• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Limbah Ternak Sebagai Pupuk Cair Organik Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Dan Produksi Selada (Lactuca Sativa Var. Crispa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Limbah Ternak Sebagai Pupuk Cair Organik Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Dan Produksi Selada (Lactuca Sativa Var. Crispa)"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SEBAGAI

PUPUK CAIR ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SELADA

(

Lactuca sativa

var.

crispa

)

ELISABETH A. TAMPUBOLON

A24061274

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ELISABETH A. TAMPUBOLON. Utilization of Livestock Waste as Organic

Liquid Fertilizer to Increase Growth and Production of Lettuce (

Lactuca sativa

var.

crispa

). Under direction of Dr. Ir. DARDA EFENDI, M. Si.

The research are to determine the effect of organic liquid fertilizer derived from

manure and urine of cattle, urine of sheep, urine of rabbits and combination between

of manure and urine on growth, production, physical quality and freshness of lettuce

(

Lactuca sativa

var.

crispa

) and to find the best organic liquid fertilizer. The

experiment was conducted in the Vegetable Garden, University Farm Cikabayan

Bogor Agricultural University, Dramaga, Bogor (processing of organic liquid

fertilizer and planting) in December 2010 until February 2011 and Postharvest

treatment in the Laboratory of Production, Department of Agronomy and

Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University in March 2011.

The Method of this research is Randomize Complete Block Design with one

factor. The treatment are kinds of organic liquid fertilizer with three replicates. The

treatments are treatment without liquid fertilizer application (just water), liquid

fertilizer from urine of cattle, liquid fertilizer from urine of sheep, liquid fertilizer

urine of rabbit, liquid fertilizer from manure of cattle, liquid fertilizer from

combination between manure and urine of cattle, liquid fertilizer from combination

between manure of cattle and urine of sheep, liquid fertilizer from combination

between manure of cattle and urine of rabbit.

The results indicate that the liquid fertilizer does not significantly affect the

growth, production, physical quality and freshness of lettuce. This means that, each

treatment gives the same effect for all parameters.

(3)

RINGKASAN

ELISABETH A. TAMPUBOLON. Pemanfaatan Limbah Ternak sebagai Pupuk Cair Organik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Selada (Lactuca sativa var. crispa). Dibimbing oleh Dr. Ir. DARDA EFENDI, M. Si.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pupuk cair organik yang berasal dari urin sapi, urin domba, urin kelinci, kotoran padat sapi dan campuran antara kotoran padat sapi dan urin ternak terhadap pertumbuhan, produksi dan pascapanen selada keriting (Lactuca sativa var. crispa), mengetahui pupuk cair organik yang terbaik untuk pertumbuhan dan produksi selada, menentukan persentase perubahan bobot dan kadar air selada selama penyimpanan serta mengetahui mutu warna, kesegaran dan visual selada selama penyimpanan pada suhu ruang.

Kegiatan pembuatan pupuk cair organik, persemaian dan penanaman di lahan dilaksanakan di Kebun Percobaan University Farm Cikabayan IPB, Unit Lapangan Dramaga, Bogor dari Desember 2010 sampai Februari 2011. Pengamatan pascapanen dilaksanakan di Laboratorium Produksi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB pada Maret 2011.

Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan satu faktor, yaitu jenis pupuk cair dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah perlakuan tanpa aplikasi pupuk cair (hanya pemberian air), pupuk cair dari urin sapi (biourin sapi), pupuk cair dari urin domba (biourin domba), pupuk cair dari urin kelinci (biourin kelinci), pupuk cair dari kotoran padat sapi (biokultur sapi), pupuk cair campuran dari biokultur dan biourin sapi, pupuk cair campuran dari biokultur sapi dan biourin domba, pupuk cair dari campuran biokultur sapi dan biourin kelinci. Analisis data menggunakan uji F pada taraf 1% dan 5%, apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati, maka setiap perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 1% dan 5%.

(4)

PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SEBAGAI

PUPUK CAIR ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SELADA

(

Lactuca sativa

var .

crispa

)

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ELISABETH A. TAMPUBOLON

A24061274

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul : PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK SEBAGAI PUPUK CAIR ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI SELADA (Lactuca sativa var. crispa)

Nama : ELISABETH A. TAMPUBOLON NRP : A24061274

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dar da Efendi, M.Si NIP. 19630616 198903 1 006

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP. 19611101 198703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Elisabeth A. Tampubolon, dilahirkan tanggal 18 Januari 1989 di Jambi. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Ir. D. A. Tampubolon dan Ibu L. Aruan.

Penulis mulai menjalani pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1994 di SD Negeri III Cutmutia Kayu Aro, Kerinci, Jambi. Tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 2 Kayu Aro, Kerinci Jambi dan lulus pada tahun 2003. Tahun 2003 – 2006 penulis menjalani Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Santo Thomas 2 Medan, Sumatera Utara.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2007 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif dalam Penulis organisasi Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) sebagai Ketua RT Putri Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun 2006 – 2007, anggota paduan suara KEMAKI 2006 – 2008 dan Tim Pendamping IPB (Asisten Agama Katolik IPB) dari tahun 2007 – 2011. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Pembiakan Tanaman pada tahun 2010. Penulis juga pernah menjadi peserta Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang proposalnya didanai oleh DIKTI pada tahun 2009 – 2010 dan 2011 – 2012.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Limbah Ternak sebagai Pupuk Cair Organik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Selada (Lactuca sativa var. crispa)”. Skripsi ini merupakan tugas akhir dan menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Banyak bantuan dan dukungan, baik moril dan materiil, yang diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis dan hal ini sangat berarti. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepada :

1. Bapak Ir. D.A. Tampubolon dan Ibu L. Aruan selaku orang tua tercinta yang selalu memberikan doa, dukungan, bimbingan dan kasih kepada penulis. Saudara-saudara penulis A. Imelda S. Tampubolon, Brigitta G. Tampubolon, Cita Mela J. Tampubolon, Donacius J.P.P.M. Tampubolon dan Fransiscus Fancius Tampubolon yang selalu memberikan doa, dukungan dan motivasi. 2. Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing

dan memberikan arahan serta nasehat kepada penulis dalam proses dan penyelesaian penelitian serta menyusun skripsi.

3. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan nasehat selama melaksanakan studi. 4. Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc dan Dr. Ani Kurniawati, S.P., M.Si selaku

dosen penguji yang telah memberikan bimbingan dan saran.

5. Seluruh staf dan dosen yang mengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas bimbingan dan pengajaran yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan studi.

6. Seluruh staf dan pekerja di Kebun Percobaan University Farm Cikabayan IPB, Dramaga, Bogor yang telah membantu dalam melaksanakan penelitian.

(8)

8. Sahabat-sahabat penulis, Anif Lailatusifah, Seriulina N. Br. S. Keloko, Susirani Kusumaputri, Fiet Syofyanti, Yulia Triwijiwati, Dionita Kristi Napitupulu dan Benny G. Kaban yang telah membantu dan memberi motivasi. 9. Sahabat-sahabat di Keluarga Tim Pendamping IPB, Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) serta rekan-rekan Agronomi dan Hortikultura angkatan 43 atas dukungan dan kebersamaan yang telah terjalin.

10.Semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis selama menjalani studi dan pelaksanaan penelitian.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bogor, Mei 2012

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Botani Tanaman Selada ... 5

Pemupukan... 6

Bahan Organik ... 7

Limbah Peternakan ... 9

Kualitas Selada setelah Panen ... 11

Pemanfaatan Pupuk Organik dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan danProduksi Tanaman ... 12

Tanah Latosol ... 13

BAHAN DAN METODE ... 14

Tempat dan Waktu ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Metode Penelitian ... 14

Pelaksanaan Penelitian ... 15

Pengamatan ... 19

Analisis Contoh Tanah ... 23

Analisis Pupuk Cair ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Kondisi Umum ... 24

Hasil Analisis Tanah dan Pupuk Cair... 25

Total Hara yang Diperoleh Selada Keriting ... 28

Pupuk Cair Organik ... 30

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pertumbuhan, Produksi dan Pascapanen Selada ... 33

Jumlah Daun ... 36

Tinggi Tanaman ... 38

Bobot dan Panjang Akar ... 40

Bobot Basah Tanaman ... 43

Bobot Kering Tanaman ... 44

Kadar Air ... 45

Luas Daun ... 46

Indeks Luas Daun ... 47

Produksi ... 48

(10)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

Kesimpulan ... 62

Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 67

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Unsur Hara dan Air Beberapa Jenis Pupuk Kandang ... 10

2. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Warna ... 22

3. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Kesegaran ... 23

4. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Mutu Visual secara Keseluruhan ... 23

5. Hasil Analisis Pupuk Cair Organik sebelum dan setelah Proses Fermentasi ... 27

6. Total Hara yang Diperoleh Selada selama Pertumbuhan di Lapangan ... 29

7. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Warna ... 30

8. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Suhu ... 31

9. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Bau ... 32

10. Hasil Sidik Ragam Pertumbuhan, Produksi dan Pascapanen Selada ... 33

11. Rata-rata Indeks Luas Daun pada 1 – 5 MST ... 47

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Rata-rata Jumlah Daun pada Selada ... 37

