• Tidak ada hasil yang ditemukan

Power Relations of Waste Management in TPA Cipayung - Depok City.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Power Relations of Waste Management in TPA Cipayung - Depok City."

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI KUASA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

DI TPA CIPAYUNG KOTA DEPOK

BAMBANG CAPICOREN

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

(4)
(5)

BAMBANG CAPICOREN. Power Relations of Waste Management in TPA Cipayung - Depok City. Under direction of RILUS A KINSENG and SAHARUDDIN.

Waste problems faced by the city of Depok such as the accumulation of garbage in some areas of the city Depok due to illegal waste disposal, yet garbage management in landfills and waste disposal in waterbodies across the Depok city. This would be a serious problem because of the production of waste increase every day. Objectives of this study were (1) to analyzethe role of the actors in the way of power in the field of waste management, Depok city, (2) Mapping of actors and interests in waste management, and (3) analyze the relationship and power based actors involved in waste management in Depok area. The results showed that many of the parties involved in waste management, ranging from household or individual persons. The actors interact with each other, intertwined among actors with each other. Each actor can be in the form of individuals or institutions or organizations. Activities of these actors, as well as the relationships between each other, influenced conditions of handling waste. Interests of the parties/actors involved in waste management, as well as the reason why away of handling garbage chosen by individuals/actors, thus affecting the physical appearance of the city of waste side. People cannot wait because the garbage produced everyday, so that using the powers that be in access; the people throw trash on the roadside, unused land and on the river bank/riparian times. There is no one system that can integrate waste management practices, ranging from the source of the waste to landfills. Segmentalisation of handling the waste created as the creativity of the actors in order to exercise power to ensure continuity of interests. Power relations at the level of waste management policy, has shown that the main tasks and functions, as a product of government policy has led to be some waste handled by the agency. But thelinkage/relationship between institutions that are connected by trash, opening opportunities such agencies competing for power imbalances in the control infrastructure, are also strained relations between institutions because of the border and levies.

(6)
(7)

BAMBANG CAPICOREN. Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok. Dibimbing oleh : RILUS A KINSENG dan SAHARUDDIN

Kota Depok sebagai Kota Satelit dan mempunyai fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) bersama-sama dengan Kota Bogor, Tangerang, Bekasi dan DKI Jakarta menjadikan Kota Depok berada pada kondisi strategis baik dari segi transportasi, perdagangan, maupun pemukiman. Hal ini menjadikan Kota Depok sebagai pilihan untuk daerah pemukiman. Akibatnnya, Kota Depok mengalami kenaikan jumlah penduduk, dari 1.420.480 jiwa (2006) menjadi 1.736.565 jiwa pada tahun 2010. Salah satu dampak negatif dari pertambahan jumlah penduduk di Kota Depok adalah masalah persampahan.

Permasalahan sampah yang dihadapi oleh Pemda Depok diantaranya adalah terjadinya timbunan sampah dibeberapa wilayah kota Depok akibat pembuangan sampah liar, belum terkelolanya sampah di tempat penampungan akhir (TPA), dan pembuangan sampah di badan-badan air (sungai) yang melintasi wilayah kota Depok. Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok (2012), timbulan sampah yang dihasilkan Kota Depok semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduknya yang telah mencapai ± 1,8 juta jiwa. Pada tahun 2012 dengan asumsi sampah yang dihasilkan per orang per hari sebanyak 2,5 liter sampah, maka jumlah sampah yang dihasilkan di Kota Depok adalah 4.500 M³ per hari.

Keterbatasan sarana dan prasarana pengolahan, lemahnya manajemen pengelolaan mengakibatkan tidak terurusnya tumpukan sampah yang menggunung di TPA. Bau sampah yang menusuk karena truk yang lewat dan sampah berceceran di jalan menuju TPA, juga mengakibatkan komunitas sekitar TPA tidak simpatik terhadap Pemkot, sehingga tercipta hubungan yang kurang harmonis dengan sebagian komunitas sekitar TPA, kondisi tersebut pada akhirnya memicu timbulnya konflik antara Pemerintah dengan komunitas yang tidak dapat terelakkan lagi. Penolakan komunitas terhadap keberadaan TPA semakin tinggi, perlawanan melalui Forum Masyarakat Cipayung (FORMAC) makin intens dilakukan, tapi dilain pihak Forum Komunikasi Masyarakat Pemantau-Tempat Pembuangan Akhir Sampah (FKMP-TPAS) tetap tenang bahkan mereka mensosialisasikan beberapa program kesehatan untuk masyarakat sekitar TPA. Lampak dan pemulung yang wilayah operasinya di TPA, juga tidak banyak ambil peduli terhadap keberatan FORMAC, ini bisa disadari karena area itu jadi lahan utama usaha mereka. Merujuk pada perspektif kekuasaan yang dikemukakan oleh Foucault, bahwa kekuasaan dimaknai sebagai kompleks strategi yang dijalankan pihak tertentu dengan tujuan mendorong pihak lain untuk patuh atau taat, atau membuat pihak lain tunduk, atau membuat pihak lain memberi dukungan terhadap pihak itu (Maring, 2010). Dalam situasi itu, kekuasaan bagaikan perang bisu yang bisa melahirkan ragam hubungan berupa konflik, perlawanan dan kolaborasi antar pihak. Kekuasaan yang terkonstruksi dalam tujuan yang menggerakkan pilihan strategi, mekanisme dan taktik tertentu untuk mewujudkan tujuan itu. Pilihan strategi, mekanisme dan taktik itu menentukan corak hubungan yang terjadi apakah konflik, perlawanan atau kolaborasi.

(8)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak pihak/aktor yang terlibat dalam pengelolaan sampah, mulai dari tingkat rumah tangga, tingkat bak sampah, tingkat TPS sampai tingkat TPA. Aktor yang terlibat mulai dari rumah tangga atau orang perorang yang menghasilkan sampah, aktor penanganan sampah perorangan, aktor-aktor yang mewakili lembaga seperti RT, RW, DKP, DKUP, UPTD TPA, DISHUB, DIBIMASDA. Bahkan pemulung, lampak pemulung, forum masyarakat, satpam dan pembantu rumah tangga baik secara langsung maupun tidak langsung, juga terlibat dalam penanganan sampah. Para aktor ini saling berinteraksi, saling kait mengkait antara satu dengan lainnya. Masing-masing aktor tersebut bisa dalam wujud orang perorangan maupun dalam wujud lembaga atau organisasinya. Aktivitas para aktor serta hubungan-hubungan antar sesamanya, mempengaruhi kondisi dari penanganan terhadap sampah di wilayahnya masing-masing.

Perpindahan sampah terjadi dari sumber sampah di tingkat rumah tangga, menuju tempat pembuangan sampah, melewati bak sampah kemudian ke TPS dan terakhir ke TPA. Pada semua tingkatan tersebut (tingkat rumah tangga, bak sampah, TPS dan TPA) terjadi praktek penanganan sampah dimana orang perorang/aktor sebagai pelaku terlibat dalam relasi-relasi kuasa. Kepentingan-kepentingan orang perorang/aktor bisa dieksplorasi dari praktek-praktek yang dijalankannya, juga cara-cara yang diambil atau saluran-saluran yang dipilih oleh aktor untuk meluluskan atau memenangkan persaingan untuk mencapai tujuannya.

Pada tingkat bak sampah yang terletak di perumahan, banyak aktor yang terkait tali temali atau berelasi di wahana sosial ini. Bak sampah, tempat rumah tangga membuang sampahnya secara sementara, ternyata juga menjadi arena perebutan para aktor dalam mengais rejeki, berinteraksi dan penerapan sanksi/hukuman. Diantara aktor yang ber-relasi terdapat juga konflik (iuran warga terkait pengangkutan sampah), persaingan (sesama pemulung, petugas kebersihan, satpam) sampai melahirkan strategi untuk menjalankan kuasa pemulungan di tingkat bak sampah (kasus Mpok Gth yang menambah jadwal/waktu pulungan).

