*
, .
4 r .*
-i:
i i1 * ,
I
oleh :
ABSTRACT
ZAITUNI UDIN. The Increase'of Beef Cattle Production in
Densely Cattle Populated Areas Through Improvement of Facilities and Condition of Reproduction Services '(under
guidance of SOEBADI PARTODIHARDJO, HARIMURTI HARTOJO,
ASIKIN NATASASMITA. A.A. MATTJIK dan IMAN SUPRIATNA).
The objective of the research was to increase the beef cattle production by improving the facilities and condition of reproduction services. The research was conducted in the Artificial Insemination Location Unit
(ULIB) Kaliori and Sumber, Dati 11, Kabupaten Rembang,
Central Java, during a period of March 1990
-
August1991.
The research comprised of four experiments :
[I]
The effect of intercom in Artificial Insemination Pro- gam. In this category, ULIB Kaliori (with intercom) was compared with ULIB Sumber (without intercom), and 5 groups of calving cattle with different stage of calving (first calving (B-0), second calving B - , third calving (B-2), fourth calving (B-3) and fifth calving (B-4). The number of cattle was 200. 121 The effect of suckling period on the first service after calving, and
the calving intervals. The suckling period was disti-
nguished by 3 groups of 2 months, 3 months and 4 months
and 5 groups of calving animals with different stages
(B-1, B-2, B-3, B-4 and B-5). The number of cattle used was 60. C33 The effect of resting period after calving on the uterus involution and the performance of repro- duction. This includes four groups of 15 days, 30 days
45 days and 60 days, and 5 groups (B-1, B-2, B-3, B-4
and B-5) of calving animals with different stages. The
number of cattle was 80. C41 The effect of the doses of
semen on the conception rate and the service per concep-
ministraw, and 5 groups (B-0, B-1,
B-2,
B-3 and B-4) ofcalving animals. The number of animals was 400. The
data were processed by means of profile analyses.
1. The use of intercom in an artificial insemination program can regulate the timing of artificial inse- mination service. The conception rate in Kaliori (with intercom) and Sumber (without intercom) was
75.0% and 63.0% respectively.
2. Two-month suckling period was the shortest time for
first service after calving. The lactating period
for 2, 3 and 4 months was 85.5
+
18.60; 116.5+
11.33 and 145.8 2 9.0 days respectively. The total
average was 116.26
+
9.97 days. The average ofcalving intervals for 2, 3 and 4 month lactating
period was 383.25
+
19.01; 408.70+
18.15 and 437.60+ 18.60 days respectively, whereas the total average
-
was 409.85
+
15.25 days.3. The fastest post-partum resting period
(P
< 0.05)which quickened the uterus involution was during a
resting period of 45 days. On the other hand, the
affect of resting period on the performance of reproduction did not show an obvious differnce. The average of uterus involution on the resting periods
of 15, 30, 45 and 60 days was 7.0
+
0.2; 6.55 20.32; 6.15
+
0.45 and 6.2+
0.45 weeks respectively;while the total average was 6.47
+
0.34 weeks.4.
A
doses of 1 ministraw frozen semen obviouslyshowed a higher conception rate and a lower number
of service peyJ+'conception than 1/2 ministraw. The
average of conception rate for 1/2 and 1 ministraw
was 63.5
+
6.51% and 76.5+
7.45% respectively,while the total average was 70.0
+
9.19%. Theaverage service per conception for 1/2 ministraw and
1 ministraw was 1.50 t 1.1% and 1.36
+
0.12% respec-According to this observation during research, the
shortest calving interval was found in
the
caseusing a dose of 1 ministraw and the first service
mating interval after 2 months of birth during rest
period (a time when the animals are not used in the field).
From this research, it can be concluded that the use of
intercom, the 2 months lactating period, 45 day resting
period (in dry season) and a doses of 1 ministraw are
RINGKASAN
ZAITUNI
UDIN.
Peningkatan Produksi Peternakan Sapi Po-tong di Daerah Padat Ternak melalui Perbaikan Sarana dan
Prasarana Pelayanan Reproduksi (Di bawah bimbingan
SOEBADI PARTODIHARDJO sebagai ketua, HARIMURTI MARTOYO, ASIKIN NATASASMITA, IMAN SUPRIATNA, dan AHMAD ANSORI MATTJIK, sebagai anggota).
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mening- katkan pendapatan masyarakat peternak melalui pening- katan produksi sapi potong, dengan jalan perbaikan Sara- na dan prasarana pelayanan reproduksi. Penelitian ini
dilakukan pada Unit Lokasi Inseminasi Buatan (ULIB) Ka-
liori dan ULIB Sumber, Daerah Tingkat I1 Kabugaten Rem-
bang, Jawa Tengah. Penelitian dimulai bulan Maret 1990
sampai Agustus 1991 atau selama 17 bulan.
Untuk mendapatkan data mengenai kinerja reproduksi sapi Peranakan Ongole (PO) pascapartum dilakukan 4 pene- litian, Penelitian pertama: Pengaruh penggunaan interkom
dalam pelaksanaan program IB. Digunakan 100 ekor sapi
dengan lima golongan beranak pada setiap ULIB Kaliori d m Sumber. Penelitian kedua: Pengaruh lama menyusui,
terdiri atas 3 tingkat lama menyusui yaitu 2 bulan (MI),
3 bulan (M2) dan 4 bulan
(Mg),
dan lima golongan beranakyaitu
B1,
B2,
B3, B4
dan B5 (sudah pernah satu kali ber-anak, dua kali, tiga kali, empat kali dan lima kali). Lokasinya di empat desa dan setiap desa mempunyai se-
orang KOTIB. Jumlah sampel pada masing-masing desa 15
ekor dan jumlah sampel keseluruhan 60 ekor. Penelitian
ketiga: Pengaruh lama istirahat yang terdiri atas 4
tingkat lama istirahat, yaitu: 15 hari
(I1),
30 hari(I2), 45 hari (Ig), dan 60 hari (I4), dan 5 golongan
beranak. Jumlah sampel tiap desa 20 ekor, sedangkan
jumlah sampel keseluruhan 80 ekor. Penelitian keempat:
semen beku yaitu 1/2 ministraw
(Dl)
dan 1 ministraw (D2)dan lima golongan beranak serta 4 ulangan ( d e s a ) . Jumlah
sampel pada setiap desa 100 ekor dan jumlah keseluruhan 400 ekor. Analisa data yang digunakan adalah analisis profil.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada
ULIB
Ka-liori ini yang pelaksanaan IB-nya sudah maju, rata-rata jumlah akseptor 10 ekor per hari. ULIB ini juga telah dilengkapi dengan interkom sebagai sarana komunikasi an- tara inseminator dan para kontak tani inseminasi buatan di lapangan.
Basil Penelltlan
.
.
Pert-: Pengaruh penggunaan in-terkom terhadap angka konsepsi. Penggunaan interkom
pada program
IB
dapat mengatur waktu pelayanan insemina-si. Angka konsepsi pada ULIB Kaliori (dengan interkom) adalah 75% dan 63% untuk ULIB Sumber (tanpa interkom).
il Penelitian Kedua: Pengaruh lama menyusui: Jarak kawin pertama sesudah beranak dan selang beranak yang terpendek adalah pada lama menyusui dua bulan.
Rataan kawin pertama sesudah beranak untuk perlakuan
MI,
M,
'.
