• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman dan tanggap pertumbuhan serta produksi asiatikosida pegagan pada ketinggian tempat dan naungan yang berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman dan tanggap pertumbuhan serta produksi asiatikosida pegagan pada ketinggian tempat dan naungan yang berbeda"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

Urban) PADA KETINGGIAN TEMPAT DAN NAUNGAN

YANG BERBEDA

BUDI MARTONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keragaman dan Tanggap Pertumbuhan serta Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada Ketinggian Tempat dan Naungan yang Berbeda adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

Production of Asiatic Pennywort (Centella asiatica (L.) Urban) at Different Site Elevations and Shades. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI, LATIFAH K. DARUSMAN, SANDRA ARIFIN AZIZ, and NURLIANI BERMAWIE

In developing products derived from asiatic pennywort there is a lack of guarantee in terms of raw material supply and quality. To support such needs, standardized plant material will ensure production level and quality. The objectives of this research were: 1) to obtain information of the genetic parameters, i.e. of asiatic pennywort morphological characters and criterion of selection to produce high content of asiaticoside and dry shoot production, obtaining asiatic pennywort accessions which have high content of asiaticoside and dry shoot production, and information about the result of asiatic pennywort selection based on independent culling level, a single selection, weighted and unweighted standardized selection indexes, 2) to analyse and evaluate genetic distances of 17 accessions asiatic pennywort based on morphological, RAPD, and the data of markers combination, and 3) to obtain response of the growth and asiaticoside production of six asiatic pennywort plant accessions in different shades on low and high elevation areas. Results of the research showed that number of leaf; length, width, and leaf area: number of vein leaf, and segment length on the longest stolon have wide genetic variability and high heritability. The length and diameter of leaf petiole: leaf thickness, number of runner, content and production of asiaticoside that showed narrow genetic variability and heritability from low to moderate. Narrow genetic variability and high heritability were shown by characters of dry shoot weight. Direct selection toward dry shoot production could be conducted through selection of leaf area. The selection indicated that 4 accessions of asiatic pennywort showed high content of asiaticoside and dry shoot weight, namely Casi 016, Casi 003, Casi 008, and Casi 002. Grouping of asiatic pennywort accessions based on morphological, RAPD, and the basis of markers combination divided the 17 accessions of asiatic pennywort into 4, 5, and 4 groups at similarity level of 0.33, 0.73, and 0.72, respectively. In high elevation, highest production of asiaticoside (2.34 g m-2) and content of asiaticoside above MMI standard (1.33%) occured in Casi 002 planted without shade.

(4)

Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) pada Ketinggian Tempat dan Naungan yang Berbeda. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI, LATIFAH K. DARUSMAN, SANDRA ARIFIN AZIZ, dan NURLIANI BERMAWIE.

Permasalahan dalam pengembangan produk yang berasal dari pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) adalah tidak terjaminnya pasokan bahan baku dan mutu, karena selama ini pegagan diambil langsung dari alam tanpa usaha pembudidayaan. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan usaha-usaha budidaya dengan menggunakan bahan tanaman unggul dan cara budidaya yang tepat untuk mendapatkan produktivitas yang optimal. Untuk melaksanakan program ini, maka diperlukan informasi tentang pendugaan parameter genetik, analisis lintas, seleksi plasma nutfah pegagan berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti; keragaman plasma nutfah pegagan berdasarkan penanda morfologi, molekuler, dan gabungan, serta pengujian beberapa aksesi pegagan di dataran rendah dan dataran tinggi pada naungan yang berbeda (tanpa naungan, naungan 25 dan 55%). Tujuan penelitian ini adalah: 1) menduga keragaman genetik dan heritabilitas beberapa karakter kuantitatif pegagan, mendapatkan informasi tentang karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi, dan mendapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan bobot terna kering yang tinggi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat serta membandingkan hasil seleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti, (2) menganalisis dan mengevaluasi jarak kedekatan genetik pada 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi, penanda RAPD, dan data gabungan, dan (3) memperoleh informasi tentang tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida 6 aksesi pegagan terhadap perlakuan naungan di dataran rendah dan tinggi.

Penelitian ini terdiri atas dua aspek, yaitu (1) keragaman plasma nutfah pegagan dan (2) tanggap perubahan karakter pegagan. Kedua aspek tersebut dikelompokkan menjadi tiga subjudul penelitian: (1) pendugaan parameter genetik, analisis lintas, dan seleksi plasma nutfah pegagan, (2) keragaman plasma nutfah pegagan berdasarkan penanda morfologi, molekuler, dan gabungan, dan (3) tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa aksesi pegagan pada naungan yang berbeda di dataran rendah dan tinggi. Kajian pada subjudul 1 dan 2 dilakukan terhadap 17 aksesi pegagan dengan perlakuan naungan paranet 25%, sedangkan kajian pada subjudul 3 dilakukan terhadap 4 aksesi terpilih hasil seleksi dan 2 aksesi sebagai pembanding pada tiga tingkat naungan (tanpa naungan, naungan 25 dan 55%) dan ketinggian tempat yang berbeda (250 m dan 1500 m dpl).

(5)

terna kering secara langsung dapat dilakukan melalui seleksi luas daun. Hasil seleksi dengan mempertimbangkan karakter kadar asiatikosida dan bobot terna kering menghasilkan 4 aksesi pegagan terpilih, yaitu Casi 016 (Boyolali), Casi 003 (Introduksi), Casi 008 (Ciwidey), dan Casi 002 (Bengkulu). Aksesi terseleksi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat tidak selalu terseleksi pada seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti. Aksesi yang terseleksi sama berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat dan seleksi tunggal adalah aksesi lokal Boyolali (Casi 016). Aksesi lokal Ciwidey (Casi 008) dan lokal Bengkulu (Casi 002) merupakan aksesi yang terseleksi sama berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat dan seleksi indeks terboboti, sedangkan aksesi lokal Boyolali (Casi 016) dan lokal Bengkulu (Casi 002) merupakan aksesi yang terseleksi sama berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat dan seleksi indeks tidak terboboti. Tidak ada satupun aksesi yang terseleksi sama berdasarkan ketiga metode seleksi.

(6)

pendek; bobot terna kering dan produksi asiatikosidanya berkurang. Selain itu, kandungan klorofil a, b, dan total meningkat di dataran rendah dan berkurang di dataran tinggi. Pegagan yang tumbuh di dataran rendah pada naungan 0, 25, dan 55%, memiliki panjang tangkai daun lebih panjang (4.85–25.75 cm) daripada yang di dataran tinggi (4.85–19.25 cm). Namun demikian, daunnya lebih sempit (24.72–29.87 cm2) dibandingkan di dataran tinggi (33.23– 46.31 cm2) kecuali untuk Casi 003 lebih luas (59.46 cm2). Kandungan asiatikosida di dataran rendah (0.36–0.64%) lebih rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi (0.80–1.38%). Produksi asiatikosida di dataran tinggi (0.42–2.34 g m-2) lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah (0.17-1.62 g m-2). Produksi asiatikosida tertinggi di dataran rendah dan dataran tinggi ditemukan pada perlakuan tanpa naungan kecuali Casi 003 pada naungan 25% (1.59 g m-2 di dataran rendah dan 1.10 g m-2di dataran tinggi). Penanaman tanpa naungan di dataran tinggi dengan menggunakan Casi 002 menghasilkan kadar asiatikosida di atas standar MMI (1.33%) dan produksi asiatikosida tertinggi (2.34 g m-2). Di dataran rendah, penanaman tanpa naungan dengan menggunakan Casi 016 menghasilkan produksi asiatikosida yang tinggi (1.62 g m-2) dengan kadar asiatikosida di atas standar MMI (1.03%). Penanaman Casi 016 di dataran tinggi dapat dilakukan pada naungan 25% dan tanpa naungan dengan kadar asiatikosida di atas standar MMI (1.85 dan 1.58%) dan produksi asiatikosidanya 1.84 g m-2. Aksesi hasil eksplorasi di dataran menengah dan tinggi menghasilkan kadar asiatikosida yang lebih rendah jika ditanam di dataran rendah dibandingkan dataran tinggi.

(7)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Yul H. Bahar

(9)

Urban) PADA KETINGGIAN TEMPAT

DAN NAUNGAN YANG BERBEDA

BUDI MARTONO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Nama : Budi Martono

NIM : A161060151

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S.

Ketua Anggota

Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S. Dr. Ir. Nurliani Bermawie

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Agronomi

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Disertasi ini

memberikan informasi mengenai keragaman dan tanggap pertumbuhan serta

produksi asiatikosida pegagan pada ketinggian tempat dan naungan yang berbeda.