Pada relasi kuasa tingkat TPS hubungan-hubungan kekuasaan yang terjadi terjalin mengalir, menyatu, dan sekali-kali berpisah dalam satu bingkai yaitu motivasi ekonomi, sehingga bekerjanya kekuasaan sangat tergantung pada situasi dan sekaligus kepentingan masing-masing para aktor secara terus menerus. Adanya keberatan warga terhadap TPS perumahan dan masih berjalannya pembuangan sampah ke TPS itu, merupakan bukti bahwa pada umumnya masih ada kecenderungan bagi para aktor memanfaatkan peluang-peluang untuk membangun hubungan-hubungan yang bersifat non-formal yang salah satunya melalui negosiasi atau sembunyi-tau. Dalam relasi kuasa antar aktor terdapat unsur-unsur persaingan, kompetisi, kontestasi, resistensi (perlawanan) dan juga adanya konsensus, negosiasi serta kerjasama. Dalam konteks ini, kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun. Setiap orang, siapapun dia dapat memainkan kekuasaan dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain.

(9)

mencapai kepentingan masing-masing, yang pada akhirnya menghasilkan hubungan perlawanan (resistance). Basis kekuasaan FORMAC berupa klaim territorial karena wilayah mereka dilewati oleh truk sampah DKP dan ini sangat mengganggu mereka. FKMP-TPAS (Forum Komunikasi Masyarakat Pemerhati – Tempat Pembuangan Akhir Sampah) yang mayoritas anggota adalah penduduk asli sekitar TPA/bukan pendatang, kerjasama dengan pemerintah maka hubungan kekuasaan mengarah pada kolaborasi, dengan basis kekuasaan berupa klaim penduduk asli. Terjadi kontestasi kekuasaan antara FKMP-TPAS dengan FORMAC terbukti waktu FORMAC menyuarakan penolakannya terhadap TPA atas alasan kesehatan (lalat dan penyakit) dan alasan lingkungan (bau dan bising), maka FKMP-TPA mengkonter penolakan tersebut dengan mensosialisasikan kepada anggotanya wacana TPA telah memenuhi kepentingan lapangan kerja 400-an orang asli setempat serta isu lainnya seperti ketidakpedulian FORMAC yang beranggota pendatang baru itu atas lapangan kerja orang setempat.

Relasi-relasi kuasa pada level kebijakan pengelolaan sampah, telah menunjukkan bahwa TUPOKSI sebagai produk politik pemerintahan Depok telah menyebabkan sampah ditangani oleh beberapa OPD/Dinas. Tapi pertautan (relasi) antar Dinas yang dihubungkan oleh sampah, membuka peluang Dinas-dinas tersebut bersaing karena ketimpangan kekuatan dalam pemilikan/penguasaan sarana dan prasarana. Selain ketimpangan dalam sarana dan prasarana, relasi antar instansi tegang gara-gara perbatasan dan retribusi. Pada perbatasan wilayah mengangkut sampah sering terjadi ketegangan ketika terjadi wilayah arsiran/wilayah abu-abu, Dinas mana yang harus mengangkut sampah. Demikian juga dalam halnya retribusi, masing-masing instansi mengejar retribusi dari sampah. Pengumpulan retribusi menjadi panglima, dan pengelolaan sampah menjadi yang kedua. Kalau boleh disebut maka, ini yang dinamakan ideologi retribusi dan lawannya ideologi kebersihan.

(10)
(11)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(12)
(13)

BAMBANG CAPICOREN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)
(15)
(16)

Nama : Bambang Capicoren

NRP : I353090051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rilus A Kinseng, MA Dr. Ir. Saharuddin, MS

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan (SPD)

Dr. Ir Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr Dr. Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

(17)
(18)

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan karunia dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis dengan judul Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung, Kota Depok. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Juli 2012 sampai dengan Desember 2013.

Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Pada Kesempatan ini, ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Rilus A Kinseng, MA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir.

Saharuddin, MS selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingannya sejak menyusun proposal hingga selesainya penyusunan tesis ini, karena telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran dan masukan guna penyempurnaan tesis ini.

2. Dr. Ir. Ivanovich Agusta, SP. MSi selaku penguji dalam ujian tesis, yang telah memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.

3. Pimpinan program studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr atas perhatian dan dukungannya selama kuliah maupun selama penyelesaian tesis. Tidak lupa terima kasih kepada staf. PS Sosiologi Pedesaan, Ibu. Anggra B Pasaribu atas bantuan dalam pengurusan administrasi selama kuliah dan penyelesaian tesis ini.

4. Kedua orang tuaku ibu dan almarhum bapak tercinta serta istri tersayang (Yayah Rodiana), adik-adik dan ponakan serta seluruh keluarga besar Alm. H. Abdul syukur dan Alm. Abdullah Daskan, atas do’a serta dukungannya yang tak terhingga untuk penulis.

(19)

7. Pemerintah Kota Depok, khususnya DKP dan UPTD-TPAS, atas segala bentuk dukungan dan informasi yang diberikan.

8. Masyarakat Kelurahan Cipayung dan berbagai pihak yang terlibat atas dukungan, pemberian data dan informasi yang tak ternilai harganya demi lancarnya penelitian dan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam tesis ini, karena keterbatasan penulis. Oleh karenanya saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Atas segala do’a, dukungan dan perhatian semua pihak, penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Bapak, Ibu dan Saudara semuanya.

Bogor, Juni 2013.

(20)

Penulis dilahirkan di Purwakarta pada tanggal 15 Januari 1971 sebagai anak sulung dari orang tua yang bernama H. MA. Syukur dan Rokayah. Pendidikan formal dari SD s.d. SMA diselesaikan di Purwakarta. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2009, penulis diterima di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Program Pascasarjana IPB.

(21)
(22)

ABSTRACT 1.3. Tujuan Penelitian………... 1.4. Manfaat Penelitian………....

(23)

4.2. Gambaran Umum Kondisi Pengeloaan Sampah di Depok ... 37

V. RELASI KUASA PENGELOLAAN SAMPAH ... 5.1. Gambaran Alur Perpindahan Sampah ... 5.1.1. Relasi Kuasa Sampah Tingkat Rumah Tangga ... 5.1.2. Relasi Kuasa Sampah Tingkat Bak Sampah ... 5.1.3. Relasi Kuasa Sampah Tingkat TPS ... 5.1.4. Relasi Kuasa Sampah Tingkat TPA ... 5.2. Relasi Kuasa pada Tataran Kebijakan Pengelolaan

Sampah ... 47 47 48 60 69 79

97

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran ... ..

108 108 112

DAFTAR PUSTAKA ... 114

(24)

Halaman

(25)
(26)

Halaman

1. Jenis Sampah ……….. 10

(27)
(28)

1.1. Latar Belakang

Persoalan sampah masih menjadi masalah serius di Kota Depok. Hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya tumpukan sampah di berbagai sudut Kota, sebagai potret buram buruknya penanganan sampah di kota ini. Masih adanya pembuang sampah liar di beberapa tempat di wilayah Kota Depok, diantaranya di Jl. Kavling DPR kelurahan Serua(Jurnal Depok, edisi Minggu : 22 Juli 2012), adanya sejumlah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) liar di Jl. Raya Pengasinan (Monitor Depok, edisi Selasa : 31 Juli 2012), adanya tumpukan sampah liar di Jl. Raya Ciputat-Parung (Jurnal Depok, edisi Minggu : 2 September 2012).Belum optimalnya penampungan dan tempat pembuangan sampah di kelurahan Bakti Jaya dan adanya TPS liar di Jl. Raya Citayam, yang sampahnya sudah meluber hingga ke badan Kali Baru (Jurnal Depok, edisi Selasa : 4 September 2012).

(29)

Depok. Hal ini akan menjadi masalah serius karena jumlah sampah akan terus bertambah setiap harinya.

Pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif bisa mengakibatkan bertambahnya jumlah timbulan sampah, yang pada akhirnya meningkatkan beban TPA karena adanya ketidaksanggupan TPA menampung jumlah timbulan sampah yang semakin hari semakin bertambah (Handono, 2010). Selain itu, timbulan sampah di perkotaan makin meningkat jumlahnya seiring bertambahnya jumlah penduduk dan banyaknya kegiatan yang terus memusat di perkotaan (sentralisasi kota). Sampah-sampah yang jumlahnya terus meningkat, dan tak sepenuhnya dapat ditanggulangi, akhirnya menimbulkan masalah antara lain masalah kebersihan/keindahan, kesehatan dan/atau lingkungan hidup kota, bahkan karena terlalu banyaknya sampah yang masuk ke TPA bisa mengakibatkan keresahan masyarakat meningkat, penuhnya TPA dan susah penanganannya karena sampah hanya ditumpuk begitu saja. Pernyataan mengkhawatirkan dari pemerintah Kota Depok yang memprediksi bahwa pada tahun mendatang, TPA Cipayung tak mampu lagi menampung sampah dari masyarakat, pada tahun mendatang TPA Cipayung akan overload1(Jurnal Depok, Jum’at 21 September 2012.)