2. Rata-rata Tinggi Tanaman pada Selada ... 39

3. Rata-rata Bobot Basah Akar pada Selada ... 41

4. Rata-rata Panjang Akar pada Selada ... 41

5. Rata-rata Bobot Basah Tanaman pada Selada ... 43

6. Rata-rata Bobot Kering Selada ... 44

7. Persentase Kadar Air Rata-rata pada Tanaman Selada selama Pertumbuhan ... 45

8. Rata-rata Luas Daun Tanaman Selada ... 46

9. Rata-rata Kadar Air Selada selama Penyimpanan ... 51

10. Rata-rata Persentase Penurunan Bobot Selada yang Berakar selama Penyimpanan ... 52

11. Rata-rata Perubahan Bobot Selada yang Tidak Berakar selama Penyimpanan ... 53

12. Skor Warna Selada (Tanaman masih Berakar) ... 54

13. Skor warna selada (tanaman tidak berakar) ... 55

14. Skor Kesegaran selada (selada masih berakar) ... 56

15. Skor Kesegaran selada (selada tidak berakar) ... 57

16. Skor Mutu Visual Sayuran Selada (Tanaman Masih Berakar) secara Keseluruhan ... 59

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Layout Penelitian ... 67 2. Perhitungan Kebutuhan Pupuk Selada Keriting Berdasarkan Volume

Tanah (Berdasarkan anjuran Maynard dan Hocmuth dalam Susila, 2006) ... 68 3. Kondisi Beberapa Unsur Iklim selama Penelitian ... 69 4. Hasil Analisis Tanah ... 70 5. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah,

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sayuran merupakan tanaman yang memiliki nilai gizi yang tinggi, diantaranya vitamin, serat, kalsium, besi, karoten, dan kandungan lainnya. Fungsi dari sayuran bagi tubuh manusia adalah untuk meningkatkan proses metabolisme tubuh dan untuk kesehatan. Sayuran memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda tergantung jenisnya. Berdasarkan data dari Kementrian Pertanian (2002 – 2007), tingkat konsumsi sayur-sayuran penduduk Indonesia sebesar 43.48 kg/kapita/tahun (2002); 45.04 kg/kapita/tahun (2004); 35.30 kg/kapita/tahun (2005); 34.06 kg/kapita/tahun (2006); dan 40.90 kg/kapita/tahun (2007).

Selada keriting (Lactuca sativa var. crispa) adalah salah satu jenis sayuran yang cukup digemari dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Sayuran ini merupakan sayuran yang paling penting dalam kelompok sayuran berdaun. Selada memiliki kandungan air yang tinggi, sementara kandungan karbohidrat dan proteinnya rendah. Sayuran yang biasa dikonsumsi mentah ini juga merupakan sumber mineral, serat, pro-vitamin A dan vitamin C (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).

Sayuran yang tergolong dalam famili asteraceae ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, tetapi tanaman pada umumnya, termasuk selada keriting var. crispa, dapat tumbuh baik pada tanah yang gembur, remah, dan kandungan bahan organiknya tinggi. Tanaman selada yang baik dapat menghasilkan ± 15 ton/ha (Edi dan Bobihoe, 2010). Data dari BPS pada tahun 2001 – 2003 menunjukkan produktivitas selada di Indonesia sebesar 4.252 ton/ha (2001); 4.622 ton/ha (2002); 1.494 ton/ha (2003). Berdasarkan data tersebut, produktivitas selada masih rendah sehingga perlu ditingkatkan. Salah satu caranya adalah melalui pemupukan.

(15)

kesehatan karena terjadi peningkatan residu kimia pada bahan pangan dan pakan ternak (Sutanto, 2002). Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik 2.0 – 2.5 ton/ha pada tanaman padi dan sayuran dapat menekan penggunaan pupuk anorganik hingga 50 % (Londra, 2008).

Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk menyuplai bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Peraturan Menteri Pertanian, No.2/Pert/HK.060/2/2006). Pupuk organik juga merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya dan pupuk yang ramah lingkungan, serta tanah yang mengandung bahan organik cukup mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar daripada tanah yang kandungan bahan organiknya rendah (Sutanto, 2002).

Limbah ternak berupa kotoran padat (feses) dan urin ternak sudah banyak digunakan oleh para petani sebagai pupuk. Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan, baik berupa limbah padat dan cairan, gas ataupun sisa pakan. Limbah ternak ini dihasilkan dalam jumlah yang besar, dan apabila diolah sangat bermanfaat, dimana salah satunya menjadi pupuk cair ataupun padat (Hidayatullah et. al., 2005).

Pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik dapat bermanfaat untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan. Pupuk organik juga bermanfaat untuk meningkatkan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006).

(16)

Sayuran daun seperti selada keriting var. crispa terutama membutuhkan unsur nitrogen dalam jumlah besar selama proses pembentukan organ vegetatif daun. Kandungan N pada pupuk kandang cair umumnya lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang padat. Komposisi nitrogen pupuk kandang cair sapi dan domba masing-masing sebesar 0.50 % dan 1.40 %, sedangkan komposisi pupuk kandang padat sapi dan domba masing-masing sebesar 0.32 % dan 0.65 % (Sutanto, 2002).

Proses pembuatan pupuk cair organik juga membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan pembuatan pupuk organik padat. Proses pembuatan pupuk organik cair sekitar tujuh hari (Londra, 2008; Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009), sedangkan proses dekomposisi pupuk organik padat (misalnya kompos) membutuhkan waktu 3 – 4 bulan (Sutanto, 2002) atau 1 – 2 bulan tergantung metode yang digunakan (Setyorini et al., 2006).

Sapi, domba dan kelinci merupakan hewan ternak yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat, khususnya peternak. Berdasarkan hasil survei ketiga jenis hewan ternak ini termasuk dalam kelompok utama dari hewan yang diternakkan (Lekasi et al., 2001). Sapi dengan bobot 360 kg dapat menghasilkan feses dan urin sebanyak 8.3 ton/tahun, domba dengan bobot 27 kg dapat menghasilkan feses dan urin sebanyak 0.4 ton/tahun dan kelinci dengan bobot 4.5 kg dapat menghasilkan feses dan urin sebanyak 0.056 ton/tahun (Barker et al., 2002). Limbah ini memiliki potensi untuk diolah menjadi pupuk cair organik dan diaplikasikan ke lapangan.

Tujuan

(17)

Hipotesis

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Selada

Genus Lactuca L. berasal dari famili Asteraceae (Compositae), merupakan yang terbesar dari keluarga dikotil (Judd et al., 1999). Tanaman yang berasal dari Lembah Mediterania ini terdiri dari beberapa jenis, yaitu selada telur atau kropsla var. capitata, selada umbi var. longifolia, selada daun atau keriting var. crispa L., dan selada asparagus var. asparagina Bailey (Ashari, 2006).

Selada telur atau kropsla var. capitata merupakan jenis selada yang paling banyak dibudidayakan orang, dimana tanaman ini membentuk krop yang sangat padat. Selada umbi var. longifolia memiliki daun yang berbentuk silindris, lonjong atau bulat telur, batangnya roset, tumbuh tegak, dan teksturnya kasar. Jenis selada ini pada umumnya melipat daunnya yang berbentuk jantung. Selada daun atau keriting var. crispa L. memiliki tekstur daun yang sama dengan var. capitata, tetapi kurang membentuk krop dan umumnya daunnya keriting. Selada asparagus var. asparagina Bailey memiliki tekstur daun yang kasar dan bagian yang biasanya dikonsumsi adalah tangkai daunnya. Jenis selada ini banyak ditanam di Cina (Ashari, 2006).

Tanaman Selada dapat tumbuh di segala musim baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, akan tetapi lebih baik bila dibudidayakan di dataran tinggi dengan ketinggian di atas 1 500 m di atas permukaan laut (Ashari, 2006). Suhu udara optimum yang dibutuhkan selada adalah 20 °C pada siang hari dan 10 °C pada malam hari. Suhu yang lebih dari 30 °C biasanya menghambat pertumbuhan, merangsang tumbuhnya tangkai bunga (bolting) dan menyebabkan rasa pahit. Suhu juga mempengaruhi kematangan tanaman dan masa panen. Pemanenan dapat dilakukan paling cepat setelah tanaman berumur 60 hari pada cuaca panas (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).

(19)

melalui penyiraman berkala. Sebagian varietas selada ada yang tidak tahan cuaca panas, tetapi ada juga yang mampu mengatasi keadaan ini seperti varietas selada daun (Ashari, 2006).

Intensitas cahaya tinggi dan hari panjang dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan mempercepat perkembangan luas daun sehingga daun menjadi lebih lebar. Namun, pada hari panjang, beberapa kultivar selada terinduksi untuk membentuk tangkai bunga. Hal ini cenderung karena terpacu oleh suhu tinggi (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).

Pemupukan

Tanaman membutuhkan unsur hara atau nutrisi selama pertumbuhannya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pemberian atau penambahan unsur hara kepada tanaman dapat dilakukan melalui pemupukan. Pupuk adalah suatu zat yang ditambahkan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman untuk menyediakan unsur-unsur kimia untuk pertumbuhan tanaman. Pemupukan tanaman merupakan kegiatan yang perlu dilakukan karena saat ini pencucian yang mengakibatkan menurunnya jumlah unsur hara dalam tanah semakin meningkat (Samekto, 2008).

