• Tidak ada hasil yang ditemukan

The use of edible film from kitosan with CMC as a plasticizer as packaging fish burger

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The use of edible film from kitosan with CMC as a plasticizer as packaging fish burger"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN EDIBLE FILM DARI KITOSAN DENGAN PLASTICIZER KARBOKSIMETILSELULOSA (CMC) SEBAGAI PENGEMAS BURGER

LELE DUMBO

EKA SAPUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Penggunaan Edible Film dari Kitosan dengan Plasticizer Karboksimetilselulosa (CMC) sebagai Pengemas Burger Lele Dumbo” adalah karya saya beserta komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Eka Saputra

(4)
(5)

ABSTRACT

EKA SAPUTRA. The use of edible film from kitosan with CMC as a plasticizer as packaging fish burger. Under direction of BUSTAMI IBRAHIM dan PIPIH SUPTIJAH.

The aim of this research was to study the capability of CMC in improving the characteristics of edible film made from kitosan, as well as to see the ability of edible film in maintaining the shelf life of fish burger product at room temperature. Three various concentration of CMC was used, namely 0.1%, 0.3% and 0.5%. The results of kitosan edible film characterization from the three concentrations of CMC showed that the concentration of 0.1% was the best concentration as a plasticizer, with thickness 0.19 mm, water vapor transmission rate 50.8 ml/m2/day, the tensile strength 24.2 kgf/cm2 and percentage elongation 18.1%. The shelf life of fish burger wrapped with kitosan edible film with 0,1% CMC was longer (two days) than burger without edible film at room temperature, indicated by the some parameters such as water content, protein content, fat content, ash content, water activity and TPC (total plate count) and organoleptic value.

(6)
(7)

RINGKASAN

EKA SAPUTRA. C351100081. Penggunaan Edible Film dari Kitosan dengan Plasticizer Karboksimetilselulosa (CMC) sebagai Pengemas Burger Lele Dumbo. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan PIPIH SUPTIJAH.

Pengemasan merupakan bagian akhir dari suatu proses produksi bahan pangan atau produk lainnya. Pengemasan berguna untuk meningkatkan daya penerimaan konsumen, juga mengurangi derajat kerusakan yang terjadi selama pengangkutan produk. Kitosan merupakan turunan polisakarida yang berasal dari limbah udang yang pemanfaatannya bagi industri pangan di Indonesia belum banyak diaplikasikan. Kitosan dapat digunakan sebagai penstabil, pengental pengemulsi dan pembentuk lapisan pelindung jernih pada produk pangan. Karboksimetilselulosa (CMC) adalah gum selulosa anionik yang larut dalam air. Fungsi dasar CMC adalah untuk mengikat air atau memberi kekentalan pada fase cair sehingga dapat menstabilkan komponen lain dan mencegah sineresis. Burger merupakan makanan siap saji yang digemari oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan CMC untuk memperbaiki karakteristik edible film dari kitosan, serta mengkaji kemampuan edible film ini dalam memperpanjang masa simpan produk burger lele dumbo.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap percobaan. Tahap pertama adalah pembuatan edible film dari kitosan dengan penambahan CMC (karboksimetilselulosa) sebagai plasticizer untuk memperbaiki karakteristik edible film kitosan. Konsentrasi CMC yang diberikan terdiri dari tiga konsentrasi yaitu 0,1%, 0,3% dan 0,5%. Penentuan penambahan konsentrasi CMC yang terbaik pada penelitian tahap pertama ini menggunakan uji Bayes. Penelitian tahap kedua adalah aplikasi edible film yaitu formulasi pembuatan edible film dari penelitian tahap pertama yang menghasilkan film terbaik, selanjutnya digunakan sebagai bahan pengemas pada produk burger ikan lele dumbo untuk mengkaji perubahan karakteristik mutu burger tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa CMC sebagai plasticizer dapat memperbaiki karakteristik edible film yang terbuat dari kitosan. Karboksimetilselulosa (CMC) yang digunakan ini terdiri dari tiga konsentrasi yaitu 0,1%, 0,3% dan 0,5%. Hasil karakterisasi edible film menunjukkan bahwa CMC 0,1% merupakan konsentrasi terbaik sebagai plasticizer dalam pembuatan edible film kitosan. Karakteristik edible film tersebut adalah sebagai berikut: ketebalan 0,19 mm, laju transmisi uap air 50,8 ml/m2/hari, kuat tarik 24,2 kgf/cm2 dan persen pemanjangan 18,1%. Penggunaan edible film pada burger ikan lele dumbo yang disimpan pada suhu ruang mampu mempertahankan mutu burger ikan lele dumbo sampai dua hari penyimpanan.

(8)
(9)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

PENGGUNAAN EDIBLE FILM DARI KITOSAN DENGAN PLASTICIZER KARBOKSIMETILSELULOSA (CMC) SEBAGAI PENGEMAS BURGER

LELE DUMBO

EKA SAPUTRA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar master pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Penggunaan Edible Film dari Kitosan dengan Plasticizer Karboksimetilselulosa (CMC) sebagai Pengemas Burger Lele Dumbo

Nama : Eka Saputra

NIM : C351100081

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana, Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul ”Penggunaan Edible Film dari Kitosan dengan Plasticizer Karboksimetilsellulosa (CMC) sebagai Pengemas Burger Lele Dumbo”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai anggota komisi yang telah mencurahkan waktu dan perhatian untuk membimbing dan memotivasi penulis.

2. Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. sebagai dosen penguji luar komisi yang telah memberi masukan dan saran yang sangat berguna bagi kesempurnaan tesis ini. 3. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. sebagai Ketua Program Studi yang tiada henti

memotivasi dan membantu penulis menyelesaikan studi di PS. Teknologi Hasil Perairan.

4. Kedua orang tua saya Bapak Wisman dan Ibu Nurhayati atas semua dukungan dan perhatian serta kasih sayang yang diberikan, kedua adikku Hadi Saputra dan Ainur Rizki serta Nur Aziza terima kasih atas semua dukungan yang telah diberikan selama ini.

5. Rekan-rekan seperjuangan S2 THP 2010, bu elisabeth, bu christin, pak agus, mbak ima, mbak nani, kakasiteru, kak wiwit, fikri, dewi, tia, vivi dan tias serta rekan-rekan seperjuangan S2 THP 2011. Rekan-rekan seperjuangan S2 IPB, bg johan, kak icut, arif, singgih, nanda, tomi, al mudzni, mikel, ajeng dan rodi. 6. Segenap karyawan serta staff THP IPB yang telah membantu penyelesaian

studi penulis.

Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Bogor, Juli 2012

Eka Saputra

(16)
(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1986 di Medang Deras Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara Propinsi Sumatera Utara, merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara dari pasangan Bapak Wisman dan Ibu Nurhayati.

(18)

DAFTAR ISI 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Lele Dumbo ... 5

2.2 Burger Ikan ... 5

2.5 Karboksimetilselulosa (CMC) ... 11

2.6 Edible film ... 12

2.7 Perubahan Mutu Selama Penyimpanan ... 13

(19)