Menurut Hidayat (2008) pada awal pengoperasiannya, sampah yang masuk ke TPA langsung diolah sehingga tidak menimbulkan permasalahan bagi masyarakat sekitar, tetapi dalam perkembangannya, pengelolaan TPA menjadi semakin buruk. Sampah yang sebelumnya ditimbun dari waktu ke waktu berubah menjadi hanya ditumpuk dan dibiarkan saja, hal ini menimbulkan protes dari warga sekitar TPA. Semakin meningkatnya volume timbulan sampah tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan, baik langsung maupun tidak langsung bagi penduduk Kota Depok.

1

(30)

Dampak langsung dari penanganan sampah yang kurang terkelola dengan baik dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, timbulnya berbagai penyakit menular maupun penyakit kulit serta gangguan pada pernapasan, dan menurunnya nilai estetika lingkungan, sedangkan dampak tidak langsung yang dapat terjadi di antaranya adalah bahaya banjir yang disebabkan oleh terhambatnya arus air sungai karena terhalang timbunan sampah yang dibuang ke sungai.

Mengatasai permasalahan tersebut di atas, perlu dilakukan usaha pengurangan sampah mulai dari sumbernya. Penanganan masalah sampah tidak hanya menjadi tanggungjawab Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok saja, akan tetapi menjadi tanggungjawab bersama. Masyarakat sebagai produsen sampah diharapkan mampu mengelola dan mengurangi jumlah sampah yang ada.

Mengacu pada peraturan perundang-undangan No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pada pasal 6 disebutkan antara lain :

• Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah,

• Memfasilitasi mengembangkan dan melaksanakan upaya pengurangan penanganan dan pemanfaatan sampah,

• Mendorong dan menfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah,

• Melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha agar terjadi keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

(31)

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).Dalam RPJMD tersebut Pemerintah Kota Depok berinisiatif membuat suatu pengolahan sampah pada tingkat kawasan Kelurahan yang sekarang dikenal dengan Unit Pengolahan Sampah (UPS). Pembangunan UPS tersebut juga merupakan bentuk implementasi dari UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Melalui UPS, sampah yang dihasilkan oleh warga akan diolah seluruhnya.

Penanganan masalah sampah tidak hanya menjadi tanggungjawab Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok saja, akan tetapi menjadi tanggungjawab bersama. Masyarakat sebagai produsen sampah diharapkan mampu mengelola dan mengurangi jumlah sampah yang ada. Kegiatan yang telah dilakukan di antaranya memilah sampah dan mengolahnya kembali menjadi barang yang berguna. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat membantu Pemerintah dalam mewujudkan kota yang bersih dan teratur. Padmowihardjo (2001) mengatakan partisipasi merupakan suatu bentuk kegiatan yang dilakukan baik sendiri (individu) maupun secara kolektif untuk mencapai tujuan. Partisipasi dalam penanganan sampah dapat menyebabkan perubahan dalam pemikiran dan tindakan setiap individu dalam meningkatkan kebersihan di lingkungan tempat tinggal mereka masing-masing.

(32)

Selain FKMP-TPAS, sebagian besar Lampak dan Pemulung yang wilayah operasinya di TPA Cipayung, juga tidak banyak ambil peduli terhadap keberatan FORMAC. Hal ini bisa disadari karena memang area itu jadi lahan utama usaha mereka. Merujuk pada perspektif kekuasaan yang dikemukakan oleh Foucault, bahwa kekuasaan dimaknai sebagai kompleks strategi yang dijalankan pihak tertentu dengan tujuan mendorong pihak lain untuk patuh atau taat, atau membuat pihak lain tunduk, atau membuat pihak lain memberi dukungan terhadap pihak itu (Maring, 2010). Dalam situasi itu, kekuasaan bagaikan perang bisu yang bisa melahirkan ragam hubungan berupa konflik, perlawanan dan kolaborasi antar pihak. Kekuasaan yang terkonstruksi dalam tujuan yang menggerakkan pilihan strategi, mekanisme dan taktik tertentu untuk mewujudkan tujuan itu. Pilihan strategi, mekanisme dan taktik itu menentukan corak hubungan yang terjadi apakah konflik, perlawanan atau kolaborasi. Disini terlihat adanya hubungan antara kekuasaan dengan konflik, perlawanan dan kolaborasi seperti yang dilakukan antar aktor yang terlibat, lebih khusus antara Forum Masyarakat, Pemkot Depok, Lampak Pemulung dan yang lainnya.

Hubungan-hubungan kekuasaan itu terjadi, karena di antara para aktor yang ber-relasi sudah mengandung kekuasaan dan ada kepentingan-kepentingan di antara para aktor itu. Hubungan-hubungan kekuasaan tersebut, dapat dilihat ketika para aktor melakukan perlawanan terhadap Pemkot, juga ketika terjadi kolaborasi antara Pemkot dengan Forum masyarakat lain dan Lampak Pemulung. Di samping itu, hubungan-hubungan kekuasaan di atas terjadi karena adanya Kebijakan Pemkot dan Kepentingan masing-masing pihak, sehingga terjadi perlawanan dan kolaborasi sebagai wujud penolakan dan penerimaan terhadap kebijakan itu.

(33)

Relasi antar beragam aktor tersebut, juga tidak selalu sama, bisa berbentuk konflik, kolaborasi, dominasi bahkan eksploitatif. Oleh sebab itu, masalah relasi kekuasaan dalam pengelolaan atau penanganan sampah ini menjadi menarik dan penting untuk dikaji. Dalam konteks diatas, melalui penelitian ini diupayakan mencari jawaban dan menyoroti berbagai relasi aktor yang diperkirakan memberikan warna terhadap terjadinya konflik, perlawanaan dan kolaborasi bahkan eksploitatif dalam penanganan atau pengelolaan sampah di TPA Cipayung, Kota Depok.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Penelitian dalam tesis ini lebih mengkaji pada kekuasaan, atau relasi kuasa antar aktor di dalam hubungan-hubungan sosial yang terbangun dalam medan interaksi pengelolaan sampah di TPA Cipayung, Kota Depok, sehingga untuk menganalisis lebih dalam, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, sbb : 1. Bagaimana masing-masing aktor menjalankan kekuasaan dalam pengelolaan

sampah di TPA Cipayung Kota Depok ?

2. Apa saja kepentingan masing-masing aktor dalam proses interaksi pengelolaan sampah di kawasan TPA Cipayung, Kota Depok ?

3. Apa saja kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing aktor ketika berhubungan dengan aktor lainnya ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian yang dihadapi, maka tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis bagaimana para aktor menjalankan kekuasaan di medan interaksi pengelolaan sampah TPA Cipayung Kota Depok.

2. Memetakan para aktor dan kepentingannya dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung, Kota Depok

(34)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan informasi dalam pengelolaan sampah di kota Depok.

2. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam menetapan kebijakan terutama dalam pengelolaan sampah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan di kota Depok.

3. Untuk menerapkan teori yang telah didapat guna menganalisis permasalahan yang ada dalam masyarakat dan memberikan alternatif pemecahannya bagi peneliti.

(35)
(36)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Sampah

2.1.1. Penggolongan sampah

Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah padat. Limbah itu sendiri pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif. Sampah mempunyai nilai negatif karena penanganan untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar, di samping itu juga mencemari lingkungan (Sa’id, 1998).

Dewi (2008) mengemukakan bahwa sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia, namun pada prinsipnya sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Sampah lebih rinci dibagi menjadi :

1. Sampah manusia, merupakan buangan yang dikeluarkan oleh tubuh manusia sebagai hasil pencernaan. Tinja dan air seni adalah hasilnya. Sampah manusia tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan karena bisa menjadi vektor penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus;

2. Limbah, merupakan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun pabrik. Limbah cair rumah tangga umumnya dialirkan ke saluran tanpa proses penyaringan seperti sisa air mandi, bekas cucian, dan limbah dapur. Sementara itu, limbah pabrik perlu diolah secara khusus sebelum dilepas ke alam bebas agar lebih aman. Namun tidak jarang limbah bahaya tersebut disalurkan ke sungai atau laut tanpa penyaringan;

3. Refuse (sampah), diartikan sebagai bahan sisa proses industri atau hasil sampingan kegiatan rumah tangga. Sampah tersebut dibagi menjadi sampah lapuk, sampah tidak lapuk, dan tidak mudah lapuk;

(37)

2.1.2. Sumber-sumber sampah

Menurut Suriawiria (2003) sampah berdasarkan sumbernya digolongkan dalam dua kelompok besar yaitu : (1). Sampah domestik, yaitu sampah yang sehari-hari dihasilkan yang bersumber dari aktivitas manusia secara langsung, baik dari rumah tangga, pasar, sekolah, pusat keramaian, pemukiman, dan rumah sakit; (2). Sampah non-domestik, yaitu sampah yang sehari-hari dihasilkan yang bersumber dari aktivitas manusia secara tidak langsung, baik dari pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, dan transportasi.

