KUALITAS
PUPUK
CAIR
KELUARAN
BIOGAS
DARI
POME
MENGGUNAKAN
SLUDGE
BIOGAS
CAMPURAN
KOTORAN
SAPI
POTONG
DAN
POME
SEBAGAI
AKTIVATOR
SKRIPSI
KAMEISAH PUTRI WULANDARI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
Kameisah Putri Wulandari. D14080099. 2012. Kualitas Pupuk Cair Keluaran
Biogas dari POME Menggunakan Sludge Biogas Campuran Kotoran Sapi
Potong dan POME sebagai Aktivator. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Salundik, M.Si.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Panca Dewi M. H. K., M.Si.
Industri kelapa sawit nasional mengalami perkembangan yang pesat. Dampak
negatif pada industri kelapa sawit terhadap lingkungan dihasilkannya limbah cair yang biasanya disebut Palm Oil Mill Effluent (POME). Pengolahan POME ini dapat
digabungkan dengan pengolahan limbah peternakan. Pengolahan kedua limbah
tersebut adalah dengan menjadikan biogas dan pupuk organik. Limbah dari
pengolahan secara biogas dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui kualitas pupuk cair keluaran biogas dari POME
menggunakan sludge biogas campuran kotoran sapi potong dan POME sebagai
aktivator.
Bahan baku yang digunakan adalah POME dan aktivator berupa sludge
biogas campuran kotoran sapi potong dan POME. Perlakuan yang digunakan dalam pembuatan pupuk cair ini yaitu pengolahan POME dengan penambahan aktivator
dengan perbandingan 90%:10% (P90A10), 80%:20% (P80A20) dan 70%:30% (P70A30). Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan tiga kali ulangan. Peubah yang diamati adalah nilai pH, kandungan Karbon (C) organik, Nitrogen (N) total, Phospor (P), Kalium (K), Mangan (Mn), Besi (Fe),
dan rasio C/N. Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (Analysis of Variance, ANOVA) dan jika hasil yang diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan
dengan uji Tukey’s.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran P90A10, P80A20, dan P70A30 belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH, kandungan Karbon (C) organik, Nitrogen (N) total, Phospor (P), Kalium (K), Mangan (Mn), Besi (Fe), dan
rasio C/N. Selain itu, secara umum kandungan-kandungan yang terdapat pada ketiga
campuran tersebut masih sesuai dengan standar Peraturan Menteri Pertanian No.28/Permentan/SR.130/5/2009. Kesimpulan yang dapat diambil adalah keluaran
biogas dari POME menggunakan sludge biogas campuran kotoran sapi potong dan
POME sebagai aktivator pada semua faktor perlakuan dapat digunakan sebagai
pupuk organik cair.
ABSTRACT
Quality of Liquid Fertilizer from Biogas Effluent of POME with The Use of Biogas Sludge Mixed with Beef Feces and POME as An Activator
Wulandari K. P., Salundik, dan P. D. M. H. Karti
Palm oil production increased sharply in the last few years. Palm oil mill effluent (POME) can disturb environment if discharged untreated. Various technology in the
settlement of disposal of farm and POME have been developed, one of them is with exploiting of POME become the biomass and liquid organic fertilizer. The objective
of this research was to determine the quality of liquid fertilizer from biogas effluent
of POME with the use of biogas sludge mixed with beef feces and POME as an
activator. In this research, biogas preparation was done by mixing POME and
activators, which were made at different ratios of 90%:10% (P90A10), 80%:20% (P80A20), and 70%:30% (P70A30). The variables observed consist of pH, Organic Carbon (C), Total Nitrogen (N), Phosphor (P), Kalium (K), Mangan (Mn), Ferrum
(Fe), and C/N ratio. Data were analyzed using analysis of variance and any
significant differences were further tested using Tukey’s test. The results showed that
the treatments did not significantly affect (P>0.05) pH, Organic-C, Total-N, P, K,
Mn, Fe, and C/N ratio. Moreover, in general the contents in the result is still in accordance with the standards of the Minister of Agriculture No.28/Permentan/
SR.130/5/2009. Biogas effluent of POME with the use of biogas sludge mixed with beef feces and POME as an activator can be used as an organic liquid fertilizer.
KUALITAS
PUPUK
CAIR
KELUARAN
BIOGAS
DARI
POME
MENGGUNAKAN
SLUDGE
BIOGAS
CAMPURAN
KOTORAN
SAPI
POTONG
DAN
POME
SEBAGAI
AKTIVATOR
KAMEISAH PUTRI WULANDARI D14080099
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
Judul : Kualitas Pupuk Cair Keluaran Biogas dari POME Menggunakan
Sludge Biogas Campuran Kotoran Sapi Potong dan POME sebagai
Aktivator
Nama : Kameisah Putri Wulandari
NIM : D14080099
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Salundik, M.Si.) (Dr. Ir. Panca Dewi M. H. K., M.Si.) NIP. 19640406 198903 1 003 NIP. 19611025 198703 2 002
Mengetahui: Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada 4 Mei 1990 di Jakarta Selatan, DKI Jakarta. Penulis
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Rushadi Suparto
dan Ibu Tri Astuti.
Pendidikan kanak-kanak diselesaikan di TK Aisyah 3 Depok pada tahun
1994-1996, dilanjutkan dengan sekolah dasar di SD Muhammadiyah 3 Depok, Jawa
Barat pada tahun 1996-2002, kemudian menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat
pertama pada tahun 2002-2005 di SLTP Negeri 98 Jakarta Selatan dan pendidikan
lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2005-2008 di SMA Negeri 109 Jakarta Selatan,
DKI Jakarta. Pada tahun 2008, Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor. Pada tahun 2009, Penulis diterima di Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Selama aktif menjadi mahasiswa, Penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan
organisasi dan kepanitian dalam skala kampus. Pada tahun 2009, Penulis mengikuti
organisasi Kelompok Pecinta Alam Fakultas Peternakan, IPB (Kepal-D) dan
dipercaya menjadi sekretaris biro outbond. Pada tahun 2010-2011, penulis dipercaya
menjadi sekretaris I Kelompok Pecinta Alam Fakultas Peternakan, IPB (Kepal-D).
Penulis juga mengikuti kepanitiaan D’Farm Festival (DFF) pada tahun 2009, dan
kepanitiaan Masa Perkenalan Fakultas (MPF) angkatan 46 pada tahun 2010. Penulis
juga berkesempatan untuk mempublikasikan hasil penelitiannya pada acara EBTKE
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala kekuasaan,
hidayah, serta karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Kualitas Pupuk Cair Keluaran Biogas dari POME Menggunakan
Sludge Biogas Campuran Kotoran Sapi Potong dan POME sebagai Aktivator”
yang ditulis berdasarkan penelitian pada bulan Januari sampai Maret 2012 di
Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Sub Laboratorium Pengolahan Limbah
Ternak dan Hasil Ikutan Ternak, Fakultas Peternakan dan analisis sampel dilakukan
di Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian
Bogor.