Unsur hara dari tanah pertanian hilang dalam jumlah yang cukup besar, seperti panen padi sebanyak 4 000 kg padi kering mengangkut unsur-unsur N, P dan K dari tanah masing-masing sebanyak 32 kg N, 36 kg P2O5, dan 21 kg K2O (Hardjowigeno, 2007). Hara pada tanah juga dapat berkurang karena terjadinya pencucian akibat curah hujan yang tinggi (Salisbury dan Ross, 1995).

Hara harus dilarutkan dalam larutan tanah agar tersedia bagi tanaman dan bahan organik yang mengandung nutrisi, seperti kotoran, residu tanaman atau bahan organik tanah harus dipecah dan dimineralisasi menjadi molekul sederhana sebelum dimanfaatkan oleh tanaman. Hara tanaman dibagi menjadi tiga subkelompok (Lægreid et al., 1999), yaitu :

1. hara makro atau primer : N, P, K;

(20)

3. hara mikro yang merupakan zat yang dibutuhkan oleh tanaman yang sedang tumbuh : klorin (Cl), besi (Fe), mangan (Mn), boron (B), seng (Zn), tembaga (Cu), molybdenum (Mo) dan nikel (Ni).

Tujuan pemupukan adalah memberikan unsur hara yang cukup kepada tanaman agar produksi meningkat atau mencapai titik optimal, menambah dan mempertahankan kesuburan tanah. Kebutuhan hara tanaman akan pupuk tergantung jenis tanamannya. Kebutuhan pupuk oleh tanaman juga ditentukan oleh bagian tanaman yang akan dipanen (Mulyono, 2007). Tanaman yang diambil daunnya memerlukan pupuk N (sayuran, teh), tanaman yang menghasilkan pati atau gula disamping memerlukan N juga unsur K (ubi kayu, ubi jalar, wortel, lobak), tanaman yang diambil bunga, buah atau bijinya disamping unsur N (untuk pertumbuhan vegetatif) juga memerlukan banyak unsur P untuk pertumbuhan generative (Hardjowigeno, 2007).

Cara pemberian pupuk juga merupakan hal yang perlu dperhatikan agar pengambilan hara oleh akar tanaman lebih efisien dan tidak merusak tanaman tersebut. Beberapa cara pemupukan, diantaranya dengan cara disebar (broadcast), di samping tanaman (sideband), dalam larikan (in the row), ditaburkan pada tanaman setelah tumbuh (top dressed atau side dressed), dimasukkan bersama biji yang ditanam (pop up), pemupukan lewat daun (foliar application) dan pemupukan lewat air irigasi atau fertigation (Hardjowigeno, 2007).

Bahan Organik

Bahan organik memiliki peranan yang penting bagi tanah. Jumlah bahan organik pada permukaan tanah tidak besar, yaitu hanya sekitar 3 – 5 persen. Peranan bahan organik bagi sifat-sifat tanah dan akibatnya bagi pertumbuhan tanaman, diantaranya memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara makro dan mikro, manambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (kapasitas tukar kation tanah menjadi tinggi) dan menjadi sumber energi bagi mikroorganisme (Hardjowigeno, 2007).

(21)

Bahan organik tanah adalah sisa-sisa bahan secara keseluruhan yang berasal dari jasad hidup, baik berupa bahan yang masih segar maupun yang sudah melalui pembusukan (AAK, 2005). Bahan organik tanah juga diartikan sebagai fraksi yang berasal dari organisme hidup. Bahan organik merupakan sumber unsur mineral yang menjadi tersedia apabila sudah terurai oleh bakteri, cendawan, dan organisme lain dengan membentuk karbondioksida dan air dan pelepasan mineral (Harjadi, 1984).

Beberapa sumber bahan organik, yaitu tanah-tanah hutan, daun-daun dari berbagai tanaman dan sisa hewan yang mati pada permukaan tanah; pada tanah-tanah pertanian yang diperoleh melalui sisa-sisa tanaman setelah panen dan berbagai macam rumput liar, serta tanaman penutup tanah, berbagai pupuk hijau yang dimasukkan ke dalam tanah pada waktu pengolahan tanah; sumber-sumber lain dari bahan organik, seperti pupuk kandang, kompos, dan berbagai jasad-jasad hidup dalam tanah yang sudah mati (AAK, 2005).

Tanah yang sehat mengandung cacing tanah, jamur, bakteri, protozoa, artropoda, alga dan serangga. Bakteri dan organisme tanah lainnya mendekomposisi bahan organik (seperti pupuk kandang), kemudian melepaskan nutrisi dari bahan organik dan mineral tanah bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah, mengatasi penyakit akar dan detoksifikasi tanah (Bradley, 2008). Proses dekomposisi atau mineralisasi bahan organik akan mempengaruhi ketersediaan hara (Setyorini et al., 2006). Ketersediaan unsur hara pada pupuk organik umumnya lambat. Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah untuk diubah dari bentuk ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap oleh tanaman (Sutanto, 2002). Mikroba tanah memetabolisme karbon organik (C) dan mengkonversi senyawa organik N menjadi ammonium. Proses berikutnya mengoksidasi ammonium menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi (Gaskell dan Smith, 2007).

(22)

Limbah Peternakan

Limbah peternakan merupakan limbah yang diperoleh dalam jumlah besar dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Limbah ternak dapat berupa limbah padat (feses) dan limbah cair (urin). Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan, baik berupa limbah padat dan cairan, gas, ataupun sisa pakan (Hidayatullah et al., 2005). Pupuk dari limbah peternakan (cair atau padat) dapat dimanfaatkan untuk menyediakan hara dalam tanah, sebagai sumber bahan organik dan membantu memperbaiki struktur tanah dan kandungan humus, walaupun aplikasi pupuk kandang untuk mengembalikan hara ke tanah hanya sebagian kecil (Lægreid et al., 1999).

Pupuk kandang merupakan sumber bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai penyedia hara bagi tanah dan tanaman. Pupuk kandang terdiri dari beberapa bentuk, yaitu pupuk kandang yang berasal dari lahan pertanian atau pupuk kandang stabil (kering-limbah ternak dicampur dengan sampah/jerami yang digunakan untuk alas), urin (cair), kental (dicampur dengan kotoran kering dan basah) atau kompos.

Setiap pupuk kandang memiliki kandungan hara yang berbeda-beda. Kandungan hara pada pupuk tergantung pada spesies hewan, jenis pakan, metode pengumpulan dan lama penyimpanan. Proses pengolahan pupuk kandang juga tergantung pada metode yang digunakan, baik untuk pengumpulan maupun penyimpanannya (Lægreid et al.,1999). Pupuk kandang mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan tanaman dan merupakan sumber penting untuk penyediaan nitrogen. Pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui pemberian bahan organik yang diperlukan tanaman dan peningkatan kondisi fisik tanah (Splittstoesser, 1990).

Pengolahan limbah ternak menjadi pupuk cair dapat menggunakan bahan yang berasal dari urin (biourin) dan pupuk cair dari kotoran ternak yang padat (biokultur). Pupuk kandang cair merupakan pupuk kandang berbentuk cair yang berasal dari kotoran hewan yang masih segar yang bercampur dengan urin hewan atau kotoran hewan yang dilarutkan dalam air dengan perbandingan tertentu. Urin dihasilkan oleh ginjal dan merupakan sisa hasil

(23)

creatine hasil metabolisme protein. Urin juga berasal dari perombakan

senyawa-senyawa sulfur dan fosfat dalam tubuh (Hartatik dan Widowati, 2006).

Pengolahan limbah ternak menjadi pupuk cair dapat dilakukan melalui proses fermentasi. Hasil analisis di laboratorium menunjukkan kadar hara N, K dan C-organik pada biourin maupun biokultur yang diferrnentasi lebih tinggi dibanding urin atau cairan feses yang belum difermentasi. Kandungan N pada biourin meningkat dari rata-rata 0.34% menjadi 0.89%, sedangkan pada biokultur meningkat dari 0.27% menjadi 1.22%. Kandungan K dan C-organik

juga meningkat drastis (Londra, 2008).

Tabel 1. Kandungan Unsur Hara dan Air Beberapa Jenis Pupuk Kandang

Pupuk Kandang Nitrogen Kadar Unsur Hara dan Air (%) Fosfor Kalium Air

Sapi

-Padat 0.40 0.20 0.10 85

-Cair 1.00 0.50 1.50 92

Kerbau

-Padat 0.60 0.30 0.34 85

-Cair 1.00 0.15 1.50 92

Kambing

-Padat 0.60 0.30 0.17 60

-Cair 1.50 0.13 1.80 85

Domba

-Padat 0.75 0.50 0.45 60

-Cair 1.35 0.05 2.10 85

Sapi : kotoran dan urin* 1.20 – 1.70 0.30 – 1.01 0.50 – 0.94

Domba* 1.50 0.33 1.35

Kelinci* 1.20 – 1.90 0.29 – 0.55 0.46 – 1.67

Ayam** 1.50 1.50 0.80

Sapi** 0.50 0.20 0.50

Sumber : Lingga (1998), *Lekasi et al. (2001), **William et al. (1993)

(24)

Kualitas Selada setelah Panen

Kualitas sayur selada tergantung dari beberapa faktor yang bila dikombinasikan akan menentukan produk tersebut dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Hal ini terbagi atas dua kategori, yaitu 1) sifat-sifat yang mudah teramati (dirasakan) seperti kenampakan, warna, tekstur dan ketegaran (turgidity), 2) sifat-sifat yang kurang mudah teramati (dirasakan dari aroma dan nilai gizi. Kualitas sayuran adalah sifat yang tidak stabil yang harus dipertahankan dalam jangka waktu tertentu (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).