Berdasarkan bentuknya, sampah digolongkan ke dalam tiga kelompok besar yaitu : (1). Sampah padat, yaitu sampah yang berasal dari sisa tanaman, hewan, kotoran ataupun benda-benda lainnya yang bentuknya padat; (2). Sampah cair, yaitu sampah yang berasal dari buangan pabrik, industri, pertanian, perikanan, peternakan atau pun manusia yang berbentuk cair, misalnya air buangan dan air seni; (3). Sampah gas, yaitu sampah yang berasal dari knalpot kendaraan bermotor, dan cerobong pabrik yang semuanya berbentuk gas atau asap.

(38)

Gambar 1. Jenis Sampah

2.1.3. Manfaat Sampah

Suriawiria (2003) mengemukakan bahwa sampah, apapun jenis dan sifatnya, mengandung senyawa kimia yang sangat diperlukan oleh manusia secara langsung atau tidak langsung, yang terpenting sampai berapa jauh manusia, dapat menggunakan dan memanfaatkannya. Penggunaan dan pemanfaatan sampah untuk kesejahteraan manusia, sudah sejak lama dilakukan, antara lain :

1. Pengisi tanah

Di Jakarta sekarang pertumbuhan tempat-tempat pemukiman baru yang asalnya rawa ataupun tanah berair lainnya. Akibat adanya timbunan sampah yang kemudian digunakan untuk menimbun rawa yang berlubang akhirnya menjadi tempat permukiman.

2. Sumber pupuk organik

(39)

3. Sumber humus

Bahan dari galian dapat meningkatkan kerekahan, kimia, hidrologi dalam fisik tanah. Hal tersebut menjadi tujuan utama para petani. Kehadiran bahan organik dalam bentuk humus di dalam tanah, dapat meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap dan mempertahankan air, serta lebih effisiensi dalam menggunakan pupuk, menggunakan sampah sebagai sumber humus telah sejak lama digunakan..

4. Media penanaman jamur

Sampah dapat digunakan sebagai media/tempat penanaman jamur. 5. Penyubur plankton

Jumlah sampah organik yang tinggi dalam perairan mengakibatkan plankton tumbuh dengan subur, dengan suburnya plankton maka subur pula pertumbuhan dan perkembangan ikan yang ada di dalamnya, karena plankton sumber makanan utama ikan. Dengan menambahkan kompos kedalam kolam ikan akan meningkatkan hasil ikan di India dan Pakistan (Suriawiria, 2003). 6. Bahan pembuat biogas

Sampah merupakan sumber energi baru yang saat ini telah dicoba digunakan. Peranan sampah di dalam program penyediaan energi telah lama diketahui yaitu : a). Bahan bakar untuk penggerak mesin pembangkit listrik; b). Bahan baku untuk proses fermentasi dalam pembuatan biogas.

7. Bahan baku pembuat bata

Jepang dan Jerman Barat merupakan negara pelopor penggunaan sampah sebagai bahan baku di dalam pembuatan bata (briket). Ternyata tanah bahan yang dicampur dengan hancuran sampah mempunyai nilai bata yang lebih baik kalau dibandingkan dengan hanya tanah atau sampah saja (Suriawiria, 2003).

8. Media produksi vitamin

(40)

penghasil vitamin tersebut, antara lain yang sudah berhasil adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat dan Swedia (Suriawiria, 2003).

9. Bahan makanan ternak

Sampah dapat disamakan sebagai bahan makanan ternak baik secara langsung maupun melalui proses fermentasi.

10. Media produksi PST (protein sel tunggal)

PST adalah jenis protein baru yang dibuat melalui aktivitas mikroorganisme (mikroalgae, jamur dan bakteri). PST akan menjadi sumber protein penyelamat masa mendatang kalau produksi protein secara konvensional (melalui pertanian, peternakan dan perikanan) tidak mencukupi. Mikroorganisme penghasil PST sangat subur pertumbuhannya di dalam media yang terbuat dari sampah, seperti yang dibuktikan di Jepang dan Amerika Serikat (Suriawiria, 2003).

2.2. Pengelolaan Sampah

Dewi (2008) mengemukakan tahap distribusi mempunyai peranan penting dalam proses pengelolaan sampah. Hierarki lalu lintas sampah dimulai dari tingkat terendah, yaitu rumah tangga hingga tempat pembuangan akhir (TPA). Sebelum diolah, sampah menyusuri tiga alur pendistribusian yang saling berkaitan, yaitu : 1. Penampungan sampah.

(41)

2. Pengumpulan dan pembuangan sampah.

Sampah yang telah dibuang pada tingkat rumah tangga sudah mulai diserbu oleh pemulung. Pada tahap pengumpulan oleh para pemulung atau pengepul, sampah biasanya dipilah secara sederhana menjadi tiga jenis, yaitu : (a) sampah layak kompos dengan jumlah terbesar 50%; (b) sampah layak jual sebanyak 16% dan; (c) sampah layak buang sebesar 34%. Sampah yang sudah ada setiap beberapa waktu tertentu akan dikumpulkan oleh petugas kebersihan tingkat RT/RW atau Kotamadya. Umumnya tahap pengumpulan sampah di daerah padat penduduk dilakukan instansi terkait sekitar 2-3 hari sekali. Sementara itu, jadwal pengambilan sampah di lokasi rumah yang terpencar-pencar dilaksanakan sekitar satu kali perminggu sampai sampah terkumpul agak banyak. Sampah diangkut dengan menggunakan truk sampah atau gerobak tarik menuju lokasi yang telah disepakati.

3. Pengolahan sampah.

Proses pengolahan sampah terpadu dilakukan dengan menerapkan upaya cegah (reduce) dan upaya pakai ulang (reuse) dengan tujuan agar sampah tidak sampai terbentuk. Upaya tersebut dilakukan pada tingkat terendah, yaitu pada pemakaian barang, dan proses daur ulang sampah dilakukan dengan sangat sederhana. Setelah dicacah dan dilelehkan, materi tersebut dicetak menjadi bahan siap pakai. Metode untuk memusnahkan dan pemanfaatan sampah dilakukan dengan beberapa cara di antaranya :

(1) Membuang dalam lubang dan ditutup dengan selapis tanah, yang dilakukan lapis demi lapis, sehingga sampah tidak di ruang terbuka; (2) Sampah dibuang ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan tanah; (3) Membuka dan membuang sampah di atas permukaan tanah;

(4) Membuang sampah di perairan, misalnya di sungai atau di laut;

(5) Pembakaran sampah secara besar-besaran dan tertutup dengan menggunakan insinerator;

(6) Pembakaran sampah dengan insinerator yang dilakukan oleh perorangan dalam rumah tangga;

(42)

(8) Pengelolaan sampah organik menjadi pupuk yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah;

(9) Sampah dihaluskan kemudian dibuang ke dalam saluran air; (10) Pendaur ulang barang-barang yang masih bisa dipakai

(11) Reduksi, menghancurkan sampah menjadi bagian kecil-kecil dan hasilnya dimanfaatkan.

Menurut Suriawiria (2003) pengumpulan sampah merupakan berbagai cara dan usaha untuk mengelola sampah agar lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman. Pengelolaan sampah di TPA terdiri atas membuka membuang sampah di permukaan, membuang sampah ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan tanah, insinerator, pembuatan kompos dan teknologi baru (menggunakan kembali, mengurangi, dan mendaur ulang). Partisipasi masyarakat dalam hal pengelolaan sampah harus diperhatikan ketersediaan tempat sampah di rumah, ketersediaan TPS, ketaatan pembayaran iuran, dan ketaatan membuang sampah di tempat yang telah ditentukan.

