KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN
Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di
Tangerang Selatan
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Muhamad Rizky
1110112000043
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang Berjudul :
KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Oktober 2014
ii
KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Oleh :
Muhamad Rizky
NIM : 1110112000043
Dibawah Bimbingan
Dr. Haniah Hanafie, M.Si
NIP. 19610524 200003 2 002
JURUSAN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa :
Nama : Muhamad Rizky
NIM : 1110112000043
Progam Studi : Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul :
KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji :
Jakarta, 7 Oktober 2014
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Ali Munhanif, Ph. D Dr. Haniah Hanafie M.Si
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN
Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan
Oleh :
Muhamad Rizky
1110112000043
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 November 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua Sekretaris
Ali Munhanif, Ph.D M. Zaki Mubarak, M.Si
NIP. 19651212 199203 1 004 NIP. 19730927 200501 1 008
Penguji I Penguji II
Dr. Agus Nugraha, M.Si Suryani, M.Si
NIP. 19680801 200003 1 001 NIP. 19770424 200710 2 003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 13 November
2014.
Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta,
Ali Munhanif, Ph.D
v ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang konflik aset di daerah pemekaran yaitu terkendalanya serah terima aset daerah khususnya aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab, dampak yang ditimbulkan, dan proses penyelesaian dari serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.
Peneliti menggunakan Teori Konflik dan Konsep Pemekaran Wilayah. Peneliti menemukan bahwa setelah pemekaran daerah Kota Tangerang Selatan terdapat kendala dalam serah terima aset daerah khususnya badan usaha milik daerah (BUMD) yang salah satunya adalah pasar tradisional. Metodologi yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, tepatnya di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tangerang, Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan dan PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi.
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Konflik Aset di Daerah Pemekaran: Studi Konflik Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Tangerang Selatan”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya dari awal
hingga akhir zaman.
Peneliti menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan didalamnya. Oleh karena itu peneliti mengaharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak. Penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku sekretaris Program Studi Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Dr. Haniah Hanafie M.Si selaku dosen pembimbing. Terima kasih
telah sabar dan ikhlas, serta meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk
membimbing dan memberikan masukan serta nasehat kepada peneliti, dan
memberikan motivasi sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Agus Nugraha, M.Si dan Ibu Suryani M.Si sebagai Dosen
penguji skripsi yang telah menguji dan memberi masukan kepada peneliti.
6. Bapak Sugeng Setiarso selaku Kasi Mutasi Aset Dinas Pendapatan
Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kota Tangerang Selatan,
Bapak Sutono sebagai Kasubag Inventarisasi bidang aset Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tangerang dan Bapak
vii
Tangerang. Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk diwawancari
dan meminta data untuk keperluan penelitian.
7. Orang tua tercinta Alm. Bapak Sagimin dan Ibu Miyem serta Nenek
tercinta Mbah Ketip yang memberikan segala bentuk dukungan berupa
finansial dan moral sehingga skripsi ini dapat selesai.
8. Kakak dan adik peneliti, Purwowidodo, Purwaningsihati dan Adi Surya
Muhammad Kurniawan serta keponakan peneliti, Carissa Aqila
Maheswari Widodo dan Bima Kafaf Faiz Jabar Sa’adan yang selalu
memberikan dukungan dan hiburan kepada peneliti.
9. Ryandi Hermawan, M. Rizal Habibi, Novian Dwi Cahyo, Galih Priyo
Jatmiko, Rizki Andika, Wahyu Windiasko, M. Erdiansyah, Dara Amalia
dan teman-teman SMAN 90 Jakarta serta Warlux. Terima kasih telah
menjadi sahabat baik peneliti dan memberi semangat selama penelitian.
10.Choir, Angga, Ikbal, Dona, Faisal, Yosep, Febrian, Ferdian, Indra, Ismet,
Fadil, Imam, Ramdhan, Enda, Ujang, Abdau, Ade, Adi, Sandi, Ikhsan
Sopyan, Adeandri dan seluruh sahabat Ilmu Politik 2010. Terima kasih
telah memberikan semangat dan tidak pernah lelah membantu skripsi
peneliti dari awal sampai akhir.
11.Keluarga KKN AGORITMA 2013, yang selalu memberikan semangat
kepada peneliti.
12.Seluruh pihak yang membantu yang tidak dapat peneliti sebutkan satu
persatu.
Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi
para pembaca sekalian.
Jakarta, 7 Oktober 2014
viii DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI... iv
ABSTRAK... v
E. Metodelogi Penelitian... 12
F. Sistematika Penelitian... 15
BAB II LANDAAN TEORI
B. Kota Tangerang Selatan... 47
1. Sejarah... 47
2. Letak Geografis... 49
BAB IV KONFLIK ASET DI DAERAH PEMEKARAN A. Konflik Serah Terima Aset Daerah Kota Tangerang Selatan... 50
1. Aset Daerah Kota Tangerang Selatan ... 50
ix
B. Faktor Penghambat Serah Terima Aset Pasar Tradisional
Kota Tangerang Selatan... 57
1. Faktor Stuktural... 58
2. Faktor Kepentingan... 63
3. Faktor Nilai... 65
4. Faktor Hubungan Antar Manusia... 66
5. Faktor Data... 67
C. Dampak Terkendalanya Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan ... 69
D. Proses Penyelesaian Serah Terima Aset Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan dari Kabupaten Tangerang…………..… 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 82
x
DAFTAR TABEL
Tabel IV.I. Nilai Aset Daerah yang Diserahkan Kabupaten Tangerang kepada
Kota Tangerang Selatan... 55 Tabel IV.II Aset PD.Pasar Niaga Kerta Raharja
Kabupaten Tangerang di Wilayah
Tangerang Selatan…... 63 Tabel IV.III Pendapatan, Biaya, dan Laba (Rugi)
PD. Pasar Niaga Kerta Raharja
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Negara Republik Indonesia sebagai Negara kesatuan yang mempunyai
daerah begitu luas, menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dengan memberikan kesempatan daerah untuk menyelengarakan
otonomi daerah. Persoalan kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu aspek
yang mendapat perhatian hingga saat ini. Dalam salah satu kebijakan
desentralisasi politik, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di revisi ke dalam
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Proses
peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah
daerah dengan otonomi, yaitu dengan diserahkannya urusan pemerintah kepada
pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi
pemerintahan. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan tugas ini antara lain
2
kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya
saing daerah dalam proses pertumbuhan.1
Kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diikuti dengan kebijakan
pemekaran daerah mengakibatkan perubahan pola perkembangan wilayah. Dalam
kurun waktu sepuluh tahun sejak keluarnya Undang-Undang Otonomi Daerah
tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Pemekaran Daerah tahun 2000 jumlah
daerah otonom bertambah hampir dua kali lipat.2 Saat ini jumlah Daerah Otonom
di Indonesia sampai dengan bulan Juli 2013 berjumlah 539, yang terdiri atas 34
provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota (tidak termasuk 5 kota administratif dan 1
kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta).3 Semakin banyaknya daerah
otonom yang diikuti oleh rendahnya pencapaian tujuan pemekaran daerah
menjadikan suatu permasalahan akibat semakin besarnya beban
pendanaan otonomi.
