TESIS
Oleh
RASYID ASSAF DONGORAN
057004018/PSL
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RASYID ASSAF DONGORAN
057004018/PSL
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : Rasyid Assaf Dongoran Nomor Pokok : 057004018
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S) Ketua
(Dr. Delvian, S.P., M. P) (Ir. Mozart B. Darus, MBA., MSc)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S Anggota : 1. Dr. Delvian, S.P., M. P
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami dibawah bimbingan Retno Widhiastuti, Delvian dan Mozart B. Darus.
Penelitian ini dilaksanakan di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan, Kabupaten Simeulue, Propinsi Aceh, dengan tujuan untuk mengetahui hubungan persepsi dan partisipasi serta bentuknya masyarakat dalam pengelolaan kawasan ekosistem mangrove serta hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif, dimana analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Responden penelitian terdiri dari masyarakat di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan tersebut yang secara langsung menerima manfaat dan akibat dari pengelolaan yang kawasan mangrove yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuisioner, observasi lapangan dan wawancara secara terstruktur dengan masyarakat yang dipilih menjadi responden dalam penelitian ini.
Hasil penelitian berdasarkan indikator yang ditentukan menunjukkan lebih dari sebagian besar responden mengungkapkan bahwa pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan tidak bagus. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove berdasarkan aspek yang diperhatikan menunjukkan bahwa bentuk partisipasi yang terjadi adalah partisipasi perwakilan. Terdapat hubungan yang cukup nyata antara korelasi karakteristik terhadap persepsi responden, sehingga kekuatan korelasi karakteristik terhadap persepsi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah lemah, walaupun ada beberapa variabel yang cukup kuat seperti variabel pengalaman dan harapan responden.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kekuatan korelasi antara persepsi terhadap partisipasi masyarakat sedang saja, dan berdasarkan model partisipasi yang diinginkan maka bentuk partisipasi yang diinginkan masyarakat adalah bentuk partisipasi perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dengan menempatkan perwakilan masyarakat untuk menentukan kebijakan pengelolaan yang diambil. Selanjutnya tingkatan partisipasi masyarakat berada pada tingkat partisipasi fungsional.
Ecosystem Management on Post Tsunami under supervised by Retno Widhiastuti, Delvian and Mozart B. Darus.
This research had been done in twenty-seven villages, six sub-districts, Simeulue District, Aceh Province, with the aim of knowing perception relations and participation as well as the form of community in mangrove ecosystem management and the relations between factors which had influenced to perception and community participation.
The research methodology which used is quantitative method, where the analysis of the data had been done with the descriptive analysis. Respondent research consisted of community in twenty-seven villages in six sub-districts who directly accepted the benefit and result from this activity. The data collection were had been done with questionnaire, observation and interview structure with chosen community as respondent in this research.
Results of the research were based on the indicator determined which showed more than most respondents said that the mangrove management was not good. The form of community participation in mangrove management based on the aspect was delegation's participation. Gotten by relations were real enough between the characteristics correlation towards the perception of the respondent, so as the strength of the characteristics correlation towards community perception in mangrove management were weak, though had several variables which were strong enough such the experience variable and hope of the respondent.
Based on results of the research was obtained by the strength of the correlation between the perception towards community participation was an average, and based on the participation model which are wanted then the form of community participation was delegation participation. This showed that the community participation by placing people representative to determine the management policy to be taken. Further the community participation phase was in the level of functional participation.
maka penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Judul dari penelitian ini adalah Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami.
Pada kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan berbagai fasilitas yang mendukung penyelesaian studi penulis di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Prof. Dr. Erman Munir, MSc selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pengelolan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Dr. Delvian, SP., MP serta Ir. Mozart B. Darus, MBA., MSc selaku ketua, dan anggota komisi pembimbing, atas semua pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, kesabaran dan dorongan serta motivasi yang telah diberikan kepada penulis hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.
5. Prof. Dr. Badaruddin, MS dan Prof. Dr. Ramli, MS selaku tim penguji yang telah banyak memberikan nasehat dan masukan kepada penulis.
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU.
8. Sdr Dony Saputra, SSos yang telah banyak membantu serta keluarga besar Yayasan Akasia Indonesia-Sumatra Rainforest Institute (SRI) serta teman-teman PSL angkatan 2005 SPs USU.
Semoga Tesis ini bermanfaat.
NIM : 057004018
TEMPAT/TANGGAL LAHIR : BINJAI, 6 FEBRUARI 1976
JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI
AGAMA : ISLAM
AYAH : ASLIN DONGORAN,SH
IBU : MASKOT BR RITONGA
RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun 1988/1989 : Lulus Sekolah Dasar Pada SD Negeri
060851 Medan
Tahun 1991 : Lulus Sekolah Menengah Pertama Pada
SMP Negeri 11 Medan
Tahun 1994 : Lulus Sekolah Menengah Atas Pada
SMA Negeri 2 Bukit Tinggi
Tahun 2003 : Lulus Strata-1 Pada FMIPA,
Program Studi Biologi,
Universitas Sumatera Utara,Medan
RIWAYAT PEKERJAAN
Tahun 2003-2005 : Staff Pengajar, Universitas Sumatera
(US), Kab Rokan Hilir, Propinsi Riau
Tahun 2006 – 2007 : Staff RTI International-Indonesia pada
Local Governance Support Program United States Agency for International
Development (USAID)
Tahun 2007- 2009 : Staff German Agro
4.1.2. Persepsi Responden Tentang Pengelolaan Kawasan
Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 43
4.1.3. Partisipasi Responden Terhadap Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 49
4.1.4. Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi Tentang Pengelolaan Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 57
4.1.5. Hubungan Antara Persepsi Responden dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 61
4.2. Pembahasan ... 63
4.2.1. Karakteristik Responden... 63
4.2.2. Persepsi Responden Tentang Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 65
4.2.3. Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove ... 68
4.2.4. Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi ... 72
4.2.5. Hubungan Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 75
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
5.1. Kesimpulan ... 77
5.2. Saran ... 78
1. Penyebaran Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue Tahun 2003 .... 3
2. Distribusi Kecamatan dan Desa Pesisir dengan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 30
3. Distribusi Penggenapan Sampel ... 32
4. Kekuatan Korelasi ... 35
5. Distribusi Responden Menurut Umur ... 37
6. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 38
7. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan ... 39
8. Distribusi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga ... 40
9. Distribusi Responden Menurut Lama Bermukim di Desa ... 41
10. Distribusi Responden Berdasarkan Manfaat Kawasan yang Dirasakan ... 42
11. Distribusi Responden Berdasarkan Harapan Terhadap Kawasan Mangrove ... 43
12. Persepsi Responden Tentang Lokasi Kawasan Hutan Mangrove ... 44
13. Persepsi Masyarakat Tentang Kawasan Hutan Mangrove Sebagai Lahan Untuk Perikanan Yang Menguntungkan ... 45
14. Persepsi Masyarakat Tentang Kawasan Mangrove Yang Berfungsi sebagai Kawasan Filter Air Laut ... 46
15. Pendapat Mengenai Kawasan Hutan Mangrove yang Berfungsi Sebagai Pemecah Ombak ... 46
16. Persepsi Tentang Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 47
17. Persepsi Mengenai Manfaat Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 48
18. Persepsi Mengenai yang Melakukan Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 49
19. Faktor yang Mendasari Keikutsertaan Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove ... 50
20. Alasan atau Pertimbangan Akan Ikut Terlibat dalam Kegiatan Pengelolaan ... 51
Setiap Keputusan Yang Dikeluarkan dalam Pengelolaan Kawasan
Mangrove ... 53 24. Pendapat Mengenai Apakah Setiap Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan
Mangrove Sebaiknya Dikonsultasikan kepada Masyarakat ... 53 25. Pendapat Mengenai Apakah Keterlibatan Masyarakat Dilakukan ketika
Ada Kegiatan atau Proyek saja ... 54 26. Pendapat Mengenai Apakah Keterlibatan Masyarakat Dimulai dari Awal
Sampai Akhir Kegiatan Pengelolaan ... 55 27. Pendapat Mengenai Bagaimana Sebaiknya dalam Melakukan
Perencanaan terhadap Kegiatan Pengelolaan ... 56 28. Pendapat Mengenai Bagaimana Sebaiknya Untuk Memutuskan Rencana
Penetapan Wilayah atau lokasi Kegiatan ... 56 29. Hubungan Umur Responden dengan Persepsi tentang Pengelolaan
Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue... 57 30. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Persepsi dalam Pengelolaan
Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 58 31. Hubungan Pekerjaan Responden Dengan Persepsi Pengelolaan Kawasan
Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue... 58 32. Hubungan Jumlah Tanggungan dengan Persepsi Masyarakat dalam
Pengelolaan Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 59 33. Hubungan Lama Bermukim Responden dengan Persepsi tentang
Pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 59 34. Hubungan Pengalaman Responden dengan Persepsi tentang Pengelolaan
Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 60 35. Hubungan Harapan Responden dengan Persepsi Masyarakat Terhadap
Nomor Judul Halaman
Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami dibawah bimbingan Retno Widhiastuti, Delvian dan Mozart B. Darus.
