II TINJAUAN PUSTAKA
2.2.2. Kajian Penelitian Terdahulu
Siswono (2009), melakukan penelitian dengan judul Resistensi dan Akomodasi : Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki-Lima (PKL), Preman dan Aparat di Depok, Jawa Barat. Siswono telah mampu menjelaskan bagaimana pengaruh kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat khususnya sektor informal yang selalu dipinggirkan keberadaannya.
Berbagai kemungkinan apa yang dilakukan pihak pelaku sektor informal dalam mengakses ruang publik yang melibatkan banyak aktor didalamnya. Proses para PKL beserta pelaku lainnya dalam kaitannya dengan cara-cara untuk mendapat tempat berdagang, melihat bagaimana cara mereka bernegosiasi, negosiasi dan akomodasi untuk dapat mengakses ruang publik. Siswono juga menjelaskan bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan yang dibangun diantara para PKL dengan berbagai pelaku (aktor) lainnya yang ikut terlibat dalam mengakses ruang publik yang dinyatakan dilarang oleh pemerintah setempat, sehingga mereka mendapatkan semacam ‘hak legitimasi’ untuk dapat tetap bertahan hidup dalam situasi krisis, melalui serangkaian resistensi, negosiasi dan akomodasi.
Siswono telah berhasil menjelaskan tentang bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan oleh masyarakat yang tergolong marjinal yang diwakili oleh pelaku sektor informal dalam menghadapi kebijakan pemerintah setempat. Berbagai hubungan yang dilakukan oleh pelaku sektor informal yang sehari-hari menggelar dagangannya di jalur-jalur ‘terlarang’ dalam konteks penguasaan ruang publik. Hubungan-hubungan tersebut, dilakukan dengan melibatkan Preman dan Aparat setempat telah mampu mengimbangi kebijakan selama ini. Hubungan-hubungan antara PKL, Preman dan Aparat dalam konteks penguasaan ruang publik.
Berkaitan dengan kehidupan pemulung dan lapak pemulung, telah dilakukan penelitian oleh Novitasari (2010). Hasil penelitian menyebutkan bahwa : 1). Profesi pemulung merupakan salah satu alternative sector informal bagi mereka yang mau bekerja namun tidak memiliki spesifikasi pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan dan ditetapkan oleh sector formal, 2). Profesi pemulung digeluti oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan yang berada pada usia kerja. Mayoritas etnis pemulung adalah suku jawa. Pendidikan terakhir pemulung termasuk rendah. Pekerjaan orang tua pemulung adalah sebagai petani, pemulung dan pembantu rumah tangga. Dapat diketahui bahwa profesi menjadi pemulung merupakan pekerjaan yang sampai saat ini mereka anggap baik dan menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, 3). Pola interaksi antar pemulung, pemulung dengan bos mengarah pada interaksi yang mendekatkan atau mempersatukan (asosiatif). Interaksi yang saling menguntungkan dan membutuhkan, telah terjalin diantara mereka.
Para pemulung jarang berinteraksi dengan masyarakat setempat. Pemulung di lapak Kelurahan Beji tidak pernah berinteraksi dengan pemerintah setempat, sebab mereka merasa bahwa kehidupan mereka dilindungi oleh bos. Untuk permasalahan birokrasi kependudukan para pemulung akan mengurus dan menyelesaikannya di daerah asal masing-masing. Tidak dimilikinya ijin menetap sementara dan tempat tinggal mereka yang dapat berpindah-pindah membuat para pemulung yang berada di Kelurahan Beji tidak mendapatkan dana bantuan dari pemerintah berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai), Beras Raskin, maupun ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin).
Royadi (2006) melakukan penelitian tentang analisis pemanfaatan TPA sampah pasca operasi berbasis masyarakat (Studi kasus TPA Bantar Gebang- Bekasi). Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal, diantaranya : 1) Alternatif pemanfaatan adalah sebagai TPA terpadu, dengan kegiatan setiap zona sebagai berikut: Zone I dan II sebagai hutan kota/penghijauan, Zone III, IV dan zone V sebagai TPA sampah. 2) Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplyer effect baik bagi lingkungan, masyarakat sekitar lokasi TPA dan Pemerintah.
Astuti (2005) melakukan penelitian dengan judul strategi pemberdayaan masyarakat sekitar TPA Sampah Cipayung melalui penguatan kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan sehat.Hasil penelitian dapat diketahui permasalahan utama yang muncul di Kelurahan Cipayung adalah adanya dampak negatif TPAS terhadap gangguan kesehatan masyarakat. Masyarakat membutuhkan penguatan kemampuan untuk mengetahui masalah yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Program jangka panjang yang dibutuhkan adalah pendidikan masyarakat dalam memperlakukan sampah dan penetapan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah serta penelitian tentang pengelolaan sampah dan teknik pengelolaan sampah yang efektif dan efisien.