Skripsi ini berisi informasi tentang kualitas pupuk cair keluaran biogas dari
Palm Oil Mill Effluent (POME) menggunakan sludge biogas campuran kotoran sapi
potong dan POME sebagai aktivator. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan informasi baru dalam dunia peternakan, bermanfaat bagi Penulis sendiri
maupun pembaca pada umumnya.
Bogor, September 2012
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ……….. i
ABSTRACT ………. ii
LEMBAR PERNYATAAN ………. iii
LEMBAR PENGESAHAN ……….. iv
RIWAYAT HIDUP ……….. v
KATA PENGANTAR ……….. vi
DAFTAR ISI ……… vii
DAFTAR TABEL ……… ix
DAFTAR GAMBAR ………... x
DAFTAR LAMPIRAN ……… xi
PENDAHULUAN ……… 1
Latar Belakang ………. 1
Tujuan ………... 2
TINJAUAN PUSTAKA ………... 3
Pupuk Organik ……….. 3
Pupuk Organik Cair ……….. 3
Unsur Nitrogen ………. 4
Unsur Fosfor ………. 5
Unsur Kalium ………... 5
Unsur Mangan ……….. 6
Unsur Besi ……… 6
Effluent Biogas ………. 6
Limbah Cair Kelapa Sawit ………... 7
Kotoran Sapi ………. 9
MATERI DAN METODE ………... 11
Lokasi dan Waktu ………. 11
Materi ………... 11
Prosedur ……… 11
Persiapan Bahan Baku ……….. 11
Penelitian Utama ……….. 11
Rancangan dan Analisis Data ………... 15
Perlakuan ……….. 15
Rancangan ……… 15
Analisis Data ……… 16
Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Pupuk Cair ……… 17
Kualitas Pupuk Cair ………. 19
Derajat Keasaman (pH) ……… 19
Kandungan Karbon (C) Organik ……….. 21
Kandungan Nitrogen (N) Total ……… 22
Rasio Karbon-Nitrogen (C/N) ……….. 23
Kandungan Phospor (P) ………... 24
Kandungan Kalium (K) ……… 25
Kandungan Mangan (Mn) ……… 26
Kandungan Besi (Fe) ……… 26
Karakteristik Akhir Pupuk Cair ……… 27
KESIMPULAN DAN SARAN ……… 30
Kesimpulan ………... 30
Saran ………. 30
UCAPAN TERIMAKASIH ……… 31
DAFTAR PUSTAKA ……….. 32
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik Cair ……….. 4
2. Kandungan Unsur Hara Limbah Biogas ………. 7
3. Kualitas Limbah Cair yang Dihasilkan oleh Pabrik Kelapa Sawit 9 (PKS) secara Umum ………... 4. Komposisi Campuran Bahan Baku Masukan ………. 15
5. Hasil Awal Bahan Baku Pembuatan Pupuk Cair ...17
6. Rataan Nilai pH Pupuk Cair ...19
7. Rataan Kandungan Karbon (C) Organik Pupuk Cair ...21
8. Rataan Kandungan Nitrogen (N) Total Pupuk Cair ...22
9. Rataan Rasio C/N Pupuk Cair ...23
10. Rataan Kandungan Phospor (P) Pupuk Cair ...24
11. Rataan Kandungan Kalium (K) Pupuk Cair ...25
12. Rataan Kandungan Mangan (Mn) Pupuk Cair ...26
13. Rataan Kandungan Besi (Fe) Pupuk Cair ...27
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Reaksi Pembentukan Biogas ………... ..7
2. Diagram Alir Proses Pengolahan Kelapa Sawit ………... 8
3. Proses Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Keluaran Biogas 12 Campuran POME dengan Menggunakan Aktivator ………...
4. Limbah Cair Kelapa Sawit ……….. 18
5. Nilai pH Harian Selama Penelitian ...20
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Analisis Ragam Kandungan Karbon (C) Organik Pupuk Cair ….. 36
2. Analisis Ragam Kandungan Nitrogen (N) Total Pupuk Cair …… 36
3. Analisis Ragam Nilai C/N Pupuk Cair ……….. 36
4. Analisis Ragam Kandungan Phospor (P) Pupuk Cair ………. 36
5. Analisis Ragam Kandungan Kalium (K) Pupuk Cair ……….. 36
6. Analisis Ragam Kandungan Mangan (Mn) Pupuk Cair …………. 37
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri kelapa sawit nasional mengalami perkembangan yang pesat. Dampak
negatif pada industri kelapa sawit terhadap lingkungan dihasilkannya limbah cair
yang biasanya disebut Palm Oil Mill Effluent (POME). POME berupa limbah cair
organik yang berasal dari input air pada proses perebusan, perontokan, pelumatan,
pengepresan dan klarifikasi (Yuliasari et al., 2001). Hasil samping proses produksi
tersebut berasal dari air kondensat rebusan 36% (150-175 kg/ton tandan buah segar),
air drab klarifikasi 60% (350-450 kg/ton tandan buah segar) dan air hidroksiklon 4%
(100-150 kg/ton tandan buah segar) (Mahajoeno, 2008). POME biasanya dikelola
dengan sistem kolam konvensional, sedangkan limbah padat dibakar di incenerator,
dibuang, atau dikubur dalam tanah. Pengolahan limbah dari industri kelapa sawit ini
harus dilakukan dengan lebih baik lagi agar kerusakan lingkungan tidak semakin
bertambah.
Pengolahan limbah cair kelapa sawit di Indonesia dilakukan dengan meng-
gunakan sistem kolam stabilisasi biasa, sistem anaerobik, dan sistem anaerobik
fakultatif. Pengolahan limbah cair ini bertujuan untuk mengurangi penumpukan
limbah cair dari industri kelapa sawit dan mengurangi pencemaran terhadap
lingkungan terutama air bersih. Pengolahan limbah cair kelapa sawit ini dapat
digabungkan dengan pengolahan limbah peternakan agar bahan organik yang
terkandung lebih cepat terdegradasi. Pengolahan kedua limbah tersebut adalah
dengan menjadikan biogas dan pupuk organik.
Pemanfaatan limbah biogas sebagai pupuk dapat memberikan keuntungan
yang hampir sama dengan penggunaan kompos. Sisa keluaran biogas ini telah
mengalami fermentasi anaerob sehingga bisa langsung digunakan untuk memupuk
tanaman. Pupuk organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena kandungan unsur
haranya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro. Kandungan unsur hara
dalam pupuk organik tidak terlau tinggi bila dibandingkan dengan pupuk anorganik
tetapi pupuk organik mempunyai keistimewaan lain yaitu dapat memperbaiki sifat
fisik dan biologi tanah, menggemburkan lapisan permukaan tanah, meningkatkan
jumlah jasad renik, serta meningkatkan daya serap dan daya simpan air sehingga
Pupuk yang dihasilkan dari limbah hasil keluaran biogas adalah pupuk oganik
karena bahan dasarnya merupakan limbah organik. Limbah hasil keluaran biogas
tersebut berbentuk padatan dan cairan. Limbah tersebut dapat diolah menjadi pupuk
organik padat dan cair. Pupuk organik cair sendiri memiliki beberapa keuntungan
daripada pupuk organik padat karena pengaplikasiannya lebih mudah dan unsur hara
yang terkandung di dalamnya lebih mudah diserap tanaman. Pengolahan hasil
keluaran biogas ini diharapkan dapat mengurangi limbah dari hasil keluaran biogas
sehingga menurunkan kadar pencemaran terhadap lingkungan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas pupuk cair keluaran biogas
dari Palm Oil Mill Effluent (POME) menggunakan sludge biogas campuran kotoran
sapi potong dan POME sebagai aktivator.
