• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Mindi (Melia Azedarach L.) Dan Kedelai (Glycine Max (L) Merrill) Secara Organik Dalam Sistem Agroforestri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Mindi (Melia Azedarach L.) Dan Kedelai (Glycine Max (L) Merrill) Secara Organik Dalam Sistem Agroforestri"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN MINDI (

Melia azedarach

L.) DAN KEDELAI

(

Glycine max

(L.) Merrill) SECARA ORGANIK

DALAM SISTEM AGROFORESTRI

ADITYA WARDANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan Mindi (Melia azedarach L.) dan Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) secara Organik dalam Sistem Agroforestri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ADITYA WARDANI. Pertumbuhan Mindi (Melia azedarach L.) dan Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) secara Organik dalam Sistem Agroforestri. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO dan ARUM SEKAR WULANDARI.

Kebutuhan kayu nasional dapat diupayakan melalui pengelolaan hutan rakyat. Tanaman mindi merupakan salah satu tanaman fast growing yang memiliki nilai ekonomi. Pemanfaatan lahan tidur di bawah tegakan mindi dapat dimaksimalkan dengan menanam tanaman pertanian. Salah satu tanaman pertanian yang dapat dipadukan dengan tanaman mindi adalah kedelai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan mindi dan produksi kedelai, respon fisiologi mindi dan kedelai, serta luas dan intensitas serangan hama kedelai di dalam sistem agroforestri secara organik.

Lokasi penelitian di lahan Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka Cikabayan Kampus IPB Darmaga. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juni 2016. Tanaman mindi yang digunakan dalam penelitian berumur 2 tahun dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m. Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan, yaitu pada percobaan pertama untuk mengetahui pertumbuhan tanaman mindi pada pola tanam monokultur dan agroforestri. Percobaan kedua yaitu untuk mengetahui produktivitas kedelai pada pola tanam monokultur dan agroforestri secara organik. Percobaan pertama menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor dan 14 ulangan. Pola tanam sebagai faktor terdiri atas 2 taraf yaitu monokultur dan agroforestri. Percobaan kedua menggunakan rancangan acak kelompok petak terbagi (split plot design). Perlakuan petak utama adalah pola tanam yang terdiri atas 2 taraf yaitu monokultur dan agroforestri. Perlakuan anak petak terdiri atas 3 taraf yaitu varietas kedelai Anjasmoro, Tanggamus, dan Wilis yang keragamannya terletak di dalam petak utama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi mindi pada pola tanam agroforestri 61.12% lebih besar dibandingkan dengan monokultur. Diameter batang pada mindi dengan pola tanam agroforestri 26.07 % lebih besar bila dibandingkan monokultur. Kandungan unsur hara N, P, dan K pada mindi monokultur dan agroforestri mengalami peningkatan dibandingkan sebelum kegiatan penanaman kedelai. Serapan hara N dan K pada pola tanam agroforestri lebih besar dibandingkan monokultur. Peningkatan kandungan hara pada pola tanam agroforestri menyebabkan penambahan dimensi pohon mindi yang lebih besar dibandingkan dengan monokultur.

Produktivitas kedelai pada pola tanam monokultur memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan agroforestri. Produktivitas kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro secara monokultur sesuai dengan deskripsi yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslittan). Varietas Tanggamus memiliki hasil produktivitas rendah diantara ketiga varietas. Penanaman kedelai pada pola tanam agroforestri dengan tanaman mindi umur 2 tahun menghasilkan produksi kedelai yang rendah bila dibandingkan dengan deskripsi kedelai dari Puslittan.

(5)

Kedelai dengan pola tanam agroforestri memiliki serapan hara N, P, dan K lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur.

Kedelai pada penelitian ini tidak ditemukan adanya serangan patogen. Luas serangan hama pada tanaman kedelai dengan pola tanam monokultur lebih tinggi dibandingkan agroforestri. Intensitas serangan hama pada bagian daun kedelai lebih tinggi dibandingkan bagian polong.

(6)

SUMMARY

ADITYA WARDANI. Growth of Mindi (Melia azedarach L.) and Organic Soybean (Glycine max (L.) Merrill) in Agroforestry. Supervised by NURHENI WIJAYANTO and ARUM SEKAR WULANDARI.

National wood demand can be fulfilled through community forest management. Mindi is one of fast growing species with high economic value. The land under Mindi shade can be planted with agricultural crop to optimize the land use. One of agricultural crop to be integrated with mindi is soybean. This research aimed to analyze the growth of Mindi and soybean productivity, physiological response of Mindi and soybean as well as intensity of soybean pest and disease attack in organic agroforestry.

The research located in Conservation Unit of Biopharmaceutical IPB Darmaga from January 2016 until June 2016. Mindi used in the study was two years with spacing of 2.5 m x 2.5 m. The research consisted of two experiments which the first experiment aimed to identify growth of mindi in agroforestry and in monoculture system while the second experiment aimed to analyze soybean productivity in organic monoculture and in organic agroforestry system. The first experiment used complete randomized design with one factor which was cropping pattern consisted of agroforestry and monoculture and 14 replications. The second experiment used complete randomized block design with split plot where the main plot was cropping pattern consisted of monoculture and agroforesty while the sub plot was soybean variety consisted of Anjasmoro, Tanggamus, and Wilis which the variation was in the main plot.

The result showed that height of mindi in agroforestry was 61.12% higher than the ones in monoculture system. Diameter of mindi in agroforestry was also 26.07% higher than in monoculture system. The content of nutrient N, P, and K in monoculture and agroforestry increased compared to before soybean planting. Nutrient uptake of N, P, and K in agroforestry system was higher than in monoculture. The increase of nutrient content in agroforestry system led to the higher increase of growth dimensions of mindi tree than the ones in monoculture.

Soybean productivity in monoculture system showed higher result than the ones in agroforestry. The productivity of Wilis and Anjasmoro in monoculture system matched with the description from Research and Development Center for Food Plant (Puslittan). Tanggamus variety had the lowest productivity among all. Soybean cultivation in agroforestry system integrated with 2 years old mindi tree produced the lower productivity compared to Puslittan description.

The content of chlorophyll a, chlorophyll b, antocyanin, and carotenoid of soybean planted in agroforestry system was higher than the ones in monoculture. Soybean in agroforestry system had higher nutrient uptake of N, P, and K compared to the ones in monoculture.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Silvikultur Tropika

PERTUMBUHAN MINDI (

Melia azedarach

L.) DAN KEDELAI

(

Glycine max

(L.) Merrill) SECARA ORGANIK

DALAM SISTEM AGROFORESTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(10)
(11)

Judul Tesis : Pertumbuhan Mindi (Melia azedarach L.) dan Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) secara Organik dalam Sistem Agroforestri Nama : Aditya Wardani

NIM : E451150176

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua

Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Silvikultur Tropika

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Juni 2016 ini ialah Pertumbuhan Mindi (Melia azedarach L.) dan Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) secara Organik dalam Sistem Agroforestri.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS dan Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS selaku pembimbing. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Dr Ir Irdika Mansur, MForSc selaku dosen penguji luar komisi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu Noer Samsijah, ayah Soemarno, mbak Iana Hanifah, mas Katon, adik Fajar, Nofika Senjaya, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman satu bimbingan (Nilasari Dewi, Arifa Mulyesthi R, Andhira Trianingtyas, dan Nofika Senjaya), Pak Adnani, Pak Parjo, M Iqbal Maulana, Fatimah Nur Istiqomah, Siti Jaenab, Christine Della P, Dyah Ayu Kusumaningrum, Zafira, Ria R, Saifurrohman Wahid, teman-teman seperjuangan fast track Silvikultur 48, dan teman-teman Silvikultur Tropika angkatan 2014 yang telah memberikan bantuan, semangat, dan dukungan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

2 METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Alat dan Bahan 5

Rancangan dan Prosedur Penelitian 5

Data Pendukung 12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Pertumbuhan Mindi 12

Pertumbuhan Kedelai 15

Produksi Kedelai 18

Luas dan Intensitas Serangan pada Kedelai 24

4 SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 35

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kriteria kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hama 10 2 Pertambahan dimensi mindi pada plot monokultur dan agroforestri 13 3 Perbandingan kandungan unsur hara mindi sebelum dan sesudah

penanaman kedelai, pada pola tanam monokultur dan agroforestri 13 4 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang

diberikan perlakuan pola tanam dan varietas 15

..5 Pengaruh pola tanam dan varietas terhadap pertumbuhan kedelai 16 6 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap pertumbuhan kedelai 18 7 Rekapitulasi hasil analisis ragam data produksi kedelai yang diberikan

perlakuan pola tanam dan varietas 19

8 Pengaruh pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai 19 9 Perbandingan kandungan klorofil tanaman kedelai pada pola tanam

dan varietas 21

10 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai 23

11 Produksi kedelai pada beberapa varietas 24

12 Luas serangan hama (%) pada pola tanam dan varietas kedelai 26 13 Intensitas serangan hama (%) pada pola tanam dan vareitas kedelai 26