Warna merupakan salah satu pengamatan penampakan bahan pangan yang berperan penting. Warna dapat menarik konsumen secara organoleptik dan dapat digunakan sebagai indikator kualitas serta kandungan gizi (Apriantini, 2009). Warna sayuran juga akan memengaruhi harga sayuran berdasarkan persentase atau banyaknya daun yang menguning, serta kelayakan produk untuk dipasarkan. Persentase daun yang menguning semakin tinggi menyebabkan harga akan semakin menurun dan jika daun yang sudah menguning lebih dari 10 %, maka selada tidak dapat dipasarkan (Utama et al., 2007).

Selada yang telah dipanen harus segera diangkut dari lapangan untuk mempertahankan kualitas yang tinggi. Sayur Selada yang disimpan pada suhu rendah (1 – 2 °C) dan kelembaban yang tinggi (90 – 95 %) dapat bertahan dalam kondisi baik selama 2 – 3 minggu. Pemaparan etilen harus dihindari karena dalam jumlah yang kecil juga dapat menyebabkan sense dini, bercak coklat kemerahan dan kemerosotan kualitas yang nyata (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).

(25)

Pemanfaatan Pupuk Organik dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman

Beberapa penelitian telah membuktikan dengan adanya penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Bahan pembuatan pupuk organik dapat berasal dari limbah ternak (kotoran padat dan urin), sampah dedaunan (jerami, serasah bambu, sisa dedaunan), tulang dan sebagainya. Penggunaan pupuk organik, seperti pupuk kandang, sudah dilakukan petani sejak lama, tetapi penggunaannya dalam jumlah besar menimbulkan kesulitas dalam sumber penyediaan, pengangkutan dan aplikasinya (Hartatik dan Widowati, 2006).

Pupuk organik mempunyai peran yang cukup besar dalam meningkatkan kandungan hara tanah, terutama kandungan C-organik tanah. Tanah-tanah yang mempunyai kandungan C-organik yang rendah mutlak harus diberikan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitas tanah. Dengan semakin meningkatnya kandungan C-organik tanah akan berpengaruh terhadap aktivitas mikroba tanah sehingga ketersediaan hara lebih meningkat (Sirappa dan Razak, 2007).

Aplikasi pupuk kandang meningkatkan produksi kentang lebih dari 50 % dan pisang 11 % (pada petani kecil), pertumbuhan jenis sayuran utama (ubi jalar, wortel, kubis dan buncis Perancis) 43 – 45 % (Lekasi et al., 2001). Tanaman sayuran dan bunga yang telah diberi pupuk cair organik juga memiliki daun yang lebih hijau. Pemberian pupuk organik cair dari urin sapi yang difermentasi dengan dosis 4 000 l/ha mampu menekan penggunaan pupuk kimia sampai 50 % dengan tingkat produksi yang lebih tinggi ± 5 % (Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009).

Padi sawah (Oryza sativa) mengalami pertumbuhan vegetatif yang cukup baik dengan melakukan manajemen jerami dimana salah satunya dengan memberikan kompos jerami padi (Amrah, 2008). Pemberian kompos jerami padi juga meningkatkan produksi tanaman tomat (Pangaribuan dan Pujisiswanto, 2008). Pertumbuhan dan hasil tanaman padi cenderung lebih tinggi dengan menggunakan bahan organik dibanding tanpa pupuk organik baik secara tunggal maupun interaksinya dengan pupuk N, P dan K (Arafah dan Sirappa, 2003).

(26)

organik cair yang bahannya berasal dari ekstrak tumbuhan (daun, bunga, kara, batang dan biji-bijian). Posidan-HT pada dosis 150 ml/l air memberikan pengaruh yang paling baik terhadap pertumbuhan tinggi dan bobot segar tanaman selada (Azis et. al., 2006). Pemberian pupuk hayati yang dikombinasikan dengan pupuk organik menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan hasil Cucumis sativus L. (Rachmat et al., 2005). Penelitian pada tanaman Bit (Beta vulgaris L.) dan selada head (Lactuca sativa L.) menunjukkan terdapat pengaruh nyata pemberian perlakuan pupuk organik terhadap produksi tanaman bit dan selada (Mahasari, 2008).

Tanah Latosol

Tanah latosol memiliki lapisan solum yang tebal sampai sangat tebal, yaitu dari 130 cm s.d. 5 m bahkan lebih, sedangkan batas horizon tidak begitu jelas. Warna tanah ini adalah merah, coklat hingga kekuning-kuningan dengan kandungan bahan organik 3 – 9 persen. Reaksi tanah pH dari jenis tanah ini adalah 4.5 – 6.5, yaitu dari asam sampai agak asam. Tekstur jenis tanah ini umumnya adalah liat, sedangkan strukturnya remah. Ciri-ciri umum lainnya adalah kandungan hara tanah ini rendah hingga sedang, agak sukar merembeskan air, daya menahan air cukup baik dan tahan terhadap erosi (Sarief, 1985).

Daerah penyebaran jenis tanah ini, yaitu pada daerah dengan tipe iklim Alfa-Ama (menurut Koppen), sedang Schmidt dan Ferguson pada tipe A, B, dan C, dengan curah hujan sebesar 2 000 – 7 000 mm/tahun, tanpa atau mempunyai bulan kering kurang dari tiga bulan. Tanah ini terdapat pada daerah dengan ketinggian 10 – 1 000 di atas permukaan laut (m dpl). Daerah penyebarannya terutama di daerah Sumatera dan Sulawesi, tetapi dalam areal yang tidak begitu luas terdapat pula di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Kepulauan Maluku, Minahasa, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.

(27)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian (pembuatan pupuk cair organik dan penanaman selada) dilaksanakan di Kebun Percobaan University Farm Cikabayan, Dramaga, Bogor (persemaian). Kegiatan pascapanen dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai Maret 2011.

Jenis tanah di daerah ini adalah tanah latosol. Daerah ini memiliki ketinggian sekitar 250 m dpl dengan curah hujan selama penelitian cukup tinggi, yaitu 456.5 mm.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan, diantaranya benih selada daun atau keriting var. crispa sebanyak ± 6 g, media tanam semai (tanah, pupuk kandang, sekam), pupuk kandang ayam (sebagai pupuk dasar), urin murni ternak (sapi, domba, kelinci), kotoran padat sapi, larutan gula merah dan EM4. Alat yang digunakan adalah alat budidaya, alat tulis, alat pembuatan pupuk cair (ember dan penutup ember, aerator, kayu pengaduk, plastik), termometer, timbangan digital, oven, gelas ukur dan meteran.

Metode Penelitian

(28)

1. P0 : Tanpa aplikasi pupuk cair organik (hanya pemberian air) 2. P1 : Pupuk cair organik dari urin sapi (biourin sapi)

3. P2 : Pupuk cair organik dari urin domba (biourin domba) 4. P3 : Pupuk cair organik dari urin kelinci (biourinkelinci) 5. P4 : Pupuk cair organik dari kotoran padat sapi (biokultur) 6. P5 : Pupuk cair organik campuran dari biokultur dan urin sapi 7. P6 : Pupuk cair organik campuran dari biokultur dan urin domba 8. P7 : Pupuk cair organik dari campuran biokultur dan urin kelinci

Petak satuan percobaan berukuran 1 m x 5 m, sehingga total luasan lahan yang dibutuhkan seluas 120 m2. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + αi + βi + εij Keterangan :

Yij = Pengamatan pada perlakuan pupuk cair ke – i dan kelompok ke – j µ = Rataan umum pengamatan

αi = Pengaruh pupuk cair pada taraf ke – i βi = Pengaruh kelompok pada taraf ke – j εij = Galat percobaan

Pengaruh perlakuan dapat diketahui dengan menggunakan uji F pada taraf 1% dan 5%. Setiap perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 1% dan 5% apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati.

Pelaksanaan Penelitian 1. Pembuatan Pupuk Cair Biourin dan Biokultur

(29)

kunyit, dan kencur masing-masing sebanyak 1 ons untuk masing-masing pupuk cair. Bahan-bahan tersebut ditumbuk sampai halus, kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik. Pengadukan dilakukan menggunakan kayu pengaduk. Permukaan ember ditutup dengan plastik dan penutup, kemudian larutan dibiarkan selama 10 hari. Pengadukan dilakukan setiap hari selama proses fermentasi (10 hari).

