• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kualitas Hidup Pada Penderita Refluks Laringofaring Sebelum Dan Sesudah Pemberian Omeprazole Di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Kualitas Hidup Pada Penderita Refluks Laringofaring Sebelum Dan Sesudah Pemberian Omeprazole Di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA REFLUKS LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN

OMEPRAZOLE DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Oleh:

dr. RIKA FEBRIYANTI NIM : 080144002

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA REFLUKS LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN

OMEPRAZOLE DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh:

dr. RIKA FEBRIYANTI

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Salawat beserta salam atas junjungan kita nabi besar Muhammad S.A.W, keluarga dan sahabatnya. Hanya dengan segala rahmat dan karunia Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sehingga tesis ini dapat saya selesaikan.

Tesis dengan judul PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA REFLUKS LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH

PEMBERIAN OMEPRAZOLE DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN ini diselesaikan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan ilmu bagi kita semua. Untuk itu perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

Ketua Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Dr. dr. Abd. Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, pengarahan dan nasehat baik sebagai Ketua Departemen, guru bahkan orang tua selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

(5)

Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp. THT-KL(K) sebagai ketua pembimbing tesis saya yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga saya dapat menyelesaikan tesis spesialis ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

dr. Aliandri, Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis saya, yang telah meluangkan banyak waktunya memberikan petunjuk, bimbingan serta motivasi dengan penuh kesabaran sehingga tesis ini dapat selesai. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

dr. Devira Zahara, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis saya yang telah banyak memberi bimbingan, motivasi sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

dr. Taufik Ashar, MKM yg telah banyak memberi bimbingan dan memberi bantuan dibidang statistik penelitian di tengah kesibukannya. Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini perkenankanlah saya juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas

(6)

kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai selesai.

(7)

Sembah sujud dan ucapan terima kasih saya kepada orang tua saya tercinta Ayahanda Ramlan dan Ibunda Hj Rosfanidar, S.Sos yang selalu berdoa, memberi semangat dan telah memberikan tuntunan kepada saya untuk mengisi kehidupan ini dengan penuh ikhlas. Terima kasih telah mengasuh, membesarkan, mendidik, mengajar, dan membimbing saya sejak kecil dengan penuh kasih sayang dan kesabaran yang begitu tulus. Doa ananda semoga Allah SWT menghapuskan segala dosa dan melipatgandakan segala amal kebaikan ayahanda dan ibunda.

Kepada kedua mertua saya Rahimar Sikumbang dan Jasmaniar Chaniago, yang selalu mendorong saya untuk tetap bersemangat dalam menyelesaikan pendidikan ini. Atas segala pengertian dari Ayahanda dan Ibunda semoga Allah SWT memberi balasan, kebaikan berlipat ganda, dan diampunkan segala dosa.

Dengan rasa cinta, penuh hormat dan tulus, saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada suami tercinta Erin Chaniago, ST, M.Sc, tempat segala kesulitan, hambatan dan keluh kesah dapat terbagi. Terima kasih atas segala pengertian, dukungan, kesabaran, dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. Semoga Allah terus menerus mempererat hubungan batin kita dan memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat kepada kita. Juga untuk buah hatiku tercinta Faiza Hanif, yang telah menjadi semangat dalam menjalani pendidikan, semoga Faiza menjadi anak berguna bagi keluarga, agama dan masyarakat. Amin

Kepada saudara-saudara saya tercinta, Adinda M. Hirdansyah, Amd, Denny Prasutyo, S.Kom, M. Indra Syahputra, SP, M. Arif Munandar dan M. Afif Munandar, penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.

(8)

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.

Medan, April 2014 Penulis

(9)

ABSTRAK

Latar Belakang: Penyakit refluks laringofaring sangat penting untuk dikenali dimana jika tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup dan menjadi penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang dapat mengancam nyawa.

Tujuan: Mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole

Metode: Penelitian ini menggunakan pre and post test design dari Mei 2013 hingga Maret 2014, terdapat 36 subjek penelitian yang dinilai skor kualitas hidup, RSI dan RFS pada 5 kali pengamatan. Setiap subjek diberikan omeprazole 20 mg dua kali sehari sebelum makan selama 12 minggu.

Hasil: Dari 36 subjek penelitian ditemukan wanita sebanyak 24 subjek (66,7%) dan pria 12 subjek (33,3%). Kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 45-64 tahun (50%) serta lebih banyak penderita dengan pendidikan tinggi (52,5%). Penderita dengan gejala refluks laringofaring pada penelitian ini kebanyakan dengan berat badan normal sebesar 55,6%, dengan rerata BMI 26,1±4,6. Keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah rasa menganjal ditenggorokan sebesar 50%. Mendehem atau throat clearing merupakan gejala yang paling banyak ditemukan sebesar 97,2%. Ventikular obliterasi dan hipertrofi komisura posterior merupakan tanda patologis laring yang paling sering ditemukan yaitu 97,2%. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RSI sebelum terapi 18,47±4,35 dan rerata RSI sesudah terapi selama 3 bulan yaitu 2,75±2,36 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata yang signifikan juga dijumpai pada skor RSI setiap pengamatan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RFS sebelum terapi 10,81±2,73 menjadi 3,31±1,31 setelah pengobatan selama 3 bulan (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata skor RFS yang signifikan juga ditemui pada setiap pengamatan. Terdapat perbaikan kualitas hidup setelah pengobatan dengan omeprazole selama 3 bulan dimana terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai kualitas hidup sebelum terapi 47,57±8,93 menjadi 83,17±6,16 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan kualitas hidup yang signifikan ini juga terlihat pada setiap pengamatan kualitas hidup.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup penderita refluks laringofaring dengan peningkatan nilai kualitas hidup pasien setelah pemberian omeprazole.

(10)

ABSTRACT

Background: Laryngopharyngeal reflux disease has a negative impact on quality of life. The treatment of laryngopharyngeal reflux disease with PPIs may take up to 6 months. Omeprazole is one of the most commonly used PPIs.

Objective: To find out the differences in quality of life of patients with laryngopharyngeal reflux before and after the administration of omeprazole.

Methods: This study used a pre- and post-test design from May 2013 until March 2014 in which 36 samples were assessed for quality of life scores, RFI and RFS at 5 times of observations. Each subject was given omeprazole 20 mg twice daily before meals for 12 weeks.

Results: 24 women (66.7%) and 12 men (33.3%) were obtained from 36 samples. The largest age groups were between 45-64 years old (50%) and most of them possessed higher education (52.5%). Patients with laryngopharyngeal reflux symptoms in this study mostly had normal weight (55.6%) with mean BMI = 26.1 ± 4.6. The most main complaint found was the sensation of mountainous lump within the throat (50%). The most common symptom was throat clearing (97.5 %). Ventricular obliteration and posterior commissure hypertrophy were the most common pathological signs of the larynx found (97.2%). There were significant differences between the mean RSI scores before treatment = 18.47 ± 4.35 and 3 months after treatment = 2.75 ± 2.36 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the mean RSI scores were also obtained in each observation. There were significant differences between the mean RFS scores before treatment = 10.81 ± 2.73 and 3 months after treatment = 3.31 ± 1.31 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the mean RFS scores were also obtained in each observation. The improvement of quality of life after treatment with omeprazole for 3 months were obtained as there were significant differences between the values of quality of life before treatment = 47.57 ± 8.93 and 3 months after treatment = 83.17 ± 6.16 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the quality of life were also obtained in each observation.