Dengan selesainya disertasi ini penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S., selaku ketua komisi pembimbing, Prof.

Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S., Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S., dan Dr. Ir.

Nurliani Bermawie sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan dengan cermat, terarah, dan sistematis serta motivasi yang

diberikan kepada penulis mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai

penyelesaian penulisan penelitian disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan

Litbang Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian,

Kepala Puslitbangbun, dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan

Tanaman Industri Lain (Balittri) yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk mengikuti pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor serta

fasilitas lainnya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Ungkapan

terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Made Sumertajaya, M.Si., atas

kesediannya menjadi pendamping dalam pelatihan analisis statistik. Ucapan yang

serupa disampaikan kepada semua teknisi Kebun Percobaan Cimanggu, Kebun

Percobaan Gunung Putri, Laboratorium Pascapanen Balittro, Laboratorium

Research Group on Crop Improvement (RGCI), Laboratorium Ekofisiologi Departemen AGH Fakultas pertanian, dan Laboratorium Histologi Biotrop yang

telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian. Penghargaan tak terhingga

juga penulis tujukan kepada orang tua, mertua, istri (Dr. Sri Cahyorini, M.Si.),

kakak, adik, Dr. Subandi, M.Sc., Drs. Sarodjo, dan semua teman-teman yang

dengan tulus ikhlas memberikan doa dan dukungannya kepada penulis.

Akhirnya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi

semua pihak yang memerlukannya.

(12)

Penulis dilahirkan di Temanggung pada tanggal 7 Juni 1965, merupakan

putra keempat dari tujuh bersaudara dari ayah Soetjipto (Alm.) dan ibu Rusmi

Hadinah (Almh.). Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Biologi Lingkungan

Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, lulus

pada tahun 1989. Pada tahun 1998 penulis memperoleh beasiswa dari PAATP

untuk mengikuti program Magister Sains (S2) di Program Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor, Program Studi Agronomi, sub program Pemuliaan Tanaman.

Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Agronomi

dan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa

pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pertanian Republik

Indonesia.

Sejak Desember 1990 sampai 2006, penulis bekerja sebagai staf peneliti

pemuliaan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor. Pada

tahun 2006, penulis pindah tugas di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka

Tanaman Industri (Balittri) Pakuwon, Parungkuda Sukabumi.

Selama mengikuti S3, artikel dengan judul kriteria penanda seleksi

produktivitas terna dan asiatikosida pada pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) telah diterbitkan pada jurnal Penelitian Tanaman Industri pada tahun 2010. Artikel

lain berjudul pendugaan parameter genetik pegagan (Centella asiatica (L.) Urban), seleksi plasma nutfah pegagan (Centella asiatica(L.) Urban) berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, dan indeks seleksi, serta

keragaman genetik pegagan berdasarkan penanda morfologi dan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) akan diterbitkan pada jurnal Pemuliaan Indonesia (Zuriat) dan jurnal Penelitian Tanaman Industri, sedangkan

pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa genotipe pegagan pada berbagai

tingkat naungan di dataran tinggi dan dataran rendah akan diterbitkan pada jurnal

Agronomi Indonesia. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program

(13)

DAFTAR TABEL ... xiii

Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Pegagan ... 7

Manfaat dan Kandungan Kimia ... 8

Parameter Genetik, Analisis Lintas, dan Seleksi ... 11

Parameter Genetik ... 11

Analisis Lintas ... 12

Seleksi ... 13

Penanda Genetik dalam Identifikasi Keanekaragaman Pegagan ... 14

Penanda morfologi ... 15

Penanda molekuler ... 15

Penanda RAPD ... 16

Pengaruh Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman .... 17

Mekanisme Adaptasi Tanaman Terhadap Intensitas Cahaya Rendah... 19

Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman ... 24

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK, ANALISIS LINTAS, DAN SELEKSI PLASMA NUTFAH PEGAGAN (Centella asiatica (L.) Urban) . 26

Pendahuluan ... 27

Bahan dan metode ... 30

Hasil dan Pembahasan ... 38

Simpulan ...………...…………... 61

(14)

Pendahuluan ... 84

Bahan dan Metode ... 87

Hasil dan Pembahasan ... 91

Simpulan ….………...……….………. 122

PEMBAHASAN UMUM ... 125

SIMPULAN DAN SARAN ... 139

DAFTAR PUSTAKA ... 141

(15)

Halaman

1 Karakter morfologi dan fisiologi tanaman ternaungi ... 19

2 Analisis ragam dan harapan kuadrat tengah dari RAK untuk suatu karakter ... 35

3 Nilai rata-rata, koefisien keragaman genetik (KKG), ragam genetik (σ2 g), dan standar deviasi ragam genetik (σσ2g)beberapa karakter kuantitatif plasma nutfah pegagan ... 39

4 Ragam genetik (σσ2g), ragam lingkungan (σ 2 e), ragam fenotip (σ 2 p), dan heritabilitas (h2)beberapa karakter kuantitatif plasma nutfah pegagan... 41

5 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dan kadar asiatiko sida pada tanaman pegagan ... 42

6 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung sepuluh komponen pertumbuhan terhadap kadar asiatikosida ... 44

7 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dan produksi terna kering pada tanaman pegagan ... 46

8 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung sepuluh komponen pertumbuhan terhadap poduksi terna kering ... 48

9 Nilai heritabilitas dalam arti luas komponen pertumbuhan pada pegagan .... 52

10 Penampilan karakter agronomi 4 aksesi pegagan hasil seleksi penyisihan bebas bertingkat (Independent culling level) ... 54

11 Penampilan karakter agronomi 17 aksesi pegagan hasil seleksi tunggal (berdasarkan kadar asiatikosida) ... 56

12 Hasil seleksi 17 aksesi pegagan berdasarkan indeks seleksi terboboti (weighted standardized selection index)... 59

13 Hasil seleksi 17 aksesi pegagan berdasarkan indeks seleksi tidak terboboti (unweighted standardized selection index) ... 60

14Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan dendogram morfologi …... 72

15 Nilai ciri 2 komponen utama 9 karakter morfologi ... 73

(16)

aksesi pegagan ... 75

18 Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan dendogram RAPD ... 77

19 Nilai ciri 3 komponen utama pada penanda molekuler (RAPD) ... 77

20 Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan data gabungan

(morfologi dan penanda molekuler)... 80

21 Nilai ciri 3 komponen utama data gabungan (morfologi dan RAPD) ... 80

22 Rangkuman hasil analisis ragam gabungan pengaruh ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap peubah yang diamati ... 92

23 Pengaruh kombinasi naungan dan genotipe terhadap luas daun ... 93

24 Pengaruh kombinasi naungan dan genotipe terhadap ketebalan daun dan panjang lapisan palisade ... 95

25 Pengaruh kombinasi naungan dengan genotipe terhadap kandungan

klorofil total (mg g-1bobot basah daun) ...……... 98 26 Pengaruh kombinasi naungan dan genotipe terhadap ratio klorofil a/b… 100 27 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap luas daun

pegagan (cm2) ... 101

28 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap ketebalan daun (m) ... 102

29 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap panjang lapisan palisade (m) ... 103

30 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap klorofil a (mg g-2bobot basah daun) ... 104

31 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan naungan terhadap klorofil total (mg g-2bobot basah daun) ... 105

32 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dengan genotipe terhadap luas daun (cm2) ... 106

(17)

total (mg g bobot basah daun) ... 108

35 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat dan genotipe terhadap intensitas kehijauan daun... 109

36 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap luas daun spesifik (cm2) ... 110

37 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap kerapatan stomata pada pegagan (cm2) ... 112

38 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap klorofil b (mg g-1bobot basah daun) ... 114

39 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap panjang tangkai daun pegagan (cm) ... 115

40 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap bobot terna kering pegagan (g m-2) ... 116

41 Pengaruh kombinasi ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap produksi asiatikosida (g m-2) ... 119

(18)

1 Diagram alir penelitian ... 6

2 Struktur kimia dari asiatikosida (James & Dubery 2011) ... 9

3 Skema biosintesis triterpenoid pada pegagan atauCentella asiatica(L.) Urban. (Haralampidiset al. 2002; Phillipset al. 2006; James & Dubery 2009) ... 11

4Mekanisme penghindaran terhadap kekurangan cahaya (Levitt 1980)…... 20 5 Mekanisme toleransi tanaman terhadap kekurangan cahaya

(Levitt 1980) ... 21

6 Morfologi pegagan dan keragaan beberapa aksesi pegagan: Casi 005 (A), Casi 011 (B), Casi 006 (C), Casi 002 (F), Casi 003 (H), dan Casi 016 (0) ... 39

