• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Kuasa Sampah tingkat TPS

V RELASI KUASA PENGELOLAAN SAMPAH

5.1.3. Relasi Kuasa Sampah tingkat TPS

Relasi kuasa di tingkat TPS dijalankan oleh cukup banyak aktor. Selain oleh warga dan pengurus RT, RW, serta Pokja RW Hijau, medan interaksi tingkat TPS juga melibatkan para aktor lainnya, mulai dari petugas pesantren yang tidak jauh dari perumahan, petugas kebersihan RT non perumahan, satpam perumahan, pengendara motor, mobil pickup penarik sampah dsb. Berbagai wacana masuk mempengaruhi relasi-relasi kuasa antar aktor ini. Isu yang muncul bukan hanya soal material atau bahan-bahan yang bernilai ekonomi, tetapi menyangkut isu hukum dan kemanusiaan. Pada tingkat TPS ini, akan diketengahkan kasus munculnya aktivitas perpindahan sampah dari bak sampah di RT 01 RW 01 ke TPS Perumahan Griya Pancoran Mas Indah, surat protes dari penghuni rumah yang persis bersebelahan dengan TPS dan upaya negosiasi/sembunyi- tau/terselubung yang dilakukan oleh Pak Slm dengan satpam perumahan.

Seperti telah disinggung sebelumnya, di perumahan Griya Pancoran Mas Indah, sampah rumah tangga ditangani oleh pengurus RT kerjasama dengan petugas kebersihan RT dan Pokja RW Hijau dengan kader Pokja RW Hijau sebagai anggota yang selanjutnya disebut dengan kader hijau atau kader. Polanya hampir sama dan berlaku umum, bahwa sampah dari rumah tangga, dikumpulkan di bak sampah, selanjutnya dari bak sampah diangkut kembali oleh petugas kebersihan ke TPS. Selain petugas kebersihan, ada juga kader hijau yang tugasnya hampir sama dengan petugas kebersihan yaitu mengambil sampah dari pekarangan rumah warga untuk kemudian dikumpulkan di pekarangan rumah Ketua RT (RT 05, 06, 07) ada juga yang langsung diserahkan ke bank sampah dan sebagian dibuang ke TPS (RT 01), biasanya yang langsung diserahkan karena jaraknya dekat dengan bank sampah/TPS perumahan.

Setelah sampah terkumpul (di RT 05, 06, 07) baru kemudian diangkut oleh petugas kebersihan ke bank sampah yang bersebelahan dengan TPS, terkadang sebagian yang diperkirakan tidak laku dibuang juga ke TPS. Perbedaannya, kalau petugas kebersihan mengambil sampah dari bak sampah setiap hari, biasanya pagi hari antara jam 07.00 s.d. jam 11.00, sampah yang diambil dari bak sampah dalam keadaan tercampur antara sampah organik dan non organik. Sedangkan kalau kader hijau mengambil sampah di pekarangan

rumah warga setiap hari sabtu pagi, antara jam 08.00 s.d. jam 11.00 WIB. Anggota kader hijau per RT rata-rata 5 orang, semuanya perempuan/ibu-ibu PKK.

TPS yang ada di perumahan Griya Pancoranmas Indah sudah ada sejak tahun 2008. TPS ini dibangun atas kerjasama LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Kelurahan Rangkapan Jaya Baru dengan Ketua RW lama yang bernama Bpk Lht. Menurut cerita Ketua RW lama, awalnya, Ketua LPM Kelurahan Rangkapan Jaya Baru mendapat informasi dari Kelurahan bahwa ada dana “nganggur” yang sudah siap cair untuk kegiatan kebersihan lingkungan. Kemudian diusulkan pembangunan TPS dalam rangka mengurangi sampah warga agar lingkungan bisa bersih terpelihara. Usulan LPM disetujui, kemudian dicari lahan untuk pembangunan TPS tersebut, tetapi lahan yang sedianya akan dibangun TPS di RW 01 ternyata tidak disetujui oleh pemiliknya, akhirnya Ketua LPM mencari lahan strategis yang sekiranya bisa masuk mobil truk pengangkut sampah dari DKP. Alhasil, Ketua LPM menghadap ketua RW 14 Perumahan Griya Pancoranmas Indah untuk minta persetujuan dibangunnya TPS di lahan fasos/fasum perumahan. Ketua RW 14 menyetujui dengan catatan tidak ada uang yang keluar dari kas RW untuk pembangunan TPS tersebut. Setelah kedua belah pihak setuju, akhirnya diajukan proposal ke Kelurahan Rangkapan Jaya Baru dan tidak lama kemudian dimulailah pembangunan TPS tersebut.