3.4.11 Total mikroba (Fardiaz 1993) ... 23

3.5 Analisis data ... 23

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Edible Film ... 27

4.1.1 Ketebalan film ... 27

4.1.2 Laju transmisi uap air ... 29

4.1.3 Kekuatan tarik film ... 30

4.1.4 Persentase pemanjangan ... 31

4.1.5 Konsentrasi CMC terbaik berbasis indeks kerja ... 33

4.1.6 Scanning Elektron Microscope (SEM) ... 35

4.2 Aplikasi Edible Film ... 36

4.2.1 Organoleptik ... 36

1) Tekstur ... 37

2) Warna ... 38

3) Bau ... 39

4) Rasa ... 39

4.2.2 Kadar air ... 40

4.2.3 Kadar protein ... 41

4.2.4 Kadar lemak ... 42

4.2.5 Kadar abu ... 44

4.2.6 Aktivitas air ... 45

4.2.7 Total Plate Count (TPC) ... 47

5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 49

5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur molekul kitosan... 10

2 Struktur CMC ... 11

3 Prosedur pembuatan edible film... 16

4 Aplikasi edible film ... 17

5 Prosedur pembuatan burger ikan lele dumbo ... 18

6 Film yang dihasilkan dari berbagai konsentrasi ... 27

7 Histogram rata-rata nilai ketebalan ... 28

8 Histogram rata-rata nilai laju transmisi uap air ... 29

9 Histogram rata-rata nilai kuat tarik ... 30

10 Histogram rata-rata nilai persen pemanjangan ... 32

11 Struktur mikroskopis film konsentrasi CMC 0,1% ... 35

12 Histogram rata-rata nilai organoleptik ... 37

13 Histogram rata-rata nilai kadar air ... 41

14 Histogram rata-rata nilai kadar protein ... 42

15 Histogram rata-rata nilai kadar lemak ... 43

16 Histogram rata-rata nilai kadar abu ... 45

17 Histogram rata-rata nilai aktivitas air ... 46

(21)
(22)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Kandungan gizi seledri mentah per 100 gram bahan ... 7 2 Komposisi bawang bombay per 100 gram bahan ... 8 3 Komposisi kimia lada per 100 gram bahan ... 8 4 Formulasi burger per 100 gram daging lele dumbo ... 17 5 Perbandingan edibel film yang dihasilkan dengan edibel film

penelitian sebelumnya ... 33

(23)
(24)

DAFTAR LAMPIRAN

(25)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengemasan merupakan bagian akhir dari suatu proses produksi bahan pangan atau produk lainnya. Pengemasan berguna untuk meningkatkan daya penerimaan konsumen, juga mengurangi derajat kerusakan yang terjadi selama pengangkutan produk. Pengemasan juga merupakan salah satu cara untuk melindungi atau menambah daya simpan produk pangan maupun non pangan. Pengemasan tidak hanya bertujuan untuk mengawetkan, tetapi juga menjadi sarana penunjang pada transportasi, distribusi, dan menjadi bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan pemasaran produk. Saat ini, industri pengemasan didominasi oleh bahan-bahan pengemas berbahan dasar plastik. Hal ini mengakibatkan meningkatnya limbah plastik di dunia termasuk Indonesia. Parra et al. (2004) menyatakan saat ini sekitar 150 juta ton plastik diproduksi di seluruh dunia setiap tahunnya, sebagian besar plastik ini menyebabkan polusi lingkungan.

Pengemas plastik yang umum digunakan adalah jenis polyethylene, polystirene, polyvinylchloride (PVC) dan resin yang banyak menimbulkan dampak yang tidak baik diantaranya merusak lingkungan karena tidak dapat terdegradasi secara biologi, mahal dalam daur ulang dan tercemarnya bahan pangan yang dikemas karena adanya zat-zat tertentu yang termigrasi kedalam bahan pangan tersebut.

(26)

2

gandum, kolagen, gelatin, keratine, kasein, dan kedelai), polisakarida (selulosa turunan hydrosoluble, pati, alginat, pektin, karagenan) dan lipid (lilin, trigliserida, minyak, dan asam lemak) semua bahan-bahan ini dapat digunakan sendiri atau bersama-sama.

Beberapa penelitian tentang edible film yaitu Tirtawijaya (1998) menggunakan protein bungkil kedelai dengan beeswax sebagai plasticizer sebagai bahan pembuat edible film, Nurochmawati (2003) menggunakan karagenan dengan tapioka sebagai plasticizer, Herliany (2011) tentang aplikasi karagenan sebagai bahan edible film untuk mengemas udang kupas rebus, Rianto (2005) melakukan penelitian tentang pengembangan pelapis edible dari issingglass dan aplikasinya untuk mempertahankan mutu udang masak, Mindarwati (2006) melakukan penelitian kajian pembuatan edible film komposit dari karagenan sebagai bahan pengemas bumbu mie instan. Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa karagenan merupakan bahan yang sering dibuat menjadi edible film. Informasi tentang pemanfaatan kitosan sebagai bahan pembuat edible film masih sangat sedikit. Selama ini kitosan lebih banyak dimanfaatkan sebagai antibakteri dan pemanfaatannya lebih banyak pada industri kesehatan dan farmasi, oleh karena itu diperlukan lebih banyak informasi tentang pemanfaatan kitosan sebagai bahan pembuat edible film.

(27)

3

sebagai edible film diharapkan dapat mengurangi ketergantungan produsen terhadap pemakaian plastik sintesis sebagai kemasan.

Film dengan bahan kitosan mempunyai sifat yang kuat, tetapi kurang elastis sehingga film yang dihasilkan terlihat kaku dan kurang fleksibel, sehingga dibutuhkan suatu bahan tambahan atau plasticizer untuk memperbaiki karakteristik film yang dihasilkan. Salah satu bahan plasticizer yang dapat digunakan adalah karboksimetilselulosa (CMC). Karboksimetilselulosa (CMC) mempunyai kelebihan yaitu dapat diaplikasikan pada berbagai produk dibandingkan dengan polimer larut air lainnya serta CMC juga mampu berikatan dengan air sehingga meminimalkan pengerutan atau meningkatkan kemampuan pengikatan air (Purwantiningsih et al. 2007).

Burger merupakan makanan yang sudah populer oleh masyarakat khususnya pada zaman sekarang masyarakat menginginkan hal-hal yang secara cepat atau instan tak terkecuali untuk makanan sehingga burger adalah salah satu jenis makanan yang sering dikonsumsi masyarakat. Umumnya burger terbuat dari daging sapi ataupun daging ayam. Fish burger (burger ikan) adalah salah satu jenis diversifikasi burger. Burger ikan terbuat dari campuran daging ikan giling yang ditambahkan bumbu-bumbu, dicetak, dikukus lalu dikemas. Burger yang ada sekarang ini umumnya dikemas dengan plastik sintetis dan disimpan pada penyimpanan beku. Nobile et al. (2009) menyatakan bahwa burger ikan yang disimpan pada suhu 4 0C dapat bertahan atau masih dapat dikonsumsi sampai penyimpanan 22 hari.

Adanya edible film diharapkan dapat mengganti kemasan plastik yang sering digunakan sebagai pengemas burger, sehingga dapat mengurangi limbah plastik yang digunakan sebagai pengemas. Informasi tentang edible film sebagai pengemas burger yang disimpan pada suhu ruang masih sangat sedikit ditemukan, untuk itu perlu dilakukan suatu kajian mengenai penggunaan kitosan dengan bahan plasticizer CMC sebagai bahan kemasan edible film pada produk pangan basah, dalam hal ini burger ikan lele dumbo.

(28)

4

1.2 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan karboksimetilselulosa (CMC) untuk memperbaiki karakteristik edible film dari kitosan, serta mengkaji kemampuan edible film ini dalam mempertahankan masa simpan produk burger lele dumbo.

1.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah:

1. Karboksimetilselulosa (CMC) mampu memperbaiki karakteristik edible film dari kitosan

(29)

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Klasifikasi ikan lele dumbo menurut Saanin (1984), adalah Kingdom: Animalia, Sub-kingdom: Metazoa, Phyllum: Chordata, Sub-phyllum: Vertebrata, Kelas: Pisces, Sub-klas: Teleostei, Ordo: Ostariophysi, Sub-ordo: Siluroidea, Familia: Clariidae, Genus: Clarias, Spesies: Clarias gariepinus.

Lele dumbo memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir, dan tidak bersisik. Jika terkena sinar matahari, warna tubuh lele berubah menjadi pucat dan jika terkejut warna tubuhnya otomatis menjadi loreng seperti mozaik hitam putih. Tanda spesifik lainnya dari ikan lele dumbo adalah adanya kumis disekitar mulut sebanyak 8 buah yang berfungsi sebagai alat peraba saat bergerak atau ketika mencari makan (Khairuman dan Khairul 2002).

Lele dumbo memiliki tiga buah sirip tunggal, yakni sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur yang digunakan sebagai alat berenang. Lele dumbo juga memiliki sirip berpasangan yaitu sirip dada dan sirip perut. Sirip dada dilengkapi dengan jari-jari sirip yang keras dan runcing yang disebut dengan patil. Patil ini digunakan sebagai alat bantu gerak dan juga berfungsi sebagai senjata (Khairuman dan Khairul 2002).

