• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

RASYID ASSAF DONGORAN

057004018/PSL

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RASYID ASSAF DONGORAN

057004018/PSL

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Nama Mahasiswa : Rasyid Assaf Dongoran Nomor Pokok : 057004018

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S) Ketua

(Dr. Delvian, S.P., M. P) (Ir. Mozart B. Darus, MBA., MSc)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S Anggota : 1. Dr. Delvian, S.P., M. P

(5)

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami dibawah bimbingan Retno Widhiastuti, Delvian dan Mozart B. Darus.

Penelitian ini dilaksanakan di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan, Kabupaten Simeulue, Propinsi Aceh, dengan tujuan untuk mengetahui hubungan persepsi dan partisipasi serta bentuknya masyarakat dalam pengelolaan kawasan ekosistem mangrove serta hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif, dimana analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Responden penelitian terdiri dari masyarakat di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan tersebut yang secara langsung menerima manfaat dan akibat dari pengelolaan yang kawasan mangrove yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuisioner, observasi lapangan dan wawancara secara terstruktur dengan masyarakat yang dipilih menjadi responden dalam penelitian ini.

Hasil penelitian berdasarkan indikator yang ditentukan menunjukkan lebih dari sebagian besar responden mengungkapkan bahwa pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan tidak bagus. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove berdasarkan aspek yang diperhatikan menunjukkan bahwa bentuk partisipasi yang terjadi adalah partisipasi perwakilan. Terdapat hubungan yang cukup nyata antara korelasi karakteristik terhadap persepsi responden, sehingga kekuatan korelasi karakteristik terhadap persepsi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah lemah, walaupun ada beberapa variabel yang cukup kuat seperti variabel pengalaman dan harapan responden.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kekuatan korelasi antara persepsi terhadap partisipasi masyarakat sedang saja, dan berdasarkan model partisipasi yang diinginkan maka bentuk partisipasi yang diinginkan masyarakat adalah bentuk partisipasi perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dengan menempatkan perwakilan masyarakat untuk menentukan kebijakan pengelolaan yang diambil. Selanjutnya tingkatan partisipasi masyarakat berada pada tingkat partisipasi fungsional.

(6)

Ecosystem Management on Post Tsunami under supervised by Retno Widhiastuti, Delvian and Mozart B. Darus.

This research had been done in twenty-seven villages, six sub-districts, Simeulue District, Aceh Province, with the aim of knowing perception relations and participation as well as the form of community in mangrove ecosystem management and the relations between factors which had influenced to perception and community participation.

The research methodology which used is quantitative method, where the analysis of the data had been done with the descriptive analysis. Respondent research consisted of community in twenty-seven villages in six sub-districts who directly accepted the benefit and result from this activity. The data collection were had been done with questionnaire, observation and interview structure with chosen community as respondent in this research.

Results of the research were based on the indicator determined which showed more than most respondents said that the mangrove management was not good. The form of community participation in mangrove management based on the aspect was delegation's participation. Gotten by relations were real enough between the characteristics correlation towards the perception of the respondent, so as the strength of the characteristics correlation towards community perception in mangrove management were weak, though had several variables which were strong enough such the experience variable and hope of the respondent.

Based on results of the research was obtained by the strength of the correlation between the perception towards community participation was an average, and based on the participation model which are wanted then the form of community participation was delegation participation. This showed that the community participation by placing people representative to determine the management policy to be taken. Further the community participation phase was in the level of functional participation.

(7)

maka penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Judul dari penelitian ini adalah Partisipasi Masyarakat Kabupaten Simeulue Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan berbagai fasilitas yang mendukung penyelesaian studi penulis di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Prof. Dr. Erman Munir, MSc selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pengelolan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Dr. Delvian, SP., MP serta Ir. Mozart B. Darus, MBA., MSc selaku ketua, dan anggota komisi pembimbing, atas semua pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, kesabaran dan dorongan serta motivasi yang telah diberikan kepada penulis hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.

5. Prof. Dr. Badaruddin, MS dan Prof. Dr. Ramli, MS selaku tim penguji yang telah banyak memberikan nasehat dan masukan kepada penulis.

(8)

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan USU.

8. Sdr Dony Saputra, SSos yang telah banyak membantu serta keluarga besar Yayasan Akasia Indonesia-Sumatra Rainforest Institute (SRI) serta teman-teman PSL angkatan 2005 SPs USU.

Semoga Tesis ini bermanfaat.

(9)

NIM : 057004018

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : BINJAI, 6 FEBRUARI 1976

JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

AGAMA : ISLAM

AYAH : ASLIN DONGORAN,SH

IBU : MASKOT BR RITONGA

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1988/1989 : Lulus Sekolah Dasar Pada SD Negeri

060851 Medan

Tahun 1991 : Lulus Sekolah Menengah Pertama Pada

SMP Negeri 11 Medan

Tahun 1994 : Lulus Sekolah Menengah Atas Pada

SMA Negeri 2 Bukit Tinggi

Tahun 2003 : Lulus Strata-1 Pada FMIPA,

Program Studi Biologi,

Universitas Sumatera Utara,Medan

RIWAYAT PEKERJAAN

Tahun 2003-2005 : Staff Pengajar, Universitas Sumatera

(US), Kab Rokan Hilir, Propinsi Riau

Tahun 2006 – 2007 : Staff RTI International-Indonesia pada

Local Governance Support Program United States Agency for International

Development (USAID)