Penelitian ini dilaksanakan di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan, Kabupaten Simeulue, Propinsi Aceh, dengan tujuan untuk mengetahui hubungan persepsi dan partisipasi serta bentuknya masyarakat dalam pengelolaan kawasan ekosistem mangrove serta hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif, dimana analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Responden penelitian terdiri dari masyarakat di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan tersebut yang secara langsung menerima manfaat dan akibat dari pengelolaan yang kawasan mangrove yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuisioner, observasi lapangan dan wawancara secara terstruktur dengan masyarakat yang dipilih menjadi responden dalam penelitian ini.
Hasil penelitian berdasarkan indikator yang ditentukan menunjukkan lebih dari sebagian besar responden mengungkapkan bahwa pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan tidak bagus. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove berdasarkan aspek yang diperhatikan menunjukkan bahwa bentuk partisipasi yang terjadi adalah partisipasi perwakilan. Terdapat hubungan yang cukup nyata antara korelasi karakteristik terhadap persepsi responden, sehingga kekuatan korelasi karakteristik terhadap persepsi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah lemah, walaupun ada beberapa variabel yang cukup kuat seperti variabel pengalaman dan harapan responden.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kekuatan korelasi antara persepsi terhadap partisipasi masyarakat sedang saja, dan berdasarkan model partisipasi yang diinginkan maka bentuk partisipasi yang diinginkan masyarakat adalah bentuk partisipasi perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dengan menempatkan perwakilan masyarakat untuk menentukan kebijakan pengelolaan yang diambil. Selanjutnya tingkatan partisipasi masyarakat berada pada tingkat partisipasi fungsional.
Ecosystem Management on Post Tsunami under supervised by Retno Widhiastuti, Delvian and Mozart B. Darus.
This research had been done in twenty-seven villages, six sub-districts, Simeulue District, Aceh Province, with the aim of knowing perception relations and participation as well as the form of community in mangrove ecosystem management and the relations between factors which had influenced to perception and community participation.
The research methodology which used is quantitative method, where the analysis of the data had been done with the descriptive analysis. Respondent research consisted of community in twenty-seven villages in six sub-districts who directly accepted the benefit and result from this activity. The data collection were had been done with questionnaire, observation and interview structure with chosen community as respondent in this research.
Results of the research were based on the indicator determined which showed more than most respondents said that the mangrove management was not good. The form of community participation in mangrove management based on the aspect was delegation's participation. Gotten by relations were real enough between the characteristics correlation towards the perception of the respondent, so as the strength of the characteristics correlation towards community perception in mangrove management were weak, though had several variables which were strong enough such the experience variable and hope of the respondent.
Based on results of the research was obtained by the strength of the correlation between the perception towards community participation was an average, and based on the participation model which are wanted then the form of community participation was delegation participation. This showed that the community participation by placing people representative to determine the management policy to be taken. Further the community participation phase was in the level of functional participation.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam
lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan
mangrove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Sifat fisik
mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan intrusi dan abrasi
laut. Proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi mampu menunjang
kehidupan makhluk hidup di dalamnya (Arief, 2003).
Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan
sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, dan
lingkungan hidup namun semakin hari semakin kritis ketersediaannya. Di beberapa
daerah pesisir di Indonesa sudah terlihat adanya pendegradasian ekosistem mangrove
akibat penebangan mangrove yang dilakukan secara berlebihan. Mangrove telah
dirubah menjadi fungsi yang lain dikarenakan berbagai kegiatan pembangunan.
Beberapa sektor pembangunan yang terkait, secara langsung maupun tidak
langsung, dengan kawasan konservasi pesisir adalah pengembangan kawasan
pemukiman, industri, rekreasi dan pariwisata, transportasi, budidaya tambak, serta
kehutanan dan pertanian. Selain itu potensi ekonomi kawasan mangrove cukup tinggi
yang didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75 % dari luas ekosistem
mangrove di Asia STenggara. Sebaran ekosistem mangrove di Indonesia terutama di
wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Luas sebaran ekosistem mangrove
terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,24 juta
hektar pada tahun 1987, dan tinggal 2,50 hektar pada tahun 1990. Penurunan luasan
ekosistem mangrove tersebut menunjukan bahwa degradasi kawasan mangrove cukup
tinggi dengan laju 200 ribu hektar/tahun (Dahuri, 1996). Permasalahan utama yang
sering kali menjadi penyebab pendegradasian kawasan mangrove adalah
pembangunan tambak liar, pengembangan kawasan pariwisata yang tidak akrab
lingkungan, perubahan fungsi lahan menjadi perkebunan, kemudian berkembangnya
kawasan pemukiman di garis hijau pantai (mangrove zone).
Pertambahan penduduk terutama di daerah pantai menyebabkan perubahan
tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, sehingga
kawasan mangrove makin cepat menipis dan rusak di seluruh hutan tropis. Kondisi
ini menyebabkan kawasan mangrove menjadi perhatian yang serius.