(43)

2.2.1. Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Widyatmoko (2001) mengatakan tempat pemrosesan akhir (TPA) yang dikenal dengan sanitary landfill adalah sistem pembuangan sampah dengan cara dipadatkan dan ditutupi serta dilapisi tanah setiap hari. Dalam sistem TPA akan terjadi proses dekomposisi sampah secara kimia, biologi, dan fisik yang menghasilkan gas-gas dan bahan organik. Air hujan yang jatuh pada lokasi TPA akan berinfiltrasi ke dalam sistem sampah dan melarutkan hasil dekomposisi berupa cairan yang disebut air lindi. Komposisi air lindi bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.

Proses daur ulang, produksi kompos dan pembakaran bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan, sehingga pembuangan sampah pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat menghemat penggunaan lahan TPA. Pembuatan kompos dapat dilakukan dengan beberapa macam teknologi, di antaranya menggunakan salah satu metodologi aerasi, turning over bahan kompos (membolak balik bahan kompos) dan open air atau reactor based.

Pemilihan jenis metodologi yang tepat perlu mempertimbangkan beberapa hal yaitu : 1) proses yang digunakan haruslah ramah terhadap lingkungan; 2) biaya investasi tidak terlalu tinggi/ terjangkau; 3) biaya operasional dan perawatan pembuatan kompos cukup murah; 4) kualitas kompos yang dihasilkan cukup baik; 5) harga kompos dapat terjangkau oleh masyarakat dan penggunaannya dapat bersaing dengan pupuk kimia buatan; dan 6) menggunakan tenaga kerja yang bersifat padat karya.

2.2.2. Kajian Penelitian Terdahulu

(44)

Berbagai kemungkinan apa yang dilakukan pihak pelaku sektor informal dalam mengakses ruang publik yang melibatkan banyak aktor didalamnya. Proses para PKL beserta pelaku lainnya dalam kaitannya dengan cara-cara untuk mendapat tempat berdagang, melihat bagaimana cara mereka bernegosiasi, negosiasi dan akomodasi untuk dapat mengakses ruang publik. Siswono juga menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan yang dibangun diantara para PKL dengan berbagai pelaku (aktor) lainnya yang ikut terlibat dalam mengakses ruang publik yang dinyatakan dilarang oleh pemerintah setempat, sehingga mereka mendapatkan semacam ‘hak legitimasi’ untuk dapat tetap bertahan hidup dalam situasi krisis, melalui serangkaian resistensi, negosiasi dan akomodasi.

Siswono telah berhasil menjelaskan tentang bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan oleh masyarakat yang tergolong marjinal yang diwakili oleh pelaku sektor informal dalam menghadapi kebijakan pemerintah setempat. Berbagai hubungan yang dilakukan oleh pelaku sektor informal yang sehari-hari menggelar dagangannya di jalur-jalur ‘terlarang’ dalam konteks penguasaan ruang publik. Hubungan-hubungan tersebut, dilakukan dengan melibatkan Preman dan Aparat setempat telah mampu mengimbangi kebijakan selama ini. Hubungan-hubungan antara PKL, Preman dan Aparat dalam konteks penguasaan ruang publik.

(45)

Para pemulung jarang berinteraksi dengan masyarakat setempat. Pemulung di lapak Kelurahan Beji tidak pernah berinteraksi dengan pemerintah setempat, sebab mereka merasa bahwa kehidupan mereka dilindungi oleh bos. Untuk permasalahan birokrasi kependudukan para pemulung akan mengurus dan menyelesaikannya di daerah asal masing-masing. Tidak dimilikinya ijin menetap sementara dan tempat tinggal mereka yang dapat berpindah-pindah membuat para pemulung yang berada di Kelurahan Beji tidak mendapatkan dana bantuan dari pemerintah berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai), Beras Raskin, maupun ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin).

Royadi (2006) melakukan penelitian tentang analisis pemanfaatan TPA sampah pasca operasi berbasis masyarakat (Studi kasus TPA Bantar Gebang-Bekasi). Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal, diantaranya : 1) Alternatif pemanfaatan adalah sebagai TPA terpadu, dengan kegiatan setiap zona sebagai berikut: Zone I dan II sebagai hutan kota/penghijauan, Zone III, IV dan zone V sebagai TPA sampah. 2) Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplyer effect baik bagi lingkungan, masyarakat sekitar lokasi TPA dan Pemerintah.

Astuti (2005) melakukan penelitian dengan judul strategi pemberdayaan masyarakat sekitar TPA Sampah Cipayung melalui penguatan kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan sehat.Hasil penelitian dapat diketahui permasalahan utama yang muncul di Kelurahan Cipayung adalah adanya dampak negatif TPAS terhadap gangguan kesehatan masyarakat. Masyarakat membutuhkan penguatan kemampuan untuk mengetahui masalah yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Program jangka panjang yang dibutuhkan adalah pendidikan masyarakat dalam memperlakukan sampah dan penetapan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah serta penelitian tentang pengelolaan sampah dan teknik pengelolaan sampah yang efektif dan efisien.

(46)

Lokasi penelitian Fikarwin dilakukan di Kelurahan Janarata, sedangkan lokasi penelitian ini dilakukan di Perumahan Griya Pancoranmas Indah, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoranmas, Kota Depok.

Hasil penelitian Fikarwin menyebutkan bahwa telah terjadi segmentalisasi penanganan sampah yang tercipta sebagai kreatifitas para pelaku dalam rangka menjalankan kekuasaan untuk menjamin kelangsungan kepentingannya. Penanganan sampah adalah sebuah kancah sosial yang di dalamnya terbangun hubungan-hubungan kekuasaan antar pelaku. Tiap pelaku memainkan kekuasaan atas pelaku yang lain, yang ia dapat kuasai dan dengan melibatkan dukungan dari pihak-pihak lain yang ia dapat pengaruhi. Berbagai taktik ditempuh menghadapi kekuasaan yang dilaksanakan pelaku lain untuk menyelamatkan diri dan kelangsungan kepentingannya karena di dalam hubungan-hubungan kekuasaan semacam itu, hubungan antar pelaku seringkali tidak berlangsung langgeng. Hubungan-hubungan yang terbangun sangat cair, cepat berubah, tergantung kepentingan. Tidak ada hubungan kekuasaan yang bersifat absolut, mencakup segala urusan sehingga pelaku yang satu berkuasa mutlak atas pelaku yang lain. Menurut Fikarwin, masalah persampahan tidak begitu mudah dapat diharapkan menemukan solusi tanpa memperhatikan relasi-relasi kekuasaan yang terbentuk di dalamnya. Pemecahan secara yuridis dan teknis juga tidak terlalu menolong, terlebih apabila pengelolaan sampah yang dimaksudkan bukan semata-mata untuk membersihkan sampah.

2.3. Relasi Kekuasaan

(47)

(2007), mengaitkan kuasa dengan konsepsinya mengenai tindakan. Setiap tindakan menurutnya bisa bersifat : rasional-bertujuan, rasional-nilai dan bersifat afektif-emosional atau berupa perilaku kebiasaan sebagai ekspresi dari adat istiadat yang telah tertata. Dalam mendefinisikan kuasa, Weber menganggap bahwa kuasa merupakan kesempatan individu dalam interaksi sosial untuk mewujudkan keinginannya di dalam suatu tindakan komunal meskipun melawan arus tantangan dan resistensi individu lain yang terlibat dalam tindakan tersebut.