Cara untuk membuat pupuk cair dari kotoran ternak (biokultur), kotoran ternak (feses) sebanyak satu ember berukuran 5 l ditampung di dalam ember berukuran 20 l, kemudian dicampur dengan air sebanyak 10 l. Biokultur diberikan bakteri fermentasi (EM4) sebanyak 60 ml ke dalam ember untuk mempercepat proses pengolahan limbah organik, 600 ml larutan gula merah (0.25 kg gula merah) dan bahan-bahan tambahan. Bahan tambahan yang digunakan diantaranya lengkuas, kunyit, dan kencur masing-masing sebanyak 1 ons untk masing-masing pupuk cair. Bahan-bahan tersebut ditumbuk sampai halus, kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan kayu pengaduk. Permukaan ember ditutup dengan plastik dan penutup, kemudian larutan dibiarkan selama 10 hari. Pengadukan dilakukan setiap hari selama proses fermentasi (10 hari). Hari ke – 11, bagian cairan (yang ada di atas) diambil dan bagian yang mengendap (padat) diperas/dipres. Cairan hasil perasan dapat dicampur dengan cairan yang diambil sebelumnya.

(30)

larutan dibiarkan selama 10 hari. Pengadukan dilakukan setiap hari selama proses fermentasi (10 hari). Hari ke – 11, bagian cairan (yang ada di atas) diambil dan bagian yang mengendap (padat) diperas/dipres. Cairan hasil perasan dapat dicampur dengan cairan yang diambil sebelumnya.

Hari ke – 11, masing-masing pupuk cair organik diaduk menggunakan aerator selama 1 jam 30 menit. Pengadukan menggunakan aerator bertujuan untuk menguapkan amoniak yang bersifat racun bagi tanaman. Tujuan penambahan bahan-bahan tambahan (lengkuas, kunyit, dan kencur) ke dalam pupuk cair adalah untuk menghilangkan limbah ternak dan memberikan rasa yang tidak disukai oleh hama.

2. Persiapan Lahan

Petak penelitian yang digunakan berupa bedengan dengan lebar 0.6 m dan panjang 5 m sebanyak 24 petak dengan jarak antarpetak 0.5 m. Tujuan adanya jarak antarpetak adalah untuk memudahkan saat penanaman, pemeliharaan, pengamatan dan pemanenan. Tinggi bedengan 20 cm dan lebar paritnya 25 cm.

Proses pengolahan tanah, yaitu tanah digemburkan dengan cara dicangkul hingga kedalaman 30 – 40 cm, kemudian diberi pupuk kandang yang berasal dari kotoran padat ayam sebanyak 10 ton/ha. Lahan yang telah dicangkul dibiarkan selama dua minggu agar patogen mati terkena sinar matahari. 3. Persiapan Tanaman dan Penanaman

Penyemaian selada dilakukan terlebih dahulu sebelum penanaman di lapangan. Media yang digunakan adalah tanah yang subur dengan campuran sekam dan pupuk kandang. Perbandingan tanah, sekam dan pupuk kandang adalah 1:1:1. Tanaman di persemaian disiram 1 – 2 kali sehari.

(31)

Penanaman di lahan dilaksanakan pada sore hari. Tiap lubang ditanam satu bibit dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Populasi tanaman per petak sebanyak 75 tanaman. Total tanaman di lapangan sebanyak 1 800 tanaman. Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam (MST) dengan umur bibit yang sama untuk setiap ulangan.

4. Pemupukan

Pemupukan tidak menggunakan pupuk anorganik, tetapi menggunakan pupuk cair organik yang berasal dari limbah ternak. Pemupukan dilakukan setiap seminggu sekali dimulai pada saat awal penanaman (0 MST) di lapangan hingga 3 MST. Pemberian pupuk cair organik sebanyak 300 l/ha dengan konsentrasi 15 %. Kandungan hara pada tanah tergolong rendah sehingga perlu ditambahkan pupuk cair organik dengan dosis yang cukup banyak. Cara memberikan pupuk adalah dengan menyiram pupuk di samping tanaman.

5. Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman perlu dilakukan agar tanaman tumbuh dengan baik. Pemeliharaan yang dilakukan, diantaranya penyiramam tanaman, pembersihan daun dari tanah setelah hujan lebat yang mengganggu proses fotosintesis dan dapat menjadi perantara bibit penyakit, penyiangan gulma di sekitar tanaman, penggemburan dan pembumbunan tanah, pengendalian hama dan penyakit, serta pemupukan tanaman dengan menggunakan pupuk cair.

(32)

6. Pemanenan

Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 65 hari setelah tanam atau 5 MST di lapangan. Ciri-ciri selada daun yang dapat dipanen apabila daun bagian bawah sudah hampir menyentuh tanah. Panen dilakukan pada pagi hari saat cuaca tidak hujan dan berkabut. Panen yang dilakukan pada waktu hujan atau daun masih basah dapat menyebabkan daun rapuh, mudah rusak, dan mudah terinfeksi. Tanaman dipisahkan berdasarkan perlakuan dan ulangan untuk dilakukan pengamatan selanjutnya, yaitu produktivitas dan pengamatan pascapanen.

7. Pascapanen

Hasil panen dikumpulkan pada wadah dan selanjutnya dilakukan pengamatan. Pengamatan pascapanen dilaksanakan segera setelah panen. Proses penyimpanan selada setelah panen (pascapanen) dilaksanakan di Laboratorium Pascapanen dengan suhu ruang selama tujuh hari. Selada yang telah dipanen dipisahkan berdasarkan perlakuan dan ulangan. Sampel yang digunakan untuk pengamatan pengukuran perubahan bobot, kadar air, mutu warna, kesegaran dan visual sebanyak lima sampel selada keriting dari setiap perlakuan pada masing-masing ulangan. Sampel pada masing-masing perlakuan disimpan pada wadah yang berbeda.

Pengamatan dibagi menjadi dua, yaitu pengamatan terhadap tanaman selada yang masih berakar dan selada yang akarnya dipotong (bagian yang dapat dikonsumsi). Sampel yang dipilih adalah selada keriting yang sehat (tidak terkena penyakit) dan bersih untuk mempertahankan kualitas selada.

Pengamatan

(33)

a. Pupuk Cair Organik

Pengamatan untuk pupuk cair organik dilakukan setiap hari, diantaranya warna, suhu dan bau selama proses fermentasi (10 hari).

b. Pertumbuhan

1. Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman yang diukur setiap minggu dimulai dari permukaan tanah hingga ujung daun terpanjang.

2. Jumlah daun tanaman

Jumlah daun dihitung setiap minggu. 3. Bobot akar (g) dan panjang akar (cm)

Parameter akar yang dapat diamati langsung adalah bobot akar dan panjang akar. Pengamatan terhadap parameter akar ini bertujuan untuk melihat penampang akar selada dan hubungan antara tajuk dan akar. Pengambilan sampel harus dilakukan dengan hati-hati agar akar selada tidak rusak. Bobot akar diketahui dengan cara menimbang akar yang telah dipisahkan dari tajuk, sedangkan panjang akar diukur mulai dari pangkal batang di bagian bawah sampai ujung akar. Pengamatan dilakukan seminggu sekali hingga panen dengan menggunakan tanaman selain tanaman contoh.

4. Bobot Basah Tanaman (g)

Bobot tanaman diukur dengan menimbang tanaman menggunakan timbangan. Tanaman yang ditimbang adalah tanaman selain tanaman contoh, yaitu sebanyak satu tanaman untuk setiap ulangan. Penimbangan dilakukan setiap minggu.

5. Bobot kering Tanaman (g)

Pengeringan bahan bertujuan untuk mengurangi kandungan air bahan. Pengeringan dilakukan pada suhu 60 °C dengan menggunakan oven selama satu hingga tiga hari. Setelah itu dilakukan penimbangan bobot bahan tanaman yang telah dikeringkan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap seminggu sekali dengan mengambil satu tanaman selain tanaman contoh.

6. Luas Daun (LD) dengan metode gravimetri

(34)

akan ditaksir luasnya pada sehelai kertas, yang menghasilkan replika (tiruan) daun. Replika daun tersebut kemudian digunting dari kertas, dimana bobot dan luasnya telah diketahui. Luas daun kemudian ditaksir berdasarkan perbandingan bobot replika daun dengan bobot total kertas sebagai berikut.

LD = Wr/Wt x LK

dimana, Wr = bobot kertas replika daun, Wt = bobot total kertas dan Lk = luas total kertas.

Tanaman yang diukur adalah tanaman selain tanaman contoh, yaitu sebanyak satu tanaman untuk setiap ulangan.

7. Indeks Luas Daun (ILD)

ILD adalah perbandingan luas daun tanaman dengan luas tanah yang ditutupi atau ternaungi yang merupakan jarak tanam dari selada, yaitu 20 cm x 20 cm. Apabila A digunakan untuk luas tanah (cm2) dan LD adalah luas daun total di atas luas tanah A (cm2), maka:

ILD = LD/A 8. Kadar Air

Pengukuran kadar air (KA) dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan oven. Pengukuran kadar air dilakukan setiap minggu selama masa pertumbuhan, yaitu 1 – 5 MST. Perhitungan kadar air dilakukan dengan formula berikut :

KA (%) = Bobot Basah (g)− Bobot Kering (g)

Bobot Basah (g) x 100 %

c. Panen

Pengamatan terhadap panen meliputi produksi tanaman per petak dan produksi tanaman per hektar. Produksi tanaman yang diukur adalah bobot tanaman yang menggunakan akar dan setelah itu ditimbang untuk mengetahui produksi tanpa menggunakan akar (akar dipotong).

d. Pascapanen

(35)

metode pengeringan oven. Pengukuran kadar air ini dilakukan selama pascapanen. Perhitungan kadar air dilakukan dengan formula berikut :

KA (%) = Wa− Wb

Wa x 100 %

Keterangan : KA = Kadar air (% bb);

Wa = Bobot sebelum oven hari ke – n (g), n = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 (hari) Wb = Bobot akhir setelah oven (g).