Secara garis besar ada dua faktor penyebab rusaknya kawasan mangrove,
yaitu: faktor manusia, yang merupakan faktor dominan yang menjadi penyebab utama
kerusakan dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan dan faktor alam, seperti:
banjir, kekeringan, dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab kerusakan
Setelah terjadinya bencana alam tsunami pada akhir 2004 dan gempa bumi di
tahun 2005 maka pemerintah kabupaten Simeulue melalui Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Non Government Organisasion (NGO) lokal dan
internasional beserta segenap potensi masyarakat sedang melakukan proses
rehabilitasi dan rekonstruksi pada semua sektor, termasuk rehabilitasi dan
pengembangan ekosistem mangrove.
Pulau Simeulue merupakan salah satu dari gugusan pulau-pulau di sebelah
barat pulau Sumatera. Topografinya berbukit dengan sedikit daerah landai dekat
pesisir. Sebahagian besar wilayah pantainya merupakan pantai berbatu/berpasir dan
sebahagian lain merupakan pantai berlumpur dengan tumbuhan mangrove. Pulau
Simeulue mempunyai hutan yang masih cukup baik. Berdasarkan data yang diperoleh
dari dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Simeulue, luas total kawasan ekosistem
mangrove di kabupaten Simeulue adalah 2.779,97 Ha (Tabel 1). Sebaran mangrove di
pulau Simeulue terletak di Teluk Sinabang, Teluk Sibigo, Teluk Dalam, Teluk
Salang. Sementara sebahagian kecil kawasan mangrove tersebar secara periodik di
beberapa lokasi, antara lain di desa Alus-alus dan Labuan Bakti.
Tabel 1. Penyebaran Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue Tahun 2003
No Penyebaran/Lokasi Luas (Ha)
1 Teluk Sinabang 408.31
2 Teluk Dalam 1,492.41
3 Teluk Sibigo 388.26
4 Teluk Lewak 84.45
5 Teluk Salang 213.50
7 Teluk Besung 19.15
8 Lokasi lain 92,45
Total 2,779.97
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue 2003
Bagi masayarakat pesisir pada umumnya dan masyakat Simeulue khususnya,
keberadaan kawasan mangrove bukan hanya berfungsi sebagai kawasan hijau saja,
tetapi menyangkut kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kawasan mangrove
merupakan tempat bagi masyarakat untuk mencari sumber-sumber dalam upaya
pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks sosial masyarakat keberadaan kawasan
mangrove menjadi penting sebagai pelindung desa dari pasang air laut dan tsunami.
Dari dua aspek penting ini maka keberadaan kawasan mangrove menjadi sangat perlu
dijaga kelestariannya.
Berdasarkan hal tersebut, peran serta masyarakat sebagai aktor yang sangat
berkepentingan terhadap manfaat dari keberadaan mangrove sangat penting untuk
menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah
penelitian yang mampu menyajikan penjelasan tentang persepsi dan hubungannya
dengan partisipasi masyarakat Kabupaten Simeulue dalam proses pembangunan
kembali daerah setelah bencana khususnya dalam konteks pengelolaan ekosistem
mangrove.
1.2. Perumusan Masalah
Kawasan mangrove yang berada di wilayah Pulau Simeulue mempunyai
konservasi keanekaragaman hayati, tata air dan peningkatan perekonomian
masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten
Simeulue haruslah dikelola secara baik dengan memperhatikan fungsi-fungsi
kawasan secara berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat
yang ada disekitarnya.
Di lain sisi, karena kawasan ekosistem mangrove terletak di wilayah daerah
pemukiman masyarakat, maka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan
ekosistem mangrove menjadi penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang
lestari dan berkelanjutan. Dengan demikian perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana gambaran kondisi kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten
Simeulue setelah terjadinya bencana alam tsunami.
2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove setelah
terjadinya bencana alam tsunami.
3. Bagaimana hubungan persepsi masyarakat dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
1.3. Kerangka Pemikiran
Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat mempengaruhi
keberhasilan proses pembangunan itu sendiri, secara ideal partisipasi masyarakat
dan harapan masyarakat sendiri yang diaktualisasikan dalam suatu kegiatan
berkelanjutan. Partisipasi masyarakat itu sendiri dalam implementasi kebijakan
pengelolaan ekosistem mangrove di pengaruhi oleh beberapa faktor keberhasilan,
dimana berhasil atau tidaknya proses pengelolaan yang dilaksanakan antara lain
dipengaruhi oleh persepsi masyarakat setempat terhadap lokasi, manfaat, dan
pengelolaan hutan mangrove. Pengaruh dari faktor inilah yang mendasari keterlibatan
masyarakat dengan kesadaran dan tanggung jawab terhadap keberhasilan maupun
kegagalan pengelolaan ekosistem mangrove yang dilakukan.
Pada sisi lain, persepsi seseorang juga dipengaruhi oleh latar belakang
pengalaman dan karakteristik seseorang antara lain: umur, pendidikan, pekerjaan,
jumlah tanggungan, lama bermukim, pengalaman, harapan, dan lain sebagainya.
Partisipasi seseorang berhubungan dengan persepsi dan karakteristiknya. Apabila
seseorang mempunyai persepsi yang positif karena stimulan informasi tentang
sesuatu maka kecenderungannya akan bertindak atau berprilaku secara positif juga
terhadap kegiatan yang memang diinginkannya.
Secara jelas kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan dalam skema
berikut ini:
Partisipasi Dalam Pengelolaan 1. Tingkat Keterlibatan 2. Jenis Keterlibatan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran 1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui gambaran kondisi kawasan ekosistem mangrove di
Kabupaten Simeulue setelah terjadinya tsunami.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan hutan mangrove pasca terjadinya gempa bumi dan tsunami.
3. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove.
1.5. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan nyata antara karakteristik sosial masyarakat dengan
persepsi terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.
2. Terdapat hubungan yang mempengaruhi antara persepsi masyarakat
dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
1.6. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis penelitian ini diharapkan akan menambah khazanah
penelitian tentang partisipasi masyarakat terhadap suatu kondisi yang
berhubungan dengan upaya pelestarian suatu kawasan setelah terjadinya
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sabagai bahan masukan
bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Simeulue dalam
pengelolaan ekosistem mangrove serta pihak-pihak yang membutuhkan
untuk mengevaluasi dan menindaklanjuti kegiatan dan aktifitas masyarakat
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan
Hutan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi negara Indonesia.
Diperkirakan hampir lebih dari setengah penduduk Indonesia menggantungkan hidup
terhadap hutan. Maka dari itu, paradigma pengelolaan hutan yang menekankan
prinsip sustainable harus dipakai demi menjaga kelestarian fungsi hutan. Fungsi
hutan itu sendiri tidak hanya fungsi ekologis, tetapi juga meliputi fungsi ekonomi,
sosial dan budaya.
Pengelolaan hutan terkait dengan pengusahaan hutan dan sumberdaya hutan
yang ada di wilayah tersebut. Berdasarkan fungsi dari hutan dan faktor
ketergantungan masyarakat khususnya di sekitar hutan, pengelolaan hutan harus
memperhatikan berbagai aspek. Penguasaan hutan secara sepihak akan lebih banyak
menimbulkan akses yang tidak baik karena pada hakikatnya hutan adalah milik
bersama. Keterlibatan berbagai pihak sangat diperlukan sebagai stakeholder yang
secara langsung merasakan dampak dari pengelolaan hutan yang dilakukan. Perlu
juga diperhatikan suatu mekanisme yang menjadi aturan bagi stakeholder dalam
dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasaan (Awang, 2003).