Dalam perspektif kekuasaan Foucault, kekuasaan dimaknai sebagai kompleks strategi yang dijalankan pihak tertentu dengan tujuan mendorong pihak lain untuk patuh atau taat, atau membuat pihak lain tunduk, atau membuat pihak lain memberi dukungan terhadap pihak itu (Maring, 2010). Menurut Foucault, bahwa kekuasaan terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk dan penentu-penentu ekonomi yang terpusat atau kepada karakter legalnya. Lebih jauh lagi, kekuasaan tidak semata represif, tetapi juga produktif dan kekuasaan memunculkan subjek-subjek. Kekuasaan berperan dalam melahirkan kekuatan (force), membuatnya tumbuh dan memberinya tatanan, kekuasaan bukan sesuatu yang selalu menghambat kekuatan, menundukkannya atau menghancurkannya (Foucault, 1980: 136 dalam Siswono 2009)

(48)

Pada tulisan Foucault yang dirujuk Bertens (2001) dalam Siswono (2009) menyatakan, bahwa kekuasaan mempunyai berbagai bentuk dan penerapan dari bentuk–bentuk kekuasaan berbeda–beda berdasarkan setting masing–masing. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa kekuasaan terdapat juga pada sejumlah institusi dan struktur kekuasaan tidak dapat diartikan sebagai struktur yang menetap, namun mencair, menyatu dan sekali waktu berpisah. Ia justru senantiasa berubah sejalan dengan interaksi yang terjadi secara kontinyu – baik berupa perjuangan, perebutan, maupun persaingan – serta berkembangnya cara berfikir dan perilaku pada pelaku (aktor). Oleh karenanya, kekuasaan pada dasarnya selalu dinamis dan menyebar tanpa bisa dilokalisasi, serta meresap dalam seluruh jalinan hubungan sosial (Foucault, 1980 dalam Siswono, 2009)

Selanjutnya, konsep kekuasaan menurut Foucault tidak dapat dilepaskan dengan konsep pengetahuan, karena manusia ketika melakukan interaksi dengan yang lain akan selalu mengonstruksi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi pengetahuan–nya. Pengetahuan tersebut, lebih lanjut Foucault menyatakan, berasal dari relasi – relasi kekuasaan yang menandai keberadaan subjek. Oleh karenanya, kekuasaan dan pengetahuan merupakan dua sisi yang bekerja dalam suatu proses yang sama. (Foucault, 2000 dalam Siswono, 2009).

Michel Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Bagi Foucault kuasa tidak bermakna “kepemilikan”, atau keadaan dimana seseorang memiliki sumber kekuasaan. Kuasa, dipraktekan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan antara satu sama lain. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan sistem-sistem regulasi, dimana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu sama lain, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan dan hubungan dari dalam. Kekuasaan dalam konteks semacam itu sejalan dengan salah satu proposisi yang dikemukakan Foucault : “power isn’t a thing that is either held by,or belongs to, anybody” (Kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun) (Danaher, Schirato & Webb 2000:70 dalam Fikarwin, 2009).

(49)

tercetak sekali jadi lalu membeku seperti batu. Power dapat mengalir sangat cepat dari satu tempat atau area, ke tempat atau area lain, bergantung pada perubahan aliansi dan lingkungan (keadaan). Dengan kata lain, “power is mobile and contingent” (kekuasaan itu bergerak dan bergantung) pada sesuatu (Fikarwin, 2009)

Bagi Foucault kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu efek kuasa. Hampir tidak mungkin kekuaasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Kuasa memproduksi pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi penguasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya, tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuaasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Kebenaran bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak, akan tetapi ia diproduksi setiap kekuasaan yang menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi tapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja dengan cara negative dan represif melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa mereproduksi realitas (Eriyanto, 2001 dalam Wulan, 2010).

Foucault secara mendalam mempelajari praktik bagaimana manusia memerintah dirinya melalui modes of obyektification yang mengubah makhluk menjadi subyek, dan proses produksi dari suatu disciplinary society demi kesejahteraan (welfare). Study Foucault bertujuan memahami bagaimana proses disiplin, normalisasi dan penggunaan kekuasaan yang telah diterapkan dalam berbagai pengalaman. Praktik kekuasaan dapat dilihat, tapi sulit diidentifikasi, yakni dalam diskursus tempat manunggalnya kekuasaan dan pengetahuan.

(50)

keyakinan sosial yang cenderung mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia ilmu pengetahuan dan berasumsi bahwa pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa.

Kecenderungan memandang bahwa kekuasaan hanya berpusat di Negara ataupun kelas, bagi Foucault merupakan pengingkaran kenyataan, karena relasi kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan. Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tersebar dimana-mana dan datang dari mana-mana (Wulan, 2010; Malik, 2010). Pandangan ini sangat jauh berbeda dengan konsep kekuasaan yang telah dikemukakan oleh Marxian, dimana Marxian melihat kekuasaan hanya pada Negara (Suseno, 2003).

Beberapa kata kunci kekuasaan menurut Foucault adalah pertama, kekuasaan bersifat dinamis (power is dynamic) yang bermakna bahwa kekuasaan bukan kepemilikan dan bukan ditangkap, diperoleh kemudian dibagi namun lebih dekat dengan “kesejajaran sosial” ; kedua, kekuasaan bisa berasal dari mana saja (power is everywhere) yang bermakna bahwa kekuasaan mencakup segala sesuatu dan dia bisa datang dari mana saja. Kekuasaan tidak dimiliki oleh agen yang dominan juga tidak ditujukan didominasi, tapi didistribusikan melalui jaringan sosial yang kompleks, dan ketiga, Kekuasaan bersirkulasi (Power as something that circulate) yang bermakna bahwa kekuasaan berputar dan diproduksi dari satu moment ke moment berikutnya. (Rouse, 2005 dalam Wulan, 2010).

(51)

orang lain. Giddens menamakan gejala ini sebagai dialektika kendali (dialectic of control), artinya, bahwa dalam kekuasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada tataran yang menguasai maupun yang dikuasai, dan bekerja saling mengkontrol, dimana mereka yang menjadi bawahan bisa mempengaruhi aktivitas-aktivitas atasannya.

Kekuasaan juga dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu kekuasaan bersifat positif dan negative (Surbakti, 1992 dalam Akhyar, 2010) yaitu :

1. Kekuasaan bersifat positif, merupakan kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi dan merubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.

2. Kekuasaan bersifat negatif, merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental.

Sosiologi tidak memandang kekuasaan sebagai suatu yang baik atau buruk, namun sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Kekuasaan ada dalam setiap bentuk masyarakat, baik yang bersahaja maupun masyarakat yang kompleks. Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, atau dengan perkataan lain, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu, dengan rela atau karena terpaksa. Apabila kekuasaan dijelmakan pada diri seseorang, biasanya orang itu dinamakan pemimpin, dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut-pengikutnya (Soekanto, 2007).

2.4. Kekuasaan dan Wewenang

(52)

mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat di semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan-keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan pihak-pihak lainnya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Budiardjo (2008), kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.

Sedangkan Wewenang atau otoritas erat hubungannya dengan kekuasaan, karena dengan wewenang maka orang mempunyai hak untuk melakukan dan menetapkan sesuatu. Wewenang merupakan bentuk kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh individu maupun kelompok. Pandangan Weber (1978) dalam Malik (2010), wewenang dikaitkan dengan legitimasi yang kemudian membagi otoritas dalam tiga jenis yaitu : 1). Otoritas tradisional (traditional authority) dimana sebuah otoritas bersumber dari budaya (custom), sehingga otoritas lebih merupakan sebuah pelimpahan kekuasaan berbasis budaya dan tradisi yang diwariskan dengan legitimasi tradisi. 2). Otoritas kharismatis (charismatic authority), merupakan otoritas yang bersumber dari pengakuan orang atas keistimewaan seseorang (yang dianggap luar biasa) sehingga ia dipatuhi (hal ini sangat pribadi sifatnya). 3). Otoritas legal rasional (rational legal authority), merupakan otoritas yang bersumber dari aturan formal (hukum). Otoritas ini merupakan otoritas yang diperoleh seseorang dengan batasan-batasan hukum formal yagn berlaku. Ketika otoritas tersebut diterima oleh seseorang maka otoritas tersebut melekat dalam diri orang yang menjadi pemimpin atau penguasa dan dengan otoritasnya ia menjalankan kekuasaan.

(53)

yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri. Dalam hal ini kekuasaan yang dapat diciptakan melalui organisasi sosial dan kelompok kaum marginal untuk mendorong proses perubahan sosial yang memungkinkan mereka untuk memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap lingkungan kehidupan mereka pada aras masyarakat lokal.

Kalangan yang beranggapan bahwa kekuasaan hanya mempunyai dimensi distributif sehingga memandangnya sebagai dimensi yang bervolume tetap akan melihat sedikit kemungkinan untuk bertindak kooperatif. Pemegang kekuasaan cenderung menentang dan mengantisipasi secara negative inisiatif organisasi (Korten dan Klauss, 1984 ; Nasdian, 2007). Dimensi generatif kekuasaan menunjukan adanya kemungkinan bahwa semua anggota masyarakat atau unit sosial yang lain mengambil keuntungan dan bertambahnya kekuasaan dibagi secara luas dalam kelompok.