Conclusion : There were significant differences in the quality of life of patients with laryngopharyngeal reflux regarding the increased values of quality of life of patients after the administration of omeprazole.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ……… vi

ABSTRACT ………. vii

DAFTAR ISI ………. viii

DAFTAR TABEL ………. x

DAFTAR GAMBAR ……… xi

DAFTAR SINGKATAN……… xii

BAB 1. Pendahuluan ……….. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Perumusan Masalah………. 4

1.3 Tujuan Penelitian………. 4

1.4 Manfaat Penelitian………... 6

BAB 2. Tinjauan Pustaka……… 7

2.1 Penyakit Refluks Laringofaring……… 7

2.1.1 Komponen refluks………. 7

2.1.2 Mekanisme proteksi………. 8

2.1.3 Kekerapan………. 12

2.1.4 Patofisiologi……….. 12

2.1.5 Diagnosis ……….. ………. 13

2.1.6 Penatalaksanaan……….. 19

2.2 Kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring…….. 22

2.3 Kerangka Teori……… 26

2.4 Kerangka Konsep……… 27

2.5 Hipotesis Penelitian……… 27

BAB 3. Metodologi Penelitian……… 28

3.1 Jenis Penelitian………. 28

3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian……… 28

(12)

3.3.1 Populasi……… 28

3.3.2 Subjek penelitian………. 28

3.3.3 Besar subjek penelitian……… 29

3.3.4Teknik pengambilan subjek penelitian……… 30

3.4 Variabel Penelitian………. 30

3.5 Definisi Operasional……….. 30

3.6 Alat dan Bahan Penelitian……… 32

3.7 Cara Kerja……… 33

3.8 Teknik Pengumpulan Data……… 34

3.9 Analisis Data……… 34

3.10 Kerangka Kerja……… 35

BAB 4. Hasil Penelitian……….. 36

BAB 5. Pembahasan……… 45

BAB 6 Kesimpulan dan Saran………. 57

6.1 6.2 Kesimpulan………... Saran ……… 57 58 DAFTAR PUSTAKA……….. 59

PERSONALIA PENELITIAN………. 64

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indeks Gejala Refluks (RSI)………... 14

Tabel 2.2 Skor Refluks(RFS) ………. 15

Tabel 2.3 Profil farmakokinetik proton pump inhibitor………. 21

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian ………. 37

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI)……… 37 Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks laringoaring berdasrkan keluhan utama ………. 38

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala refluks laringofaring berdasarkan keluhan yang dirasakan……… 38

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala refluks laringofaring berdasarkan tanda patologis laring yang didapat.. 39

Tabel 4.6 Perbedaan rerata RSI penderita penyakit refluks laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima………... 40 Tabel 4.7 Perbedaan rerata RFS penderita penyakit refluks laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima………... 41 Tabel 4.8 Perbedaan rerata skor kualitas hidup penderita penyakit refluks

laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima………

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pseudosulcus vokalis………. 16

Gambar 2.2 Ventrikular obliterasi……… 16

Gambar 2.3 Eritemia/ hyperemia……… 16

Gambar 2.4 Edema pita suara……… 17

Gambar 2.5 Edema laring……… 17

Gambar 2.6 Hipertrofi komisura posterior………. 17

Gambar 2.7 Granuloma……… 18

Gambar 2.8 Mukus kental endolaring……… 18

Gambar 2.9 Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring berdasarkan American Medical Assosciation……….. 22

Gambar 2.10 Kerangka Teori……… 26

Gambar 2.11 Kerangka Konsep……… 27

Gambar 3.1 Kerangka Kerja……… 35 Gambar 4.1 Grafik garis RSI dari pengamatan pertama sampai

kelima………

41

Gambar 4.2 Grafik garis RFS dari pengamatan pertama sampai kelima……….

42

Gambar 4.3 Grafik garis peningkatan skor kualitas hidup dari pengamatan pertama sampai kelima………..

(15)

DAFTAR SINGKATAN

BMI : Body Mass Index

GERD : Gastroesophageal Reflux Disease

HRQOL : Health Related Quality Of Life

LES : Lower Esophageal Sphincter

PND : Post Nasal Drip

PPI : Proton Pump Inhibitor

RFS : Reflux Finding Score

RQS : Reflux Qual Short

RSI : Reflux Symptom Index

TLESR : Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation

(16)

ABSTRAK

Latar Belakang: Penyakit refluks laringofaring sangat penting untuk dikenali dimana jika tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup dan menjadi penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang dapat mengancam nyawa.

Tujuan: Mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole

Metode: Penelitian ini menggunakan pre and post test design dari Mei 2013 hingga Maret 2014, terdapat 36 subjek penelitian yang dinilai skor kualitas hidup, RSI dan RFS pada 5 kali pengamatan. Setiap subjek diberikan omeprazole 20 mg dua kali sehari sebelum makan selama 12 minggu.

Hasil: Dari 36 subjek penelitian ditemukan wanita sebanyak 24 subjek (66,7%) dan pria 12 subjek (33,3%). Kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok umur 45-64 tahun (50%) serta lebih banyak penderita dengan pendidikan tinggi (52,5%). Penderita dengan gejala refluks laringofaring pada penelitian ini kebanyakan dengan berat badan normal sebesar 55,6%, dengan rerata BMI 26,1±4,6. Keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah rasa menganjal ditenggorokan sebesar 50%. Mendehem atau throat clearing merupakan gejala yang paling banyak ditemukan sebesar 97,2%. Ventikular obliterasi dan hipertrofi komisura posterior merupakan tanda patologis laring yang paling sering ditemukan yaitu 97,2%. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RSI sebelum terapi 18,47±4,35 dan rerata RSI sesudah terapi selama 3 bulan yaitu 2,75±2,36 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata yang signifikan juga dijumpai pada skor RSI setiap pengamatan. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RFS sebelum terapi 10,81±2,73 menjadi 3,31±1,31 setelah pengobatan selama 3 bulan (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata skor RFS yang signifikan juga ditemui pada setiap pengamatan. Terdapat perbaikan kualitas hidup setelah pengobatan dengan omeprazole selama 3 bulan dimana terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai kualitas hidup sebelum terapi 47,57±8,93 menjadi 83,17±6,16 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan kualitas hidup yang signifikan ini juga terlihat pada setiap pengamatan kualitas hidup.

Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup penderita refluks laringofaring dengan peningkatan nilai kualitas hidup pasien setelah pemberian omeprazole.

(17)

ABSTRACT

Background: Laryngopharyngeal reflux disease has a negative impact on quality of life. The treatment of laryngopharyngeal reflux disease with PPIs may take up to 6 months. Omeprazole is one of the most commonly used PPIs.

Objective: To find out the differences in quality of life of patients with laryngopharyngeal reflux before and after the administration of omeprazole.

Methods: This study used a pre- and post-test design from May 2013 until March 2014 in which 36 samples were assessed for quality of life scores, RFI and RFS at 5 times of observations. Each subject was given omeprazole 20 mg twice daily before meals for 12 weeks.

