 24 53 50 62

Total penyapihan

awal 40 31

Total sapi menyusui 39 22 53 44 66

Total sapi yang diberi hormon Total sapi yang

tidak diperlakukan 40

-

(61)

28

Britt ( 1 9 7 5 ) mendapatkan bahwa sapi yang dikawinkan

lebih dari 60 hari pascapartum, rata-rata angka konsep-

sinya adalah 94 persen dan yang dikawinkan kurang dari

60 hari pascapartum adalah 72 persen.

2.9 bama Bunting

Suatu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran nor- mal. Dalam kehidupan peternak, periode kebuntingan pada

umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir

sampai terjadinya kelahiran anak secara normal. Perhi-

tungan umur kebuntingan oleh pelaksana inseminasi buatan dipakai juga sebagai patokan oleh peternak yaitu dimulai dari inseminasi yang terakhir sampai kelahiran (Partodi-

hardjo, 1 9 8 7 ) . Sementara West ( 1 9 7 5 ) menyatakan bahwa

rataan lama bunting pada sapi 282 hari, paling pendek

200 hari dan paling panjang 439 hari. Dua pertiga dari

seluruh sapi induk beranak antara 278 sampai 288 hari

setelah dikawinkan. Selanjutnya Jainudeen dan Hafez

( 1 9 8 7 ) menyatakan bahwa masa bunting ditentukan secara genetik walaupun dapat berubah-ubah karena faktor induk,

fetus dan lingkungan.

Buch, Tyler dan Casida ( 1 9 5 9 ) melaporkan bahwa sapi

dara yang bunting pada umur muda, masa buntingnya sedi- kit lebih pendek dibanding induk yang sudah pernah

(62)

tidak terdapat hybungan yang nyata antara umur induk dengan lama bunting. Sementara Jainudeen dan Hafez

( 1 9 8 7 ) mendukung Buch e t a l . (1959) bahwa sapi heifer muda lebih pendek buntingnya daripada heifer yang sudah

tua. Demikian juga dengan anak kembar lebih pendek 3

-

6 hari dibanding daripada anak tunggal dan anak jantan

lebih lama 1

-

2 hari dibanding dari anak yang dikandung

betina. Perbedaan lama bunting berkaitan dengan jenis

kelamin, tipe kelahiran dan tingkat kelahiran.

Menurut MclHenny, Long, Baker dan Cartwright ( 1 9 8 5 )

lama bunting induk untuk anak jantan adalah sangat nyata

lebih panjang 1 . 3 hari dibanding anak betina. Setiap

kilogram peningkatan bobot lahir dari kelahiran memper-

panjang lama bunting rata-rata 0.2

+

0.11 hari (Bourdan

dan Brinks, 1 9 8 3 ) . Diperkuat lagi oleh Sagebiel ( 1 9 6 7 )

bahwa anak sapi jantan sedikit lebih lama dibanding de- ngan anak betina. Rataan lama kebuntingan induk sapi

untuk anak jantan adalah 2 8 8 . 5 2 6 hari dan untuk anak

betina adalah 2 8 5 . 0

+

6 hari (Pane, 1 9 7 9 ) .

Sutan ( 1 9 8 8 ) mendapatkan lama bunting pada sapi

Brahman, Peranakan Ongole (PO) dan Bali di Sumsel rata- ratanya adalah 2 9 0 . 8 8 , 2 8 8 . 6 5 dan 2 8 5 . 9 8 hari berturut-

turut. Hampir'sama dengan lama bunting sapi Peranakan

Ongole (PO) di daerah Istimewa Yogyakarta yaitu rata-

ratanya adalah 2 8 8 . 9 0 2 1 2 . 9 9 hari (Astuti, Hardjosu-

(63)

Tabel 8. Lama Bunting dari beberapa Bangsa Sapi dan Kerbau

Spesies Bangsa Lama bunting

(hari)

Sapi

(Bos taurus)

- Sapi perah

Ayrshire Brown Swiss Dairy Shorthorn Friesian

Guerensey

Holstein-Frisian Jersey

-

Sapi potong

Aberden Angus Hereford

Beef Shorthorn Sapi

(Bos indicus)

-

Brahman

Sahiwal Africander Kerbau

(Bubalus bubalus)

-

Tipe air 315

Tipe lumpur 330

Sumber: Jainudeen dan Hafez (1987)

melaporkan bahwa lama bunting sapi Bali untuk anak

jantan adalah 288.4

+

1.9 hari dan untuk anak betina

rata-ratanya 287.8

+

2.1 hari. Disimpulkan oleh Jainu-

deen dan Hafez (1987) bahwa lama bunting bervariasi dari

276

-

295 hari.

Sugiarti dan Siregar (1986) melaporkan

Gambar

Tabel 1 .
Tabel 2. Selang Waktu sesudah Beranak dan Involusi
Tabel 3. Prosentase Sapi yang Berahi sesudah
Tabel 4. Pengaruh Lamanya Interval Waktu dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan acara Rapat Kerja Organisasi Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. Kami membutuhkan air mineral sebanyak 5 dus untuk 80 peserta selama

Kita hendaknya juga mulai belajar untuk menerapkan nilai-nilai dalam agama yang telah kita pelajari dan terima, kita juga hendaknya lebih peduli terhadap sesama kita dan juga

Puji syukur selalu penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

BRIDGESTONE TIRE INDONESIA, berdasarkan sumber dan penggunaan modal kerja dengan tingkat likuiditas dilihat pada tahun 2003 ke tahun 2004 mengalami kenaikkan berarati kinerja

Dari perhitungan A.2 ( lampiran 1 halaman ) pada tahun 2013 titik break even dalam hari adalah 3.7 unitangka tersebut diperoleh dari jumlah bep unit tahun 2013yaitu 2.190/23

Menteri Koordinator (Menko) perekonomian Darmin Nasution memperkirakan peningkatan daya beli 40% masyarakat yang tergolong tingkat kesejahteraan terbawah terdongkrak oleh

Sehubungan dengan diadakannya Pembuktian Kualifikasi Pada Pokja Konstruksi ULP Empat Lingkungan Peradilan Korwil Sumatera Selatan Pada Mahkamah Agung Unit Pengadilan Tinggi

 Panjang artikel 5-7 halaman, disertai foto yang mendukung  Seminar dihadiri oleh DPL, Kades, Muspika, dan Pejabat Unesa  Mahasiswa wajib mengakomodir masukan dari peserta