TINJAUAN PUSTAKA
Pupuk Organik
Pupuk organik adalah bahan organik yang umumnya berasal dari tumbuhan
atau hewan, ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada
umumnya mengandung nitrogen (N) yang berasal dari tumbuhan dan hewan
(Sutanto, 2002). Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009
menyatakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan
kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair dan
dapat diperkaya dengan bahan mineral alami atau mikroba yang bermanfaat
memperkaya hara, bahan organik tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah. Pupuk organik mempunyai kandungan unsur, terutama nitrogen (N), phospor
(P), dan kalium (K) sangat sedikit, tetapi mempunyai peranan lain yang sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan tanaman
(Suriawiria, 2003).
Peranan bahan organik dalam memperbaiki kesuburan tanah, yaitu (1)
melalui penambahan unsur-unsur hara N, P, dan K yang secara lambat tersedia, (2)
meningkatkan kapasitas tukar kation tanah sehingga kation-kation hara yang penting
tidak mudah mengalami pencucian dan tersedia bagi tanaman, (3) memperbaiki
agregat tanah sehingga terbentuk struktur tanah yang lebih baik untuk respirasi dan
pertumbuhan akar, (4) meningkatkan kemampuan mengikat air sehingga keter-
sediaan air bagi tanaman lebih terjamin, dan (5) meningkatkan aktivitas mikroba
tanah (Hardjowigeno, 2003).
Pupuk Organik Cair
Pupuk organik cair dapat dibuat dari bahan-bahan organik berbentuk cair
dengan cara mengomposkan dan memberi aktivator pengomposan sehingga dapat
dihasilkan pupuk organik cair yang stabil dan mengandung unsur hara lengkap.
Pupuk cair dapat diproduksi dari limbah industri peternakan (limbah cair dan
setengah padat atau slurry) yaitu melalui pengomposan dan aerasi (Haga, 1999).
Pupuk organik cair dapat diklasifikasikan atas pupuk kandang cair, biogas, pupuk
cair dari limbah organik, pupuk cair dari limbah kotoran manusia, dan
Pupuk organik cair yang merupakan keluaran (effluent) dari instalasi biogas
baik digunakan untuk tanaman darat maupun tanaman air (Capah, 2006). Pupuk
organik yang baik memiliki beberapa ciri yaitu N harus berada dalam bentuk
persenyawaan organik, tidak meninggalkan sisa asam organik di dalam tanah, dan
mempunyai persenyawaan C yang tinggi (Sutedjo, 1995). Persyaratan teknis minimal
pupuk organik cair yang terdapat pada Peraturan Menteri Pertanian No.
28/Permentan/SR.130/5/2009 diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik Cair
No. Parameter Satuan Kandungan
1 C-Organik ppm ≥ 40.000
2 C/N ratio - -
3 pH - 4-8
4 Kadar total
N ppm < 20.000
P2O5 ppm < 20.000
K2O ppm < 20.000
5 Kadar unsur mikro
Fe total ppm min 0, maks 800
Mn ppm min 0, maks 1.000
Sumber : Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009
Pupuk dalam bentuk cair ada yang bersifat organik dan ada pula yang bersifat
anorganik. Kelebihan pupuk organik cair dibanding pupuk anorganik cair yaitu dapat
secara cepat mengatasi defisiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara, dan
mampu menyediakan hara secara cepat. Kendala yang dihadapi dalam penggunaan
pupuk kimia anorganik cair antara lain kurang efisien, karena pupuk ini tidak
memiliki bahan pengikat sehingga saat diaplikasikan di lapangan banyak yang
terbuang. Larutan pupuk anorganik yang jatuh ke permukaan tanah akan larut dan
tercuci saat hujan dan unsur N menguap pada suhu cukup tinggi (Mulyani, 1994).
Unsur Nitrogen
Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro esensial yang sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan tanaman. Menurut Manan (2006), unsur N pada alam ditemukan
di atmosfer bumi (78% volume) sebagai gas diatom dengan rumus molekul N2, tidak
berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak dapat dibakar, sangat sedikit larut dalam
air dan bersifat tidak reaktif kecuali pada suhu tinggi. Nitrogen dalam keadaan cair
diperoleh secara komersial melalui distilasi bertingkat udara cair. Kegunaan unsur N
adalah untuk pembuatan amoniak.
Kekurangan unsur N selama pertumbuhan dapat menyebabkan tanaman
menjadi kerdil, perakaran terbatas, daun menjadi berwarna kuning, tetapi pemberian
N secara berlebihan juga akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif sangat pesat,
warna daun menjadi hijau tua dan tanaman menjadi lebih subur (Prawiranata dan
Tjondronegoro, 1992), sehingga tanaman menjadi mudah terserang hama dan
penyakit.
Unsur Fosfor
Fosfor (P) merupakan unsur yang sangat penting bagi kehidupan, dapat
menimbulkan eutrofikasi di danau, sungai, dan perairan lain. Unsur P juga
merupakan zat yang sangat penting tetapi selalu dalam keadaan kurang dalam tanah
(Manan, 2006). Unsur P sangat penting sebagai sumber energi (ATP). Oleh karena
itu, kekurangan P dapat menghambat pertumbuhan maupun reaksi-reaksi
metabolisme tanaman. Unsur P pada tanaman berfungsi dalam pembentukkan bunga,
buah, dan biji serta mempercepat pematangan buah. Pemberian unsur P dalam
jumlah yang memadai dapat meningkatkan mutu benih yang meliputi potensi
perkecambahan dan vigor bibit (Mugnisjah dan Setiawan, 1995).
Unsur Kalium
Kalium (K) berperan dalam pembentukan protein dan karbohidrat,
pengerasan bagian kayu dari tanaman, peningkatan resistensi tanaman terhadap
penyakit, dan peningkatan kualitas biji dan buah. Unsur K diserap dalam bentuk K+,
terutama pada tanaman muda (Mulyani, 1994). Tanaman yang kekurangan unsur K
akan mengalami gejala kekeringan pada ujung daun, terutama daun tua. Ujung yang
kering akan semakin menjalar hingga ke pangkal daun. Kadang-kadang terlihat
seperti tanaman yang kekurangan air. Kekurangan unsur K pada tanaman buah-
buahan mempengaruhi rasa manis buah (Winata, 1998).