Pada saat pembangunan, warga tidak menyangka akan dibuatkan TPS, setelah bangunan terbentuk, berupa empat persegi panjang dengan ukuran kurang lebih 6x8 = 48 m2 barulah warga tahu, ternyata bangunan itu untuk tempat sampah sementara atau TPS (Tempat Pembuangan Sementara). Posisi bangunan TPS persis di sebelah kiri depan pintu gerbang masuk perumahan, bersebelahan dengan rumah Pak Haji (yang dikemudian hari mengajukan protes keras, lewat lisan maupun tertulis ke Kelurahan, tembusan ke Ketua RW yang baru). Sebetulnya, pada saat setelah berdirinya bangunan dan difungsikan untuk penampungan sampah sementara (meskipun sifatnya sementara), sudah banyak warga yang protes, penyampaian protes dilakukan saat rapat warga tingkat RT, kemudian pengurus RT menyampaikan kembali protes warga tersebut kepada RW pada saat rapat RW yang dihadiri oleh masing-masing perwakilan/pengurus RT.

Keberatan warga atas keberadaan TPS karena bisa menimbulkan berbagai macam penyakit, bau sampah bisa membuat sesak napas, bisa mendatangkan penyakit yang disebabkan oleh lalat seperti diare, dan pelbagai penyakit yang disebabkan oleh tikus. Keberadaan TPS sangat merusak kenyamanan warga akibat bau sampah. Waktu musim hujan sampah berserakan terbawa air keluar TPS dan lindinya menyebar keluar sampai jalanan, musim kemarau diganggu oleh bau dan lalat. Lindi dari sampah akan mencemari air tanah yang dimanfaatkan oleh sebagian warga (sumur bor), akan mengundang banyak pemulung dan pihak- pihak lain dari luar kompleks, hal ini perlu diwaspadai karena bisa berimplikasi kepada keamanan warga perumahan. Tetapi apalah daya, TPS sudah terbangun, pihak RW menyampaikan bahwa harusnya warga bersyukur, karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pembangunan TPS, yang diperlukan hanya persetujuan memanfaatkan fasos/fasum (fasilitas sosial/fasilitas umum) untuk didirikan bangunan TPS tersebut. Toh pada akhirnya warga juga yang akan memanfaatkan TPS itu untuk membuang sampah warga perumahan. Dana untuk pembangunan TPS berasal dari Pemkot Depok yang diusulkan oleh LPM melalui Kelurahan.

Tanggapan warga lain lagi, selain alasan-alasan yang sudah dikemukakan di atas, ada beberapa alasan penting lainnya yang dikemukakan yaitu bahwa TPS yang berlokasi persis di sebelah kanan arah masuk gerbang perumahan, sangat mengganggu pemandangan warga perumahan ketika akan masuk, mengganggu “estetika” dan malu kalau tamu mau datang ke perumahan, meskipun bau sampah tidak tercium karena cukup jauh dari rumah-rumah warga, tetapi pada saat warga mau keluar dan masuk perumahan bau sampah tercium tajam, apalagi pada saat bersamaan dengan pengangkatan sampah oleh DKP untuk dipindahkan ke TPA, baunya sangat tajam menusuk hidung.

Warga perumahan juga kecewa karena ternyata TPS yang ada di perumahan ini, dimanfaatkan juga oleh warga lain tanpa kompensasi apapun. Banyak pengendara mobil dan terutama motor yang sengaja membuang sampah dalam kantong keresek ke TPS tersebut. Satpam perumahan tidak bisa bertindak dengan alasan karena jauh dari jangkauan mereka, dan tidak mungkin mereka/satpam mengejar orang pakai motor yang membuang sampah dalam keresek ataupun karung ke TPS perumahan, jadi intinya, susah juga untuk

melarang dan memperingatkan orang-orang luar kompleks untuk tidak membuang sampah ke TPS perumahan (jadi menarik karena tetangga satpam yang satu kampung, ternyata dibiarkan juga buang sampah di TPS perumahan).