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alur penelitian 3

2 Peta lokasi penelitian 4

3 Serapan hara berbagai varietas kedelai pada pola tanam monokultur

dan agroforestri 22

4 Hama kedelai pada fase vegetatif 24

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Desain plot agroforestri mindi dan kedelai 35

2 Desain plot monokultur kedelai 36

3 Desain plot monokultur mindi 37

4 Pengamatan aspek biofisik, dimensi tegakan mindi, peubah fisiologi,

fase vegetatif dan generatif tanaman kedelai 38

..5 Deskripsi varietas Tanggamus 39

6 Deskripsi varietas Wilis 40

7 Deskripsi varietas Anjasmoro 41

8 Hasil analisis kimia tanah awal pada lahan penelitian 42 9 Hasil analisis fisika tanah awal pada lahan penelitian 43 10 Data curah hujan harian, suhu, dan kelembaban udara di daerah

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mindi (Melia azedarach L.) merupakan tanaman jenis eksotik yang banyak ditemui di Jawa Barat. Kualitas kayu mindi cukup baik sehingga memiliki potensi ekonomi (Syamsuwida et al. 2012). Menurut Khan et al. (2008) kayu mindi mengandung metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan untuk obat sakit kepala, demam, antiseptik, obat kanker, dan pestisida. Tanaman mindi memiliki potensi untuk dikembangkan di hutan rakyat.

Penduduk melakukan pola hutan rakyat mindi secara turun menurun dan sebatas pengetahuan lokal (Rambey 2011). Pengelolaan hutan rakyat mindi secara berkelanjutan dapat dilakukan dengan memadukan tanaman pertanian sebagai penyedia pangan bagi masyarakat. Tanaman pertanian yang dapat dikombinasikan dengan mindi salah satunya adalah kedelai.

Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar penduduk di Indonesia. Produksi kedelai tahun 2015 sebanyak 963.1 ribu ton biji kering, meningkat sebanyak 8.1 ribu ton (0.85%) dibandingkan tahun 2014. Peningkatan produksi kedelai diperkirakan terjadi karena kenaikan produktivitas sebesar 0.18 kuintal/ha (1.16%) meskipun luas panen mengalami penurunan seluas 1 800 hektar (BPS 2016). Meskipun terjadi peningkatan baik produksi dan produktivitas, namun ketersediannya belum mencukupi kebutuhan masyarakat (Aimon dan Satrianto 2014). Kebutuhan kedelai total tahun 2012 mencapai 2.2 juta ton. Berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk dan rata-rata konsumsi per kapita per tahun, kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2.6 juta ton pada tahun 2020 (Harsono 2008).

Menurut Efendi (2010) pola pertanian yang banyak diterapkan saat ini yaitu secara konvensional dengan pengunaan pupuk anorganik dan pestisida kimia yang tinggi. Keseimbangan ekosistem alam dapat dicapai dengan meminimalkan penggunaan bahan-bahan sintetik. Input ketersediaan hara dan ketahanan tanaman terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT) yang lebih ramah lingkungan dilakukan dengan penanaman kedelai secara organik. Pemberian pupuk organik dapat memberikan perbaikan sifat tanah seperti pH dan kegemburan tanah (Susanti et al. 2008). Penambahan pupuk kandang pada tanaman kedelai dapat meningkatkan panjang dan kerapatan akar, luas daun, biomassa, serapan nitrogen, produksi biji, efisiensi penggunaan air dan nitrogen serta memperbaiki sifat fisika tanah (Bandyopadhyay et al. 2010).

Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai dapat dilakukan salah satunya dengan memanfaatkan lahan tidur seperti di bawah tegakan mindi. Menurut Hodges (2000) agroforestri sebagai bentuk kegiatan menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau ternak dalam sistem yang bertujuan supaya berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi.

(18)

2

pembatas yaitu intensitas cahaya. Kekurangan cahaya dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah polong kedelai yang terbentuk (Kurosaki dan Yumoto 2003). Kedelai mampu tumbuh optimal di daerah terbuka oleh karena itu diperlukan upaya untuk memperoleh varietas yang berproduksi tinggi pada kondisi demikian.

Sobari et al. (2012) menyatakan bahwa di dalam sistem agroforestri terjadi proses interaksi atau hubungan timbal balik antara satu jenis tanaman dengan lainnya pada lahan yang sama. Menurut Jose et al. (2004) asosiasi antara tanaman kehutanan dan tanaman herba pada sistem agroforestri perlu didesain untuk mengoptimalkan penggunaan ruang, waktu, dan sumber daya dengan memaksimalkan interaksi positif dan meminimalkan interaksi negatif seperti kompetisi. Sistem agroforestri berhasil ketika ada interaksi positif antara komponen satu dengan komponen lainnya dan tidak saling merugikan baik secara ekologis maupun ekonomis. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang hubungan interaksi yang terjadi antar komponen penyusun agroforestri dan pertumbuhan kedua jenis tanaman penyusunnya serta menemukan varietas kedelai yang memiliki produktivitas terbaik di bawah tegakan mindi.

Perumusan Masalah

Kebutuhan kayu nasional dapat diupayakan melalui pengelolaan hutan rakyat. Pembangunan hutan yang lestari harus mempertimbangan keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Tanaman mindi merupakan salah satu tanaman fast growing yang juga memiliki nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatan lahan tidur di bawah tegakan mindi dapat dimaksimalkan dengan menanam tanaman tumpangsari. Salah satu tanaman tumpangsari yang dapat dipadukan dengan tanaman mindi adalah kedelai.

Kedelai merupakan salah satu jenis tanaman palawija yang umumnya diusahakan oleh para petani di Indonesia. Produksi kedelai sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Peningkatan produksi kedelai dapat dilakukan melalui optimalisasi penggunaan lahan di bawah tegakan yang dikenal dengan istilah sistem agroforestri.

Komponen dalam sistem agroforestri baik tanaman kehutanan dan pertanian sebagai tanaman tumpangsari diharapkan memberikan interaksi yang positif. Pemilihan tanaman mindi dan kedelai diharapkan menjadi kombinasi yang tepat karena mindi merupakan tanaman multiguna yang salah satunya dapat berfungsi sebagai biopestisida, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dari kedua komponen agroforestri tersebut.

Aspek yang perlu diperhatikan dalam usaha pengelolaan kedelai adalah pemilihan varietas. Kendala utama yang ditemukan adalah pengelolaan lahan secara agroforestri yaitu adanya persaingan baik air, unsur hara, dan cahaya, sehingga pengujian varietas kedelai dilakukan untuk menguji kemampuan masing-masing varietas dalam pertumbuhan dan produktivitasnya.

(19)

3

Gambar 1 Diagram alur penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilaksanakan dalam rangka mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertumbuhan mindi dan produksi kedelai secara organik di dalam sistem agroforestri?

2. Bagaimana respon fisiologi mindi dan kedelai secara organik di dalam sistem agroforestri?

3. Bagaimana luas dan intensitas serangan hama terhadap kedelai secara organik di dalam sistem agroforestri?

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis pertumbuhan mindi dan produksi kedelai secara organik di dalam sistem agroforestri.

2. Menganalisis respon fisiologi mindi dan kedelai secara organik yang di dalam sistem agroforestri.

3. Menganalisis luas dan intensitas serangan hama terhadap kedelai secara organik di dalam sistem agroforestri.

Peningkatan produksi kedelai di dalam sistem agroforestri Analisis pertumbuhan mindi dan

kedelai dalam sistem agroforestri

Luas budidaya kedelai menurun Pemanfaatan hutan rakyat mindi

Penerapan sistem agroforestri

Respon fisiologi kedelai dan mindi Dimensi mindi Pertumbuhan

kedelai

Intensitas serangan hama

1. Tinggi 2. Diameter 3. Tajuk 4. Akar

1. Fase vegetatif 2. Fase generatif

(20)

4

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pertumbuhan mindi dan produksi kedelai dalam sistem agroforestri secara organik. Informasi mengenai pemilihan varietas kedelai dalam sistem agroforestri diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi hutan rakyat. Hasil penelitian juga dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan agroforestri antara mindi dan kedelai.

2

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Juni 2016. Lokasi penelitian di lahan Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka Cikabayan Kampus IPB Darmaga seluas 300 m2, dengan koordinat berada pada 106º43”0.81” BT,

6º32”51.95” δS (Gambar 2). Analisis tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor.

(21)

5 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah cangkul, golok, gembor, bor tanah, pita ukur, penggaris, ring tanah, timbangan, GPS, kompas, lux meter, haga hypsometer, kaliper, termohigrometer, label, karung, oven, sprayer, cool box, gunting, kamera digital, bambu, paku, plastik, tali, gunting, tally sheet, software MS. Word, MS. Excel, SAS 9.1.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan mindi umur 2 tahun, benih kedelai (varietas Anjasmoro, Wilis, Tanggamus), tanaman serai wangi (Cymbopogon nardus), pupuk kandang kambing, pupuk kandang ayam, kapur lolime, dan pupuk hayati rhizobium dari Balai Penelitian Tanah.