7 Diagram analisis lintas antara komponen pertumbuhan terhadap kadar

asiatikosida... 43

8 Diagram analisis lintas antara komponen pertumbuhan terhadap produksi terna kering... 50

9 Dendogram 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi ... 72

10 Dendogram 17 aksesi pegagan berdasarkan profil pola pita DNA dengan teknik RAPD ... 76

11 Dendogram 17 aksesi pegagan berdasarkan kombinasi penanda morfologi dan penanda RAPD ... 79

12 Penampang melintang daun pegagan terhadap naungan di dataran rendah pada perlakuan: (a) tanpa naungan, (b) naungan 25%, dan

(c) naungan 55% (perbesaran 40x) ...…... 97 13 Pola interaksi antara ketinggian tempat, naungan, dan genotipe

terhadap bobot terna kering Casi 002, Casi 003, Casi 008, Casi 012,

Casi 013, dan Casi 016 (a=dataran rendah; b=dataran tinggi)………….. 117 14 Pola interaksi antara ketinggian tempat, naungan, dan genotipe

terhadap produksi asiatikosida Casi 002, Casi 003, Casi 008, Casi 012,

Casi 013, dan Casi 016 (a=dataran rendah; b=dataran tinggi)………….. 119 15 Pola interaksi antara ketinggian tempat, naungan, dan genotipe terhadap

kadar asiatikosida Casi 002, Casi 003, Casi 008, Casi 012, Casi 013, dan

(19)
(20)

1 Data koleksi plasma nutfah pegagan hasil eksplorasi dari berbagai daerah

dan introduksi ... 157

2 Denah percobaan studi keragaman plasma nutfah pegagan (Centella asiatica(L.) Urban)... 158

3 Metode preparasi dan pengamatan struktur dan tebal daun (Sass 1951)... 159

4 Contoh perhitungan kadar asiatikosida ... 162

5 Primer yang digunakan dalamscreeningprimer RAPD... 163

6 Matriks kemiripan 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi ... 164

7 Matriks kemiripan 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda RAPD ... 165

8 Matriks kemiripan 17 aksesi pegagan berdasarkan kombinasi penanda morfologi dan RAPD ... 166

9 Denah percobaan tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa aksesi pegagan (Centella asiatica(L.) Urban) pada naungan yang berbeda di dataran rendah dan tinggi (Lokasi: KP. Cimanggu dan KP. Gunung Putri) ... 167

10 Metode analisis kandungan klorofil (mg/g bobot basah daun)... 168

11 Metode pengamatan jumlah stomata... 169

12 Data iklim kebun percobaan Cimanggu Juli-Nopember 2008 ... 170

(21)
(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara mega diversity dengan keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 setelah Brazilia dan mempunyai lebih

kurang dari 7000 spesies tumbuhan (90% dari spesies tumbuhan Asia) diketahui

berkhasiat sebagai obat (Badan POM 2001). Menurut Ditjen POM (1991) ada 283

spesies tumbuhan obat yang sudah terdaftar digunakan oleh industri obat

tradisional di Indonesia. Salah satu tumbuhan yang telah dikenal luas di dunia

sebagai obat adalah pegagan atauCentella asiatica(L.) Urban.

Terpenoid khususnya triterpenoid merupakan golongan senyawa kimia

utama pegagan, terdiri atas beberapa komponen kimia yang memiliki aktivitas

biologis. Salah satu diantaranya adalah asiatikosida, yang mempunyai khasiat

antara lain untuk antilepra dan antisifilis (Winarto & Surbakti 2003), memacu

sintesis kolagen dan mucopolisakarida untuk memperbaiki jaringan yang luka

sedangkan oksiasiatikosida dapat membunuh basilus tuberkolosis (Barnes et al. 2002; Fahmi 2002).

Pegagan banyak terdapat di Indonesia dan telah banyak dimanfaatkan

dalam ramuan tanaman obat atau jamu. Kebutuhan industri untuk bahan baku

pegagan mencapai 100 ton/th, namun pada tahun 2005 baru dapat dipasok 4 ton

(IPB 2005). Permasalahan dalam pengembangan produk yang berasal dari

pegagan adalah tidak terjaminnya pasokan bahan baku dan mutu. Untuk memasok

kebutuhan industri, selama ini pegagan diambil langsung dari alam tanpa usaha

pembudidayaan sehingga jaminan pasokan bahan baku dan mutunya tidak

terjamin. Dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap obat bahan alam,

diperlukan pasokan bahan baku yang konsisten dengan mutu yang sesuai

kebutuhan industri melalui usaha budidaya.

Salah satu upaya untuk mendapatkan produk pegagan yang bermutu yaitu

diperlukannya bahan tanaman yang terjamin tingkat produksi dan mutunya.

Sampai saat ini baru ada 2 varietas unggul pegagan yang dilepas (Castina 1 dan

Castina 2), sehingga keadaan ini mendorong para pemulia untuk terus

(23)

Aromatik (BALITTRO) telah memiliki 17 nomor aksesi pegagan yang berasal

dari introduksi dan eksplorasi dari berbagai daerah dengan kondisi agroekologi

berbeda. Dari 17 aksesi tersebut belum diketahui karakter morfologi dan agronomi

secara menyeluruh sehingga perlu dilakukan identifikasi untuk melengkapi

informasi data deskripsi masing-masing aksesi. Selain karakterisasi dan

identifikasi, untuk program perbaikan genetik pegagan diperlukan informasi

mengenai parameter genetik.

Sebagai bahan genetik untuk pembentukan varietas unggul terutama

melalui persilangan, selain deskripsi koleksi plasma nutfah, perlu diketahui juga

hubungan kekerabatan antara aksesi pegagan. Hubungan kekerabatan atau jarak

genetik tersebut akan menentukan keberhasilan persilangan. Namun sampai saat

ini jarak genetik antar aksesi ini belum banyak diketahui sehingga perlu dilakukan

analisis keanekaragaman genetik.

Untuk mempelajari keanekaragaman genetik dapat menggunakan penanda

morfologi. Penanda morfologi telah lama digunakan sebagai penanda genetik

untuk mengatasi masalah duplikasi plasma nutfah di lapang (Simmond & Sheperd

1955). Namun karakterisasi yang didasarkan pada penanda morfologi biasanya

dipengaruhi lingkungan makro dan mikro, serta umur tanaman. Agar dapat

memperkuat informasi data penanda morfologi maka diperlukan dukungan

penanda molekuler karena memperjelas perbedaan dan hubungan kekerabatan

antar aksesi berdasarkan karakteristik molekuler (Jarret & Gawel 1995).

Salah satu penanda molekuler berbasis DNA yang telah banyak

diaplikasikan sebagai penanda genetik tanaman adalah RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Penanda ini menjadi salah satu alternatif penanda genetik berbasis DNA untuk tanaman karena tekniknya lebih cepat, lebih mudah dan lebih

murah dibandingkan dengan RFLP, SSR, dan AFLP (Darmono 1996). Dengan

dasar ini maka dilakukan analisis keanekaragaman genetik berdasarkan penanda

morfologi bersama dengan penanda RAPD. Diharapkan dengan menggunakan dua

penanda tersebut akan memberikan informasi yang saling mendukung sehingga

diperoleh informasi yang lebih akurat.

Pegagan dapat ditemukan di dataran rendah sampai dengan ketinggian

(24)

pada tempat yang terbuka dan ternaungi, namun sampai sejauh mana

kemampuannya tumbuh dalam kondisi ternaungi perlu dipelajari. Rachmawaty

(2005) melaporkan bahwa tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tingkat

naungan 25%, bahkan pada naungan 75% masih menunjukkan pertumbuhan yang

baik meskipun terjadi penurunan produksi pegagan. Oleh karena itu, pegagan

dapat dikembangkan sebagai tanaman sela musiman maupun tahunan, misalnya di

antara tanaman jagung, kelapa, kelapa sawit, dan buah-buahan yang tidak terlalu

rindang. Sejauh ini, informasi tentang respon pertumbuhan dan produksi

asiatikosida terhadap perlakuan naungan di dataran rendah dan tinggi pada

pegagan masih belum banyak dilaporkan. Pengaruh naungan tersebut sangat

penting untuk dipelajari karena kondisi yang ideal untuk tanaman obat adalah

kombinasi biomassa dan bahan aktif yang tinggi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, pada penelitian ini akan dilakukan studi

keragaman dan tanggap pertumbuhan serta produksi asiatikosida beberapa aksesi

pegagan pada naungan dan ketinggian tempat yang berbeda. Informasi tersebut

sangat penting bagi pengembangan bahan tanaman pegagan yang memiliki kadar

dan produksi asiatikosida yang tinggi.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi

mengenai keragaman plasma nutfah pegagan dan mendapatkan aksesi serta

naungan terbaik di dataran rendah dan tinggi dalam rangka menghasilkan

produksi asiatikosida yang tinggi. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan

percobaan yang bertujuan untuk: (1) mendapatkan informasi parameter genetik

plasma nutfah pegagan, mendapatkan informasi tentang karakter yang dapat

digunakan sebagai kriteria seleksi kadar asiatikosida dan produksi terna kering

yang tinggi, mendapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan produksi

terna kering yang tinggi, serta membandingkan hasil seleksi plasma nutfah

pegagan berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks

seleksi terboboti dan tidak terboboti, (2) menganalisis dan mengevaluasi jarak

kedekatan genetik pada 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda morfologi,