2.5. Kerangka Pemikiran

Permasalahan pengelolaan sampah tidaklah semudah dan sesederhana seperti membagi-bagikan hak pengelolaan kepada satu atau beberapa aktor saja. Pengelolaan sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), yang sebelumnya diawali dari rumah tangga/perumahan permukiman (paling banyak), kemudian di bak sampah, lanjut ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara), umumnya melibatkan banyak aktor yang masing-masing memiliki derajat kepentingan yang berbeda. Masing-masing aktor memiliki dan terus mengembangkan strategi-strategi yang bertujuan mempertahankan akses mereka atas pengelolaan sampah, baik mulai dari tingkat bak sampah, TPS maupun TPA Cipayung Kota Depok. Dalam proses mengembangkan strategi dan mempertahankan akses tersebut terjadi distribusi atau polarisasi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara berbagai aktor yang terlibat.

(54)

sehingga kerangka pemikiran yang dibuat juga mengacu pada pembatasan itu, secara sederhana ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

2.6. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat hipotesis pengarah dan bertujuan memberikan bingkai serta arahan dalam keseluruhan proses penelitian. Dengan demikian maka hipotesis pengarah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah pengelolaan atau penanganan sampah di TPA melibatkan beragam aktor dengan beragam kepentingan, sehingga menghasilkan relasi kuasa yang beragam mengarah kepada resisten, kolaborsi bahkan sampai mengarah kepada konflik.

Perumahan/  Permukiman 

Relasi  Kuasa    

tingkat TPS    

Nilai‐nilai sosial, ekonomi, lingkungan   dan politik terkait sampah 

Fasilitas Umum  lainnya 

Sampah 

Relasi  Kuasa     tingkat bak 

sampah  

Relasi  Kuasa 

tingkat rumah  tangga 

Relasi  Kuasa 

tingkat TPA  

Perorangan  Industri/Perkantoran 

Relasi  Kuasa 

(55)
(56)

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Paradigma Penelitian

Paradigma menurut Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2000) adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian maka penggunaan paradigma kritis diharapkan mampu untuk mengungkapkan masalah relasi kekuasaan dan kesertaan para aktor yang mendasari pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok, mulai dari tingkat rumah tangga, pengumpulan di bak sampah, masuk ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) sampai akhirnya di angkut ke TPAS (Tempat Pembuangan Akhir Sampah).

Penggunaan paradigma kritis dalam penelitian ini didasari oleh sebuah fakta sosial bahwa masyarakat lapisan bawah tidak memperoleh manfaat yang adil dari pelaksanaan pengelolaan sampah di medan interaksi pengelolaan sampah TPA Cipayung, padahal mereka yang langsung merasakan dampak dari operasionalisasi pengelolaan TPA tersebut.

(57)

Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya, Moleong (2000) menyebutkan ciri-ciri tersebut yaitu : 1. Latar alamiah, artinya bahwa penelitian kualitatif melakukan penelitian pada

latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan karena ontology alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konsteknya.

2. Manusia sebagai alat (instrument), artinya bahwa peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.

3. Metode kualitatif, artinya bahwa penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif, penyesuaiannya lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden.

4. Analisis data secara induktif, artinya bahwa dalam proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data, dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel.

5. Teori dari dasar, artinya bahwa penelitian ini lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantive yang berasal dari data.

6. Deskriptif, artinya bahwa data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.

7. Lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya bahwa hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.

8. Adanya “batas” yang ditentukan oleh “focus”, artinya bahwa ada penetapan batas dalam penelitiannya atas dasar focus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian.

(58)

10. Desain yang bersifat sementara, artinya bahwa penelitian menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan.

11. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama, artinya bahwa penelitian ini lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data.

3.2. Metode dan Strategi Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode ini mampu menangkap penjelasaan dan pemahaman yang lebih baik tentang fakta sosial dari sisi subyek penelitian dibandingkan jika memakai metode kuantitatif. Tujuan penelitian yang ingin menggambarkan bagaimana aktor-aktor menjalankan kekuasaan mulai dari tingkat rumah tangga, tingkat bak sampah, tingkat TPS sampai dalam sebuah kawasan TPA, bentuk relasi kuasa yang diperankan para aktor serta relasi-relasi yang terbentuk mempengaruhi peran para aktor, merupakan hasil dari penjelasan dan pemahaman tentang realitas sosial yang ditanyakan, serta hasil dari proses dialogis antara peneliti dan tineliti.

Strategy penelitian yang digunakan adalah study kasus, merujuk pada penjelasan Babbie (2004) bahwa : Social researchers often speak of case studies, which focus attention on one or few instances of some social phenomenon, such

as a village, a family, or a juvenile gang. Serta penjelasan dari Baedhowi (2001) bahwa studi kasus merupakan suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Sedangkan Sitorus (1999) menjelaskan bahwa penggunaan study kasus sebagai strategy penelitian memungkinkan terjadinya dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubyektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti.

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

(59)

TPA Cipayung, Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan perumahan tersebut dekat dengan TPA dan wilayah TPA Cipayung merupakan muara pembuangan sampah di Kota Depok yang daya tampungnya diperkirakan overload pada tahun mendatang (2013).

Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung memiliki keunikan tersendiri dalam hal penanganan TPA sampah yang ada di wilayahnya, karakteristik sosial dan kondisi lingkungan yang masih alami serta masuk kategori wilayah pinggiran pusat kota. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai bulan Desember 2012.

3.4. Jenis, Teknik Pengumpulan dan Validasi Data

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi alamiah), sumber data primer dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participation observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono, 2007). Jadi, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu : data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan teknik observasi berperan serta, wawancara mendalam dan FGD (Focus Group Discussion). Sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan teknik dokumentasi. Sebagai bentuk penyimpanan data dari teknik yang digunakan, maka peneliti membuat catatan harian yang berisi hasil wawancara mendalam tineliti dan hasil pengamatan berperan serta.

(60)

penelitian yaitu bagaimana mereka menjalankan kekuasaan mulai tingkat Rumah Tangga, bak sampah, TPS sampai di tingkat TPA, apa kepentingan dan kekuatan masing-masing ketika berhubungan dengan aktor lainnya. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali persoalan tentang bekerjanya kekuasaan dalam praktek pengelolaan sampah di masing-masing tingkatan tersebut, dengan menggunakan panduan pertanyaan. Validasi data dilakukan dengan cara triangulasi, baik triangulasi “teknik” pengumpulan data yaitu bermacam-macam cara pada sumber yang sama, maupun triangulasi “sumber” pengumpulan data yaitu satu teknik pengumpulan data pada bermacam-macam sumber data A, B, C (Sugiyono, 2007). Pengamatan berperan serta dilakukan saat peneliti mengikuti pertemuan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan, maupun tingkat Kota. Selain itu peneliti juga ikut pertemuan Forum OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang diselenggarakan oleh DKP. Pengamatan berperan serta dilakukan untuk mengamati proses-proses yang terjadi dalam Musrenbang dan lebih khusus proses bekerjanya kekuasaan dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung. Validasi data dilakukan dengan mengamati proses diskusi dalam Musrenbang tingkat kelurahan dan kecamatan maupun pada tingkat Forum OPD.

Dokumentasi digunakan dalam pengumpulan data sekunder, berupa dokumen-dokumen tentang gambaran umum wilayah kota, kondisi pengelolaan sampah tingkat kota dan tingkat TPA. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi terkait, baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah.

3.5. Analisis Data

(61)

Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh dari temuan di lapangan, terhadap suatu hal yang menjadi perhatian peneliti, kemudian di teliti faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut, hasilnya dicocokan dengan teori yang ada. Bila tidak sesuai dengan data, maka dapat diajukan suatu teori baru, yang penting adalah data yang mendasari teori tersebut harus sesuai dengan kaidah riset, sehingga bisa di pertanggungjawabkan (Bryman, 2004).

Proses analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2007) yang lebih dikenal dengan model analisis interaktif. Model analisis ini adalah melalui proses tahapan sebagai berikut : data yang terkumpul direduksi berupa pokok-pokok temuan penelitian yang relevan dengan bahan penulisan dan selanjutnya disajikan secara naratif. Reduksi dan penyajian data adalah dua komponen analisis yang dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Proses selanjutnya adalah penarikan kesimpulan, yaitu dilakukan setelah proses pengumpulan data, disajikan, dideskripsikan dan kemudian diberi pemaknaan dengan interpretasi logis.