Tahun 2007- 2009 : Staff German Agro

(10)
(11)

4.1.2. Persepsi Responden Tentang Pengelolaan Kawasan

Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 43

4.1.3. Partisipasi Responden Terhadap Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 49

4.1.4. Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi Tentang Pengelolaan Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 57

4.1.5. Hubungan Antara Persepsi Responden dengan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 61

4.2. Pembahasan ... 63

4.2.1. Karakteristik Responden... 63

4.2.2. Persepsi Responden Tentang Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 65

4.2.3. Partisipasi Responden dalam Pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove ... 68

4.2.4. Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi ... 72

4.2.5. Hubungan Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 75

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

5.1. Kesimpulan ... 77

5.2. Saran ... 78

(12)

1. Penyebaran Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue Tahun 2003 .... 3

2. Distribusi Kecamatan dan Desa Pesisir dengan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 30

3. Distribusi Penggenapan Sampel ... 32

4. Kekuatan Korelasi ... 35

5. Distribusi Responden Menurut Umur ... 37

6. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan ... 38

7. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan ... 39

8. Distribusi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga ... 40

9. Distribusi Responden Menurut Lama Bermukim di Desa ... 41

10. Distribusi Responden Berdasarkan Manfaat Kawasan yang Dirasakan ... 42

11. Distribusi Responden Berdasarkan Harapan Terhadap Kawasan Mangrove ... 43

12. Persepsi Responden Tentang Lokasi Kawasan Hutan Mangrove ... 44

13. Persepsi Masyarakat Tentang Kawasan Hutan Mangrove Sebagai Lahan Untuk Perikanan Yang Menguntungkan ... 45

14. Persepsi Masyarakat Tentang Kawasan Mangrove Yang Berfungsi sebagai Kawasan Filter Air Laut ... 46

15. Pendapat Mengenai Kawasan Hutan Mangrove yang Berfungsi Sebagai Pemecah Ombak ... 46

16. Persepsi Tentang Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 47

17. Persepsi Mengenai Manfaat Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 48

18. Persepsi Mengenai yang Melakukan Pengelolaan Kawasan Mangrove ... 49

19. Faktor yang Mendasari Keikutsertaan Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove ... 50

20. Alasan atau Pertimbangan Akan Ikut Terlibat dalam Kegiatan Pengelolaan ... 51

(13)

Setiap Keputusan Yang Dikeluarkan dalam Pengelolaan Kawasan

Mangrove ... 53 24. Pendapat Mengenai Apakah Setiap Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan

Mangrove Sebaiknya Dikonsultasikan kepada Masyarakat ... 53 25. Pendapat Mengenai Apakah Keterlibatan Masyarakat Dilakukan ketika

Ada Kegiatan atau Proyek saja ... 54 26. Pendapat Mengenai Apakah Keterlibatan Masyarakat Dimulai dari Awal

Sampai Akhir Kegiatan Pengelolaan ... 55 27. Pendapat Mengenai Bagaimana Sebaiknya dalam Melakukan

Perencanaan terhadap Kegiatan Pengelolaan ... 56 28. Pendapat Mengenai Bagaimana Sebaiknya Untuk Memutuskan Rencana

Penetapan Wilayah atau lokasi Kegiatan ... 56 29. Hubungan Umur Responden dengan Persepsi tentang Pengelolaan

Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue... 57 30. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Persepsi dalam Pengelolaan

Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 58 31. Hubungan Pekerjaan Responden Dengan Persepsi Pengelolaan Kawasan

Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue... 58 32. Hubungan Jumlah Tanggungan dengan Persepsi Masyarakat dalam

Pengelolaan Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 59 33. Hubungan Lama Bermukim Responden dengan Persepsi tentang

Pengelolaan Kawasan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 59 34. Hubungan Pengalaman Responden dengan Persepsi tentang Pengelolaan

Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue ... 60 35. Hubungan Harapan Responden dengan Persepsi Masyarakat Terhadap

(14)
(15)

Nomor Judul Halaman

(16)

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami dibawah bimbingan Retno Widhiastuti, Delvian dan Mozart B. Darus.

Penelitian ini dilaksanakan di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan, Kabupaten Simeulue, Propinsi Aceh, dengan tujuan untuk mengetahui hubungan persepsi dan partisipasi serta bentuknya masyarakat dalam pengelolaan kawasan ekosistem mangrove serta hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat tersebut.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif, dimana analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif. Responden penelitian terdiri dari masyarakat di dua puluh tujuh desa di enam kecamatan tersebut yang secara langsung menerima manfaat dan akibat dari pengelolaan yang kawasan mangrove yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuisioner, observasi lapangan dan wawancara secara terstruktur dengan masyarakat yang dipilih menjadi responden dalam penelitian ini.

Hasil penelitian berdasarkan indikator yang ditentukan menunjukkan lebih dari sebagian besar responden mengungkapkan bahwa pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan tidak bagus. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove berdasarkan aspek yang diperhatikan menunjukkan bahwa bentuk partisipasi yang terjadi adalah partisipasi perwakilan. Terdapat hubungan yang cukup nyata antara korelasi karakteristik terhadap persepsi responden, sehingga kekuatan korelasi karakteristik terhadap persepsi masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove adalah lemah, walaupun ada beberapa variabel yang cukup kuat seperti variabel pengalaman dan harapan responden.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kekuatan korelasi antara persepsi terhadap partisipasi masyarakat sedang saja, dan berdasarkan model partisipasi yang diinginkan maka bentuk partisipasi yang diinginkan masyarakat adalah bentuk partisipasi perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dengan menempatkan perwakilan masyarakat untuk menentukan kebijakan pengelolaan yang diambil. Selanjutnya tingkatan partisipasi masyarakat berada pada tingkat partisipasi fungsional.