(25)

pertumbuhan dan produksi asiatikosida 6 aksesi pegagan terhadap perlakuan

naungan di dataran rendah dan tinggi.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah diperoleh: (1) informasi tentang

keragaman genotipik, diketahui karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria

seleksi untuk perbaikan kadar asiatikosida dan produksi terna kering serta

didapatkan aksesi pegagan dengan kadar asiatikosida dan produksi terna kering

yang tinggi dan informasi tentang hasil seleksi plasma nutfah pegagan

berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat, seleksi tunggal, indeks seleksi

terboboti dan tidak terboboti, (2) informasi jarak kedekatan genetik 17 aksesi

pegagan berdasarkan penanda morfologi, penanda RAPD, dan data gabungan,

dan (3) ilmu pengetahuan untuk meningkatkan produksi asiatikosida yang tinggi

melalui perlakuan naungan dan ketinggian tempat.

Hipotesis Penelitian

Terdapat keragaman dan perbedaan tanggap pertumbuhan serta produksi

asiatikosida pegagan pada naungan dan ketinggian tempat yang berbeda. Setiap

tahapan percobaan dapat ditarik beberapa hipotesis sebagai berikut:

1. Terdapat keragaman genotipik dari plasma nutfah pegagan, diperoleh karakter

agronomi yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk perbaikan

kadar asiatikosida dan produksi terna kering serta didapatkan aksesi pegagan

dengan kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang tinggi, dan diketahui

urutan peringkat aksesi berdasarkan seleksi penyisihan bebas bertingkat,

seleksi tunggal, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti.

2. Diperoleh jarak kedekatan genetik 17 aksesi pegagan berdasarkan penanda

morfologi, penanda RAPD, dan data gabungan.

3. Terdapat perbedaan tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida 6 aksesi

(26)

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, maka strategi penelitian yang

dilakukan harus mempunyai keterkaitan antara penelitian yang satu dengan

penelitian lainnya. Penelitian ini terdiri atas dua aspek: (1) keragaman plasma

nutfah pegagan dan (2) tanggap perubahan karakter pegagan. Kedua aspek

tersebut dikelompokkan menjadi tiga subjudul penelitian: (1) pendugaan

parameter genetik, analisis lintas, dan seleksi plasma nutfah pegagan (Centella asiatica(L.) Urban), (2) keragaman plasma nutfah pegagan (Centella asiatica(L.) Urban) berdasarkan penanda morfologi, molekuler, dan gabungan, dan (3)

tanggap pertumbuhan dan produksi asiatikosida beberapa aksesi pegagan

(Centella asiatica (L.) Urban) pada naungan yang berbeda di dataran rendah dan tinggi.

Keragaman genetik dan heritabilitas beberapa karakter kuantitatif pegagan

dan karakter yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan

kadar asiatikosida dan produksi terna kering berdasarkan nilai korelasi, pengaruh

langsung dan tidak langsung serta nilai heritabilitas dipelajari dalam subjudul

penelitian pertama. Selain itu, pada penelitian pertama juga dilakukan seleksi

plasma nutfah pegagan untuk mendapatkan aksesi pegagan yang mempunyai

kadar asiatikosida dan produksi terna kering tinggi berdasarkan seleksi penyisihan

bebas bertingkat dan membandingkannya dengan seleksi berdasarkan kadar

asiatikosida, indeks seleksi terboboti dan tidak terboboti. Analisis kedekatan

genetik untuk mengetahui tingkat kedekatan atau keragaman genetik dari koleksi

plasma nutfah pegagan berdasarkan penanda morfologi, molekuler dan gabungan

dilakukan pada subjudul penelitian kedua. Aksesi terpilih dari hasil seleksi

berdasarkan kadar asiatikosida dan produksi terna kering yang dilakukan pada

subjudul pertama dan telah diketahui tingkat kedekatannya dari penelitian pada

subjudul penelitian kedua dipelajari pertumbuhan dan produksi asiatikosidanya

pada taraf naungan yang berbeda di dataran rendah dan tinggi dalam penelitian

ketiga.

Kajian pada subjudul penelitian 1 dan 2 dilakukan terhadap 17 aksesi

pegagan dengan perlakuan naungan paranet 25%. Subjudul penelitian 3, kajian

(27)

sebagai pembanding) yang dilakukan pada tiga tingkat naungan (tanpa naungan,

naungan paranet 25 dan 55%) dan ketinggian tempat yang berbeda (dataran

rendah dan tinggi). Garis besar seluruh kegiatan penelitian disajikan dalam

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Pegagan

Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) sin. Hydrocotyle asiatica (L.) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, kelas monocotiledoneae, ordo

Umbillales, dan famili Umbelliferae atau Apiaceae. Tanaman ini berasal dari

daerah Asia Tropik, tersebar luas di Asia Tenggara (Indonesia), India, Tiongkok,

Jepang, dan Australia. Nama daerah atau lokalnya adalah pegagan, daun kaki

kuda, daun penggaga, rumput kaki kuda, pegagan, kaki kuda, pegago, pugago

(Sumatera); cowet gompeng, antanan, antanan bener, antanan gede (Sunda);

gagan-gagan, ganggagan; kerok batok, panegowang, panigowang, rendeng,

calingan rambat, pacul gowang, gan gagan (Jawa); bebele, paiduh, penggaga,

kelai lere (Nusa Tenggara); sarowati, kolotidi manora (Maluku); pagaga,

wisu-wisu, cipubalawo, hisu-hisu, (Sulawesi); dogauke, gogauke, sandanan (Papua)

(Departemen Kesehatan RI 1977; Winarto & Surbakti 2003).

Tanaman pegagan merupakan herba menahun yang tidak berbatang

dengan akar rimpang pendek dan akar merayap atau menjalar, dengan panjang

stolon yang bisa mencapai 2,5 m (De Paduaet al. 1999). Akar terdapat pada buku yang menyentuh tanah, akarnya tunggang bercabang-cabang, sedangkan akar

serabut tumbuh dari buku-buku stolon (geragih). Daun tunggal, letak basalis atau

rosette dengan 2-10 daun. Bentuk daun seperti ginjal (reniformis), ukuran 2-5 cm

x 3-7 cm, tangkai daun tegak dan sangat panjang ukurannya 9-17 cm, bagian

dalam tangkai daun berlubang. Tepi daun bergerigi dengan penampang 1-7 cm

dan kadang berambut (Wijayakusuma et al. 1994). Pangkal dari tangkai daun melekuk ke dalam dan melebar seperti pelepah. Tulang daun menjari (palmitus).

Helaian daun biasanya berwarna hijau dan hijau muda. Bunga putih atau merah

muda berbentuk payung, tunggal atau 3-5 bunga secara bersama keluar dari ketiak

daun (Santa & Prayogo 1992; Wijayakusuma et al. 1994), dengan tangkai bunga (pedunculus) lebih pendek daripada tangkai daun. Buahnya kecil bergantung

(29)

jumlah kromosom pegagan adalah 2n=18, 22, 22+1B, 22+2B, dan 33 (Mitsukuri

& Kurahori 1959; Bell 1960; Das & Mallick 1991).

Pegagan dapat diperbanyak secara vegetatif dengan tunas akar serta dapat

pula diperbanyak dengan biji atau secara generatif. Hingga saat ini perbanyakan

menggunakan stek tunas akar lebih banyak dilakukan dibandingkan perbanyakan

dengan biji. Perbanyakan dengan biji atau benih jarang dan bahkan belum pernah

dilakukan, karena selain ukuran bijinya yang terlalu kecil juga sangat sulit untuk

mendapatkan biji tersebut (Januwati & Muhammad 1992).