Results: 24 women (66.7%) and 12 men (33.3%) were obtained from 36 samples. The largest age groups were between 45-64 years old (50%) and most of them possessed higher education (52.5%). Patients with laryngopharyngeal reflux symptoms in this study mostly had normal weight (55.6%) with mean BMI = 26.1 ± 4.6. The most main complaint found was the sensation of mountainous lump within the throat (50%). The most common symptom was throat clearing (97.5 %). Ventricular obliteration and posterior commissure hypertrophy were the most common pathological signs of the larynx found (97.2%). There were significant differences between the mean RSI scores before treatment = 18.47 ± 4.35 and 3 months after treatment = 2.75 ± 2.36 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the mean RSI scores were also obtained in each observation. There were significant differences between the mean RFS scores before treatment = 10.81 ± 2.73 and 3 months after treatment = 3.31 ± 1.31 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the mean RFS scores were also obtained in each observation. The improvement of quality of life after treatment with omeprazole for 3 months were obtained as there were significant differences between the values of quality of life before treatment = 47.57 ± 8.93 and 3 months after treatment = 83.17 ± 6.16 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the quality of life were also obtained in each observation.

Conclusion : There were significant differences in the quality of life of patients with laryngopharyngeal reflux regarding the increased values of quality of life of patients after the administration of omeprazole.

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit refluks laringofaring merupakan varian ekstraesofageal dari

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) yang sedang meningkat pada 4 dekade terakhir (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006). Refluks laringofaring merupakan aliran balik dari cairan lambung ke daerah laringofaring yang menyebabkan keluhan seperti suara serak, batuk, sensasi globus, throat clearing ataupun post nasal drip (Cheung et al. 2009).

Refluks laringofaring berhubungan dengan banyak gejala dan diagnosis kelainan di kepala dan leher. Sangat penting untuk dapat mengenali penyakit refluks laringofaring dimana jika tidak terdiagnosa dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien dan menjadi penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang dapat mengancam nyawa (Cohen et al. 2002; Ford 2005). Beberapa studi menunjukkan bahwa refluks asam terdapat pada 50-80% pasien asma, 10-20% pasien dengan batuk kronis, 80% pasien dengan suara serak, dan 20-50% pasien dengan sensasi globus (Carrau et al. 2005).

(19)

per hari yang masih dianggap normal. Hal ini disebabkan karena epitel laring lebih sensitif daripada mukosa esofagus (Koufman 2002; Vardar et al. 2012).

Penilaian gejala klinis penyakit refluks laringofaring menggunakan RSI (Reflux Symptom Index), terdiri dari 9 komponen gejala yang dikenalkan oleh Belafsky (2002), dimana RSI > 13 diduga penyakit refluks laringofaring. Pemeriksaan gambaran kelainan laring dengan menggunakan RFS (Reflux Finding Score) yang juga diperkenalkan oleh Belafsky (2001), dimana RFS > 7 menunjukkan dugaan penyakit refluks laringofaring.

Lenderking et al. (2003), melakukan penelitian penyakit refluks laringofaring terhadap kualitas hidup pasien dibandingkan dengan pasien GERD (Gastroesophageal Reflux Disease ) berdasarkan systematic literature review dan memperoleh hasil bahwa penyakit refluks laringofaring memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup terutama fungsi fisik dan emosi. Sedangkan Carrau et al. (2004) mendapatkan hasil penderita penyakit refluks laringofaring mempunyai dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien pada semua fungsi yang menggambarkan kualitas hidup. Siupsienskiene, Adamonis & Tohill (2007) menyimpukan bahwa penurunan kualitas hidup pada penderita refluks laringofaring lebih berhubungan dengan gejala yang dirasakan dibandingkan dengan tanda patologis laring yang ditemukan.

(20)

Penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring dapat berupa modifikasi diet dan perubahan gaya hidup serta dengan intervensi farmakologik. Terdapat 4 kategori obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring yaitu Proton Pump Inhibitor (PPI) yaitu

omeprazole, esomeprazole, rabeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole, antagonis reseptor H2

PPI merupakan obat anti refluks paling efektif yang berfungsi menekan produksi asam lambung dibandingkan dengan antagonis reseptor H

seperti ranitidin, cimetidin, nizatidine, famotidine

yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung, agen prokinetik seperti

cisapride, metoclopramide yang berfungsi mempercepat pembersihan esofagus serta meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus serta

mucosal cytoprotectan seperti sucralfate yang berfungsi melindungi mukosa dari asam dan pepsin (Ford 2005).

2 dengan cara menghalangi kerja H+/K +

Tamin (2008) melakukan penelitian di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta mendapatkan peningkatan kualitas hidup penderita refluks laringofaring setelah terapi 6 bulan dengan PPI ( lansoprazole 30mg dua kali sehari), dan juga terdapat peningkatan kualitas hidup yang signifikan setiap pasien datang untuk follow up. Siupsinskiene, Adamonis & Tohill ( 2007) pada penelitiannya mendapatkan peningkatan skor kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring setelah pemberian terapi omeprazole 20 mg dua kali sehari selama 3 bulan.

(21)

Ford (2005) menyatakan berdasarkan survey American Bronchoesophageal Association pengobatan penyakit refluks laringofaring dengan PPI 2 kali sehari dalam jangka waktu 3-6 bulan. Dengan jangka pengobatan yang lama tersebut akan berdampak terhadap besarnya biaya yang akan di keluarkan oleh pasien. Omeprazole merupakan PPI yang paling murah diantara obat PPI lain yang beredar di Indonesia berdasarkan KEPMENKES RI No. 92 Tahun 2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik tahun 2012.

Berdasarkan latar belakang di atas, dengan adanya dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien penderita penyakit refluks laringofaring serta peran omeprazole yang dapat mengurangi gejala pada penderita refluks laringofaring dan perannya pada kualitas hidup sehingga peneliti tertarik ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan kualitas hidup pada penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu apakah terdapat perbedaan kualitas hidup pasien penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di RSUP.H.Adam Malik Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

(22)

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan jenis kelamin di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

b. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan umur di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

c. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan tingkat pendidikan di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

d. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan keluhan utama di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

e. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI) di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

f. Mengetahui distribusi frekuensi keluhan yang ditemukan pada penderita penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

g. Mengetahui distribusi frekuensi tanda patologis laring yang ditemukan pada penderita penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

h. Mengetahui perbedaan rerata skor kualitas hidup pada penderita penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan pada setiap pengamatan.

(23)

j. Mengetahui perbedaan rerata skor RSI pada penderita penyakit refluks laringofaring pada setiap pengamatan di poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan

k. Mengetahui perbedaan rerata skor RFS pada penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

l. Mengetahui perbedaan rerata skor RFS pada penderita penyakit refluks laringofaring pada setiap pengamatan di poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat antara lain :

a. Dengan diketahui perbedaan kualitas hidup sebelum dan sesudah pemberian omeprazole sehingga omeprazole dapat dijadikan terapi standar penyakit refluks laringofaring untuk perbaikan kualitas hidup pasien.

b. Dengan diketahuinya dampak penyakit refluks laringofaring terhadap kualitas hidup pasien pada penelitian ini diharapkan peningkatan kewaspadaan dokter dan pasien terhadap penyakit refluks laringofaring.

(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Refluks Laringofaring

Refluks laringofaring adalah aliran balik cairan lambung ke laring, faring, trakea dan bronkus (Pribuisine et al. 2002). Istilah refluks laringofaring pertama kali dipublikasikan oleh majalah Otolaryngology

pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang dikutip oleh Alberto (2008), mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan granulasi pada laring akibat adanya paparan cairan asam lambung.

Refluks laringofaring disebut juga extraesophageal reflux, supraesophageal reflux, gastroesophagopharyngeal reflux, reflux

laryngitis, silent reflux, atypical reflux disease (Belafsky et al. 2007).

Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan positif intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun laringofaring. Refluks fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena adanya Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR). TLESR dirangsang oleh distensi lambung, terutama pada masa postprandial dan diaktivasi oleh stretch reseptor pada dinding lambung. Lengkung refleks terdiri dari impuls yang dimediasi oleh nervus vagus ke nukleus traktus solitarius pada batang otak, eferen vagal ke sfingter bawah esofagus dan non cholinergic, non nitergic inhibitory interneuron

yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk membebaskan udara yang tertelan dengan sendawa. Hal ini terjadi secara independen dari proses menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah kontraksi dari sfingter bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi pada postprandial

dan posisi upright (Andersson 2009).

(25)

Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin dengan asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya yang berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada percobaan pada hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif dan menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6. (Andersson 2009)

Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan. Mayoritas dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan sama pada orang normal dan pasien laringitis. Refluks yang berbentuk campuran gas dan cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita penyakit refluks laringofaring (Andersson 2009).

2.1.2 Mekanisme proteksi.

Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter bawah esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik esofagus dan gaya gravitasi, resistensi mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus (Ford 2005).

Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan baik antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu memasukkan bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi serta mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan, sfingter bawah esofagus mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari sistem saraf pusat. Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot polos, saraf dan hormon. Kemampuan sfingter bawah esofagus untuk menutup secara primer disebabkan karena adanya aktifitas otot polos intrinsik (Kahrilas 2003).

(26)

dapat membuktikan adanya neurotransmiter alfa adrenergik dan beta bloker dalam meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan blokade alfa adrenergik dan stimulasi beta adrenergik akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya berperan dalam menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus. Peranan hormon dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi perdebatan yang menarik. Gastrin diduga berperan dalam menyebabkan kontraksi sfingter bawah esofagus, sedangkan antiserum gastrin menyebabkan penurunan sebesar 80% pada tekanan sfingter basal. Tekanan sfingter basal dapat dipengaruhi oleh bahan makanan yang masuk. Pengasaman lambung dan makanan yang mengandung protein akan meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan makanan berlemak akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus (Kahrilas 2003).

(27)

berlebihan atau makanan yang hiperosmolar dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun wheezing ( Lipan, Reidenberg & Laitmann 2006; Andersson 2009).

Episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter bawah esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang rendah, (2) relaksasi sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan dan (3) peningkatan sementara tekanan intraabdomen di lambung atau kombinasi antara (1) dan (2) (Lipan, Reidenberg & Laitmann 2006).

Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized

yang terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan germinativum. Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks asam adalah pembersihan zat asam intraluminal dan resistensi jaringan. Resistensi jaringan esofagus sebagai fungsi pertahanan mempunyai 3 bagian yang terdiri dari pre epitel, epitel dan post epitel. Pre epitel berfungsi sebagai pertahanan di permukaan berupa mukus dan lapisan cairan yang terdiri dari ion bikarbonat yang berfungsi membuat suasana menjadi basa. Lapisan pertahanan pre epitel esofagus relatif lebih lemah dibandingkan pada lambung maupun duodenum. Lapisan epitel berada di

apical dari membran dan kompleks junction. Berfungsi untuk

mendistribusikan ion hidrogen dari lumen ke intercelluler space. Pada keadaan esofagitis, kompleks junction akan mengalami kerusakan, saat itulah terjadi peningkatan ion H+ sehingga menyebabkan dilatasi dari

intercelluler space. Pertahanan pada post epitel berupa asam yang berfungsi sebagai buffer terhadap efek HCO3 - didalam sel dan

(28)

oleh hormon epidermal growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit setelah terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam (Orlando 2006).

Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa

carbonicanhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan ekstrasel esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka karbonik anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator isoenzym yang berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jarigan serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus. Ekspresi dari karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada keadaan refluks laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang signifikan di epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis dan komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks asam lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada komisura posterior yang akan meningkat untuk menghindari kerusakan epitel (Koufman et al. 2006; Ford 2005).

(29)

Tekanan sfingter atas esofagus ini meningkat bila terjadi stimulasi faring, distensi esofagus dan intraesophageal infusion melalui jalur vagal eferen. Keadaan lain yang dapat meningkatkan tekanan sfingter atas esofagus yaitu saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal breathing dan saat melakukan valsava ( Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).

Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat deglutisi, ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat terjadinya hambatan pada lower motor neuron di batang otak yang mempersarafi sfingter atas esofagus yang dibantu oleh posisi elevasi laring kearah anterosuperior (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).

2.1.3 Kekerapan

Dari population based study tentang GERD yang dikutip oleh Qadeer et al. ditemukan prevalensi dari gejala yang berhubungan dengan refluks laringofaring antar 15% sampai 20%. Dan diperkirakan hampir 15% dari pasien yang mengunjungi dokter spesialis THT karena manifestasi dari refluks laringofaring ( Qadeer et al. 2005).

Dari penelitian Belafsky et al. (2001) didapatkan rata-rata umur dari pasien dengan refluks laringofaring 50 tahun, dimana 73% adalah wanita, nilai rata-rata RFS 11,5±5,2 dan nilai rata-rata RSI 19,3±8,9. Carrau et al. (2004) mendapatkan rata-rata umur pasien dengan refluks laringofaring 48 tahun dimana 66,7% adalah wanita. Belafsky et al. (2002) mendapatkan rata-rata umur penderita refluks laringofaring 57 tahun, dimana 56% adalah pria, rata-rata nilai RSI 20,9 ± 9,6.

2.1.4 Patofisiologi

(30)

bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa esofagus dan sfingter atas esofagus (Ford 2005).

Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung dapat memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal. Yang pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan jaringan sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem (chronic throat clearing) dan batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal ini mungkin saling berhubungan. Gejala timbul karena trauma mukosa langsung atau kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan berdehem (chronic throat clearing) dan batuk ( Andersson 2009).

Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling berbahaya. Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi pada cut off limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, mungkin melewati esofagus tanpa gejala dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa laring yang sensitif. Epitel respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih sensitif terhadap asam, pepsin yang teraktivasi dan garam empedu dari pada mukosa esofagus (Andersson 2009).

(31)

2.1.5 Diagnosis

a. Anamnesis

Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip oleh Ford (2005) keluhan yang tersering yang didapat dari hasil anamnesis penderita refluks laringofaring adalah throat clearing (98%), batuk yang terus mengganggu (97%), perasaan mengganjal di tenggorok (95%) dan suara parau (95%).

b.Gejala Klinis

(32)
[image:32.595.114.526.202.459.2]

Tabel 2.1. Indeks Gejala Refluks (RSI)

Reflux Symptom Index (RSI)

Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita 0 = tidak,

5 = sangat berat

1 Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5

2 Clearing your throat (sering mengeluarkan

lender tenggorok/ mendehem)

0 1 2 3 4 5

3 Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip) 0 1 2 3 4 5

4 Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5

5 Batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5

6 Kesukaran bernafas / chocking 0 1 2 3 4 5

7 Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5

8 Rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5

9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan

pencernaan, regurgitasi asam

0 1 2 3 4 5

Sumber : Belafsky et al. ( 2002)

Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding posterior dari glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara,

contact ulcer, stenosis subglottis (Andersson 2009).

(33)
[image:33.595.114.510.302.675.2]

terburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and intraobserver reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian yang dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi anti refluks (Belafsky et al. 2001; Tamin 2008).