Pemekaran wilayah biasanya merupakan wujud dari keinginan masyarakat
di suatu daerah untuk lebih tumbuh dan berkembang dari segi ekonomi, politik,
sosial, budaya dan keamanan. Pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah
solusi untuk mempercepat proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan
kemudahan memperoleh pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat. Pemekaran
wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan
1
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 17.
2
Djoko Harmantyo, Desentralisasi, Otonomi, Pemekaran Daerah dan Pola
Perkembangan Wilayah di Indonesia, artikel diakses dari http://geografi.ui.ac.id/portal/sivitas-geografi/dosen/makalah-seminar/496-2/ pada tanggal 27 Januari 2013.
3
3
pemerintah daerah dalam meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah
dan pengelolaan pembangunan.
Berkembangnya wilayah administratif yang berbatasan dengan kota-kota
besar menjadi cikal bakal terbentuknya daerah otonom baru dari pemekaran
daerah induknya. Salah satu daerah hasil pemekaran yang berbatasan langsung
dengan DKI Jakarta dan menjadi daerah termuda di Provinsi Banten adalah Kota
Tangerang Selatan yang merupakan hasil dari proses pemekaran wilayah
Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan resmi menjadi daerah otonom
baru pada 29 Oktober 2008 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan yang ditandatangani
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 26 November 2008.4 Kota
Tangerang Selatan meliputi 7 Kecamatan yaitu Kecamatan Ciputat, Ciputat
Timur, Pamulang, Pondok Aren, Serpong, Serpong Utara dan Setu.
Sebagai daerah otonom baru, Pemerintah Kota Tangerang Selatan
menyelenggarakan pemerintahan daerah yang mencakup bidang pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan. Untuk menjalankan berbagai kegiatan
pemerintahan tersebut, diperlukan penanganan yang baik dalam rangka
pembangunan daerah dan jika perlu daerah dapat melakukan kerjasama yang
saling menguntungkan. Tetapi bisa saja terjadi permasalahan-permasalahan
kepentingan antara daerah dengan pihak lain, yang mengakibatkan terjadinya
perselisihan. Perselisihan itu sendiri dapat muncul karena adanya kepentingan
4
4
masing-masing daerah yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yang terjadi antara pemerintah kabupaten/kota, yang berada dalam satu provinsi.5
Proses pelaksanaan pemerintahan daerah setelah pembentukan daerah
otonom baru memang tidak semudah yang dibayangkan. Harapan yang cukup
besar akan terlaksanannya pelayanan yang baik bagi masyarakat dan
meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah otonomi baru tidak serta merta
dapat dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat. Pemekaran Kabupaten Tangerang
dengan membentuk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008 sampai saat ini
masih saja menyimpan masalah, salah satunya adalah masalah pembagian aset
milik daerah dan proses penyerahannya dari Kabupaten Tangerang kepada Kota
Tangerang Selatan.
Permasalahan pembagian dan penyerahan aset daerah yang mendapat
sorotan sampai saat ini adalah belum diserahkannya 6 pasar tradisional yang
berada di Kota Tangerang selatan. Keenam pasar tradisional tersebut adalah Pasar
Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar
Gedung Hijau.6 Proses penyerahan aset daerah sebenarnya sudah diatur didalam
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang
Selatan. Dimana didalam pasal 13 yang membahas tentang Personel, Aset dan
Dokumen di jelaskan bahwa penyerahan aset dan dokumen dilakukan paling
lambat 5 (lima) tahun sejak pelantikan pejabat Walikota. Apabila penyerahan dan
5
M. Aries Djanuri, dkk, Sistem Pemerintahan Daerah (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 8.17.
6“Pemkot Tunggu Surat Bupati Zaki Soal Aset Pasar,” Tangsel Pos
5
pemindahan aset serta dokumen tidak dilaksanakan oleh Bupati Tangerang,
Gubernur Banten selaku wakil Pemerintah wajib menyelesaikannya.
Merujuk pada Undang-Undang pembentukan Kota Tangerang Selatan,
nampaknya masih menyimpan masalah yang belum dapat terselesaikan untuk
mengurusi aset daerah Kabupaten Tangerang yang seharusnya diserahkan kepada
Kota Tangerang Selatan. Penyerahan aset daerah khususnya aset 6 pasar
tradisional yang berada di dalam teritorial Kota Tangerang Selatan yang akan
mendukung terselenggaranya pelayanan masyarakat dalam bidang perdagangan
diharapkan sudah terselesaikan sebelum peringatan hari jadi Kota Tangerang
selatan yang ke-5. Namun pada kenyataannya sampai saat ini setelah 5 tahun
berdirinya Kota Tangerang Selatan yang bertepatan pada tanggal 29 Oktober 2013
aset ini belum juga diserahkan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Aset 6 pasar tradisional ini masih menjadi perebutan yang belum jelas arah
penyelesaian yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Secara normatif
Kabupaten Tangerang diharuskan menyerahkan aset daerah tersebut sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 51 Tentang Pembentukan
Kota Tangerang Selatan. Jika sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Tangerang
belum menyerahkan aset tersebut, bisa dikatakan Bupati Tangerang melanggar
UU yang akan menjadi sengketa dan itu harus dimediasi oleh pihak provinsi.
Pemkot Tangerang Selatan melalui Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset
Daerah (DPPKAD) akan mengambil alternatif dengan meminta bantuan kepada
Gubernur Banten untuk memfasilitasi penyelesaian masalah aset ini.7
7
6
Kondisi pasar-pasar tersebut saat ini menjadi sangat tidak layak dan sulit
untuk dilakukan penataan. Bahkan, pembersihan sampah pasar pun menjadi
terkendala karena sering kali tidak terangkut oleh petugas. Dengan masih
dikelolanya pasar tradisional oleh Kabupaten Tangerang, Pendapatan Asli daerah
(PAD) dari retribusi pasar tidak masuk ke Kota Tangerang Selatan melainkan
masuk ke Kabupaten Tangerang. Seharusnya pendapatan dari retribusi pasar bisa
dimanfaatkan kembali untuk melakukan penataan pasar. Faktor ekonomi seperti
ini yang diduga kuat menjadi salah satu hal yang meyebabkan terjadinya sengketa
aset daerah pasca pemekaran wilayah. Pihak Kabupaten Tangerang selaku daerah
induk hingga saat ini masih melakukan kajian terkait penyerahan aset tersebut
terutama dengan masalah kontrak dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah pihak
swasta.