(17)

Ecosystem Management on Post Tsunami under supervised by Retno Widhiastuti, Delvian and Mozart B. Darus.

This research had been done in twenty-seven villages, six sub-districts, Simeulue District, Aceh Province, with the aim of knowing perception relations and participation as well as the form of community in mangrove ecosystem management and the relations between factors which had influenced to perception and community participation.

The research methodology which used is quantitative method, where the analysis of the data had been done with the descriptive analysis. Respondent research consisted of community in twenty-seven villages in six sub-districts who directly accepted the benefit and result from this activity. The data collection were had been done with questionnaire, observation and interview structure with chosen community as respondent in this research.

Results of the research were based on the indicator determined which showed more than most respondents said that the mangrove management was not good. The form of community participation in mangrove management based on the aspect was delegation's participation. Gotten by relations were real enough between the characteristics correlation towards the perception of the respondent, so as the strength of the characteristics correlation towards community perception in mangrove management were weak, though had several variables which were strong enough such the experience variable and hope of the respondent.

Based on results of the research was obtained by the strength of the correlation between the perception towards community participation was an average, and based on the participation model which are wanted then the form of community participation was delegation participation. This showed that the community participation by placing people representative to determine the management policy to be taken. Further the community participation phase was in the level of functional participation.

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan

mangrove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Sifat fisik

mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan intrusi dan abrasi

laut. Proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi mampu menunjang

kehidupan makhluk hidup di dalamnya (Arief, 2003).

Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan

sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, dan

lingkungan hidup namun semakin hari semakin kritis ketersediaannya. Di beberapa

daerah pesisir di Indonesa sudah terlihat adanya pendegradasian ekosistem mangrove

akibat penebangan mangrove yang dilakukan secara berlebihan. Mangrove telah

dirubah menjadi fungsi yang lain dikarenakan berbagai kegiatan pembangunan.

Beberapa sektor pembangunan yang terkait, secara langsung maupun tidak

langsung, dengan kawasan konservasi pesisir adalah pengembangan kawasan

pemukiman, industri, rekreasi dan pariwisata, transportasi, budidaya tambak, serta

kehutanan dan pertanian. Selain itu potensi ekonomi kawasan mangrove cukup tinggi

yang didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini

(19)

Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75 % dari luas ekosistem

mangrove di Asia STenggara. Sebaran ekosistem mangrove di Indonesia terutama di

wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Luas sebaran ekosistem mangrove

terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,24 juta

hektar pada tahun 1987, dan tinggal 2,50 hektar pada tahun 1990. Penurunan luasan

ekosistem mangrove tersebut menunjukan bahwa degradasi kawasan mangrove cukup

tinggi dengan laju 200 ribu hektar/tahun (Dahuri, 1996). Permasalahan utama yang

sering kali menjadi penyebab pendegradasian kawasan mangrove adalah

pembangunan tambak liar, pengembangan kawasan pariwisata yang tidak akrab

lingkungan, perubahan fungsi lahan menjadi perkebunan, kemudian berkembangnya

kawasan pemukiman di garis hijau pantai (mangrove zone).

Pertambahan penduduk terutama di daerah pantai menyebabkan perubahan

tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, sehingga

kawasan mangrove makin cepat menipis dan rusak di seluruh hutan tropis. Kondisi

ini menyebabkan kawasan mangrove menjadi perhatian yang serius.

Secara garis besar ada dua faktor penyebab rusaknya kawasan mangrove,

yaitu: faktor manusia, yang merupakan faktor dominan yang menjadi penyebab utama

kerusakan dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan dan faktor alam, seperti:

banjir, kekeringan, dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab kerusakan

(20)

Setelah terjadinya bencana alam tsunami pada akhir 2004 dan gempa bumi di

tahun 2005 maka pemerintah kabupaten Simeulue melalui Badan Rehabilitasi dan

Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Non Government Organisasion (NGO) lokal dan

internasional beserta segenap potensi masyarakat sedang melakukan proses

rehabilitasi dan rekonstruksi pada semua sektor, termasuk rehabilitasi dan

pengembangan ekosistem mangrove.

Pulau Simeulue merupakan salah satu dari gugusan pulau-pulau di sebelah

barat pulau Sumatera. Topografinya berbukit dengan sedikit daerah landai dekat

pesisir. Sebahagian besar wilayah pantainya merupakan pantai berbatu/berpasir dan

sebahagian lain merupakan pantai berlumpur dengan tumbuhan mangrove. Pulau

Simeulue mempunyai hutan yang masih cukup baik. Berdasarkan data yang diperoleh

dari dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Simeulue, luas total kawasan ekosistem

mangrove di kabupaten Simeulue adalah 2.779,97 Ha (Tabel 1). Sebaran mangrove di

pulau Simeulue terletak di Teluk Sinabang, Teluk Sibigo, Teluk Dalam, Teluk

Salang. Sementara sebahagian kecil kawasan mangrove tersebar secara periodik di

beberapa lokasi, antara lain di desa Alus-alus dan Labuan Bakti.