Rancangan dan Prosedur Penelitian

Penelitian 1. Pertumbuhan tanaman mindi pada pola tanam monokultur dan agroforestri

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor, yaitu pola tanam dan 14 ulangan (Mattjik dan Sumertajaya 2013). Pola tanam terdiri atas 2 taraf yaitu monokultur (P0) dan agroforestri (P1). Data yang diperoleh berdasarkan pengamatan dan pengukuran, kemudian dianalisis dengan menggunakan model linier (Mattjik dan Sumertajaya 2013):

Yij = µ +

τ

i + ij

Keterangan:

Yij = Nilai respon dari pengamatan pola tanam ke-i dan ulangan ke-j

µ = Nilai rataan umum

τ

i = Pengaruh pola tanam ke-i

ij = Galat perlakuan ke-i ulangan ke-j

i = P0 dan P1

j = Ulangan ke 1, 2, …, 14

Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA) pada taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data diolah menggunakan software SAS 9.1, jika:

a. P-value > α (0.05), maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati,

b. P-value < α (0.05), maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati, kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda

Duncan’s Multiple Range Test.

Pengamatan dan Pengambilan Data Dimensi Mindi

(22)

6

penyiangan gulma di bawah tegakan. Mindi dengan pola tanam agroforestri dilakukan penanaman kedelai di bawah tegakannya.

Pengambilan data didasarkan pada pengamatan terhadap beberapa peubah tanaman mindi, yaitu tinggi, diameter, tajuk dan akar. Hasil pengamatan dan pengambilan data selanjutnya dicatat dalam tally sheet.

1. Pengukuran tinggi (m)

Pengukuran pertumbuhan tinggi mindi dilakukan menggunakan haga hypsometer. Mindi diukur mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuhnya. Pengukuran ini dilakukan setiap 1 bulan sekali sampai bulan ke-4.

2. Pengukuran diameter batang (cm)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita ukur. Diameter batang diukur pada ketinggian 130 cm di atas pangkal batang mindi. Pengukuran diameter dilakukan setiap 1 bulan sekali sampai bulan ke-4.

3. Pengukuran tajuk

Pengukuran dilakukan terhadap panjang dan lebar tajuk dengan menggunakan meteran dan pita ukur pada proyeksi tajuk yang akan diamati. Menurut Wijayanto dan Nurunnajah (2012) pengukuran tajuk dilakukan untuk mengetahui luas tajuk. Pengukuran tajuk dilakukan pada awal dan akhir penanaman tanaman kedelai.

4. Pengukuran akar

Pengukuran akar dilakukan pada awal dan akhir penanaman tanaman kedelai. Menurut Wijayanto dan Hidayanthi (2012) penggalian akar dilakukan tegak lurus petak secara bertahap yaitu penggalian sebelah barat terlebih dahulu lalu dilanjutkan pada penggalian di sebelah timur. Penggalian ini dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah putusnya akar. Metode penggalian dilakukan dengan menggali di pertengahan larikan dua pohon, penggalian tersebut dihentikan ketika ditemukan akar, apabila masih belum ditemukan akar sampai kedalaman 30 cm, dilanjutkan menggali tanah pada jarak 25 cm ke arah kanan dan kiri dari penggalian sebelumnya, hal tersebut dilakukan sampai dijumpai akar di dalam permukaan tanah. Pengukuran pertumbuhan akar dilakukan setelah selesai penggalian. Penggalian akar yang telah dilakukan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan akar mindi. Akar yang sudah ditemukan ujungnya, diukur panjang dan kedalamannya.

Analisis Kandungan Hara Mindi

(23)

7 Penelitian 2. Produktivitas kedelai pada pola tanam monokultur dan

agroforestri

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok petak terbagi (split plot design) (Mattjik dan Sumertajaya 2013). Petak utamanya adalah pola tanam, yang terdiri atas 2 taraf yaitu monokultur (P0) dan agroforestri (P1). Anak petaknya adalah varietas kedelai yang terdiri atas 3 taraf yaitu Anjasmoro (A), Tanggamus (T), dan Wilis (W). Percobaan diulang sebanyak 3 kali. Desain percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 1, 2, dan 3.

Data yang diperoleh berdasarkan pengamatan dan pengukuran, kemudian dianalisis dengan menggunakan model linier. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2013):

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij+ ik + jk

Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan pada petak utama taraf ke-i, anak petak taraf ke-j dan kelompok ke-k

i = petak utama yaitu pola tanam 1, 2

j = anak petak yaitu berbagai varietas 1, 2, 3 k = ulangan 1, 2 dan 3

µ = nilai rataan umum

αi = pengaruh perlakuan pola tanam ke-i

βj = pengaruh perlakuan varietas ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara perlakuan pola tanam ke-i dengan perlakuan varietas ke-j

ik = pengaruh acak dari pola tanam ke-i, kelompok ke-k yang menyebar normal

jk = pengaruh acak dari varietas ke-j, kelompok ke-k yang menyebar normal

Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA) pada taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data diolah menggunakan software SAS 9.1, jika:

a. P-value > α (0.05), maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati,

b. P-value < α (0.05), maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati, kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda

Duncan’s Multiple Range Test.

Prosedur Penanaman Kedelai Pengambilan Sampel Tanah

(24)

8

Terdapat dua metode dalam pengambilan sampel tanah yaitu metode tanah terusik dan metode tanah utuh. Sifat kimia tanah diamati pada contoh tanah terusik

yang diambil dengan menggunakan bor tanah pada kedalaman 0‒20 cm. Sifat fisika tanah diamati pada contoh tanah tidak terusik yang diambil dengan menggunakan ring tanah.

Sampel tanah kemudian dianalisis sifat kimia dan fisika tanahnya. Sifat kimia tanah yang diamati meliputi pH, KTK, kandungan nutrisi berupa C-organik, N, P-tersedia, K, dan unsur hara lain. Sifat fisika tanah meliputi bobot isi, porositas, dan air tersedia.

Penyiapan Lahan

Pengolahan lahan dilakukan 2 minggu sebelum penanaman. Penyiapan lahan bertujuan membebaskan lahan dari tumbuhan liar dan komponen lain serta memberikan ruang tumbuh untuk tanaman kedelai. Penyiapan lahan meliputi kegiatan pembersihan lahan dan pengolahan lahan. Pembersihan lahan dilakukan dengan menebas semak serta tumbuhan liar dan membersihkannya dari sisa akar tanaman. Tanah kemudian diolah menggunakan cangkul hingga gembur dan rata, dan diikuti dengan pemberian lolime sebanyak 2 g/5 L sehingga menaikan pH tanah di lahan percobaan. Ukuran bedengan yang dibuat yaitu 1.2 m x 4 m dengan jarak antar tanaman mindi dan bedengan adalah 50 cm, sedangkan jarak antar plot dan ulangan adalah 2.5 m.

Tanah yang telah dibuat bedengan kemudian dicampur dengan pupuk kandang kambing dengan dosis 12.5 ton/ha (Efendi 2010). Pupuk kandang ayam juga ditambahkan dengan dosis 10 ton/ha (Melati dan Andriyani 2005). Menurut Sudarsono et al. (2013) pupuk kandang kambing dan ayam didiamkan selama 2 minggu sebelum penanaman dengan cara dibenamkan ke tanah agar terdekomposisi. Persiapan Benih Kedelai

Kedelai varietas Tanggamus, Wilis, dan Anjasmoro merupakan benih unggul yang dirilis oleh Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) dan Balai Penelitian Tanah (Balittan). Benih kedelai varietas Tanggamus, Wilis, dan Anjasmoro yang digunakan berasal dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Genetika Cimanggu, Bogor. Kedelai varietas Tanggamus dan Anjasmoro disimpan selama ± 3 minggu, serta varietas Wilis selama ± 2 minggu sampai waktu penanaman. Penyimpanan benih kedelai menggunakan aluminium foil dan disimpan di dalam ruang dingin dengan

suhu 18−20 C. Ketiga benih tersebut termasuk dalam kelas benih penjenis (breeder seeds).

(25)

9

Penanaman

Penanaman dilakukan setelah membuat lubang tanam pada kedalaman 3‒4 cm. Jarak tanam antar lubang 40 cm x 20 cm sehingga terdapat 60 lubang setiap petak. Benih ditanam ke dalam lubang tanam sebanyak 3 benih setiap lubang tanam dan ditutup dengan tanah lapisan permukaan.

Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan tanaman kedelai meliputi penyiraman, penjarangan, penyulaman, pembumbunan, penyiangan, pemberian ajir serta pengendalian OPT. Penyiraman kedelai dilakukan sebanyak 2 kali sehari, namun jika hujan maka penyiraman tidak dilakukan. Efendi (2010) menyebutkan bahwa penjarangan dilakukan dengan meninggalkan tiap lubang 1 tanaman kedelai yang terbaik dan seragam. Penjarangan kedelai dilakukan 2 minggu setelah tanam (MST).