Masih menurut pengakuan satpam (salah satunya biasa dipanggil Bang Tll), orang yang buang sampah ke TPS perumahan lebih banyak malam hari dibanding siang atau sore hari. Ada yang bawa sampai 2 karung besar, sampah yang dibuang ke TPS. Kalau siang hanya 2 atau 3 orang saja, tapi kalau malam bisa sampai puluhan orang yang buang sampah ke TPS. Pernah juga ada yang bawa mobil pickup malam-malam buang sampah di TPS, kalau yang seperti ini biasanya langsung dilarang oleh satpam perumahan. Banyak orang yang buang sampah ke TPS terutama malam hari, menurut perkiraan Bang Tll lebih banyak sampah yang bersumber dari luar dibanding dengan sampah yang berasal dari warga perumahan, Bang Tll menuturkan, sebagai berikut :

“……begini pak, kalau kita hitung, berdasarkan pengamatan saya sebagai petugas jaga di perumahan ini, sampah yang diangkut Umr dan petugas kebersihan lainnya dari perumahan ini, paling hanya 3 atau 4 gerobak perhari, tapi kalau kita bandingkan dengan sampah yang datang dari luar, bisa 5 gerobak perhari, dan banyakan malam hari datangnya……” Begitulah apa yang disampaikan bang Tll berdasarkan pada pengamatan dia selama berjaga di pos satpam, baik sengaja melihat ataupun tidak sengaja kepergok dengan warga lain yang juga buang sampah ke TPS perumahan.

Salah satu warga non perumahan yang membuang sampah ke TPS perumahan adalah Pak Slm. Kegiatan pembuangan sampah yang dilakukan Pak Slm, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bagi warga perumahan Griya Pancoranmas Indah. Melalui rapat RT warga sudah mengusulkan keberatan atas pembuangan sampah non perumahan yang ternyata hampir 60% nya sampah tersebut berasal dari luar kompleks dan hanya sekitar 40% berasal dari warga perumahan, sebagaimana penuturan koordinator RW Hijau sbb :

“……kalau dihitung-hitung, menurut perkiraan saya, ada kali 40% saja sampah warga kita yang masuk TPS, ini kalau dilihat dari berapa kali dan berapa gerobak kita yang buang sampah ke TPS perumahan, kita bayar tiap bulan Rp. 2.200.000,- berarti kita bayar untuk semua sampah yang diangkutin, ditambah tips untuk sopir dan kernet kadang Rp. 75.000,- kadang sopir itu minta Rp. 100.000,-……”,

Demikain dikatakan Pak Mmn selaku koordinator RW Hijau. Pembayaran untuk pengangkutan sampah dari TPS ke TPA tiap bulannya berasal dari iuran masing- masing RT berarti dari warga juga, kalau ada sampah yang masuk dari luar perumahan, berarti warga perumahan ikut membayarkan sampahnya warga lain yang berada diluar perumahan.

Meskipun ramai dibicarakan di tingkat rapat RT, namun kegiatan Pak Slm masih tetap berjalan, bahkan seolah-olah “leluasa” tanpa beban ketika membuang sampah tersebut ke TPS perumahan. Pada level pertemuan tingkat RW, pengurus RT pernah mengutarakan mengenai keberatan warga ini, namun seperti yang dikhawatirkan koordinator RW Hijau, bahwa warga perumahan perlu mensikapi ini dengan hati-hati, jangan sampai salah bicara, takutnya menyinggung perasaan Pak Slm. “Kita harus hati-hati karena hal ini menyangkut dapur Pak Slm”, demikian dikatakan koordinator RW Hijau, mengingatkan warga dan dirinya yang khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang bisa merembet kepada keterlibatan warga Kampung Benda lainnya diluar Pak Slm. Pak Mmn sebagai koordiantor RW Hijau, sekaligus sebagai salah seorang warga yang mengaku sudah sejak lama kenal dengan Pak Slm, lebih membayangkan karakter Pak Slm yang dulunya suka membawa parang6 ke mana-mana.