Tabel 1. Penyebaran Kawasan Mangrove di Kabupaten Simeulue Tahun 2003

No Penyebaran/Lokasi Luas (Ha)

1 Teluk Sinabang 408.31

2 Teluk Dalam 1,492.41

3 Teluk Sibigo 388.26

4 Teluk Lewak 84.45

5 Teluk Salang 213.50

(21)

7 Teluk Besung 19.15

8 Lokasi lain 92,45

Total 2,779.97

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue 2003

Bagi masayarakat pesisir pada umumnya dan masyakat Simeulue khususnya,

keberadaan kawasan mangrove bukan hanya berfungsi sebagai kawasan hijau saja,

tetapi menyangkut kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kawasan mangrove

merupakan tempat bagi masyarakat untuk mencari sumber-sumber dalam upaya

pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks sosial masyarakat keberadaan kawasan

mangrove menjadi penting sebagai pelindung desa dari pasang air laut dan tsunami.

Dari dua aspek penting ini maka keberadaan kawasan mangrove menjadi sangat perlu

dijaga kelestariannya.

Berdasarkan hal tersebut, peran serta masyarakat sebagai aktor yang sangat

berkepentingan terhadap manfaat dari keberadaan mangrove sangat penting untuk

menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Oleh karena itu perlu dilakukan sebuah

penelitian yang mampu menyajikan penjelasan tentang persepsi dan hubungannya

dengan partisipasi masyarakat Kabupaten Simeulue dalam proses pembangunan

kembali daerah setelah bencana khususnya dalam konteks pengelolaan ekosistem

mangrove.

1.2. Perumusan Masalah

Kawasan mangrove yang berada di wilayah Pulau Simeulue mempunyai

(22)

konservasi keanekaragaman hayati, tata air dan peningkatan perekonomian

masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten

Simeulue haruslah dikelola secara baik dengan memperhatikan fungsi-fungsi

kawasan secara berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat

yang ada disekitarnya.

Di lain sisi, karena kawasan ekosistem mangrove terletak di wilayah daerah

pemukiman masyarakat, maka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan

ekosistem mangrove menjadi penting untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang

lestari dan berkelanjutan. Dengan demikian perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana gambaran kondisi kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten

Simeulue setelah terjadinya bencana alam tsunami.

2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove setelah

terjadinya bencana alam tsunami.

3. Bagaimana hubungan persepsi masyarakat dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.

1.3. Kerangka Pemikiran

Partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat mempengaruhi

keberhasilan proses pembangunan itu sendiri, secara ideal partisipasi masyarakat

(23)

dan harapan masyarakat sendiri yang diaktualisasikan dalam suatu kegiatan

berkelanjutan. Partisipasi masyarakat itu sendiri dalam implementasi kebijakan

pengelolaan ekosistem mangrove di pengaruhi oleh beberapa faktor keberhasilan,

dimana berhasil atau tidaknya proses pengelolaan yang dilaksanakan antara lain

dipengaruhi oleh persepsi masyarakat setempat terhadap lokasi, manfaat, dan

pengelolaan hutan mangrove. Pengaruh dari faktor inilah yang mendasari keterlibatan

masyarakat dengan kesadaran dan tanggung jawab terhadap keberhasilan maupun

kegagalan pengelolaan ekosistem mangrove yang dilakukan.

Pada sisi lain, persepsi seseorang juga dipengaruhi oleh latar belakang

pengalaman dan karakteristik seseorang antara lain: umur, pendidikan, pekerjaan,

jumlah tanggungan, lama bermukim, pengalaman, harapan, dan lain sebagainya.

Partisipasi seseorang berhubungan dengan persepsi dan karakteristiknya. Apabila

seseorang mempunyai persepsi yang positif karena stimulan informasi tentang

sesuatu maka kecenderungannya akan bertindak atau berprilaku secara positif juga

terhadap kegiatan yang memang diinginkannya.

Secara jelas kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan dalam skema

berikut ini:

Partisipasi Dalam Pengelolaan 1. Tingkat Keterlibatan 2. Jenis Keterlibatan

(24)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran 1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui gambaran kondisi kawasan ekosistem mangrove di

Kabupaten Simeulue setelah terjadinya tsunami.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan hutan mangrove pasca terjadinya gempa bumi dan tsunami.

3. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove.

1.5. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan nyata antara karakteristik sosial masyarakat dengan

persepsi terhadap pengelolaan ekosistem mangrove.

2. Terdapat hubungan yang mempengaruhi antara persepsi masyarakat

dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.

1.6. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis penelitian ini diharapkan akan menambah khazanah

penelitian tentang partisipasi masyarakat terhadap suatu kondisi yang

berhubungan dengan upaya pelestarian suatu kawasan setelah terjadinya

(25)

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sabagai bahan masukan

bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Simeulue dalam

pengelolaan ekosistem mangrove serta pihak-pihak yang membutuhkan

untuk mengevaluasi dan menindaklanjuti kegiatan dan aktifitas masyarakat

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Alam Hutan

Hutan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi negara Indonesia.

Diperkirakan hampir lebih dari setengah penduduk Indonesia menggantungkan hidup

terhadap hutan. Maka dari itu, paradigma pengelolaan hutan yang menekankan

prinsip sustainable harus dipakai demi menjaga kelestarian fungsi hutan. Fungsi

hutan itu sendiri tidak hanya fungsi ekologis, tetapi juga meliputi fungsi ekonomi,

sosial dan budaya.