Tabel 2.2. Skor Refluks (RFS)

Reflux Finding Score (RFS) Edema Subglotik / pseudosulcus vokalis 0 = tidak ada

2 = ada Ventrikular obliterasi 2 = parsial

4 = komplit

Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid 4 = difus

Edema pita suara 1 = ringan

2 = moderat 3 = berat

Edema laring difus 1 = ringan

2 = moderat 3 = berat 4 = obstructing Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan

2 = moderat 3 = berat 4 = obstructing Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada

2 = ada Mukus kental endolaring 0 = tidak ada

2 = ada

Sumber : Belafsky et al. ( 2001)

(34)

Keadaan patologis laring tersering yang dijumpai adalah hipertrofi laring posterior sebesar 85%. Koufman yang dikutip oleh Belafsky et al (2001) pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan pseudosulkus vokalis dimana edema subglotis tersebut menyebar hingga ke daerah komisura posterior laring seperti tampak pada gambar 2.1.

Keadaan ini harus dibedakan dengan epitel sekunder pita suara yang terjadi akibat tidak terbentuknya lapisan superficial pada lamina propria. Keadaan lain seperti ventricular obliterasi ditemukan sebanyak 80% akibat terjadinya edema dan hiperemis dipita suara dan plika ventrikularis seperti tampak pada gambar.

Gambar. 2.1 : Pseudosulcus vocalis (Pham 2009).

(35)

Gambar 2.3 : Eritemia/ hiperemia (Pham 2009).

(36)

Obliterasi parsial mempunyai nilai skor 2, sedangkan obliterasi komplit nilai skor 4, demikian pula pada eritema atau hiperemia laring, bila hanya mengenai aritenoid mempunyai skor 2, sedangkan merata hingga laring skor 4. Edema ringan atau slight swelling pita suara skor 1, bila edema tampak jelas skor 2, berat skor 3, dan bentuk pita suara sudah tidak halus atau polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4.

Gambar 2.6 : Hipertrofi komisura posterior (Pham 2009).

(37)

Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura posterior yang ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang jelas dengan sekelilingnya skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 3 dan bila hipertrofi telah menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4. Penilaian terakhir berupa ada tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila ditemukan maka skor 2 (Belafsky et al. 2002).

c. Pemeriksaan pH

Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling dapat dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas sfingter atas esophagus (Merati et al. 2005; Andersson 2009).

Walaupun dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari tes yang ideal dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari tes ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien THT tidak dapat bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi diet dapat menimbulkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas (Knight 2005).

d. Tes PPI

(38)

Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek terapi. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan pemeriksaan pH metri 24 jam (Tamin 2008).

2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanan penyakit refluks laringofaring dapat berupa:

a. Perubahan Pola Hidup

Ketika anamnesis dan pemeriksaan klinis ditegakkan untuk mendiagnosis keadaan refluks laringofaring, maka penderita segera disarankan untuk mengubah pola hidup dan pola makan, diantaranya adalah menghentikan kebiasaan merokok dan minum-minuman beralkohol, mengurangi berat badan yang berlebih, membatasi konsumsi makanan yang mengandung coklat, lemak, citrus, minum minuman bersoda, anggur merah, kafein, atau waktu makan malam yang berdekatan dengan waktu tidur (Ford 2005).

b. Medikamentosa

Terapi farmakologi yang dianjurkan berupa PPI seperti

omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan

rabeprazole. Obat lain yang sering digunakan dalam pengobatan refluks laringofaring adalah antagonis H2 receptor seperti

cimetidine, ranitidine, nizatidine, famotidine yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung. Prokinetik agen seperti

cisapride, metoclopramide yang berfungsi mempercepat

(39)

esofagus. Mucosal cytoprotectan seperti sucralfate yang berfungsi melindungi mukosa dari asam dan pepsin. Antasida juga dapat diberikan seperti alumunium hidroksida, magnesium hidroksida atau sodium bikarbonat yang dapat berfungsi mengurangi gejala refluks (Ford 2005).

Proton pump inhibitor merupakan obat anti refluks paling efektif yang berfungsi menekan produksi asam lambung dibandingkan dengan antagonis reseptor H2, dengan cara menghalangi kerja H+/ K+ ATP ase dijalur akhir produksi asam dari sel parietal. Rangsangan pada sel parietal akan mengeluarkan enzim dari

tubule vesicles cytoplasmatic ke membran kanalis sekretorius. Proses ini sangat erat hubungannya dengan transport K+/ Cl

Omeprazole bersifat lipofilik dan basa lemah yang berarti dapat dengan mudah penetrasi ke membran sel serta terkonsentrasi dalam keadaan asam, mempunyai waktu paruh yang relatif pendek(kira-kira 1- 2 jam) dan mempunyai masa durasi yang panjang (Olbe et al. 2003).

(40)
[image:40.595.143.561.195.491.2]

Tabel 2.3. Profil farmakokinetik proton pump inhibitor (Vanderhoff & Tahboub 2002)

Profil farmakokinetik PPI Omeprazol

e

Lansoprazol

e Rabeprazole

Pantoprazol e

Bioavaibility (%) 30-40 80-85 52 77

Waktu konsentrasi puncak plasma

(jam)

0,5-3,5 1,7 1,0-2,0 1,1-3,1

Waktu paruh eliminasi plasma

(jam)

0,5-1,0 1,3-1,7 1,0-2,0 1,0-1,9

Protein binding

(%) 95 97 96 98

Ekskresi urin (%) 77 14-23 30-35 71-80

c. Pembedahan

Intervensi pembedahan perlu segera dipertimbangkan bila dalam pemberian terapi tidak memberikan respon yang signifikan. Pendekatan yang biasa digunakan seperti partial atau complete fundoplication (Ford 2005).

(41)

pola hidup dan diit, kemudian dilakukan observasi selama kurang lebih 3 bulan. Bila keadaan umum penderita membaik, maka pemberian PPI dapat dikurangi secara perlahan-lahan atau bila keadaan umum penderita mengalami perubahan sedikit lebih baik, maka dosis pemberian terapi dapat ditingkatkan dan penderita dievaluasi selama kurang lebih 6 bulan, namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka pemeriksaan

multichannel impedance dan pH monitoring, pemeriksaan transnasal esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan foto dengan menggunakan kontras barium dapat segera dilakukan (Ford, 2005).

Penilaian Awal Pasien dengan LPR

Reflux Symptom Index (Riwayat Gejala) > 13 dan

Reflux Finding Score (Laringoskopi) > 7

Uji Terapeutik Empiris Pola Hidup

Diet

Penilaian selama 3 bulan

Gejala Membaik

Peningkatan dosis PPI Lanjutkan Modifikasi Pola

Hidup dan Diet

Gejala Tetap atau Memburuk Gejala Teratasi

Terapi PPI Titrat

Penilaian selama 6 bulan

Gejala Teratasi

Gejala Tidak Teratasi

Terapi PPI Titrat

Penilaian Definitif

(42)

Gambar 2.9. Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring berdasarkan American Medical Association(Ford, 2005).

2.2 Kualitas Hidup Pasien Penyakit Refluks Laringofaring

Evaluasi kualitas hidup sangat penting pada penilaian keberhasilan terapi medis. Kualitas hidup digunakan untuk mendeskripsikan kemampuan menjalani kehidupan yang produktif secara ekonomi dan sosial, tidak semata-mata menyangkut masalah kesehatan saja. Kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan (Health related quality of life)

mengacu kepada berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas hidup, bersifat individual dan dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, harapan serta persepsi seseorang (Shaw & Crawley 2003).