2.2 Burger Ikan

(30)

6

2.3 Bahan-bahan tambahan

Bahan-bahan pembuatan burger ikan hasil modifikasi dari resep bogasari yaitu terdiri dari hancuran daging lele dumbo, tepung jagung, tepung roti, telur ayam, seledri, bawang putih, bawang bombay, lada, pala, dan garam.

2.3.1 Tepung jagung

Komposisi kimia yang terdapat dalam tepung jagung menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1995) adalah kadar air 14%, karbohidrat 85%, protein 0,3%, dan kadar abu 0,7%. Tepung jagung dan tepung kedelai dapat digunakan sebagai sumber protein pengganti pada tepung terigu. Kandungan protein tepung jagung relatif agak lebih rendah dibandingkan tepung terigu, sebaliknya kandungan protein tepung kedelai relatif lebih tinggi dibandingkan tepung terigu. Menurut ISM Bogasari, tepung terigu cap Cakra Kembar (hard wheat) mengandung protein 12--14% , sedangkan tepung jagung mengandung protein 7,2%, dan tepung kedelai lemak penuh (full fat) mengandung protein 41%.

2.3.2 Telur ayam

Kuning telur memiliki lecithin yang bila ditambahkan kedalam bahan pangan dapat mempertahankan emulsi (emulsifier). Lecithin merupakan senyawa fosfolipida yang mempunyai gugus polar dan non polar. Gugus polar terdapat pada gugus ester yang bersifat hidrofilik dan larut dalam air sedangkan gugus non polar terdapat pada gugus asam-asam lemaknya yang bersifat lipofilik dan larut dalam lemak atau minyak (Winarno dan Srikandi 1980). Sifat fisik telur bermanfaat sebagai pengental dan pengikat (terkoagulasinya protein karena pemanasan dan pengemulsi). Kuning telur mengandung lesitin, suatu agensin terkoagulasi sebagian, membentuk busa. Komposisi kimia telur adalah protein 12%, lemak 11%, karbohidrat 8%, air 75%, vitamin dan mineral 1% serta nilai energi telur adalah 612 KJ/100 gram (Garman dan Sherrington 1992).

2.3.3 Seledri (Apium graveolus L. Var secalinum Alef)

(31)

7

yang sering digunakan di Indonesia adalah seledri daun. Kandungan gizi seledri mentah per 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan gizi seledri mentah per 100 gram bahan

Kandungan gizi Jumlah

Air (g) 94,64

Energi (kal) 20,00

Protein (g) 1,00

Total lemak (g) 0,14

Karbohidrat (g) 3,65

Serat (g) 0,80

Abu (g) 0,82

Kalium (mg) 287,00

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan (1995)

2.3.4 Bawang putih (Allium sativum)

Bawang putih atau garlic tidak hanya dikenal sebagai bumbu masakan tetapi juga dapat digunakan sebagai obat. Bawang putih mengandung senyawa allisin yang merupakan senyawa yang menentukan bau khas bawang putih. Allisin merupakan senyawa yang stabil, dalam udara bebas allisin akan terpecah menjadi senyawa dialyl disulfida hanya dalam satu menit saja. Bawang putih juga mengandung beberapa vitamin seperti thiamin, riboflavin, niasin dan asam askorbat. Rismunandar (1993) menyatakan bahwa penggunaan bawang putih selain memberi rasa dan aroma juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan khamir karena adanya zat aktif allicin yang sangat aktif terhadap bakteri.

2.3.5 Bawang bombay (Allium cepa var. Cepa L.)

(32)

8

Tabel 2 Komposisi bawang bombay per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah

Sumber: Direktorat Gizi departemen Kesehatan (1995)

2.3.6 Lada (Capsicum annum var)

Lada biasanya ditambahkan pada bahan makanan sebagai penyedap masakan. Lada sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimiawi organik yang terdapat pada lada.

Rasa lada yang pedas disebabkan adanya zat piperin serta khavisin yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan alkaloida (Rismunandar 1993). Komposisi kimia lada setiap 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Komposisi kimia lada per 100 gram bahan.

Komposisi Jumlah

Sumber: Direktorat Gizi departemen Kesehatan (1995).

2.3.7 Garam

(33)

9

tradisi ketimbang keperluan. Makanan yang mengandung garam kurang dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang disenangi (Winarno 2002).

Garam dalam pengolahan bahan pangan disamping berfungsi untuk meningkatkan cita rasa juga berperan sebagai pembentuk tekstur dan pengontrol pertumbuhan mikroorganisme dengan cara merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen. Garam dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk karena mempunyai sifat tekanan osmotik yang tinggi sehingga kadar air sel-sel bakteri berkurang kemudian bakteri akan mati (plasmolisis), pada konsentrasi rendah (1-3%) garam tidak bersifat membunuh mikroorganisme tetapi hanya sebagai bumbu yang akan memberikan cita rasa gurih pada bahan pangan (Riesnawaty 2007).

2.4 Kitosan

Kitosan merupakan turunan polisakarida yang berasal dari limbah udang. Pemanfaatannya bagi industri pangan di Indonesia belum banyak diaplikasikan. Kitosan dapat digunakan sebagai penstabil, pengental pengemulsi dan pembentuk lapisan pelindung jernih pada produk pangan. Sajomsang (2010) menyatakan bahwa kitosan adalah polisakarida alami yang bersifat biodegradable dan tidak beracun.

Kitosan memiliki nama kimia (1-4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Hal ini menyebabkan kitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya (Omum 1992). Kitosan merupakan polielektrolit netral pada pH asam. Struktur molekul kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

(34)

10

lingkungan. Kitosan dapat berfungsi sebagai antimikroba, antitumor, dan antikanker. Camacho et al. (2010) menyatakan bahwa salah satu manfaat kitosan adalah dapat digunakan sebagai antijamur.

Gambar 1 Struktur molekul kitosan (Sumber: Shahidi et al. 1999).

Vallapa et al. (2011) menyatakan bahwa aktivitas antibakteri dari kitosan dapat mengurangi bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, kemudian Chung et al. (2008) menyatakan bahwa kitosan merupakan bakterisida alami. Dalam bidang pangan salah satu manfaat kitosan adalah sebagai makanan berserat sehingga dapat meningkatkan masa feses, menurunkan respon glikemik dari makanan dan menurunkan kadar kolesterol (Manullang 1998). Kitosan mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun. Edible film yang terbuat dari kitosan mempunyai nilai permeabilitas air yang cukup dan bisa digunakan untuk meningkatkan umur simpan produk segar dan sebagai cadangan makanan dengan nilai aktivitas air yang lebih tinggi (Kittur et al. 1998). Hasil penelitian Sosa et al. (2012) menyatakan bahwa edible film dari kitosan dapat mengurangi resiko pertumbuhan mikroba pada bahan makanan yang dikemasnya. Hasil penelitian Bourbon et al. (2011) menyatakan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai bahan kemasan aktif. Butler et al. (1996) mengamati bahwa kitosan film merupakan penghalang yang baik terhadap oksigen tetapi penghalang yang kurang terhadap uap air.

(35)

11

(1) kitosan merupakan polisakarida terbanyak setelah selulosa. (2) kitosan dapat membentuk film dan membran dengan baik.

(3) sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektristatik dengan anionik.

2.5 Karboksimetilselulosa (CMC)

Karboksimetilselulosa (CMC) adalah gum selulosa anionik yang larut dalam air dan mempunyai kisaran derajat substitusi yang cukup lebar (0,7-1,2). Karboksimetilselulosa (CMC) yang digunakan untuk bahan pangan biasanya mempunyai derajat substitusi antara 0,65 sampai 0,95. Derajat substitusi adalah angka rata-rata banyaknya gugus hidroksil didalam molekul yang disubstitusi oleh gugus lain. Struktur kimia CMC dapat dlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia CMC (Sumber: Krochta et al. 1994).