/dan M3 adalah 86.5+
9.21 hari, 116.5+
11.33 haridan 145.8
+
9.0 hari berturut-turut. Rataan keseluruhankawin pertama sesudah beranak adalah 116.26
+
9.97 hari.Rataan selang beranak ( c a l v i n g interval) untuk perlakuan
MI, M2,
dan M 3 adalah 383.25+
10.01 hari, 408.70+
18.15 hari dan 437.60+
18.60 hari berturut-turut.Rataan keseluruhan selang beranak adalah 409.85
+
15.25hari. Angka perkawinan per kebuntingan untuk perlakuan
MI,
M2
dan M3 rata-rata adalah 1.65+
0.13, 1.35+
0.28dan 1.25
+
0.35 berturut-turut. Rataan keseluruhanangka perkawinan perkebuntingan adalah 1.41
+
0.20.Korelasi selang beranak dengan kawin pertama sesudah beranak, angka perkawinan per kebuntingan dan lama bun-
Penelitian Ketiaa : Pengaruh lama istirahat: Is-
tirahat 45 hari sesudah beranak merupakan yang tercepat
terjadinya involusi uteri. Rataan involusi uteri untuk
perlakuan
I
12, I3 dan I4 adalah 7.0+
0.2 minggu,6.55
+
0.32 minggu, 6.15+
0.45 minggu dan 6.2+
0.45minggu secara berturut-turut. Rataan keseluruhan adalah
6.47
+
0.34 minggu. Rataan kawin pertama sesudah ber-anak 11, 12,
I3
dan I4 adalah 139.4+
15.0 hari, 137.6+
16.59 hari, 138.25
+
14.60 hari dan 139.15+
9.92 harisecara berturut-turut. Rataan keseluruhan adalah 138.6
+ 10.96 hari. Rataan selang beranak pada perlakuan 11,
-
12]
I3
danI4
adalah 434.7+
19.29 hari, 431.75+
26.20hari, 426.45
+
17.95 hari dan 430.0+
14.88 hari. Ra-taan keseluruhan selang beranak adalah 431.47
+
18.62hari. Untuk angka perkawinan per kebuntingan pada per-
lakuan 11, 12,
I g
danI4
rata-rata adalah 1.5+
0.25,1.4
+
0.37, 1.25+
0.25 dan 1'.5 2 0.17 secara berturut-turut. Rataan keseluruhan angka perkawinan per kebun-
tingan adalah 1.41 2 0.70. Selanjutnya rataan angka
konsepsi pada perlakuan 11, 12, I g dan I 4 adalah 65.0 2
13.69%, 70.0
+
20.91%, 80.0 2 20.41% dan 70.0+
11.18%berturut-turut. Rataan keseluruhan angka konsepsi ada-
lah 71.25
+
45.54 persen.P e n e l i w Keern~a*: Pengaruh dosis semen beku:
Do-
sis semen beku 1 ministraw lebih tinggi angka konsepsi
dan lebih kecil angka perkawinan per kebuntingan dari
pada dosis semen beku 1/2 ministraw. Rataan angka
konsepsi untuk perlakuan Dl (1/2 ministraw) dan D2 (1
ministraw) adalah 63.5
+
6.51% dan 76.5+
7.45% secaraberturut-turut. Rataan angka konsepsi secara keseluruh-
an adalah 70.0
+
9.19%, sedangkan rataan angka perkawin-an perkebuntingan untuk perlakuan D l (1/2 ministraw) dan
D2 (1 ministraw) adalah 1.50
+
0.10 dan 1.36+
0.12kebuntingan adalah 1 . 4 4 2 0.13. Hasil pengamatan untuk selang beranak yang terpendek didapatkan pada penggunaan
1 dosis, jarak kawin pertama sesudah beranak 2 bulan
dan musim tidak bekerja di sawah (ringan).
Kesimpulan dari keseluruhan pembahasan pada peneli-
tian ini adalah penggunaan interkom, lama menyusui 2
bulan, lama istirahat 45 hari (musim bekerja ringan) dan
PENINGKATAN PRODUKSI PETEXNAKAN SAP1 POTONG
DI
DAERARPADAT TEXNAK MELALUI PWBAIKAN SARANA
DAN
PRASARANA PELAYANAN REPRODUKSI
Oleh
ZAITUNI UDIN
88524
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B O G O R
Judul Disertasi : PENINGKATAN PRODUKSI PETERNAKAN SAP1
POTONG DI DA1GRAB PADAT
TERNAK
HELALUIPERBAIKAN
SARANA DAN PRASARANA PELA-YANAN REPRODUKSI
Nama Mahasiswa : ZAITUNI UDIN
Nomor Pokok : 88524
Menyetujui
1. Komisi Penasehat
W&41&----
Prof. Dr.
A.
Soebadi PartodihardjoKetua
t
Harimurti Martojo Prof. Dr. Asikin Natasasmita----
Anggota Anggota
Dr. Ir.
H.A.
Ansori Mattjik Dr. Iman SupriatnaAnggota Anggota
2. Ketua Program Studi ram Pascasarjana
Biologi Reproduksi anian Bogor
---
r.
H.
E d i Guhard jaRIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada tanggal 7 September 1953.
Anak kelima dari pasangan Ayah Udin Dt.
R.
Nan Sati(almarhum) dan Ibu Rahmadani (almarhumah).
Penulis tamat SD tahun 1966,
SMPN
tahun 1969 danSMAN tahun 1972 semuanya di Painan. Lulus sarjana pe- ternakan tahun 1979 pada Fakultas Peternakan, Universi- tas Andalas Padang. Memperoleh gelar Master of Science
pada University of Phillipines, Los Banos tahun 1985.
Pada tahun 1988 penulis mendapat kesempatan untuk melan- jutkan pendidikan program Sg (Program Doktor) pada ju- rusan Biologi Reproduksi, Institut Pertanian Bogor di Bogor.
UCAPAN TXRIM
KASIH
Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah
SWT
atas rahmat dan hidayahNya hingga penelitian ini dapat diselesaikan dan dituangkan dalam suatu tulisan berupa disertasi sebagai hasil akhir.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar
nya kepada Bapak Prof. Dr.
H.
Soebadi Partodihardjo se-bagai gembimbing ketua, yang memberikan bimbingan,
nasehat, saran-saran serta dorongan moril sejak tahap persiapan penelitian sampai penulisan disertasi ini.
K,epada Bapak Prof. Dr.
H.
Harimurti Martoyo, BapakProf. Dr. Asikin Natasasmita, Bapak Dr. Ir.
H.
A.
AnsoriMattjik dan Bapak Dr. Iman Supriatna, sebagai pembimbing anggota, yang telah memberikan bimbingan, nasehat, kri- tik dan dorongan dengan tulus ikhlas, disampaikan pujian dan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Kepada yang terhormat Bapak Rektor dan Bapak Direk- tur Program Pascasarjana, Ketua Jurusan Biologi Repro- duksi beserta seluruh staf. Singkatnya keluarga besar Institut Pertanian Bogor atas fasilitas dan kesempatan yang diberikan untuk kelancaran studi penulis, untuk itu disampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
diberikan kepada penulis dalam mengikuti studi di Pro- gram Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak Marlan dan Bapak Daan selaku inseminator di Keca-
matan Kaliori dan Sumber Kabupaten Daerah Tingkat I1
Rembang dan kepada para Kontak Tani Inseminasi Buatan serta para peternak yang telah memberikan bantuan serta fasilitas penyediaan ternak selama penelitian berlang- sung.
Kepada Bapak Pimpinan dan Staf Dinas Peternakan
Daerah Tingkat I1 Rembang yang telah dengan sudi mela-
yani kebutuhan data penelitian.
Juga disampaikan penghargaan dan terima kasih
kepada TMPD Ditjen Dikti, Yayasan Supersemar yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan.
Kepada ayahnda almarhum dan ibunda almarhumah yang penulis hormati dan cintai dan kakak-kakak serta adik- adik atas dorongan dan pengertiannya penulis aturkan te- rima kasih yang sebesar-besarnya.
Terima kasih juga kepada teman-teman sejawat yang tak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu atas
Akhir kata semoga tulisan ini ada manfaat hendaknya
dan semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang ber-
lipat ganda atas jasa, budi baik yang diberikan kepada
kami. Amin.
Bogor, Maret 1993
DAFTAR
IS1Halaman
DAFTAR TABEL
. . .
iv DAFTAR GAMBAR. . .
ix BAB I PENDAHULUAN. . .
11.1 Latar Belakang
. . .
1. . .
1.2 Identifikasi Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian
. . .
61.4 Manfaat Penelitian
. . .
7. . .
1.5 Kerangka Pemikiran 7
BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA
. . .
92.1 Tinjauan Umum Sapi Peranakan
. . .
Ongole (PO) 9
2.2 Aktivitas Reproduksi Pascaparturn
. . .
112.3 Pola Harmonal Periode Pascaparturn
. .
13. . .
2.4 Involusi Uteri 14
2.5 Berahi Pertama Pascaparturn
. . .
172.6 Kawin Pertama Pascaparturn
. . .
202.7 Angka Perkawinan per Kebuntingan
( S e r v i c e p e r C o n c e p t i o n )
. . .
22. . .
2.8 Angka Konsepsi (Conception R a t e ) 24
2.9 Lama Bunting
. . .
282.10 Selang Beranak ( C a f v i n g I n e e r v a l )
. .
312.11 Hubungan Fertilitas dan Pelaksanaan
. . .
Inseminasi Buatan 33
Halaman
BAB I11 MATERI DAN METODA PENELITIAN
. . .
373 . 1 Tempat dan Waktu Penelitian
. . .
37 3 . 2 Materi Penelitian. . .
373.3 Alat yang Digunakan
. . .
38 3 . 4 Metoda Penelitian. . .
38 3 . 5 Penilaian Konsentrasi Spermatozoa. .
503 . 6 Cara Pemeriksaan Kebuntingan
. . .
523 . 7 Analisa Data
. . .
53BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
. . .
544 . 1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian
. . .
544.2 Keadaan Umum Peternakan pada
Lokasi Penelitian
. . .
554 . 3 Perkembangan Inseminasi Buatan pada
Lokasi Penelitian
. . .
5 94 . 4 Kegiatan Inseminasi Buatan pada
ULIB Kaliori
. . .