Penilaian mengenai kualitas hidup banyak dilakukan dengan menggunakan penilaian yang sudah menjadi standar Health Related Quality of Life (HRQL) seperti kuesioner kualitas hidup secara umum berupa The Short Form Nottingham Health Profile (SF 36). SF 36 berisikan 8 domain, antara lain fungsi fisik (physical function), keterbatasan fisik (role limitation, physical), rasa nyeri (bodily pain), persepsi kesehatan secara umum (general health perception), vitalitas (vitality), fungsi sosial (social function), keterbatasan mental (mental

health) yang dapat menggambarkan kesehatan penderita secara

keseluruhan (Tamin, 2008). Pengukuran kualitas hidup dengan SF 36 pada penderita penyakit refluks laringofaring hanya menggambarkan kesehatan penderita secara keseluruhan, yang merupakan kelemahan SF 36 (Tamin, 2008).

(43)

psikologi, emosi dan sosial (Lenderking et al. 2003). Amouretti membuat suatu instrument penilaian kualitas hidup spesifik terhadap GERD yang disebut RQS (Reflux Qual Short Form) dan merupakan cara penilaian kualitas hidup yang singkat, dipercaya, mempunyai nilai validitas dan reabilitas yang baik serta sensitif terhadap perbedaan intra dan ,inter subyek (Amouretti 2005). Reflux Qual Short Form menilai kualitas hidup di 5 domain yaitu kehidupan sehari hari (daily life), kenyamanan (well being) , gangguan psikologis (psychological impact), tidur (sleep) dan makan (eating). Skor RQS di hitung dengan rata-rata jumlah skor dari 8 item dikalikan dengan 25. Hasilnya dari 0 yang berarti kualitas hidup yang paling rendah sampai 100 yang merupakan kualitas hidup yang paling tinggi (Amouretti, 2005).

LEMBAR PENILAIAN KUALITAS HIDUP REFLUX QUAL SHORT (RQS)

FORM

1. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terganggu dengan keluhan anda ketika sedang bekerja atau mengerjakan tugas sehari-hari?

o 4 Tidak sama sekali o 3 sedikit

o 2 kadang

o 1 cukup terganggu o 0 sangat terganggu

2. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda mengurangi atau membatasi pekerjaan karena keluhan anda?

o 4 Tidak pernah o 3 jarang

o 2 kadang o 1 sering

(44)

3. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa nyaman dengan kehidupan anda walaupun anda mengalami keluhan ini?

o 0 Tidak sama sekali o 1 sedikit

o 2 kadang o 3 cukup nyaman o 4 sangat nyaman

4. Dalam 1 bulan terakhir, dengan keluhan anda ini apakah anda dapat menikmati makanan anda?

o 0 Tidak pernah o 1 jarang

o 2 kadang o 3 sering

o 4 setiap waktu

5. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa cemas karena keluhan anda?

o 4 Tidak pernah o 3 jarang

o 2 kadang o 1 sering

o 0 setiap waktu

6. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menjadi mudah marah karena keluhan anda?

(45)

o 3 jarang o 2 kadang o 1 sering

o 0 setiap waktu

7. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terbangun pada malam hari karena keluhan anda?

o 4 Tidak pernah o 3 jarang

o 2 kadang o 1 sering

o 0 setiap waktu

8. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menghindari makanan tertentu karena keluhan anda?

o 4 Tidak pernah o 3 jarang

o 2 kadang o 1 sering

(46)
[image:46.595.72.572.139.743.2]

2.3 Kerangka Teori

Gambar 2.10 Kerangka Teori

Sfingter atas dan bawah esofagus Resistensi mukosa esofagus Fungsi motorik mukosa esofagus

Gejala Klinis (RSI): Suara serak Throat clearing

Mucus berlebihan / post nasal drip Kesukaran menelan

Batuk setelah makan/ berbaring Kesukaran bernafas/ chocking Batuk yang mengganggu Rasa mengganjal di tenggorok

Heartburn, rasa nyeri didada, gangguan pencernaan, i i

Tanda patologis laring (RFS)

Edema subglotik/ pseudosulcus vocalis Ventricular obliterasi

Eritemia / hyperemia Edema pita suara Edema laring difus

Hipertrofi komisura posterior Granuloma/ jaringan granulasi Mukus kental endolaring

Kualitas Hidup

Penyakit Refluks laringofaring Cairan Lambung

Refluks laringofaring

• pH metri • Tes PPI (+)

-umur

-jenis kelamin - BMI

Pola Hidup

Perubahan pola hidup Diet

(47)
[image:47.595.98.562.206.393.2]

2.4 Kerangka Konsep

Gambar 2.11. Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan kualitas hidup pada penderita refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan

RSI > 13

Kualitas Hidup II RSI

RFS PPI

-Umur

-Jenis kelamin -Keluhan utama -Tingkat

Pendidikan - BMI

LPR

RFS > 7

(48)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan menggunakan pre-post test design.

3.2 Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2013 sampai Februari 2014 di Poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.3 Populasi,Subjek Penelitian dan Besar Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi adalah seluruh penderita dengan penyakit refluks laringofaring dengan RSI>13 dan RFS >7 yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan sejak Mei 2013 sampai dengan Februari 2014.

3.3.2 Subjek penelitian

Subjek penelitian pada penelitian ini adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

a. Kriteria inklusi

• Usia ≥ 18 tahun.

(49)

b. Kriteria eksklusi

• Subjek dengan diagnosis kelainan paru kronis seperti penyakit asma, tuberkulosis paru, penyakit paru obstruktif kronis

• Subjek perokok dan peminum alkohol

• Subjek yang mengalami disfagia dengan kelainan neurologi

• Subjek yang didiagnosa dengan penyakit psikiatri.

• Subjek dengan penyakit laring seperti polip, nodul, paralisa pita suara, karsinoma.

• Subjek yang pernah mendapat radioterapi atau operasi di daerah leher.

• Subjek yang sedang mendapat pengobatan dengan PPI.

3.3.3 Besar subjek penelitian

Penentuan jumlah besar sampel dengan menggunakan rumus:

n = �(��+��)�

��−�� �

Keterangan :

n = jumlah minimal sampel

α = kesalahan tipe I ditetapkan 5%, maka Zα = 1, 96 β = kesalahan tipe II ditetapkan 20%, maka Zβ = 0,842

S = standar deviasi kualitas hidup sebelum dan sesudah terapi berdasarkan kepustakaan ( Friedman et al.2007) = 34,8

x1-x2

terapi berdasarkan kepustakaan ( Friedman et al.

= selisih rerata minimal kualitas hidup sebelum dan sesudah

(50)

Dengan rumus diatas di dapat jumlah minimal subjek penelitian sebanyak 36 orang.

3.3.4 Teknik pengambilan subjek penelitian

Pengambilan subjek penelitian diambil secara non probability consecutivesampling dimana setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi di masukkan dalam penelitian sehingga jumlah sampel minimal yang di perlukan terpenuhi.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini adalah RSI, RFS, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keluhan utama, BMI, kualitas hidup.

3.5 Definisi Operasional

1. Reflux Symptom Index (RSI) adalah penilaian tingkat gejala klinis refluks laringofaring dengan cara memberikan skor 0-5 terhadap gejala klinis yang dialami oleh penderita.

Alat ukur : kuesioner dan penilaian reflux symptom index. Skala ukur : nominal

Hasil ukur : LPR (+) jika RSI > 13 LPR (-) jika RSI ≤ 13

2. Reflux Finding Score (RFS) adalah skor penilaian keadaan patologis di laring yang dinilai melalui pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur. Penilaian meliputi 8 keadaan patologis laring. Skor penilaian berkisar antara 0 (tidak didapatkan keadaan abnormal) hingga 26 ( nilai maksimum pada keadaan yang sangat parah).