(36)

12

2.6 Edible Film

Edibel film merupakan suatu katagori spesifik dari pengemasan makanan yang didefinisikan sebagai type pengemasan seperti film, lembaran atau lapis tipis sebagai bagian integral dari produk pangan dan dapat dimakan bersama-sama dengan produk tersebut (Karbowiak 2005). Film digunakan dalam produk pangan untuk mencegah transfer massa antara produk pangan dengan lingkungan sekitar atau antara fase yang berbeda dari produk pangan campuran (seperti aw yang berbeda dalam produk pangan yang sama) dan oleh karenanya untuk menghindari kerusakan mutu pangan karena perubahan physiko-kimia, tekstur atau reaksi kimia (oksidasi lemak, reaksi Maillard dan reaksi enzymatis). Sekat pelindung dapat diformulasikan untuk mencegah transfer uap air, udara, flavour atau lemak dan selanjutnya untuk memperbaiki mutu pangan dan meningkatkan masa simpannya (Mindarwati 2006). Osorio et al. (2011) menyatakan bahwa edible film berfungsi sebagai penghalang uap air sehingga dapat memperpanjang masa simpan suatu produk. Bonilla et al. (2012) menyatakan bahwa oksigen merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan kualitas produk makanan, penggunaan edible film adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi oksigen tersebut.

Edible film dapat berperan sebagai lapisan yang dapat didegradasi oleh bakteri dan terbuat dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Film ini dapat mengganti film berbasis minyak bumi atau upaya untuk meningkatkan kepedulian lingkungan. Saat ini film yang dapat didegradasi berasal dari protein dan polisakarida (Parris et al, 1995). Perbedaan antara edible film dengan edible coating yaitu edible film merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu berupa lapisan tipis (film) sebelum digunakan untuk mengemas produk pangan. Sedangkan edibel coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk langsung pada produk dan bahan pangan (Harris 1999). Edible film dan coating digunakan dalam produk obat-obatan, konfeksioneri, buah-buahan dan sayuran segar serta beberapa produk dari daging (Navam et al. 2005).

(37)

13

(1) dapat langsung dikonsumsi bersama produk yang dikemas sehingga tidak ada sampah kemasan. Jika film tidak dapat dikonsumsi masih dapat didegradasi oleh bakteri sehingga mengurangi polusi lingkungan.

(2) meningkatkan sifat-sifat organoleptik pangan karena kedalamnya dapat ditambahkan flavor, pewarna, dan pemanis.

(3) dapat digunakan sebagai suplemen gizi.

(4) dapat diterapkan pada produk-produk yang berukuran kecil.

(5) dapat diaplikasikan di dalam produk yang heterogen sebagai penyekat antara komponen makanan yang berbeda.

(6) dapat berfungsi sebagai pembawa senyawa antimikroba dan antioksidan. (7) cocok digunakan untuk mikroenkapsulasi flavor pangan dan leaving

agents. Edible film dapat dipakai bersama-sama non edible sebagai lapisan dalam untuk mencegah migrasi komponen kimia berbahan ke dalam makanan.

Edible coating juga edible film telah digunakan untuk mengontrol pertukaran gas (O2, CO2, dan etilen) antara produk makanan dengan lingkungan sekitar atau antar komponen makanan, juga dapat mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia produk makanan (Kittur et al. 1998).

Pembentukan gelembung udara dan kemungkinan adanya lubang dipengaruhi oleh teknik preparasi dan komposisi kimia, termasuk konsentrasi dari plasticizer. Keberadaan gelembung udara dan lubang mempengaruhi karakteristik permeabilitas film (Park dan Chinnan 1995). Aplikasi yang potensial dari edible film dan coating dari biopolymer adalah untuk memperlambat transportasi gas oksigen dan karbondioksida dari buah dan sayuran, perpindahan kelembaban sedang, serta perpindahan zat terlarut pada pangan beku. Kekurangan yang paling besar dari kebanyakan edible film yaitu kemampuannya yang kurang dalam menghalangi air yang merupakan sifat hidrofilik dari edible film.

2.7 Perubahan Mutu Selama Penyimpanan

(38)

14

perubahan kimia. Kesegaran utamanya dihubungkan dengan rasa, bau, dan aroma produk sedangkan penerimaan mencakup keseluruhan aspek dari mutu produk termasuk pula bentuk, tekstur, dan harga (Arpah 2001).

(39)

15

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2011, di beberapa laboratorium yaitu: laboratorium biokimia hasil perairan dan laboratorium preservasi dan pengolahan hasil perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, laboratorium kimia pangan PAU Institut Pertanian Bogor, laboratorium pengolahan pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, laboratorium balai pengujian ekspor impor Jakarta dan laboratorium geologi kuarter pusat pengembangan geologi kelautan (PPGL) Bandung.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan, CMC (karboksimetilselulosa), daging ikan lele dumbo dengan berat 500-700 g per ekor yang diperoleh dari pasar Gunung Batu Bogor, bahan tambahan lainnya adalah tepung jagung, telur ayam, seledri, lada, garam, bawang putih dan bawang bombay, serta bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis kimia. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu food processor, oven, microcal meshmer, tensile strength and elongation tester industries model SSb 0500, water vapor transmission rate tester Bergerlahr, ɑw sprint swiss made-novasiana TH 500.

3.3 Metode

(40)

16

1 Penelitian tahap pertama

Pada tahap ini dilakukan pembuatan edible film dari kitosan yang mengacu pada hasil penelitian Butler et al. (1996). Diagram alir pembuatan edible film ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Prosedur pembuatan edible film (Sumber: Butler et al. (1996). Pendinginan pada suhu ruang

Pelepasan plastik dari cetakan Penuangan larutan plastis pada cetakan

Pengeringan dengan menggunakan oven

CMC 0,1%, 0,3% dan 0,5%

Kitosan Asam

Asetat 1%

Homogeniser 10-15 menit

Larutan Plastis

Degassing

(41)

17

2 Penelitian tahap kedua

Edible film yang dibuat dengan formula terbaik, selanjutnya digunakan sebagai bahan pengemas pada produk burger ikan lele dumbo untuk melihat perubahan karakteristik mutu burger tersebut. Pembuatan burger melalui beberapa tahapan proses yang dilakukan antara lain: Ikan lele dumbo dimasukkan ke dalam wadah, dilakukan penyiangan dan dicuci dengan air bersih, selanjutnya difillet, dan daging dihancurkan sampai halus. Daging ikan cincang dicampurkan dengan semua bahan dan bumbu dimasukkan ke dalam food processor ± 3-5 menit. Dikukus selama ± 30 menit. Adonan ditiriskan selama ± 30 menit lalu dilakukan pemotongan dengan ketebalan 5 mm. Burger tersebut selanjutnya dikemas dengan edible film, kemudian dilakukan penyimpanan selama 0, 2, 4 dan 6 hari pada suhu kamar. Aplikasi edible film pada burger lele dumbo disajikan pada gambar 4. Formulasi burger per 100 gram daging lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 4. Skema pembuatan burger lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 5.

Tabel 4 Formulasi burger per 100 gram daging lele dumbo

Bahan Komposisi (gr)

Gambar 4 Aplikasi edible film.

Penyimpanan selama 0, 2, 4 dan 6 hari

Pengamatan : kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, aw danTPCserta

organoleptik Pembungkusan edible film

(42)

18

Gambar 5 Prosedur pembuatan burger ikan lele dumbo (Sumber: Saputra 2009). Pengemasan dalam edible film

Penyiangan

Daging ikan lumat

Pengadonan

Pengukusan

Penirisan

Pemotongan Pencucian

Pemfiletan dan penggilingan

 Pati jagung  Seledri cincang

halus

 Bawang putih

cincang

 Bawang bombay cincang

 Lada

 Kuning telur  Garam 

Ikan lele dumbo

(43)

19

3.4 Pengamatan 3.4.1 Uji organoleptik

Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji skorsing menggunakan 25 orang panelis. Sampel yang akan diamati diberi kode sesuai dengan tabel kode contoh. Lembar pengujian skorsing mengacu pada (Aminah 2000) (Lampiran 1). Parameter yang diuji yaitu rasa, bau, tekstur, dan warna. Skala hedonik yang digunakan berkisar antara 1-7 dimana: (1) sangat tidak suka; (2) tidak suka; (3) kurang suka; (4) biasa; (5) agak suka; (6) suka dan (7) sangat suka. Tiap panelis diminta untuk mengisi skor sampel yang diamati pada lembar yang tersedia.