6 24 . 5 Penelitian I: Pengaruh Penggunaan Interkom dalam Pelaksanaan Program
Inseminasi Buatan
. . .
68 4 . 6 Penelitian 11: Pengaruh Lama Menyusuiterhadap Kawin Pertama sesudah Ber-
anak dan Selang Beranak Sapi PO
Pascapartum
. . .
75 4 . 6 . 1 Pengaruh Lama Menyusui ter-hadap Kawin Pertama sesudah
Beranak Sapi
PO
Pascapartum . 7 54 . 6 . 2 Pengaruh Lama Menyusui ter- hadap Selang Beranak
Halaman
4.6.3 Korelasi Selang Beranak dengan Angka Perkawinan
per Kebuntingan (Service
per Conception ) , Kawin Pertama sesudah Beranak
dan Lama Bunting
. . .
4.7 Penelitian 111: Pengaruh Lama Istira-
hat terhadap Involusi Uteri dan Kinerja Reproduksi Sapi Peranakan
Ongole (PO) Pascaparturn
. . .
944.7.1 Pengaruh Lama Istirahat
terhadap Involusi Uteri
. . .
944.7.2 Pengaruh Lama Istirahat ter-
hadap Kinerja Reproduksi Sapi
PO Pascapartum
. . .
1008 Penelitian
IV:
Pengaruh Dosis SemenBeku terhadap Angka Konsepsi dan Angka Perkawinan per Kebuntingan
Sapi Peranakan Ongole
(PO)
. . .
4.8.1 Konsentrasi Spermatozoa
dalam Ministraw
. . .
1044.8.2 Pengaruh Dosis Semen Beku
terhadap Angka Konsepsi
(Cortception R a t e )
. .
;. . .
1074.8.3 Pengaruh Dosis Semen Beku
terhadap Angka Perkawinan
per Kebuntingan ( S e r v i c e
per C o n c e p t i o n )
. . .
1 1 54.8.4 Respon Selang Beranak ter-
hadap Dosis Semen Beku dan Kelompok Kawin Pertama
sesudah Beranak
. . .
121BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
. . .
1275.1 Kesimpulan
. . .
127DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1 Pengaruh Beranak dan Musim terhadap Involusi
Uteri pada Sapi Perah setelah Beranak
. . .
162 Selang Waktu sesudah Beranak dan Involusi
Uteri, Ovulasi, Estrus dan Angka Kebuntingan pada Sapi Obersin Angus
. . .
3 Persentase Sapi yang Berahi sesudah Beranaksampai Hari ke 42 Periode Kawin dan selama
21 Hari Periode Kawin
. . .
20 4 Pengaruh Lamanya Interval Waktu dari KawinPertama sesudah Beranak sampai Menjadi
Bunting pada Universitas Illionis Dairy Herd
.
5 Kebuntingan pada Hari ke 21 Pertama Periode
Kawin
. . .
256 Angka Konsepsi (CR) pada Beberapa Sapi Bangsa
. . .
Zebu 26
7 Angka ~onsepsi dan Selang Waktu dari Beranak
-
Bunting
. . . : . . . ; . . .
278 Lama Bunting dari Beberapa Bangsa Sapi dan
Kerbau
. . .
30. . .
9 Kerangka Penelitian Lama Menyusui 43
10 Kerangka Penelitian Lama Istirahat
. . .
4511 Kerangka Penelitian Penggunaan Dosis Semen
Beku
. . .
49 12 Populasi Ternak Sapi Potong di KabupatenDaerah Tingkat I1 Rembang dari Tahun 1983
sampai dengan Tahun 1989
. . .
5613 Jenis Pekerjaan, Lama Kerja dan Upah dari Sapi-sapi Peranakan Ongole di Kecamatan
Kaliori
. . .
5814 Harga Ternak Sapi Peranakan Ongole di
Nomor Halaman
Tek%
Data Pelaksanaan Inseminasi Buatan di Kabupaten Dati I1 Rembang Tahun Anggaran
1980/1987 sampai dengan 1990/1991
. . .
61Data Populasi Ternak Sapi Triwulan
I
Tahun1991 Kecamatan Kaliori Daerah Tingkat I1
Rembang
. . .
63 Jarak dan Waktu Tempuh dari PIB menuju PIBLainnya Sesuai Pola Pelayanan Inseminasi
Buatan
. . .
69Jarak dan Waktu Tempuh yang Dibutuhkan oleh
. . .
KOTIB dari PIB ke ULIB Sumber 71
Rataan Angka Konsepsi ( % ) pada Dua ULIB
. . .
dengan Lima Golongan Beranak 72
Petunjuk Praktis untuk Melakukan IB pada Sapi. 74
Respon Rataan Kawin Pertama sesudah Beranak (hari) pada Tiga Tingkat Lama Menyusui dan Lima Golongan Beranak Sapi PO Pascapartum
pada ULIB Kaliori
. . .
76 Respon Rataan Selang Beranak (hari) padaTiga Tingkat Lama Menyusui dan Lima Tingkat
Golongan Beranak Sapi
PO
Pascapartum di. . .
ULIB Kaliori 85
. . .
Korelasi Selang Beranak pada Tiga Variabel 90
Respon Involusi Uteri (minggu) Sapi Peranakan
. . .
Ongole
(PO)
Pascapartum 95Respon Kawin Pertama sesudah Beranak, Selang Beranak, Angka Perkawinan per Kebuntingan dan
Angka Konsepsi
. . .
101Jumlah Spermatozoa dalam Ministraw Semen Beku. 106
Respon Angka Konsepsi (Conception Rate, X )
pada Dua Macam Dosis Semen Beku dan Lima
Golongan Beranak Sapi Peranakan Ongole (PO)
. .
109Respon Angka Perkawinan per Kebuntingan
(Service per Conception) pada Dua Macam
Dosis Semen .Beku dan Lima Golongan Beranak
. . .
Nomor Halaman
Teks
29 Rataan Selang Beranak (hari) pada Dua Macam
Dosis Semen Beku dan Tiga Kelompok Kawin
. . .
Pertama Pascapartum 121
30 Rataan Selang (hari) Beranak Berdasarkan Musim
Bekerja
. . .
12331 Data Frekuensi Inseminasi Buatan, Angka
Konsepsi, Angka Perkawinan per Kebuntingan
dan Selang Beranak pada Dua Musim
. . .
125LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Kawin Pertama (hari) Sesudah Beranak pada
Tiga Tingkat Lama Menyusui dan Lima Golongan
Beranak
. . .
1412 Sidik Ragam Kawin Pertama sesudah Beranak
pada Tiga Tingkat Lama Menyusui
. . .
1423 Data Selang Beranak (hari) pada Beberapa Golongan Beranak dan Lama Menyusui Sapi
PO
Pascaparturn. . .
1434 Sidik Ragam Selang Beranak (Calving Interval)
pada Tiga Tingkat Lama Menyusui
. . .
1445 Data Lama Bunting (hari) pada Tiga Tingkat
Menyusui Sapi
PO
Pascapartum. . .
1456 Data Angka Perkawinan per Kebuntingan
(Service per Conception ) pada Tiga Tingkat
Lama Menyusui
. . .
I7 ~ a t a Angka Konsepsi (CR, % ) .pada Beberapa
Golongan Beranak dan Lama Menyusui Sapi PO
Pascaparturn
. . .
147 8 Data Involusi Uteri Sapi Peranakan OngolePascapartum
. . .
148. . .
Nomor Halaman
1 0 Kawin Pertama Sesudah Beranak pada Empat
Tingkat Lama Istirahat (hari)
. . .
1 5 011 Analisis Sidik Ragam Kawin'Pertama sesudah
Beranak pada Empat Tingkat Lama Istirahat
. . . .
1 5 11 2 Selang Beranak ( C a l v i n g I n t e r v a l ) pada Empat
. . .
Tingkat Lama Istirahat Sapi PO Pascapartum 1 5 2
1 3 Analisis Sidik Ragam Selang Beranak ( C a l v i n g
I n t e r v a l ) pada Empat Tingkat Lama Istirahat
. .
1 5 3Data Angka Konsepsi (CR, % ) pada Empat
Tingkat Lama Istirahat Sapi PO Pascapartum
. . .
Analisis Sidik Ragam Angka Konsepsi
( C o n c e p t i o n R a t e ) pada Empat Tingkat Lama
. . .
IstirahatData Angka Perkawinan ( S e r v i c e p e r C o n c e p t i o n )
pada Empat, Tingkat Lama Istirahat Sapi
PO
Pascapartum
. . .
Analisis Sidik Ragam Angka Perkawinan per Kebuntingan ( S e r v i c e p e r C o n c e p t i o n ) padaEmpat Tingkat Lama Istirahat
. . .
Data Angka Konsepsi ( C o n c e p t i o n R a t e ) pad8 Dua. . .