Unsur Mangan
Mangan (Mn) diserap oleh tanaman dalam bentuk Mn2+. Unsur Mn
diperlukan oleh tanaman untuk pembentukan zat protein dan vitamin terutama
vitamin C, selain itu Mn penting untuk mempertahankan kondisi hijau daun pada
daun yang tua. Fungsi Mn yaitu sebagai enzim peroksidase dan sebagai aktivator
berbagai macam enzim. Unsur Mn ini juga berhubungan erat dengan reaksi
deoksidase dan dehidrogenase. Tanah yang kekurangan Mn dapat diatasi dengan
memberikan 1% MnSO4H2O. Pemberian Mn dalam bentuk larutan dapat langsung
dihisap oleh tanaman. Unsur Mn dalam tanah terdapat pada mineral-mineral MnO2,
MnSiO3, dan MnCO3. Tersedianya Mn bagi tanaman tergantung pada pH tanah,
dimana pada pH rendah Mn akan banyak tersedia. Penyemprotan MnSO4 melalui
daun akan lebih efektif daripada melalui tanah, karena Mn2+ pada tanah akan cepat
direduksi. Kelebihan Mn bisa dikurangi dengan jalan menambah fosfor dan kapur
(Frandho, 2011).
Unsur Besi
Unsur Besi (Fe) dalam tanaman berfungsi sebagai aktivator dalam proses
biokimia seperti fotosintesa dan respirasi, juga untuk pembentuk beberapa enzim
(Salisburry dan Ross, 1995). Unsur Fe dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan
aktivitas enzim tertentu. Defisiensi Fe dapat terlihat dengan terhambatnya
pertumbuhan kloroplas dan terhambatnya perpanjangan akar, serta pembentukan
rambut akar yang sangat banyak (Marschner, 1995). Tersedianya Fe dalam tanah
secara berlebihan, misalnya karena pemupukan yang berlebihan dapat
membahayakan bagi tanaman yaitu keracunan (Frandho, 2010).
Effluent Biogas
Biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dari suatu proses
pengomposan bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (anaerobic
process) (Sahidu, 1983). Proses perombakan bahan organik pembentuk biogas secara
anaerob menurut Food and Agriculture Organization (1997), terdapat tiga tahap,
yaitu tahap hidrolisis bahan organik, tahap asidifikasi, dan tahap metanisasi. Proses
pengomposan atau pelapukan bahan organik secara anaerob dilakukan oleh
mikroorganisme dalam proses fermentasi (Polprasert, 1980). Reaksi pembentukan
biogas disajikan pada Gambar 1.
Dominan
Sedikit
BO + H2O
Mikroorganisme
Anaerob
CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S + Sludge (padat dan cair)
Gambar 1. Reaksi Pembentukan Biogas
Sumber : Polprasert (1980)
Menurut Junus (1998), effluent biogas yang keluar dari tangki pencerna
(digester) terdiri dari dua komponen yaitu bagian padat dan cair. Limbah cair lebih
banyak mengandung unsur N dan K sedangkan padatannya lebih banyak
mengandung unsur P, seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Unsur Hara Limbah Biogas
Bahan N (%) P2O5 (%) K2O (%)
Padat 0,64 0,22 0,24
Cair 1,00 0,02 1,08
Sumber : Junus (1998)
Effluent biogas adalah keluaran dari instalasi biogas yang merupakan by product dari sistem pengomposan anaerob yang bebas bakteri patogen dan dapat
digunakan sebagai pupuk untuk menjaga kesuburan tanah dan meningkatkan
produksi tanaman (Food and Agriculture Organization, 1997). Effluent mengandung
unsur makro yang penting untuk pertumbuhan tanaman seperti unsur N, P, K, dan
unsur mikro yaitu Cu, Fe, Mg, S, dan Zn (Suzuki et al., 2001). Park (1984)
menyatakan bahwa effluent dari biogas jika dimanfaatkan sebagai pupuk untuk
tanaman dapat meningkatkan hasil pertanian dan dapat memperbaiki kesuburan
tanah.
Limbah Cair Kelapa Sawit
Pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak kelapa sawit (CPO)
menghasilkan dua bentuk limbah cair (POME), yaitu air kondensat dan effluent
(Tobing dan Darnoko, 1992). Aktivitas produksi pabrik kelapa sawit (PKS)
menghasilkan limbah dalam volume yang sangat besar. Diagram alir proses
pengolahan kelapa sawit yang disajikan pada Gambar 2.
Tandan Buah Segar
Perebusan
(Sterilizer)
Tandan Kosong
Perontokan (Threser) Pupuk Pengadukan (Digester) . Pengepresan (Screw Presser)
Penyaringan
Vibrating Screen
Pengendapan
Pemisahan Ampas
Depericarper
Pengeringa
Centrifugal Purifier
Pemurnian
Clarivication Tank
Pengeringan
Oil Vacum Dryer
Penyimpanan CPO hydrocylon Cangkang
Limbah cair
n Nut Silo
Pemecahan
Nut Cracker
Pemisahan
Dry Separator
Pengeringan
Winnowing Kernel
Penyimpanan
Kernel
Pengumpulan limbah
cair di kolam
POME
Gambar 2. Diagram Alir Proses Pengolahan Kelapa Sawit
Sumber : Subdit Pengelolaan Lingkungan, Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, Departemen Pertanian (2006)
No. Parameter
Lingkungan Satuan Limbah cair
Limbah cair pabrik kelapa sawit mengandung bahan organik yang dapat
mengalami degradasi. Kualitas limbah cair yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit
berdasarkan parameter lingkungan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup akan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kualitas Limbah Cair yang Dihasilkan oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS)
secara Umum
Kisaran Rata-Rata
1 BOD mg/l 8.200 - 35.000 21. 280
2 COD mg/l 15.103 – 65.100 34.720
3 TSS mg/l 1.330 – 50.700 31.170
4 Nitrogen Total mg/l 12 – 126 41
5 Minyak dan Lemak mg/l 190 – 14.720 3.075
6 pH - 3,3 – 4,6 4
Sumber : Subdit Pengelolaan Lingkungan, Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian, Departemen Pertanian (2006)
Limbah cair kelapa sawit mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi.
Tingginya bahan organik tersebut mengakibatkan beban pencemaran yang semakin
besar, karena diperlukan degradasi bahan organik yang lebih besar. Salah satu limbah
cair industri kelapa sawit yang penting karena diduga sebagai penyebab pencemaran
lingkungan adalah lumpur (sludge) yang berasal dari proses klarifikasi atau disebut
lumpur primer (Sa’id, 1996).
Kotoran Sapi
Limbah peternakan adalah hasil buangan dari proses pengolahan usaha
peternakan atau buangan proses metabolisme yang bersifat tidak ramah lingkungan.
Peternakan kecil maupun peternakan besar selalu menghasilkan limbah yang berupa
limbah padat, cair, dan gas (CH4 dan NH3). Kotoran (feses) adalah limbah utama atau
paling banyak dihasilkam dari peternakan sapi. Sahidu (1983) mengemukakan hasil
pengamatan beberapa peneliti bahwa rata-rata satu ekor sapi menghasilkan kotoran
sebanyak 27 kg/ekor/hari. Kotoran sapi merupakan limbah peternakan hasil buangan
dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya
sering bercampur dengan urin dan gas seperti metan dan amoniak.
Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada
keadaan tingkat produksinya, macam, jumlah makanan yang dimakannya, dan
individu ternak sendiri (Abdulgani, 1988). Kandungan unsur hara dalam kotoran
sapi, antara lain nitrogen (0,29%), P2O5 (0,17%) dan K2O (0,35%) (Hardjowigeno,
2003). Kotoran sapi yang tinggi kandung-an hara dan energinya berpotensi untuk
dijadikan bahan baku penghasil biogas (Sucipto, 2009). Kotoran ternak sebagai
bahan baku/pengisi “digester” untuk proses fermentasi anaerobik, C/N yang baik
adalah 30 sedang C/N pada sapi adalah 18 untuk ini perlu ditambahkan bahan
organik lain agar dihasilkan biogas yang maksimal antara lain dengan limbah
pertanian atau hijauan. Kandungan bahan kering 18% ini mempengaruhi
pertumbuhan mikroorganisme (bakteri) pada proses fermentasi anaerobik yang baik
adalah 7-9% bahan kering (Hadi, 1980).
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Sub
Laboratorium Pengolahan Limbah Ternak dan Hasil Ikutan Ternak, Fakultas
Peternakan dan Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan
selama 3 bulan yaitu mulai Januari sampai dengan Maret 2012.
Materi
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku berupa
POME yang didapat dari Pabrik Kelapa Sawit PTPN VIII Kertajaya, Malingping,
Banten, Jawa Barat dan aktivator berupa sludge biogas campuran 20% kotoran sapi
potong dan 80% POME.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat tangki
digester dengan volume 20 l, bak penampungan limbah cair, gelas ukur, indikator
pH, sarung tangan, dan alat-alat lain yang digunakan untuk analisis C-organik, N
total, P, K, Mn, dan Fe.
Prosedur
Persiapan Bahan Baku
Bahan baku berupa POME, aktivator, dan campuran keduanya dianalisis.
Analisis tersebut antara lain pH, C Organik, N total, rasio C/N, P, K, Mn, dan Fe.
Setelah analisis, bahan baku tersebut dicampur dan diaduk hingga homogen.
Perbandingan antara POME dan aktivator yaitu 90%:10%, 80%:20% dan 70%:30%.
Ketiga campuran tersebut dimasukkan ke dalam masing-masing tangki digester yang
setiap harinya dilakukan penambahan campuran lalu difermentasi selama 40 hari
hingga terbentuk gas secara anaerob di dalam digester dan ditempatkan pada suhu
ruang.
PenelitianUtama
Keluaran yang dihasilkan dari biogas tersebut dianalisis sebagai pupuk
Aktivator (sludge
biogas campuran kotoran sapi potong
Bak penampungan sementara POME
dan POME)
Digester Biogas
Rumah tangga
Effluent (keluaran biogas)
Analisis pH, C-
organik, N total, P,
K, Mn, dan Fe
Gambar 3. Proses Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Keluaran Biogas Campuran
POME dengan Menggunakan Aktivator
Peubah yang diukur, antara lain :
1. Pengukuran pH
Nilai pH diukur setiap hari selama penelitian berlangsung. Digester
diaduk terlebih dahulu sebelum diukur nilai pH-nya. Pengadukan dilakukan agar
isi digester homogen. Hal ini karena selama proses anaerob terjadi perombakan
yang menyebabkan setiap lapisan yang terbentuk memiliki pH yang berbeda.
2. Kandungan Karbon (C) Organik (Japan International Coorperation Agency, 1978)
Kadar C-organik dihitung berdasarkan kadar abu. Penentuan kadar abu
didasarkan dengan menimbang sisa mineral sebagai hasil pembakaran bahan
organik pada temperatur sekitar 550 oC. Cawan porselin dikeringkan meng-
gunakan oven pada temperatur 105 oC selama satu jam, lalu didinginkan di
dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga didapatkan berat tetap
(A). Sebanyak 2 g sampel ditimbang (B) dan dimasukkan ke dalam cawan
porselin, kemudian dipijarkan di atas pembakar bunsen hingga tidak berasap.
Setelah dipanaskan, sampel dimasukkan ke dalam tanur listrik (furnace) dengan
temperatur 650 oC selama ± 12 jam. Cawan didinginkan dengan desikator
selama 30 menit, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat tetap (C).
Perhitungan :
3. Kandungan Nitrogen (N) Total (American Public Health Association ed.
21th 4500-Norg C, 2005)
Sampel sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam labu kjedahl lalu
ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat dan 0,25 g Selen. Larutan tersebut kemudian
didestruksi hingga jernih. Setelah larutan tersebut dingin, larutan ditambahkan
15 ml NaOH 40%. Larutan penampung dalam erlemeyer 125 ml disiapkan, yang
terdiri atas 19 ml H3BO3 4% dan BCG-MR sebanyak 2-3 tetes. Larutan sampel
dimasukkan ke dalam labu destilasi, kemudian didestilasi. Destilasi dihentikan
apabila sudah tidak ada gelembung yang keluar pada larutan penampung. Hasil
destilasi kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N.
Perhitungan :
4. Kandungan Phosphor (P) (American Public Health Association ed. 21th 4500-P D, 2005)
Pupuk cair disaring dengan kertas saring, dipipet 1 ml dan hasil saringan
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml lalu diencerkan dengan aquades dan
dihimpitkan sampai tanda tera. Ekstrak yang sudah mengalami pengenceran
dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan 4 ml aquades, dikocok dan dibiarkan selama 5 menit. Larutan
standar baku P dibuat satu seri yang mempunyai konsentrasi 0, 1, 2, 3, 4, dan 5
ppm, P diukur dengan alat ukur spectrophotometer pada panjang gelombang 600
mm.
Perhitungan :
5. Kandungan Kalium (K) (American Public Health Association ed. 21th 3111 B, 2005)
Pupuk cair disaring dengan kertas saring, dipipet 1 ml dan hasil saringan
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml lalu diencerkan dengan aquades dan
dihimpitkan sampai tanda tera. Hasil saringan yang sudah mengalami
pengenceran dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 9 ml aquades dan dikocok sebentar. Larutan standar
baku K dibuat satu seri yang mempunyai konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25
ppm, K ukur dengan alat ukur plame photometer pada filter K.
Perhitungan :
6. Kandungan Mangan (Mn) (American Public Health Association ed. 21th 3111 B, 2005)
Pupuk cair disaring dengan kertas saring, dipipet 1 ml dan hasil saringan
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml lalu diencerkan dengan aquades dan
dihimpitkan sampai tanda tera. Hasil saringan yang sudah mengalami
pengenceran dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 9 ml aquades dan dikocok sebentar. Larutan standar
baku Mn dibuat satu seri yang mempunyai konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25
ppm, Mn ukur dengan alat ukur plame photometer pada filter Mn.
Perhitungan :
7. Kandungan Besi (Fe) (American Public Health Association ed. 21th 3111 B, 2005)
Pupuk cair disaring dengan kertas saring, dipipet 1 ml dan hasil saringan
Bahan Baku Perlakuan
dihimpitkan sampai tanda tera. Hasil saringan yang sudah mengalami
pengenceran dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 9 ml aquades dan dikocok sebentar. Larutan standar
baku Fe dibuat satu seri yang mempunyai konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25
ppm, Fe ukur dengan alat ukur plame photometer pada filter Fe.