Pengelolaan sumberdaya alam dan hutan dilakukan agar tidak terjadinya
proses eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam dan hutan tersebut. Di
Indonesia sendiri sampai sekarang ini telah berkembang beberapa pendekatan yang
diterapkan yaitu: pengelolaan hutan secara terpusat (centralistic management),
pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (community based management). Di
samping itu, ada juga pengelolaan hutan yang diserahkan kepada swasta yang
mengantongi izin pengusahaan hutan. Pengelolaan hutan oleh pihak swasta dilakukan
terhadap hutan-hutan yang ditetapkan sebagai hutan produksi. Hal ini dilakukan
dengan pertimbangan pemerintah atas perhitungan biaya dan tenaga, serta pandangan
penguasaan hutan yang tidak sepihak. Tetapi dalam beberapa kasus yang terjadi,
kenyataannya pengelolaan hutan yang diserahkan kepada swasta justru banyak yang
pada akhirnya menimbulkan masalah. Hal ini terjadi akibat pengelolaan hutan yang
dilakukan lebih mengedepankan dimensi ekonomi dan mengabaikan dimensi
ekologis, seperti pada kasus-kasus HPH yang ada di Indonesia.
Dalam perspektif pengelolaan hutan yang terjadi selama ini, hubungan hutan
dan masyarakat selama ini hanya dilihat sebagai faktor ekonomi belaka, yang
kemudian secara sadar "memarjinalkan" kehadiran masyarakat di dalam membangun
hutan tersebut. Sebahagian masyarakat dijadikan musuh oleh pemerintah karena di
stigmatisasi sebagai perusak sumberdaya alam hutan (SDAH). Selama ini masyarakat
dianggap pesaing dalam pemanfaatan SDAH oleh pengusaha dan pemerintah.
Bukannya masyarakat tidak bersahabat dengan hutan akan tetapi selama ini
masyarakat memang dijauhkan secara politik dan ekonomi oleh pemerintah
(Suporaharjo, 2005).
PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) adalah istilah baru yang
CBFM (Community Based Forest Management) yang dikembangkan oleh DENR
Philipina (Department of Environment and Natural Resources) sejak tahun 1995 atau
sebelumnya.
Konsep pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat merupakan bentuk
pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat yang sesuai dengan karakteristik daerah
dan adat lokal yang ada, serta dilandasi oleh semangat pengelolaan kehutanan secara
sosial.
Melihat fenomena pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia cukup menarik dibandingkan dengan penanganan
sumberdaya alam lainnya. Sumberdaya hutan (SDH) relatif lebih "diobok-obok" oleh
publik, dan hal ini sekaligus memberikan petunjuk bahwa berbagai ragam perubahan
memang diharapkan juga oleh instansi kehutanan, walaupun sering sekali perubahan
itu hanya didefenisikan sendiri oleh institusi tersebut. Publik melihat SDH sering
dengan perspektif masing-masing lalu kemudian cara publik melihat ini telah
melahirkan ragam pengertian dan konsep dalam pembangunan kehutanan.
Menurut ahli kehutanan Westoby, social forestry merupakan satu pendekatan
pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk
perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat. Sementara itu FAO memperkenalkan
istilah Community Forestry (CF) untuk menggambarkan segala macam keadaan yang
melibatkan penduduk lokal dalam kegiatan pembangunan kehutanan (Awang, 2003).
Menurut Foley dan Bernard (1984) dalam Awang (2003) Kehutanan Sosial
semua lahan yang ada dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat
secara aktif guna menyediakan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa
untuk anggota masyarakat desa dan juga kelompok masyarakat. Dalam kaitannya
dengan kehutanan sosial ini, yang paling utama dalam proyek kehutanan sosial
terletak dalam kata "sosial" yang berarti proyek menjamin kebutuhan lokal dengan
memasukkan manfaat bagi masyarakat didalam membuat rancangan kegiatan
kehutanan kembali dan pembagian manfaat hasil hutan tersebut bagi masyarakat
lokal.
Sedangkan menurut Wiersum (1984) dalam Awang (2003) memandang
kehutanan sosial harus merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan
profesionalisme rimbawan yang tujuan khususnya pada peningkatan partisipasi
masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan
mengakomodir aspirasi mereka ke dalam pembangunan di bidang kehutanan.
2.2. Mangrove
Ekosistem mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh
disepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa
disuatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan
reaksi tanah an-aerob. Dengan demikian kawasan mangrove dapat diinterpretasikan
sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang
terlindungi, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari
mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di
sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.
Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak
dan daerah yang landai (Kusmana, 2005).
Ekosistem mangrove, sering disebut dengan sebutan hutan payau atau hutan
bakau. Kawasan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan sub-tropika yang khas,
tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut (Dahuri, 2003).
Menurut FAO (dalam Fahutan IPB, 2005), luas kawasan mangrove di dunia
adalah sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha,
dan Amerika 5.831.000 ha, sedangkan luasan ekosistem mangrove Indonesia
diperkirakan seluas 3.735.250 ha yang tersebar di 13.677 pulau pada garis pantai
lebih dari 81.000 km.
Kawasan mangrove terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Rhizophora,
Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceros,
Scyphyphora, dan Nypa. Sementara itu jenis-jenis tumbuhan mangrove yang
ditemukan di hutan mangrove Indonesia sekitar 89 jenis yang terdiri atas 35 jenis
pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit
(Soemardiharjo, et. al., dalam Fahutan IPB, 2005).
Ekosistem mangrove mempunyai peranan penting dalam menjaga kawasan
yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomi. Secara fisik hutan
mangrove berfungsi sebagai penjaga garis pantai dari erosi agar tetap stabil,
melindungi daerah belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang.
Fungsi ekologis kawasan mangrove adalah sebagai tempat mencari makan dan
berkembang biaknya berbagai jenis ikan, udang dan lainnya. Sedangkan secara
ekonomi kawasan mangrove mempunyai fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan memanfaatkan potensi hasil hutan seperti madu, kayu, dan tempat
rekreasi (Kusmana, 2007).
2.3. Partisipasi Masyarakat
Pembangunan merupakan cara logis yang ditempuh oleh pemerintahan
manapun untuk mewujudkan tujuan masyarakatnya. Pembangunan merupakan
sebuah proses yang panjang dan multi dimensional dalam suatu bangsa. Seperti yang
tertulis dalam UUD 1945 dikatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Maka dalam proses
pembangunan memerlukan modal pembangunan yang meliputi segala potensi yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan ditunjang oleh sebuah pengelolaan pembangunan
yang tepat agar pembangunan dapat terus berlangsung dan berkelanjutan. Adapun
bentuk modal pembangunan yang dimiliki oleh bangsa ini adalah sumberdaya alam
(SDA) dan sumberdaya manusia (SDM), dan tentunya juga dipengaruhi oleh faktor
Sumberdaya manusia dimaksudkan adalah kualitas manusia yang
melaksanakan proses pembangunan, dalam mengelola modal pembangunan.
