• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Leukosit Mencit (Mus musculus) Yang Diinfeksi Plasmodium berghei Dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Leukosit Mencit (Mus musculus) Yang Diinfeksi Plasmodium berghei Dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT

(Mus musculus)

YANG DIINFEKSI

Plasmodium berghei

DAN DIBERI

INFUSA

Artemisia annua

Linn.

SEPTI RUBIYANI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gambaran Leukosit Mencit

(Mus musculus) yang Diinfeksi Plasmodium berghei dan Diberi Infusa

Artemisia annua Linn. adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Septi Rubiyani

(3)

ABSTRAK

SEPTI RUBIYANI. Gambaran Leukosit Mencit (Mus musculus) yang Diinfeksi

Plasmodium berghei dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn. Dibawah bimbingan UMI CAHYANINGSIH.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian infusa

Artemisia annua Linn. terhadap persentase diferensial leukosit mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Hewan coba yang digunakan adalah mencit jantan dan mencit betina (Mus musculus) yang diinfeksi dengan P. berghei. Rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan digunakan pada penelitian ini. Mencit dibagi dalam lima kelompok yaitu 1) kontrol normal (tidak diinfeksi dan tidak diberi

infusa A. annua L.), 2) kontrol negatif (diinfeksi dan tidak diberi infusa

A. annua L.), 3) AR1 (infusa A. annua L. dengan pengenceran 1 × 10-2), 4) AR2

(infusa A. annua L. dengan pengenceran 1 × 10-4), dan 5) AR3 (infusa

A. annua L. dengan pengenceran 1 × 10-6). Hasil menunjukkan bahwa pemberian infusa A. annua L. mempengaruhi rata-rata persentase neutrofil, monosit dan limfosit. Pada mencit jantan, rata-rata persentase neutrofil tertinggi adalah pada AR3 hari ke-8 setelah infeksi (45.33%), rata-rata persentase monosit tertinggi adalah pada AR1 hari ke-11 setelah infeksi (18%), dan rata-rata persentase limfosit tertinggi adalah AR1 hari ke-6 setelah infeksi (67.67%). Pada mencit betina, rata-rata persentase neutrofil tertinggi adalah AR1 hari ke-10 setelah infeksi (37.67%), rata-rata persentase monosit tertinggi adalah AR1 hari ke-2 setelah infeksi (13%), dan rata-rata limfosit tertinggi adalah AR2 hari ke-9 setelah infeksi (76.50%).

(4)

ABSTRACT

SEPTI RUBIYANI. Leucocyte Profile of Mice (Mus musculus) was Infected by

Plasmodium berghei and Given Artemisia annua Linn. Infusion. Under direction

of UMI CAHYANINGSIH.

This research was conducted to determine the effect of

Artemisia annua Linn. infusion to the percentage of differential leucocyte mice that was infected by Plasmodium berghei. This research used totally 30 mice such as male and female mice (Mus musculus), the mice then completely randomized devided into 5 groups and was design using three replication. The five groups

were 1) normal control group, 2) negative control group, 3) AR1 group (A. annua L. infusion with dilutions of 1 × 10-2), 4) AR2 group (A. annua L.

infusion with dilutions of 1 × 10-4), and 5) AR3 group (infusa A. annua L. with dilutions of 1 × 10-6). In male mice, highest percentage of neutrophil was AR3 on 8th day after infection (45.33%), highest percentage of monocyte was AR1 on 11th day after infection (18%), and highest percentage of lymphocyte was AR1 on 6th day after infection (67.67%). In female mice highest percentage of neutrophil was AR1 on 10th day after infection (37.67%), highest percentage of monocyte was AR1 on 2nd day after infection (13%), and highest percentage of lymphocyte was AR2 on 9th day after infection (76.50%).

(5)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

GAMBARAN LEUKOSIT MENCIT

(Mus musculus)

YANG DIINFEKSI

Plasmodium berghei

DAN DIBERI

INFUSA

Artemisia annua

Linn.

SEPTI RUBIYANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Skripsi : Gambaran Leukosit Mencit (Mus musculus) yang Diinfeksi

Plasmodium berghei dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn. Nama : Septi Rubiyani

NIM : B04061735

Disetujui,

Tanggal Lulus :

Dr. drh. Hj. Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir (skripsi) yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut pertanian Bogor. Penelitian pada skripsi ini telah dilaksanakan dari Bulan Februari sampai Juli 2010. Skripsi ini berjudul

“Persentase Diferensial Leukosit Mencit (Mus musculus) yang Diinfeksi

Plasmodium berghei dan Diberi Infusa Artemisia annua Linn.”

Atas selesainya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu (baik secara langsng maupun tidak langsung) selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini:

1. Dr. drh. Umi Cahyaningsih, MS sebagai pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya yang berharga untuk mengarahkan, memberikan motivasi, membagi ilmu dan senantiasa sabar dalam membimbing penulis. 2. Drh. Titiek Sunartatie, MSi selaku dosen pembimbing akademik (PA) yang

selalu member semangat dan nasehat kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

3. Drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD, APVet dan drh Usamah Affif, MSi sebagai dosen penilai dan dosen moderator dalam seminar penulis atas saran dan koreksi dalam penulisan skripsi ini.

4. Dr. drh. Sus Derthi, MSi dan drh. Adi Winarto, PhD, APVet sebagai dosen penguji dalam ujian akhir sarjana atas koreksi dan masukan, demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Ayah dan Ibu tersayang, Sukur dan Sri Widadi, yang selalu mendoakan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Adikku tersayang, Toto Rubiyanto atas dukungan dan doanya.

7. Keluarga besarku tercinta yang selalu member dukungan, doa dan semangat 8. Kak Mieke, Reky dan Wenny yang memberikan semangat dan masukan

tentang penelitian ini.

9. Apriani Sosilawati dan Nanda Amelia Andarina sebagai teman sepenelitian atas kerjasama dan semangat yang diberikan selama penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

10. Aston Grimaldi yang senantiasa memberikan dukungan dan semangatnya. 11. Al-Qudsers tercinta (Arum, Ria, Wike) sebagai teman sepermainan yang

selalu menemani penulis setiap hari. Terima kasih atas bantuan dan saran kalian selama ini.

12. Sahabat dan teman dekatku tercinta (Made Fera, Yuvita, Gita Rima, Melati, Tri Yulianti, Izzah, dan Miranti) atas dukungan dan doanya.

13. Pegawai Laboratorium Protozoologi dan Helminthologi FKH IPB atas bantuannya.

14. Angkatan 43 (Aesculapius) sebagai teman seperjuangan di FKH IPB. 15. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu

(9)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2011

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dengan nama lengkap Septi Rubiyani dilahirkan di Pontianak pada tanggal 14 September 1988 dari ayah Sukur dan ibu Sri Widadi. Penulis di lahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dan sekarang menjadi anak tertua dari dua bersaudara.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Malaria ... 4

Kejadian Malaria ... 4

Agen, Vektor dan Induk Semang Malaria ... 4

Patogenesa Malaria pada Manusia ... 7

Mencit (Mus musculus) ... 9

Sel Darah Putih (Leukosit) ... 10

Granulosit ... 11

Neutrofil ... 11

Eosinofil ... 12

Basofil... 13

Agranulosit ... 14

Limfosit ... 14

Monosit ... 15

Artemisia annua Linn ... 16

Morfologi ... 17

Kandungan Artemisia annua Linn ... 17

Artemisinin ... 18

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 20

Bahan dan Alat ... 20

Cara Kerja ... 20

Preparasi Hewan Coba... 20

Desain Penelitian ... 20

Penyimpanan dan Pembuatan Stok P. berghei ... 21

Dosis Parasit pada Stok P. berghei ... 21

Pembuatan Infusa A. annua L ... 22

Infeksi P. berghei. ... 22

Pembuatan Preparat Ulas Darah ... 23

Perhitungan Leukosit ... 23

(12)

xi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Neutrofil pada Mencit Jantan ... 24

Neutrofil pada Mencit Betina ... 24

Monosit pada Mencit Jantan ... 26

Monosit pada Mencit Betina ... 27

Limfosit pada Mencit Jantan ... 29

Limfosit pada Mencit Betina ... 30

Eosinofil pada Mencit Jantan ... 32

Eosinofil pada Mencit Betina ... 33

Basofil pada Mencit Jantan ... 35

Basofil pada Mencit Betina ... 36

Pembahasan ... 38

BAB V SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 43

Saran ... 43

(13)

Latar Belakang

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit protozoa genus Plasmodium pada sel darah merah. Penyakit ini masuk ke dalam tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang telah terinfeksi parasit (WHO 2006). Plasmodium berghei merupakan salah satu jenis

Plasmodium pada rodensia. Zuckerman (1970) menyatakan bahwa Plasmodium

pada rodensia (khususnya P. berghei dan P. vinckei) adalah model yang banyak digunakan untuk penelitian mengenai immunologi pada malaria yang menyerang mamalia.