Perhitungan :
8. Rasio C/N
Rasio C/N dapat dihitung dari kandungan Karbon (C) organik dibagi
dengan kandungan Nitrogen.
Perhitungan :
Rancangan dan Analisis Data
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan tiga macam formula campuran bahan baku
masukan berdasarkan variasi penggunaan Palm Oil Mill Effluent (POME) dan
aktivator. Komposisi campuran yang digunakan pada penelitian ini akan disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi Campuran Bahan Baku Masukan
P90A10 P80A20 P70A30
---%---
POME 90 80 70
Aktivator 10 20 30
Rancangan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang
digunakan dalam pembuatan pupuk cair ini yaitu pengolahan POME dengan
penambahan aktivator dengan perbandingan 90%:10% (P90A10), 80%:20% (P80A20)
dan 70%:30% (P70A30). Model matematis rancangan menurut Mattjik dan
Sumertajaya (2002) adalah :
Yij = μ + α i + εij
Keterangan :
Yij = Hasil pengamatan akibat faktor campuran POME dan aktivator pada taraf
ke-i (i= 90%, 80%, dan 70%) dan ulangan ke-j (j= 1, 2, dan 3) μ = Rataan umum pengamatan
αi = Pengaruh perlakuan ke-i
εij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian diolah dan dianalisis dengan meng-
gunakan analisis ragam (Analysis of Variance, ANOVA) dan jika hasil yang
diperoleh berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey’s.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Pupuk Cair
Pengolahan buah segar menjadi minyak kelapa sawit (CPO) menghasilkan
dua bentuk limbah cair (POME), yaitu air kondensat dan effluent (Tobing dan
Darnoko, 1992). Salah satu limbah cair industri kelapa sawit yang penting karena
diduga sebagai penyebab pencemaran lingkungan adalah lumpur (sludge) yang
berasal dari proses klarifikasi atau disebut lumpur primer (Sa’id, 1996). Hasil analisis
karakteristik kimia bahan baku pembuatan pupuk cair dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Pupuk Cair
Parameter Satuan POME Aktivator
P
90A
10P
80A
20P
70A
30pH - 4,53 7,18 6,67 6,67 7,00
C organik mg/l 6.000 4.300 6.300 6.300 6.000
N total mg/l 644 451 394 395 393
Rasio C/N - 9,32 9,53 15,99 15.95 15,27
Phosphor (P) mg/l 96,26 194,04 116,36 112.2 109,9
Kalium (K) mg/l 252 268 296 196 223
Mangan (Mn) mg/l 9,75 5,84 9,36 9,11 7,55
Besi (Fe) mg/l 1,21 0,91 1,77 2,41 2,11
Hasil analisis menunjukkan kandungan C organik dan N total yang tinggi
masing-masing sebesar 6.000 mg/l dan 644 mg/l. Tinggi kandungan C organik dan N
total pada POME mengakibatkan tingginya nilai rasio C/N. Oleh karena itu
diperlukan bahan organik lain yang mampu menurunkan rasio C/N pada POME,
seperti kotoran sapi dan sludge biogas. Komposisi campuran yang optimum antara
POME dengan sludge biogas tergantung pada karakteristik limbah dan tipe
prosesnya.
Limbah cair yang digunakan sebagai bahan baku memiliki kandungan C
organik dan N total yang tinggi, sehingga limbah cair tersebut mempunyai
kandungan bahan organik yang tinggi dan dapat diolah dengan cara fermentasi
anaerobik. Zhang et al. (2008) mengatakan bahwa pengolahan fermentasi anaerobik
lebih potensial dilakukan untuk penanganan limbah cair pabrik minyak kelapa sawit
limbah cair kelapa sawit mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi.
Tingginya bahan organik tersebut mengakibatkan beban pencemaran yang semakin
besar, karena itu diperlukan degradasi bahan organik yang lebih besar.
Limbah cair yang dijadikan sebagai bahan baku memiliki karakteristik fisik
yaitu cairan kental dan berwarna coklat. Berikut adalah gambar limbar cair pabrik
kelapa sawit (Gambar 4).
Gambar 4. Limbah Cair Kelapa Sawit
Limbah cair dari pabrik minyak kelapa sawit ini umumnya bersuhu tinggi 70-
80oC, berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa
koloid dan residu minyak dengan Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan
Chemical Oxygen Demand (COD) yang tinggi (Deublein dan Steinhauster, 2008).
Apabila limbah cair ini langsung dibuang ke perairan dapat mencemari lingkungan.
Jika limbah tersebut langsung dibuang ke perairan, maka sebagian akan mengendap,
terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan,
mengeluarkan bau yang tajam dan dapat merusak ekosistem perairan.
[image:30.612.123.493.194.476.2]Kualitas Pupuk Cair Nilai Derajat Keasaman (pH)
Hasil analisis awal pH (Tabel 6) berkisar antara 6,67-7. Nilai pH tersebut
tergolong nilai pH netral sehingga masih dapat digunakan dalam proses anaerobik
karena bakteri pembentuk asam dan metan akan beraktifitas secara optimum pada
kondisi pH netral yaitu antara 6-7. Hal ini sesuai dengan Romli (2010) yang
mengatakan bahwa nilai pH yang baik untuk kombinasi kedua bakteri (asidogen dan
metanogen) berkisar antara 6,8-7,4 dengan pH netral sebagai kondisi yang paling
optimum. Hasil analisis pH dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Nilai pH Pupuk Cair
Perlakuan pH Awal pH Akhir
P90B10 6,67 5,67±0,58
P80B20 6,67 6,00±1,00
P70B30 7,00 6,33±0,58
Permentan* - 4-8
Sumber : * Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009
Hasil analisis ragam pada Tabel 6 menunjukkan bahwa rasio POME dengan
aktivator tidak berpengaruh nyata terhadap pH pupuk cair. Nilai pH yang tidak
berbeda menunjukkan bahwa mikroorganisme dapat merombak bahan dengan
efektifitas yang sama pada saat fermentasi anaerob berlangsung. Hasil analisis
menunjukkan bahwa pH pupuk cair keluaran biogas berkisar antara 5,67-6,33. Nilai
pH tersebut sudah sesuai dengan standar Peraturan Menteri Pertanian No.
28/Permentan/SR.130/5/2009 yaitu 4-8.
Nilai pH mengalami penurunan. Penurunan pH pada pengomposan terjadi
akibat terbantuknya asam-asam organik, perombakan protein, dan adanya aktivitas
mikroorganisme yang terdapat di dalam digester biogas. Penurunan pH ini
menunjukkan tingginya konsentrasi asetat yang dapat menghambat perombakan
(Mahajoeno, 2008). Pada awal reaksi fermentasi anaerobik, nilai pH akan menurun
seiring produksi VFA (Volatile Fatty Acids). Setelah itu, bakteri pembentuk methan
akan mengkonsumsi VFA dan alkalinitas diproduksi, pH akan meningkat dan
mencapai kestabilan (Gerardi, 2003).