Pak Mmn tahu kalau Pak Slm bisa jadi akan tersinggung bila perbuatannya ditegor. Pak Slm sebagai “orang asli Kampung Benda”, sedangkan warga perumahan kebanyakan pendatang, wajar keragu-raguan macam itu muncul. Berita tentang konflik sosial pada masa lalu, antara orang yang dipercaya menggarap lahan perumahan (sebelum dibangun) dengan warga Kampung Benda, bahkan sampai gubuk orang yang dipercaya menggarap lahan perumahan, dibakar oleh warga Kampung Benda, ikut memproduksi bayangan konflik dan rasa takut yang membuat warga kompleks lebih berhati-hati mengambil sikap, artinya konstruksi hubungan sosial antara warga dan “orang asli Kampung Benda” masih sangat rapuh, dan itu berpengaruh terhadap sikap yang harus diambil dalam urusan sampah yang ternyata semakin nyata kerumitannya.

6

Keberatan warga yang disampaikan melalui rapt-rapat selama ini, belum cukup untuk menghentikan aktivitas Pak Slm, rupanya ada strategi lain yang diterapkan oleh Pak Slm yaitu dengan cara negosiasi7 agar tetap bisa membuang sampah ke TPS, sebagai tempat aktivitas membuang sebagian sampah warga Kampung Benda. Pihak warga dalam menyikapi aktivitas Pak Slm selama ini, tetap mengacu pada konteks keberadaan TPS yang ada di wilayah perumahan dan pembayaran ongkos angkut sampah oleh warga perumahan, sehingga tidak dibolehkan ada sampah lain non perumahan yang masuk ke TPS.

Bertolak dari fenomena di atas, maka terdapat perbedaan pandangan antara kepentingan Pak Slm dengan pihak warga. Perbedaan pandangan ini pada awalnya ditanggapi Pak Slm dengan cuek saja, tetapi selanjutnya bisa jadi karena ada kekahawatiran Pak Slm atas keberatan warga yang semakin meluas, maka mereka melakukan hubungan-hubungan negosiasi. Hubungan-hubungan tersebut dilakukan bersama satpam setempat sebagai suatu strategi mempertahankan TPS, tindakan negosiasi dan terkait satu sama lainnya ini menjadi polemik yang berkepanjangan.

Hubungan-hubungan kekuasaan8 yang terjadi selama ini terjalin, mengalir, menyatu, dan sekali-kali berpisah dalam satu bingkai yaitu motivasi ekonomi, sehingga bekerjanya kekuasaan sangat tergantung pada situasi dan sekaligus kepentingan masing-masing para pelaku secara terus menerus. Adanya keberatan warga tersebut di atas, merupakan bukti bahwa pada umumnya masih ada kecenderungan bagi para aktor memanfaatkan peluang-peluang untuk membangun hubungan-hubungan yang bersifat non-formal. Hubungan-hubungan non-formal yang dimaksud salah satunya melalui negosiasi atau sembunyi-tau.

7

Istilah ini digunakan, untuk menyebut suatu pengertian yang berkaitan dengan posisi antara dua

aktor (pelaku) yang saling melakukan ‘tawar menawar’ yang berarti ‘saling mengetahui’. ( Bukunya Scott, Weapons of the weak : Everyday Forms of Peasant Resistance, seri terjemahan,

2000 oleh A. Rahman Zainuddin, dkk) dalam Siswono (2009), menggunakan istilah negosiation

dengan pengertian sembunyi-tau, taktik ini digunakan oleh Scott untuk memulai pembicaraan tentang hal-hal yang bersifat peka, bahkan antara pihak-pihak yang saling berhubungan erat dan sering bertemu (Siswono, 2009).

8

Sesuai dengan pendapat Foucault dalam Cheater (1999:3) dalam Siswono (2009) yang menyatakan, bahwa individu-individu selalu dalam situasi mengalami dan melaksanakan kekuasaan secara simultan. Individu-individu bukan hanya target kekuasaan yang bergerak atau yang patuh saja, tetapi individu-individu juga selalu merupakan unsur pengungkapan kekuasaan,

Tidak hanya itu, protes keras terhadap keberadaaan TPS perumahan juga datang dari warga non perumahan, salah satunya dari Pak Haji yang rumahnya persis bersebelahan dengan bangunan TPS perumahan. Secara lisan Pak Haji sudah bicara langsung dengan pak RW baru (Pak Idr), tapi pihak RW juga tidak bisa berbuat banyak karena keberadaan TPS sudah atas persetujuan LPM Kelurahan Rangkapan Jaya Baru dan itu merupakan hasil kesepakatan dengan RW lama. Pengadaan TPS di perumahan ini, juga atas persetujuan pihak kelurahan, karena terbukti bahwa dana pembangunan TPS berasal dari Pemkot Depok melalui Kelurahan Rangkapan Jaya Baru. Jadi TPS ini sudah atas persetujuan para pihak yang berkompeten yaitu LPM, pihak Kelurahan dan RW selaku pengelola fasos/fasum perumahan Griya Pancoranmas Indah. Merasa tidak puas akhirnya Pak Haji melayangkan protes dalam bentuk tertulis, yaitu berupa surat protes ke Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, mempersoalkan keberadaan TPS perumahan yang sangat mengganggu kenyamanan Pak Haji, terutama aspek bau.