Pengukuran terhadap perubahan bobot dihitung berdasarkan pengurangan bobot awal terhadap bobot hari ke – n dan dibandingkan dengan bobot awal.

PB (%) = Ba− Bb

Ba x 100 %

Keterangan : PB = Perubahan bobot; Ba = Bobot awal (g);

Bb = Bobot selada hari ke – n penyimpanan (g), n = 1, 2, 3, 4, 5, 6 (hari).

Pengamatan secara subjektif (organoleptik) terhadap sayuran meliputi penampakan warna, kesegaran dan mutu visual secara keseluruhan terhadap sayuran. Kriteria – kriteria yang diamati adalah sebagai berikut (Utama et al., 2007).

Tabel 2. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Warna

Kriteria Deskripsi Numerik Skala

Hijau segar Warna daun hijau segar dan tekstur vigor/tegar 5

Hijau Warna hijau dan tekstur kurang vigor 4

Agak kuning <10 %** daun berwarna kuning (berpengaruh terhadap harga)

3 Kuning >10 % – 25 % daun berwarna kuning (tidak bisa

dipasarkan)

2 Kuning sekali >25 % daun berwarna kuning layu dan mengalami

pembusukan 1

Keterangan :

(36)

Tabel 3. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Kesegaran

Kriteria Skala Numerik

Tegar, segar dan berisi (pada daun) 5

Tegar dan agak pucat (kurang segar) 4

Agak layu (dipasarkan terbatas) 3

Layu/lembek (bisa dikonsumsi tapi tidak bisa dipasarkan) 2

Sangat layu dan tidak bisa digunakan 1

Tabel 4. Kriteria dan Skala Numerik Uji Skor Mutu Visual secara Keseluruhan

Kriteria Skala Numerik

Sangat baik, kenampakan segar 5

Baik 4

Biasa (bisa dipasarkan terbatas) 3

Kurang baik (bisa digunakan tetapi

tidak bisa dipasarkan) 2

Tidak bisa digunakan 1

Analisis Contoh Tanah

Analisis contoh tanah dilaksanakan satu kali, yaitu pada awal (sebelum penelitian). Analisis contoh tanah dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB.

Analisis Pupuk Cair

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Kondisi iklim di Kebun Percobaan Cikabayan cukup mendukung pertumbuhan dan perkembangan selada keriting. Jumlah curah hujan selama penelitian (Desember 2010 – Februari 2011) adalah 456.5 mm. Jumlah hari hujan selama penelitian di lapangan adalah 43 hari hujan (Januari – Februari 2011). Suhu rata-rata selama penelitian adalah 25.5 °C. Rata-rata penyinaran matahari sebesar 39.5 %.

Selada keriting dapat ditanam pada daerah dataran tinggi dan juga dataran rendah. Suhu rata-rata selama persemaian hingga penanaman selada di lapangan pada bulan Desember 2010 hingga Februari 2011 adalah 25.5 oC. Pertumbuhan dan perkembangan vegetatif selada sangat peka terhadap suhu dan laju pertumbuhan meningkat dengan meningkatnya suhu. Suhu dapat mempengaruhi kematangan tanaman dan masa panen selada. Suhu udara optimum yang dibutuhkan selada adalah 20 °C pada siang hari dan 10 °C pada malam hari. Suhu lebih dari 30 °C biasanya menghambat pertumbuhan, merangsang tumbuhnya tangkai bunga (bolting) dan menyebabkan rasa pahit (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Sebagian varietas selada ada yang tidak tahan cuaca panas, tetapi selada keriting mampu mengatasi keadaan tersebut (Ashari, 2006).

Serangan hama dan penyakit dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman sehingga kualitas sayuran menurun karena penampakan tanaman yang rusak. Kuantitas produk juga dapat menurun karena sayuran yang terserang tidak dapat diproduksi. Serangan hama dan penyakit pada pertanaman selada tidak begitu besar. Hal ini karena pupuk cair juga bermanfaat sebagai pestisida sehingga tanaman tidak mudah terserang penyakit dan terdapat bahan-bahan tambahan (lengkuas, kencur dan kunyit) yang dimasukkan ke dalam pupuk cair. Bahan-bahan tamBahan-bahan ini dapat bermanfaat sebagai pestisida nabati (Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009).

(38)

siput menyebabkan daun menjadi bolong. Hama ini menyerang tanaman yang masih muda maupun yang tua. Hama siput sering ditemukan pada pangkal daun bagian dalam. Ulat berkembang biak dan menetaskan telurnya pada daun-daun selada yang terletak pada bagian dalam daun. Hama yang menyerang masih bisa dikendalikan dengan mengambil hama pengganggu dan telurnya dengan tangan (Edi dan Bobihoe, 2010).

Penyakit tanaman yang menyerang selada selama masa pertumbuhan adalah bercak hitam (Edi dan Bobihoe, 2010) dan penyakit busuk yang disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani Kuhn yang menyebabkan helaian daun membusuk berwarna coklat (Aini, et al., 2010). Penyakit tanaman umumnya banyak menyerang pada musim hujan.

Gulma yang banyak tumbuh di lahan, diantaranya Mimosa pudica, Amaranthus sp. Sida rhombifolia, Cleome rutidosperma, Comelina benghalensis dan Axonopus compressus. Selada tidak mampu bersaing dengan sebagian besar gulma (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997) sehingga perlu dilakukan pengendalian gulma agar pertumbuhan tanaman tidak terganggu dan hasil yang diperoleh tinggi.

Hasil Analisis Tanah dan Pupuk Cair

Hasil analisis tanah berdasarkan kriteria penilaian sifat tanah (Lampiran 4) menunjukkan bahwa lahan penelitian memiliki pH masam, yaitu 5.30 (H2O) dan 4.60 (KCl) dan bertekstur liat. Kandungan C-organik dan N-total tergolong rendah, yaitu masing-masing sebesar 2 % dan 0.17 %, serta kandungan P2O5 tanah sebesar 7.30 ppm (sangat rendah). Tanah mengandung 5.32 me/100 g kalsium (rendah); 2.07 me/100 g magnesium (tinggi); 0.70 me/100 g kalium (tinggi); 0.70 me/100 g natrium; aluminium 0.82 me/100 g dan KTK yang rendah sebesar 14.92 me/100 g.

(39)

Berdasarkan hasil analisis tanah, pH pada tanah bersifat masam. Selada dapat tumbuh dengan baik pada pH 6.5 – 7 (Ashari, 2006). Kondisi pH yang masam pada lahan tersebut mempengaruhi penyerapan hara oleh tanaman selama pertumbuhan. Kelarutan unsur tertentu pada tanah dan laju penyerapannya oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh pH. Besi, seng, tembaga dan mangan lebih mudah larut pada tanah masam dibandingkan basa karena ion tersebut mengendap sebagai hidroksida pada pH tinggi. Kemasaman pH tanah ini dapat disebabkan karena curah hujan yang tinggi (Salisbury dan Ross, 1995). Kandungan hara tanah pada lahan juga tergolong rendah. Kadar Mg yang tinggi diduga berasal dari bahan induk tanah yang berasal dari kapur. Ketersediaan N dan P pada tanah tergolong rendah sehingga harus ditambahkan pupuk organik (Sutriadi, 2008).

Pupuk organik mempunyai peran yang cukup besar dalam meningkatkan kandungan hara tanah, terutama kandungan C-organik tanah. Tanah-tanah yang mempunyai kandungan C-organik yang rendah mutlak harus diberikan pupuk organik untuk meningkatkan produktivitas tanah. Kandungan C-organik tanah yang semakin meningkat akan berpengaruh terhadap aktivitas mikroba tanah sehingga ketersediaan hara lebih meningkat (Sirappa dan Razak, 2007).

Pupuk dari limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk menyediakan hara dalam tanah, sebagai sumber bahan organik dan membantu memperbaiki struktur tanah dan kandungan humus, walaupun aplikasi pupuk kandang untuk mengembalikan hara ke tanah hanya sebagian kecil (Lægreid et al., 1999). Pupuk kandang mengandung banyak nutrisi yang dibutuhkan tanaman dan merupakan sumber penting untuk penyediaan nitrogen. Pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui pemberian bahan organik yang diperlukan tanaman dan peningkatan kondisi fisik tanah (Splittstoesser, 1990).