Demikian juga sumberdaya alam, sebagai sumberdaya yang siap digunakan (ready to
use), memiliki keragaman yang tersebar di wilayah negara ini. Selain itu, perlu
dipahami juga bahwa SDA ini mempunyai keterbatasan jumlah yang harus disingkapi
dengan tepat agar dapat memberikan manfaat dalam pembangunan.
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 ditegaskan bahwa pengelolaan SDA
ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukan bahwa posisi dan fungsi
SDA memegang peranan penting dalam proses pembangunan. Sesuai dengan
semangat landasan konstitual tersebut, maka penyelenggaraan pengelolaan SDA
senantiasa mengandung semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan.
Semangat kerakyatan berarti pembangunan ditujukan untuk kemakmuran rakyat
sepenuhnya. Berkeadilan bermaksud bahwa setiap masyarakat mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam pengelolaan SDA. Berkelanjutan bermaksud bahwa
pengelolaan SDA, untuk masa sekarang juga harus menjamin kehidupan di masa
yang akan datang. Jadi tujuan dari SDA (hutan) untuk masyarakat adalah untuk
meningkatkan standar kehidupan masyarakat, melibatkan masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan yang ada, dan menjadikan masyarakat menjadi lebih dinamis.
Dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dikatakan bahwa hutan merupakan
suatu ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang
didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, satu dengan
pasal 3, dikatakan tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan; menjamin
keberadaan hutan, mengoptimalkan fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah
aliran sungai, dan meningkatkan kemampuan masyarakat secara partisipatif.
Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan,
yang kehidupannya bergantung pada berbagai macam hasil hutan dengan
ketergantungan yang besar maka masyarakat desa hutan memiliki pandangan
terhadap hutan sebagai sumber ekonomi keluarga, sumber bahan pangan, sumber air
dan sumber kebudayaan bagi mereka (Awang, 2003).
Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan keterpaduan antara lingkungan
hidup dan tingkat kemajuan pembangunan. Kedua hal ini sama berperan dalam
mewujudkan keserasian dan keseimbangan dalam pembangunan. Lingkungan hidup
berperan sebagai modal dan harapan pembangunan sedangkan tingkat kemajuan
pembangunan sebagai indikator keberhasilan masyarakat dalam proses pembangunan.
Disini posisi masyarakat merupakan posisi yang penting dalam proses melaksanakan
pembangunan. Pembangunan akan dinilai berhasil jika pembangunan tersebut
membawa perubahan kesejahteraan dalam masyarakat. Pembangunan tidak pernah
mencapai tujuannya jika meninggalkan rakyat. Oleh karena itu proses pembangunan
adalah merupakan proses tawar-menawar antara kebutuhan masyarakat dan keinginan
pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan, partisipasi masyarakat
merupakan hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pembangunan itu
Menurut FAO (Mikkelsen, 2003) mendefenisikan salah satu dari banyak arti
kata partisipasi sebagai berikut, yaitu: keterlibatan masyarakat dalam pembangunan
diri, kehidupan, dan lingkungan hidup mereka.
Dalam pengertian diatas dapat dilihat bahwa partisipasi adalah merupakan
suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari hanya keterlibatan secara jasmaniah
saja yang ditandai dengan kesediaan memberikan sumbangan dalam usaha
pencapaian tujuan bersama dan juga turut bertanggungjawab terhadapi usaha yang
dilakukan dalam pencapaian tujuan tersebut.
Partisipasi menurut Awang (2003) adalah keterlibatan aktif dan bermakna dari
massa penduduk dari tingkatan-tingkatan yang berbeda seperti:
1. Di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan
kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
2. Dalam pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara suka rela dan
pembagian yang merata.
3. Dalam pemanfaatan hasil-hasil dari satu program atau suatu proyek. Hal ini
menjadi penting karena banyak program pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat ternyata justru ditolak oleh masyarakat sendiri.
Steven E. Daniels dan G. B. Walker (Suporaharjo, 2005) menyimpulkan
idealnya, partisipasi masyarakat dapat menjadi forum untuk memadukan nilai-nilai
dan informasi ilmiah dari masyarakat dan lembaga pemerintah sehingga keputusan
dijalankan (layak), selain membuat proses pengambilan keputusan lembaga
pemerintah menjadi transparan, serta memungkinkan masyarakat dan pengadilan
untuk melihat sejauh mana kesungguhan lembaga pemerintah memandang suatu
persoalan. Apabila penanganannya kurang matang, partisipasi masyarakat dapat
menimbulkan kekecewaan atau pengabaian perbadaan-perbedaan nilai yang
mendasar.
Pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan (kehutanan) dapat
mempunyai pengertian luas dan sempit. Sehingga, menurut Awang (2003) partisipasi
dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu; cara pandang dimana partisipasi
merupakan kegiatan pembagian massal dari hasil-hasil pembangunan; cara pandang
dimana masyarakat secara massal telah menyumbang jerih payah dalam
pembangunan; dan bahwa partisipasi harus terkait dengan proses pengambilan
keputusan di dalam pembangunan.
Hobley (dalam Awang 2003) partisipasi masyarakat di bagi dalam tiga
bentuk. Pertama, partisipasi semu yaitu keikutsertaan masyarakat dalam sebuah
kegiatan di mana keikutsertaan itu diukur dari upaya-upaya memobilisasi tenaga kerja
masyarakat dalam kegiatan. Kedua, partisipasi perwakilan yaitu keterlibatan
masyarakat dalam sebuah kegiatan pembangunan diwakili oleh beberapa orang
tertentu saja. Ketiga, partisipasi sejati adalah keikutsertaan yang dilakukan oleh setiap
yang dirasakan memberi manfaat, dan keterlibatan tersebut meliputi semua aktifitas
dari awal sampai akhir proses.
Selanjutnya Hobley (dalam Awang, 2003) merumuskan berbagai tingkatan
dan arti partisipasi berdasarkan pengalamannya dalam melaksanakan kegiatan
pembangunan di Nepal selama 10 tahun:
1. Partisipasi Manipulatif
Karakteristik dari model ini adalah keanggotaan yang bersifat keterwakilan
pada suatu komisi kerja, organisasi, organisasi kerja, atau
kelompok-kelompok dan bukannya pada individu.
2. Partisipasi Pasif
Partisipasi rakyat dilihat dari apa yang telah diputuskan atau apa saja yang
telah terjadi, informasi datang dari administrator tanpa mau mendengar respon
dari masyarakat tentang keputusan atau informasi tersebut.
3. Partisipasi melalui Konsultasi
Partisipasi rakyat dengan berkonsultasi atau menjawab pertanyaan. Orang dari
luar mendefenisikan masalah-masalah dan proses pengumpulan informasi, dan
mengawasi analisis. Proses konsultasi tersebut tidak ada pembagian dalam
pengambilan keputusan, dan pandangan-pandangan tidak dipertimbangkan
oleh orang luar.
Partisipasi rakyat melalui dukungan berupa sumberdaya, misalnya tenaga
kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material lainnya. Mungkin
saja petani menyediakan lahan dan tenaga kerja, tetapi tidak dilibatkan dalam
proses percobaan-percobaan dan pembelajaran. Kelemahan dari model ini
adalah apabila insentif habis, maka teknologi yang digunakan dalam program
tidak akan berlanjut.