Peneliti tertarik melakukan penelitian ini karena melihat realita di era
otonomi daerah seperti sekarang ini, yang seharusnya daerah mempunyai
kewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri dalam memberikan
pelayanan dan mempercepat pembangunan masih harus terganjal dengan
masalah-masalah seperti sengketa aset daerah. Aset daerah seharusnya menjadi salah satu
pemasukan keuangan daerah yang dapat digunakan untuk pembangunan di daerah
otonom baru. Konflik atas aset daerah ini terjadi antara dua Kota/Kabupaten yang
berada dalam satu provinsi dimana kedua belah pihak sama-sama ingin
memperoleh dan mempertahankan kepentingan daerahnya, Pemerintah Kabupaten
Tangerang sebagai daerah induk seharusnya menjalin kerjasama yang baik dengan
7
dan mencegah ketimpangan antar daerah. Maka dari uraian pernyataan masalah
diatas, peneliti melakukan penelitian tentang permasalahan aset di daerah
pemekaran karena belum diserahkannya aset daerah berupa 6 pasar tradisional
(Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro, Pasar Cimanggis
dan Pasar Gedung Hijau) selama 5 tahun berdirinya Kota Tangerang Selatan oleh
Pemerintah Kabupaten Tangerang.
B. Pertanyaan Penelitian
Skripsi ini secara umum ingin memberikan analisa tentang permasalahan
aset daerah yang terjadi di Kota Tangerang Selatan. Peneliti membatasi penulisan
sengketa aset yang dimaksud khususnya pada permasalahan dalam serah terima 6
aset pasar tradisional yaitu Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar
Bintaro, Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau yang sampai saat ini belum
diserahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang. Peneliti memfokuskan untuk
mengetahui jawaban dari pertanyaan sebagai berikut:
1. Mengapa serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan
mengalami kendala?
2. Apa dampak yang ditimbulkan dari terkendalanya serah terima aset
pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan?
3. Bagaimanakah proses penyelesaian serah terima aset pasar tradisional
antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan Kota Tangerang
8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian:
a. Untuk mengetahui mengapa serah terima aset pasar tradisional di Kota
Tangerang Selatan mengalami kendala.
b. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari terkendalanya serah
terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.
c. Untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian serah terima aset
pasar tradisional antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan Kota
Tangerang selatan.
2. Manfaat penelitian:
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang terdiri dari manfaat
akademis dan manfaat praktis.
a. Manfaat Akademis
1) Penelitian ini bermanfaat memberi informasi mengapa serah terima
aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan mengalami kendala.
2) Penelitian ini bermanfaat memberi informasi dampak yang
ditimbulkan dari terkendalanya serah terima aset pasar tradisional di
Kota Tangerang Selatan.
3) Penelitian ini bermanfaat memberi informasi bagaimana proses
penyelesaian serah terima aset pasar tradisional antara Pemerintah
Kabupaten Tangerang dengan Pemerintah Kota Tangerang Selatan.
4) Penelitian ini memberi manfaat bagi pengembangan Ilmu Politik
9
wilayah, yang menggambarkan tentang realita setelah pemekaran
wilayah yang masih meninggalkan masalah seperti sengketa aset
daerah.
b. Manfaat Praktis
1) Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi literatur keilmuan
serta menjadikan penulisan ini sebagai literatur dalam bidang Ilmu
Politik.
2) Menambah informasi bagi penulisan skripsi yang serupa di waktu yang
akan datang.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, sebelumnya telah terdapat penelitian yang mengkaji
tentang permasalahan aset daerah di era otonomi. Pertama, Jurnal ilmiah yang
berjudul “Sengketa Wilayah Perbatasan Gunung Kelud antara Pemerintah
Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri ditinjau dari Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan
Daerah” dengan nama peneliti Ade Laurens mahasiswa Universitas Surabaya.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan perbedaan dengan penelitian yang
penulis buat diantaranya mengenai aset daerah yang menjadi sengketa dan daerah
yang bersengketa yang diteliti oleh penulis sebelumnya adalah sengketa
perbatasan objek pariwisata Gunung Kelud yang merupakan salah satu sumber
pendapatan daerah antara Kabupaten Blitar dengan Kabupaten Kediri. Dalam
pengelolaan aset ini antara Pemerintah Kabupaten Blitar dengan Pemerintah
10
kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah, melainkan kedua
daerah ini mempermasalahkannya sehingga menjadikan konflik antar wilayah.
Sedangkan pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada permasalahan serah
terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.
Kedua, penelitian yang berjudul “Sengketa Pasca Pemekaran Kota dan
Kabupaten Tasikmalaya” yang dilakukan oleh Fitriyani Yuliawati, S.IP dan
Subhan Agung, S.IP, MA dari laboratorium ilmu politik FISIP Universitas
Siliwangi Tasikmalaya. Dalam penelitian ini menunjukan bahwa sengketa aset
daerah antara Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya terjadi karena
masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda dalam sengketa
tersebut. Kabupaten Tasikmalaya menginginkan agar penyerahan aset tersebut
dibarengi dengan ganti rugi untuk Kabupaten Tasikmalaya, sedangkan pihak Kota
Tasikmalaya berpegang pada peraturan yang ada tentang pembentukan Kota
Tasikmalaya. Dari penelitian ini yang membedakan adalah peneliti lebih terfokus
pada permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan.
Ketiga, Peneliti membahas buku yang terkait dengan Otonomi Daerah
yang di dalamnya juga terdapat konflik dalam Otonomi Daerah diantaranya
konflik sumber pendapatan dan pengelolaan aset daerah yaitu buku yang ditulis
oleh Pheni Chalid berjudul “Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan
Konflik”. Dalam buku ini dijelaskan bahwa konflik pengelolaan sumber
pendapatan daerah terjadi karena kekurangpahaman daerah atas pembagian
kepemilikan aset daerah antara provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai contoh
11
daya alam (SDA). Untuk itu pemerintah Kabupaten Sidoarjo berupaya
menginvetarisasi peluang-peluang yang dapat meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD). Salah satu peluang yang coba dibidik adalah kawasan Bandara
Juanda yang secara geografis berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo, namun
sebenarnya merupakan aset provinsi. Selain itu Pemerintah Daerah Sidoarjo juga
menuntut adanya pembagian dari pajak dan retribusi pajak kendaraan bermotor
(PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) yang ditarik oleh
provinsi.