Surat protes juga ditembuskan ke RW baru perumahan Griya Pancoranmas Indah. Pihak Kelurahan menyampaikan bahwa pengadaan TPS adalah bagian dari progam kebersihan Pemkot Depok dan sudah mendapat persetujuan LPM serta pihak RW 14 selaku penguasa tanah fasos/fasum tempat berdirinya TPS perumahan. Karena merasa tidak puas akhirnya dilayangkan lagi surat protes berikutnya yang juga ditembuskan ke RW 14 Griya Pancoranmas Indah, kali ini disertai dengan ancaman akan membawa ke ranah hukum, apabila tidak ada respon yang baik dari pihak-pihak yang bertanggung jawab.

medium kekuasaan dan bukan merupakan titik-titik penerapan kekuasaan. Oleh karena itu secara inheren, di dalam hubungan sosial antara pelaku sebenarnya terdapat unsur-unsur persaingan, kompetisi, kontestasi, resistensi (perlawanan) dan juga adanya konsensus, negosiasi serta kerjasama. Dengan demikian, hipotesis yang mendasari konsepsi kekuasaan ini adalah hipotesis tentang bidang sosial yang berbeda tingkatnya di antara pusat-pusat kekuasaan yang dapat berubah-ubah (naik – turun). Ketidaksetaraan di antara kekuatan inilah yang menghasilkan kondisi kekuasaan, yang selalu local dan tak tetap (Patton 1987 : 234) dalam (Siswono, 2009). Dalam konteks ini, kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun. Setiap orang, siapapun dia dapat memainkan kekuasaan dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain, sehingga tak pernah suatu hubungan kekuasaan tercipta sekali jadi, kemudian membeku seperti batu. Tetapi kekuasaan dapat mengalir sangat cepat dari satu tempat ke tempat lainnya tergantung pada perubahan aliansi dan keadaan. (Danaher, Schirato dan Webb 2000:70) dalam (Siswono, 2009).

Beberapa hari kemudian, RW mengadakan rapat dan sekaligus membahas surat yang masuk tentang protes TPS perumahan yang berdiri diatas tanah fasos/fasum9 perumahan tersebut. Rapat RW dihadiri oleh ketua RT atau perwakilannya, surat protes ini disampaikan dan mendapat beragam tanggapan, sebagian besar RT dan perwakilannya menyetujui untuk dilakukan pembongkaran dengan alasan sudah sesuai dengan aspirasi warganya dan alasan- alasan lain yang cukup penting (seperti diceritakan di awal).

Sebagian kecil perwakilan RT yang hadir tidak menyetujui dengan alasan pihak RT terutama RW Hijau dan armadanya/kader hijau belum ada kesiapan untuk menangani sampah dari tingkat rumah tangga sampai pengangkutan ke TPA Cipayung. Tanggapan dari koordinator RW Hijau sendiri membenarkan mengenai belum adanya kesiapan tersebut. Kalau memang setuju dibongkar, maka kita atau RW Hijau harus siap dulu dengan armada gerobak motor, yang nantinya akan mengangkut sampah rumah tangga yang terkumpul di bak sampah, lalu dibuang langsung ke TPA Cipayung. Akhirnya rapat memutuskan untuk membiarkan saja surat protes tersebut, tidak perlu ditanggapi. Berarti keberadaan TPS10 perumahan tetap “eksis” selama RW Hijau belum ada kesiapan untuk menangani pembuangan sampah warganya.

9

Fasos/fasum di perumahan Griya Pancoranmas Indah masih menjadi tanggung jawab RW, karena waktu itu belum ada penyerahan/berita acara penyerahan perumahan dari developer ke Pemkot Depok, sehingga aset dalam bentuk fasos/fasum masih ada dibawah tanggung jawab developer, sementara developer sudah tidak diketahui keberadaannya/menghilang entah kemana, sehingga akhirnya RW yang dianggap punya kewenangan terhadap fasos/fasum tersebut.