Study tentang Relasi Kekuasaan dalam Pengelolaan Sampah telah dilakukan juga oleh Fikarwin (2008), tetapi fokus penelitian ini berbeda. Fikarwin melakukan penelitian secara keseluruhan pada tingkat kota Depok, sedangkan penelitian ini nantinya akan terfokus di wilayah TPA Cipayung dan area sekitarnya dengan tetap memperhatikan konteks Depok yang lebih luas.
Lokasi penelitian Fikarwin dilakukan di Kelurahan Janarata, sedangkan lokasi penelitian ini dilakukan di Perumahan Griya Pancoranmas Indah, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoranmas, Kota Depok.
Hasil penelitian Fikarwin menyebutkan bahwa telah terjadi segmentalisasi penanganan sampah yang tercipta sebagai kreatifitas para pelaku dalam rangka menjalankan kekuasaan untuk menjamin kelangsungan kepentingannya. Penanganan sampah adalah sebuah kancah sosial yang di dalamnya terbangun hubungan-hubungan kekuasaan antar pelaku. Tiap pelaku memainkan kekuasaan atas pelaku yang lain, yang ia dapat kuasai dan dengan melibatkan dukungan dari pihak-pihak lain yang ia dapat pengaruhi. Berbagai taktik ditempuh menghadapi kekuasaan yang dilaksanakan pelaku lain untuk menyelamatkan diri dan kelangsungan kepentingannya karena di dalam hubungan-hubungan kekuasaan semacam itu, hubungan antar pelaku seringkali tidak berlangsung langgeng. Hubungan-hubungan yang terbangun sangat cair, cepat berubah, tergantung kepentingan. Tidak ada hubungan kekuasaan yang bersifat absolut, mencakup segala urusan sehingga pelaku yang satu berkuasa mutlak atas pelaku yang lain. Menurut Fikarwin, masalah persampahan tidak begitu mudah dapat diharapkan menemukan solusi tanpa memperhatikan relasi-relasi kekuasaan yang terbentuk di dalamnya. Pemecahan secara yuridis dan teknis juga tidak terlalu menolong, terlebih apabila pengelolaan sampah yang dimaksudkan bukan semata-mata untuk membersihkan sampah.
2.3. Relasi Kekuasaan
Menurut kamus cerdas Bahasa Indonesia, relasi dapat diartikan sebagai pertalian atau hubungan, sedangkan kekuasaan oleh Weber diartikan sebagai kecenderungan seorang aktor dalam hubungan sosialnya yang membuat dirinya berada dalam posisi resisten berkaitan dengan dasar resisten yang dia miliki (Weber, 1978). Masih menurut Weber (seri terjemahan Noorkholis, dkk, 2006 : 217-218) bahwa kekuasaan didefinisikan sebagai kesempatan bagi seseorang atau sekumpulan orang untuk mewujudkan kehendak mereka dalam suatu tindakan komunal bahkan jika tindakan itu ditujukan untuk mengatasi perlawanan pihak lain yang berpartisipasi dalam tindakan itu. Lebih rinci Weber dalam Soekanto
(2007), mengaitkan kuasa dengan konsepsinya mengenai tindakan. Setiap tindakan menurutnya bisa bersifat : rasional-bertujuan, rasional-nilai dan bersifat afektif-emosional atau berupa perilaku kebiasaan sebagai ekspresi dari adat istiadat yang telah tertata. Dalam mendefinisikan kuasa, Weber menganggap bahwa kuasa merupakan kesempatan individu dalam interaksi sosial untuk mewujudkan keinginannya di dalam suatu tindakan komunal meskipun melawan arus tantangan dan resistensi individu lain yang terlibat dalam tindakan tersebut.