Penyulaman dilakukan ketika tanaman berumur 1 MST pada kedelai yang tidak tumbuh atau tumbuh abnormal. Kedelai yang digunakan untuk kegiatan penyulaman ditanam pada petakan khusus untuk tanaman sulaman. Kegiatan pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyulaman tersebut.

Penyiangan dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan kondisi lapangan. Penyiangan gulma dilakukan secara manual atau dengan menggunakan cangkul. Pemberian ajir dilakukan supaya kedelai mampu menopang tanaman agar tetap tegak dan tidak mudah rebah.

Pengendalian OPT dilakukan dengan menanam tanaman serai wangi yang berada di sekeliling petakan penelitian. Menurut Kusheryani dan Aziz (2006) tanaman serai wangi dapat digunakan sebagai tanaman OPT karena memiliki bau yang menyengat. Tanaman serai wangi ditanam dengan jarak 100 cm x 100 cm di sekeliling guludan kedelai mengingat pertumbuhan serai yang rimbun (Kusheryani dan Aziz 2006; Daswir dan Kusmana 2010) (Lampiran 1 dan Lampiran 2).

Pengendalian hayati dilakukan juga dengan ekstrak daun mindi. Pembuatan ekstrak daun mindi mengacu pada Bukhari (2011) tentang pembuatan ekstrak daun mimba. Daun mindi segar dengan berat 100 g dihaluskan dan dilarutkan ke dalam 1 000 mL air. Ekstrak daun mindi sebanyak 200 mL kemudian dicampur dengan 800 mL air. Pengendalian hama pada tanaman kedelai dilakukan dengan menyemprotkan ekstrak daun mindi pada fase vegetatif dan generatif. Penyemprotan dilakukan seminggu sekali pada pagi hari.

Pengukuran Luas dan Intensitas Serangan Hama

Pengamatan dan pengukuran terhadap luas dan intensitas serangan hama dilakukan terhadap tanaman kedelai. Rumus luas serangan (Tuca et al. 2010) dan intensitas serangan (Kusheryani dan Aziz 2006) sebagai berikut:

δS = N x 100%n

keterangan:

LS : luas serangan hama

n : jumlah tanaman terserang hama

(26)

10

IS : Intensitas serangan hama

n : Jumlah tanaman dengan skor serangan ke-i vi : Nilai serangan 0, 1, 2, 3, 4

V : Nilai serangan tertinggi

N : Jumlah seluruh sampel tanaman yang diamati

Pengamatan luas dan intensitas serangan hama dilakukan dengan melihat gejala yang ditimbulkan pada bagian tanaman kedelai yang diserang tanpa mengidentifikasi hama yang menyerang. Perhitungan intensitas serangan dilakukan untuk mengetahui kategori serangan hama (Tabel 1). Hasil pengamatan kemudian direkapitulasi untuk mengklasifikasikan kategori serangan hama pada tanaman kedelai.

Tabel 1 Kriteria kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hama*

Klasifikasi Deskripsi Intensitas

Serangan

Kategori Serangan

0 Tidak ada kerusakan 0 Sehat

1 Tanaman yang rusak/terserang

1−25% dari jumlah keseluruhan

>0−25% Ringan 2 Tanaman yang rusak/terserang

26−50% dari jumlah keseluruhan

26−50% Sedang

3 Tanaman yang rusak/terserang

51−75% dari jumlah keseluruhan

51−75% Berat

4 Tanaman yang rusak/terserang

76−100% dari jumlah

keseluruhan

76−100% Sangat berat

*Sumber: Kusheryani dan Aziz (2006). Panen

Menurut Jufri (2006) pemanenan kedelai dilakukan saat polong telah kehilangan warna hijaunya kurang lebih 90%, batang-batangnya sudah kering, dan sebagian daun-daunnya sudah kering dan rontok, serta biji telah mengeras. Pemanenan dilakukan dengan cara memotong pangkal tanaman menggunakan sabit atau parang yang tajam.

Panen dilakukan secara serempak pada pagi hari dalam kondisi cuaca cerah. Kedelai dipotong dan dicabut batangnya termasuk daunnya, guna memastikan polong kedelai sudah cukup tua atau berisi sehingga dihasilkan biji kedelai yang berkualitas serta mengurangi kehilangan hasil pada saat panen.

Pengukuran Tanaman Kedelai

(27)

11 tanaman, bobot basah (g), bobot kering (g), jumlah bintil akar, dan umur panen tanaman kedelai (Susanto dan Sundari 2011).

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai titik tumbuh kedelai pada umur tanaman 2 MST dan akhir masa vegetatif. Pengukuran bobot basah dan bobot kering tanaman kedelai dilakukan di akhir masa vegetatif tanaman kedelai yaitu ± 7 MST, yang dilakukan dengan menimbang bobot basah dan bobot kering yang ada pada tanaman contoh, sebelumnya untuk bobot kering bagian pucuk dan akar tanaman contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 80 ºC selama 2 x 24 jam dan ditimbang. Tanaman sampel dimasukkan kembali ke dalam oven selama 24 jam pada suhu yang sama, kemudian dikeluarkan dan didiamkan, lalu ditimbang kembali. Jika bobot yang diperoleh sama dengan hasil penimbangan yang pertama, maka bobot kering pupus tersebut dapat dikatakan konstan. Tanaman dibongkar dan akar dicuci dengan air kemudian dihitung jumlah bintil akar yang aktif. Menurut Melati et al. (2008) sampel tanaman kedelai diambil di setiap satuan petak percobaan yang terdiri atas 10 tanaman kedelai untuk diamati, dan 2 tanaman kedelai setiap perlakuan/ulangan sebagai tanaman destruktif yang diambil di bagian tengah.

Hasil dan komponen hasil

Hasil dan komponen hasil yang diamati adalah jumlah cabang produktif, jumlah polong setiap tanaman, jumlah polong berisi setiap tanaman, bobot biji setiap tanaman, bobot 100 biji, dan hasil setiap ha (Iqbal et al. 2013). Perhitungan jumlah polong setiap tanaman dilakukan setelah panen. Perhitungan jumlah polong berisi setiap tanaman dilakukan setelah panen pada tanaman sampel. Hasil dari perhitungan dirata-ratakan untuk mendapatkan hasil akhirnya. Polong dikatakan berisi jika dalam polong sekurang-kurangnya terdapat satu biji dan jika ditekan akan terasa keras. Bobot 100 biji ditentukan dengan cara menimbang 100 biji kering yang sebelumnya telah dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2–3 hari (kadar air ±14%). Biji diambil secara acak dari tanaman sampel sebanyak 100 biji dan ditimbang beratnya. Penimbangan diulang sebanyak 3 kali selanjutnya hasil penimbangan 100 biji dirata-ratakan.

Analisis fisiologi

Menurut Kisman et al. (2007) analisis fisiologi tanaman kedelai terdiri atas analisis klorofil dan hara tanaman. Analisis kandungan klorofil (klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b, antosianin, dan karotenoid) menggunakan 2 sampel daun per varietas yang telah membuka sempurna yaitu pada umur 7 MST. Pengambilan sampel daun dilakukan pada daun ke-3 atau ke-4 dari atas pada setiap varietas pada tanaman di bagian tengah (Thamrin et al. 2013). Sampel daun yang digunakan sekitar 3−5 helai. Daun yang dijadikan sempel tersebut dimasukkan dalam plastik dan disimpan ke cool box dan selanjutnya diteliti di laboratorium.

(28)

12

Serapan hara (g/tanaman) = bobot kering daun x kandungan hara Data pendukung

Pengamatan aspek biofisik, dimensi tegakan mindi, peubah fisiologi, fase vegetatif dan generatif tanaman kedelai secara rinci tersaji pada Lampiran 4. Data pendukung berupa aspek biofisik yang diperlukan dalam penelitian adalah:

a. Sifat fisika dan kimia tanah

Analisis sifat fisika dan kimia tanah dilakukan untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah pada lahan penelitian. Pada penelitian ini sampel tanah untuk analisis merupakan sampel tanah komposit dengan pengambilan sampel menggunakan cara sistematis diagonal. Analisis sifat fisika dan kimia tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor.

b. Iklim

Data iklim diperoleh dari Stasiun Klimatologi Kelas I Darmaga Bogor, Jalan alternatif IPB, Situ Gede Bogor Barat.

c. Pengukuran intensitas cahaya

Intensitas cahaya diukur dengan alat lux meter. Lux meter memiliki bagian yang peka terhadap cahaya. Bagian tersebut diarahkan pada pantulan datangnya cahaya dan besarnya intensitas dapat dilihat pada skala. Pengukuran dilakukan pada lima titik yang berbeda pada pola tanam kedelai monokultur dan agroforestri, tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang, dan sore. Alat tersebut dipegang setinggi 75 cm di atas lantai hutan.

d. Pengukuran suhu dan kelembaban

Pengukuran suhu dan kelembaban dengan menggunakan termohigrometer dilakukan tiap minggu di 2 lokasi selama penelitian. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan tiap minggu. Pengukuran masing-masing dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Mindi

Pertumbuhan pada tanaman merupakan salah satu indikator keberhasilan pengelolaan tanaman. Dimensi tanaman menjadi peubah penting untuk mengetahui interaksi dan persaingan yang ada pada suatu lahan dalam sistem agroforestri. Peubah dimensi mindi yang diamati adalah tinggi, diameter, tajuk, dan akar.