Kardinan (2006) menyatakan bahwa Indonesia termasuk daerah endemis penyakit malaria dan sampai saat ini, penyakit malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan angka kejadian penyakit yang cukup tinggi, terutama di daerah Indonesia Timur. Jumlah kasus yang terjadi pada tahun 1967 sebanyak 16.000 kasus malaria per juta penduduk menjadi 31.000 kasus malaria per juta penduduk pada tahun 2001. Penekanan kejadian penyakit malaria dilakukan melalui pemberantasan vektor dan pengobatan, baik terhadap orang yang diduga malaria ataupun penderita malaria yang terbukti positif secara laboratorium.

Tan dan Kirana (2007) menyatakan bahwa obat tertua untuk menangani malaria adalah kuinin. Kuinin pertama kali diekstrak dari kulit pohon kina pada tahun 1820. Pada tahun-tahun selanjutnya, ditemukan beberapa antimalaria selain kuinin, yaitu: mekaprin (1832); klorokuin (1944); proguanil (1946); primakuin (1948); derivate klorokuin berupa amodiakuin (1950), pirimetamin (1952), meflokuin (1981), halofantrin (1985); artemeter (1991), dan pironaridin.

(14)

2

telah banyak ditemukan antimalaria, namun sampai saat ini penyakit malaria masih menjadi masalah di masyarakat. Acang (2002) menyatakan bahwa beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya resistensi Plasmodium spp. terhadap beberapa obat, diantaranya adalah terhadap kuinin yang berasal dari tanaman kina dan telah digunakan lebih dari 20 tahun di Indonesia. Acang (2002) juga menyatakan bahwa resistensi Plasmodium spp. terhadap klorokuin juga telah dilaporkan sejak tahun 1996.

Selain kuinin dan klorokuin, WHO (2006) menyatakan bahwa adanya resistensi P. Falciparum resisten terhadap amodiakuin, meflokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Selain itu, P. vivax juga mengalami resistensi terhadap sulfadoksin-pirimetamin, dan klorokuin. Resistensi Plasmodium spp. terhadap beberapa obat yang umum digunakan mendorong para peneliti untuk mencari alternatif obat dari tanaman untuk menangani malaria. Jenis-jenis tanaman yang

sering digunakan untuk mengatasi masalah malaria antara lain:

Artemisia annua Linn. (Khomsan 2006), tanaman bandotan

(Ageratum conyzoides L.), daun dari bunga matahari (Helianthus annus L.), sirih tanah (Piper sarmentosu) (Permadi 2008), tanaman tapak dara

(Catharanthus roseus) (Hidayat 2008), kulit batang dari nimba

(Azadirachta indica) (Rukmana et al 2002).

A. annua L. merupakan tanaman subtropis yang berasal dari daerah Cina dan banyak tersebar di Vietnam dan Indonesia. Hasil penelitian tahun 1972 di Cina menemukan bahwa A. annua L. mengandung bahan aktif utama, yaitu artemisinin yang sangat efektif terhadap P. falciparum (Khomsan 2006). WHO (2006) menyatakan bahwa A. annua L. merupakan salah satu alternatif obat malaria yang telah digunakan diberbagai negara di dunia, terutama di Afrika dan Asia. WHO (2006) juga menyatakan bahwa artemisinin tidak dianjurkan untuk digunakan secara tunggal. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya resistensi

(15)

3 pada manusia, dan belum adanya resistensi Plasmodium spp. terhadap artemisinin walaupun telah lama digunakan di Negara Cina (Anonim 2003).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian infusa A. annua L. terhadap gambaran leukosit mencit yang diinfeksi dengan P. berghei.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang pengaruh pada mencit yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Malaria

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit protozoa

Plasmodium spp. pada sel darah merah. Penyakit ini masuk ke dalam tubuh induk semang melalui gigitan nyamuk Anopheles spp. betina yang telah terinfeksi parasit (WHO 2006).

Kejadian Malaria

Penyebaran kejadian malaria di dunia sangat luas, yakni antara 61ºLU (Rusia) dan 32ºLS (Argentina) yang meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis dan subtropis. Ketinggian yang dimungkinkan terjadinya penyakit ini adalah 100 m di bawah permukaan laut (Laut Mati dan Kenya) dan 2000 m di atas permukaan laut (Bolivia) (Depkes RI 1990). WHO (2006) menyatakan bahwa tingkat penularan malaria dapat berbeda-beda, tergantung faktor setempat, seperti: pola curah air hujan, jarak antara lokasi perkembangbiakan nyamuk dengan manusia, dan jenis nyamuk di wilayah tersebut.

Setiap tahun, kasus malaria di dunia berjumlah 300-500 juta dan mengakibatkan 1.5-2.7 juta kematian, terutama di Afrika subSahara. Wilayah dunia yang kini telah bebas malaria adalah Eropa, Amerika Utara, sebagian besar Timur Tengah, sebagian besar Karibia, sebagian besar Amerika Selatan, Australia dan Cina (Harijanto 2000). Di Indonesia, daerah yang memiliki kasus malaria klinis tinggi dilaporkan terdapat pada Kawasan Timur Indonesia, antara lain: Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah (Suprapto 2010).

Agen, Vektor dan Induk Semang Malaria

(17)

P. ovale (penyebab malaria ovale) (Anies 2006; Natadisastra & Ridad 2009).

P. falciparum dan P. vivax merupakan jenis yang paling sering dijumpai, namun yang paling mematikan adalah jenis P. falciparum (WHO 2006). Tampubolon (2004) mengemukakan bahwa penyebab malaria pada unggas adalah

P. gallinaceum, P. juxtanucleare, P. durae, P. relictum, P. circumflexum, dan

P. fallax.

Pada rodensia, terdapat empat spesies Plasmodium spp. yang dapat menyebabkan malaria, yaitu: P. vinckei, P. chabaudi, P. yoelli, dan P. berghei. P. berghei merupakan species Plasmodium sp. yang umum dan baik digunakan sebagai model untuk studi eksperimental malaria pada manusia. P. berghei telah terbukti mirip dengan penyebab malaria pada manusia dalam fisiologi dan siklus hidupnya (Janse 2010).

Menurut Levine (1990), klasifikasi P. berghei adalah sebagai berikut: kingdom : Animalia

filum : Protozoa subfilum : Apicomplexa kelas : Sporozoasida subkelas : Coccidiasina ordo : Eucoccidiorida subordo : Haemospororina famili : Plasmodiidae genus : Plasmodium

species : Plasmodium berghei

Pada preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa, salah satu tahap hidup

P. berghei di dalam sel darah merah dapat terlihat seperti gambar berikut:

Gambar 1 P. berghei.

(18)

6

6

P. berghei memiliki dua tahapan dalam setiap siklus hidupnya, yaitu: fase seksual (sporogoni) dan fase aseksual (skizogoni) (Choidini 2001).

Fase Seksual (Sporogoni)

Fase seksual terjadi di dalam tubuh nyamuk Anopheles dureni betina.

Nyamuk ini merupakan vektor biologis dari P. berghei. Natadisastra dan Ridad (2009) menyatakan bahwa pada saat nyamuk menghisap darah penderita malaria, semua stadium yang ada di dalam darah akan terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Tetapi, hanya stadium gametosit (makrogametosit dan mikrogametosit) yang dapat bertahan dan melanjutkan siklusnya.

Fase seksual dimulai dari masuknya gametosit (mikrogametosit dan makrogametosit) ke dalam tubuh vektor saat vektor menghisap darah induk semang terinfeksi P. berghei. Di dalam lambung vektor, makrogametosit mengalami maturasi menjadi makrogamet (betina) sedangkan mikrogametosit mengalami exflagelasi menjadi mikrogamet (jantan). Makrogamet dan mikrogamet mengalami fertilisasi dan terbentuk zigot (Choidini 2001). Zigot tersebut aktif dan bergerak masuk ke dalam dinding usus tengah nyamuk. Parasit pada stadium ini dinamakan ookinet. Di bawah epitel usus, ookinet membulat membentuk kista dan disebut dengan ookista (Noble & Glenn 1989). Ookista berkembang di dalam dinding usus tengah dan menghasilkan sporozoit (fase infektif) yang akan dilepas dengan pecahnya ookista. Sporozoit bersifat motil dan akan bergerak ke seluruh tubuh vektor, khususnya kelenjar saliva. Sporozoit ini akan menginfeksi induk semang saat vektor menghisap darah induk semang (Choidini 2001).