Macam Dosis Semen BekuAnalisis Sidik Ragam Angka Konsepsi
( C o n . c e p t i o n R a t e ) pada Dua Macam Dosis Semen Beku
. . .
Data Angka Perkawinan per Kebuntingan
( S e r v i c e per C o n c e p t i o n ) pada Dua Macam Dosis
. . .
Semen Beku
Analisis Sidik Ragam Angka Perkawinan per Kebuntingan ( S e r v i c e p e r C o n c e p t i o n )
. . .
pada Dua Macam Dosis Semen Beku
2 2 Rataan Selang Beranak (hari) pada Dua Macam Dosis Semen Beku dan Tiga Kelompok Kawin
. . .
Pertama Sesudah Beranak 1 6 2
23 Uji t Berdasarkan Dosis Semen Beku dan
Nomor Halaman
24 Rataan Selang Beranak (hari) pada Dua Nacam
Dosis dan Dua Musim Bekerja
. . .
16425 Uji t Berdasarkan Musim Kerja
. . .
16526 Rataan Angka Konsepsi (CR), Angka Perkawinan
per Kebuntingan (S/C) dan Selang Beranak (CI)
pada Dua Macam Dosis dan Dua Musim
. . .
16627 Skema Pelaksanaan Inseminasi Buatan pada
ULIB
Kaliori dan
ULIB
Sumber. . .
167 28 Struktur Organisasi Pelaksanaan InseminasiBuatan di Daerah
. . .
16829 Peta Kabupaten Daerah Tingkat I1 Rembang
. . .
169Nomor
1 Profil Rataan Kawin Pertama sesudah Beranak
pada Tiga Tingkat Lama Menyusui
. . .
812 Profil Selang Beranak (Calving Interval)
pada Tiga Tingkat Lama Menyusui
. . .
873 Profil Rataan Involusi Uteri Sapi Peranakan
Ongole
(PO)
. . .
984 Profil Rataan Angka Konsepsi (Conception R a t e )
pada Dua Macam Dosis Semen Beku dan Lima
Golongan Beranak Sapi Peranakan Ongole (PO)
. .
1125 Profil Rataan Angka Perkawinan per Kebuntingan
(Service per Conception) pada Dua Macam Dosis
Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan sapi yang ba- nyak dipelihara di Indonesia, baik digunakan sebagai penghasil daging maupun sebagai tenaga kerja. Sapi-sapi potong ini dipelihara secara tradisional dan merupakan usaha rakyat. Di Indonesia, populasi sapi potong dari
tahun 1969
-
1990 mengalami peningkatan sekitar 63% danpada tahun 1990 tercatat populasi sapi potong di Indone-
sia mencapai 10 520 000 ekor (Soehadji, 1991). Hal ini
diikuti dengan peningkatan produksi daging sejak Pelita
I
sampai dengan tahun 1990, produksi daging meningkatdari 390.3 ton menjadi 10 081.8 ribu ton atau meningkat
sekitar 250%. Produksi daging dalam negeri telah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri kecuali daging yang ber-
kualitas masih diimpor dalam jumlah yang kecil. Pada
tahun 1990 jumlah daging yang diimpor 3.85 ribu ton atau
0.35% dari permintaan nasional. Seiring dengan itu kon-
sumsi masinq-masing produksi ternak selama tahun 1969
-
1990 mengalami peningkatan pula. Untuk daging dari
311.4 ribu ton pada tahun 1969 menjadi 1 085.5 ribu ton
pada tahun 1990 atau meningkat sekitar 249%.
Berdasarkan perkembangan konsumsi nasional di-
perkapita pertahun meningkat dari 1.40 g perkapita per-
hari pada tahun 1969 menjadi 3.04 g perkapita perhari
atau setara dengan daging 6.07 kg, telur 3.24 kg dan
susu 3.81 kg perkapita pertahun pada tahun 1990. Namun
demikian dibanding dengan norma gizi sebesar 4.5 g per-
kapita perhari atau setara dengan 7.6 kg daging, 3.5 kg
telur dan 4.6 kg susu perkapita pertahun, tingkat pen- capaian ini masih rendah atau baru mencapai 68% (Soe- hadji, 1991). Konsumsi protein asal ternak dari standar
4.5 gr/kapita/hari pada tahun 1992 tercapai 3.47 g
4
(77,1%) yang berasal dari daging 2.06 g , telur 0.94 gr dan susu 0.47 g. Dalam periode 25 tahun terakhir produk peternakan (daging, telur, susu) telah tumbuh secara me-
ngesankan, yakni daging 5 . 9 % , telur 10.4% dan susu 13.4%
pertahun (Soehadji, 1993).
khususnya sapi potong seperti dilaporkan oleh Soewardi (1989) bahwa selang beranak untuk sapi perah dan sapi potong adalah lebih panjang dari 16 bulan dan angka kon-
sepsi adalah 62% dan 45% untuk sapi perah dan sapi po-
tong berturut-turut. Rendahnya angka reproduksi ini me- nyebabkan rendahnya produksi anak sapi yang dilahirkan setiap tahun. Hal ini akan menyebabkan kurangnya atau rendahnya pendapatan peternak yang berasal dari sapi po- tong peternakan rakyat di Indonesia. Secara tidak lang- sung ini juga berpengaruh terhadap motivasi beternak.
Kinerja reproduksi ternak sapi sangat dipengaruhi oleh faktor manajemen dan biologi. Kedua faktor ini tidak berjalan sendiri-sendiri tapi selalu bersama-sama dalam suatu periode reproduksi. Pada peternakan rakyat ha1 ini belum diperhatikan, yang mungkin disebabkan oleh pengetahuan peternak yang masih rendah.
Program inseminasi buatan yang mencakup pengetahuan peternak, efisiensi pelayanan oleh inseminator dan pe-
nyediaan semen beku sangat menentukan sekali terhadap
kinerja reproduksi terutama angka konsepsi. Rendahnya
angka konsepsi dan tingginya kawin ulang disebabkan oleh pengontrolan yang kurang balk oleh peternak maupun oleh
inseminator. Dosis semen beku untuk satu kali insemi-
nasi dengan menggunakan straw adalah 30 juta spermato- zoa. Hampir semua program inseminasi buatan di Indone- sia menggunakan ministraw baik sapi perah maupun sapi
Pada Daerah Tingkat I1 Kabupaten Rembang populasi
sapi potong selama tahun 1983 s/d 1989 mengalami kenaik-
an dengan nyata, walaupun dalam jumlah kenaikan itu se-
dikit. Pada tahun 1989 populasi sapi potong adalah
88 769 ekor, sedangkan populasi sapi potong di daerah
penelitian yaitu Kecamatan Kaliori tercatat 5 772 ekor.
Pelaksanaan inseminasi buatan pada Kecamatan Kaliori ini telah berkembang dengan baik. Hal ini tercermin dengan meningkatnya jumlah akseptor setiap tahun. Pada tahun
1989/1990 tercatat jumlah akseptor 19 147 ekor dan tahun
1990/1991 tercatat akseptor 22 000 ekor.
Unit Lokasi Inseminasi Buatan (ULIB) Kaliori adalah merupakan daerah penelitian, mempunyai fasilitas yang baik dan inseminator yang berpengalaman. Hal ini yang menunjang program inseminasi buatan pada ULIB ini ber- jalan lancar dan maju. Adanya inseminator, mani beku, Kontak Tani Inseminasi Buatan (KOTIB) dan sarana komuni- kasi interkom untuk meningkatkan produksi peternakan sapi potonp adalah merupakan langkah maju. Tetapi bila disimak lebih lanjut maka masih ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki ditambah dan ditunjang demi peningkatan
produksi peternakan sapi potong.
cara penanganan sapi-sapi yang baru melahirkan. Demiki- an juga dengan penyediaan sarana komunikasi dan penggu- naan dosis yang tepat dalam pelaksanaan program Insemi- nasi Buatan (IB). Dalam pelaksanaan program IB sering terjadi jumlah semen beku dalam ministraw yang dibawa tidak sesuai dengan jumlah akseptor yang harus diinsemi- nasi pada saat itu. Jalan keluar yang ditempuh oleh inseminator adalah dengan menggunakan satu straw semen beku untuk dua ekor akseptor. Hal ini disebabkan oleh komunikasi yang terlambat antara peternak dengan para kontak tani inseminasi buatan (KOTIB). Tetapi ada juga inseminator yang sengaja melakukan cara di atas hanya untuk mengetahui tingkat keberhasilannya dan ternyata kebuntingan bisa terjadi.