Dalam perspektif kekuasaan Foucault, kekuasaan dimaknai sebagai kompleks strategi yang dijalankan pihak tertentu dengan tujuan mendorong pihak lain untuk patuh atau taat, atau membuat pihak lain tunduk, atau membuat pihak lain memberi dukungan terhadap pihak itu (Maring, 2010). Menurut Foucault, bahwa kekuasaan terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk dan penentu-penentu ekonomi yang terpusat atau kepada karakter legalnya. Lebih jauh lagi, kekuasaan tidak semata represif, tetapi juga produktif dan kekuasaan memunculkan subjek-subjek. Kekuasaan berperan dalam melahirkan kekuatan (force), membuatnya tumbuh dan memberinya tatanan, kekuasaan bukan sesuatu yang selalu menghambat kekuatan, menundukkannya atau menghancurkannya (Foucault, 1980: 136 dalam Siswono 2009)
Bertolak dari pemikiran Foucault, konsep kekuasaan bukan merupakan suatu benda yang bisa dimiliki, diberikan atau dipindah–tangankan. Tetapi kekuasaan merupakan suatu strategi yang komplek sifatnya dalam masyarakat dengan mekanisme tertentu. Lebih lanjut Foucault menjelaskan, bahwa kekuasaan pada dasarnya dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup, dimana terdapat banyak posisi yang secara strategis berhubungan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran sesuai keadaannya. Awalnya, pelaku tindakan melakukan perlawanan, tetapi jika tindakan tersebut kurang effektif maka pelaku mengalihkan tindakan tersebut melalui kolaborasi, namun masih dalam koridor hubungan-hubungan kekuasaan. Oleh karenanya, strategi berlangsung di mana–mana dalam ruang dan waktu. Ini berarti, bahwa strategi tersebut berlangsung pada sistem–sistem regulasi, aturan–aturan termasuk susunan, dan terdapat aktivitas manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga di situlah bekerjanya kekuasaan.
Pada tulisan Foucault yang dirujuk Bertens (2001) dalam Siswono (2009) menyatakan, bahwa kekuasaan mempunyai berbagai bentuk dan penerapan dari bentuk–bentuk kekuasaan berbeda–beda berdasarkan setting masing–masing. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa kekuasaan terdapat juga pada sejumlah institusi dan struktur kekuasaan tidak dapat diartikan sebagai struktur yang menetap, namun mencair, menyatu dan sekali waktu berpisah. Ia justru senantiasa berubah sejalan dengan interaksi yang terjadi secara kontinyu – baik berupa perjuangan, perebutan, maupun persaingan – serta berkembangnya cara berfikir dan perilaku pada pelaku (aktor). Oleh karenanya, kekuasaan pada dasarnya selalu dinamis dan menyebar tanpa bisa dilokalisasi, serta meresap dalam seluruh jalinan hubungan sosial (Foucault, 1980 dalam Siswono, 2009)
Selanjutnya, konsep kekuasaan menurut Foucault tidak dapat dilepaskan dengan konsep pengetahuan, karena manusia ketika melakukan interaksi dengan yang lain akan selalu mengonstruksi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi pengetahuan–nya. Pengetahuan tersebut, lebih lanjut Foucault menyatakan, berasal dari relasi – relasi kekuasaan yang menandai keberadaan subjek. Oleh karenanya, kekuasaan dan pengetahuan merupakan dua sisi yang bekerja dalam suatu proses yang sama. (Foucault, 2000 dalam Siswono, 2009).
Michel Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Bagi Foucault kuasa tidak bermakna “kepemilikan”, atau keadaan dimana seseorang memiliki sumber kekuasaan. Kuasa, dipraktekan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan antara satu sama lain. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan sistem-sistem regulasi, dimana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu sama lain, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan dan hubungan dari dalam. Kekuasaan dalam konteks semacam itu sejalan dengan salah satu proposisi yang dikemukakan Foucault : “power isn’t a thing that is either held by,or belongs to, anybody” (Kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun) (Danaher, Schirato & Webb 2000:70 dalam Fikarwin, 2009).
Dengan demikian setiap orang dapat memainkan kekuasaan dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain, sehingga tak pernah relasi kekuasaan itu
tercetak sekali jadi lalu membeku seperti batu. Power dapat mengalir sangat cepat dari satu tempat atau area, ke tempat atau area lain, bergantung pada perubahan aliansi dan lingkungan (keadaan). Dengan kata lain, “power is mobile and contingent” (kekuasaan itu bergerak dan bergantung) pada sesuatu (Fikarwin, 2009)
Bagi Foucault kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu efek kuasa. Hampir tidak mungkin kekuaasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Kuasa memproduksi pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi penguasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya, tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuaasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Kebenaran bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak, akan tetapi ia diproduksi setiap kekuasaan yang menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi tapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja dengan cara negative dan represif melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa mereproduksi realitas (Eriyanto, 2001 dalam Wulan, 2010).
Foucault secara mendalam mempelajari praktik bagaimana manusia memerintah dirinya melalui modes of obyektification yang mengubah makhluk menjadi subyek, dan proses produksi dari suatu disciplinary society demi kesejahteraan (welfare). Study Foucault bertujuan memahami bagaimana proses disiplin, normalisasi dan penggunaan kekuasaan yang telah diterapkan dalam berbagai pengalaman. Praktik kekuasaan dapat dilihat, tapi sulit diidentifikasi, yakni dalam diskursus tempat manunggalnya kekuasaan dan pengetahuan.