Fase Aseksual (Skizogoni)

(19)

7 menginfeksi eritrosit yang lain. Sedangkan sebagian tropozoit lainnya akan mengalami gametositik membentuk makrogametosit dan mikrogametosit. Saat nyamuk A. dureni menghisap darah induk semang, gametosit ini akan masuk ke dalam tubuh nyamuk dan mengalami fase seksual (Choidini 2001). Siklus hidup P. berghei secara umum mirip dengan siklus hidup Plasmodium spp. pada manusia. Fase seksual dan fase aseksual dari P. berghei dapat digambarkan dengan skema berikut ini.

Gambar 2 Siklus hidup P. bergei.

[sumber: CDC 2010]

Patogenesa Malaria pada Manusia

Natadisastra dan Ridad (2009) mengemukakan bahwa malaria diawali gejala prodromal yang tidak spesifik, diantaranya: lesu, sakit kepala, anoreksi, nousea, dan vomitus, bahkan terjadi demam yang tidak teratur. Kemudian diikuti gejala demam yang khas, splenomegali dan anemi yang dikenal sebagai trias malaria.

Demam Malaria

Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya skizon), pengaruh glycosyl phosphatidylinositol (GPI) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya (Harijanto et al. 2000). Harijanto et al.

(20)

8

8 dari malaria. Demam timbul secara periodik, bersamaan dengan sporulasi. Pembagian demam menurut puncak demam, antara lain adalah: demam remitten (berulangnya demam tanpa ditemukan periode suhu normal), demam intermitten (jika diantara serangan demam tersebut terdapat periode suhu normal), dan demam kuotidiana (jika demam terjadi setiap hari) (Natadisastra & Ridad 2009).

Serangan demam malaria umumnya terjadi selama 2-12 jam. Demam khas terdiri dari 3 stadium, yaitu: stadium rigoris (menggigil), stadium akme (puncak demam), dan stadium sudoris. Pada stadium rigoris, penderita menggigil seperti kedinginan walaupun suhu terus-menerus naik. Stadium ini berlangsung selama 15-60 menit. Pada Stadium akme, suhu tetap tinggi (mencapai 41ºC) dan berlangsung selama 2-6 jam. Suhu mulai turun sampai mencapai suhu normal pada stadium sudoris, penderita banyak berkeringat, dan berlangsung selama 2-4 jam. Kemudian dilanjutkan dengan stadium tanpa demam (stadium apyrexia), ditandai dengan normalnya suhu tubuh. Namun, dua tiga hari kemudian terulang kembali serangan demam dengan stadium-stadium yang sama (Natadisastra & Ridad 2009). Timbulnya demam pada malaria dihubungkan dengan sporulasi (pecahnya eritrosit dan keluarnya merozoit ke dalam cairan darah) sehingga parasit beserta partikel lainnya yang merupakan antigen akan masuk cairan darah. Selanjutnya akan terjadi reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan demam (Natadisastra & Ridad 2009).

Splenomegali dan Hepatomegali

Natadisastra dan Ridad (2009) menyatakan bahwa terjadinya kongesti aliran darah serta hipertropi dan hiperplasi sistem retikuloendotelial (RES) menyebabkan pembesaran limpa (splenomegali), terkadang disertai pembesaran hati (hepatomegali). Sel makrofag dalam darah bertambah, dan terjadi monositosis.

Anemi

(21)

9

Mencit (Mus musculus)

Mencit (Mus musculus) adalah hewan pengerat yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik yang cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologis yang terkarakterisasi dengan baik. Mencit dapat mencapai umur 2-3 tahun, tetapi terdapat perbedaan besar dalam usia maksimum dari berbagai galur mencit. Terutama karena perbedaan dalam kepekaan terhadap penyakit. Organ limpa pada mencit jantan 50% lebih besar dibandingkan yang betina (Malole & Pramono 1989).

Gambar di bawah ini merupakan contoh mencit (Mus musculus) yang umum digunakan sebagai hewan coba di laboraturium.

Gambar 3 Mencit (Mus musculus).

[sumber: Jaxmice 2010]

Klasifikasi mencit menurut ADW (2010) adalah sebagai berikut: kingdom : Animalia

filum : Chordata subfilum : Vertebrata

kelas : Mamalia

ordo : Rodentia

suborder : Miorpha famili : Muridae subfamili : Murinae

genus : Mus

species : Mus musculus

(22)

10

10 per 100 gr berat badan per hari. Tingkat konsumsi makanan dan air minum bervariasi menurut temperatur kandang, kelembaban, kualitas makanan, kesehatan dan kadar air dalam makanan (Malole & Pramono 1989).

Sel Darah Putih (Leukosit)

Leukosit adalah sel darah tidak berwarna, berinti, dan memiliki berfungsi utama melindungi tubuh dari serangan organisme asing. Leukosit melindungi tubuh dengan dua cara, yaitu: mekanisme fagositosis dan sistem humoral (Besa 1992). Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid. Melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos diantara sel-sel endotel dan menembus ke dalam jaringan (Effendi 2003). Selain melindungi tubuh, sel darah putih juga berfungsi sebagai pengangkut zat lemak dari dinding usus melalui limpa, lalu ke pembuluh darah (Handayani & Andi 2008).

Leukosit secara umum terbagi menjadi polimorfonuklear granular dan mononuklear agranular. Jenis sel darah putih terbanyak dalam sirkulasi darah adalah granulosit. Sel granulosit muda memiliki inti berbentuk seperti sepatu kuda, yang akan berubah menjadi multilobuler dengan meningkatnya umur sel (Ganong 2002). Ganong (2002) juga menyatakan bahwa sebagian besar sel granulosit mangandung granula netrofilik (neutrofil), sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat warna asam (eosinofil), dan sebagian lagi mangandung granula basofilik (basofil). Sedangkan sel agranulosit terdiri dari limfosit yang memiliki inti bulat besar, dan monosit yang mengandung banyak sitoplasma tidak bergranula dan mempunyai inti berbentuk seperti ginjal.

(23)

11 Di bawah ini adalah nilai fisiologis leukosit mencit menurut Hawkey (1975) serta Malole dan Pramono (1989).

Tabel 1 Nilai fisiologis darah mencit

*

Leukosit: leukosit x 103/c.mm darah

Granulosit (Polimorfonuklear Leukosit)

Pada granulosit yang telah matang, terdapat tiga jenis sel, yaitu: neutrofil, eosinofil dan basofil. Ketiga jenis sel ini dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan jenis granul sitoplasma yang muncul pada tahap mielosit. Granul tersebut dapat berwarna biru sampai merah keunguan. Tiap sel yang matang tidak akan menunjukkan lebih dari satu jenis granul, walaupun pada tahap promielosit dan mielosit (tahap awal dari sel tersebut) mungkin terlihat lebih dari satu jenis granul pada satu sel (Brown 1980). Sel granulosit memiliki nukleus yang berlobulasi dan tidak beraturan. Tiap segmen dari lobus nukleus sering dihubungkan hanya dengan filamen tipis.

Neutrofil

Berikut ini adalah gambar neutrofil pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa.

Gambar 4 Neutrofil [sumber: UC 2009]

Jenis Sel Darah Rata-rata Kisaran Normal

Leukosit* 7.8 5.12-5.66 Neutrofil (%) 23 6-40 Limfosit (%) 63 36-90 Monosit (%) 7 0.7-14 Eosinofil (%) 8 0-15

(24)

12

12 Neutrofil adalah tipe leukosit yang penting dalam tubuh pada proses inflamasi, terutama yang disebabkan oleh mikroba. Pemusnahan mikroba oleh neutrofil dilakukan dengan cara endositosis (fagositosis) dan eksositosis (Ganong 2002). Ganong (2007) juga menyatakan bahwa sumsum tulang akan diransang untuk menghasilkan dan melepaskan sejumlah besar neutrofil jika dicurigai adanya sel tubuh yang rusak. Sel-sel tubuh yang rusak atau dirusak oleh mikroba akan membebaskan sinyal kimiawi yang menarik neutrofil dari darah untuk datang (kemotaksis). Neutrofil akan memasuki jaringan yang terinfeksi, merusak, dan menelan mikroba.