3.4.2 Analisis kadar air (AOAC 1995)

Cawan porselin yang sudah dibersihkan kemudian dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 0C, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A gram). Sampel sebanyak 2 gram yang telah dihaluskan ditimbang di dalam cawan (B gram) lalu keringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 6 jam. Kemudian dinginkan dengan desikator selama 20 menit lalu lakukan penimbangan beberapa kali sampai beratnya tetap (C gram). Kadar air dapat dihitung dengan rumus :

3.4.3 Analisis kadar protein (AOAC 1995)

Pengujian kadar protein dilakukan dalam tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Tahapan pengujian kadar protein adalah sebagai berikut :

a. Destruksi

(44)

20

b. Destilasi

Labu yang berisi sampel hasil destruksi dipindah ke alat destilasi, dicuci dan dibilas hingga 5-6 kali menggunakan 1-2 ml akuades lalu air bilasan dipindahkan juga ke dalam alat destilasi, disiapkan erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml larutan H3BO3 (asam borat) dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil red 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2% dalam alkohol) sesaat sebelum destilasi dimulai. Ujung bagian kondensor harus terendam di bawah larutan asam borat, kemudian ditambahkan sampel hasil destruksi dengan 8-10 ml larutan NaOH-Nathio kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml hasil destilat dalam erlenmeyer. Isi erlenmeyer diencerkan hingga mencapai 50 ml.

c. Titrasi

Titrasi hasil destilasi menggunakan larutan HCl 0,02 N dari biuret hingga larutan berwarna merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus :

Kadar protein = % N x Faktor konversi

Keterangan :

A = volume titrasi sampel

B = volume titrasi blanko, faktor konversi untuk produk perikanan adalah 6,25

3.4.4 Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

Sebanyak 5 g sampel yang telah dikeringkan, dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam labu sokhlet. Sementara itu petroleum eter dimasukkan ke dalam labu lemak yang telah ditimbang beratnya. Selanjutnya diekstraksi selama 5 jam. Destilasi pelarut yang ada dalam labu lemak lalu dikeringkan dalam oven 105 0C. Kadar lemak ditentukan dengan rumus :

(45)

21

3.4.5 Analisis kadar abu (AOAC 1995)

Analisis kadar abu dilakukan dengan cara memanaskan sampel hingga menjadi abu menggunakan muffle furnace. Tahap pertama, krus porselen dengan tutupnya dipijarkan dalam muffle furnace kemudian didinginkan dalam oven dan dimasukkan ke dalam eksikator sampai dingin. Krus yang telah dingin ditimbang untuk mengetahui berat krus kosong.

Sampel kering ditimbang dalam krus porselen yang telah diketahui beratnya (kira-kira 2 gram), selanjutnya dipanaskan di atas kompor listrik sehingga bahan menjadi arang. Kemudian dipijarkan dalam muffle suhu 600 0C selama  6 jam sampai menjadi abu berwarna keputih-putihan, dibiarkan muffle sampai menunjukkan suhu kamar, kemudian baru dibuka tutupnya. Krus didinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam eksikator kemudian ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus:

3.4.6 Ketebalan film

Ketebalan film diukur dengan jangka sorong yang mampu mengukur ketebalan dengan ketelitian 0.001 mm. Ketebalan sebuah film diukur pada lima tempat berbeda. Dari lima tempat tersebut kemudian di rata-rata.

3.4.7 Kuat tarik dan persen pemanjangan (ASTM 1983)

Kuat tarik dan persen pemanjangan diukur dengan menggunakan alat tensile strength and elongation tester industries model SSb 0500. Instron diset pada initial grip separation 5 mm, cross-head speed 50 mm/menit dan loandcell 50 kg. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum dan persen pemanjangan dihitung pada saat film pecah atau robek.

Kuat tarik (kgf/cm2) = F/A

(46)

22

3.4.8 Penentuan Laju transmisi uap air, metode cawan (ASTM 1983)

Laju transmisi uap air diukur dengan menggunakan water vapor transmission rate tester Bergerlahr metode cawan. Film yang akan diukur dikondisikan sebelumnya `pada ruangan yang bersuhu 25 0C selama 24 jam. Bahan penyerap uap air (desikan) diletakkan dalam cawan sedemikian rupa sehingga permukaan berjarak 3 mm dari film yang akan diuji. Selanjutnya cawan ditutup dan diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian yang beralur menghadap keatas. Film diletakkan ke dalam tutup cawan, lalu cincin karet diletakkan untuk sealing ke dalam, ditutup sehingga cincin tersebut menekan film. Cawan ditimbang dengan ketelitian 0,0001 g, kemudian diletakkan dalam humidity chamber, ditutup lalu kipas angin dijalankan. Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang hampir sama dan ditentukan pertambahan berat cawan. Nilai laju transmisi uap air ditentukan dengan rumus:

WVTR (ml/m2/hari)

Keterangan: g = penambahan berat

t = waktu antara penambahan berat (jam) a = luas film (m2)

(47)

23

3.4.10 Aktivitas air (aw) (AOAC 1994)

Alat yang digunakan untuk mengukur aktivitas air adalah aw sprint swiss

made-novasiana TH 500. Sebelum digunakan alat ini dikalibrasi menggunakan larutan garam jenuh yang nilai aw -nya sudah diketahui. Sampel dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam cawan sensor. Penutup cawan sensor dikatupkan dan tombol start ditekan untuk memulai pengukuran. Beberapa saat kemudian pada layar monitor tertera kadar aw sampel.

3.4.11 Total mikroba (Fardiaz 1993)

Uji mikrobiologis dilakukan dengan perhitungan jumlah bakteri yang ada dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Media yang digunakan adalah potatoes dextrose agar (PDA). Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampur 5 gram sampel dengan 45 ml larutan garam 0,85% steril kemudian diblender hingga homogen. Selanjutnya campuran diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 9 ml larutan garam 0,85% steril sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Kemudian dilakukan prosedur serupa untuk pengenceran 10-3 dan seterusnya hingga pengenceran 10-5. Media PDA steril dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan membeku. Sebanyak 0,1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut. Jumlah koloni dihitung berdasarkan rumus :

3.5 Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian tahap pertama adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan konsentrasi CMC, konsentrasi CMC (karboksimetilselulosa) yang digunakan terdiri dari 3 konsentrasi, yaitu A1 (0,1%), A2 (0,3%), dan A3 (0,5%). Perlakuan diulang sebanyak 2 kali. Model matemetis yang diajukan menurut Rancangan Gasperz (1991) adalah sebagai berikut:

Yij= µ + τi + ∑ij Dimana:

(48)

24

µ = Nilai tengah umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i

∑ij = Pengaruh galat ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i

Penentuan konsentrasi CMC yang terbaik menggunakan metode Bayes (Marimin 2004). Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Pengambilan keputusan yang optimal akan tercapai bila mempertimbangkan berbagai kriteria. Persamaan Bayes yang digunakan untuk menghitung nilai alternatif sering disederhanakan menjadi :

Total nilaii = ∑ Keterangan :

Total nilaii = total nilai akhir dari alternatif ke –i Nilaiij = Nilai dari alternatif ke-i pada kriteria ke-j Kritj = tingkat kepentingan (bobot) kriteria ke-j i = 1,2,3,....n ; n jumlah alternatif

j = 1,2,3,....n ; n jumlah kriteria

(49)

25

penjumlahan setiap baris matriks dibagi dengan total penjumlahan baris matriks tersebut hingga diperoleh nilai eigen. Nilai eigen dari proses manipulasi matriks merupakan nilai bobot dalam metode Bayes.

Metode yang digunakan dalam penelitian tahap kedua adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan penyimpanan selama 0, 2, 4 dan 6 hari yaitu B1 (0), B2 (2), B3 (4) dan B4 (6). Perlakuan diulang sebanyak 2 kali.