Berdasarkan beberapa kasus yang ditemui di lapangan seperti dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan beberapa upaya untuk meningkatkan produksi
sapi potong Peranakan Ongole
(PO)
pada Unit Lokasi In-seminasi Buatan Kaliori Daerah Tingkat
I1
KabugatenRembang. -
1.2 Jdentifuasi Masalah
Untuk meningkatkan produksi sapi potong rakyat,
maka perlu dilakukan perbaikan sarana dan prasarana pe-
1. Penggunaan interkom untuk meningkatkan angka konsep-
si melalui ketepatan waktu pelayanan.
2. Pembatasan lama menyusui untuk memperpendek selang
waktu kawin pertama sesudah beranak dan selang ber- anak
.
3. Istirahat sesudah beranak sebelum dipekerjakan ter- hadap involusi uteri dan kinerja reproduksi.
4. Penggunaan dosis semen beku yang cukup untuk mening- katkan angka konsepsi dan angka perkawinan per ke- buntingan.
Ini semua akan meningkatkan budidaya peternakan rakyat Indonesia. Sebenarnya masih ada faktor lain yang menghambat program peningkatan peternakan ini, misalnya tingkat pengetahuan dan daya tangkap peternak terhadap penerangan yang diberikan oleh Dinas Peternakan.
1.3 M u a n Penelitian
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk mening- katkan pendapatan masyarakat peternak melalui peningkat-
an produksi sapi potong, dengan jalan perbaikan sarana dan prasarana pelayanan reproduksi.
Secara khusus bertujuan untuk mengetahui:
1. Pengaruh penggunaan interkom terhadap angka kon- sepsi.
3. Pengaruh lama istirahat sesudah beranak terhadap involusi uteri, dan kinerja reproduksi.
4. Pengaruh dosis semen beku terhadap angka konsepsi
( c o n c e p t i o n r a t e ) dan angka perkawinan per kebun- tingan ( s e r v i c e per c o n c e p t i o n )
.
Hasil penelitian ini dapat hendaknya meningkatkan produksi sapi potong rakyat di Indonesia, khususnya sapi potong di daerah padat ternak pantai Utara Pulau Jawa.
Rendahnya produktivitas sapi potong pada peternakan rakyat di Indonesia antara lain karena kegagalan repro-
duksi. Hal ini biasanya disebabkan oleh tatalaksana
yang kurang baik disamping faktor ternak itu sendiri.
Rice ( 1 9 5 5 ) dan Partodihardjo ( 1 9 8 7 ) berpendapat bahwa
kegagalan reproduksi dibedakan atas sterilitas dan in-
fertilitas. Sterilitas adalah kegagalan yang bersifat
permanen misalnya karena radang menahun pada saluran reproduksi, dan infertilitas adalah bersifat sementara
misalnya manajemen. Ditambahkan oleh Toelihere (1979)
bahwa penyebab kegagalan reproduksi pada ternak dapat juga berasal dari faktor manusia yang mempertemukan kedua jenis sel kelamin atau garnet dan dapa
Dengan kondisi reproduksi yang sekarang ini, sapi
potong pada
ULIB
Kaliori dapat dipertahankan populasi-nya. Dengan kata lain tingkat kesuburan cukup tinggi,
hanya yang perlu diperbaiki adalah tatalaksana reproduk- si, yang mencakup perbaikan sarana dan prasarana pela- yanan reproduksi.
BAB
I1TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Ongole berasal dari India dan termasuk golong-
an Zebu atau Bas i n d i c u s (Payne, 1970; Sasroamidjojo,
1975). Pada tahun 1906 dan tahun 1912 sapi Zebu mulai
diintroduksikan ke Indonesia. Selanjutnya dilakukan
persilangan dengan sapi setempat (sapi Jawa), yang ter-
nyata dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai tenaga
tarik (Atmadilaga, 1976). Pada tahun 1908 baru mulai
dilakukan ongolisasi secara besar-besaran yaitu dengan
mendatangkan sapi Ongole dari India yang kemudian di-
persilangkan dengan sapi Jawa atau sapi lokal. Hasil
persilangannya disebut sapi Peranakan Ongole (Atmadila-
ga, 1976; Pane, 1980).
Menurut Payne (19701, ternak sapi Ongole berbadan besar, leher pendek dan anggota badannya (kaki) relatif
panjang. Warna bulu ternak sapi Ongole yang t'elah baku ialah keputih-putihan dengan warna gelap di kepala, le-
her, gumba dan lutut. Warna-warna gelap seperti ini
terutama ditemukan pada ternak sapi Ongole jantan.
Warna lain yang kadang-kadang ditemukan ialah merah dan
merah bercampur putih. Kepala dan tanduk pendek serta
kuat yang mula-mula rnengarah ke sebelah luar dan selan-
jutnya ke belakang. Punuk pada sapi Ongole berkembang
Sapi peranakan Ongole (PO) mirip dengan sapi Ongole yang mempunyai tanda-tanda punuk besar, dengan lipatan- lipatan kulit yang terdapat di bawah leher dan perut,
teli,nga panjang dan mengantung, mata besar dan tenang, kulit di sekitar lubang mata selebar kurang lebih satu
cm berwarna hitam. Tanduk pendek kadang-kadang hanya bungkul kecil saja, tanduk rang betina lebih panjang dari yang jantan. Warna bulu putih atau putih kehitam- hitaman dengan warna kulit kuning. Bobot badan sapi
jantan sekitar 600 kg dan sapi betina sekitar 450 kg
(Sasroamidjojo, 1975).
Sampai saat ini sifat-sifat khas atau karakteristik sapi Peranakan Ongole belum banyak diungkapkan secara
terinci. Menurut Hattab (1978) sifat sapi Peranakan
Ongole identik dengan sapi Brahman yaitu dapat rnenye- suaikan diri dengan lingkungan beriklim panas dan mampu merurnput pada padang rumput yang kurang baik. Ditambah-
kan oleh Ngadiono (1988) bahwa sapi Peranakan Ongole me-
rupakan sapi tipe kerja yang baik, tenaga kuat, ukuran tubuhnya besar, watakny.a sabar, tahan panas, tahan lapar dan haus serta dapat menyesuaikan diri dengan pakan yang
sederhana. Selanjutnya Rangkuti, Pulungan dan Rahman
(1972) menyatakan bahwa karakteristik ternak sapi Per-
anakan Ongole tidak banyak berbeda dengan ternak sapi
Di Indonesia sapi peranakan Ongole banyak menyebar
di Jawa Timur, Jawa Tengah (Pane, 1980) dan Jawa Barat,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera, Kalimantan dan Su- lawesi Utara (Usri, 1980).
Dalam,dua dasawarsa yang lampau, inseminasi buatan
pada sapi potong mulai digalakkan. Dikenalnya insemina- si buatan dengan menggunakan mani beku, proses pening-
katan mutu genetik ternak potong semakin pesat. Semula
telah digunakan berbagai macam bangsa dalam program in-
seminasi buatan ini antara lain Brahman, Hereford, Cha-
rolais dan sebagainya. Namun akhirnya hanya ada dua
bangsa sapi yang paling banyak digunakan, yaitu bangsa
sapi Brahman dan Ongole. Akhirnya sekarang, terutama di
pulau Jawa, berbaurlah sapi-sapi silangan Brahman x Per-
anakan Ongole dan Ongole x PO yang sulit dibedakan
secara eksterior (Hardjosubroto, 1988).
Pascapartum adalah periode segera sesudah melahir- kan yang ditandai dengan dimulainya laktasi dan kembali-
nya siklus reproduksi berikutnya (Hafez, 1987). Selan-
jutnya dijelaskan bahwa di antara melahirkan dan timbul-
nya berahi pertama, uterus harus mengalami involusi
supaya terjadi kebuntingan. Pada periode pascapartum
ini ada suatu masa yang disebut dengan puerpureum yaitu
12
plasenta hingga kembalinya ke dalam siklus berahi yang normal. Perubahan-perubahan yang penting dalam periode ini adalah regenerasi endometrium, involusi uteri dan
berahi setelah partus (Partodihardjo, 1987; Hafea 1987).
Toelihere (1985) berpendapat bahwa sesudah partus, hewan
betina harus menghasilkan susu untuk anaknya dan menyi- apkan uterus, ovarium dan organ-organ kelamin lainnya dan sistem endokrin untuk memulai suatu siklus yang nor- mal dan kebuntingan baru.
Involusi uteri adalah peristiwa pengecilan uterus dari volume pada waktu mengandung menjadi ukuran normal
tidak bunting. Dalam pengecilan ini termasuk proses
regenerasi epitel endometrium, pengecilan serat-serat
urat daging myometrium dan pembuluh-pembuluh darah
uterus (Partodihardjo, 1987). Faktor-faktor yang mempe- ngaruhi involusi uteri adalah kelahiran yang abnormal
seperti distokia, r e t a i n e d piasenta, musim, uterus yang
infeksi, pyometra dan derajat kontaminasi dari saluran alat kelamin dan produksi susu (Casida and Winisky, 1950; Foote, Hauser dan Casida, 1960).