Proses menelan mikroba (fagositosis) didahului oleh proses opsonisasi. Mikroba yang telah diselubungi oleh opsonin akan berikatan dengan reseptor pada membran sel neutrofil. Neutrofil akan membentuk suatu penonjolan (pseudopodia) yang mengelilingi mikroorganisme selama proses menelan. Pseudopodia tersebut akan melebur dan membentuk suatu vakuola fagositik yang mengandung mikroba (fagosom). Fagosom akan memisahkan diri dan memasuki sitoplasma. Selanjutnya, melalui mekanisme eksositosis, granula neutrofil dilepaskan ke dalam fagosom yang berisi bakteri. Granula tersebut mengandung beragam protease, serta protein anti mikroba yang disebut defensin. Pengaktifan neutrofil untuk melakukan fagositosis meningkatkan konsumsi oksigen. Metabolit oksigen yang dihasilkan bersifat sangat toksik bagi mikroba. Gabungan metabolit oksigen toksik dan enzim proteolitik dari dalam granula menjadikan sel neutrofil sebagai mesin pembunuh yang sangat efektif. Neutrofil cenderung merusak diri sendiri ketika mereka merusak mikroba (Ganong 2002; Campbell et al. 2004).

Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik (Effendi 2003).

Eosinofil

(25)

13

bersegmen (Dellmann & Jo 1998) serta sitoplasmanya mengandung granula yang

bersifat eosinofilik. Berikut ini adalah gambar eosinofil pada ulas darah dengan

pewarnaan Giemsa.

Gambar 5 Eosinofil [sumber: UC 2009]

Eosinofil dalam sistem pertahanan tubuh berperan pada reaksi alergi karena penyakit infeksius, dan parasit yang berukuran besar, seperti cacing. Eosinofil akan memposisikan dirinya melawan dinding eksternal parasit dan melepaskan enzim-enzim perusak dari granula sitoplasmik. Sel eosinofil memiliki aktifitas fagositik yang terbatas (Campbell et al. 2004).

Basofil

Basofil adalah jenis sel leukosit yang sangat jarang. Basofil memiliki nukleus yang kasar dan polimorfik. Sitoplasma dari sel ini memiliki banyak granula basofilik yang kasar. Sitoplasma besar dengan inti sel yang tidak begitu jelas terlihat dan berwarna biru tua sampai ungu (Dellman & Brown 1992), serta

granulanya bersifat basofilik dan akan terwarnai dengan pewarnaan alkohol.

(26)

14

14 Gambar 6 Basofil

[sumber: UC 2009]

Agranulosit (Leukosit Mononuklear)

Limfosit

Diameter limfosit rata-rata 10 µm. Limfosit memiliki nukleus berukuran besar dan kaya akan kromatin. Nukleus umumnya berbentuk bulat, tapi juga dapat berbentuk seperti kacang (pada limfosit dewasa). Nukleus dikelilingi oleh lapisan tipis sitoplasma yang bersifat basofilik. Trautmann (1957) menyatakan bahwa jumlah limfosit lebih banyak daripada neutrofil pada rodensia laboratorium, ruminansia, dan unggas. Namun, jumlah neutrofil lebih banyak pada manusia, kuda, babi, anjing, dan kucing.

Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan. Beberapa limfosit dibentuk di sumsum tulang, tetapi bagian terbesar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang. Selain beredar dalam darah, limfosit terdapat dalam jaringan limfoid (tonsil, nodus limfe, limpa, thymus, sumsum tulang, appendix, dan Peyer’s patche usus halus). Pada umumnya, limfosit memasuki sistem peredaran darah melalui pembuluh limfe. Setiap saat, hanya sekitar 2% dari seluruh limfosit dalam tubuh terdapat di darah perifer. Sebagian besar sisanya terdapat di organ limfoid (Ganong 2002).

(27)

15 yang berperan dalam pembentukan antibodi jika berhadapan dengan antigen tubuh (Campbell et al 2004). Berikut ini adalah gambar limfosit pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa.

Gambar 7 Limfosit [sumber: UC 2009]

Monosit

Monosit memiliki diameter rata-rata 16 µm pada ulas darah. Monosit memiliki sitoplasma yang berlimpah (besar), dan berwarna sedikit basofilik. Warna nukleus tidak segelap nukleus pada limfosit, dan kromatin terlihat lebih samar dan berbentuk seperti tapal kuda ataupun ginjal (Campbell et al 2004). Berikut ini adalah gambar monosit pada ulas darah dengan pewarnaan Giemsa.

Gambar 8 Monosit [sumber: UC 2009]

(28)

16

16 kemudian bermigrasi ke dalam jaringan dan berkembang menjadi makrofag jaringan (Campbell et al. 2004). Sel makrofag akan diaktifkan oleh limfokin dari limfosit T. Makrofag yang aktif akan bermigrasi sebagai respon terhadap randang kemotaksik, selanjutnya menelan dan membunuh bakteri melalui proses yang umumnya serupa dengan neutrofil (Ganong 2002).

Ganong (2002) menyatakan bahwa proses perlekatan, penelanan, dan pencernaan mikroba dalam makrofag secara umum serupa dengan neutrofil, meskipun terdapat beberapa perbedaan penting. Makrofag mempunyai kemampuan untuk merubah bentuk permukaannya. Makrofag tidak menghasilkan metabolit oksigen yang sangat toksik dan senyawa protease yang terdapat pada makrofag berbeda dengan yang ada pada neutrofil.

Artemisia annua Linn.

A. annua L. atau Qing Hao (Cina) atau sweet wormwood (Inggris) atau anuma (Indonesia) adalah tanaman herbal yang berasal dari Cina. A. annua L. termasuk ke dalam famili Asteraceae. USDA (2010) menyatakan bahwa klasifikasi A. annua L. adalah sebagai berikut:

kingdom : Plantae

subkingdom : Tracheobionta superdivisi : Spermatophyta divisi : Magnoliophyta

kelas : Magnoliopsida

subkelas : Asteridae

ordo : Asterales

famili : Asteraceae

genus : Artemisia

species : Artemisia annua L.

(29)

17

Morfologi

A. annua L. memiliki ciri-ciribatang tegak, berwarna hijau kecoklatan, dan akar berjenis serabut dengan warna putih kekuning-kuninngan. Tanaman dengan ini dapat mencapai tinggi 30-100 cm. Daun A. annua L. berbentuk oval, lonjong, runcing pada bagian ujungnya, dan pangkal yang tumpul. Panjang daun sekitar 10-18 cm dan lebar 5-15 cm (Anonim 2009).

A. annua L. yang sekarang dikembangkan sebagai alternatif obat malaria dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 9 A. annua L. [sumber: CHOL 2010]

A. annua L. dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran tinggi (1000-1500 m di atas permukaan laut), iklim dengan curah hujan minimal 700-1000 mm/tahun, dan intensitas cahaya rendah. Walaupun tanaman ini berasal dari daerah subtropis (Cina), tanaman ini juga dapat tumbuh di daerah tropis melalui pemuliaan (seleksi adaptasi dan hibridisasi) (Gusmaini & Hera 2007). Negara Asia selain Cina yang telah mengembangkan Artemisia spp. di lahan-lahan dataran tinggi pada areal yang luas dan mampu memproduksi obat malaria secara mandiri adalah Vietnam dan Jepang (Kardinan 2006).

Kandungan A. annua L.

(30)

18

18 dan 1/3 daun bagian bawah (22.2%). Tetapi, pendapat lain menyatakan bahwa kandungan artemisinin cukup tinggi pada bagian bunga, bahkan dapat disetarakan dengan kandungan artemisinin pada daun (Khomsan 2006). Laughlin (1995) mengemukakan bahwa kandungan maksimal artemisinin dari A. annua L. terjadi pada saat bunga mekar ataupun sesaat sebelum bunga mekar, hal ini tergantung dari tempat tumbuh tanaman tersebut. Di daerah tropis, dimana waktu siang lebih pendek daripada di daerah subtropis, tanaman ini dapat berbunga pada umur yang lebih muda.

Selain terkenal dengan kandungan artemisininnya, A. annua L. sering dimanfaatkan minyak atsirinya. Minyak atsiri tersebut mengandung sedikitnya 40 komponen yang bersifat volatil (mudah menguap) dengan salah satu komponen utamanya adalah thujone (70%). Thujone bersifat antioksidan, anti bakteri, dan anti jamur (Kardinan 2008). Kardinan (2008) juga menyatakan bahwa di Eropa, minyak atsiri tanaman ini digunakan sebagai bahan aromatika (untuk indusri parfum), bahan campuran pada minuman bir atau minuman lainnya, atau dengan pemanfaatan aroma daunnya sebagai pewangi minuman. Minyak atsirinya juga dapat digunakan sebagai tonik (Kardinan 2008).