Pegagan merupakan tumbuhan kosmopolit atau memiliki daerah

penyebaran sangat luas, terutama di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini

tumbuh dengan baik di tempat-tempat terbuka atau cukup sinar matahari atau agak

terlindung yang tanahnya subur dan agak lembab. Pegagan menyebar liar dan

dapat tumbuh dari dataran rendah sampai dataran tinggi sampai dengan ketinggian

1-2500 m dpl, namun tanaman ini tumbuh baik di dataran menengah pada

ketinggian sekitar 700 m dpl. Kelembaban udara yang diinginkan antara 70-90%

dengan rata-rata temperatur udara antara 20-250C dan tingkat kemasaman tanah

netral (pH) antara 6-7 (LBN 1980; Dalimartha 2000; Winarto & Surbakti 2002).

Manfaat dan Kandungan Kimia

Di Jawa Barat, kadang-kadang pegagan dipakai sebagai tanaman penutup

tanah perkebunan teh. Di Indonesia, sejak dulu rebusan daunnya digunakan untuk

bermacam-macam penyakit antara lain untuk mengobati keracunan jengkol,

peluruh air seni, dan diaforetika, penyakit saluran empedu, wasir, batuk kering

pada anak-anak, pendarahan hidung, tukak lambung, sakit ginjal dan sebagai obat

kumur pada sariawan (LBN 1980). Selain itu, pegagan digunakan untuk obat

diare, radang usus, bronchitis dan keputihan. Penggunaan lokal, yaitu untuk

mengobati pembengkakan buah zakar, kaki gajah, luka baru atau borok (Heyne

1987). Di India pegagan digunakan untuk mengobati sipilis dan lepra (Martindale

1967).

Kandungan utama pegagan adalah triterpen asam asiatat dan asam

madekasat, serta turunan dari triterpen ester glikosida (tidak kurang dari 2%),

(30)

oksi-asiatikosida, asam madesiatat, asam brahmat, asam sentelat, asam sentoat,

asam indosentoat, asam thankunat, asam isobrahmat, asam sentat, madekassol,

sentellosa, dan alkaloid (Anonim 1993, 1999).

Asiatikosida (C48H78O19) termasuk ke dalam golongan glikosida

triterpenoid turunan dari-amyrin dengan molekul gula, terdiri atas 2 glukosa dan

1 rhamnosa. Aglikon triterpennya disebut asam asiatikat yang mempunyai gugus

alkohol primer, glikol, dan sebuah karboksilat teresterifikasi dengan gugus gula

(Vickery & Vickery 1981; Talalaj & Czechowics 1989; Maeda et al. 1994). Stuktur kimia asiatikosida dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia dari asiatikosida (James & Dubery, 2011)

Triterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang kerangka karbonnya

berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari

hidrokarbon C30 asiklik. Seluruh senyawa terpenoid yang ada di alam dibangun

dari kondensasi unit isoprena aktif yang disebut isopentenil pirofosfat (IPP) dan

dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Dua lintasan biosintesis yaitu lintasan mevalonat

dan non-mevalonat (deoksisilulosa difosfat: DXP) adalah lintasan yang penting

dalam biosintesis isoprena. Tumbuhan ini memiliki kedua jalur biosintesis

isoprena tersebut secara bersamaan, perbedaannya hanya pada organ sel tempat

berlangsungnya proses reaksi biosintesis. Beberapa data baru memperlihatkan

bahwa proses biosintesis isoprena melalui mevalonat lebih aktif terjadi pada

(31)

diterpena. Jalur biosintesis isoprena melalui non mevalonat terjadi di plastida

(Agusta 2006).

Goldstein dan Brown (1990), Dewick (1997), serta Burke et al. (1999) menuliskan bahwa pada lintasan mevalonat, proses pertama meliputi reaksi

kondensasi dua molekul asetil-coenzim A (asetil-CoA) menjadi asetoasetil-CoA

yang dikatalisasi oleh enzim asetil-CoA asetiltransferase. Selanjutnya

asetoasetil-CoA berkondensasi lagi dengan satu unit asetil-asetoasetil-CoA untuk membentuk molekul

-hidroksi--metilgutaril-CoA (CoA) yang dikatalisasi oleh enzim

HMG-CoA sintase. Menurut Choi et al. (1992), Newmann dan Chappel (1999), serta Schnee et al. (2002) bahwa enzim HMG-CoA tersebut pada tumbuhan terdapat pada retikulum endoplasma yang regulasinya dapat dipicu oleh adanya luka pada

organ tumbuhan atau terjadinya infeksi oleh patogen. Proses kedua adalah reduksi

HMG-CoA oleh NADPH dengan katalisasi oleh enzim HMG-CoA reduktase

menjadi asam mevalonat (MVA). Proses berikutnya, dengan bantuan enzim

mevalonat kinase dan enzim fosfomevalonat kinase, asam mevalonat dikonversi

menjadi 5-fosfomevalonat dan 5-difosfomevalonat. Selanjutnya enzim

difosfomevalonat dekarboksilase akan mengubah 5-difosfomevalonat menjadi

isopentenil pirofosfat (IPP). Proses selanjutnya IPP dengan bantuan enzim IPP

isomerase akan membentuk reaksi kesetimbangan menjadi dimetilalil pirofosfat

(DMAPP). Kondensasi IPP dan DMAPP akan membentuk geranil pirofosfat

(GPP, C-10) yang merupakan senyawa antara untuk semua monoterpen.

Penggabungan satu unit IPP dengan GPP menghasilkan Farnesil pirofosfat (FPP,

C-15) yang merupakan senyawa antara bagi sesquiterpenoid, masing-masing

dikatalisasi oleh geranil pirofosfat sintase dan farnesil pirofosfat sintase. Senyawa

triterpenoid terbentuk jika dua molekul sesquiterpenoid bergabung.

Senyawa-senyawa triterpenoid berasal dari MVA melalui skualene dan biasanya melalui 2,3

epoksiskualen, kemudian terbentuklah senyawa dammarenediol. Lupeol dan 

-amyrin dibiosintesis dari dammarene, dari -amyrin selanjutnya akan diperoleh

derifat dari-amyrin, yaitu asiatikosida (Manitto 1981; Vickery & Vickery 1981;

(32)

IPP FPS SQS SQE OSC

+ FPP Squalen 2,3-Oxidosqualen [Dammarenyl kation] DMAP

Betulinic acid lupeol [lupenyl kation]

Asiatic acid -Amyrin

/-AS [oleanyl kation]

Centellasapogenol A -Amyrin

Keterangan:

FPS : Farnesyl diphosphate synthase SQS : Squalen synthase

SQE : Squalen epoksidase OSC : Oxidosqualen cyclase

/-AS:/-amyrin synthase

Gambar 3 Skema biosintesis triterpenoid pada pegagan atauCentella asiatica(L.) Urban (Haralampidiset al. 2002; Phillipset al. 2006; James & Dubery 2009)

Parameter Genetik, Analisis Lintas, dan Seleksi

Parameter genetik

Pendugaan parameter genetik penting dalam proses pemuliaan tanaman

karena terkait dengan proses seleksi dalam tahapan selanjutnya. Beberapa

parameter genetik yang umum diduga dalam penelitian pemuliaan adalah

keragaman dan heritabilitas.

Seleksi merupakan dasar dari seluruh perbaikan tanaman untuk

mendapatkan varietas unggul baru. Dalam perakitan varietas unggul, keragaman

genetik memegang peranan yang sangat penting karena semakin tinggi keragaman

genetik semakin tinggi pula peluang untuk mendapatkan sumber gen bagi karakter

yang akan diperbaiki. Disamping itu, keragaman genetik yang tinggi juga dapat

meningkatkan respons seleksi, karena respons seleksi berbanding lurus dengan

keragaman genetik (Kuswantoro et al. 2006). Ragam yang diukur dari suatu populasi untuk karakter tertentu merupakan ragam fenotipe. Ragam fenotipe

terdiri dari ragam genetik, ragam lingkungan, serta ragam interaksi antara genetik

(33)

(σ2A), ragam genetik dominan (σ2D), dan ragam genetik epistasis (σ2E) atau σ2G=

σ2A+σ2D+σ2E.

Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genetik dengan ragam

fenotipenya, hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak

merupakan refleksi dari genotipe. Berdasarkan komponen ragamnya, heritabilitas

dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability). Heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotipe

(h2(BS)=σ2G / σ2P), sedangkan heritabilitas arti sempit merupakan perbandingan

antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2(NS)=σ2A/ σ2P)(Mangoendidjojo 2003).

Secara teori nilai heritabilitas berkisar antara nol sampai dengan satu. Kategori

mengenai besar kecilnya nilai heritabilitas, dikemukakan oleh Whirter (1979)

yaitu: 0.50 h21.00 (tinggi); 0.20 h2 0.50 (sedang) dan 0.00 h2 0.20 (rendah), heritabilitas biasanya dinyatakan dalam persen (%). Heritabilitas dapat

menduga peningkatan kemajuan genetik yang mungkin diperoleh bila dilakukan

seleksi terhadap sifat tertentu. Jika heritabilitas suatu sifat memiliki nilai tinggi

berarti penampilan indivitu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik

dibanding dengan faktor lingkungan dan seleksi berdasarkan individu efektif.