Konflik pengelolaan aset yang menjadi sumber pendapatan asli daerah
tidak hanya terjadi antara daerah, tapi juga antara pusat dan daerah, karena
ketidakjelasan pembagian aset. Seperti yang terjadi antara pemerintah DKI Jakarta
dengan Pemerintah Pusat dalam hal pengelolaan Bandara Internasional
Soekarno-Hatta, jalan tol, dan kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, kawasan Kemayoran dan
Senayan. Pengelolaan kelima aset tersebut berdasarkan UU 25/1999 seharusnya
berada dalam kewenangan pemerintah daerah DKI, namun demikian dalam
praktiknya pemerintah pusat masih enggan menyerahkan pengelolaan kelima aset
tersebut ke tangan pemerintah daerah DKI Jakarta. Adapun hal yang membedakan
dari buku ini terletak pada aset daerah dan daerah yang bermasalah, yaitu peneliti
memfokuskan pada permasalahan serah terima aset pasar tradisional di Kota
12 E. Metodelogi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian kualitatif akan menghasilkan prosedur analisis dan tidak
menggunakan analisis data statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Secara prosedur
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan
perilaku yang diamati, seperti dinyatakan oleh Lexy J. Moleong dalam buku
metode penelitian kualitatif.8 Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam
mengkaji permasalahan ini adalah pendekatan kualitatif, karena sesuai dengan
penelitian yang diambil oleh peneliti yaitu melihat sedetail mungkin permasalahan
aset daerah di Kota Tangerang Selatan yang terfokus pada serah terima 6 aset
pasar tradisional (Pasar Ciputat, Pasar Jombang, Pasar Serpong, Pasar Bintaro,
Pasar Cimanggis dan Pasar Gedung Hijau).
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian yang telah disebutkan maka pelaksanaan
dalam penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten
Tangerang, khususnya pada institusi Pemerintah Daerah yang berwenang
menangani aset daerah. Sedangkan waktu penelitian dilakukan secara bertahap
hingga penelitian selesai.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara (interview) adalah pertemuan antara peneliti dan responden,
dimana pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung
8
13
oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat
atau direkam dengan alat perekam (tape recorder). Teknik wawancara juga dapat
dilakukan dengan telepon.9 Dalam penelitian ini, Peneliti melakukan wawancara
dengan informan sejumlah 3 (tiga) orang yang berasal dari dinas dan perusahaan
yang mengelola aset daerah yaitu: 1). Sugeng Setiarso sebagai Kasi Mutasi Aset
Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD) Kota
Tangerang Selatan, 2). Sutono sebagai Kasubag Inventarisasi bidang aset Badan
Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tangerang dan 3).
Nurachman sebagai Humas PD.Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang.
Kedua dinas dan perusahaan daerah tersebut adalah pihak yang berwenang dalam
mengurusi aset daerah khususnya pasar tradisional yang diharapkan dapat
memberikan informasi sedetail mungkin kepada peneliti dalam menyelesaikan
penelitian tentang permasalahan aset daerah yang terjadi antara Kota Tangerang
Selatan dan Kabupaten Tangerang. Maka dalam pemilihan narasumber, peneliti
menggunakan purposive sampling. Informan ditentukan selaras dengan maksud
dan tujuan penelitian yaitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam
penelitian ini.10
Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pedoman
wawancara, recorder dan buku catatan. Pedoman wawancara digunakan agar
peneliti dapat menyaring apa saja yang seharusnya ditanyakan agar fokus pada
permasalahan yang diteliti. Recorder digunakan untuk merekam subjek yang
difokuskan yaitu Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan Pemerintah Kabupaten
9
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 67.
10
14
Tangerang yang menangani aset daerah. Buku catatan dipergunakan untuk
mencatat hal-hal yang tidak direkam.
b. Dokumentasi
Pengumpulan data melalui dokumentasi dilakukan untuk memeroleh data
sekunder melalui literatur dengan tujuan untuk memeroleh bahan-bahan yang
memberikan penjelasan dari bahan primer maupun hasil penelitian, jurnal, karya
tulis, dokumen-dokumen resmi seperti: Undang-Undang pembentukan daerah,
surat-surat resmi dan sebagainya.
4. Sumber dan Jenis Data
Sumber data diperoleh dari telaah dokumen-dokumen yang peneliti
masukan serta hasil dari observasi dan wawancara yang akan dilakukan oleh
peneliti. Sebelum digunakan dalam proses analisis, data dikelompokan terlebih
dahulu sesuai dengan jenis dan karakteristik yang menyertainya. Berdasarkan
sumber pengambilannya, data dibedakan atas dua macam, yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung dari wawancara.11 Data sekunder adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dan dari dokumen-dokumen
yang ada.
5. Analisis Data Penelitian
Analisis data penelitian dilakukan untuk mengelola data yang sudah
dikumpulkan, peneliti menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif
adalah suatu penelitian yang diupayakan untuk mengamati permasalahan secara
11
15
sistematis dan akurat mengenai fakta dan sifat objek tertentu.12 Analisis deskriptif
dalam kualitatif fokusnya pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan dan
penempatan data pada konteksnya masing-masing, dan seringkali digambarkan di
dalam kata-kata dari pada di dalam angka-angka. Untuk itu data perlu disusun
kedalam pola tertentu, kategori tertentu, tema tertentu atau pokok permasalahan
tertentu. Karenanya setiap hasil dari pengumpulan data, baik itu dari hasil
wawancara, observasi ataupun dari sejumlah dokumen perlu di reduksi dan
dimasukan kedalam pola, kategori, fokus, atau tema tertentu yang sesuai. Hasil
reduksi tersebut perlu di tampilkan secara tertentu untuk masing-masing pola,
kategori, fokus, atau tema yang hendak dipahami dan dimengerti
permasalahannya. Pada akhirnya peneliti dapat mengambil
kesimpulan-kesimpulan tertentu dari hasil pemahaman dan pengertiannya.13
Adapun untuk panduan penulisan, penelitian ini berdasarkan pada buku
Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi, yang di terbitkan oleh
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2012.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan, maka dalam skripsi ini pembahasannya
akan terbagi menjadi lima bab dan masing-masing bab akan terbagi lagi menjadi
sub-sub bab yang terdiri sebagai berikut:
12Ibid
., h. 100.
13
16
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi pernyataan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini menjelaskan teori dan konsep yang di
gunakan dalam penelitian ini yaitu teori konflik dan konsep
pemekaran wilayah.
BAB III GAMBARAN UMUM KABUPATEN TANGERANG
DAN KOTA TANGERANG SELATAN
Dalam bab ini membahas gambaran umum daerah
Kabupaten Tangerang sebagai daerah induk dan Kota
Tangerang Selatan sebagai daerah hasil pemekaran.