Sumbangan terbesar Foucault terhadap teori dan praktik perubahan sosial adalah membuat teori itu lebih sensitif terhadap relasi kekuaasaan dan dominasi, serta menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan (power) teranyam di setiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi dan ini bertentangan dengan umumnya
keyakinan sosial yang cenderung mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia ilmu pengetahuan dan berasumsi bahwa pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa.
Kecenderungan memandang bahwa kekuasaan hanya berpusat di Negara ataupun kelas, bagi Foucault merupakan pengingkaran kenyataan, karena relasi kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan. Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tersebar dimana-mana dan datang dari mana-mana (Wulan, 2010; Malik, 2010). Pandangan ini sangat jauh berbeda dengan konsep kekuasaan yang telah dikemukakan oleh Marxian, dimana Marxian melihat kekuasaan hanya pada Negara (Suseno, 2003).
Beberapa kata kunci kekuasaan menurut Foucault adalah pertama, kekuasaan bersifat dinamis (power is dynamic) yang bermakna bahwa kekuasaan bukan kepemilikan dan bukan ditangkap, diperoleh kemudian dibagi namun lebih dekat dengan “kesejajaran sosial” ; kedua, kekuasaan bisa berasal dari mana saja (power is everywhere) yang bermakna bahwa kekuasaan mencakup segala sesuatu dan dia bisa datang dari mana saja. Kekuasaan tidak dimiliki oleh agen yang dominan juga tidak ditujukan didominasi, tapi didistribusikan melalui jaringan sosial yang kompleks, dan ketiga, Kekuasaan bersirkulasi (Power as something that circulate) yang bermakna bahwa kekuasaan berputar dan diproduksi dari satu moment ke moment berikutnya. (Rouse, 2005 dalam Wulan, 2010).
Dalam teori strukturasi Giddens (1984), menjelaskan bahwa konsep kekuasaan bukanlah gejala yang terkait dengan struktur ataupun sistem, melainkan kapasitas yang melekat pada pelaku. Karena itu, kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif. Sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang konkret (misalnya atasan dan bawahan, majikan dan buruh, antara tuan tanah dan buruh tani, atau kombinasi dari semua ini). Penguasaan terjadi lewat mobilitas struktur dominasi, ada dua sumber daya yang membentuk skema dominasi, yaitu penguasaan alokasi atas barang (ekonomi) dan penguasaan otoritas atas orang (politik). “Kekuasaan terbentuk dalam dan melalui reproduksi (dua) struktur dominasi” ini. Oleh karena kekuasaan merupakan kapasitas yang inheren pada pelaku, maka tidak pernah mungkin terjadi penguasaan total atas
orang lain. Giddens menamakan gejala ini sebagai dialektika kendali (dialectic of control), artinya, bahwa dalam kekuasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada tataran yang menguasai maupun yang dikuasai, dan bekerja saling mengkontrol, dimana mereka yang menjadi bawahan bisa mempengaruhi aktivitas-aktivitas atasannya.
Kekuasaan juga dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu kekuasaan bersifat positif dan negative (Surbakti, 1992 dalam Akhyar, 2010) yaitu :
1. Kekuasaan bersifat positif, merupakan kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi dan merubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.
2. Kekuasaan bersifat negatif, merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental.
Sosiologi tidak memandang kekuasaan sebagai suatu yang baik atau buruk, namun sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Kekuasaan ada dalam setiap bentuk masyarakat, baik yang bersahaja maupun masyarakat yang kompleks. Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, atau dengan perkataan lain, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu, dengan rela atau karena terpaksa. Apabila kekuasaan dijelmakan pada diri seseorang, biasanya orang itu dinamakan pemimpin, dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut- pengikutnya (Soekanto, 2007).