(40)

Tabel 5. Hasil Analisis Pupuk Cair Organik sebelum dan setelah Proses Fermentasi

No. Jenis Pupuk Cair N (-) N (+) P (-) P (+) K (-) K (+) %

1 Urin Sapi 0.127 0.153 0.004 0.006 0.640 0.688 2 Urin Domba 0.259 0.260 0.010 0.009 0.740 0.688 3 Urin Kelinci 0.132 0.128 0.006 0.005 0.620 0.460 4 Kotoran Sapi 0.093 0.074 0.034 0.026 0.190 0.134 5 Kotoran Sapi dan Urin Sapi 0.189 0.177 0.036 0.032 0.430 0.383 6 Kotoran Sapi dan Urin Domba 0.256 0.251 0.030 0.033 0.290 0.433 7 Kotoran Sapi dan Urin Kelinci 0.164 0.065 0.037 0.020 0.400 0.418

Keterangan : Tanda (-) : sebelum fermentasi, (+) : setelah fermentasi

Hasil analisis pupuk cair (Tabel 5) menunjukkan pupuk cair organik memiliki kandungan hara dibawah 1 %. Kandungan N setelah fermentasi yang paling tinggi terdapat pada pupuk cair dari urin domba, yaitu 0.260 %. Kandungan pupuk cair dari urin domba ini meningkat dibandingkan sebelum fermentasi. Pupuk cair lain yang mengalami peningkatan kandungan N setelah fermentasi adalah pupuk cair dari urin sapi, yaitu sebesar 0.026 %. Pupuk cair dari campuran kotoran sapi dan urin kelinci memiliki kandungan hara yang paling rendah, yaitu 0.065 %. Kandungan hara ini menurun setelah fermentasi. Awal fermentasi kandungan pupuk cair 0.164 %. Pupuk cair lainnya yang mengalami penurunan setelah fermentasi adalah pupuk cair dari urin kelinci (0.004 %), kotoran sapi (0.019 %), campuran kotoran sapi dan urin sapi (0.012 %) serta kotoran sapi dan urin domba (0.099 %).

Kandungan fosfor dari setiap pupuk cair organik sangat kecil dan mengalami penurunan setelah fermentasi, kecuali pupuk cair dari urin sapi. Peningkatan kandungan hara pupuk cair dari urin sapi ini juga sangat kecil, yaitu 0.002 %. Kandungan hara yang paling tinggi setelah fermentasi adalah pupuk cair dari campuran kotoran sapi dan urin kelinci, sedangkan yang terendah adalah pupuk cair dari urin kelinci.

(41)

pupuk cair dari urin sapi mengalami peningkatan, yaitu dari 0.640 %. Pupuk cair lain yang mengalami peningkatan jumlah hara, diantaranya pupuk cair dari campuran kotoran sapi dan urin domba serta kotoran sapi dan urin kelinci, masing-masing sebesar 0.143 % dan 0.018 %.

Pupuk kandang dari limbah ternak memiliki kandungan hara yang berbeda-beda, tergantung pada spesies hewan, jenis pakan, metode pengumpulan dan lama penyimpanan pupuk (Lægreid et al., 1999). Berdasarkan hasil analisis, kandungan hara beberapa pupuk cair organik yang telah difermentasi memperlihatkan peningkatan atau penurunan kandungan hara dibandingkan sebelum difermentasi. Kondisi ini tidak sesuai dengan pernyataan Londra (2008), dimana kandungan unsur hara pada biourin maupun biokultur yang difermentasi lebih tinggi dibanding urin atau cairan feses yang belum difermentasi. Kandungan hara yang rendah pada pupuk cair organik dapat disebabkan mikroba fermentasi yang digunakan kurang mampu melarutkan hara tersebut (Londra, 2008). Pupuk cair organik masih dapat dimanfaatkan untuk menyediakan hara dalam tanah, sebagai sumber bahan organik dan membantu memperbaiki struktur tanah walaupun pupuk cair tidak terfermentasi dengan sempurna dan memiliki kandungan hara yang kecil (Lægreid et al., 1999).

Tanah yang sehat mengandung cacing tanah, jamur, bakteri, protozoa, artropoda, alga dan serangga. Bakteri dan organisme tanah lainnya mendekomposisi bahan organik (seperti pupuk kandang), kemudian melepaskan nutrisi dari bahan organik dan mineral tanah bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah, mengatasi penyakit akar dan detoksifikasi tanah (Bradley, 2008).

Total Hara yang Diperoleh Selada Keriting

(42)

Tabel 6. Total Hara yang Diperoleh Selada selama Pertumbuhan di Lapangan Hara Tanah (ppm) Hara Pupuk Kandang Ayam* (ppm) Hara Pupuk Cair Organik (ppm) Total (g/m3)

Kebutuhan Hara Selada

(g/m2)**

Kebutuhan Hara Selada

(g/m3)*** Tanpa Pemberian Pupuk Cair Organik (Hanya Pemberian Air)

N 1 700.00 1 500 0 3200.00 24.9 124.5

P2O5 7.30 1 500 0 1507.30 31.1 155.5

K2O 2 731.00 800 0 3531.00 11.2 56

Pemberian Pupuk Cair Organik dari Urin Sapi

N 1 700.00 1 500 1 532.30 4 732.30 24.9 124.5

P2O5 7.30 1 500 55.94 1 563.24 31.1 155.5

K2O 2 731.00 800 6 875.00 10 406.00 11.2 56

Pemberian Pupuk Cair Organik dari Urin Domba

N 1 700.00 1 500 2 604.91 5 804.91 24.9 124.5

P2O5 7.30 1 500 91.54 1 598.84 31.1 155.5

K2O 2 731.00 800 6 875.00 10 406.00 11.2 56

Pemberian Pupuk Cair Organik dari Urin Kelinci

N 1 700.00 1 500 1 281.56 4 481.56 24.9 124.5

P2O5 7.30 1 500 49.16 1 556.46 31.1 155.5

K2O 2 731.00 800 4 600.00 8 131.00 11.2 56

Pemberian Pupuk Cair Organik dari Kotoran Padat Sapi (Biokultur)

N 1 700.00 1 500 738.39 3 938.39 24.9 124.5

P2O5 7.30 1 500 262.76 1770.06 31.1 155.5

K2O 2 731.00 800 1 340.00 4 871.00 11.2 56

Pemberian Pupuk Cair Organik dari Campuran Urin Sapi dan Biokultur

N 1 700.00 1 500 1 769.11 4 969.11 24.9 124.5

P2O5 7.30 1 500 317.00 1 824.30 31.1 155.5

K2O 2 731.00 800 3 825.00 7 356.00 11.2 56

Pemberian Pupuk Cair Organik dari Campuran Urin Domba dan Biokultur

N 1 700.00 1 500 2 507.40 5 707.40 24.9 124.5

P2O5 7.30 1 500 330.56 1 837.86 31.1 155.5

K2O 2 731.00 800 4 325.00 7 856.00 11.2 56

Pemberian Pupuk Cair Organik dari Campuran Urin Kelinci dan Biokultur

N 1 700.00 1 500 654.71 3 854.71 24.9 124.5

P2O5 7.30 1 500 201.73 1 709.03 31.1 155.5

K2O 2 731.00 800 4 175.00 7 706.00 11.2 56

Keterangan : 1 ppm = 1 mg/l = 1 g/m3; * William et al., 1993; **Maynard dan Hocmuth dalam Susila, 2006; ***Perhitungan berdasarkan volume tanah (Lampiran 2)

(43)

Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Artinya, perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap semua parameter yang diamati. Bahan organik tanah bertambah dengan adanya pemberian pupuk kandang dan pupuk cair organik. Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah dan diubah dari bentuk ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat diserap oleh tanaman (Sutanto, 2002). Kondisi tanah pada lahan semakin baik karena adanya penambahan bahan-bahan organik tersebut. Hal ini diduga mempengaruhi kondisi pertumbuhan dan hasil tanaman selada sehingga pengaruh yang diberikan oleh masing-masing perlakuan sama.

Pupuk Cair Organik

Pupuk cair organik mengalami perubahan warna, suhu dan bau selama proses fermentasi. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas dari mikroorganisme yang terkandung di dalam pupuk cair.

a. Warna

Pupuk cair organik yang diamati mengalami perubahan warna selama proses fermentasi. Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Warna

Jenis Pupuk Cair 1 2 3 Hari Pengamatan (Hari ke-) 4 5 6 7 8 9 10

Urin Sapi ++ ++ ++ ++ ++ + + + + +

Urin Domba ++++ ++++ ++++ ++++ ++++ +++ +++ +++ +++ +++

Urin Kelinci +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ + + +

Kotoran Sapi (Biokultur) +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ ++ ++ ++

Biokultur dan Urin Sapi +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ ++ ++ ++

Biokultur dan Urin Domba ++++ ++++ ++++ ++++ ++++ +++ +++ +++ +++ +++

Biokultur dan Urin Kelinci +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ ++ ++ ++

Keterangan : + (kecoklatan); ++ (coklat, agak gelap); +++ (coklat, gelap); ++++ (coklat, sangat gelap)

(44)

antara urin domba dan kotoran sapi menunjukkan warna coklat yang sangat gelap dan pekat. Setelah proses fermentasi dihentikan (pupuk dapat digunakan), pupuk cair ini juga masih memiliki warna coklat yang lebih gelap dibandingkan pupuk cair lainnya.