Artemisinin

Artemisinin umumnya dikenal sebagai antimalaria. Namun, artemisinin telah digunakan selama lebih dari 30 tahun di Vietnam dan Cina untuk menanggulangi kanker. Beberapa pasien yang menderita berbagai jenis kanker, dari mulai kanker kulit, payudara tumor pada paru-paru berhasil disembuhkan (Kardinan 2008).

Harijanto (2006) menyatakan bahwa terdapat tiga derivat artemisinin sebagai antimalaria yang dibuat secara semisintetik, yaitu:

a. Artesunat. Sediaan ini diberikan secara IV, IM, peroral atau sebagai suppositoria. Artesunat dalam bentuk bubuk yang disertai dengan pelarutnya. b. Artemeter. Sediaan ini larut dalam minyak dan diberikan secara IM atau

peroral.

(31)

19 khususnya pada anak-anak atau kasus muntah-muntah. Artemisinin dan dihidroartemisinin dapat diberikan secara peroral.

(32)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai Juli 2010 di Laboratorium Protozoologi dan Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah hewan coba berupa mencit putih, P. berghei, infusa A. annua L., pakan mencit (pelet ikan), kertas saring, heparin, NaCl fisiologis, gliserol, metanol, pewarna Giemsa, phosphate buffer saline (PBS), xylol, minyak emersi, dan tissue.

Alat yang digunakan adalah mikrohematokrit (tabung kapiler), syringe 1 ml,

syringe 10 ml, gelas objek, microtube, cawan penguap, gelas ukur, mortar, sonde lambung, kandang mencit, timbangan listrik, mikroskop cahaya, dan lemari pendingin.

Cara kerja

a. Preparasi hewan coba

Penelitian ini menggunakan 30 ekor mencit putih (Mus musculus albinus)

yang terdiri dari 15 ekor mencit jantan dan 15 ekor mencit betina. Mencit memiliki berat kurang lebih 25 gram. Mencit tersebut dipelihara di dalam 10 kandang yang cukup untuk 3-5 mencit. Kandang terbuat dari plastik yang ditutup dengan ram kawat dan lantainya dialasi dengan sekam padi. Pakan dan air minum mencit diberikan secara ad libitum. Pakan yang digunakan untuk hewan coba ini yaitu berupa pelet ikan yang sudah diatur komposisinya sehingga memenuhi nilai nutrisi.

b. Desain Penelitian

(33)

A. annua L.), 3) AR1 (diinfeksi dan diberi infusa A. annua L. dengan pengenceran 1 10-2), 4) AR2 (diinfeksi dan diberi infusa A. annua L. dengan pengenceran 1 10-4), dan 5) AR3 (diinfeksi dan diberi infusa A. annua L. dengan pengenceran 1 10-6). Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap kelompok perlakuan. Mencit diinfeksi dengan P. berghei secara intraperitoneal dengan menyuntikkan 0.25 106/µl darah mengandung parasit.

Setiap kelompok perlakuan, kecuali kontrol normal dan negatif, diberikan

infusa A. annua L. secara peroral menggunakan sonde lambung. Infusa

A. annua L. diberikan sebanyak satu kali sehari selama 4 hari berturut-turut. Pemberian infusa A. annua L. dimulai pada hari pertama setelah infeksi. Darah mencit diambil dan dibuat preparat ulas darah setiap hari sampai hari ke-11 setelah infeksi. Pengamatan gambaran leukosit mencit dilakukan pada preparat hari ke-0, 2, 4, 6, 8, 9, 10, dan 11 setelah infeksi.

c. Penyimpanan dan Pembuatan Stok P. berghei

Stok P. berghei diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. P. berghei tersebut telah diinfeksi selama lima hari pada mencit albino. Darah mencit yang tersinfeksi diambil menggunakan mikrohematokrit atau tabung kapiler yang sudah berisi antikoagulan melalui intraorbital mata. Darah yang terdapat pada tabung kapiler kemudian dialirkan ke microtube yang sudah diberikan heparin. Darah yang terdapat di dalam microtube ditambah dengan gliserol agar darah tidak lisis dan rusak ketika disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -70 ºC (Jekti et al. 1996). Sediaan ini digunakan untuk menginfeksi mencit-mencit disetiap perlakuan.

d.Dosis Parasit pada Stok P. berghei

P. berghei diinfeksikan pada mencit dengan dosis 0.25 106/µl darah mengandung parasit. Dosis parasit per µl darah diketahui dengan menghitung jumlah sel darah merah dan menghitung persentase parasit.

(34)

22

22 kotak hitung. Jumlah sel darah merah dibagi dengan volume bilik hitung (0.02) dan dikali dengan faktor pengenceran (200) untuk mendapatkan jumlah sel darah merah per µl. Persentase parasit diketahui dari ulasan darah yang sudah diwarnai dengan Giemsa. Pada preparat ulas, jumlah parasit per jumlah sel darah merah dihitung untuk mengetahui persentase parasit. Jumlah parasit per µl darah diketahui dengan mengalikan persentase parasit dan jumlah sel darah merah.

e. Pembuatan Infusa A. annua L.

A. annua L. yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian. Infusa diperoleh dengan merebus batang dan daun

A. annua L. yang telah dikeringkan sebelumnya pada suhu 90°C selama 10-15 menit (Wintarsih et al 2009). Perbandingan A. annua L. dan larutan yang akan direbus adalah 25:100. Hasil rebusan disaring untuk memisahkan ampas dan filtrat. Filtrat akan digunakan sebagai infusa. Kadar infusa diketahui dengan menguapkan 1 ml infusa di dalam rotarievaporator. Berat filtrat setelah diuapkan ditimbang dan didapat kadar infusa tersebut adalah 0.96 g/ml.

Penelitian ini menggunakan tiga pengenceran yaitu 1 10-2, 1 10-4, dan 1 10-6. Pengenceran 1 10-2 didapat dengan menambahkan 1 ml fitrat ke dalam 99 ml aquades, kemudian dilakukan pengocokan manual sebanyak 170 kali pengocokan per menit. Pengenceran 1 10-4 didapat dengan menambahkan 1 ml infusa dengan pengenceran 1 10-2 ke dalam 99 ml aquades. Pengenceran 1 10-6 didapat dengan menambahkan 1 ml infusa dengan pengenceran 1 10-4 ke dalam 99 ml aquades. Kadar infusa yang diberikan untuk tiap

pengenceran adalah 4.8 mg/0.5 ml (infusa dengan pengenceran 1 10-2), 0.048 mg/0.5 ml (infusa dengan pengenceran 1 10-2), dan 0.00048 mg/0.5 ml (infusa dengan pengenceran 1 10-2).

f. Infeksi P. berghei

(35)

23 Dosis P. berghei yang diinfeksikan pada mencit adalah 0.25 106/µl darah mengandung parasit.

g. Pembuatan Preparat Ulas Darah

Pembuatan preparat ulas darah dilakukan dengan cara mengambil darah dari ekor mencit dan kemudian diteteskan pada objek gelas. Darah diulas pada objek gelas, kemudian dilakukan fiksasi dengan metanol selama 3-5 menit. Pewarnaan Giemsa dilakukan selama 30 menit pada ulas darah yang telah difiksasi dengan metanol. Perbandingan pewarna Giemsa yang digunakan adalah 1 bagian Giemsa dan 1 bagian phosphate buffer saline (PBS). Preparat yang telah diwarnai dicuci menggunakan air mengalir dan dikering udarakan.

h. Perhitungan Leukosit

Perhitungan leukosit dari preparat ulas darah dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 1000x. Preparat ulas tersebut ditetesi dengan minyak emersi untuk memperjelas pengamatan. Jumlah leukosit yang dihitung adalah sebanyak 100 leukosit untuk setiap preparat. Keseratus leukosit tersebut dikelompokkan berdasarkan perbedaan ukuran, warna, jumlah dan granulasi sitoplasma, bentuk kromatin dan inti ke dalam lima kelompok yaitu: neutrofil, monosit, limfosit, eosinofil dan basofil.

Nilai relatif setiap jenis leukosit dinyatakan dalam satuan persen. Nilai relatif tersebut didapat dengan membagi jumlah sel leukosit dalam satu jenis leukosit dengan 100, kemudian dikali dengan 100% (Sastradipradja 1989).

i. Analisis Data

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Neutrofil pada Mencit Jantan

Berdasarkan Tabel 2, rata-rata persentase neutrofil ketiga perlakuan infusa

[image:36.595.108.512.351.567.2]

A. annua L. dari hari ke-2 sampai hari ke-8 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase neutrofil ketiga perlakuan cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan KN. Pada hari ke-10 setelah infeksi, rata-rata persentase neutrofil kelompok AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase neutrofil dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit jantan disajikan pada Tabel 2, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 10 di bawah ini.