Model matematis yang diajukan menurut Rancangan Gasperz (1991) adalah sebagai berikut:

Yij= µ + τi + ∑ij Dimana:

Yij =Nilai pengamatan dari ulangan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i µ = Nilai tengah umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

∑ij = Pengaruh galat ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i

(50)
(51)

27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Edible Film

Proses pembuatan edible film berbahan dasar kitosan dengan konsentrasi CMC yang berbeda, yaitu 0,1 %, 0,3% dan 0,5%. Penentuan konsentrasi CMC terbaik ditentukan menggunakan uji bayes berdasarkan sifat-sifat edible film yang diteliti, yaitu ketebalan, laju transmisi uap air, kuat tarik dan persen pemanjangan. Film yang dihasilkan dari berbagai konsentrasi CMC dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Film yang dihasilkan dari berbagai konsentrasi CMC yang diberikan 0% (A); 0,1% (B), 0,3% (C) dan 0,5% (D).

4.1.1 Ketebalan film

Ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap penggunaan film dalam pembentukan produk yang akan dikemas. Ketebalan film hasil penelitian berkisar antara 0,10-0,22 mm. Histogram rata-rata nilai ketebalan dapat dilihat pada Gambar 7.

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata ketebalan film mengalami penurunan sejalan dengan penambahan konsentrasi CMC. Hasil analisis ragam yang dilakukan terhadap nilai ketebalan edible film (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan pemberian CMC memberikan pengaruh nyata (p<0.05) terhadap nilai ketebalan.

D

B

C

(52)

28

Gambar 7 Histogram rata-rata nilai ketebalan. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) pada faktor konsentrasi CMC.

Hasil uji lanjut BNT memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antara film dari kitosan tanpa penambahan CMC dengan film penambahan CMC. Film yang dihasilkan dari kitosan tanpa pemberian CMC memiliki nilai ketebalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan film yang mendapat perlakuan penambahan CMC. Hal ini disebabkan karena CMC mempunyai kemampuan mengikat air. Air yang hilang menyebabkan film memiliki rongga-rongga kosong pada lapisan film sehingga pada saat dikeringkan dengan oven film yang dihasilkan semakin tipis. Karboksimetilselulosa (CMC) mampu berikatan dengan air sehingga meminimalkan pengerutan atau meningkatkan kemampuan pengikatan air (Purwantiningsih et al. 2007).

(53)

29

tinggi jika dibandingkan dengan ketebalan film yang terbuat dari karagenan disebabkan karena kitosan memiliki berat molekul yang tinggi dan monomernya yang sangat banyak. Suptijah et al. (2008) menyatakan bahwa kitosan merupakan polimer kationik yang mempunyai jumlah monomer sekitar 2000-3000 monomer dan mempunyai berat molekul sekitar 800 kD.

4.1.2 Laju transmisi uap air film

Laju transmisi uap air adalah jumlah uap air yang melalui suatu permukaan film per satuan luas (McHugh dan Krochta 1994). Transmisi terdiri dari proses pelarutan dan difusi aktif dimana uap air larut pada salah satu sisi film dan kemudian berdifusi melewati sisi lain. Kecepatan ketahanan terhadap laju transmisi uap air ditentukan dalam kondisi ketebalan, suhu dan tekanan gradien parsial uap air. Nilai laju transmisi uap air film dari hasil penelitian ini berkisar antara 48,43-52,24 ml/m2/hari. Histogram rata-rata nilai laju transmisi uap air dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Histogram rata-rata nilai laju transmisi uap air.

(54)

30

maksimal 7 ml/m2/hari. Berdasarkan JIS tersebut maka laju transmisi uap air dari hasil penelitian ini belum memenuhi standar film kemasan. Tingginya nilai laju transmisi uap air pada penelitian ini disebabkan karena film terbuat dari kitosan dan CMC yang merupakan polisakarida. McHugh dan Krochta (1994) menyatakan bahwa umumnya film yang terbuat dari bahan protein dan polisakarida mempunyai nilai transmisi uap air yang tinggi. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut merupakan polimer polar dan mempunyai jumlah ikatan hidrogen yang besar, sehingga menghasilkan penyerapan air pada kelembaban tinggi. Penyerapan air akan mengganggu interaksi rantai molekuler, yang kemudian diikuti dengan peningkatan difusi dan mampu menyerap uap air dari udara.

4.1.3 Kekuatan tarik film

Kuat tarik menunjukkan nilai maksimum gaya yang diproduksi jika dilakukan uji tarik. Semakin tinggi gaya yang diproduksi maka kekuatan tariknya akan semakin besar. Edible film dengan kekuatan tarik yang tinggi akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari gangguan mekanis dengan baik. Nilai kuat tarik dari hasil penelitian ini berkisar antara 12,90–25,50 kgf/cm2. Histogram rata-rata nilai kuat tarik dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Histogram rata-rata nilai kuat tarik.

(55)

31

(p>0.05). Berpedoman pada JIS (Japanesse Industrial Standard), nilai kuat tarik film untuk kemasan minimal 4 kgf/cm2. Berdasarkan JIS tersebut maka kuat tarik film pada penelitian ini yang berkisar antara 12,90–25,50 kgf/cm2 memenuhi standar untuk dikategorikan film kemasan makanan.

Penurunan nilai hasil kuat tarik yang dihasilkan sejalan semakin tingginya konsentrasi CMC yang diberikan, disebabkan karena tidak terjadinya ikatan silang antara kitosan dengan CMC, selain itu nilai kuat tarik berkaitan dengan nilai ketebalan film, semakin tinggi ketebalan film maka nilai kuat tariknya juga akan semakin meningkat. Untuk dapat menghasilkan edible film yang baik dapat digunakan kombinasi kitosan dengan glutaral-dehida ataupun locust bean gum karena mampu membentuk ikatan silang antara kitosan dengan CMC, dengan adanya ikatan silang ini maka dapat meningkatkan elastisitas gel yang dihasilkan. Purwatiningsih (2007) menyatakan bahwa makin tinggi konsentrasi dehida, titik pecah matriks gel makin kecil karena pada konsentrasi glutaral-dehida tinggi, ikatan silang matriks makin rapat, sehingga kedalaman penetrasi pada saat gel pecah menjadi kecil, dengan begitu maka kuat tarik film akan semakin tinggi.

Hasil nilai kuat tarik penelitian-penelitian sebelumnya yaitu Mindarwati (2006) menggunakan karagenan dengan tapioka dan beeswax, film yang dihasilkan memiliki kuat tarik 352,27-990,48 kgf/cm2, Herliany (2011) menggunakan karagenan, film yang dihasilkan memiliki kuat tarik 1115,58-5516,67 kgf/cm2.

4.1.4 Persentase pemanjangan

Persentase pemanjangan merupakan persen pertambahan panjang bahan materi film yang diukur mulai dari panjang awal pada saat mengalami penarikan hingga putus. Nilai persen pemanjangan dari hasil penelitian ini berkisar antara 16,95–20,45%.. Histogram rata-rata nilai persen pemanjangan dapat dilihat pada Gambar 10.

(56)

32

sedangkan CMC sangat elastis/lentur dalam keadaan kering. Penggunaan CMC dalam jumlah yang lebih besar menyebabkan kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga memberikan matrik gel yang dapat meningkatkan persen pemanjangan dari edible film karena CMC memiliki gel strength yang tinggi.

Purwatiningsih (2007) menyatakan bahwa penambahan CMC menyebabkan gel semakin elastis sehingga dengan semakin elastisnya gel maka nilai persen pemanjangan juga semakin tinggi. Hasil uji lanjut yang dilakukan yaitu uji BNT (beda nyata terkecil) menunjukkan bahwa perlakuan dengan pemberian CMC memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai persen pemanjangan.

Gambar 10 Histogram rata-rata nilai persen pemanjangan. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) pada faktor konsentrasi CMC.