5. Partisipasi Fungsional
Partisipasi rakyat dilihat oleh lembaga eksternal sebagai tujuan akhir untuk
mencapai target proyek, khususnya mengurangi biaya. Rakyat mungkin
berpartisipasi melalui pembentukan kelompok untuk penentuan tujuan yang
terkait dengan proyek. Keterlibatan seperti ini mungkin cukup menarik,
karena mereka dilibatkan alam pengambilan keputusan. Tetapi hal ini terjadi
setelah keputusan utamanya telah ditetapkan oleh orang dari luar desa
tersebut. Pendeknya, masyarakat desa dikooptasi untuk melindungi target dari
orang luar desa tersebut.
6. Partisipasi Interaktif
Partisipasi rakyat dalam analisis bersama mengenai pengembangan
perencanaan aksi dan pembentukan serta penekanan lembaga lokal. Partisipasi
lokal dilihat sebagai hak dan tidak hanya merupakan suatu cara untuk
mencapai suatu target proyek saja. Proses pelibatan multi disiplin metodologi,
ada proses belajar yang terstruktur. Pengambilan keputusan bersifat lokal oleh
digunakan, sehingga kelompok tersebut memiliki kekuasaan untuk menjaga
potensi yang ada.
7. Partisipasi Mandiri
Partisipasi rakyat melalui pengambilan inisiatif secara independen dari
lembaga luar untuk perubahan sistem. Masyarakat mengembangkan hubungan
dengan lembaga eksternal untuk advis mengenai sumberdaya dan teknik yang
mereka perlukan, tetapi juga tetap mengawasi bagaimana sumber daya
tersebut digunakan.
Dalam pelaksanaan pembangunan daerah (kehutanan), pemerintah haruslah
mendasarkan pada pengakuan akan peranan penting yang akan dilakukan oleh daerah
sejak dulunya. Menurut Usman (2000) pembangunan daerah sebetulnya bukanlah
semata-mata duplikasi dari pembangunan nasional, dan juga bukan merupakan
bentuk yang lebih kecil dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah
mempunyai karakteristik yang berbeda, dan pola serta spirit yang sesuai dengan
potensi yang dimiliki. Keraf (2002) mengatakan hal yang paling penting dalam
pembangunan pedesaan dalam perspektif etika lingkungan adalah kesamaan
pemahaman dari semua masyarakat adat diseluruh dunia yang memandang dirinya,
alam dan relasi diantara keduanya dalam perspektif yang religius dan spritual. Hal ini
dipahami oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup dengan tujuan menata
pembangunan yang berkelanjutan ekologis, harus disesuaikan dengan pandangan
masyarakat desa terhadap lingkungannya.
2.4. Persepsi
Rakhmad (2000) menjelaskan persepsi sebagai pemahaman tentang objek,
peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli).
Selanjutnya Suwandi dan Hidayat (Rakhmad, 2000) menjelaskan bahwa
persepsi dari sudut komunikasi adalah urutan proses dimana seseorang tertarik pada
suatu pesan, objek, peristiwa, informasi atau rangsangan (attraction), paham pada
pesan (comprehension), mau menerima pesan (acceptability), merasa terlibat didalam
pesan dan merasa membutuhkan pesan (self involvement) serta adanya unsur atau
sifat membujuk yang terdapat didalam pesan yang disampaikan kepada penerima
pesan (persuasion).
Persepsi adalah hasil interaksi antara dua faktor, yaitu faktor rangsangan
sensorik yang tertuju kepada individu atau seseorang dan faktor pengaruh yang
mengatur atau mengolah rangsangan itu secara intrapsikis. Faktor-faktor pengaruh itu
dapat bersifat biologis, sosial dan psikologis. Karena adanya proses saling
mempengaruhi antara kedua faktor tersebut dimana didalamnya bergabung pula
proses asosiasi, maka terjadilah suatu hasil interaksi tertentu yang bersifat “gambaran
Wirawan (1995) menyatakan bahwa persepsi adalah proses pemahaman
terhadap apa yang terjadi di lingkungan. Proses persepsi adalah hasil hubungan antara
manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi)
yang dipengaruhi ingatan tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap dan
intelegensi. Hasil pengamatan terhadap apa yang diinderakan akan mempengaruhi
tingkah laku.
Menurut Krech dan Crutchfield (Rakhmad, 2000) ada 2 faktor yang
mempengaruhi persepsi yaitu faktor fungsional dan faktor struktural.
1. Faktor-Faktor Fungsional
Faktor fungsional biasanya disebut dengan kerangka rujukan (frame of
reference). Kerangka bentuk rangsangan atau stimuli tidak menentukan
persepsi tetapi karakteristik orang yang mendapat stimulan yang menentukan
bagaimana pemaknaan pesan. Seseorang cenderung mempersepsikan bahwa
persaingan bebas merupakan sebuah jalan untuk mencapai kemakmuran
dalam pembangunan ekonomi. Ini berlaku bagi seseorang yang mempunyai
latar belakang ideologi kapitalis atau yang liberal. Tetapi ketika seseorang
yang memiliki dasar pemikiran Karl Marx maka keadaan itu dimaknai dengan
sebaliknya bahwa persaingan bebas akan menindas kaum yang tidak
mempunyai modal besar. Orang ini mempunyai latar belakang ideologi
sosialis atau bahkan komunis. Faktor fungsional banyak mempengaruhi
persepsi khususnya dalam proses pengambilan keputusan menentukan
diantaranya adalah faktor-faktor biologis dan faktor sosiologis. Faktor-faktor
biologis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan biologis (tubuh)
manusia atau kebutuhan biologis manusia. Keadaan tubuh seseorang akan
mempengaruhi pengertian tentang persepsi, panca indera yang lemah
menentukan arti ketika pesan-pesan sampai pada seseorang.
Faktor sosiologis juga menentukan bentuk persepsi akhir dari seseorang.
Faktor ini berkaitan dengan kondisi dari psikologis kita atau keadaan
lingkungan yang berada disekitar kita dimana ada kelemahan dari alat indera
kita dalam mengamati suatu objek atau peristiwa. Keadaan atau kelemahan
dari alat indera kita sering memberikan pengertian tentang suatu objek karena
pengaruh lingkungan atau obyek yang diamati. Banyak peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan kita. Dalam hal mempersepsikan setiap peristiwa itu,
keadaan alat indera kita berperan dalam memberi pengertian terhadap suatu
objek. Adakalanya indera-indera kita mengalami distorsi atau gangguan, tidak
berfungsi dengan baik, maka ini bisa berakibat pada perbedaan persepsi
terhadap hal yang kita amati.
2. Faktor-Faktor Struktural
Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan
efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Faktor struktural
persepsi dipengaruhi oleh pendidikan, kebudayaan dan pengalaman. Krech
dan Crutchfield (Rakhmad, 2000) menyatakan dalam dalil persepsi yang
pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini,
jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang
berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan
kelompoknya dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras.
Kemudian dalil persepsi yang keempat bahwa objek atau peristiwa yang
berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain cenderung
ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya benar-benar
bersifat struktural dalam mengelompokkan objek-objek fisik.
Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni struktural sebab apa yang
dianggap sama atau berdekatan oleh individu tidaklah dianggap sama atau berdekatan
oleh individu lain. Misalnya, seseorang menyebutkan definisi televisi, komputer,
radio, emas dan baju adalah barang-barang berharga. Perbedaan pengelompokan ini
timbul karena perbedaan pendidikan.
Perbedaan persepsi yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi persepsi. Seseorang yang memiliki pendidikan lebih
rendah akan mempersepsikan sesuatu berbeda dengan seseorang yang memiliki
pendidikan lebih tinggi.
Kebudayaan juga berperan dalam melihat kesamaan. Pada masyarakat yang
menitikberatkan kekayaan, orang akan membagi masyarakat yang mengutamakan
pendidikan, orang mengenal dua kelompok masyarakat pada dua kelompok; orang
kaya dan orang miskin. Pada masyarakat yang mengutamakan pendidikan, orang
Kelompok kultural erat kaitannya dengan label dan yang kita beri label yang sama
cenderung dipersepsikan berbeda antara orang kaya dan orang miskin, orang yang
terdidik dan yang tidak terdidik, orang pribumi dan non pribumi.
Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan ini sering dipakai oleh
komunikator kredibilitasnya. Orang menjadi terhormat karena duduk berdampingan
dengan anggota kabinet atau bersalaman dengan presiden. Sebaliknya, kredibilitas
berkurang karena duduk berdampingan dengan orang yang nilai kredibilitasnya
rendah pula.
Selain faktor pendidikan dan kultur budaya, faktor pengalaman individu juga
mempengaruhi persepsi. Seseorang akan mempersepsikan sesuatu juga berdasarkan
pengalaman yang ada pada dirinya.
2.5. Defenisi Konsep 2.5.1. Persepsi
Jalaludin Rakhmad (2000) menjelaskan persepsi sebagai pemahaman tentang
objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan yang diterima. Wirawan (1995) menyatakan bahwa
persepsi adalah proses pemahaman terhadap apa yang terjadi di lingkungan. Proses
persepsi adalah hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kemudian
diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang dipengaruhi ingatan tentang
pengalaman masa lampau, minat, sikap dan intelegensi. Hasil pengamatan terhadap
Dalam penelitian ini persepsi disimpulkan sebagai pemahaman dan
pengetahuan masyarakat yang lahir dari proses interaksi yang terjadi dengan kawasan
hutan terhadap keberadaan hutan mangrove dan fungsi-fungsinya serta pengelolaan
hutan mangrove terutama setelah terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di
Kabupaten Simeulue.
2.5.2. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses
pembangunan. Pengertian partisipasi dalam suatu proses pembangunan (kehutanan) dapat
mempunyai pengertian luas dan sempit. Sehingga menurut Awang (2003) partisipasi dapat
dilihat dari tiga sudut pandang yaitu: cara pandang dimana partisipasi merupakan kegiatan
pembagian dari hasil-hasil pembangunan, cara pandang dimana masyarakat secara massal
telah menyumbangkan jerih payah dalam pembangunan, dan bahwa partisipasi harus terkait
dengan proses pengambilan keputusan dalam pembangunan.
Arti kata partisipasi yang di rangkum FAO, pengertian partisipasi dapat
diterjemahkan sebagai keterlibatan mental, pikiran dan emosi seseorang dalam situasi
kelompok yang mendorongnya memberikan sumbangan kepada kelompok dalam pencapaian
tujuan serta ikut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dalam penelitian ini
partisipasi masyarakat diartikan sebagai peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
kawasan hutan mangrove yang didorong oleh pandangan dan pemahaman masyarakat
terhadap pentingnya keberadaan fungsi-fungsi hutan mangrove bagi kehidupan sosial
2.5.2 Pengelolaan
Pengelolaan adalah proses memberikan pengawasan pada semua hal yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan. Pengelolaan meliputi
proses perencanaan, pelaksanaan dan pengontrolan kebijakan yang dilakukan dalam
kawasan hutan mangrove.
2.5.3 Hutan
Pengertian hutan dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 adalah
merupakan suatu ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan (Arief, 2001). Istilah hutan mempunyai pengertian sebagai suatu
asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didominasi oleh pepohonan atau
vegetasi kayu, yang mempunyai luasan tertentu sehingga berpengaruh dalam pembentukan
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan pada enam Kecamatan di Kabupaten Simeulue
Propinsi Aceh. Kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Alafan, Salang, Simeulue Barat, Teluk Dalam, Simelue Timur, dan Teupah Selatan. Dasar pemilihan lokasi penelitian
ini karena Kabupaten Simeulue adalah satu daerah kepulauan yang memiliki
ekosistem mangrove dan terkena bencana gempa bumi dan tsunami pada akhir tahun
2004 dan 2005, dan ke-enam kecamatan tersebut merupakan tempat berlangsungnya
pengelolaan kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten Simeulue.
Waktu pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Juli sampai dengan
pertengahan Bulan Agustus 2008. Pengolahan data dan penulisan laporan
dilaksanakan pada akhir Bulan Agustus 2008 sampai Maret 2009.
3.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekplorasi dengan
melakukan pengumpulan data primer melalui wawancara, penyebaran kuisioner dan
pengumpulan data sekunder. Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan data dari
sejumlah variabel pada suatu kelompok melalui wawancara langsung dan
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Penelitian ini menggunakan populasi manusia yang bermukim di daerah yang
mempunyai ekosistem mangrove adalah sebanyak lebih kurang 3342 KK (Kepala
Keluarga) yang tersebar di 27 (dua puluh tujuh) desa (Tabel 2).
Tabel 2. Distribusi Kecamatan dan Desa Pesisir dengan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue
No Desa Kecamatan Kepala Keluarga Jumlah
1 Lafakha
3.3.2. Sampel
Secara sederhana sampel dapat diartikan sebagai bagian dari populasi yang
menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Sampel adalah sebahagian dari
jumlah atau karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2001). Unit
analisis dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga (KK) yang bermukim di sekitar
kawasan mangrove di Kabupaten Simeuleu. Untuk menentukan jumlah sampel yang
akan di teliti digunakan teknik pengambilan Purposive Sampling, dimana kelompok
subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang ada hubungan yang
erat dengan ciri atau sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya. Sampel atau
responden dalam penelitina ini adalah kepala keluarga yang bermukim di 27 desa
yang berada di 6 kecamatan pada kabupaten Simeulue. .
Jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10 sampai 15 % atau 20
sampai 25 % atau lebih (Arikunto, 2002). Berdasarkan hal tersebut maka daam
penelitian ini sampel yang diambil adalah sebesar 10 % dari populasi yang ada. Maka
Sampel representatif yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 334 KK.
Jumlah ini adalah 10% dari populasi yang ada dan dipandang cukup mewakili
pengumpulan data dari populasi yang ada.