Gambar 10 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit jantan yang diinfeksi

P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2 (9.6 mg/ml), 1×10-4 (0.096 mg/ml), 1×10-6 (0.00096 mg/ml).

Neutrofil pada Mencit Betina

Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase neutrofil dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit betina disajikan pada Tabel 3. Diagram batang dari Tabel 3 disajikan pada Gambar 11.

0 10 20 30 40 50

0 2 4 6 8 9 10 11

Persen

tase

Hari Pengamatan

KNO

KN

AR1

AR2

(37)

Tabel 2 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 30.33 ± 10.41 abcd 39.00 ± 0.00 bcd 39.67 ± 8.92 bcd 37.33 ± 3.79 abcd 38.67 ± 12.50 bcd 39.00 ± 14.00 bcd 33.33 ± 19.01 abcd 28.00 ± 5.00 abc

KN 30.00 ± 8.54 abcd 28.67 ± 1.53 abcd 32.67 ± 5.03 abcd 21.00 ± 2.65 a 31.00 ± 8.72 abcd 39.33 ± 16.20 bcd 35.33 ± 3.06 abcd 37.00 ± 10.82 abcd

AR1 34.00 ± 8.66 abcd 36.00 ± 0.00 abcd 36.33 ± 10.26 abcd 23.33 ± 2.52 ab 38.33 ± 13.05 abcd 36.33 ± 6.11 abcd 36.33 ± 14.22 abcd 35.00 ± 1.00 abcd

AR2 34.67 ± 6.66 abcd 34.67 ± 2.08 abcd 33.00 ± 3.61 abcd 33.00 ± 4.36 abcd 30.33 ± 1.53 abcd 32.67 ± 7.37 abcd 30.33 ± 9.61 abcd 41.67 ± 12.06 cd

AR3 32.50 ± 7.50 abcd 34.67 ± 3.21 abcd 45.33 ± 5.86 d 36.00 ± 4.36 abcd 43.00 ± 0.00 cd 33.67 ± 5.51 abcd 40.33 ± 2.89 cd 31.67 ± 9.29 abcd *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3:

Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2(9.6 mg/ml),1×10-4(0.096 mg/ml), 1×10-6(0.00096 mg/ml).

Tabel 3 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 26.33 ± 3.21 abcdefghi 29.67 ± 15.89 abcdefghij 31.00 ± 6.56 abcdefghij 33.00 ± 5.29 cdefghij 41.67 ± 4.51 j 30.67 ± 3.21 abcdefghij 27.33 ± 6.03 abcdefghij 41.66 ± 13.58 j

KN 25.67 ± 1.53 abcdefghi 38.67 ± 2.08 ghij 21.33 ± 9.07 abcd 39.00 ± 9.54 ghij 39.67 ± 3.21 hij 41.50 ± 1.50 j 40.00 ± 1.00 ij 42.00 ± 0.00 j

AR1 24.33 ± 4.93 abcdefg 34.33 ± 8.39 defghij 32.67 ± 3.51 bcdefghij 37.33 ±13.87 efghij 30.00 ± 2.00 abcdefghij 37.00 ± 2.00 efghij 37.67 ± 4.62 fghij 35.33 ± 8.50 defghij

AR2 37.00 ± 2.65 efghij 36.00 ± 16.52 defghij 18.00 ± 7.00 ab 23.50 ± 13.50 abcdef 36.00 ± 7.00 defghij 16.50 ± 2.50 a 32.50 ± 3.50 bcdefghij 26.00 ± 3.00 abcdefghi

AR3 24.67 ± 0.56 abcdefg 41.33 ± 8.08 j 22.67 ± 1.53 abcde 23.67 ± 6.11 abcdef 21.33 ± 2.51 abcd 18.67 ± 6.87 abc 25.00 ± 10.00 abcdefgh 30.33 ± 11.15 abcdefghij *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3:

(38)

26

[image:38.595.118.507.231.459.2]

26 Pada hari ke-2 setelah infeksi (Tabel 3), hanya AR3 yang memiliki persentase rata-rata neutrofil lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-4 setelah infeksi, rata-rata persentase kelompok perlakuan AR1 dan AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Rata-rata persentase neutrofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-6 sampai ke-11 setelah infeksi cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN.

Gambar 11 Rata-rata persentase neutrofil dari mencit betina yang diinfeksi

P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2 (9.6 mg/ml), 1×10-4 (0.096 mg/ml), 1×10-6 (0.00096 mg/ml).

Monosit Pada Mencit Jantan

Berdasarkan Tabel 4, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN. Hal sebaliknya terjadi pada hari ke-4 setelah infeksi, persentase rata-rata monosit ketiga kelompok perlakuan A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-6 dan ke-8 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-9 dan ke-10 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit AR3 cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN, sedangkan kelompok

0 10 20 30 40 50

0 2 4 6 8 9 10 11

Pe

rse

n

tase

Hari Pengamatan

(39)

27 perlakuan AR1 dan AR2 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase monosit dari berbagai kelompok perlakuan di mencit jantan disajikan pada Tabel 4, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 12 di bawah ini..

Gambar 12 Rata-rata persentase monosit dari mencit jantan yang diinfeksi

P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2 (9.6 mg/ml), 1×10-4 (0.096 mg/ml), 1×10-6 (0.00096 mg/ml).

Monosit pada Mencit Betina

Berdasarkan Tabel 5, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase monosit ketiga perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-4 setelah infeksi, hanya AR2 yang memiliki rata-rata persentase monosit lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hari ke-6 setelah

infeksi, rata-rata persentase monosit ketiga kelompok perlakuan infusa

A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan rata-rata persentase kelompok KN. Rata-rata persentase monosit AR3 pada hari ke-9 dan ke-10 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase monosit dari mencit betina disajikan pada Tabel 5, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 13.

0 10 20

0 2 4 6 8 9 10 11

Persen

tase

Hari Pengamatan

(40)

28

28 Tabel 4 Rata-rata persentase monosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 4.00 ± 2.65 ab 11.33 ± 4.51 abc 8.33 ± 2.08 abc 4.67 ± 4.62 ab 12.67 ± 7.57 abc 11.67 ± 3.21 abc 10.00 ± 5.00 abc 13.00 ± 2.00 abc

KN 2.33 ± 0.57a 12.33 ± 5.13 abc 7.67 ± 4.51 abc 8.33 ± 4.93 abc 3.67 ± 1.54 ab 6.33 ± 8.39 ab 5.00 ± 6.25 ab 3.33 ± 1.53 a

AR1 5.33 ± 2.08 ab 11.67 ± 12.50 abc 12.00 ± 1.00 abc 7.67 ± 4.73 abc 9.67 ± 6.11 abc 8.33 ± 4.04 abc 15.00 ± 6.08 bc 18.00 ± 7.00 d

AR2 2.67 ± 1.53 a 3.67 ± 1.53 ab 12.33 ± 3.05 abc 4.67 ± 2.08 ab 2.67 ± 1.53 a 9.67 ± 4.73 abc 9.67 ± 7.51 abc 9.67 ± 5.77 abc

AR3 9.50 ± 6.5 abc 3.33 ± 2.52 a 13.67 ± 6.43 bcd 10.00 ± 8.72 abc 10.00 ± 3.46 abc 3.67 ± 3.05 ab 4.33 ± 2.08 ab 11.00 ± 16.46 abc *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif;

AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2(9.6 mg/ml),1×10-4(0.096 mg/ml), 1×10-6(0.00096 mg/ml).