Heritabilitas tinggi juga menandakan aksi gen aditif penting untuk sifat tersebut

dan sebaliknya jika heritabilitas rendah, maka mungkin aksi gen seperti lewat

dominan (over dominance), dominan, dan epistasis lebih penting (Lasley, 1978).

Analisis Lintas

Analisis lintas merupakan pengembangan metode analisis korelasi.

Analisis lintas dapat menjelaskan keeratan hubungan antar karakter dengan cara

menguraikan koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung.

Jika dibandingkan dengan analisis korelasi, maka analisis lintas tidak hanya

memberikan informasi tentang keeratan hubungan antar karakter, tetapi juga

menjelaskan mekanisme hubungan kausal antar karakter. Mekanisme hubungan

kausal tersebut diperoleh dari penguraian koefisien korelasi menjadi pengaruh

langsung dan tidak langsung masing-masing karakter melalui karakter lain

(34)

dalam menarik kesimpulan pada analisis lintas, yaitu: 1) Jika koefisien korelasi

(rxij) hampir sama besar dengan pengaruh langsungnya (C) maka koefisien

korelasi tersebut seutuhnya mengukur derajat keeratan hubungan Xi dan Y,

artinya seleksi berdasarkan variabel Xi sangat efektif, 2) Jika koefisien korelasi

(rxij) bernilai positif tapi pengaruh langsungnya negatif atau dapat diabaikan, maka

pengaruh tidak langsungnya (Cirij) menjadi penyebab korelasi. Semua variabel

bebas X harus diperhatikan dan diperhitungkan secara serempak, dan 3) Jika

koefisien korelasi (rxij) bernilai negatif, tapi pengaruh langsungnya (C) bernilai

positif dan besar, maka pengaruh tidak langsung yang tidak dikehendaki dibatasi,

sehingga dalam penafsirannya pengaruh langsung benar-benar dapat

dimanfaatkan.

Analisis lintas sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemuliaan

tanaman yang efektif dan efisien. Penggunaan analisis lintas untuk

mengembangkan kriteria seleksi telah banyak dilakukan pada berbagai jenis

tanaman, seperti pada kedelai, gandum, sorgum, cabe, peartmillet (Asadi et al. 2004; Budiartiet al. 2004; Bizetiet al. 2004; Ezeaku 2006; Ganefiantiet al. 2006; Wirnas et al. 2006; Vetriventhan & Nirmalakumari 2007). Bizeti et al. (2004) telah berhasil mengembangkan kriteria seleksi yang efektif untuk meningkatkan

daya hasil pada kedelai. Kriteria seleksi yang digunakan adalah jumlah buku per

tanaman karena pada setiap buku akan terdapat polong.

Seleksi

Seleksi merupakan satu tahapan untuk mendapatkan genotipe yang sesuai

dengan target lingkungan produksi. Pada dasarnya seleksi terbagi atas seleksi

langsung dan seleksi tidak langsung. Seleksi langsung diartikan sebagai pemilihan

genotipe-genotipe terbaik berdasarkan karakter-karakter yang memenuhi kriteria

seleksi, sedangkan seleksi tidak langsung diartikan sebagai pemilihan secara tidak

langsung genotipe-genotipe terbaik berdasarkan karakter-karakter yang memiliki

hubungan dengan tujuan akhir dari program pemuliaan. Seleksi langsung

dikategorikan ke dalam seleksi langsung berdasarkan satu sifat dan seleksi

langsung terhadap beberapa sifat. Seleksi beberapa sifat secara simultan yang

(35)

seleksi simultan (independent culling level), dan seleksi indeks (Bariet al. 1981). Seleksi indeks adalah yang terbaik karena dalam penyusunan indeks

mempertimbangkan koefisien korelasi fenotipik, koefisien korelasi genotipik, dan

nilai heritabilitas. Selain itu, diperhitungkan pula ragam fenotipik dan peragam

genotipik serta nilai ekonomi setiap sifat. Bobot ekonomis dalam seleksi indeks

diharapkan dapat memberikan keseimbangan pada perolehan nilai genetik yang

proporsional (Smith 1936, diacu dalam Sutresna 2008). Namun demikian terdapat

beberapa kelemahan dalam seleksi indeks yaitu permasalahan dalam perolehan

ragam dan peragam, kemungkinan perubahan parameter dengan seleksi dan

kesulitan penetapan kepentingan relatif suatu sifat (Lin, 1978). Sutresna (2008)

menyatakan bahwa kriteria seleksi dengan menggunakan indeks seleksi

menunjukkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan seleksi yang

dilakukan terhadap satu sifat. Keunggulan indeks seleksi akan meningkat dengan

peningkatan jumlah sifat yang diseleksi diantara sifat tersebut, dan menurun

dengan peningkatan perbedaan-perbedaan kepentingan masing-masing sifat secara

nisbi. Menurut Moeljoprawiro (2002), bahwa indeks seleksi padi yang dihasilkan

terhadap beberapa sifat secara simultan lebih efisien dibandingkan dengan seleksi

yang didasarkan atas satu atau kombinasi dari dua sifat. Indeks seleksi yang

melibatkan sifat panjang malai, panjang gabah, dan lebar gabah lebih berpeluang

untuk perbaikan hasil tanaman.

Penanda Genetik dalam Identifikasi Keanekaragaman Pegagan

Pengungkapan informasi sifat genetik tanaman dapat dilakukan dengan

melakukan identifikasi dari setiap aksesi plasma nutfah. Identifikasi untuk

pembedaan identitas antar varietas dapat dideteksi melalui beberapa penanda

genetik (genetic marker). Penanda genetik merupakan karakter yang dapat diturunkan yang berhubungan dengan genotipe tertentu dan dapat digunakan

untuk mengkarakterisasi genotipe tersebut (Asieduet al. 1989)

Penanda genetik dapat digolongkan atas penanda morfologi (Livneh &

Vardi 1998), penanda agronomi (Melchinger 1990), penanda isoenzim dan

(36)

penanda agronomi dimasukkan pada kategori penanda fenotipik, sedangkan

penanda isoenzim dimasukkan sebagai penanda protein atau biokimia.

Penanda morfologi

Penanda morfologi digunakan dalam deskripsi taksonomi karena lebih

mudah, lebih cepat, sederhana dan lebih murah (Cross 1990). Disamping itu,

dalam proses koleksinya tidak membutuhkan teknologi yang mahal (Maxtedet al. 1997). Sifat-sifat morfologi yang diamati haruslah sifat-sifat yang memiliki nilai

heritabilitas yang tinggi dan stabil pada beberapa lokasi percobaan karena

umumnya penampakan sifat pada morfologi tanaman sangat dipengaruhi

lingkungan. Penanda morfologi yang selama ini hanya dipergunakan sebagai cara

cepat untuk mengidentifikasi varietas diharapkan dapat digunakan untuk menilai

kekerabatan antar aksesi sehingga lebih bermanfaat dalam program pemuliaan

tanaman, sedangkan penanda agronomi lebih dipertimbangkan dalam usaha

pemilihan tetua persilangan berdasarkan sifat hasil dan komponen hasil.

Setiap spesies tanaman mempunyai deskripsi morfologi yang spesifik.

Deskripsi khusus tanaman tersebut telah diterbitkan oleh International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) untuk memudahkan dalam identifikasi karakter morfologi dan agronomi tanaman.

Penanda morfologi ini telah lama dan banyak digunakan terutama untuk

mengatasi masalah duplikasi plasma nutfah di lapang (Simmond & Sheperd

1955). Disamping itu juga digunakan untuk identifikasi kekerabatan dan

keragaman genetik antar klon/kultivar dan masih terus digunakan sampai saat ini.

Penanda molekuler

Keunggulan penanda molekuler adalah kemampuan membedakan setiap

spesies tanaman atau genotipe tanaman tanpa dipengaruhi lingkungan. Umumnya

sifat kuantitatif pada tanaman dikendalikan oleh banyak gen (poligen) dan

dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga perbedaan antara klon atau spesies

berkerabat dekat sulit untuk diamati. Dengan kemajuan dalam bidang biologi

molekuler permasalahan di atas telah terbukti mampu diatasi. Penggunaan

penanda molekuler sangat bermanfaat untuk membandingkan berbagai klasifikasi

(37)

dengan analisis berdasarkan penanda lainnya, seperti SSR (Simple Sequence Repeat), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dan AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) sehingga hasil klasifikasi lebih akurat (Crouchet al. 1998).