(29)

13 Tabel 2 Pertambahan dimensi mindi pada plot monokultur dan agroforestri

Peubah Uji F Pola tanam

Pertambahan diameter pohon (cm) * 1.73b 2.34a

Bulan 1 tn 1.41a 1.71a

Bulan 2 tn 0.18a 0.32a

Bulan 3 * 0.14b 0.31a

Pertambahan diameter tajuk (m) tn 0.85a 0.85a Pertambahan panjang akar (cm) tn 56.43a 41.00a

Pertambahan kedalaman akar (cm) * 23.36a 3.57b (tn) : tidak berbeda nyata; (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%, angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Pertambahan tinggi dan diameter mindi pada pola tanam agroforestri lebih besar dibandingkan pada pola monokultur (Tabel 2). Adanya tanaman semusim menyebabkan keadaan tempat tumbuh menjadi lebih baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah tanah yang memiliki kandungan unsur hara yang cukup dan aerasi yang baik. Adanya akar dari tanaman semusim diduga membuat aerasi tanah lebih baik. Kegiatan pemeliharaan terhadap tanaman semusim seperti penggemburan tanah dan penyiangan gulma dapat menambah nutrisi tanah (Wibowo 2012; Wijayanto dan Hidayanthi 2012).

Pemberian pupuk kandang pada tanaman kedelai juga diserap oleh mindi untuk pertumbuhannya. Penyiangan gulma yang dilakukan mampu mengurangi adanya kompetisi antara tanaman mindi dengan gulma. Penggemburan tanah yang dilakukan pada kedelai diduga menyebabkan akar mindi dapat berkembang dengan baik sehingga mampu menyerap air dan unsur hara lebih tinggi dibandingkan dengan mindi pada pola tanam monokultur.

Bahan organik sangat penting sebagai pembentuk kesuburan fisika tanah dan tidak dapat digantikan oleh komponen lain yang terdapat di alam (Sumarno et al. 2009). Menurut Hasanuzzaman dan Hossain (2014) serasah mindi mampu kehilangan massa kurang lebih 53−63%, sehingga mampu mengembalikan nutrisi ke dalam tanah dengan jumlah yang cukup tinggi.

Tabel 3 Perbandingan kandungan unsur hara mindi sebelum dan sesudah penanaman kedelai, pada pola tanam monokultur dan agroforestri

(30)

14

Kegiatan pemupukan untuk tanaman kedelai di bawah tegakan mindi menyebabkan adanya penambahan ketersediaan unsur hara sehingga unsur hara pada pola tanam agroforestri lebih besar dibandingkan monokultur (Tabel 3). Menurut Fernandez et al. (2011) unsur hara N, P, dan K merupakan nutrisi utama yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan, produksi, dan mutu buah. Kandungan hara N, P, dan K mindi pada pola tanam monokultur dan agroforestri mengalami peningkatan dibandingkan sebelum kegiatan penanaman kedelai. Peningkatan serapan unsur hara N, P, dan K pada tanaman mindi yang ditanam secara monokultur berturut-turut yaitu: 0.29%; 0.14%; dan 0.18%. Sedangkan peningkatan serapan unsur hara N, P, dan K pada tanaman mindi yang ditanam secara agroforestri berturut-turut yaitu: 0.64%; 0.11%; dan 0.46%. Jumlah unsur hara tertinggi adalah N dan yang terendah adalah unsur P. Menurut Rina (2015) unsur N dibutuhkan dalam jumlah besar dikarenakan menyusun 1−5% berat tubuh tanaman. Unsur K yang terkandung pada tanaman sekitar 0.5−6%. Fosfor (P) termasuk hara makro yang penting untuk pertumbuhan tanamanan namun kandungannya di dalam tanaman lebih rendah dibanding unsur N dan K (Novriani 2010). Kadar P dalam tanaman berkisar 0.14−0.25%.

Peningkatan kandungan hara yang lebih tinggi pada plot agroforestri menyebabkan penambahan dimensi pohon mindi yang lebih besar dibandingkan dengan plot monokultur. Adanya tanaman kedelai diduga membantu menyediakan unsur hara secara tidak langsung.

Pola tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan diameter tajuk (Tabel 2). Tajuk pohon yang luas meningkatkan proses fotosintesis pada pohon sehingga mempercepat pertumbuhannya. Menurut Wijayanto dan Hidayanthi (2012) tajuk melalui proses fotosintesis menyediakan karbohidrat untuk akar, sedangkan akar menyerap air dan hara dari dalam tanah untuk memenuhi kebutuhan tajuk.

Akar merupakan aspek yang berpengaruh dalam pertumbuhan tanaman. Akar yang tumbuh baik dapat menyerap air dan unsur hara. Tanah dengan jumlah pori-pori yang banyak dapat mempermudah akar untuk tumbuh. Persaingan pertumbuhan akar menjadi kendala dalam penerapan sistem agroforestri. Tanaman semusim dan tahunan pada lahan yang sama bersaing untuk memperoleh air dan hara. Perpaduan antara jenis akar dalam dan pendek dapat diperhatikan untuk mengurangi persaingan di dalam tanah. Tanaman semusim biasanya memiliki sistem perakaran yang pendek.

Pertumbuhan akar dapat diamati melalui pengukuran panjang dan kedalaman akar. Menurut Zamora et al. (2007) panjang akar menunjukkan interaksi yang terjadi di bawah tanah. Pertumbuhan akar pada tanaman mindi memperlihatkan respon yang beragam. Pola tanam monokultur maupun agroforestri tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar. Akar yang panjang dapat memperluas permukaan dalam kegiatan penyerapan baik air maupun unsur hara. Akar pada pola tanam monokultur lebih panjang dibandingkan dengan agroforestri. Hal ini diduga karena akar pada monokultur memperpanjang jangkauan untuk mendapatkan unsur hara. Kegiatan pemeliharaan pada pola tanam agroforestri seperti pemupukan pada tanaman semusim sehingga menyediakan unsur hara di sekitar tanaman mindi.

(31)

15 dengan plot agroforestri. Pertumbuhan akar lateral pada plot monokultur yang cenderung ke dalam tanah menunjukkan bahwa unsur hara yang ada di plot tersebut terdapat di tanah yang lebih dalam (Young 2002). Kegiatan pemupukan pada tanaman kedelai menyebabkan akar lateral pada plot agroforestri diduga tidak tumbuh ke dalam.

Pertumbuhan Kedelai

Perlakuan pola tanam pada kedelai terdiri atas monokultur dan agroforestri. Berdasarkan hasil analisis ragam pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua peubah pertumbuhan kedelai. Varietas kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap umur berbunga kedelai dan bobot kering pucuk. Interaksi antara pola tanam dan varietas kedelai memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot basah akar, bobot kering akar, dan umur panen kedelai (Tabel 4).

Tabel 4 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang diberikan perlakuan pola tanam dan varietas

Peubah Pola tanam Varietas Interaksi

(P) (V) (PXV)

6.Umur panen kedelai (HST)

* (tn) : tidak berbeda nyata; (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Pertumbuhan tanaman tidak hanya bergantung pada ketersediaan unsur hara saja, namun juga ditunjang dengan keadaan fisika tanah yang baik. Tanah dengan kondisi fisika yang baik serta tidak bersifat toksik dapat menunjang pertumbuhan tanaman. Sifat tanah yang menentukan kemungkinan akar suatu tanaman dapat menembus tanah adalah bulk density. Menurut Hardjowigeno (2007) bulk density

secara umum nilainya berkisar 1.1−1.6 g/cc. Bobot isi pada lahan monokultur kedelai dan agroforestri yaitu 1.13 g/cc dan 1.01 g/cc. Bobot isi atau bulk density pada pola tanam monokultur lebih tinggi bila dibandingkan dengan agroforestri (Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan tanah pada plot monokultur lebih besar. Menurut Tolaka et al. (2013) penanaman jenis pohon dalam sistem agroforestri mempengaruhi kondisi fisika tanah baik secara langsung maupun tidak melalui pola sebaran akar maupun melalui penyediaan pakan bagi cacing tanah.

(32)

16

kedelai adalah 5.8‒7.0. Kegiatan pengapuran perlu dilakukan untuk meningkatkan

pH tanah.

Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (2007) lahan pada pola tanam monokultur memiliki kandungan C organik, N total dan K tergolong rendah, sedangkan P tersedia tergolong sangat tinggi (Lampiran 7). Pola tanam agroforestri juga memiliki kandungan C organik, N total, dan K tergolong rendah serta P tersedia tergolong tinggi. Kandungan C organik rendah merupakan indikator rendahnya bahan organik yang ada di dalam tanah. Kandungan Ca, Mg, dan KTK pada pola tanam monokultur tergolong sedang, tinggi dan sedang. Berbeda dengan pola tanam agroforestri yang kandungan Ca, Mg, dan KTK tergolong rendah, sedang, dan rendah. Tekstur tanah pada pola tanam monokultur dan agroforestri termasuk tanah liat (Lampiran 7).

Tabel 5 Pengaruh pola tanam dan varietas terhadap pertumbuhan kedelai

Peubah Pola tanam Varietas

Mono Agf T W A

Mono: monokultur kedelai; Agf: agroforestri mindi dan kedelai; T: tanggamus; W: wilis; A: anjasmoro; Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Persentase hidup kedelai pada pola tanam monokultur dan agroforestri tidak berbeda nyata (Tabel 5). Persentase hidup kedelai varietas Tanggamus lebih rendah dibandingkan kedua varietas lainnya. Hal ini disebabkan karena menurut deskripsi Puslittan (2016) kedelai varietas Tanggamus beradaptasi baik pada beberapa kondisi lahan yang kering masam.

(33)

17 Saat fase vegetatif kedelai, curah hujan cukup tinggi dari bulan Maret hingga April yaitu 329.7−558.2 mm/bulan. Selama musim tanam curah hujan melebihi 300 mm yang menurut Andrianto dan Indarto (2004) tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 300−400 mm. Curah hujan yang tinggi membuat suhu dan cahaya menjadi rendah, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agung dan Rahayu (2004) bahwa air merupakan faktor penting bagi tanaman karena berfungsi sebagai pelarut hara, berperan dalam translokasi hara dan fotosintesis.

Kedelai pada pola tanam monokultur memiliki umur berbunga yang lebih cepat dibandingkan dengan agroforestri. Proses pembungaan dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Peralihan dari fase vegetatif ke generatif berkaitan dengan arah transportasi sukrosa hasil perombakan amilum dari daun. Menurut Taiz dan Zeiger (2002) pengurangan intensitas cahaya akan mengurangi suplai sukrosa ke akar dan pucuk apikal, padahal sukrosa memiliki peranan penting dalam inisiasi bunga. Peningkatan sukrosa pada akar akan merangsang pengangkutan sitokinin ke pucuk apikal melalui pembuluh xylem. Penumpukan sitokinin dan sukrosa pada pucuk apikal yang meristematik akan merangsang inisiasi pembungaan. Fase pembungaan yang cepat akan menambah peluang tanaman kedelai membentuk polong lebih banyak (Darmijati 1992).

Umur berbunga kedelai dari ketiga varietas tidak terdapat perbedaan yang

nyata yaitu 36−36.5 hari. Hal ini sesuai dengan kisaran umur berbunga menurut Puslittan (2016) bahwa kisaran umur berbunga menurut deskripsi secara berturut-turut dari varietas Wilis, Anjasmoro, dan Tanggamus adalah ± 39 hari, ± 35.7 hari, 35 hari.

Bobot basah kedelai pada pola tanam monokultur lebih tinggi dibandingkan agroforestri (Tabel 5). Hal ini diduga karena intensitas cahaya yang diterima oleh kedelai berbeda. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah cahaya. Intensitas cahaya untuk plot monokultur adalah 400 lux sedangkan plot agroforestri sebesar 175 lux. Laju fotosintesis maksimum ketika intensitas cahaya tinggi. Keberadaan tanaman pelindung dari jenis tanaman tahunan (pohon) akan mengurangi cahaya yang diterima oleh tanaman tumpangsari khususnya dari jenis tanaman semusim yang tumbuh di antara tanaman pelindung. Menurut Hartoyo et al. (2014) kedelai di bawah naungan memiliki daun lebih tipis, batang lebih kecil, dan perkembangan akar juga lebih terhambat.

Bobot kering pucuk dan akar kedelai yang ditanam pada pola tanam monokultur lebih besar dibandingkan agroforestri. Menurut Hartoyo et al. (2014) intensitas cahaya pada kedelai pola tanam monokultur yang lebih tinggi menyebabkan bobot kering yang dimiliki juga lebih besar. Tanaman kedelai yang mendapatkan cahaya penuh menyebabkan proses fotosintesis maksimal dan fotosintat ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga bobot kering akan tinggi. Bobot kering tanaman mencerminkan akumulasi produk dari proses fotosintesis yang berakibat langsung terhadap pembesaran dan diferensiasi sel (Sumarsono 2008; Hasan 1985).

(34)

18

dari fotosintat yang berakibat langsung terhadap pembesaran dan diferensiasi sel yang dinyatakan dalam pertumbuhan tinggi, perubahan ukuran, struktur daun serta batang tanaman.

Jumlah bintil akar pada pola tanam monokultur lebih besar dibandingkan agroforestri (Tabel 5). Perbedaan jumlah unsur N di dalam tanah diduga menyebabkan rendahnya jumlah bintil akar pada pola tanam agroforestri. Pembentukan bintil akar sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur N di dalam tanah. Kedelai yang mampu membentuk bintil akar dapat memenuhi kebutuhan nitrogen melalui fiksasi hingga 80% (Novriani 2011).

Varietas Anjasmoro memiliki jumlah bintil akar yang berbeda nyata dengan varietas Wilis dan Anjasmoro (Tabel 5). Bintil akar memiliki fungsi sebagai penambat N sehingga meningkatkan efisiensi pemupukan yang mengakibatkan pertumbuhan kedelai menjadi optimal dan digunakan untuk pertumbuhan vegetatif. Tabel 6 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap pertumbuhan kedelai

Peubah Pola tanam Varietas

Tanggamus Wilis Anjasmoro 1.Bobot basah akar (g) Monokultur 1.87bc 2.67b 6.15a

Agroforestri 1.15c 1.12c 1.58c 2.Bobot kering akar (g)

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Tabel 6 menunjukkan bahwa interaksi antara varietas Anjasmoro dan pola tanam monokultur memiliki bobot basah akar yang tinggi dibandingkan kedua varietas yang lain. Interaksi antara varietas Anjasmoro dengan pola tanam monokultur juga memiliki bobot kering yang tinggi. Interaksi antara ketiga varietas dengan pola tanam agroforestri tidak berbeda nyata satu sama lain untuk bobot basah dan bobot kering akar. Umur panen yang paling cepat yaitu varietas Wilis dengan pola tanam monokultur. Hal tersebut sesuai dengan Puslittan (2016) bahwa umur polong masak kedelai varietas Wilis antara 85−90 hari. Interaksi antara kedelai varietas Anjasmoro dengan pola tanam agroforestri memiliki umur panen yang paling lama yaitu 93 hari.

Produksi Kedelai

Hasil analisis ragam produksi kedelai disajikan pada Tabel 7. Pola tanam kedelai memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah buku produktif per tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, jumlah polong isi per tanaman, jumlah polong hampa per tanaman, bobot biji per tanaman (g), bobot 100 biji (g), bobot biji per petak (g), dan hasil (ton/ha).

(35)

19 memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot biji per tanaman (g), bobot 100 biji (g), bobot biji per petak (g), dan hasil (ton/ha) (Tabel 7).

Hasil interaksi antara pola tanam dengan varietas kedelai memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah bobot biji/tanaman, bobot 100 biji, bobot biji/petak, dan hasil (ton/ha) (Tabel 7).

Tabel 7 Rekapitulasi hasil analisis ragam data produksi kedelai yang diberikan perlakuan pola tanam dan varietas

Peubah Pola tanam Varietas Interaksi

(P) (V) (PXV)

(tn) : tidak berbeda nyata; (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Tabel 8 Pengaruh pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai

Peubah Pola tanam Varietas

Mono Agf T W A Mono: monokultur kedelai; Agf: agroforestri mindi dan kedelai; T: tanggamus; W: wilis; A: anjasmoro; Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

(36)

20

biji/tanaman yang lebih besar dibandingkan Tanggamus dan Wilis. Varietas Anjasmoro memiliki hasil bobot 100 biji yang tinggi bila dibandingkan dengan varietas Wilis. Bobot biji/petak dan hasil (ton/ha) varietas Wilis dan Anjasmoro lebih besar dibandingkan Tanggamus (Tabel 8).

Jumlah buku produktif pada pola tanam monokultur lebih banyak dibandingkan dengan agroforestri. Hal ini berbeda dengan penelitian Puri et al. (2016) bahwa jumlah buku produktif pada pola tanam agroforestri lebih banyak dibandingkan monokultur. Jumlah buku produktif varietas Tanggamus memiliki jumlah buku dan cabang produktif yang tertinggi dibandingkan dengan kedua varietas lainnya. Menurut Puri et al. (2016) perbedaan jumlah buku produktif tiap varietas diduga karena adanya perbedaan rata-rata tingi tanaman.