Tabel 5 Rata-rata persentase monosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 3.00 ± 1.73 abcd 6.33 ± 1.53 abcdefghi 9.00 ± 8.54 defghi 12.33 ±1.53 ghi 8.33 ± 2.31 bcdefghi 9.33 ± 3.06 defghi 9.67 ± 4.13 defghi 6.00 ± 2.00 abcdefghi

KN 1.67 ± 0.58 abc 3.33 ± 2.31 abcde 6.00 ± 4.36 abcdefghi 8.67 ± 3.06 cdefghi 5.67 ± 5.69 abcdefgh 3.00 ± 1.00 abcd 8.00 ± 2.00 abcdefghi 9.50 ± 0.50 defghi

AR1 3.67 ± 1.53 abcde 13.00 ± 3.61 i 1.00 ± 1.00 a 4.00 ± 3.61 abcdef 1.33 ± 0.58 ab 1.33 ± 0.58 ab 9.00 ± 3.61 defghi 12.67 ± 2.89 hi

AR2 4.33 ± 3.21 abcdef 6.00 ± 3.61 abcdefghi 8.50 ± 0.50 bcdefghi 5.50 ± 1.50 abcdefgh 8.50 ± 7.50 bcdefghi 5.50 ± 4.50 abcdefgh 6.50 ± 0.50 abcdefghi 6.50 ± 2.50 abcdefghi

AR3 4.67 ± 3.79 abcdef 11.00 ± 1.00 fghi 5.33 ± 1.53 abcdefg 6.33 ± 7.51 abcdefghi 5.33 ± 4.61 abcdefg 9.33 ± 6.43 defghi 10.33 ± 4.16 efghi 8.67 ± 3.79 cdefghi *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif;

(41)

29 Gambar 13 Rata-rata persentase monosit dari mencit betina yang diinfeksi

P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2 (9.6 mg/ml), 1×10-4 (0.096 mg/ml), 1×10-6 (0.00096 mg/ml).

Limfosit pada Mencit Jantan

Rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-4 dan ke-6 setelah infeksi berdasarkan Tabel 6 cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-8 dan ke-10 setelah infeksi, kelompok AR2 memiliki rata-rata persentase limfosit paling tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Pada hari ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN, dan kelompok AR3 memiliki rata-rata persentase limfosit tertinggi dibandingkan dua kelompok perlakuan infusa A. annua L. lainnya. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase limfosit dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit jantan disajikan pada Tabel 6, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 14 berikut ini.

0 10 20

0 2 4 6 8 9 10 11

Pe

rse

n

tase

Hari Pengamatan

KNO

KN

AR1

AR2

[image:41.595.118.489.96.365.2]
(42)

30

[image:42.595.116.510.84.343.2]

30 Gambar 14 Rata-rata persentase limfosit dari mencit jantan yang diinfeksi

P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2 (9.6 mg/ml), 1×10-4 (0.096 mg/ml), 1×10-6 (0.00096 mg/ml).

Limfosit pada Mencit Betina

Berdasarkan Tabel 7, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-4 dan ke-6 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit kelompok AR2 dan AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-8 setelah infeksi, rata-rata persentase limfosit kelompok AR1 dan AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Rata-rata persentase limfosit ketiga kelompok perlakuan A. annua L. pada hari ke-9 sampai ke-11 setelah infeksi cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase limfosit dari berbagai kelompok perlakuan di mencit betina disajikan pada Tabel 7, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 15.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 2 4 6 8 9 10 11

P

er

sen

tase

Hari Pengamatan

KNO

KN

AR1

AR2

(43)

31 Tabel 6 Rata-rata persentase limfosit dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 60.00 ± 16.37 abcde 47.67 ± 4.16 abcde 47.33 ± 10.50 abcd 55.00 ± 3.00 abcde 46.67 ± 17.50 abcd 45.33 ± 15.04 abc 54.00 ± 20.30 abcde 58.00 ± 3.00 abcde

KN 66.33 ± 9.54 cde 52.33 ± 6.81 abcde 56.33 ± 9.81 abcde 68.67 ± 7.02 e 62.00 ± 9.54 bcde 52.33 ± 27.21 abcde 55.00 ±12.49 abcde 55.33 ± 13.65 abcde

AR1 58.33 ± 10.12 abcde 49.00 ± 14.93 abcde 49.67 ±10.69 abcde 67.67 ± 7.51 de 51.33 ± 17.62 abcde 57.00 ± 6.93 abcde 46.00 ± 14.11 abcd 45.33 ± 7.51 abc

AR2 59.67 ± 6.66 abcde 59.67 ± 2.52 abcde 53.67 ± 2.52 abcde 61.00 ± 5.57 bcde 65.67 ± 0.58 cde 57.67 ± 8.33 abcde 57.00 ± 8.66 abcde 48.67 ± 8.08 abcde

AR3 57.50 ± 14.50 abcde 57.33 ± 5.86 abcde 38.67 ± 4.72a 53.00 ± 9.64 abcde 41.33 ± 8.50 ab 61.00 ± 4.58 bcde 54.33 ± 2.52 abcde 56.33 ± 6.66 abcde *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3:

Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2(9.6 mg/ml),1×10-4(0.096 mg/ml), 1×10-6(0.00096 mg/ml).

Tabel 7 Rata-rata persentase limfosit dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 67.33 ± 2.89 fghijk 62.33 ± 14.15 bcdefghijk 58.00 ±12.17abcdefghij 50.00 ± 2.00 abcde 47.00 ± 4.36 abc 56.00 ± 1.73 abcdefghij 61.67 ± 5.51 bcdefghijk 48.33 ± 13.79 abcd

KN 71.33 ±1.15 jk 57.00 ± 3.46 abcdefghij 69.33 ± 15.01 hijk 46.00 ± 15.72 ab 53.67 ± 4.04 abcdefghi 54.00 ± 3.00 abcdefghi 48.50 ± 2.50 abcd 46.00 ± 1.00 ab

AR1 68.33 ± 5.03 ghijk 50.67 ± 5.51 abcde 63.33 ± 2.08 cdefghijk 55.33 ± 17.89 abcdefghij 67.33 ± 2.51 fghijk 59.00 ± 3.00 abcdefghij 52.33 ± 7.37 abcdefg 51.00 ± 7.81 abcdef

AR2 57.67 ± 7.57 abcdefghij 56.00 ± 17.09 abcdefghij 70.00 ± 8.00 ijk 68.50 ± 14.50 ghijk 53.00 ± 0.00 abcdefgh 76.50 ± 1.50 k 60.50 ± 3.50 abcdefghijk 66.00 ± 6.00 efghijk

AR3 68.33 ± 3.78 ghijk 44.67 ± 9.71 a 69.33 ± 1.53 hijk 68.33 ± 9.71 ghijk 69.33 ± 3.51 hijk 71.33 ± 7.23 jk 64.33 ± 6.66 defghijk 61.00 ± 8.72 abcdefghijk *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3:

(44)

32

[image:44.595.123.506.114.339.2]

32 Gambar 15 Rata-rata persentase limfosit dari mencit betina yang diinfeksi

P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2 (9.6 mg/ml), 1×10-4 (0.096 mg/ml), 1×10-6 (0.00096 mg/ml).

Eosinofil pada Mencit Jantan

Berdasarkan Tabel 8, rata-rata persentase eosinofil ketiga kelompok perlakuan disemua hari pengamatan, kecuali hari ke-0 dan ke-8 setelah infeksi, cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN. Pada hari ke-2, ke-4 dan ke-9 setelah infeksi, rata-rata persentase eosinofil kelompok AR3 cenderung lebih tinggi dibandingkan kedua perlakuan infusa A. annua L. lainnya. Pada hari ke-8 setelah infeksi, hanya kelompok AR3 yang memiliki rata-rata persentase eosinofil lebih tinggi dibandingkan kelompok KN.

Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase eosinofil dari berbagai kelompok perlakuan pada mencit jantan disajikan pada Tabel 8, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 16 berikut ini.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 2 4 6 8 9 10 11

Persen

tase

Hari Pengamatan

(45)
[image:45.595.119.495.462.672.2]

33 Gambar 16 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit jantan yang diinfeksi

P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2 (9.6 mg/ml), 1×10-4 (0.096 mg/ml), 1×10-6 (0.00096 mg/ml).

Eosinofil pada Mencit Betina

Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase eosinofil dari berbagai kelompok perlakuan di mencit betina disajikan pada Tabel 9, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L. KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif; AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2 (9.6 mg/ml), 1×10-4 (0.096 mg/ml), 1×10-6 (0.00096 mg/ml).