(62)

IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Wilayah Kota Depok

4.1.1. Kondisi Wilayah

Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat : 6° 19’ 00’’-6° 28’ 00’’ Lintang Selatan dan 1000’’-6° 43’ 00’’-1000’’-6° 55’ 30’’ Bujur Timur. Kota Depok memiliki luas wilayah 20.029 Ha atau setara dengan 200,29 km2 atau 0,58 % dari luas Provinsi Jawa Barat, berbatasan langsung dengan tiga kabupaten/kota dan dua provinsi yaitu :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor;

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor;

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Gunung Sindur Kabupaten Bogor

Berdasarkan lokasinya secara regional, Kota Depok ditetapkan sebagai Kota Satelit dan mempunyai fungsi sebagai PKN (Pusat Kegiatan Nasional) bersama-sama dengan Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kota Bekasi, dengan DKI Jakarta ditetapkan sebagai Kota Inti dalam Rencana Struktur Tata Ruang Nasional atau Sistem Perkotaan Nasional. Kota Depok termasuk ke dalam konstelasi ruang Kawasan Andalan DKI Jakarta-Jawa Barat-Banten atau disebut juga Kawasan Perkotaan Jakarta dengan sektor unggulan industri, pariwisata, perdagangan, jasa dan perikanan.

Letak Kota Depok sangat strategis, hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi secara regional dengan kota kota lainnya.

(63)

sehingga pengembangan ruang Kota Depok harus terintegrasi, terpadu dan menjadi bagian dari pengembangan ruang PKN Metropolitan Jabodetabek-Punjur.

Begitu juga secara administratif, berdasarkan Perda No 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Wilayah Kecamatan di Kota Depok, Pemerintahan Kota Depok yang tadinya terdiri dari 6 Kecamatan dimekarkan menjadi 11 Kecamatan yakni Kec. Cimanggis, Kec. Sukmajaya, Kec. Tapos, Kec. Sawangan, Kec. Pancoran Mas, Kec. Limo, Kec. Beji, Kec. Cinere, Kec. Bojongsari, Kec. Cipayung, Kec, Cilodong dan terdiri dari 63 Kelurahan, 871 RW serta 4.856 RT. Seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Pembagian Administrasi Kota Depok Paska Pemekaran Tahun 2008

Sumber : RTRW Kota Depok 2010-2030

(64)

kelulusan air sedang sampai tinggi termasuk akifer dengan produktivitas tinggi di bagian utara dan akifer dengan produktivitas sedang di bagian selatan dengan penyebaran akifer luas dengan debit antara 1-5 liter/detik. Keadaan ini menunjukkan bahwa Kota Depok memiliki kandungan air tanah yang cukup baik. Selain sumberdaya air tanah di Kota Depok juga terdapat sumberdaya air lain yang berasal dari sumberdaya air permukaan yang meliputi 30 setu dan 14 sungai yang melintasi Kota Depok.

Secara umum wilayah Kota Depok memiliki daya dukung yang cukup untuk pengembangan kegiatan budidaya baik budidaya pertanian maupun non pertanian. Namun ada beberapa bagian wilayah yang memiliki daya dukung rendah untuk pengembangan meskipun dengan upaya teknologi yaitu daerah dengan kemiringan lereng curam/tinggi, rawan longsor, dan potensi erosi, di antaranya adalah kawasan sempadan Sungai Ciliwung, Cikeas, Pesanggrahan dan Sungai Angke. Selain itu daerah yang termasuk wilayah kendala/limitasi adalah sempadan jalur pipa gas, sempadan jalan kereta api, sempadan setu dan sempadan jalur distribusi energi listrik saluran udara tegangan tinggi (SUTT) dan saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET).

Dari sisi penggunaan lahan, RTRW Kota Depok 2010-2030 mencatat bahwa proporsi lahan terbangun meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir, dari sekitar 9299 Ha atau 46.49% pada tahun 2005 menjadi sebesar 10.461,99 ha atau sekitar 52,30 % dari luas wilayah Kota Depok. Ini berarti rata-rata pertumbuhan lahan terbangun mencapai 3.14% per tahun. Dominasi penggunaan lahan terbangun terbesar diperuntukan bagi lahan permukiman dengan luas sebesar 9540,64 ha atau sebesar 48,57% dari luas lahan Kota Depok.

4.1.2. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk

(65)
(66)

Menurut perhitungan BPS pula, laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Depok dalam 10 tahun terakhir menempati posisi kedua setelah Kabupaten Bekasi dengan nilai rata-rata sebesar 4.27%, dengan laju pertumbuhan tertinggi di kecamatan Limo sebesar 8.48% dan terendah di kecamatan Sukmajaya sebesar 3.27%. Dengan menggunakan asumsi pertumbuhan penduduk dapat ditekan sesuai target nasional yakni sebesar 2,48%, maka proyeksi penduduk Kota Depok hingga tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Proyeksi Penduduk Kota Depok 2010 – 2020

TAHUN PROYEKSI

2011 1,742,075 2012 1,785,191 2013 1,829,375 2014 1,874,652 2015 1,921,049 2016 1,968,595 2017 2,017,318 2018 2,067,247 2019 2,118,411 2020 2,170,842

Sumber : SPKD, 2011

4.2. Gambaran Umum Kondisi Pengelolaan Sampah di Depok

4.2.1. Organisasi Pengelola Sampah

(67)

adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok atau disingkat DKP Kota Depok.

DKP Kota Depok merupakan unsur pelaksana teknis di bawah Walikota yang berfungsi sebagai pelaksana pelayanan kebersihan (Operator) juga berfungsi melaksanakan tugas pengaturan/pengendalian (regulator). Struktur organisasi DKP Kota Depok terdiri dari Kepala Dinas dibantu 3 (tiga) Kepala Bidang, 1 (satu) Sekretariat dan 3 (tiga) Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), seperti tertera pada Gambar 5.

(68)

Kegiatan pengelolaan sampah dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pengelolaan Sampah Kota Depok yang dipimpin oleh Kepala UPTD. Lokasi UPTD berada di areal TPA Cipayung. Petugas pelayanan sampah di areal TPA Cipayung terdiri dari : operator alat berat, kernet truk sampah, sopir truk sampah, petugas keamanan TPA, petugas TPA dan pengawas TPA. Keseluruhan berjumlah 236 orang, dengan struktur organisasi seperti Gambar 6.

Gambar 6. Struktur Organisasi UPTD TPA Cipayung

4.2.2. Timbulan Sampah dan Tingkat Pengangkutan Sampah ke TPA

Berdasarkan Standar SK. SNI S-04-1991-03, spesifikasi timbulan sampah untuk kota kecil dan sedang di Indonesia adalah antara 2,75-3,25 lt/orang/hari atau rata-rata 3,00 lt/orang/hari. Sedangkan berdasarkan perhitungan (Bapeda Kota Depok, 2002) produksi sampah per hari per orang 2,65 liter (skala Kota Depok).

Gambar

Gambar 1.   Jenis Sampah
Gambar 2.    Kerangka Pemikiran
Gambar 3.    Pembagian Administrasi Kota Depok Paska Pemekaran Tahun 2008
Tabel 1.   Proyeksi Penduduk Kota Depok  2010 – 2020
+7

Referensi

Dokumen terkait

7 Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Made Dwi Vijayanti dan I Gusti Wayan Murjana Yasa (2016) yang berjudul “Pengaruh lama usaha dan modal terhadap

Penelitian ini merupakan pengembangan penelitian pengolahan citra dalam membedakan tanaman dengan latar atau background menggunakan pengembangan metode kelebihan hijau (excess

Rencana Strategis juga merupakan dokumen lembaga negara yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan monitoring dan evaluasi serta mengakomodir konsep-konsep pemajuan

Meskipun demikian, tetapi acara tarhim bisa dirasakan manfaatnya oleh warga setempat karena acara ini tidak hanya memberikan ceramah keagamaan saja tetapi juga

sebagai penguji sekaligus Ketua Jurusan Fisika dan Pengajaran IPA yang telah banyak membantu selama penulis mengikuti studi dan menyelesaikan penulisan tesis ini.. Dr.Ida

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu ”Apakah ada pengaruh guided imagery terhadap tingkat kecemasan pada pasien skizoafektif di

Masalah lainnya yang penulis temukan yaitu tentang klausula Pasal 3 dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli dimana klausula tersebut menyatakan : “apabila pada tanggal yang

Ketika pertama kali program dijalankan, anda hanya diminta untuk menekan tombol ulang sehingga program akan terlebih dahaulu mendeklarasikan 1 buah variabel