Jumlah cabang produktif pada pola tanam monokultur lebih besar dibandingkan agroforestri. Karamoy (2008) menyatakan bahwa penurunan intensitas cahaya mencapai 40% sejak perkecambahan dapat mengakibatkan penurunan jumlah cabang sebagai konsekuensi pertumbuhan tinggi tanaman (Karamoy 2008; Sopandie et al. 2005). Menurut Gardner et al. (1991) peningkatan intensitas cahaya pada tanaman kedelai dapat melipatgandakan percabangannya. Jumlah cabang produktif pada varietas Tanggamus, Wilis, dan Anjasmoro berturut-turut adalah 5.13 cabang, 2.75 cabang, dan 3.00 cabang..

Kedelai dengan pola tanam monokultur memiliki jumlah polong, jumlah polong isi dan jumlah polong hampa per tanaman yang lebih besar dibandingkan dengan agroforestri. Kedelai pada pola tanam monokultur saat fase vegetatif memiliki nilai yang lebih besar untuk peubah bobot basah, bobot kering, dan jumlah bintil akar dibandingkan pola tanam agroforestri. Hal tersebut akan mempengaruhi fase generatif dari kedelai. Menurut Scot et al. (2005) bobot kering tanaman yang tinggi mampu memberikan produksi yang tinggi pula.

Jumlah polong yang rendah pada agroforestri dapat disebabkan kurangnya cahaya yang diterima oleh kedelai sehingga mempengaruhi kegiatan fotosintesis dan menyebabkan berkurangnya hasil fotosintat. Irdiawan dan Rahmi (2002) menyatakan bahwa proses pengisian polong memerlukan sinar matahari yang maksimal dan air yang cukup selama beberapa waktu. Jumlah polong isi pada varietas Wilis memiliki nilai yang besar dibandingkan dengan kedua varietas lainnya. Berdasarkan penelitian Puri et al. (2016) varietas Wilis memiliki kemampuan untuk bertahan yang lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya.

Jumlah polong hampa pada pola tanam monokultur lebih besar dibandingkan dengan agroforestri. Polong pada monokultur lebih banyak terserang hama dibandingkan dengan agroforestri. Pola tanam monokultur diduga menyediakan sumber makanan yang melimpah bagi serangga (Efendi 2010).

Bobot biji per tanaman dan hasil (ton/ha) pada pola tanam monokultur lebih tinggi dibandingkan agroforestri. Tegakan mindi umur 2 tahun menyebabkan intensitas cahaya berkurang untuk tanaman kedelai di bawahnya. Irdiawan dan Rahmi (2002) menyatakan bahwa proses pengisian polong memerlukan sinar matahari yang maksimal dan air yang cukup selama beberapa waktu. Hasil (ton/ha) pada pola tanam agroforestri lebih rendah dibandingkan monokultur.

(37)

21 diduga karena adanya tanggap faktor genetik yang berbeda terhadap faktor lingkungan sehingga menunjukkan perbedaan terhadap pertumbuhan.

Proses metabolisme yang penting dalam tumbuhan salah satunya adalah proses fotosintesis. Fotosintesis terjadi di dalam kloroplas yang mengandung klorofil dan berfungsi menyerap cahaya matahari. Tanaman kedelai merupakan tanaman yang membutuhkan cahaya penuh. Adanya naungan pada kedelai menyebabkan tanaman mengalami cekaman intensitas cahaya rendah (Muhuriah et al. 2006). Cahaya merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Rendahnya cahaya matahari yang diterima oleh kedelai pada pola tanam agroforestri menyebabkan adanya adaptasi. Tanaman kedelai meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran dengan menurunkan titik kompensasi cahaya (Muhuriah et al. 2006). Menurut Nyngtyas (2006) respon tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya yang rendah secara morfologi dapat berupa peningkatan luas daun, ketebalan daun, jumlah stomata, dan secara fisiologi terjadi penurunan rasio klorofil a/b.

Tabel 9 Perbandingan kandungan klorofil tanaman kedelai pada pola tanam dan varietas

Peubah Pola tanam Varietas

Mono Agf T W A Mono: monokultur kedelai; Agf: agroforestri mindi dan kedelai; T: tanggamus; W: wilis; A: anjasmoro; Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Kandungan klorofil a, klorofil b, antosianin, dan karotenoid kedelai pada pola tanam agroforestri lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur (Tabel 9). Kandungan klorofil a, klorofil b, antosianin, dan karotenoid pada kedelai varietas Wilis lebih tinggi bila dibandingkan kedua varietas yang lain (Tabel 9). Jumlah klorofil yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan efisiensi penangkapan cahaya untuk fotosintesis tanaman (Purwoko 2003).

Kandungan klorofil a dan b pada tumbuhan tingkat tinggi merupakan pigmen utama fotosintetik. Klorofil a dan klorofil b merupakan komponen kompleks antena periferal kloroplas, yang responnya ditentukan oleh kondisi cahaya yang diterima sebagai bentuk atau mekanisme adaptasi tanaman (Kisman et al. 2007). Klorofil a mampu menyerap spektrum cahaya merah, ungu, dan biru dalam proses fotosintesis, sedangkan klorofil b mampu menyerap cahaya jingga dan biru serta memantulkan cahaya hijau dan kuning dalam proses fotosintesis. Klorofil a menyerap cahaya

pada panjang gelombang 420−660 nm, sedangkan klorofil b menyerap cahaya pada

(38)

22

cahaya matahari yang rendah pada pola tanam agroforestri menyebabkan tanaman beradaptasi dengan memiliki kompleks pemanenan cahaya yang lebih tinggi dibandingkan pada tanaman yang mendapatkan cahaya penuh.

Menurut Sopandie et al. (2005) tanaman yang ternaungi melakukan adaptasi dengan cara mengefisiensikan penangkapan cahaya yang lebih besar dengan meningkatkan jumlah kloroplas dan kandungan pigmen dalam kloroplas. Kandungan klorofil a salah satunya dipengaruhi oleh faktor cahaya, inhibitor plastid, interaksi antara cahaya dan inhibitor. Klorofil b hanya dipengaruhi oleh faktor cahaya (Kisman et al. 2007). Rasio klorofil a/b yang rendah merupakan refleksi dari peningkatan kompleks pemanenan cahaya terhadap pusat reaksi.

Rasio klorofil a/b menurun pada kedelai dengan pola tanam agroforestri disebabkan intensitas cahaya yang rendah. Rasio klorofil a/b pada tanaman yang ternaungi menurun disebabkan adanya peningkatan pada klorofil b (Muhuria et al. 2006; Khumaida et al. 2015). Rendahnya rasio a/b menyebabkan tingginya efisiensi pemanenan cahaya.

Antosianin adalah pigmen yang mengekspresikan warna merah dan biru. Antosianin mampu menyerap warna sekitar 550 nm (Sims dan Gamon 2002). Menurut Kisman et al. (2007) salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin adalah pengaruh cahaya. Antosianin memiliki fungsi melindungi tanaman dari cekaman dingin, kekeringan, dan intensitas cahaya rendah (Gould 2004). Produksi antosianin dipicu oleh kondisi stres salah satunya yaitu suhu rendah, sedangkan intensitas cahaya yang tinggi dapat mempercepat degradasi antosianin.

Karakter fisiologi fotosintetik yang berpengaruh pada toleransi tanaman kedelai terhadap naungan yaitu kandungan karotenoid. Karotenoid di dalam jaringan tumbuhan mempunyai fungsi yaitu sebagai pigmen asesori yang berperan membantu klorofil dalam berfotosintesis (Palupi dan Martosupono 2009). Karotenoid menyerap cahaya pada panjang gelombang 425−470 nm (Salisbury dan Ross 1995). Peningkatan kandungan karotenoid merupakan mekanisme tanaman toleran naungan.

Gambar 3 Serapan hara berbagai varietas kedelai pada pola tanam monokultur dan agroforestri

Persentase serapan hara pada kedelai monokultur dan agroforestri berbeda-beda (Gambar 3). Berkurangnya intensitas cahaya matahari pada pola tanam agroforestri menyebabkan serapan hara N, P, dan K oleh kedelai lebih tinggi

Monokultur Agroforestri Monokultur Agroforestri Monokultur Agroforestri

(39)

23 dibandingkan dengan monokultur. Serapan hara N, P, dan K oleh kedelai lebih tinggi pada pola tanam agroforestri dibandingkan dengan monokultur. Kedelai meningkatkan penyerapan unsur hara untuk pertumbuhannya sebagai akibat adanya persaingan dengan tanaman kehutanan (Hani 2015).

Serapan hara N pada kedelai monokultur tertinggi adalah varietas Wilis dibandingkan kedua varietas lainnya. Serapan hara P kedelai pola tanam monokultur memiliki nilai yang sama pada ketiga varietas. Varietas Anjasmoro memiliki serapan hara K yang tinggi dibandingkan dengan varietas Wilis dan Tanggamus. Serapan hara N dan P pada kedelai agroforestri tertinggi adalah varietas Tanggamus. Varietas Anjasmoro memiliki nilai serapan hara K yang tinggi bila dibandingkan dengan kedua varietas yang lainnya (Gambar 3).