Derajat keasaman (pH) adalah ukuran keasaman atau kebasaan dari suatu
bahan (Bitton, 1999). Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor
lingkungan yang penting dalam proses anaerobik. Kebanyakan mikroorganisme
tumbuh baik pada pH netral, karena nilai-nilai pH selain itu akan berpengaruh
terhadap metabolisme, atau bahkan menyebabkan kerusakan enzim (Romli, 2010).
Nilai pH selama penelitian sangat fluktuatif, tetapi di akhir penelitian nilai pH
cenderung menurun. Penurunan nilai pH selama penelitian dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Nilai pH Harian Selama Penelitian
Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi maka nilai
pH akan semakin menurun hingga pada akhirnya pH menjadi netral. Apabila nilai pH
di bawah 6,5, aktivitas bakteri metanogen akan menurun dan pH di bawah 5,
aktivitas fermentasi akan terhenti (Yani dan Darwis, 1990). Oleh karena itu, untuk
mempertahankan pH berkisar antara 6,8-8,5 perlu ditambahkan kapasitas penyangga
(buffer capacity) seperti ammonium hidroksida, larutan kapur, natrium karbonat, dan
lain-lain (Bitton,1999).
[image:32.612.118.501.81.761.2]Kandungan Karbon (C) Organik
Hasil analisis awal kandungan C organik (Tabel 7) berkisar antara 6.000-
6.300 mg/l. Hasil analisis kandungan C organik dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Kandungan Karbon (C) Organik Pupuk Cair
Perlakuan C Organik Awal C Organik Akhir
---mg/l---
P90B10 6.300 2.500±500
P80B20 6.300 2.100±400
P70B30 6.000 2.300±600
Permentan* - ≥40.000
Sumber : * Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio POME dan aktivator tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan C organik dalam pupuk cair. Hal ini
menunjukkan bahwa mikroorganisme yang terdapat di dalam digester dapat
merombak bahan dengan efektifitas yang sama pada saat fermentasi anaerob
berlangsung. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan C organik dalam pupuk
cair berkisar antara 2.100-2.500 mg/l dan mengalami penurunan apabila
dibandingkan dengan bahan masukan awal yaitu berkisar antara 6.000-6.300 mg/l.
Hasil kandungan C organik pada pupuk cair yang dihasilkan belum memenuhi
standar kandungan C organik dari Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/
SR.130/5/2009 yaitu lebih dari 40.000 mg/l.
Hasil analisis menunjukkan penurunan rataan kandungan C organik dalam
pupuk cair. Penurunan kandungan C organik terjadi karena adanya pelepasan unsur
C pada saat proses fermentasi anaerob yang terjadi di dalam digester biogas.
Pelepasan tersebut dalam bentuk CH4 dan CO2. Kedua gas tersebut merupakan gas
yang dominan dihasilkan di dalam digester biogas (Suharto, 2011). Selain itu,
penurunan kandungan C juga disebabkan karena penggunaan unsur C oleh mikroba
untuk pertumbuhan. Peningkatan kandungan C organik dapat dilakukan dengan
penambahan sekam bakar, arang aktif, dan bahan lain yang memiliki kandungan C
organik yang tinggi.
Kandungan Nitrogen (N) Total
Hasil analisis awal kandungan N total (Tabel 8) berkisar antara 393-395 mg/l.
Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro esensial yang sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman. Menurut Manan (2006), unsur N pada alam ditemukan di
atmosfer bumi (78% volume) sebagai gas diatom dengan rumus molekul N2, tidak
berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak dapat dibakar, sangat sedikit larut dalam
air dan bersifat tidak reaktif kecuali pada suhu tinggi. Hasil analisis kandungan N
total dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Kandungan Nitrogen (N) Total Pupuk Cair
Perlakuan N Total Awal N Total Akhir
---mg/l---
P90B10 394 429±69
P80B20 395 417±123
P70B30 393 421±88
Permentan* - <20.000
Sumber : * Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio POME dan aktivator tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan N total dalam pupuk. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kandungan N total dalam pupuk berkisar antara 417-429 mg/l.
Kandungan N total tersebut sudah sesuai dengan standar Peraturan Menteri Pertanian
No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 yaitu kurang dari 20.000 mg/l. Kandungan N total
dalam pupuk cair lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Aminah
(2011) tentang pupuk organik cair dari sludge biogas limbah cair pabrik kelapa sawit
dengan penambahan aktivator kotoran sapi potong. Aminah (2011) menyebutkan
bahwa kandungan N total dalam pupuk organik cair sekitar 250-360 mg/l.
Hasil analisis menunjukkan peningkatan rataan kandungan N total dalam
pupuk cair. Peningkatan kandungan N total disebabkan oleh N yang digunakan oleh
bakteri untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan. Semakin tumbuh dan
berkembangnya bakteri pada saat fermentasi berlangsung maka unsur N yang
terdapat dalam pupuk cair akan semakin meningkat. Deublein dan Steinhausher
(2008) menyatakan bahwa 16% sel bakteri terdiri dari unsur N.
Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)
Hasil analisis awal rasio C/N (Tabel 9) berkisar antara 15,27-15,99. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa rasio POME dan aktivator tidak berpengaruh
nyata terhadap rasio C/N dalam pupuk. Rataan rasio C/N dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan Rasio C/N Pupuk Cair
Perlakuan C/N Awal C/N Akhir
P90B10 15,99 5,86±1,05
P80B20 15,95 5,16±0,76
P70B30 15,27 5,43±0,32
Berdasarkan hasil analisis, rasio C/N dalam pupuk cair berkisar antara 5,16-
5,86 dan mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan rasio C/N pada bahan
masukan awal yaitu berkisar antara 15,27-15,99. Rasio C/N yang kurang dari 20
dapat dijadikan indikasi kematangan dan kestabilan substrat organik sehingga
pelepasan N dari bahan organik ke dalam tanah lebih cepat. Rasio C/N tidak mutlak
dijadikan sebagai indikator tingkat kematangan kompos, karena hal tersebut
dipengaruhi oleh jenis dan tipe bahan awal yang digunakan untuk pengomposan
(Hirai et al., 1983).
Hasil analisis menunjukkan penurunan rasio C/N pada pupuk organik cair.
Penurunan rasio C/N dalam pupuk dapat disebabkan oleh penurunan kandungan C
sebesar 63% dan peningkatan kandungan N sebesar 7%. Rendahnya nilai rasio C/N
erat kaitannya dengan kandungan C organik dan N total. Semakin kecil kandungan C
dan semakin besar kandungan N maka rasio C/N akan semakin kecil. Rendahnya
nilai rasio C/N dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kandungan Karbon (C)
organik dalam bahan baku pembuatan pupuk organik.
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena
perbandingan nilai C/N dalam bahan tersebut pada umumnya lebih tinggi sehingga
tidak sesuai dengan nilai C/N pada tanah (Simanungkalit et al., 2006). Deublein dan
Steinhauser (2008) menyatakan bahwa nilai rasio C/N yang terlalu tinggi
mengindikasikan kurangnya unsur N yang akan berakibat buruk pada pertumbuhan
mikroorganisme dan sintesis sel baru bagi mikroorganisme. Dalzell et al. (1987)
menambahkan bahwa nilai rasio C/N yang terlalu rendah akan mengakibatkan N
yang merupakan komponen penting dari pupuk akan dibebaskan sebagai amonia.