Alat ukur : pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur

Skala ukur : nominal

(51)

3. Jenis kelamin

Definisi : sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis Alat ukur : kuesioner

Skala ukur : nominal Hasil Ukur :

a. Laki-laki. b. Perempuan.

4. Keluhan utama

Definisi : keluhan yang paling mengganggu pasien sehingga datang berobat ke poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan.

Alat ukur :kuesioner Skala ukur : nominal

Hasil Ukur : ya = dijumpai keluhan

5. Umur

Definisi : usia yang dihitung dalam tahun dan dihitung pada saat pemeriksaan menurut tanggal lahir yang tercatat pada rekam medis, apabila > 6 bulan di bulatkan ke atas, dan apabila kurang dari 6 bulan dibulatkan ke bawah.

Alat ukur : kuesioner Skala ukur : ordinal Hasil ukur :

a. 18 - 45 tahun b. 45 - 64 tahun c. > 64 tahun

(52)

Definisi : jenjang pendidikan terakhir pasien. Alat ukur : kuesioner

Skala ukur : ordinal

Hasil ukur : Rendah : jenjang pendidikan terakhir SD/ SMP Menengah : jenjang pendidikan terakhir SMU

Tinggi: jenjang pendidikan terakhir akademi/ universitas 7. Body Mass Index (BMI)

Definisi : indeks massa tubuh ber

sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter) .

Alat ukur : kuesioner Skala ukur : ordinal

Hasil ukur : BMI < 18,5 = Underweight

BMI 18,5–24,9= Normoweight

BMI 25,0–29,9 = Overweight

BMI ≥ 30.0 = Obesitas 8. Kualitas hidup

Definisi : penilaian kualitas hidup dengan menggunakan Reflux Qual Short form (RQS)

Alat ukur : Reflux Qual Short form (RQS) dengan skor RQS = nilai mean dari 8 item x 25

Skala ukur : nominal

Hasil ukur : 0 ( kualitas hidup paling rendah ) s/d 100 ( kualitas hidup tertinggi)

3.6 Alat dan Bahan Penelitian

Alat penelitian adalah sebagai berikut : a. Catatan medis penderita

b. Formulir persetujuan ikut penelitian

(53)

d. Nasofaringolaringoskop optik serat lentur merek Olympus evis Exera II CV-180. Olympus PSD -30.

e. Light source merk Olympus evis exera II CLV – 180

f. Nasofaringolaringoskop optik serat lentur merek Karl Storz REF 11101VP Serial No. 110000166.

g. TELEPACK PAL 20043020 Karl Storz h. Xylocain jelly

i. Status penelitian

3.7 Cara Kerja

Cara kerja penelitian adalah sebagai berikut:

- Kepada penderita dengan gejala refluks laringofaring ditanyakan identitas, kemudian dilakukan anamnesis dan penilaian gejala klinis berdasarkan RSI dan dicatat dalam status penelitian.

- Pemeriksaan fisik THT.

- Jika RSI > 13 , maka pasien akan dilanjutkan dengan pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur di kamar bedah poli THT untuk menilai apakah RFS >7 oleh dokter spesialis THT yang ahli dibidangnya.

- Pasien dengan RSI > 13 dan RFS > 7 akan diberikan pengobatan dengan omeprazole 20 mg dua kali sehari selama 3 bulan.

- Pemberian omeprazole diberikan secara bertahap selama 3 bulan, pemberian pertama selama 2 minggu, pemberian kedua selama 2 minggu, pemberian ke tiga selama 4 minggu dan pemberian ke empat selama 4 minggu.

(54)

pengobatan dengan omeprazole. Pengamatan keempat dilakukan setelah 8 minggu (2 bulan) pengobatan dengan omeprazole dan pengamatan kelima dilakukan setelah pengobatan selama 12 minggu (3 bulan).

- Pemberian penjelasan kepada pasien dan pengisian informed consent.

3.8 Teknik Pengumpulan Data

- Data skor RSI didapatkan dari anamnesis terhadap pasien berdasarkan RSI yang kemudian dicatat di status penelitian.

- Data skor RFS didapatkan dari hasil pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur.

- Data skor penilaian kualitas hidup di dapatkan dari pengisian kuesioner kualitas hidup yang dicatat di status penelitian.`

3.9 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini mencakup

1. Analisis univariat, yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal setiap variabel dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi.

2. Untuk menilai perbedaan rerata skor kualitas hidup sebelum dan sesudah terapi dari pengamatan pertama sampai pengamatan kelima di gunakan uji Friedman.

3. Untuk menilai perbedaan rerata skor kualitas hidup setiap pengamatan digunakan uji Wilcoxon.

4. Untuk menilai perbedaan rerata skor RSI dan RFS sebelum dan sesudah terapi dari pengamatan pertama sampai pengamatankelima digunakan uji Friedman.

(55)

3.10 Kerangka Kerja

[image:55.595.169.567.125.624.2]

Gambar 3.1. Kerangka kerja

Anamnesa dan pemeriksaan THT rutin serta pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat lentur (RSI>13. RSI>7)

Penderita dengan keluhan yang diduga refluks laringofaring

Penilaian kualitas hidup, RSI, RFS ( pengamatan pertama)

Penilaian Kualitas Hidup, RSI, RFS ( Pengamatan ketiga)

Penilaian Kualitas Hidup, RSI, RFS ( Pengamatan keempat) Penilaian kualitas hidup, RSI, RFS ( Pengamatan kedua)

Penilaian Kualitas Hidup, RSI, RFS ( Pengamatan kelima)

Pemberian Omeprazole selama 2 minggu

Pemberian Omeprazole selama 4 minggu

(56)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pre-post test design yaitu untuk menilai perbedaan kualitas hidup pada penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di RSUP. H. Adam Malik Medan. Subjek penelitian pada penelitian ini adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

Pada saat dimulai, penelitian diikuti oleh 44 subjek penelitian yang bersedia untuk mengikuti penelitian dengan terapi omeprazole 20 mg dua kali sehari sebelum makan. Setelah follow up terdapat 8 subjek penelitian yang drop out, 1 subjek tidak bersedia melanjutkan pengobatan karena tidak toleran dengan omeprazole, 5 subjek tidak dapat melanjutkan follow up karena tempat tinggal yang jauh dari tempat penelitian dan 2 subjek tidak melanjutkan follow up dengan alasan yang tidak jelas. Terdapat 36 subjek penelitian yang menyelesaikan penelitian sesuai dengan jumlah minimal subjek penelitian.

Penilaian kualitas hidup, skor RSI dan skor RFS dilakukan sebanyak lima kali pengamatan. Pengamatan pertama dilakukan pada awal pasien datang sebelum diterapi dengan omeprazole 20 mg dua kali sehari sebelum makan. Pengamatan kedua dilakukan setelah 2 minggu terapi dengan omeprazole. Pengamatan ketiga dilakukan setelah 4 minggu (1 bulan) terapi dengan omeprazole. Pengamatan keempat dilakukan setelah 8 minggu (2 bulan) terapi dengan omeprazole. Pengamatan kelima dilakukan setelah 12 minggu (3 bulan) terapi dengan omeprazole.