Berahi setelah beranak dipengaruhi oleh stress ka- rena penyakit, iklim, kekurangan nutrisi, produksi susu atau laktasi yang tinggi, dan menyusui yane terlalu lama (McDonald, 1980; Hafez, 1987). Selanjutnya Peter (1984) berpendapat bahwa berat dan kondisi badan serta terlam-
batnya involusi uteri juga mempengaruhi kemhalinya
Lama menyusui memperpanjang jarak antara berahi pascapartum dan ovulasi pada sapi potong (Oxenreider,
1968; Wettermann, Turman, Wyatt dan Totysek, 1978). Di-
pertegas oleh Carruthers dan Hafs (1980) bahwa menyusui
menghambat ovulasi pertama pascapartum melalui penekanan
fungsi
LH
dan rangsangan menyusui dan pemerahan ini me-nyebabkan peningkatan kadar prolaktin
(PRL)
dalam serum.Bellin, Hinshel, Hauser dan Ax (1984) menyatakan bahwa
pada hari ke-5 pascapartum perkembangan folikel lebih
besar pada sapi yang tidak menyusui daripada yang menyu-
sui. Dengan demikian dapat diketahui bahwa menyusui dan ovarium bekerja sama selama periode pascapartum untuk
menahan kadar
LH
pada sapi potong (Winder, Imakawa, Day,Zalezky, Kittok dan Kinder, 1984).
2.3 Pola Harmonal Periode Pascaparturn
Hafez (1987) berpendapat bahwa progesteron yang
tinggi selama kebuntingan akan menurun dengan drastis menjelang kelahiran, dilanjutkan dengan kenaikan level estrogen .yang menyebabkan timbulnya ekspresi berahi.
Level progesteron menurun dari 2.1
+
1.2 ng/ml pada harike 2 prepartum menjadi 0.1 2 0.01 ng/ml pada hari ke 6
pascapartum (Humprey et a l . , 1983). Demikian juea dengan
estradiol 17 pada waktu melahirkan adalah 113
+
54 pg/ml dan menurun dengan cepat menjadi 7
+
3 pg/ml padahari keenam pascapartum. Sebaliknya dengan kadar prolak-
dan 28.4 ng/ml pada minggu pertama dan kedua (Oxenrei-
der, 1968; Short, Bellows, Moody dan Howland, 1972 dan
Niswinder, 1983). Selama menyusui konsentrasi hormon
prolaktin meningkat dan ini berhubungan terbalik dengan
konsentrasi FSH dan LH (Reeves, 1987). Ukuran folikel
dengan pembebasan LH berkorelasi positif (Lishman, Alli-
son, Fogwell, Butcher dan Inskeeps, 1979). Selanjutnya
kadar LH tinggi pada sapi yang tidak menyusui anak dari- pada yang menyusui anak, karena itu tidak ada ovulasi
pada periode ini (Britt, Kittok dan Harrison, 1974).
Mekanisme penekanan konsentrasi LH pada masa menyusui
akibat dari umpan balik positif terhadap estradiol 1 7 p
karena konsentrasi estrogen rendah pada masa menyusui (Bellin et a 1
.
, 1984).2.4 Involusi Uteri
Hafez (1987) dan Partodihardjo (1987) berpendapat
bahwa pemulihan uterus kepada ukuran tidak bunting dan fungsi yang normal sesudah melahirkan disebut involusi
uteri. Gier dan Marion (1968) melaporkan bahwa beberapa
hari sesudah melahirkan dimensi tanduk uterus menurun dengan cepat yang disebabkan oleh adanya kontraksi myo-
metrium. Sapi waktu akan melahirkan panjang uterusnya
adalah satu meter dan beratnya 9 kg. Perubahan uterus
sesudah beranak mengalami tiga fase yaitu menurunnya ukuran, hilangnya jaringan dan pemulihan. Pada hari ke
dari ukuran pada waktu melahirkan dan menjadi seperti-
ganya pada hari ke 30 pascapartum. Involusi sempurna
pada hari ke 50 pascapartum, sedangkan berat uterus ber-
kurang dari 9 kg menjadi 1 kg pada hari ke 30 dan 0 . 7 5
kg pada hari ke 50 pascapartum. Marion, Norwood dan
Gier ( 1 9 6 8 ) mendapatkan bahwa rata-rata interval penyu-
sutan uterus dari pluripara dan primipara pada sapi pas-
capartum adalah 4 0 . 6 dan 3 4 . 0 hari berturut-turut.
Interval involusi uteri selama empat musim dapat di- lihat pada Tabel 1.
Menurut Morrow, Roberts, McEntel and Gray ( 1 9 6 6 )
bahwa pada sapi yang uterusnya abnormal dan retained
p l a s e n t a membutuhkan waktu 3
-
5 hari lebih lama kembalinormal dari sapi yang mempunyai uterus normal. Rata-
rata 1 5 hari pascapartum ovulasi sudah terjadi pada ke-
lahiran yang normal dan 34 hari pada sapi yang melahir- kan tidak normal. Namun demikian perbedaan yang paling besar pada diameter serviks antara sapi yang normal me-
lahirkan dan tidak normal adalah 10 rnm pada tiga minggu
pascapartum (Oltenacu, Britt dan Mellenberger, 1 9 8 3 ) .
Involusi uteri pada sapi potong tidak dipengaruhi oleh
ovariectomi atau dengan membuang korpus luteum. Ran-
sangan gonadotropin terhadap korpus luteum tidak mem- pengaruhi involusi uteri. Pada Tabel 2 terlihat selang antara melahirkan dan involusi uteri pada sapi potong
T a b e l 1 . Pengaruh Beranak dan Musim t e r h a d a p I n v o l u s i U t e r i pada S a p i P e r a h s e t e l a h Beranak
M u s i m Jumlah s a p i I n v o l u s i uteri
( e k o r ) ( h a r i )
Semua s a p i yang normal Gugur
D i n g i n Semi Panas
S a p i p l u r i p a r a Gugur
D i n g i n Semi Panas
S a p i p r i m i p a r a Gugur
Dingin Semi Panas
Sumber: Marion et a l . (1968)
, S p i c e r , Leung, Convey, G u n t h e r , S h o r t dan Tucker ( 1 9 8 6 ) menyatakan bahwa i n v o l u s i u t e r i sempurna pada
h a r i k e 28 u n t u k s a p i yang t i d a k o v u l a s i . Berkurangnya
d i a m e t e r u t e r u s dan b e r a t d i m u l a i pada h a r i k e 7 dan 28.
P a r t o d i h a r d j o ( 1 9 8 7 ) menambahkan bahwa k o r p u s u t e r i
umumnya amat pendek, k i r a - k i r a 2 . 5 sampai 4 c m , panjang-
nya k o r p u s u t e r i t e r g a n t u n g pada urnur dan j e n i s hewan
yang b e r k i s a r a n t a r a 15 c m sampai 30 cm. Menurut P e r -
k i n s dan Kidder (1963) r a t a - r a t a i n v o l u s i u t e r i a d a l a h
3 6 . 5 h a r i dengan s t a n d a r d e v i a s i 14.0 h a r i u n t u k s a p i
[image:49.564.54.507.31.741.2]Tabel 2. Selang Waktu sesudah Beranak dan Involusi Uteri, Ovulasi, Estrus, dan Angka Konsepsi pada Sapi Aberden Angus
Hari s e s u d a h b e r a n a k
Ye- J u n - P e r l a k u a n
...
lorn- l a h I n v o l u s 1 Ovul a s i E s t r u s K o n s e p s i p o t s a p i u t e r l2 3 C L d i b u a n g 77 + -- ! 45 t 7 54 +_ 1 ? ( 2 ! 54 + - 1 2 1 2 )
-v
\ 4 d i r a n g s a n g 3 0 + 2 A t 1 2 7 t - 1 40 +_ 7 i 3 j o v u l a s i
5 3 m e n y u s u i 2 e k o r ? 4 + - 3 5 5 + 9 5 5 ~ 8 9 2 anak s a p i
6 2 d i b e r i g r o w t h 2 9
+
7 3 0 t h 2 9 5 6 4 0+
4 hnrmon7 b k o n t r o l 3 0 t 2 3 4 + b
-
5 3 5 3 6 1 t 10- - - _ - - - . - - -
Sumber: Oxenreider (1968)
untuk sapi Angus, ha1 ini menunjukkan adanya pengaruh
genetik terhadap involusi uteri.
2.5 Berahi Pertama Pasca~artum
Segera setelah melahirkan akan terjadi fase an estrus. Kembalinya berahi sesudah beranak bisa terjadi
pada hari ke-30
-
70 (Partodihardjo, 1987). Wettermannet a l . (1978) melaporkan bahwa berahi pertama pasca- partum dan ovulasi terjadi lebih awal pada sapi rang menyusui satu anak daripada yang menyusui dua anak.