Pengelolaan hutan terkait dengan pengusahaan hutan dan sumberdaya hutan

yang ada di wilayah tersebut. Berdasarkan fungsi dari hutan dan faktor

ketergantungan masyarakat khususnya di sekitar hutan, pengelolaan hutan harus

memperhatikan berbagai aspek. Penguasaan hutan secara sepihak akan lebih banyak

menimbulkan akses yang tidak baik karena pada hakikatnya hutan adalah milik

bersama. Keterlibatan berbagai pihak sangat diperlukan sebagai stakeholder yang

secara langsung merasakan dampak dari pengelolaan hutan yang dilakukan. Perlu

juga diperhatikan suatu mekanisme yang menjadi aturan bagi stakeholder dalam

dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasaan (Awang, 2003).

Pengelolaan sumberdaya alam dan hutan dilakukan agar tidak terjadinya

proses eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam dan hutan tersebut. Di

Indonesia sendiri sampai sekarang ini telah berkembang beberapa pendekatan yang

(27)

diterapkan yaitu: pengelolaan hutan secara terpusat (centralistic management),

pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat (community based management). Di

samping itu, ada juga pengelolaan hutan yang diserahkan kepada swasta yang

mengantongi izin pengusahaan hutan. Pengelolaan hutan oleh pihak swasta dilakukan

terhadap hutan-hutan yang ditetapkan sebagai hutan produksi. Hal ini dilakukan

dengan pertimbangan pemerintah atas perhitungan biaya dan tenaga, serta pandangan

penguasaan hutan yang tidak sepihak. Tetapi dalam beberapa kasus yang terjadi,

kenyataannya pengelolaan hutan yang diserahkan kepada swasta justru banyak yang

pada akhirnya menimbulkan masalah. Hal ini terjadi akibat pengelolaan hutan yang

dilakukan lebih mengedepankan dimensi ekonomi dan mengabaikan dimensi

ekologis, seperti pada kasus-kasus HPH yang ada di Indonesia.

Dalam perspektif pengelolaan hutan yang terjadi selama ini, hubungan hutan

dan masyarakat selama ini hanya dilihat sebagai faktor ekonomi belaka, yang

kemudian secara sadar "memarjinalkan" kehadiran masyarakat di dalam membangun

hutan tersebut. Sebahagian masyarakat dijadikan musuh oleh pemerintah karena di

stigmatisasi sebagai perusak sumberdaya alam hutan (SDAH). Selama ini masyarakat

dianggap pesaing dalam pemanfaatan SDAH oleh pengusaha dan pemerintah.

Bukannya masyarakat tidak bersahabat dengan hutan akan tetapi selama ini

masyarakat memang dijauhkan secara politik dan ekonomi oleh pemerintah

(Suporaharjo, 2005).

PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) adalah istilah baru yang

(28)

CBFM (Community Based Forest Management) yang dikembangkan oleh DENR

Philipina (Department of Environment and Natural Resources) sejak tahun 1995 atau

sebelumnya.

Konsep pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat merupakan bentuk

pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat yang sesuai dengan karakteristik daerah

dan adat lokal yang ada, serta dilandasi oleh semangat pengelolaan kehutanan secara

sosial.

Melihat fenomena pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia cukup menarik dibandingkan dengan penanganan

sumberdaya alam lainnya. Sumberdaya hutan (SDH) relatif lebih "diobok-obok" oleh

publik, dan hal ini sekaligus memberikan petunjuk bahwa berbagai ragam perubahan

memang diharapkan juga oleh instansi kehutanan, walaupun sering sekali perubahan

itu hanya didefenisikan sendiri oleh institusi tersebut. Publik melihat SDH sering

dengan perspektif masing-masing lalu kemudian cara publik melihat ini telah

melahirkan ragam pengertian dan konsep dalam pembangunan kehutanan.

Menurut ahli kehutanan Westoby, social forestry merupakan satu pendekatan

pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk

perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat. Sementara itu FAO memperkenalkan

istilah Community Forestry (CF) untuk menggambarkan segala macam keadaan yang

melibatkan penduduk lokal dalam kegiatan pembangunan kehutanan (Awang, 2003).

Menurut Foley dan Bernard (1984) dalam Awang (2003) Kehutanan Sosial

(29)

semua lahan yang ada dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat

secara aktif guna menyediakan segala macam barang/bahan-bahan dan jasa-jasa

untuk anggota masyarakat desa dan juga kelompok masyarakat. Dalam kaitannya

dengan kehutanan sosial ini, yang paling utama dalam proyek kehutanan sosial

terletak dalam kata "sosial" yang berarti proyek menjamin kebutuhan lokal dengan

memasukkan manfaat bagi masyarakat didalam membuat rancangan kegiatan

kehutanan kembali dan pembagian manfaat hasil hutan tersebut bagi masyarakat

lokal.

Sedangkan menurut Wiersum (1984) dalam Awang (2003) memandang

kehutanan sosial harus merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan

profesionalisme rimbawan yang tujuan khususnya pada peningkatan partisipasi

masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan

mengakomodir aspirasi mereka ke dalam pembangunan di bidang kehutanan.

2.2. Mangrove

Ekosistem mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

disepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa

disuatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan

reaksi tanah an-aerob. Dengan demikian kawasan mangrove dapat diinterpretasikan

sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang

terlindungi, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari

(30)

mangrove merupakan tipe hutan tropika dan subtropika yang khas, tumbuh di

sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.

Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak

dan daerah yang landai (Kusmana, 2005).

Ekosistem mangrove, sering disebut dengan sebutan hutan payau atau hutan

bakau. Kawasan mangrove merupakan tipe hutan tropika dan sub-tropika yang khas,

tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air

laut (Dahuri, 2003).

Menurut FAO (dalam Fahutan IPB, 2005), luas kawasan mangrove di dunia

adalah sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha,

dan Amerika 5.831.000 ha, sedangkan luasan ekosistem mangrove Indonesia

diperkirakan seluas 3.735.250 ha yang tersebar di 13.677 pulau pada garis pantai

lebih dari 81.000 km.

Kawasan mangrove terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Rhizophora,

Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceros,

Scyphyphora, dan Nypa. Sementara itu jenis-jenis tumbuhan mangrove yang

ditemukan di hutan mangrove Indonesia sekitar 89 jenis yang terdiri atas 35 jenis

pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit

(Soemardiharjo, et. al., dalam Fahutan IPB, 2005).

Ekosistem mangrove mempunyai peranan penting dalam menjaga kawasan

(31)

yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomi. Secara fisik hutan

mangrove berfungsi sebagai penjaga garis pantai dari erosi agar tetap stabil,

melindungi daerah belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang.

Fungsi ekologis kawasan mangrove adalah sebagai tempat mencari makan dan

berkembang biaknya berbagai jenis ikan, udang dan lainnya. Sedangkan secara

ekonomi kawasan mangrove mempunyai fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dengan memanfaatkan potensi hasil hutan seperti madu, kayu, dan tempat

rekreasi (Kusmana, 2007).

2.3. Partisipasi Masyarakat

Pembangunan merupakan cara logis yang ditempuh oleh pemerintahan

manapun untuk mewujudkan tujuan masyarakatnya. Pembangunan merupakan

sebuah proses yang panjang dan multi dimensional dalam suatu bangsa. Seperti yang

tertulis dalam UUD 1945 dikatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan

bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Maka dalam proses

pembangunan memerlukan modal pembangunan yang meliputi segala potensi yang

dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan ditunjang oleh sebuah pengelolaan pembangunan

yang tepat agar pembangunan dapat terus berlangsung dan berkelanjutan. Adapun

bentuk modal pembangunan yang dimiliki oleh bangsa ini adalah sumberdaya alam

(SDA) dan sumberdaya manusia (SDM), dan tentunya juga dipengaruhi oleh faktor

(32)

Sumberdaya manusia dimaksudkan adalah kualitas manusia yang

melaksanakan proses pembangunan, dalam mengelola modal pembangunan.

Demikian juga sumberdaya alam, sebagai sumberdaya yang siap digunakan (ready to

use), memiliki keragaman yang tersebar di wilayah negara ini. Selain itu, perlu

dipahami juga bahwa SDA ini mempunyai keterbatasan jumlah yang harus disingkapi

dengan tepat agar dapat memberikan manfaat dalam pembangunan.

Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 ditegaskan bahwa pengelolaan SDA

ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukan bahwa posisi dan fungsi

SDA memegang peranan penting dalam proses pembangunan. Sesuai dengan

semangat landasan konstitual tersebut, maka penyelenggaraan pengelolaan SDA

senantiasa mengandung semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan.

Semangat kerakyatan berarti pembangunan ditujukan untuk kemakmuran rakyat

sepenuhnya. Berkeadilan bermaksud bahwa setiap masyarakat mempunyai hak dan

kesempatan yang sama dalam pengelolaan SDA. Berkelanjutan bermaksud bahwa

pengelolaan SDA, untuk masa sekarang juga harus menjamin kehidupan di masa

yang akan datang. Jadi tujuan dari SDA (hutan) untuk masyarakat adalah untuk

meningkatkan standar kehidupan masyarakat, melibatkan masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan yang ada, dan menjadikan masyarakat menjadi lebih dinamis.

Dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 dikatakan bahwa hutan merupakan

suatu ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang

didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, satu dengan

(33)

pasal 3, dikatakan tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan; menjamin

keberadaan hutan, mengoptimalkan fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah

aliran sungai, dan meningkatkan kemampuan masyarakat secara partisipatif.

Masyarakat tersebut adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan,

yang kehidupannya bergantung pada berbagai macam hasil hutan dengan

ketergantungan yang besar maka masyarakat desa hutan memiliki pandangan

terhadap hutan sebagai sumber ekonomi keluarga, sumber bahan pangan, sumber air

dan sumber kebudayaan bagi mereka (Awang, 2003).

Pembangunan yang berkelanjutan memerlukan keterpaduan antara lingkungan

hidup dan tingkat kemajuan pembangunan. Kedua hal ini sama berperan dalam

mewujudkan keserasian dan keseimbangan dalam pembangunan. Lingkungan hidup

berperan sebagai modal dan harapan pembangunan sedangkan tingkat kemajuan

pembangunan sebagai indikator keberhasilan masyarakat dalam proses pembangunan.