Pemanfaatan penanda molekuler DNA akhir-akhir ini lebih banyak

digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan penanda morfologi

dan isoenzim (Wattimena 1999), yaitu: (1) sangat akurat dan tidak dipengaruhi

oleh lingkungan yang mempengaruhi ekspresi dari gen tersebut, (2) dapat diuji

pada semua tingkat perkembangan tanaman, (3) pada pengujian ketahanan hama

dan penyakit tidak bergantung pada organisme penganggu, dan (4) seleksi pada

tingkat genotipe dapat mempercepat proses seleksi dan hemat pada pengujian

selanjutnya di lapang.

Penanda RAPD

RAPD merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk analisis

profil DNA genom. Teknik RAPD ini merupakan suatu metode analisis DNA

genom dengan cara melihat pola pita DNA yang dihasilkan setelah DNA genom

diamplifikasi menggunakan primer acak. Metode ini didasarkan pada teknik

polimerisasi berantai (PCR).

Secara umum RAPD lebih mudah, lebih murah dan tekniknya lebih cepat

dibandingkan RFLP, SSR dan AFLP (Darmono 1996). Hal ini karena adanya

beberapa alasan: (1) tidak memerlukan pengetahuan latar belakang genom yang

akan diteliti, (2) primer secara universal dapat digunakan untuk organisme

prokariot maupun eukariot, (3) mampu menghasilkan karakter yang relatif tidak

terbatas jumlahnya, (4) bahan-bahan yang digunakan relatif murah, (5) mudah

dalam hal preparasi, dan (6) memberikan hasil lebih cepat dibandingkan dengan

analisis keragaman molekuler lainnya.

Disamping kelebihan, teknik RAPD juga memiliki kelemahan, yaitu: (1)

pemunculan pita DNA kadang-kadang tidak konsisten, hal ini lebih sering terjadi

jika suhu annealing (penempelan primer) yang digunakan terlalu tinggi. Dalam analisis kekerabatan hal ini dapat diatasi dengan menggunakan primer yang lebih

(38)

diperlukan dalam analisis sangat bergantung pada tujuan atau jenis informasi yang

diinginkan. Jika tujuannya untuk mengungkapkan hubungan kekerabatan, maka

analisisnya tidak dapat bertumpu pada satu atau beberapa karakter saja. Halldenet al. (1994) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah primer yang digunakan semakin rendah nilai koefisien keragaman hasil analisis yang diperoleh. Sepuluh

sampai 20 primer dianggap sudah mencukupi untuk keperluan analisis

kekerabatan karena dengan 10 primer pengaruh kesalahan percobaan telah dapat

diperkecil hingga mendekati nol.

Pengaruh Naungan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman

Salisbury dan Ross (1992) menyatakan bahwa cahaya matahari

mempunyai peranan dalam proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, respirasi,

pertumbuhan dan perkembangan, menutup dan membukanya stomata, dan

perkecambahan tanaman. Cahaya matahari berperan penting dalam metabolisme

tanaman hijau, sehingga ketersediaan cahaya matahari menentukan tingkat

produksi tanaman. Tanaman hijau memanfaatkan cahaya matahari melalui proses

fotosintesis. Naungan merupakan salah satu faktor yang membatasi proses

fotosintesis.

Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil

tanaman serta terganggunya berbagai proses metabolisme tanaman. Beberapa

hasil penelitian tentang pengaruh naungan telah banyak dilaporkan. Rachmawaty

(2005) melaporkan bahwa tanaman pegagan dapat tumbuh baik pada tingkat

naungan 25%, sedangkan pada naungan 75% terjadi penurunan produksi pegagan.

Penelitian Tarore (1992) pada kencur menunjukkan bahwa naungan berpengaruh

nyata terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kencur. Naungan 40%

menghasilkan luas daun, bobot kering daun, kadar klorofil total yang lebih tinggi

dibanding dengan perlakuan naungan 60% dan tanpa naungan. Tingkat naungan

60% memberikan hasil tanaman terendah.

Asadiet al. (1997) melaporkan bahwa penurunan hasil biji kedelai dari 28 galur yang diuji di bawah naungan 33% berkisar 2-45% dibandingkan dengan

tanpa naungan, sedangkan Sunarlim (1997) melaporkan bahwa dengan pemberian

(39)

sebelumnya juga telah diketahui bahwa, pemberian naungan dapat mempengaruhi

kandungan bioaktif tanaman.

Pada tanaman daun jinten, kadar kumarat dan fanilat tertinggi terdapat

pada naungan 75% (Urnemi et al. 2002). Pigmentasi antosianin pada kedelai meningkat pada persentase naungan yang semakin tinggi (Muhuria et al. 2006). Pada penelitian periode pencahayaan, Nirwan (2007) melaporkan bahwa naungan

50% selama 1 dan 3 bulan pada cahaya 100% dapat menghasilkan kandungan

total flavonoid dan antosianin daun dewa tertinggi. Periode pencahayaan yang

menghasilkan produksi total flavonoid dan kuersetin per tanaman tertinggi adalah

naungan 50% selama 3 dan 1 bulan cahaya 100%, sedangkan produksi antosianin

tertinggi diperoleh pada naungan 25% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%.

Bermawieet al. (2006b) melaporkan bahwa pada tingkat naungan 45% dan tanpa naungan, kadar asiatikosida dari tiga aksesi pegagan yang dipanen seluruh bagian

tanaman bervariasi antara 1.01-1.89%, sedangkan pegagan yang dipanen daun dan

tangkainya bervariasi antara 0.16-1.16%. Pada tanaman pule pandak (Raufolia serpentina), Sulandjari et al. (2005) melaporkan bahwa pada naungan 50% sampai dengan 80%, kadar reserpina lebih tinggi daripada naungan 20%, tetapi

bobot akar pertanaman tertinggi diperoleh pada tingkat naungan 20%.

Tanaman akan memberikan tanggap terhadap naungan, tanggap

pertumbuhan tanaman yang ternaungi dapat dilihat pada Tabel 1 (Anderson &

(40)

Tabel 1 Karakter morfologi dan fisiologi tanaman ternaungi

No. Karakter morfologi No. Karakter fisiologi

1. Batang lebih kecil karena xilem kurang 1. Kandungan klorofil lebih berkembang tinggi

2. Luas daun per tanaman lebih besar 2. Laju fotosintesis lebih rendah 3. Jarak antara buku menjadi lebih panjang 3. Laju respirasi lebih rendah 4. Jumlah cabang lebih sedikit 4. Kandungan air lebih tinggi 5. Sel-sel pada daun berukuran lebih besar 5. Transpirasi lebih lambat

sehingga helai daun menjadi lebih besar dan tipis

6. Endodermis lebih berkembang 6. C/N rendah

7. Kutikula dan dinding lebih berkembang 7. Kemampuan berbunga dan 8. Kloroplas lebih banyak dan berukuran lebih berbuah kurang bagus

besar

9. Jaringan palisade kurang berkembang 8. Bunga muncul lebih lambat

10. Jaringan mesofil lebih berkembang 9. Kurang tahan terhadap

11. Jarak antar sel lebih besar stress suhu, kekeringan,

12. Akar lebih pendek dan ratio akar/tajuk dan penyakit lebih rendah

13. Pada tanaman legume, bintil akar lebih sedikit dan lebih kecil

Sumber: Anderson & Osmond (1987)

Mekanisme Adaptasi Tanaman Terhadap Intensitas Cahaya Rendah

Setiap tanaman mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi kondisi

kekurangan cahaya. Tanaman dalam menghadapi cekaman terhadap kekurangan

cahaya memiliki dua cara penyesuaian, yaitu melalui mekanisme penghindaran

(avoidance) dan mekanisme toleransi (Levitt 1980). Mekanisme penghindaran berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi daun agar lebih efisien dalam

melakukan fotosintesis. Pada umumnya kemampuan tanaman dalam mengatasi

cekaman naungan tergantung pada kemampuannya melakukan fotosintesis secara

normal pada kondisi kekurangan cahaya. Dengan penurunan titik kompensasi

cahaya yang lebih rendah, tanaman dapat mengakumulasi produk fotosintesis

pada level cahaya yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dicapai oleh

(41)

Ketiadaan kutikula, lilin Ketiadaan pigmen

dan bulu pada permukaan daun non kloroplas

Peningkatan Peningkatan kandungan

kandungan kloroplas pigmen per kloroplas

Peningkatan kandungan Kloroplas dalam sel

kloroplas per sel mesofil epidermis

Gambar 4 Mekanisme penghindaran terhadap kekurangan cahaya (Levitt 1980)

Penghindaran kekurangan radiasi dapat dicapai dengan meningkatkan

efisiensi dari radiasi yang ditangkap tanaman, yaitu dengan cara: 1) meningkatkan

intersepsi cahaya total melalui luas penangkapan cahaya (luas daun), dengan

demikian maka daun-daun yang ternaungi menjadi tipis dengan permukaan

fotosintetik maksimum, dan 2) meningkatkan persentase cahaya yang diintersepsi

yang digunakan untuk fotosintesis, sehingga perlu mengurangi proporsi cahaya

yang direfleksi dan ditransmisikan (Hale & Orcutt 1987). Beberapa faktor yang

berperanan pada penghindaran kekurangan cahaya disajikan pada Gambar 4.