(57)

33

Berpedoman pada JIS (Japanesse Industrial Standard) maka film yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi kriteria ketebalan dan kuat tarik sedangkan pada laju transmisi uap air serta persen pemanangan masih belum memenuhi kriteria JIS (Japanesse Industrial Standard), sehingga perlu dicari upaya untuk memperbaiki karakteristik film dalam laju transmisi uap air dan persen pemanjangan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan bahan-bahan yang dapat menimbulkan ikatan silang antara CMC dengan kitosan pada larutan pembentuk film. Untuk dapat menghasilkan ikatan silang antara CMC dengan kitosan dapat digunakan kombinasi kitosan dengan glutaral-dehida ataupun locust bean gum dengan adanya ikatan silang ini maka dapat meningkatkan elastisitas gel yang dihasilkan. Beberapa hasil penelitian edible film yang sudah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perbandingan edibel film yang dihasilkan dengan edibel film penelitian sebelumnya

0,46-0,48 14,36-29,1 117,24-194,91 282,05-324,36 Tirtawijaya (1998)

Karagenan,

Tapioka 0,84-0,92 0-15 0-14,5 - Nurochmawati (2003) Karagenan,

Tapioka, Beeswax

0,05-0,079 0,9-4,8 352,37-990,48 746,2-1117,4 Endang (2006)

Karagenan 0,03-0,064 25,95-43,05 1115,58-5516,67 0,0055-0,0060 Nurlaila (2011)

Kitosan,

CMC 0,10-0,22 16,95-20,45 12,90-25,50 48,43-52,24 Penelitian

4.1.5 Konsentrasi CMC terbaik berbasis indeks kinerja/performance

(58)

34

Tabel 6 Karakteristik dan nilai kepentingan parameter konsentrasi CMC dengan pertimbangan parameter fisika

No Parameter Dasar pertimbangan kepentingan Nilai 1 Ketebalan Ketebalan merupakan hal paling utama yang

harus diperhatikan dalam pembuatan edible film, karena sangat mempengaruhi mutu dari produk yang dilapisinya

4

2 Laju

transmisi uap air

Laju transmisi uap air menjadi pertimbangan kedua karena mempengaruhi mutu dari produk yang berkaitan dengan mikroorganisme

3

3 Kuat tarik Kuat tarik harus diperhatikan karena berperan dalam kuat atau tidaknya edible film

2

4 Persen pemanjangan

Persen pemanjangan erat kaitannya dengan kelenturan dari edible film

1

Pemberian nilai kepentingan pada parameter ditentukan oleh ahli. Nilai kepentingan dari masing-masing parameter juga ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian. Nilai kepentingan dari masing-masing parameter juga ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian. Parameter fisika dari edible film yang sangat mempengaruhi kualitas film diberi score yang paling tinggi. Nilai bobot dikalikan dengan score akan menghasilkan nilai alternatif. Nilai alternatif tertinggi menunjukkan konsentrasi CMC yang terbaik. Hasil pembobotan parameter edible film dengan pertimbangan fisika dapat dilihat pada Tabel 6. Penentuan nilai eigen dan penyusunan matriks bobot kepentingan dapat dilihat pada Lampiran 6.

(59)

35

Tabel 7 Perangkingan dan pembobotan edible film

Parameter

A1 A2 A3

Nilai Bobot

Ketebalan 3 2 1 0,12

Laju transmisi uap air 3 2 1 0,16

Kuat tarik 3 2 1 0,25

Persen pemanjangan 1 2 3 0,46

Total nilai 2,05 1,98 1,91

Rangking 1 2 3

Keterangan Kode :

A1 : Konsentrasi CMC 0,1% A2 : Konsentrasi CMC 0,3% A3 : Konsentrasi CMC 0,5%

4.1.6 Scanning electron microscope (SEM)

Struktur mikroskopis edible film diamati dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM) untuk mengetahui perbedaan struktur internal edible film dari konsentrasi CMC yang berbeda. Scanning electron microscope (SEM) merupakan mikroskop yang menggunakan prinsip pancaran elektron yang ditembakkan pada sampel. Struktur mikroskopis edible film yang diamati menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Struktur mikroskopis film konsentrasi CMC 0,1%.

(60)

36

dengan kitosan. Gambar struktur internal film akan memberikan pengetahuan mengenai pengaruh penambahan CMC terhadap perbaikan struktur internal film. Penentuan konsentrasi CMC yang terbaik dalam menghasilkan edible film tidak hanya dilihat dari struktur internalnya saja tetapi perlu ditunjang dengan parameter-parameter lainnya seperti ketebalan, laju transmisi uap air, kuat tarik film, dan persentase pemanjangan.

4.2 Aplikasi Edible Film

Edible film telah lama digunakan sebagai bahan pengemas pada produk pangan seperti daging, ayam, dan produk-produk hasil perikanan. Aplikasi edible film pada produk pangan didasarkan pada sifat-sifat proteksi dari pengemas tersebut, dalam hal ini adalah memperpanjang umur simpan melalui pencegahan reaksi-reaksi deteriorasi produk pangan (Arpah 1997). Formula edible film terpilih dari hasil penelitian tahap pertama merupakan formula dasar yang digunakan dalam pembuatan edible film. Formula edible film ini digunakan untuk aplikasi produk burger pada penelitian tahap kedua.

4.2.1 Organoleptik

Pengujian organoleptik merupakan metode pengujian yang menggunakan panca indera sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Pengujian ini mempunyai peranan yang penting sebagai pendeteksian awal dalam menilai mutu untuk mengetahui penyimpangan dan perubahan pada produk. Penilaian secara organoleptik terhadap burger ikan lele dumbo yang dikemas dengan edible film ini meliputi parameter penampakan tekstur, warna, bau dan rasa. Histogram rata-rata nilai organoleptik dapat dilihat pada Gambar 12.

(61)

37

ikan lele. Kitosan yang melapisi burger ikan lele mampu melindungi burger dari kontaminasi dan meminimalkan interaksi yang terjadi antara burger dengan lingkungan. Alamsyah (2006) menyatakan lapisan edible yang terbentuk pada permukaan ternyata dapat memperpanjang masa simpan dengan cara menahan laju respirasi, transmisi, dan pertumbuhan mikroba.

Gambar 12 Histogram rata-rata nilai organoleptik tekstur (A), warna (B), bau (C) dan rasa (D).

1) Tekstur

(62)

38

indera manusia sebagai alat analisis. Dalam banyak kasus, terdapat kesulitan untuk mengaitkan hasil yang diperoleh dengan cara pengukuran menggunakan instrumen dan alat indera. Kemampuan protein untuk menyerap dan menahan air mempunyai peranan penting dalam pembentukan tekstur dari suatu makanan (Rompis 1998).

Nilai organoleptik tekstur burger ikan lele mengalami penurunan sejalan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan (Gambar 12 a). Hal ini disebabkan semakin menurunnya nilai kadar protein dan lemak. Selama penyimpanan, terjadi perubahan tekstur yang disebabkan terjadinya retrogradasi, reaksi enzimatis, dan penyerapan air juga reaksi oksidasi meningkat. Efek penyerapan air tergantung pada level kandungan air produk dan karakteristik teksturnya. Air dapat bertambah atau hilang selama penyimpanan. Selama penyimpanan terjadi kenaikan bilangan titrasi bebas air (TBA) dan kadar air bahan, selain itu juga terjadi reaksi kimia yang juga akan mempengaruhi umur simpan. Nilai titrasi bebas air (TBA) merupakan indikasi ketengikan yang terjadi (oksidasi lemak). Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa daerah primer oksidasi lemak yang terjadi cukup tinggi dan akan menurun ketika mendekati batas air terikat primer. 2) Warna

Winarno (2002) menyatakan bahwa warna lebih banyak melibatkan indera penglihatan dan merupakan salah satu indikator untuk menentukan bahan pangan diterima atau tidak oleh konsumen. Makanan yang berkualitas (rasanya enak, bergizi, dan teksturnya baik) belum tentu disukai konsumen bila warna bahan pangan tersebut memiliki warna yang tidak enak dipandang oleh konsumen yang menilai. Warna merupakan salah satu faktor penentu mutu bahan pangan. Cara pencampuran pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata (Edwards 2000).

(63)

kadang-39

kadang sangat menentukan sebelum mempertimbangkan faktor lain (Winarno 2002).

Nilai organoleptik warna burger ikan lele mengalami penurunan sejalan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan (Gambar 12 b). Hal ini disebabkan karena adanya proses oksidasi dalam lemak yang merupakan salah satu komponen pembentuk warna makanan, kerusakan secara mikrobiologis dapat pula mempengaruhi komponen bahan pangan.