Disini posisi masyarakat merupakan posisi yang penting dalam proses melaksanakan

pembangunan. Pembangunan akan dinilai berhasil jika pembangunan tersebut

membawa perubahan kesejahteraan dalam masyarakat. Pembangunan tidak pernah

mencapai tujuannya jika meninggalkan rakyat. Oleh karena itu proses pembangunan

adalah merupakan proses tawar-menawar antara kebutuhan masyarakat dan keinginan

pemerintah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan, partisipasi masyarakat

merupakan hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pembangunan itu

(34)

Menurut FAO (Mikkelsen, 2003) mendefenisikan salah satu dari banyak arti

kata partisipasi sebagai berikut, yaitu: keterlibatan masyarakat dalam pembangunan

diri, kehidupan, dan lingkungan hidup mereka.

Dalam pengertian diatas dapat dilihat bahwa partisipasi adalah merupakan

suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari hanya keterlibatan secara jasmaniah

saja yang ditandai dengan kesediaan memberikan sumbangan dalam usaha

pencapaian tujuan bersama dan juga turut bertanggungjawab terhadapi usaha yang

dilakukan dalam pencapaian tujuan tersebut.

Partisipasi menurut Awang (2003) adalah keterlibatan aktif dan bermakna dari

massa penduduk dari tingkatan-tingkatan yang berbeda seperti:

1. Di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan

kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan-tujuan

tersebut.

2. Dalam pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara suka rela dan

pembagian yang merata.

3. Dalam pemanfaatan hasil-hasil dari satu program atau suatu proyek. Hal ini

menjadi penting karena banyak program pemerintah untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat ternyata justru ditolak oleh masyarakat sendiri.

Steven E. Daniels dan G. B. Walker (Suporaharjo, 2005) menyimpulkan

idealnya, partisipasi masyarakat dapat menjadi forum untuk memadukan nilai-nilai

dan informasi ilmiah dari masyarakat dan lembaga pemerintah sehingga keputusan

(35)

dijalankan (layak), selain membuat proses pengambilan keputusan lembaga

pemerintah menjadi transparan, serta memungkinkan masyarakat dan pengadilan

untuk melihat sejauh mana kesungguhan lembaga pemerintah memandang suatu

persoalan. Apabila penanganannya kurang matang, partisipasi masyarakat dapat

menimbulkan kekecewaan atau pengabaian perbadaan-perbedaan nilai yang

mendasar.

Pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan (kehutanan) dapat

mempunyai pengertian luas dan sempit. Sehingga, menurut Awang (2003) partisipasi

dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu; cara pandang dimana partisipasi

merupakan kegiatan pembagian massal dari hasil-hasil pembangunan; cara pandang

dimana masyarakat secara massal telah menyumbang jerih payah dalam

pembangunan; dan bahwa partisipasi harus terkait dengan proses pengambilan

keputusan di dalam pembangunan.

Hobley (dalam Awang 2003) partisipasi masyarakat di bagi dalam tiga

bentuk. Pertama, partisipasi semu yaitu keikutsertaan masyarakat dalam sebuah

kegiatan di mana keikutsertaan itu diukur dari upaya-upaya memobilisasi tenaga kerja

masyarakat dalam kegiatan. Kedua, partisipasi perwakilan yaitu keterlibatan

masyarakat dalam sebuah kegiatan pembangunan diwakili oleh beberapa orang

tertentu saja. Ketiga, partisipasi sejati adalah keikutsertaan yang dilakukan oleh setiap

(36)

yang dirasakan memberi manfaat, dan keterlibatan tersebut meliputi semua aktifitas

dari awal sampai akhir proses.

Selanjutnya Hobley (dalam Awang, 2003) merumuskan berbagai tingkatan

dan arti partisipasi berdasarkan pengalamannya dalam melaksanakan kegiatan

pembangunan di Nepal selama 10 tahun:

1. Partisipasi Manipulatif

Karakteristik dari model ini adalah keanggotaan yang bersifat keterwakilan

pada suatu komisi kerja, organisasi, organisasi kerja, atau

kelompok-kelompok dan bukannya pada individu.

2. Partisipasi Pasif

Partisipasi rakyat dilihat dari apa yang telah diputuskan atau apa saja yang

telah terjadi, informasi datang dari administrator tanpa mau mendengar respon

dari masyarakat tentang keputusan atau informasi tersebut.

3. Partisipasi melalui Konsultasi

Partisipasi rakyat dengan berkonsultasi atau menjawab pertanyaan. Orang dari

luar mendefenisikan masalah-masalah dan proses pengumpulan informasi, dan

mengawasi analisis. Proses konsultasi tersebut tidak ada pembagian dalam

pengambilan keputusan, dan pandangan-pandangan tidak dipertimbangkan

oleh orang luar.

(37)

Partisipasi rakyat melalui dukungan berupa sumberdaya, misalnya tenaga

kerja, dukungan pangan, pendapatan atau insentif material lainnya. Mungkin

saja petani menyediakan lahan dan tenaga kerja, tetapi tidak dilibatkan dalam

proses percobaan-percobaan dan pembelajaran. Kelemahan dari model ini

adalah apabila insentif habis, maka teknologi yang digunakan dalam program

tidak akan berlanjut.

5. Partisipasi Fungsional

Partisipasi rakyat dilihat oleh lembaga eksternal sebagai tujuan akhir untuk

mencapai target proyek, khususnya mengurangi biaya. Rakyat mungkin

berpartisipasi melalui pembentukan kelompok untuk penentuan tujuan yang

terkait dengan proyek. Keterlibatan seperti ini mungkin cukup menarik,

karena mereka dilibatkan alam pengambilan keputusan. Tetapi hal ini terjadi

setelah keputusan utamanya telah ditetapkan oleh orang dari luar desa

tersebut. Pendeknya, masyarakat desa dikooptasi untuk melindungi target dari

orang luar desa tersebut.