Toleransi terhadap kekurangan cahaya pada tanaman yang ternaungi dapat

dicapai dengan cara menurunkan titik kompensasi cahaya dan menurunkan laju

respirasi. Mekanisme toleransi kekurangan cahaya pada tanaman naungan

(42)

Toleransi terhadap kekurangan cahaya

Penurunan titik kompensasi cahaya Penurunan laju respirasi

Penghindaran kerusakan Penurunan laju respirasi

sistem fotosintesis sekitar titik kompensasi cahaya

Penghindaran Penghindaran Berkurangnya Berkurangnya pengurangan kerusakan pigmen bahan untuk sistem respirasi

aktifitas enzim respirasi (mitokondria, enzim)

Gambar 5 Mekanisme toleransi tanaman terhadap kekurangan cahaya (Levitt 1980)

Perubahan Anatomi dan Morfologi.Cahaya dapat mempengaruhi anatomi dan morfologi tanaman. Perubahan rasio luas daun terhadap bobot daun menunjukkan

adanya perubahan anatomi di dalam lapisan mesofil dan palisade. Pada kondisi

kurang cahaya atau ternaungi rasio luas daun terhadap bobot daun menjadi tinggi,

atau lapisan daun menjadi tipis. Pada umumnya lapisan palisade akan berkurang

dari 2-3 sel menjadi satu sel pada daun-daun yang ternaungi atau daun yang

resisten terhadap naungan (Fitter & Hay 1998). Taiz & Zeiger (1991) menyatakan

bahwa lapisan palisade dapat berubah sesuai kondisi cahaya agar tanaman

menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya yang dibutuhkan untuk

perkembangannya. Peran yang kontras antara sel palisade dan sel bunga karang,

yaitu sel palisade dapat menyebabkan cahaya lewat dan sel bunga karang

menangkap cahaya sebanyak mungkin, menyebabkan absorbsi cahaya yang lebih

seragam di dalam daun.

Perubahan Kandungan Klorofil. Kandungan kloroplas tanaman dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, jumlahnya akan berbeda antara tanaman yang

mendapat sinar matahari penuh dengan tanaman yang dinaungi. Tanaman

ternaungi mempunyai grana yang lebih besar, sekitar 100 tilakoid per granum

(43)

rasio membrane tilakoid/stroma lebih besar sehingga kandungan klorofil per luas

daun lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang mendapat sinar matahari

penuh.

Dalam keadaan normal, peralatan fotosintetik seperti klorofil akan

mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Kemampuan melawan

degradasi klorofil sangat penting dan akan menentukan daya adaptasi terhadap

naungan. Tanaman yang mampu beradaptasi pada kondisi kurang cahaya atau

ternaungi memiliki kemampuan meningkatkan jumlah kloroplas per satuan luas

daun (Hale & Orchut 1987) dan juga meningkatkan jumlah klorofil dalam

kloroplas (Okadaet al. 1992). Hal ini ditunjukkan oleh genotipe padi gogo toleran yakni memiliki kandungan klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka

(Chowdury et al. 1994; Sulistyono 1998). Sejalan dengan itu, Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa terjadinya penurunan rasio klorofil a/b karena

meningkatnya klorofil b pada tanaman yang dinaungi, yang berkaitan dengan

peningkatan klorofil a/b pada LHC II (Light-Harvesting ComplexII). Penyesuaian tanaman terhadap radiasi yang rendah juga dicirikan dengan membesarnya antena

untuk fotosistem II (LHCIIb). Membesarnya antenna untuk fotosistem II akan

meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya. LHCIIb merupakan kompleks trimerik

yang mengikat sekitar 60% klorofil PSII (PhotosystemII). Sebagian besar klorofil b merupakan komponen pemanenan cahaya dari PSII, maka perubahan pada

jumlah kompleks pemanen cahaya (LHC) pada PSII dan PSI. Khumaida (2002)

menyatakan bahwa genotipe kedelai toleran naungan memiliki kapasitas

penangkapan cahaya yang lebih besar dari pada genotipe peka karena memiliki

kemampuan yang lebih tinggi dalam mengkonversi klorofil a menjadi klorofil b.

Park et al. (1996) menyatakan bahwa PSII merupakan kompleks apparatus fotosintetik yang paling peka (vulnerable) terhadap stress cahaya. Perilaku PSII sangat ditentukan oleh dosis foton atau intensitas cahaya yang diterima. Taiz dan

Zeiger (1991) menyatakan bahwa klorofil b berfungsi sebagai antena yang

mengumpulkan cahaya untuk kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi

tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat

(44)

Penambahan klorofil b akan sangat bermanfaat bagi tanaman yang ternaungi

untuk memperoleh energi cahaya yang lebih banyak.

Perubahan Fisiologi dan Biokimia.Pada umumnya, kemampuan tanaman dalam mengatasi intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuan tanaman dalam

melakukan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya.

Faktor lain yang membatasi fotosintesis adalah resistensi stomata terhadap

CO2dan rendahnya aktivitas enzim rubisco pada kondisi ternaungi. Pertumbuhan

dan hasil tanaman pada kondisi intensitas cahaya rendah juga dipengaruhi oleh

kemampuan tanaman untuk memfiksasi CO2 yang ada di atmosfir. Jika

konsentrasi CO2 yang ada di udara rendah maka fotosintesis bersih (net

photosynthesis) antara yang ternaungi dengan yang kontrol hampir sama. Pada konsentrasi CO2 di udara yang sama maka tanaman yang dinaungi akan

memfiksasi CO2 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak ternaungi

karena resistensi stomata yang tinggi terhadap CO2 sehingga fotosintesis

bersihnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang mendapat

intensitas cahaya penuh (Salisbury & Ross 1985; Mohr & Schoper 1995).

Intensitas cahaya rendah mengakibatkan perubahan fisiologi dan biokimia pada

tanaman. Rubisco merupakan enzim yang berperan dalam fiksasi CO2. Intensitas

cahaya rendah mengakibatkan penurunan kandungan dan aktivitas enzim rubisco

dan berbagai enzim lainnya (Bruggeman & Danborn 1993). Genotipe kedelai

yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah memiliki aktivitas rubisco yang

lebih tinggi dibandingkan dengan yang peka pada kondisi ternaungi.

Lebih jauh intensitas cahaya rendah mengakibatkan penurunan karbohidrat

dalam tanaman, terutama fruktosa dan sukrosa dan selanjutnya akan terjadi

berbagai perubahan dalam proses metabolisme pada tanaman (Kephart et al. 1992). Hal ini disebabkan oleh tingginya resistensi stomata dan sel-sel mesofil

terhadap pertukaran gas CO2 serta penurunan kandungan dan aktivitas

Gambar

Gambar 2 Struktur kimia dari asiatikosida (James & Dubery, 2011)
Gambar 4 Mekanisme penghindaran terhadap kekurangan cahaya (Levitt 1980)
Gambar 5 Mekanisme toleransi tanaman terhadap kekurangan cahaya (Levitt1980)
Tabel 3 Nilai rata-rata, koefisien keragaman genetik (KKG), ragam genetik(σ2g) dan standar deviasi ragam genetik (σσ2g) beberapa karakterkuantitatif plasma nutfah pegagan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan pengolahan tanah yang terbaik dihasilkan olah tanah sempurna (P 1 ) terhadap tinggi tanam umur 6 dan 9 MST, diameter batang umur 3, 6, 9 dan 12 MST, total luas daun umur

Perlakuan pengolahan tanah dan frekuensi penyiangan yang berbeda berpengaruh tidak nyata terhadap parameter produksi gabah per plot ditampilkan pada Tabel 8.. Rataan

Sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul : “ Keragaman Morfologi Carica (Vasconcellea pubescens A. C.) Pada Ketinggian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi dan referensi penerapan sistem tanam serta pemberian pupuk kandang untuk menunjang pertumbuhan dan produksi turi dan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa sistem tanam serta dosis pukan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap jumlah daun, kadar klorofil a, kadar klorofil total, serta