3) Bau

Bau merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan tingkat kesukaan seseorang terhadap mutu produk. Bau bahan pangan dapat berasal dari bahan pangan itu sendiri dan dapat berasal dari lingkungan (Edwards 2000). Campuran bumbu berguna untuk menambah bau dan cita rasa. Penggunaan bumbu seperti daun jeruk purut, bawang putih, bawang merah, dan sereh yang mengandung minyak atsiri dapat mempengaruhi bau. Nuriningsih (2007) menjelaskan bahawa senyawa atsiri walaupun konsentrasinya rendah dari segi estetika dan niaga penting oleh karena peran yang diberikannya kepada citarasa dan bau makanan.

Nilai organoleptik bau burger ikan lele mengalami penurunan sejalan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan (Gambar 12 c). Hal ini disebabkan karena semakin menurunnya nilai kadar protein dan lemak serta sudah tumbuhnya mikroba pada burger ikan. Adanya bau yang tidak sedap sebagai akibat oksidasi asam lemak yang terjadi, oksidasi asam lemak ini menyebabkan terbentuknya komponen-komponen lain yaitu aldehida dan peroksida yang menimbulkan bau tengik pada burger lele dumbo.

4) Rasa

(64)

40

Nilai organoleptik rasa burger ikan lele mengalami penurunan secara signifikan (Gambar 12 d), bahkan pada hari keempat dan keenam tidak mendapatkan nilai, hal ini disebabkan karena burger tersebut sudah tidak layak dikonsumsi. Nilai rasa semakin menurun sejalan lamanya penyimpanan, penurunan tersebut disebabkan oleh kandungan gula dan aktivitas mikroba, dimana mikroba ini akan memecah karbohidrat atau gula menjadi alkohol dan karbondioksida yang menimbulkan rasa yang kurang disukai oleh panelis. Adanya pertumbuhan mikroba menyebabkan burger cepat mengalami kerusakan karena daya rusak mikroba dalam bahan pangan sangat tinggi. Hal lain yang menyebabkan penurunan nilai rasa ini disebabkan karena proses autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak yang dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi antara lain cahaya dan panas (Winarno 2002).

4.2.2 Kadar air

Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno 2002). Jumlah kandungan air pada suatu produk akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut terhadap serangan mikroba (Adawiyah 2007). Produk dengan kadar air tinggi rentan terhadap serangan mikroba sehingga lebih cepat mengalami kemunduran mutu.

(65)

41

Gambar 13 Histogram rata-rata nilai kadar air.

Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa selama penyimpanan kadar air burger mengalami sedikit peningkatan. Hal ini disebabkan burger disimpan dalam edible film tertutup sehingga walaupun ada perubahan kelembaban (RH), tidak terjadi migrasi uap air dari lingkungan ke bahan atau sebaliknya. Aplikasi edible film terbukti mampu melindungi produk burger dari kehilangan air. Kehilangan air selama penyimpanan berhubungan erat dengan perubahan tekstur, rasa dan warna serta berdampak pada penurunan berat suatu produk ketika dijual.

4.2.3 Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai zat pembangun dan zat pengatur (Winarno 2002). Kadar protein dalam bahan makanan merupakan pertimbangan tersendiri bagi orang yang mengkonsumsi makanan. Protein adalah senyawa komplek yang terdiri dari asam-asam amino yang diikat oleh ikatan peptida yang mempunyai unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan nitrogen (N).

(66)

42

Gambar 14 Histogram rata-rata nilai kadar protein. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) pada faktor penyimpanan.

Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata kadar protein burger ikan mengalami penurunan dengan bertambahnya lama penyimpanan. Penurunan kadar protein selama penyimpanan ini disebabkan protein terdegradasi oleh mikroba. Menurut Fardiaz (1992) semua bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Bakteri heterotropik menggunakan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen makanan lainnya sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Penurunan kadar protein juga dikarenakan adanya peningkatan kadar air selama penyimpanan dan juga dapat diakibatkan adanya denaturasi protein selama penyimpanan berlangsung. Winarno (2002) menyatakan bahwa denaturasi protein dapat terjadi akibat adanya panas, pH, bahan kimia dan lain sebagainya.

4.2.4 Kadar lemak

(67)

43

Keseimbangan konsentrasi lemak dan air merupakan bahan pembantu untuk memperoleh produk emulsi daging yang baik.

Berdasarkan hasil penelitian, nilai kadar lemak produk burger selama penyimpanan berkisar 0,27–0,36%. Analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan edible film pada produk burger ikan berpengaruh nyata terhadap kadar lemak (p<0.05) (Lampiran 9). Berdasarkan hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke nol berbeda nyata terhadap hari kedua, keempat dan keeenam. Histogram rata-rata nilai kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 15.

Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata kadar lemak burger ikan menurun dengan bertambahnya lama penyimpanan. Penurunan kadar lemak selama penyimpanan disebabkan karena terjadinya kerusakan lemak selama penyimpanan, hal ini diduga karena adanya aktivitas enzim yang dikeluarkan oleh mikroba yang tumbuh pada burger yang dapat memecah lemak.

Gambar 15 Histogram rata-rata nilai kadar lemak. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) pada faktor penyimpanan.

(68)

44

(oksidasi lemak). Syarif dan Halid (1993) menyatakan bahwa daerah primer oksidasi lemak yang terjadi cukup tinggi dan akan menurun ketika mendekati batas air terikat primer.

Reaksi oksidasi meningkat dengan peningkatan nilai titrasi bebas air (TBA) yang disebabkan karena reaksi ketengikan bukan hanya disebabkan oleh kandungan air saja, tetapi oleh berbagai hal diantaranya suhu penyimpanan akan mempengaruhi reaksi oksidasi. Penyimpanan pangan merupakan proses yang tidak akan terpisahkan dari pengolahan pangan, bahkan penyimpanan mempunyai arti ekonomi. Kondisi penyimpanan yang kurang baik menyebabkan penurunan mutu produk dan memperpendek umur simpan.

4.2.5 Kadar abu

Sebagian besar bahan makanan yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu, karena dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik akan terbakar habis sedangkan bahan anorganik tidak, itulah sebabnya disebut dengan abu (Winarno 2002). Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan bebas lemak. Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein, karena mineral terutama berasosiasi dengan bagian non lemak, daging tak berlemak biasanya memiliki kandungan mineral atau abu yang tinggi.

(69)

45

Gambar 16 Histogram rata-rata nilai kadar abu. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) pada faktor penyimpanan.

Berdasarkan Gambar 16 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata kadar abu burger ikan mengalami penurunan walaupun penurunan tersebut sangat kecil seiring dengan bertambahnya lama penyimpanan. Hal ini disebabkan adanya proses penguraian nutrisi untuk pertumbuhan mikroba. Sudarmaji (1996) menyatakan bahwa makanan yang mengandung produk hewani, tinggi kadar abunya.

4.2.6 Aktivitas air (aw)

Gambar

Tabel 1 Kandungan gizi seledri mentah per 100 gram bahan
Tabel 2 Komposisi bawang bombay per 100 gram bahan
Gambar 3 Prosedur pembuatan edible film (Sumber: Butler et al. (1996).
Gambar 5 Prosedur pembuatan burger ikan lele dumbo (Sumber: Saputra 2009).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan- nya berada di bawah BPKAD (Badan Pe- ngelola Keuangan dan Aset Daerah) Kota Kendari sebagai akibat dari adanya konflik yang berkepanjangan antara KPPS

Seperti telah kita ketahui bahwa Indonesia terdiri dari berbagai jenis suku dengan aneka adat istiadat yang berbeda satu sama lain.Suku-suku tersebut ada yang tinggal di

perolehan suara pemohon. Amar putusan mengadili, memutuskan menolak eksepsi pemohon dan eksepsi pihak terkait, dalam pokok permohonan pemohon untuk selan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Pelaksanaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas Muara Kedang sesuai fungsi dan perannya telah memenuhi

Schedule of Allocation of Cost of Goods Sold Year Ended December 31, 2008. On Cash Ratio to

Tindakan tersebut dilakukan dengan maksud meningkatkan hasil belajar siswa. Temuan penting dalam penelitian ini bahwa pembelajaran dengan metode eksperimen menggunakan alat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: adanya pengaruh yang positif dan signifikan atas penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori terhadap

Setelah pembukaan rekening Tahapan BCA yang diperuntukkan untuk para mahasiswa Universitas Bina Nusantara selesai, berikut kegiatan yang harus dilakukan oleh staf Bank BCA