2.4. Kekuasaan dan Wewenang
Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul pengertian – pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan secara tradisional menurut Soekanto (2007), diartikan sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat di semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan-keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan pihak-pihak lainnya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Budiardjo (2008), kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Sedangkan Wewenang atau otoritas erat hubungannya dengan kekuasaan, karena dengan wewenang maka orang mempunyai hak untuk melakukan dan menetapkan sesuatu. Wewenang merupakan bentuk kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh individu maupun kelompok. Pandangan Weber (1978) dalam Malik (2010), wewenang dikaitkan dengan legitimasi yang kemudian membagi otoritas dalam tiga jenis yaitu : 1). Otoritas tradisional (traditional authority) dimana sebuah otoritas bersumber dari budaya (custom), sehingga otoritas lebih merupakan sebuah pelimpahan kekuasaan berbasis budaya dan tradisi yang diwariskan dengan legitimasi tradisi. 2). Otoritas kharismatis (charismatic authority), merupakan otoritas yang bersumber dari pengakuan orang atas keistimewaan seseorang (yang dianggap luar biasa) sehingga ia dipatuhi (hal ini sangat pribadi sifatnya). 3). Otoritas legal rasional (rational legal authority), merupakan otoritas yang bersumber dari aturan formal (hukum). Otoritas ini merupakan otoritas yang diperoleh seseorang dengan batasan-batasan hukum formal yagn berlaku. Ketika otoritas tersebut diterima oleh seseorang maka otoritas tersebut melekat dalam diri orang yang menjadi pemimpin atau penguasa dan dengan otoritasnya ia menjalankan kekuasaan.
Kekuasaan dan wewenang merupakan konsep yang saling terkait. Kabeer (1994) dan Parson (1960) dalam Nasdian (2007), membedakan kekuasaan (power) menjadi dua dimensi, yaitu distributif dan generatif. Berdasarkan dimensi distributif maka kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak mereka pada orang lain. Dimensi generatif, kekuasaan merupakan tindakan-tindakan yang memungkinkan masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuannya mengubah masa depan mereka
yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri. Dalam hal ini kekuasaan yang dapat diciptakan melalui organisasi sosial dan kelompok kaum marginal untuk mendorong proses perubahan sosial yang memungkinkan mereka untuk memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap lingkungan kehidupan mereka pada aras masyarakat lokal.
Kalangan yang beranggapan bahwa kekuasaan hanya mempunyai dimensi distributif sehingga memandangnya sebagai dimensi yang bervolume tetap akan melihat sedikit kemungkinan untuk bertindak kooperatif. Pemegang kekuasaan cenderung menentang dan mengantisipasi secara negative inisiatif organisasi (Korten dan Klauss, 1984 ; Nasdian, 2007). Dimensi generatif kekuasaan menunjukan adanya kemungkinan bahwa semua anggota masyarakat atau unit sosial yang lain mengambil keuntungan dan bertambahnya kekuasaan dibagi secara luas dalam kelompok.
2.5. Kerangka Pemikiran
Permasalahan pengelolaan sampah tidaklah semudah dan sesederhana seperti membagi-bagikan hak pengelolaan kepada satu atau beberapa aktor saja. Pengelolaan sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), yang sebelumnya diawali dari rumah tangga/perumahan permukiman (paling banyak), kemudian di bak sampah, lanjut ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara), umumnya melibatkan banyak aktor yang masing-masing memiliki derajat kepentingan yang berbeda. Masing-masing aktor memiliki dan terus mengembangkan strategi- strategi yang bertujuan mempertahankan akses mereka atas pengelolaan sampah, baik mulai dari tingkat bak sampah, TPS maupun TPA Cipayung Kota Depok. Dalam proses mengembangkan strategi dan mempertahankan akses tersebut terjadi distribusi atau polarisasi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara berbagai aktor yang terlibat.
Tidak semua relasi kekuasaan dalam medan interaksi pengelolaan sampah dapat ditelaah dalam penelitian ini, mengingat tidak sedikit jumlah pelaku yang saling berkaitan di lapangan. Oleh sebab itu perlu pembatasan, walaupun tidak terlalu ketat, maka batas itu adalah relasi kuasa tingkat rumah tangga, relasi kuasa tingkat bak sampah, relasi kuasa tingkat TPS dan relasi kuasa tingkat TPA,
sehingga kerangka pemikiran yang dibuat juga mengacu pada pembatasan itu, secara sederhana ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
2.6. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat hipotesis pengarah dan bertujuan memberikan bingkai serta arahan dalam keseluruhan proses penelitian. Dengan demikian maka hipotesis pengarah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah pengelolaan atau penanganan sampah di TPA melibatkan beragam aktor dengan beragam kepentingan, sehingga menghasilkan relasi kuasa yang beragam mengarah kepada resisten, kolaborsi bahkan sampai mengarah kepada konflik.
Perumahan/ Permukiman
Relasi Kuasa
tingkat TPS
Nilai‐nilai sosial, ekonomi, lingkungan dan politik terkait sampah
Fasilitas Umum lainnya Sampah Relasi Kuasa tingkat bak sampah Relasi Kuasa tingkat rumah tangga Relasi Kuasa tingkat TPA Perorangan Industri/Perkantoran Relasi Kuasa tingkat Kebijakan