Selanjutnya berdasarkan dari jumlah sampel sebanyak 334 KK tersebut, maka
dilakukan pendistribusian sampel dengan cara penghitungan rumus alokasi
n = Ni x n
Maka didapat jumlah sampel untuk masing-masing desa sebagai berikut:
Tabel 3. Distribusi Penggenapan Sampel
No Desa Jumlah No Desa Jumlah
Dari tabel tersebut terlihat jumlah sampel yang diambil dari masing-masing
3.4. Variabel Yang Diamati
Varibel-varibel yang diamati dalam penelitian ini meliputi : (1) Tingkat
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, (2) Persepsi
Masyarakat (3) Umur, (4) pendidikan, (5) pekerjaan, (6) jumlah tanggungan, (7)
lama bermukim, (8) pengalaman dan (9) harapan. Ke-sembilan variabel tersebut
dibagi atas tiga bagian bagian, yaitu variabel tak bebas (Y), variabel bebas (X) dan
variabel Antara Y dalam penelitian ini adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan ekosistem Mangrove, sedangkan X adalah persepsi masyarakat meliputi;
pemahaman masyarakat terhadap lokasi, manfaat, dan rencana pengelolaan. Variabel
antaranya meliputi; Umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan, lama
bermukim, pengalaman dan harapan.
3.5. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menyajikan data dan menganalisis secara
mendalam. Penyajian data dilakukan secara kuantitatif digunakan untuk mencari
hubungan antara nilai tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem
mangrove dengan persepsi dan karakteristik seperti umur, pendidikan, pekerjaan,
jumlah tanggungan, lama bermukim, pengalaman dan harapan.
Hubungan antara variabel tidak bebas (tingkat partisipasi) dengan variabel
bebas: diuji dengan menggunakan uji koefisien korelasi Rank Spearman (Sugioyono,
2001). Pemilihan uji koefisien korelasi Rank Spearman ini didasarkan pada; (1)
bebas, (2) dalam menormalkan data yang dilakukan melalui urutan rangking, dan (3)
mudah dipelajari dan diterapkan baik untuk data nominal dan ordinal. Uji koefisien
Rank Spearman bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antara variabel bebas
(X) dengan variabel tak bebas(Y) dengan rumus : rs = 1 -
rs = koefisien korelasi Rank Spearman di = Perbedaan antra kedua ranking (Rx-R1) N = banyaknya Sampel/Subjek
Jika didapatkan nilai korelasi dari pengolahan data lebih besar dari nol (rs >
0), itu berarti arah korelasinya mengarah positif. Dalam artian antar variabel memiliki
hubungan. Sebaliknya jika nilai korelasi lebih kecil dari nol (rs< 0), dapat dipastikan
tidak ada hubungan antar variabel
Arah korelasi (direction)
Y Y
rs>0 rs<0
Untuk melihat dan mengukur kuat atau tidaknya hubungan yang terjadi antara
persepsi dan partisipasi masyarakat, maka digunakan klasifikasi kekuatan korelasi
(Purnomo, 2006), yaitu : Kekuatan korelasi (magnitude)
Tidak ada Sangat Lemah Sedang Kuat Sangat Sempurna Korelasi lemah Kuat
*---*---*---*---*---*---* r
0 0,1 0,25 0,5 0,75 0,9 1
Selain dengan menggunakan klasifikasi diatas, untuk melihat dan mengukur
nilai koefisien korelasi antara persepsi dan partisipasi dapat juga dilihat dengan tabel
kekuatan korelasi seperti yang dibawah ini.
Tabel 4. Kekuatan Korelasi
Nilai Koefisien Kekuatan Korelasi
0 Tidak ada korelasi
0,1 Sangat lemah
0,25 Lemah
0,5 Sedang
0,75 Kuat
0,9 Sangat kuat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan identitas responden
yang berkaitan dengan umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, jumlah
tanggungan, lama bermukim, dan harapan responden terhadap kawasan mangrove.
A. Umur
Umur masyarakat pesisir di Kabupaten Simeulue yang menjadi responden
berkisar antara umur lebih dari 25 tahun sampai dengan lebih dari 65 tahun.
Umur responden diklasifikasikan dalam lima kategori yaitu kategori pertama
berada diantara umur 20 tahun sampai dengan 29 tahun, kategori kedua antara
umur 30 tahun sampai dengan 39 tahun, kategori ketiga antara umur 40 tahun
sampai dengan umur 49 tahun, kategori keempat berada antara umur 50 tahun
sampai dengan 59 tahun. Kategori kelima berada diatas umur 60 tahun.
Pengklasifikasian umur responden dilakukan berdasarkan usia produktif
dengan mempertimbangkan aspek kemampuan dalam pemanfaatan sumber
daya alam dan kemampuan dalam mengambil keputusan terkait dengan
keterlibatan dalam pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan.
Dari hasil survei yang dilakukan ditemukan sebesar 94,2% persen responden
berada dalam umur yang produktif, diantaranya 13 % responden yang berumur pada
kategori ketiga, dan 16,4% responden pada kategori keempat. Sedangkan hanya 5,8%
persen responden yang berada dalam umur yang tidak produktif lagi (Tabel 5).
Walaupun dalam kenyataannya responden yang berada dalam kategori umur yang
tidak produktif lagi masih mampu dan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dalam
kegiatan perekonomian dan pengelolaan kawasan mangrove serta pembangunan.
Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Umur
Umur Frekuensi Persentase
20 – 29 tahun 44 13
Pendidikan responden diklasifikasikan dalam lima kategori, dimana kategori
pertama yaitu tidak sekolah, kategori kedua adalah responden yang tidak
tamat SD, kategori ketiga responden yang tamat SD, kategori keempat
responden yang mengikuti pendidikan sampai tingkat SMP, kategori kelima
responden yang mengikuti pendidikan sampai tingkat SMA. Mengenai
pendidikan informal dari keseluruhan responden yang ada, terdapat hanya 54
orang yang pernah mengikuti pendidikan luar sekolah, diantaranya pelatihan
pertanian organik, pelatihan budi daya ikan, pelatihan koperasi dan penataran
kepala desa.
Sebesar 0,3 persen responden tidak sekolah sedangkan sebagian lagi memiliki
tamat SD, serta 52,4 persen yang pernah dan menamatkan SMP. Untuk pendidikan
kelas menengah terdapat 29,7 persen responden yang pernah sekolah dan
menamatkan pendidikan sampai SMA (Tabel 6).
Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase
Tidak sekolah 1 0,3
Sebagian besar responden berpendidikan atau pernah mengecap pendidikan
diatas sekolah dasar atau setara dengan sekolah dasar. Ini berarti bahwa kesadaran
masyarakat untuk sekolah cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan hanya 2,1% saja dari
semua responden yang ada yang hanya tidak sekolah dan tidak lulus sekolah dasar.
Hal ini berarti juga sebagian besar responden yang ada merasa bahwa pendidikan
merupakan hal yang penting. Jika diperhatikan dari alasan yang dikatakan responden
yang tidak melanjutkan pendidikan, hampir semua mengungkapkan bahwa
pertimbangan biaya menorong responden tidak bisa melanjutkan pendidikan.
C. Pekerjaan
Pekerjaan responden dikategorikan dalam enam kategori. Kategori pertama
yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan, kategori kedua sebagai petani,
kategori ketiga sebagai buruh, kategori keempat sebagai pedagang atau
wirausaha, kategori kelima sebagai pegawai negeri, dan kategori yang keenam