BAB IV PERMASALAHAN ASET DAERAH KOTA
TANGERANG SELATAN
Dalam bab ini menjelaskan permasalahan serah terima aset
pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan yang
membahas penyebab permasalahan, dampak yang
17
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan
dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberikan
saran yang berkaitan dengan masalah yang dibahas untuk
18 BAB II
LANDASAN TEORI
Telah disebutkan sebelumnya bahwa fokus penelitian ini adalah
permasalahan serah terima aset daerah yaitu 6 pasar tradisional antara Kota
Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Berkaitan dengan tema tersebut,
permasalahan ini merupakan salah satu kasus dari sejumlah permasalahan atas
aset pasca pemekaran daerah yang terjadi di daerah lain. Hal ini ditunjukan
dengan beberapa bahasan ataupun studi berkaitan dengan tema tersebut yang
beberapa diantaranya digunakan dalan penelitian ini sebagai referensi.
Oleh karena itu, dalam bab ini diuraikan secara teoretis mengenai konflik
di era otonomi. Disamping itu juga perlu di kemukakan konsep pemekaran
wilayah sebagai batasan yang digunakan dalam penelitian ini.
A. Konflik
Di dalam dunia politik, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan
dan pelaksanaan kebijakan umum merupakan upaya untuk mendapatkan dan/atau
mempertahankan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan upaya itu, sering terjadi
perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan bahkan pertentangan yang bersifat
fisik diantara pelbagai pihak. Dalam hal ini antara pihak yang berupaya
mendapatkan nilai-nilai dan mereka yang berupaya keras mempertahankan apa
19
keras untuk mendapatkan nilai-nilai yang sama dan pihak yang sama-sama
mempertahankan nilai-nilai yang selama ini mereka kuasai.14
1. Pengertian Konflik
Konflik secara sederhana dapat diartikan sebagai perselisihan atau
persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik secara individu atau kelompok
yang kedua belah pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan atau
menyingkirkan atau mengalahkan atau menyisihkan.15 Di dalam dunia politik:
“tiada lawan yang abadi dan tiada pula kawan abadi, kecuali kepentingan
abadi.” Sehingga konflik kepentingan identik dengan konflik politik. Realitas
politik selalu diwarnai oleh dua kelompok yang memiliki kepentingan yang saling
berbenturan. Benturan kepentingan tersebut disebabkan oleh gejala satu pihak
ingin merebut kekuasaan dan kewenangan, di pihak lain terdapat kelompok yang
berusaha mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan yang sudah ada di
tangan mereka.16
Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan,
seperti kerusuhan, kudeta, terorisme dan revolusi. Konflik mengandung arti
benturan, seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antar individu
dan individu, kelompok dan kelompok dengan pemerintah. Masing-masing pihak
yang berkonflik berupaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber
yang sama, yang kemudian akan menuju kearah kesepakatan dan kekerasan bukan
14
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 10.
15
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 348.
16
20
satu-satunya cara penyelesaian.17 Konflik politik digambarkan secara umum
sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah
individu, kelompok ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan/atau
mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan
pemerintah.18
Otonomi daerah seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat terlaksana dengan baik apabila penyelenggaraan
urusan pemerintahan diiringi dengan sumber-sumber pendapatan yang cukup
kepada daerah. Salah satu sumber pendapatan daerah adalah yang berasal dari
aset-aset yang dimiliki oleh daerah tersebut. Maka aset daerah menjadi penting
dalam mempengaruhi pendapatan yang diterima oleh daerah. Namun pada
kenyataannya pasca pemekaran sebuah daerah, aset daerah menjadi perebutan
antar daerah yang menimbulkan permasalahan. Sehingga penelitian ini
menggunakan perspektif teori konflik dalam bingkai otonomi daerah.
Pada dasarnya konflik tercipta dari kompetisi memperebutkan akses
terhadap otoritas (kekuasaan) dan sumber ekonomi atau kemakmuran dari
aktor-aktor yang berkepentingan.19 Pada era otonomi daerah, daerah mempunyai porsi
kewenangan yang sangat besar. Sehingga daerah akan merasa terancam
17
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 191.
18Ibid
.,h. 193.
19
21
kepentingan politik dan ekonominya bila gagal mempertahankan sumber-sumber
yang bisa meningkatkan pendapatan daerah. Hal tersebut dapat menjadi latar
belakang timbulnya konflik dan kesalahpahaman antar daerah.
Otonomi sering diterjemahkan oleh kabupaten/kota lebih dari sekedar
dapat mengatur rumah tangganya sendiri, sehingga tidak mau dicampuri oleh
pihak lain walaupun dalam konteks koordinasi dan sinkronisasi antar daerah. Di
samping itu, kabupaten/kota sering menerjemahkan otonomi ini sebagai
kewenangan untuk menggali pendapatan daerah yang sebanyak-banyaknya
melalui pajak dan retribusi serta eksploitasi sumber daya alam dengan
mengabaikan kepentingan jangka panjang dan generasi mendatang.20
Pruitt dan Rubin dalam Teori Konflik Sosial21 menjelaskan bahwa konflik
terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi
kedua belah pihak dan lebih jauh masing-masing pihak memiliki alasan untuk
percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri
mereka sendiri atau mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki obyek
tersebut. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa adanya obyek bernilai
yang dianggap berhak dimiliki oleh masing masing pihak sehingga menimbulkan
konflik.
2. Penyelesaian Konflik
Konflik merupakan gejala yang tidak mungkin dapat dihilangkan, maka
konflik hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Perbedaan, persaingan,
20Nanang Kristiyono, “Konflik Dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang
dengan Kabupaten Magelang; Analisis terhadap Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya,” (Tesis
Magister Ilmu Politik, Universitas Dipinegoro Semarang, 2008), h. 11.
21
22
dan pertentangan dalam upaya mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai
yang dianggap penting dapat diselesaikan melalui mekanisme yang disepakati
bersama. Dialog dan musyawarah untuk mencapai mufakat, dialog untuk
mengadakan pemungutan suara (voting), atau perpaduan keduanya merupakan
beberapa bentuk mekanisme untuk mencapai kesepakatan berupa keputusan
politik. bentuk lain dari kesepakatan itu berupa kerjasama dalam bentuk koalisi
dan aliansi untuk membuat dan melaksanakan keputusan. Sebagaimana
dinyatakan oleh Gaetano Mosca, pemerintahan akan dapat berjalan dengan baik
dan stabil serta berhasil apabila terjadi koalisi atau kerjasama antara satu atau
lebih kekuatan politik.22 Apabila pertentangan itu belum juga dapat mencapai
kesepakatan antara pihak yang berkonflik dan dianggap akan menggangu
kepentingan umum kalau tidak ditangani, maka permasalahan tersebut dapat
dibawa ke lembaga pengadilan (lembaga pemerintah), dimana pemerintah
bertindak sebagai mediator maupun sebagai arbitrator.23
Penyelesaian konflik (conflict resolution) lebih merujuk kepada
sebab-sebab konflik dari pada manifestasi konflik. Maka selama ada antagonisme
kepentingan didalamnya, konflik akan selalu terjadi dan konflik tidak akan pernah
dapat diselesaikan. Maka dalam hal ini dibutuhkan pengaturan konflik berupa
bentuk-bentuk pengendalian yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik dari
pada sebab-sebab konflik, maka konflik dapat diatur sehingga tidak menimbulkan
perpecahan. Menurut Ralf Dahrendorf dalam Memahami Ilmu Politik Ramlan
22
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 24.