Berahi terjadi pada 90 hari pascapartum adalah 71.4
[image:50.555.43.514.51.742.2]induk lain dan 42.8 persen sapi yang menyusukan dua
anak. Sapi yang menyusui anak lebih lama interval invo- lusi, ovulasi, estrus dan bunting dari sapi yang disapih
(Oxenreider, 1968; Short et a l . , 1972).
Menurut Smith dan Vincent (1972) bahwa rata-rata
interval berahi pertama pascapartum adalah signifikan lebih rendah pada penyapihan yang awal (45 hari) diban-
dingkan dengan yang menyusui anak (55 hari). Tidak ada
perbedaan berahi pertama antara pluripara dan primipara
atau rata-ratanya berahi pertama pascapartum adalah 52
dan 48 hari berturut-turut. Selanjutnya Spicer et al.
(1986) menjelaskan bahwa sapi yang tertunda involusi
uteri dan serviks pascapartum akan memperpanjang inter- val berahi pertama dan bunting. Randel (1981) menambah-
kan bahwa sapi
F1
Brahman x Hereford dibagi jadi duagroup, yang menyusui normal dan hanya satu kali selama
30 menit didapatkan bahwa sapi yang menyusui anak satu
kali selama 30 menit interval berahi pertama pascagartum
lebih pendek dari yang menyusui normal. Pertambahan
berat anak rendah pada satu kali menyusui selama 30
menit tetapi berat sapihnya hampir sama (147.2
+
4.5v s . 146.8
+
5 kg berturut-turyt). Menurut Marion danGier (1968) bahwa berahi pertama sesudah melahirkan
tergantung kepada produksi susu yaitu 28.4, 33.1 dan
36.9 hari untuk produksi susu rendah, sedang dan tinggL
bahwa prosenta'se sapi memperlihatkan berahi sebelum 60
hari pascapartum adalah 38.7 persen untuk berahi pertama
dan 28.0 persen untuk berahi kedua, serta 7.2 persen dan
0.3 persen untuk berahi ketiga dan keempat dari 1 209
ekor sapi
.
Selanjutnya Laster, Glimp dan Gregory (1973) bahwa
penyapihan akan meningkatkan prosentase sapi yang mem- perlihatkan berahi sesudah melahirkan selama musim kawin
21 hari adalah 39.2 persen, 23.5 persen untuk yang ber-
wnur 2 dan 3 tahun berturut-turut. Tidak ada pengaruh
berahi sesudah beranak pada sapi dewasa. Pada Tabel 3
dapat dilihat pengaruh penyapihan pada beberapa bangsa terhadap berahi.
Menurut Oltenacu et al. (1983) bahwa alat reproduk-
si pada awal pascapartum merupakan faktor biologi yang sangat erat hubungannya dengan kinerja reproduksi ber- ikutnya.
Dari hasil penelitian Wagner dan Hansel (1969)
bahwa rata-rata berahi pertama pascapartum adalah 14
hari, berkisar dari 10
-
22 hari, sedangkan sapi yangmenyusui tidak ada memperlihatkan berahi pada waktu itu.
Rata-rata ovulasi pertama pascapartum untuk yang diperah
adalah 14 hari, berkisar dari 10
-
22 hari dan untuksapi yang menyusui anak adalah 27.5 hari, berkisar dari
Tabel 3. Prosentase Sapi yang Berahi sesudah
Beranak samgai Hari ke 42 Periode Kawin
dan selama 21 Hari Periode Kawin
E a n g s a B e r a h i p a d a 42 h a r i B e r a h i p a d a 21 h a r i s a p i S t a t u s p e r t a m a p a s c a p a r t u m p e r t a n a p a s c a p a r t u r n
[image:53.559.50.543.23.738.2]( % 1 ( 1
...
---
2 t h 3 t h ) 4 t h 2 t h 3 t h
>
4 t hH e r e f o r d d i s a p i h 75.0 100.0 100.0 59.1 92.7 72.4 t d k d i s a p i h 57.1 73.3 73.5 47.4 60.2 7 2 . 6
A n g u s d i s a p i h 100.0 90.9 100.0 74.6 68.1 75.1 t d k d i s a p i h 91.7 73.7 97.0 50.4 56.8 75.0
C h a r 0 1 a i 5 d i s a p i h 100.0 81.8
-
75.5 58.9-
(112) t d k d i s a p i h 72.2 84.2
-
53.2 59.7-
Red P o l l d i s a p i h 100.0 101).0 75.0 100.0 100.0 55.4
t d k d i s a p i h 3 3 . 3 80.0 75.0 0 39.2 55.6
Brown S w i s s d i s a p i h 100.0 100.0 100.0 51.3 33,s 41.1 t d k d i s a p i h 14.3 33.3 63.6 15.6 19.8 41.3
S e n u a d i s a p i h 92.0 96.7 97.7 72.5 70.6 61.0 t d k d i s a p i h 6 3 . 0 70.0 81.4 33.3 47.1 61.1
P e r b e d a a n 2 9 . O* 26.7* 16.3 39.2'' 23.5' -.l
Sumber: Laster et al. (1973)
Fertilitas akan meningkat dengan lamanya interval
kawin pertama sesudah beranak yaitu 100
-
120 hariTabel 4. Pengaruh Lamanya Interval Waktu dari Kawin Pertarna sesudah Beranak sampai Menjadi Bunting pada Universitas
Illionis Dairy Herd
Interval sesudah Total Total Service bun-
beranak
-
kawin yang yang per tingpertama (hari) bunting kawin conception ( % )
Total rata-rata
117 (hari) . 16.74 3 2 9 3 1.97 50.8
Sumber: Van Demark dan Salisbury (1950)
Menurut Laster et d l . (1973) bahwa persentase sapi
yang bunting tinggi d i d a ~ a t k a n ~ p a d a periode perkawinan
42 hari pascaparturn. Perkins dan Kidder (1963) menam-
bahkan bahwa angka konsepsi akan tinggi apabila sapi
[image:54.559.47.526.7.734.2]dalam mencapai kebuntingan pada sapi potong daripada involusi uteri.
Selanjutnya Britt (1975) berpendapat bahwa perka- winan dapat dengan normal dimulai 40 hari pascapartum dengan angka penampilan reproduksi yang baik dan manaje-
men yang praktis. Selang beranak 12 bulan atau kurang
dapat dicapai dengan jalan memperpendek interval insemi-
nasi pertama sekitar 50
-
60 hari pascapartum. Apabilainterval inseminasi pertama lebih lama maka selang ber- anak akan lebih panjang. Angka konsepsi pada sapi po- tong lebih rendah apabila dikawinkan pada berahi pertama
pascapartum daripada yang dikawinkan setelah beberapa siklus berahi pascapartum (Smith, Chenault, Meallister dan Landerdale, 1987).
2.7 A m k a Perkawinan per Kebuntin~an ( S e r v i c e per con-
ception
1
Jumlah inseminasi per kebuntingan atau service per conception (S/C) merupakan penilaian atau perhitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan atau
konsepsi. Nilai S/C yang normal berkisar antara 1.6
-
2.0. Samakin rendah nilai ters$but maka semakin tinggi
kesuburan hewan betina dalam kelompok tersebut. Seba-
liknya makin tinggi nilai S/C, makin rendahlah nilai ke-
yang lebih pendek akan membutuhkan inseminasi yang lebih banyak untuk bunting (Carter, Dierschke, Ruttledge dan
Hauser, 1980).
Angka perkawinan per kebuntingan pada lima kelompok sapi perah adalah 2.26, 2.58, 2.32, 2.21 dan 1.75 untuk Jersey, Holstein, Guernsey, Brown Swiss dan Ayrshire berturut-turut, secara keseluruhan rata-rata angka per-
kawinan per kebuntingan adalah 2.48 (Thatcher dan
Wilcox, 1972). Menurut Britt (1975) sapi perah rang di- kawinkan lebih awal pada pascapartum akan meningkatkan produksi anak dan susu, tetapi angka perkawinan per
kebuntingan juga lebih banyak.
Hasil penelitian yang dilakukan di Sumsel oleh Sutan (1988) menunjukkan bahwa angka perkawinan per
kebuntingan untuk sapi Brahman, PO dan Bali adalah rata-
rata 2.73 5 1.76, 1.97
+
1.23 dan 1.68+
1.05 secaraberturut-turut. Tidak jauh berbeda dengan hasil peneli-
tian Partiman (1982) pada sapi PO adalah 2.2 dan 2.3
pada daerah Gunung Kidul dan Kulon Progo berturut-turut. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Kumar (1982) pada sapi Zebu di India adalah 2.36.