(57)

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik N %

Jenis Kelamin

Laki-Laki 12 33,3

Perempuan 24 66,7

Umur

18 - 45 tahun 13 36,1

45-64 tahun 18 50,0

>64 tahun 5 13,9

Tingkat Pendidikan

Rendah 9 25

Menengah 8 22,2

Tinggi 19 52,8

Total 36 100

[image:57.595.103.546.173.426.2]

Dari tabel 4.1 terlihat dari 36 subjek penelitian terdapat 24 (66,7%) wanita dan 12 (33,3%) pria. Dijumpai lebih banyak subjek penelitian yang berumur 45-64 tahun yaitu sebanyak 18 (50%). Kelompok umur 18-45 tahun sebanyak 13 subjek (36,1%) dan kelompok umur > 64 tahun sebanyak 5 subjek (13,9%). Dilihat dari tingkat pendidikan, yang terbanyak adalah subjek penelitian berpendidikan tinggi (akademi dan universitas) sebanyak 19 subjek penelitian (52,8%) diikuti dengan tingkat pendidikan rendah ( SD dan SMP) sebanyak 9 subjek (25%) dan tingkat pendidikan menengah sebanyak 8 subjek (22,2%).

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit reluks laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI)

Karakteristik BMI Jumlah Presentase

18,5 - 24,9 (normoweight) 20 55,6

[image:57.595.114.548.694.752.2]
(58)

> 30 (obesitas) 8 22,2 Rerata Body Mass Index (BMI)± (SB) 26,1±4,6

[image:58.595.108.520.339.475.2]

Terlihat dari tabel 4.2 bahwa subjek penelitian lebih banyak dengan berat badan normal (BMI 18,5-24,9) sebanyak 20 subjek penelitian(55,6%), diikuti dengan overweight (BMI 25,0 -29,9) sebanyak 8 subjek penelitian (22,2%) serta obesitas sebanyak 8 subjek penelitian (22,2%). Rerata BMI pada penelitian ini adalah 26,1±4,51.

Tabel 4.3 . Distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan keluhan utama

Karateristik Keluhan Utama Jumlah Presentase

Banyak dahak di tenggorokan (PND) 9 25,0 Rasa mengganjal di tenggorokan 18 50,0 Sering mengeluarkan lendir tenggorok 3 8,3

Suara serak 1 2,8

Sukar menelan 5 13,9

TOTAL 36 100

(59)
[image:59.595.114.509.152.347.2]

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penderita penyakit refluks larigofaring berdasarkan keluhan yang dirasakan (n=36)

Karakteristik keluhan Jumlah (%)

Mendehem (throat clearing) 35 (97,2)

Rasa mengganjal 34 (94,4)

Batuk yang menganggu 29 (80,6)

PND/ mukus berlebih 29 (80,6)

Heartburn 26 (72,2)

Suara serak 26 (72,2)

Sukar menelan 21 (58,3)

Batuk setelah makan/berbaring 19 (52,8)

Sukar nafas/ chocking 17 (47,2)

Dari tabel 4.4 dapat dilihat keluhan yang paling sering ditemukan pada penderita dengan gejala refluks laringofaring pada penelitian ini adalah sering mendehem/ throat clearing, terdapat pada 35 subjek penelitian (97,2%), diikuti dengan rasa yang mengganjal ditenggorokan terdapat pada 34 subjek (94,4%), batuk yang mengganggu dan post nasal drip

(60)
[image:60.595.111.517.136.327.2]

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring berdasarkan tanda patologis laring yang didapat (n=36)

Karakteristik tanda patologis laring Jumlah (%)

Ventrikular obliterasi 35 (97,2)

Hipertrofi komisura posterior 35(97,2)

Edema difus 28(77,8)

Eritema 26(72,2)

Mukus kental endolaring 25(69,4)

Edema glotis 25(69,4)

Edema subglotik/ pseudosulkus vokalis 21(58,3)

Granuloma 0(0)

Pada tabel 4.5 terlihat tanda patologis laring yang paling sering ditemukan adalah ventrikular obliterasi dan hipertrofi komisura posterior terdapat pada 35 subjek penelitian (97,2%). Edema difus dijumpai pada 28 subjek (77,8%). Eritema ditemukan pada 26 (72,2%). Mukus kental endolaring ditemukan pada 25 subjek (69,4%). Edema glotis ditemukan pada 24 subjek (66,7%). Tanda patologis laring granuloma tidak dijumpai pada penelitian ini.

Tabel 4.6 Perbedaan Rerata RSI Penderita Penyakit Refluks Laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima

Waktu

Pengamatan

RSI

Rerata ± SB p value p value

Pertama 18,47 ± 4,35 0,0001a 0,0001b

Kedua 10,94 ± 3,90 0,0001c

Ketiga 7,47 ± 3,01 0,001d

Keempat 4,75 ± 2,83 0,0001e

Kelima 2,75 ± 2,36

[image:60.595.109.519.575.710.2]
(61)

b

c = p value antara pengamatan kedua dan ketiga = p value antara pengamatan pertama dan kedua

d = p value antara pengamatan ketiga dan keempat e = p value antara pengamatan keempat dan kelima

Dari tabel 4.6, dengan menggunakan uji friedman diperoleh perbedaan yang signifikan rerata RSI setelah pemberian omeprazole antara pengamatan pertama (sebelum terapi) sampai pengamatan kelima (setelah terapi 12 minggu) dengan p=0,0001, p<0,05.

[image:61.595.115.453.471.625.2]

Dengan menggunakan uji paired t test diperoleh perbedaan yang signifikan rerata RSI antara pengamatan pertama dan pengamatan kedua (p=0,0001, p<0,05). Terdapat perbedaan yang signifikan rerata RSI antara pengamatan kedua dan pengamatan ketiga (p=0,0001, p<0,05). Antara pengamatan ketiga dan keempat juga terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,001, p<0,05). Perbedaan yang signifikan rerata RSI juga didapat antara pengamatan keempat dan pengamatan kelima (p=0,0001, p<0,05).

Gambar 4.1 Grafik garis RSI dari pengamatan pertama sampai kelima

Berdasarkan hasil analisis dan gambar 4.1 terlihat adanya tren penurunan RSI dari pengamatan pertama sampai kelima dimana RSI

0 5 10 15 20

Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima

RSI

Waktu Pengamatan

(62)

tertinggi terlihat pada pengamatan pertama yaitu 18,47±4,35 dan RSI terendah pada pengamatan kelim

Gambar

Tabel 2.1. Indeks Gejala Refluks (RSI)
Tabel 2.2. Skor Refluks (RFS)
Tabel 2.3. Profil farmakokinetik proton pump inhibitor (Vanderhoff & Tahboub 2002)
Gambar 2.10 Kerangka Teori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana karakteristik penderita sinusitis yang datang berobat ke RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2011.. 1.3

berdasarkan mata yang terkena katarak di RSUP Haji Adam

Adam Malik Medan Tahun 2009 , Fakultas Kedokteran Universitas

spiritualitas wanita penderita kanker organ reproduksi di Ruang Rindu B1 RSUP. Adam

Tan Hong.S.Karakteristik Penderita Otitis Media Akut Pada Anak Yang Berobat Ke Intalasi Rawat Jalan SMF THT Rumah Sakit Umum Pusat Haji.. Adam

Adam Malik Medan tahun 2011-2015, menggunakan desain case series dilanjutkan dengan analisa statistik menggunakan uji Chi Square, Fisher Exact, Kolmogorov-Smirnov

MANAJEMEN STRES WANITA PENDERITA KANKER PAYUDARA YANG MENJALANI KEMOTERAPIi. di RSUP H ADAM

GAMBARAN PENATALAKSANAAN TRAUMA TORAKS DI RSUP. ADAM MALIK