23
23
Subakti, pengaturan konflik yang efektif bergantung pada tiga faktor.24 Pertama,
kedua pihak harus mengakui kenyataan dan keadaan konflik yang terjadi diantara
mereka (adanya pengakuan atas kepentingan yang diperjuangkan oleh pihak lain).
Kedua, kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan harus terorganisir secara
rapi, tidak tercerai-berai, dan terkotak-kotak sehingga masing-masing pihak
memahami dengan jelas lingkup tuntutan pihak lain. Ketiga, kedua pihak
menyepakati aturan main (rules of the game) yang menjadi landasan dan
pegangan dalam hubungan dan interaksi diantara mereka. Lalu Dahrendorf
menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik, yaitu:
a. Konsiliasi, yaitu mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik
di lembaga seperti parlemen atau kuasi-parlemen dimana semua pihak
berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan dalam mencapai
kesepakatan tidak ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan
atau memaksakan kehendak. Kebanyakan konflik politik disalurkan
dan diatur dengan bentuk konsiliasi;
b. Mediasi, yaitu kedua belah pihak yang berkonflik sepakat mencari
nasihat dari pihak ketiga (seorang mediator berupa tokoh, ahli atau
lembaga tertentu yang dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian
yang mendalam mengenai hal yang dipertentangkan);
c. Arbitrasi, yaitu kedua belah pihak sepakat untuk mendapatkan
keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik pada
pihak ketiga sebagai arbitrator.
24
24
Ketiga bentuk pengaturan konflik ini dapat dilaksanakan salah satunya atau
bahkan ketiganya secara bertahap.
B. Pemekaran Wilayah
1. Konsep Pemekaran Wilayah
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, proses pemekaran wilayah terjadi
begitu pesat dan cenderung tidak terkendali. Secara umum pemekaran wilayah
adalah pembentukan wilayah administrasi baru di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota dari daerah induknya. Pemekaran wilayah dipandang sebagai
sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan pelayanan
bagi masyarakat.
Pada dasarnya pembentukan satu daerah dalam struktur Negara Indonesia
sebagai subsistem dimaksudkan demi meningkatkan pelayanan publik guna
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping sebagai sarana
pendidikan politik di tingkat lokal.25 Pemekaran wilayah dipahami sebagai wujud
kedewasaan dan harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi daerah
dan masyarakatnya yang diharapkan mampu menjadi media untuk membuka
simpul-simpul keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang
terlalu luas, sehingga perlu dibuka kesempatan bagi daerah tersebut untuk
mendirikan pemerintahan sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki.26
25
B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 109.
26
25
Djohermansyah Djohan dalam “Blue Print Otonomi Daerah Indonesia”
menjelaskan konsep pemekaran daerah dari tiga dimensi, yaitu: dimensi politik,
dimensi administrasi/teknis, dan dimensi kesenjangan wilayah.27
a. Dimensi Politik
Kebutuhan akan desentralisasi atau pembentukan daerah otonom sejak
awal sebenarnya bukan didasarkan pada pertimbangan teknis, tetapi merupakan
hasil dari tarik menarik atau konflik politik antara daerah dan pusat. Dimensi
politik dari pembentukan daerah yaitu pemerintahan yang dilokalisir sebagai
bagian dari suatu landasan untuk kesamaan dan kebebasan politik. Dimensi politik
desentralisasi mencakup beberapa faktor, antara lain: 1). Faktor geografis, 2).
Faktor sosial-budaya, 3). Faktor demografi, dan 4). Faktor sejarah.
Faktor geografi pembentukan daerah otonom adalah faktor yang terkait
dengan pembentukan daerah otonom sebagai akibat munculnya ikatan-ikatan yang
bermotif politik antara masyarakat yang tinggal di suatu daerah. Ikatan tersebut
dapat dilatarbelakangi oleh kesatuan geografis maupun sejarah, sehinngga
masyarakat merasa dihubungkan oleh suatu ikatan secara politis. Kuat lemahnya
ikatan tersebut sangat tergantung kepada seberapa besar daya tarik politik
terhadap hadirnya kesatuan masyarakat tersebut sebagai suatu kesatuan politis.
Faktor sosial budaya mengansumsikan jika suatu masyarakat terikat
dengan suatu sistem budaya tersendiri yang memberi perbedaan identitas budaya
dengan masyarakat lain, maka secara politis ikatan kesatuan masyarakat tersebut
27
26
akan lebih kuat. Faktor ini secara langsung terkait dengan persoalan etnisitas dan
mungkin saja keagamaan.
Faktor demografi mengansumsikan bahwa homogenitas penduduk akan
mendorong lahirnya kesatuan penduduk secara politis. Suatu masyarakat dengan
penduduknya yang homogen, akan memiliki tingkat kesatuan politis yang lebih
tinggi dibanding masyarakat yang heterogen, jika faktor homogenitas ini
dikolaborasikan dengan kesatuan secara geografis, maka secara politis kekuatan
pembentukan kesatuan masyarakat tersebut akan lebih kuat dan secara langsung
akan semakin mendorong tuntutan terbentuknya daerah otonom.
Faktor sejarah memberikan asumsi bahwa struktur sejarah kepemerintahan
masa lalu dari suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap keinginan masyarakat
tersebut menjadi suatu daerah otonom. Meskipun sejarah kadang-kadang
berlangsung secara terputus-putus dalam kurun waktu yang cukup panjang, tetapi
tetap menjadi salah satu faktor yang sering mengikuti kemunculan suatu daerah
otonomi. Apalagi jika simbol-simbol sejarah tersebut masih kental dalam suatu
masyarakat, walaupun hanya dalan bentuk tatanan dan upacara-upacara budaya.
Faktor-faktor di atas pada dasarnya tidak berdiri sendiri. Keempat faktor
politis itu saling terkait dan saling berhubungan dalam proses pembentukan suatu
daerah otonom. Biasanya salah satu faktor diantara keempat faktor tersebut ada
yang lebih dominan dibanding faktor lainnya, tetapi kadang semua faktor di atas
27 b. Dimensi Administrasi/Teknis
Kebutuhan desentralisasi dari perspektif administrasi adalah untuk
membangun hubungan dengan wilayah pelayanan dengan membentuk organisasi
pelaksana di wilayah kerja atau daerah untuk sejumlah tugas-tugas.