Unsur hara N lebih banyak diserap oleh kedelai dibandingkan dengan unsur hara yang lain. Menurut Bhattacharyya et al. (2008) efisiensi penyeraan unsur hara N lebih tinggi pada kedelai. Nitrogen dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak, yang berfungsi sebagai penyusun protein dan penyusun enzim. Tanaman memerlukan suplai nitrogen pada semua tingkatan pertumbuhan (Armiadi 2009). Unsur Nitrogen digunakan sebagai starter atau unsur yang mempercepat pertumbuhan kedelai.

Tabel 10 menunjukkan bahwa bobot biji/tanaman antara kedelai varietas Anjasmoro dengan pola tanam monokultur memiliki nilai tertinggi. Interaksi antara varietas Anjasmoro dan pola tanam monokultur dan agroforestri memiliki bobot 100 biji yang tinggi dibandingkan kedua varietas yang lain. Bobot biji/petak tanaman kedelai pada varietas Wilis dan Anjasmoro dengan pola tanam monokultur tidak memiliki perbedaan yang nyata, sedangkan hasil terendah terdapat pada varietas Tanggamus dengan pola tanam agroforestri. Hasil kedelai tertinggi yaitu pada interaksi Anjasmoro dengan pola tanam monokultur.

Tabel 10 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai

Peubah Pola tanam Varietas

Tanggamus Wilis Anjasmoro 1.Bobot biji/tanaman

(g)

Monokoltur 9.39c 12.94b 16.26a Agroforestri 2.58f 6.10d 5.20e 2.Bobot 100 biji (g) Monokoltur 9.5c 11.4b 14.47a

Agroforestri 8.27d 11.5b 14.03a 3. Bobot biji/petak (g) Monokoltur 240.67b 433.87a 428.33a Agroforestri 30.73c 82.57c 68.93c Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

(40)

24

tersedia pada tahun pertama aplikasi pupuk. Hal ini mengindikasikan bahwa 80% sisanya dapat tersedia pada penanaman berikutnya dengan asumsi tidak ada kehilangan melalui pencucian.

Tabel 11 Produktivitas beberapa varietas kedelai Produktivitas (ton/ha)

Tanggamus Wilis Anjasmoro

Monokultur 1.17 1.62 2.03

Agroforestri 0.32 0.76 0.65

Puslittan (2016) 1.22 1.60 2.03

Produktivitas kedelai pada pola tanam agroforestri jauh lebih rendah dibandingkan deskripsi menurut Puslittan (2016). Kedelai yang ditanam di bawah tegakan mindi umur 2 tahun menyebabkan intensitas cahaya yang diterima berkurang. Proses pengisian polong memerlukan sinar matahari yang maksimal dan air yang cukup selama beberapa waktu (Irdiawan dan Rahmi 2002).

Luas dan Intensitas Serangan pada Kedelai

Gangguan hama merupakan salah satu ancaman dalam peningkatan produksi kedelai. Kedelai dalam pertumbuhannya sejak awal penanaman hingga siap panen tidak luput dari serangan hama. Menurut Marwoto (2007) produksi kedelai dapat menurun hingga 80% apabila tidak ada upaya pegendalian terhadap serangan hama.

Gambar 4 Hama kedelai pada fase vegetatif : a) belalang kayu (Valanga nigricornis), b) larva kumbang (Harmonia axyridis), c) belalang hijau (Melanoplus femurrubrum), d) kumbang kedelai (Phaedonia inclusa), e) ulat pengulung daun (Omiodes indicata), f) kepik tungkai besar (Anoplocnemis phasina)

c b

a

(41)

25 Hama menyerang kedelai pada pola tanam monokultur dan agroforestri, namun tidak ditemukan adanya serangan patogen. Penyerangan hama terjadi pada fase vegetatif dan generatif. Hama yang menyerang kedelai pada fase vegetatif adalah belalang, kumbang, ulat pengulung daun, dan kepik (Gambar 4). Hama yang menyerang kedelai pada fase generatif antara lain kepik, belalang, kutu bemisia, dan lalat pucuk (Gambar 5).

Gambar 5 Hama kedelai pada fase generatif : a) Aphis (Aphis glycines), b) kepik polong (Riptortus linearis), c) belalang kayu (Valanga nigricornis), d) kepompong ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), e) ulat bulu (Macrothylacia rubi), f) belalang hijau (Melanoplus femurrubrum), g) kutu bemisia (Bemisia tabaci), h) lalat pucuk (Melanagromyza dolicostigma), i) kepik dewasa (Riptortus linearis)

Pengamatan luas dan intensitas serangan hama dilakukan dengan melihat gejala yang ditimbulkan pada bagian tanaman kedelai yang diserang. Gejala yang ditimbulkan oleh serangan hama pada bagian daun berupa kondisi daun yang berlubang. Hama pada kedelai selain menyerang bagian daun, juga menyerang polong. Gejala yang ditimbulkan akibat serangan hama pada polong yaitu kulit

a b c

d e f

(42)

26

polong dalam keadaan terbuka. Gejala serangan hama pada tanaman kedelai dengan pola tanam monokultur dan agroforestri mulai terlihat pada umur 2 MST.

Luas serangan hama dibagi menjadi dua bagian yaitu daun dan polong. Menurut Tabel 12 luas serangan hama pada bagian daun kedelai dengan pola tanam monokultur lebih besar bila dibandingkan dengan agroforestri. Luas serangan hama pada bagian polong juga lebih besar pada pola tanam monokultur bila dibandingkan dengan agroforestri.

Tabel 12 Luas serangan hama (%) pada pola tanam dan varietas kedelai pada 11 MST

Bagian

tanaman Pola tanam

Varietas

Tanggamus Wilis Anjasmoro

Daun Monokoltur 58.89 62.51 58.00

Agroforestri 54.96 55.20 57.50

Polong Monokoltur 13.85 22.17 10.63

Agroforestri 8.29 9.64 8.44

Gejala serangan dari berbagai jenis hama sulit dibedakan sehingga pengamatan serangan tidak dibedakan menurut jenis hama. Intensitas serangan hama dibagi menjadi dua bagian yaitu daun dan polong. Intensitas serangan hama pada pola tanam monokultur lebih tinggi bila dibandingkan dengan agroforestri. Intensitas serangan hama pada bagian daun lebih besar dibandingkan dengan polong (Tabel 13).

Tabel 13 Intensitas serangan hama (%) pada pola tanam dan varietas kedelai pada 11 MST

Bagian

tanaman Pola tanam

Varietas

Tanggamus Wilis Anjasmoro

Daun Monokoltur 24.12 30.53 29.32

Agroforestri 20.46 15.78 22.15

Polong Monokoltur 6.92 10.17 5.46

Agroforestri 3.85 4.54 3.52

Berdasakan kriteria kerusakan tanaman pada Tabel 1, intensitas serangan hama pada bagian daun kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro yang ditanam secara monokultur tergolong dalam kategori sedang. Intensitas serangan hama pada bagian daun kedelai varietas Tanggamus yang ditanam secara monokultur tergolong dalam kategori ringan. Intensitas serangan pada polong kedelai ketiga varietas yang ditanam secara monokultur dan agroforestri tergolong dalam kategori ringan.

Gambar

Gambar 1  Diagram alur penelitian
Gambar 2  Peta lokasi penelitian
Tabel 1  Kriteria kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hama*
Tabel 3  Perbandingan kandungan unsur hara mindi sebelum dan sesudah penanaman kedelai, pada pola tanam monokultur dan agroforestri
+5

Referensi

Dokumen terkait

Stabilitas pertumbuhan dan perlekatan Candida dalam rongga mulut dipengaruhi oleh jumlah saliva yang dapat mempengaruhi kemampuan pengikatan Candida pada permukaan epitel..

5elain perbesaran uterus yang lebih menon!ol, pada MH# ditemukan pula dua hal lain yang berbeda dengan kehamilan normal, yaitu kadar hCG dan kista lutein. #adar hCG pada

Nama Komputer Server/IP : isi dengan nama komputer atau IP komputer server, misalnya : bangtejos-pc atau 192.168.1.1 atau apabila komputer yang dipakai untuk

Asia Afrika No.114 Bandung, mengundang penyedia untuk mengikuti pelelangan umum dengan pasca kualifikasi melalui LPSE Kementerian Keuangan sebagai berikut :.

Protokol TCP (Transmission Control Protocol) dan IP (Internet Protocol) yaitu protokol yang mengatur komunikasi data dalam proses tukar-menukar data dari satu komputer

[r]

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi ekstrak ikan toman yang diberikan secara oral sebagai sumber bahan obat yang beresal dari

Pemerintah Pusat dan Provinsi, Kabupaten Kota sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengendalikan wabah COVID-19 ini agar masyarakat tidak terjangkit.  Namun,