Menurut McDowell, Jonas, Pont, Roy, Siegenzales dan Stonffer (1972) bahwa dengan pengelolaan yang baik, ni-
lai rata-rata angka perkawinan adalah 1.3
-
1.6. Padapengelolaan yang kurang baik bisa dua atau lebih. Untuk
sapi yang berada di daerah tropis dan Eropa berkisar da-
, 2.8
Am&
-psi ( C o n c e p t r ' o n R a t e )Suatu ukuran terbaik dalam penilaian hasil insemi- nasi adalah persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama dan disebut dengan conception rate atau angka konsepsi. Angka konsepsi ini ditentukan ber- dasarkan hasil diagnosa kebuntingan dalam selang waktu
40
-
60 hari sesudah inseminasi (Toelihere, 1979).Angka konsepsi ini dipengaruhi oleh kesuburan pejantan, kesuburan betina, keterampilan inseminator dan faktor kebetulan (Partodihardjo, 1987).
Perkin dan Kidder (1963) mendapatkan bahwa angka konsepsi pada sapi potong yang dikawinkan pada berahi pertama pascapartum adalah 42.3 persen untuk sapi yang sudah involusi uteri dan 29.2 persen untuk yang tidak
involusi uteri. Shanks et al. (1979) mendapatkan rata-
rata angka konsepsi adalah 87 persen dengan standar
deviasi 33 persen. Ditambahkan oleh Laster et a l .
(1973) bahwa penyapihan akan meningkatkan angka konsep-
si. Pengaruh penyapihan pada tiga bangsa sapi dapat di-
lihat pada Tabel 5.
Menurut Soenarjo (1980) nilai angka konsepsi
pada sapi
PO
di daerah RernbangYadalah 66.74 persen de-ngan simpangan baku 15.58 persen. Sutan (1988) menda-
patkan nilai angka konsepsi sapi Bali,
PO
dan Brahmanadalah 61.17, 48.11 dan 37.78 persen pada kawin alam
Tabel 5. Kebuntingan pada Hari ke-21 Pertama Periode Kawin
Bunting pada hari ke-21 periode kawin Bunting pada hari
Bangsa Status
...
42 pesiode kawinsapi % total group % sapi diinseminasi
---
---
---
( % I
2
th 3 th>
4 th 2 th 3 th>
4 th 2 th 3 th>
4 thHereford Disapih
Tdk disapih
Angus Disapih
Tdk disapih
Charolais Disapih
(1/2 1 Tdk disapih
Semua . Disapih
Tdk disapih Perbedaan
konsepsi lebih rendah yaitu 29,82%, 31.11% dan 26.25%
untuk sapi Bali,
PO
dan Brahman berturut-turut.Angka konsepsi lebih tinggi pada sapi potong dari-
pada sapi perah (Herman, 1969). Hal ini terlihat dari
hasil penelitian West (1975) bahwa angka konsepsi pada
sapi perah sekitar 65 persen dan pada sapi potong se-
kitar 70 persen. Nautiyal, Singh, dan Katpatal (1980)
mendapatkan nilai angka konsepsi di India pada beberapa
sapi Zebu seperti tertera pada Tabel 6. Selanjutnya
Smith dan Vincent (1972) mendapatkan bahwa angka kon-
sepsi pada sapi primipara adalah 10 persen lebih rendah
daripada sapi pluripara. Tetapi perbedaan ini tidak
nyata. Pada Tabel 7 terlihat pengaruh penyapihan dan
pemberian hormon terhadap angka konsepsi.
Tabel 6. Angka Konsepsi (CR) pada Beberapa Sapi
Bangsa Zebu
Lokasi (India) Bangsa Jumlah sapi Angka kebunting-
sapi di
IB
an(CR;
% )- I , - - . - - - c ~ ~ - , , , - - -
Uttar Pradesh Hariana 140 43.6
Hariyana Hariana 177 36.7
West Benpal Hariana 166 31.9
Madhya Pradesh Gir 70 32.8
Maharashtra State Gir 292 22.7
Andra Pradesh Ongole 284 26.8
_____.-l_l__-________---
Tabel 7. Aneka Konsepsi dan Selang Waktu dari Beranak
-
BuntingItem Jumlah % bunting % bunting % Bunting Rata-rata inter-
sapi pada kawin dari sapi dari semua val bunting
pertama yang berahi sapi (h'ari 1
Penyapihan awal
Penyapihan awal
+
hormon 21 15
Menyusui
Menyusui + hormon 18 24 53 50 62
Total penyapihan
awal 40 31
Total sapi menyusui 39 22 53 44 66
Total sapi yang diberi hormon Total sapi yang
tidak diperlakukan 40
-
28
Britt ( 1 9 7 5 ) mendapatkan bahwa sapi yang dikawinkan
lebih dari 60 hari pascapartum, rata-rata angka konsep-
sinya adalah 94 persen dan yang dikawinkan kurang dari
60 hari pascapartum adalah 72 persen.
2.9 bama Bunting
Suatu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran nor- mal. Dalam kehidupan peternak, periode kebuntingan pada
umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir
sampai terjadinya kelahiran anak secara normal. Perhi-
tungan umur kebuntingan oleh pelaksana inseminasi buatan dipakai juga sebagai patokan oleh peternak yaitu dimulai dari inseminasi yang terakhir sampai kelahiran (Partodi-
hardjo, 1 9 8 7 ) . Sementara West ( 1 9 7 5 ) menyatakan bahwa
rataan lama bunting pada sapi 282 hari, paling pendek
200 hari dan paling panjang 439 hari. Dua pertiga dari
seluruh sapi induk beranak antara 278 sampai 288 hari
setelah dikawinkan. Selanjutnya Jainudeen dan Hafez
( 1 9 8 7 ) menyatakan bahwa masa bunting ditentukan secara genetik walaupun dapat berubah-ubah karena faktor induk,
fetus dan lingkungan.
Buch, Tyler dan Casida ( 1 9 5 9 ) melaporkan bahwa sapi
dara yang bunting pada umur muda, masa buntingnya sedi- kit lebih pendek dibanding induk yang sudah pernah
tidak terdapat hybungan yang nyata antara umur induk dengan lama bunting. Sementara Jainudeen dan Hafez
( 1 9 8 7 ) mendukung Buch e t a l . (1959) bahwa sapi heifer muda lebih pendek buntingnya daripada heifer yang sudah
tua. Demikian juga dengan anak kembar lebih pendek 3
-
6 hari dibanding daripada anak tunggal dan anak jantan
lebih lama 1
-
2 hari dibanding dari anak yang dikandungbetina. Perbedaan lama bunting berkaitan dengan jenis
kelamin, tipe kelahiran dan tingkat kelahiran.
Menurut MclHenny, Long, Baker dan Cartwright ( 1 9 8 5 )
lama bunting induk untuk anak jantan adalah sangat nyata
lebih panjang 1 . 3 hari dibanding anak betina. Setiap
kilogram peningkatan bobot lahir dari kelahiran memper-
panjang lama bunting rata-rata 0.2
+
0.11 hari (Bourdandan Brinks, 1 9 8 3 ) . Diperkuat lagi oleh Sagebiel ( 1 9 6 7 )
bahwa anak sapi jantan sedikit lebih lama dibanding de- ngan anak betina. Rataan lama kebuntingan induk sapi
untuk anak jantan adalah 2 8 8 . 5 2 6 hari dan untuk anak
betina adalah 2 8 5 . 0
+
6 hari (Pane, 1 9 7 9 ) .Sutan ( 1 9 8 8 ) mendapatkan lama bunting pada sapi
Brahman, Peranakan Ongole (PO) dan Bali di Sumsel rata- ratanya adalah 2 9 0 . 8 8 , 2 8 8 . 6 5 dan 2 8 5 . 9 8 hari berturut-
turut. Hampir'sama dengan lama bunting sapi Peranakan
Ongole (PO) di daerah Istimewa Yogyakarta yaitu rata-
ratanya adalah 2 8 8 . 9 0 2 1 2 . 9 9 hari (Astuti, Hardjosu-
Tabel 8. Lama Bunting dari beberapa Bangsa Sapi dan Kerbau
Spesies Bangsa Lama bunting
(hari)
Sapi
(Bos taurus)
- Sapi perah
Ayrshire Brown Swiss Dairy Shorthorn Friesian
Guerensey
Holstein-Frisian Jersey
-
Sapi potongAberden Angus Hereford
Beef Shorthorn Sapi
(Bos indicus)
-
BrahmanSahiwal Africander Kerbau
(Bubalus bubalus)
-
Tipe air 315Tipe lumpur 330
Sumber: Jainudeen dan Hafez (1987)
melaporkan bahwa lama bunting sapi Bali untuk anak
jantan adalah 288.4
+
1.9 hari dan untuk anak betinarata-ratanya 287.8
+
2.1 hari. Disimpulkan oleh Jainu-deen dan Hafez (1987) bahwa lama bunting bervariasi dari
276
-
295 hari.Sugiarti dan Siregar (1986) melaporkan