Kandungan Phospor (P)
Hasil analisis awal kandungan P (Tabel 10) berkisar antara 109,9-116,36
mg/l. Unsur P sangat penting bagi tanaman karena berfungsi sebagai sumber energi,
pembentukkan bunga, buah, dan biji serta mempercepat pematangan buah. Menurut
Manan (2006), unsur P juga merupakan zat yang sangat penting tetapi selalu dalam
keadaan kurang dalam tanah. Hasil analisis kandungan P dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rataan Kandungan Phospor (P) Pupuk Cair
Perlakuan P Awal P Akhir
---mg/l---
P90B10 116,36 26,48±10,60
P80B20 112,2 25,44±6,16
P70B30 109,9 22,05±7,33
Permentan* - <20.000
Sumber : * Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio POME dan aktivator tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan P dalam pupuk cair. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kandungan P dalam pupuk cair berkisar antara 22,05-26,48
mg/l. Kandungan P tersebut sudah sesuai dengan standar Peraturan Menteri Pertanian
No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 yaitu kurang dari 20.000 mg/l. Kandungan P
masih dikatakan sesuai dengan Peraturan Menteri pertanian karena tidak ada batas
minimum kandungan P pada pupuk organik cair.
Kandungan P pada bahan masukan awal berkisar antara 109,9-116,36 mg/l,
sedangkan kandungan P pada pupuk cair sekitar 22,05-26,48 mg/l. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan P pada pupuk cair mengalami penurunan yang
drastis dari kandungan P pada bahan masukan awal. Penurunan kandungan P diduga
karena unsur P yang lebih banyak terdapat pada padatan yang masih di dalam
digester dibandingkan dengan unsur P yang terdapat pada effluent. Hal ini, sesuai
dengan Romli (2010) yang menyatakan terjadinya pembentukan lapisan pada
permukaan dan deposit padatan pada bawah digester dikarenakan pengadukan yang
kurang baik.
Kandungan Kalium (K)
Hasil analisis awal kandungan K (Tabel 11) berkisar antara 196-296 mg/l.
Kalium (K) berperan dalam pembentukan protein dan karbohidrat, pengerasan
bagian kayu dari tanaman, peningkatan resistensi tanaman terhadap penyakit, dan
peningkatan kualitas biji dan buah (Mulyani, 1994). Hasil analisis kandungan K
dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Rataan Kandungan Kalium (K) Pupuk Cair
Perlakuan K Awal K Akhir
---mg/l---
P90B10 296 9,25±1,14
P80B20 196 8,91±0,56
P70B30 223 8,04±1,63
Permentan* - <20.000
Sumber : * Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio POME dan aktivator tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan K dalam pupuk cair. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kandungan K dalam pupuk cair berkisar antara 8,04-9,25 mg/l.
Kandungan K tersebut sudah sesuai dengan standar Peraturan Menteri Pertanian No.
28/Permentan/SR.130/5/2009 yaitu kurang dari 20.000 mg/l.
Kandungan K pada bahan masukan awal berkisar antara 196-296 mg/l,
sedangkan kandungan K pada pupuk cair sekitar 8,04-9,25 mg/l. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan K pada pupuk mengalami penurunan yang drastis
dari kandungan K pada bahan masukan awal. Sama halnya seperti kandungan P,
penurunan kandungan K pada pupuk terjadi karena unsur K yang lebih banyak
terdapat pada padatan yang masih di dalam digester dibandingkan dengan unsur K
yang terdapat pada effluent. Selain itu, K diperlukan oleh mikroba sebagai nutrien
pada proses biodegradasi bahan organik (Suharto, 2011).
Kandungan Mangan (Mn)
Hasil analisis awal kandungan Mn (Tabel 12) berkisar antara 7,55-9,36 mg/l.
Hasil analisis kandungan Mn yang terdapat pada bahan awal masukan dan pupuk cair
disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Rataan Kandungan Mangan (Mn) Pupuk Cair
Perlakuan Mn Awal Mn Akhir
---mg/l---
P90B10 9,36 1,21±0,48
P80B20 9,11 0,60±0,52
P70B30 7,55 0,90±0,27
Permentan* - <1.000
Sumber : * Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio POME dan aktivator tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan Mn dalam pupuk cair. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kandungan Mn dalam pupuk cair berkisar antara 0,60-1,21
mg/l. Kandungan Mn tersebut sudah sesuai dengan standar Peraturan Menteri
Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009 yaitu kurang dari 1.000 mg/l.
Kandungan Mn dalam pupuk cair mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan kandungan Mn pada bahan masukan awal. Hal ini terjadi, karena Mn dipakai
oleh mikroba pada proses biodegredasi bahan organik, tetapi penggunaannya dalam
jumlah yang sedikit. Kandungan Mn dalam pupuk cair juga lebih rendah jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Aminah (2011) tentang pupuk organik cair dari
sludge biogas limbah cair pabrik kelapa sawit dengan penambahan aktivator kotoran
sapi potong. Aminah (2011) menyebutkan bahwa kandungan Mn dalam pupuk
organik cair sekitar 1,17-8,77 mg/l.
Kandungan Besi (Fe)
Hasil analisis awal kandungan Fe (Tabel 13) berkisar antara 1,77-2,41 mg/l.
Hasil analisis kandungan Fe yang terdapat pada bahan awal masukan dan pupuk cair
disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataan Kandungan Besi (Fe) Pupuk Cair
Perlakuan Fe Awal Fe Akhir
---mg/l---
P90B10 1,77 3,86±1,19
P80B20 2,41 1,61±0,12
P70B30 2,11 2,15±1,33
Pementan* - <800
Sumber : * Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/SR.130/5/2009
Hasil analisis ragam menunjukkan rasio POME dan aktivator tidak
berpengaruh nyata terhadap kandungan Fe dalam pupuk cair. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kandungan Fe dalam pupuk cair berkisar antara 1,61-3,86 mg/l.
Kandungan Fe tersebut sudah sesuai dengan standar Peraturan Menteri Pertanian No.
28/Permentan/SR.130/5/2009 yaitu kurang dari 800 mg/l.
Kandungan Fe dalam pupuk mengalami peningkatan dan penurunan jika
dibandingkan dengan kandungan Fe pada bahan masukan awal. Peningkatan terjadi
pada P90B10 dan P70B30, sedangkan P80B20 mengalami penurunan. Hal ini terjadi,
karena ketidakseimbangan populasi mikroorganisme yang berada di dalam digester
(Romli, 2010). Kandungan Fe dalam pupuk cair juga lebih rendah jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Aminah (2011) tentang pupuk organik cair dari sludge biogas
limbah cair pabrik kelapa sawit dengan penambahan aktivator kotoran sapi potong.
Aminah (2011) menyebutkan bahwa kandungan Fe dalam pupuk organik cair sekitar
6,80-18,63 mg/l.