Pupuk cair organik dari urin kelinci dan yang dikombinasikan dengan kotoran sapi memiliki warna coklat yang gelap sampai hari kelima selama proses fermentasi. Warna pupuk cair semakin kecoklatan pada hari keenam (agak gelap). Pupuk cair organik dari urin kelinci memiliki warna yang hampir sama dengan pupuk cair yang berasal dari urin sapi setelah delapan hari proses fermentasi. Sedangkan pupuk cair organik dari urin kelinci yang dikombinasikan dengan kotoran sapi tidak menunjukkan warna yang tetap hingga akhir proses fermentasi. Kotoran sapi memiliki perubahan warna coklat gelap menjadi agak gelap setelah enam hari proses fementasi. Pupuk cair ini memiliki warna yang tetap hingga proses fermentasi berakhir.

b. Suhu

Suhu pada pupuk cair organik selama proses fermentasi cenderung berfluktuasi. Hasil pengamatan suhu terhadap pupuk cair organik dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Suhu

Jenis Pupuk Cair 1 2 Hari Pengamatan (Hari ke-) Suhu (°C) 3 5 6 7 8 9 10

Urin Sapi 25 25 26 24 24 24 25 26 26

Urin Domba 26 25 26 24 24 24 25 25 25

Urin Kelinci 26 26 27 25 25 25 26 26 26 Kotoran Sapi (Biokultur) 26 25 27 25 25 25 26 27 27 Biokultur dan Urin Sapi 26 26 26 24 25 25 25 26 26 Biokultur dan Urin Domba 26 26 27 24 25 25 26 26 26 Biokultur dan Urin Kelinci 26 26 26 25 25 25 26 26 26

(45)

yaitu 25 °C, sedangkan pupuk cair organik lainnya memiliki suhu yang sama, yaitu 26 °C. Pupuk cair dari urin sapi, urin domba, campuran urin sapi dan kotoran sapi, serta campuran urin domba dan kotoran sapi memiliki suhu yang paling rendah (24 °C) pada hari kelima proses fermentasi. Suhu pada pupuk cair campuran antara urin sapi dan kotoran sapi dan campuran antara urin domba dan kotoran sapi meningkat menjadi 25 °C pada hari keenam. Sedangkan pupuk cair dari urin sapi dan domba mengalami peningkatan suhu pada hari ketujuh saat proses fermentasi.

Suhu selama proses fermentasi berkisar 24 – 27 °C. Suhu yang baik untuk fermentasi adalah 30 – 35 °C. Suhu tersebut adalah suhu dimana mikroorganisme dapat bekerja secara optimal untuk merombak bahan-bahan organik (Ginting, 2007). Suhu 35 °C merupakan suhu optimum untuk perkembangbiakan metanogen pendegradasi bahan organik. Suhu pupuk cair selama fermentasi tidak mencapai suhu optimal. Hal ini diduga karena adanya pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan yang berubah dapat menyebabkan penurunan suhu selama proses fermentasi, dimana suhu yang rendah pada malam hari yang menyebabkan kondisi di dalam wadah (ember) menjadi rendah. Kondisi ini dapat memengaruhi hasil akhir dari fermentasi sehingga kandungan hara dari pupuk cair tidak optimal (Wijaya, 2010).

c. Bau

Perubahan bau pada pupuk organik cair organik juga terjadi selama proses fermentasi. Hasil dari pengamatan dari perubahan bau pupuk cair organik dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Hasil Pengamatan Pupuk Cair Berdasarkan Bau

Jenis Pupuk Cair 1 2 3 Hari Pengamatan (Hari-ke) 4 5 6 7 8 9 10

Urin Sapi + +++ +++ +++ +++ ++ ++ ++ + +

Urin Domba +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++

Urin Kelinci ++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ ++ + +

Kotoran Sapi (Biokultur) + +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ Biokultur dan Urin Sapi ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ Biokultur dan Urin Domba +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ Biokultur dan Urin Kelinci ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++

(46)

Tabel 9 menunjukkan hasil perubahan bau pada pupuk cair selama proses fermentasi. Pupuk cair tetap memiliki bau sampai akhir proses fermentasi dan saat digunakan. Umumnya, bau amoniak pada pupuk cair organik berkurang, kecuali yang terbuat dari urin domba. Pupuk cair dari urin sapi dan urin kelinci memiliki tingkat bau yang lebih kecil dibandingkan yang lain. Bau amoniak pada pupuk cair organik selama fermentasi semakin berkurang menunjukkan proses fermentasi sudah berjalan dengan baik (Prabukusuma dan Sulistyorini, 2009), tetapi terdapat faktor lain yang memengaruhi kondisi pupuk cair organik saat fermentasi.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pertumbuhan, Produksi dan Pascapanen Selada

Koefisien keragaman (KK) atau keragaman relatif terhadap besaran data adalah :

KK = σ

Y x 100 % = √ KTG

Y x 100%

Nilai koefisien keragaman yang terlalu besar bila dibandingkan dengan nilai yang biasa diperoleh peneliti, mencerminkan bahwa unit-unit percobaan yang digunakan tidak homogen. Besaran ideal dari nilai KK yang dianggap wajar adalah 20 % – 25 %. Besaran KK bisa digunakan sebagai alat untuk mendeteksi apakah data yang diperoleh perlu ditransformasi. Jika nilai KK lebih besar dari batas kewajaran merupakan indikasi bahwa data sebaiknya ditransformasi sebelum melakukan analisis (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

Tabel 10. Hasil Sidik Ragam Pertumbuhan, Produksi dan Pascapanen Selada

Peubah Pengamatan Perlk KK (%) Pengamatan Tanaman Contoh

Jumlah Daun

5 HST tn 6.29

1 MST tn 6.64

2 MST tn 8.26

3 MST tn 15.97

4 MST tn 20.87

(47)

Tabel 10. (Lanjutan)

Peubah Pengamatan Perlk KK (%) Tinggi Tanaman

5 HST tn 6.63

1 MST tn 7.29

2 MST tn 7.73

3 MST tn 16.05

4 MST tn 17.35

5 MST tn 21.75

Pengamatan Tanaman Non Contoh Panjang akar

1 MST tn 14.83

2 MST tn 19.83

3 MST tn 20.27

4 MST tn 13.54

5 MST tn 15.89

Bobot Akar

1 MST Trans tn 12.11

2 MST Trans tn 14.53

3 MST Trans tn 10.10

4 MST Trans tn 12.88

5 MST Trans tn 15.29

Bobot Basah Tanaman

1 MST Trans tn 19.17

2 MST tn 24.39

3 MST Trans tn 23.28

4 MST Trans tn 24.84

5 MST Trans tn 24.83

Bobot Kering Tanaman

1 MST Trans tn 4.97

2 MST Trans tn 11.87

3 MST Trans tn 8.48

4 MST Trans tn 20.09

5 MST Trans tn 19.13

Luas Daun

1 MST Trans tn 25.00

2 MST tn 21.61

3 MST Trans tn 21.15

4 MST Trans tn 24.97

5 MST Trans tn 21.23

Indeks Luas Daun

1 MST Trans * 2.90

2 MST tn 21.61

3 MST tn 11.22

4 MST tn 19.02

5 MST tn 15.83

Kadar Air per Minggu

1 MST tn 4.34

2 MST tn 7.96

3 MST tn 1.12

4 MST tn 4.23

[image:47.612.136.501.84.703.2]
(48)

Tabel 10. (Lanjutan)

Peubah Pengamatan Perlk KK (%) Panen

Produksi Per ha dgn Akar (Trans) tn 24.77 Produksi Per ha tanpa Akar (Trans) tn 23.18 Pasca Panen

Perubahan Bobot Berakar

1 Hari tn 21.79

2 Hari tn 14.27

3 Hari tn 13.30

4 Hari tn 13.78

5 Hari tn 12.56

6 Hari tn 7.69

Perubahan Bobot Tidak berakar

1 Hari Trans tn 24.60

<

Gambar

Tabel 10. (Lanjutan)
Tabel 10. (Lanjutan)
Gambar 1. Rata-rata Jumlah Daun pada Selada
Gambar 2. Rata-rata Tinggi Tanaman pada Selada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data dan hasil analisis statistik bahwa pemberian pupuk organik cair Hormon Tanaman Unggul pada tanaman selada berpengaruh tidak nyata terhadap semua parameter yaitu tinggi

Perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun, bobot segar total per sampel, bobot segar jual per sampel, dan bobot segar akar per

Perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun, bobot segar total per sampel, bobot segar jual per sampel, dan bobot segar akar per

Hasil penelitian menunjukan bahwa Perlakuan pupuk organik rumput laut tidak berpengaruh nyata terhadap hampir semua peubah yang diamati, kecuali tinggi tanaman (4

Tanaman yang diberi pupuk organik cair kulit pisang kepok memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan tinggi batang tanaman selada (Lactuca sativa) pada

Interaksi antara pemberian pupuk organik cair urin kambing dan perlakuan jarak tanam menunjukkan respon yang tidak nyata terhadap bobot segar total per sampel

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pupuk dari limbah kulit pisang kepok kuning berpengaruh nyata pada semua parameter pengamatan, kecuali pada jumlah daun.. Hasil

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata antara perlakuan pupuk cair dan pupuk kandang sapi terhadap jumlah daun tanaman selada, begitu