0 10

0 2 4 6 8 9 10 11

Persen

tase

Hari

KNO KN AR1 AR2 AR3

0 15

0 2 4 6 8 9 10 11

Persen

tase

Hari Pengamatan

(46)

34

34 Tabel 8 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 5.00 ± 2.65 de 2.00 ± 1.00 abcde 4.67 ± 3.79 cde 2.67 ± 2.08 abcde 2.00 ± 0.00 abcde 4.00 ± 1.73 bcde 2.67 ± 1.53 abcde 1.00 ± 0.00 abc

KN 1.33 ± 0.58 abcd 8.33 ± 4.73 h 3.00 ± 1.00 abcde 2.00 ± 2.65 abcde 3.33 ± 1.53 abcde 2.00 ± 2.65 abcde 3.33 ± 4.16 abcde 3.33 ± 0.58 abcde

AR1 2.33 ± 1.15 abcde 3.33 ± 2.52 abcde 2.00 ± 1.73 abcde 1.33 ± 1.53 abcd 0.67 ± 0.58 ab 0.00 ± 0.00 a 2.67 ± 2.08 abcde 1.50 ± 0.50 abcd

AR2 3.00 ± 0.00 abcde 2.00 ± 1.00 abcde 1.00 ± 1.00 abc 1.33 ± 0.58 abcd 1.33 ± 0.58 abcd 0.00 ± 0.00 a 2.00 ± 2.00 abcde 0.00 ± 0.00 a

AR3 0.55 ± 0.50 ab 4.67 ± 0.58 cde 2.33 ± 0.58 abcde 1.00 ± 1.73 abc 5.67 ± 5.13 ef 1.67 ± 1.53 abcd 1.00 ± 1.00 abc 1.00 ± 1.73 abc *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif;

AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2(9.6 mg/ml),1×10-4(0.096 mg/ml), 1×10-6(0.00096 mg/ml).

Tabel 9 Rata-rata persentase eosinofil dari mencit betina yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 3.00 ± 1.73 bcdefg 1.67 ± 0.58 abcdef 2.00 ±1.00 abcdefg 4.67 ± 2.08 gh 2.33 ± 2.52 abcdefg 3.67 ± 2.08 defgh 1.33 ± 1.53 abcdef 4.00 ± 2.00 fgh

KN 1.33 ± 0.58 abcdef 1.00 ± 1.00 abcde 3.33 ± 3.21 cdefgh 6.00 ± 3.61 h 1.00 ± 1.00 abcd 1.50 ± 0.50 abcdef 3.50 ± 1.50 defgh 2.50 ± 0.50 abcdefg

AR1 3.67 ± 0.58 efgh 2.00 ± 1.00 abcdefg 3.00 ± 2.65 bcdefg 3.33 ± 1.53 cdefgh 1.33 ± 0.58 abcdef 2.67 ± 1.15 abcdefg 1.00 ± 1.00 abcd 1.00 ± 1.00 abcd

AR2 0.67 ± 1.15 abcd 2.00 ± 1.00 abcdefg 2.00 ± 0.00 abcdefg 2.50 ± 0.50 abcdefg 2.50 ± 0.50 abcdefg 1.50 ± 0.50 abcdef 0.50 ± 0.50 abc 1.50 ± 0.50 abcdef

AR3 2.33 ± 1.53 abcdefg 3.00 ± 1.00 bcdefg 2.67 ± 0.58 abcdefg 1.67 ± 1.53 abcdef 4.00 ± 2.00 fgh 0.67 ± 0.58 abcd 0.33 ± 0.58 ab 0.00 ± 0.00 a *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif;

(47)

35

0 5

0 2 4 6 8 9 10 11

Persen

tase

Hari Pengamatan

KNO KN AR1 AR2 AR3

Berdasarkan Tabel 9, pada hari ke-2 setelah infeksi, rata-rata persentase eosinofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN, diantara ketiga kelompok perlakuan infusa tersebut, kelompok AR3 cenderung memiliki rata-rata persentase eosinofil paling tinggi. Pada hari ke-4 dan ke-6 setelah infeksi, rata-rata persentase ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN. Rata-rata persentase eosinofil kelompok AR3 pada hari ke-6 setelah infeksi lebih rendah dibandingkan semua kelompok perlakuan.

Pada hari ke-8 setelah infeksi (Tabel 9), rata-rata persentase eosinofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok KN, diantara ketiga kelompok perlakuan infusa tersebut, kelompok AR3 memiliki rata-rata persentasae eosinofil paling tinggi. Pada hari ke-10 dan ke-11 setelah infeksi, rata-rata persentase eosinofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok KN.

Basofil pada Mencit Jantan

Rata-rata persentase basofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. di semua hari pengamatan menunjukkan nilai nol (Tabel 10). Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase basofil dari mencit jantan disajikan pada Tabel 10, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 18 berikut ini.

Gambar 18 Rata-rata persentase basofil dari mencit jantan yang diinfeksi

(48)

36

36

0 5

0 2 4 6 8 9 10 11

Persen

tase

Hari Pengamatan

KNO KN AR1 AR2 AR3

Basofil pada Mencit Betina

Berdasarkan Tabel 11, rata-rata persentase basofil ketiga kelompok perlakuan infusa A. annua L. pada hari ke-2 sampai ke-11 setelah infeksi menunjukkan nilai nol. Hasil dari penghitungan dan analisa statistik rata-rata persentase basofil dari berbagai kelompok perlakuan di mencit betina disajikan pada Tabel 11, sedangkan diagram batang dari tabel tersebut disajikan pada Gambar 19 berikut ini.

Gambar 19 Rata-rata persentase basofil dari mencit betina yang diinfeksi

(49)

37 Tabel 10 Rata-rata persentase basofil dari mencit jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 0.67 ± 1.15 abc 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.33 ± 0.58 ab 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a

KN 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.33 ± 0.58 ab 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 1.33 ± 1.53 c 1.00 ± 1.73 bc

AR1 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a

AR2 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a

AR3 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a *Keterangan: Huruf superskrip berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf P<0.05; KNO: Kontrol Normal; KN: Kontrol Negatif;

AR1, AR2, dan AR3: Infusa A. annua L. dengan pengenceran 1×10-2(9.6 mg/ml),1×10-4(0.096 mg/ml), 1×10-6(0.00096 mg/ml).

Tabel 11 Rata-rata persentase basofil dari betina jantan yang diinfeksi P. berghei dan diberi infusa A. annua L.

Perlakuan Hari Pengamatan (Setelah Infeksi)

0 2 4 6 8 9 10 11

KNO 0.33 ± 0.58 ab 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.67 ± 1.15 b 0.33 ± 0.58 ab 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a

KN 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.33 ± 0.58 ab 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a

AR1 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a

AR2 0.33 ± 0.58 ab 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a 0.00 ± 0.00 a

(50)

38

38

Pembahasan

Tanaman A. annua L. mengandung beberapa senyawa antimalaria. Menurut Dharani et al. (2010), senyawa seskuiterpen lakton endoperoksida yang terkandung di dalam tanaman A. annua L. aktif mengatasi serangan malaria. Dharani et al. (2010), juga menyatakan bahwa flavonoid (quecetagetin 4-metil eter) telah berhasil diisolasi dari tanaman ini, dan dapat meningkatkan aktivitas antimalaria dari artemisinin secara signifikan.

Penggunaan herbal A. annua L. (diseduh seperti teh) dengan takaran 5-9 g herbal/liter air/hari yang dikonsumsi selama 7 hari menunjukkan kemanjuran dalam menan

Gambar

Gambar 10  Rata-rata persentase neutrofil dari mencit jantan yang diinfeksi       P. berghei dan diberi infusa A
Gambar 11  Rata-rata persentase neutrofil dari mencit betina yang diinfeksi       P. berghei dan diberi infusa A
Gambar 13 Rata-rata persentase monosit dari mencit betina yang diinfeksi           P. berghei dan diberi infusa A
Gambar 14  Rata-rata persentase limfosit dari mencit jantan yang diinfeksi          P
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 3, hasil yang didapatkan dalam pengamatan menunjukkan bahwa kontrol negatif berada dalam persentase rentang normal, mencit yang diinjeksi dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak akar kayu kuning (Coscinium fenestratum) dengan pelarut etanol terhadap persentase gambaran leukosit mencit

Imunisasi pada mencit bertujuan untuk memicu Respon imun untuk melindungi mencit dari infeksi parasit malaria sehingga dapat menekan pertumbuhan parasit dalam

Untuk mengetahui potensi dari ketiga fraksi ekstrak kulit buah manggis telah dikategorikan bahwa aktivitas antimalaria in vivo pada mencit paling baik jika pada dosis

berghei diberi ekstrak etanol daun jaloh dosis 100 mg/kg BB dan kelompok perlakuan (K3) mencit yang terinfeksi P.. Pengamatan persentase parasitemia dilakukan dengan

Pada terapi hari pertama, kedua dan ketiga disemua kelompok konsentrasi dan negatif mengalami peningkatan persentase parasitemia dari hari sebelum dilakukan terapi,

Hasil pengukuran histomorfometri pada duodenum mencit yang diinfeksi telur infekstif Hymenolepis nana dan diberi ekstrak daun kelor dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.. Histomorfometri

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak akar kayu kuning (Coscinium fenestratum) dengan pelarut etanol terhadap persentase gambaran leukosit mencit