10

TPS perumahan Griya Pancoranmas Indah akhirnya ditutup/dibongkar oleh warga perumahan sekitar bulan April 2013, pembongkaran dilakukan atas persetujuan dari pihak Kelurahan Rangkapan Jaya Baru (Lurah baru Bpk. Drs H Ubaydillah). Setelah tidak ada TPS perumahan, akhirnya RW Hijau yang mengkoordinir pembuangan sampah warga perumahan. RW Hijau sebelumnya telah mengajukan kredit ke Bank Mandiri untuk pengadaan Germo (Gerobak Motor) dan operasionalisasi germo ini oleh RW Hijau dipercayakan kepada Bang Umr. Pengadaan germo juga atas persetujuan RW lama (Bpk. Indra Kusuma) dan para ketua RT pada saat rapat di tingkat RW. Tata cara pengambilan sampah masih tetap mengacu ke model lama, untuk wilayah RT 05, 06 dan 07 sampah rumah tangga yang dibuang ke bak sampah kemudian diangkut oleh petugas kebersihan perumahan (Bang Umr), disortir lebih dulu, lalu dibuang langsung ke TPA Cipayung. Wilayah RT 04 sampah dari bak sampah diangkut oleh Bang Mll kemudian disortir, hasil sortiran dibawa dan disimpan di pekarangan rumahnya sedangkan sisanya di simpan di lahan kosong sekitar perumahan selanjutnya diangkut Bang Umr untuk dibuang langsung ke TPA. Pada wilayah RT 01, 02 dan 03 sampah dari bak sampah diangkut oleh Bang Ars kemudian disortir, sisanya dikumpulkan di lahan kosong perumahan lalu diangkut oleh Bang Umr lalu dibuang ke TPA. Model baru ini menambah beban kerja Bang Umr sampai harus 4-6 balikan mondar-mandir perumahan - TPA Cipayung, tetapi operasionalisasi germo oleh Bang Umr juga mengundang tanya dari Bang Mll dan Bang Ars sebagai sama-sama petugas kebersihan perumahan, kenapa mereka

Keberadaan TPS dan wacana pembongkarannya yang banyak menuai pro dan kontra, pada akhirnya meredup kembali dan berjalan mengalir seperti biasa, sampah dari rumah tangga tetap diangkut oleh petugas kebersihan kemudian dibuang ke TPS, sampah yang berasal dari warga luar yang membuang sampahnya sambil lewat dengan menggunakan kendaraan bermotor tetap jalan, termasuk sampah yang bersumber dari rumah tangga non perumahan yang dikelola oleh Pak. Salam berjalan terus, meskipun pembuangan dilakukan pada malam hari. Begitu juga dengan sikap Pak Haji yang melakukan protes, baik lisan maupun secara tertulis, setelah protesnya didiamkan saja, akhirnya sama-sama diam dan tidak terdengar lagi kabar protesnya sampai saat ini.

Paparan di atas mensiratkan bahwa aktor yang terlibat pada tingkat TPS sangat banyak termasuk bagaimana mereka mempraktekan/menjalankan kekuasaan berdasarkan basis kekuasaan masing-masing aktor yang diperlihatkan. Aktor tersebut yaitu ketua RW, ketua LPM, pihak Kelurahan, ketua RT, warga perumahan, RW hijau, bang Umr, bang Mli, bang Ars, pak Slm, bang Tll, satpam perumahan, pengendara motor yang buang sampah ke TPS perumahan, Sopir mobil picup yang buang sampah ke TPS perumahan, Sopir dan kernet truk DKP yang mengangkut sampah dari TPS perumahan.

Pada saat menyetujui pembangun TPS perumahan, Ketua RW berarti menjalankan/mempraktekan kekuasaannya dengan basis kekuasaan legal formal karena RW di SK-kan oleh Kelurahan. Protes warga melalui rapat RT dan keberatan RT (atas desakan warga) melalui rapat tingkat RW bisa kita artikan bahwa masing-masing sudah menjalankan kekuasaan dengan basis kepercayaan.

tidak dipercaya untuk mengelola germo perumahan, padahal selain sama-sama orang lokal mereka