Wilayah-wilayah yang diberi status otonom atau yang didesentralisasikan diyakini akan
meningkatkan pelaksanaan administrasi dan pelayanan kepada masyarakat, karena
desentralisasi dapat memberi peluang pada penyesuaian administrasi dan
pelayanan terhadap karakteristik wilayah-wilayah yang beraneka ragam sebagai
konsekuensi dari perbedaan-perbedaan yang membentuk geografis. Geografi
dalam pengertian fisik menjadi dasar penentuan batas-batas administrasi, dimana
suatu wilayah geografis dengan wilayah yang relaif kecil diharapkan tepat untuk:
1) Pelayanan lebih optimal, karena wilayah pelayanan relatif sempit.
2) Pemerintahan lebih responsif karena lebih dekat dengan komunitas
yang dilayani.
3) Partisipasi masyarakat lebih meluas karena akses masyarakat yang
relatif terbuka.
4) Konsultasi masyarakat menjadi lebih mudah karena kedekatan instansi
pemerintahan dengan masyarakat.
5) Pengawasan menjadi lebih efektif karena wilayah pengawasan yang
relatif sempit.
Dari sudut pandang administrasi, pemberian desentralisasi selain
menyangkut soal teknis pelaksanaan juga pembentukan kelembagaan yang
aspek-28
aspek ekonomi. pembahasan aspek-aspek ekonomi sebagai dasar pembentukan
daerah otonom baru muncul setelah banyaknya berkembang kota-kota yang
tumbuh sebagai akibat dari perkembangan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi, khususnya industrialisasi telah melahirkan konsep baru tentang
kemunculan daerah otonom. Menurut teori ini, daerah otonom tidak mungkin
terbentuk jika daerah tidak dapat memenuhi pelayanan minimal yang dibutuhkan
oleh masyarakat.
c. Dimensi Kesenjangan Wilayah
Banyak kasus dalam penyelenggaraan pemerintahan nasional dalam
hubungannya dengan pemerintahan daerah sering terjadi ketidakseimbangan
perkembangan antar daerah. Ada daerah yang menjadi sangat maju, tetapi
sebaliknya ada daerah yang relatif tidak berkembang dan bahkan mengalami
kemunduran setelah berjalannya pemerintahan.
Hubungan antar daerah yang maju dengan yang kurang maju tersebut
tidaklah menimbulkan permasalahan, sepanjang hubungan tersebut bersifat
komplementer. Tetapi berbeda jika hubungannya berkembang jauh menjadi
kooptasi daerah maju terhadap daerah kurang maju, sehingga menimbulkan
perlawanan dari daerah kurang maju. Konsep inilah yang melandasi pemikiran
hubungan antara daerah dalam melihat persoalan pembentukan daerah otonom.
Menurut teori ini daerah otonom terbentuk karena munculnya kesenjangan antara
wilayah dalam suatu daerah.
Kota Tangerang Selatan sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran
29
Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan
Daerah. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa pembentukan daerah harus memenuhi
syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Syarat administratif meliputi
persetujuan DPRD kabupaten/kota induk, persetujuan Bupati/Walikota yang
bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur, serta rekomendasi dari
Menteri Dalam Negeri. Sementara syarat teknis meliputi faktor kemampuan
ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,
pertanahan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat,
dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintah daerah. Sedangkan persyaratan
fisik meliputi paling sedikit 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi
calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintah. Dengan demikian, Kota
Tangerang Selatan telah resmi menjadi daerah otonom baru dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Tangerang
Selatan.
Pemekaran wilayah di satu sisi perlu di syukuri karena memberikan tempat
bagi aspirasi, keberagaman dan otonomi lokal. Namun di sisi lain fenomena
pemekaran wilayah dirasa cukup mengkawatirkan melihat pemekaran daerah
terwujud hanya demi kepentingan politik segelintir orang, sehingga menyebabkan
persoalan seperti tidak tersedianya infrastruktur, pembiayaan dan personil, dan
ketergantungan kepada daerah induk dan pemerintah pusat. Bahkan dibeberapa
daerah muncul konflik horizontal antar masyarakat daerah dan konflik vertikal
antara daerah pemekaran dan daerah induk.28
28
30
Contoh permasalahan yang timbul di daerah-daerah pemekaran
misalnya:29 1). Konflik dengan kekerasan; 2). Menurunnya jumlah penduduk dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara drastis; 3). Menyempitnya luas wilayah
dan beban daerah induk; 4). Perebutan wilayah dan masalah ibukota pemekaran,
dan; 5). Perebutan aset daerah.
2. Hak dan Kewajiban Daerah
Setelah dilakukan pemekaran wilayah dengan disahkannya sebuah daerah
menjadi daerah otonom baru, daerah mempunya hak dan kewajiban dalam
menjalankan pemerintahan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah,
daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dimana dalam
penyelenggaraan otonomi, daerah mempunyai hak yang diatur dalam pasal 21
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai berikut:30
a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. Memilih pimpinan daerah;
c. Mengelola aparatur daerah;
d. Mengelola kekayaan daerah;
e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f. Mendapatkan hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah;
g. Mendapatkan sumber-sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
29
Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah; Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 16-17.
30
31
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan dalam pasal 22 dijelaskan dalam menyelenggarakan otonomi,
daerah mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. mengembangkan sistem jaminan sosial;
i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. melestarikan lingkungan hidup;
l. mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Daerah otonomi baru juga mendapatkan pembinaan awal dari pemerintah
32
Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah. Dijelaskan dalam pasal
24 Pemerintah melakukan pembinaan melalui fasilitasi terhadap daerah otonom
baru sejak peresmian daerah dan pelantikan pejabat kepala daerah. Pemberian
fasilitasi tersebut berupa:31
a. Penyusunan perangkat daerah;
b. Pengisian personil;
c. Pengisian anggota DPRD;
d. Penyusunan APBD;
e. Pemberian hibah dari daerah induk dan pemberian bantuan dari
provinsi;
f. Pemindahan personil, pengalihan aset, pembiayaan dan dokumen;
g. Penyusunan rencana umum tata ruang daerah; dan
h. Dukungan bantuan teknis infrastruktur penguatan investasi daerah.
Dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah daerah mempunyai
kewenangan dalam menjalankan urusan yang menjadi urusan wajib dan urusan
pilihan yang diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dan Perarturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007.
Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan
oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota yang
berkaitan dengan pelayanan dasar. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 terdapat urusan
wajib, yaitu urusan wajib provinsi dan urusan wajib kabupaten/kota. Sedangkan
31
33
dalam PP No.38 Tahun 2007, urusan wajib pemerintah daerah tidak dibagi dua
seperti yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004.
Urusan wajib kabupaten/kota yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UU
No. 32 Tahun 2004 meliputi:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitasi pengambangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
34
Dalam PP No. 38 tahun 2007 pasal 7 ayat (2) urusan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan
kabupaten/kota meliputi:
a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Lingkungan hidup;
d. Pekerjaan umum;
e. Penataan ruang;
f. Perencanaan pembangunan;
g. Perumahan;
h. Kepemudaan dan olahraga;
i. Penanaman modal;
j. Koperasi, dan usaha kesil dan menengah;
k. Kependudukan dan catatan sipil;
l. Ketenagakerjaan;
m. Ketahanan pangan;
n. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. Perhubungan;
q. Komunikasi dan informatika;
r. Pertanahan;
35
t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
u. Pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. Sosial;
w. Kebudayaan;
x. Statistik;
y. Kearsipan; dan
z. Perpustakaan.
Urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Hal ini terdapat dalam
pasal 13 ayat (2) dan pasal 14 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
Sementara itu, dalam pasal 7 ayat (3) PP No. 38 Tahun 2007, urusan
pilihan pemerintahan daerah meliputi:
a. Kelautan dan perikanan;
b. Pertanian;
c. Kehutanan;
d. Energy dan sumber daya mineral;
e. Pariwisata;
f. Industri;
g. Perdagangan; dan
36
Aset daerah menjadi salah satu hak daerah pemekaran demi kelancaran
kegiatan pemerintahan daerah. Kota Tangerang Selatan mempunyai hak atas aset
daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008
Tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Proses penyerahan aset daerah
diatur dalam pasal 13, sebagai berikut:
1) Bupati Tangerang bersama Penjabat Walikota Tangerang Selatan
menginventarisasi, mengatur, serta melaksanakan pemindahan personel,
penyerahan aset dan dokumen kepada Pemerintah Kota Tangerang
Selatan.
2) Pemindahan personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lambat 6 (enam) bulan sejak pelantikan penjabat walikota.
3) Penyerahan aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lambat 5 (lima) tahun sejak pelantikan penjabat walikota.
4) Personel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi
pegawai negeri sipil yang karena tugas dan kemampuannya diperlukan
oleh Kota Tangerang Selatan.
5) Pemindahan personel serta penyerahan aset dan dokumen kepada
Pemerintah Kota Tangerang Selatan difasilitasi dan dikoordinasikan oleh
Gubernur Banten.
6) Gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) selama belum ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
37
belanja dari asal satuan kerja personel yang bersangkutan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
7) Aset dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
meliputi:
a. barang milik dan/atau yang dikuasai baik barang bergerak maupun
tidak bergerak dan/atau yang dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota
Tangerang Selatan yang berada dalam wilayah Kota Tangerang
Selatan;
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Tangerang yang
kedudukan, kegiatan, dan lokasinya berada di Kota Tangerang Selatan;
c. utang piutang Kabupaten Tangerang yang kegunaannya untuk Kota
Tangerang Selatan; dan
d. dokumen dan arsip yang karena sifatnya diperlukan oleh Kota
Tangerang Selatan.
8) Apabila penyerahan dan pemindahan aset serta dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) tidak dilaksanakan oleh Bupati Tangerang,
Gubernur Banten selaku wakil Pemerintah wajib menyelesaikannya.
9) Pelaksanaan pemindahan personel serta penyerahan aset dan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Gubernur Banten
kepada Menteri Dalam Negeri.
Daerah dalam menjalankan otonomi diberi hak, kewenangan, dan
kewajiban untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
38
daerah. Pengelolaan barang milik daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 152 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah
dinyatakan dalam Pasal 2 bahwa Pengelolaan Barang Daerah, sebagai bagian dari
Pengelolaan Keuangan Daerah, dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan
barang Pemerintah.
Kabupaten Tangerang mengelola barang milik daerah salah satunya
dengan mendirikan Perusahaan Daerah. Terkait dengan pasar tradisional,
didirikan PD.Pasar Niaga Kerta Raharja dengan melalui Peraturan Daerah
Kabupaten Tangerang No. 25 Tahun 2004 Tentang Perusahaan Daerah Niaga
Kerta Raharja Kabupaten Tangerang. Pembentukan ini dijelaskan dalam pasal 2,
sebagai berikut:
1) Dengan Peraturan Daerah ini dibentuk Perusahaan Daerah yang bernama
Perusahaan Daerah Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten Tangerang;
2) Dalam statusnya sebagai badan hukum, Perusahaan Daerah berhak
menyelenggarakan kegiatan usaha perpasaran menurut ketentuan yang
berlaku;
Tempat kedudukan dan wilayah kerja PD.Pasar Niaga Kerta Raharja di
jelaskan dalam pasal 3 dan pasal 4, tempat kedudukan dalam pasal 3 disebutkan
Perusahaan Daerah berkedudukan di Daerah. Wilayah kerja disebutkan dalam
pasal 4, sebagai berikut:
1) Untuk menyelenggarakan kegiatan dan usaha sebagaimana dimaksud
pada pasal 2 ayat (2), perusahaan Daerah memiliki wilayah kerja yang
39
2) Perusahaan Daerah dapat menyelenggarakan kegiatan dan usaha diluar
wilayah kerja yang ditetapkan pada ayat (1), sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Perusahaan Daerah melakukan kegiatan secara otonom dan mandiri
termasuk dengan pihak-pihak yang berkeinginan untuk kerjasama sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas dan tujuan dijelaskan dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 8.
Dalam pasal 5 disebutkan bahwa Perusahaan Daerah dalam melaksanakan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi yang mengedepankan profesionalisme,
transparansi dan akuntabilitas. Tujuan dari PD.Pasar dijelaskan dalam pasal 6,
yaitu:
1) Melakukan perencanaan, pengembangan dan atau pembangunan pasar;
2) Pemeliharaan dan pengawasan terhadap pasar;
3) Pelaksanaan pembinaan terhadap para pedagang/pelaku usaha dan
masyarakat pengguna pasar;
4) Pemberian fasilitas dalam rangka penciptaan stabilitas harga dan
kelancaran arus distribusi barang dipasar;
5) Meningkatkan nilai ekonomi dari Pasar Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Pasal 7 menjelaskan dalam rangka pelaksanaan asas dan tujuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pasal 6, Perusahaan Daerah dapat
mengadakan hubungan kerjasama dengan institusi pemerintahan dan atau institusi
non-pemerintahan, baik di dalam maupun diluar Daerah. Selanjutnya, Pasal 8