6. Partisipasi Interaktif

Partisipasi rakyat dalam analisis bersama mengenai pengembangan

perencanaan aksi dan pembentukan serta penekanan lembaga lokal. Partisipasi

lokal dilihat sebagai hak dan tidak hanya merupakan suatu cara untuk

mencapai suatu target proyek saja. Proses pelibatan multi disiplin metodologi,

ada proses belajar yang terstruktur. Pengambilan keputusan bersifat lokal oleh

(38)

digunakan, sehingga kelompok tersebut memiliki kekuasaan untuk menjaga

potensi yang ada.

7. Partisipasi Mandiri

Partisipasi rakyat melalui pengambilan inisiatif secara independen dari

lembaga luar untuk perubahan sistem. Masyarakat mengembangkan hubungan

dengan lembaga eksternal untuk advis mengenai sumberdaya dan teknik yang

mereka perlukan, tetapi juga tetap mengawasi bagaimana sumber daya

tersebut digunakan.

Dalam pelaksanaan pembangunan daerah (kehutanan), pemerintah haruslah

mendasarkan pada pengakuan akan peranan penting yang akan dilakukan oleh daerah

sejak dulunya. Menurut Usman (2000) pembangunan daerah sebetulnya bukanlah

semata-mata duplikasi dari pembangunan nasional, dan juga bukan merupakan

bentuk yang lebih kecil dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah

mempunyai karakteristik yang berbeda, dan pola serta spirit yang sesuai dengan

potensi yang dimiliki. Keraf (2002) mengatakan hal yang paling penting dalam

pembangunan pedesaan dalam perspektif etika lingkungan adalah kesamaan

pemahaman dari semua masyarakat adat diseluruh dunia yang memandang dirinya,

alam dan relasi diantara keduanya dalam perspektif yang religius dan spritual. Hal ini

dipahami oleh masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup dengan tujuan menata

(39)

pembangunan yang berkelanjutan ekologis, harus disesuaikan dengan pandangan

masyarakat desa terhadap lingkungannya.

2.4. Persepsi

Rakhmad (2000) menjelaskan persepsi sebagai pemahaman tentang objek,

peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi

dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli).

Selanjutnya Suwandi dan Hidayat (Rakhmad, 2000) menjelaskan bahwa

persepsi dari sudut komunikasi adalah urutan proses dimana seseorang tertarik pada

suatu pesan, objek, peristiwa, informasi atau rangsangan (attraction), paham pada

pesan (comprehension), mau menerima pesan (acceptability), merasa terlibat didalam

pesan dan merasa membutuhkan pesan (self involvement) serta adanya unsur atau

sifat membujuk yang terdapat didalam pesan yang disampaikan kepada penerima

pesan (persuasion).

Persepsi adalah hasil interaksi antara dua faktor, yaitu faktor rangsangan

sensorik yang tertuju kepada individu atau seseorang dan faktor pengaruh yang

mengatur atau mengolah rangsangan itu secara intrapsikis. Faktor-faktor pengaruh itu

dapat bersifat biologis, sosial dan psikologis. Karena adanya proses saling

mempengaruhi antara kedua faktor tersebut dimana didalamnya bergabung pula

proses asosiasi, maka terjadilah suatu hasil interaksi tertentu yang bersifat “gambaran

(40)

Wirawan (1995) menyatakan bahwa persepsi adalah proses pemahaman

terhadap apa yang terjadi di lingkungan. Proses persepsi adalah hasil hubungan antara

manusia dengan lingkungan dan kemudian diproses dalam alam kesadaran (kognisi)

yang dipengaruhi ingatan tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap dan

intelegensi. Hasil pengamatan terhadap apa yang diinderakan akan mempengaruhi

tingkah laku.

Menurut Krech dan Crutchfield (Rakhmad, 2000) ada 2 faktor yang

mempengaruhi persepsi yaitu faktor fungsional dan faktor struktural.

1. Faktor-Faktor Fungsional

Faktor fungsional biasanya disebut dengan kerangka rujukan (frame of

reference). Kerangka bentuk rangsangan atau stimuli tidak menentukan

persepsi tetapi karakteristik orang yang mendapat stimulan yang menentukan

bagaimana pemaknaan pesan. Seseorang cenderung mempersepsikan bahwa

persaingan bebas merupakan sebuah jalan untuk mencapai kemakmuran

dalam pembangunan ekonomi. Ini berlaku bagi seseorang yang mempunyai

latar belakang ideologi kapitalis atau yang liberal. Tetapi ketika seseorang

yang memiliki dasar pemikiran Karl Marx maka keadaan itu dimaknai dengan

sebaliknya bahwa persaingan bebas akan menindas kaum yang tidak

mempunyai modal besar. Orang ini mempunyai latar belakang ideologi

sosialis atau bahkan komunis. Faktor fungsional banyak mempengaruhi

persepsi khususnya dalam proses pengambilan keputusan menentukan

(41)

diantaranya adalah faktor-faktor biologis dan faktor sosiologis. Faktor-faktor

biologis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan biologis (tubuh)

manusia atau kebutuhan biologis manusia. Keadaan tubuh seseorang akan

mempengaruhi pengertian tentang persepsi, panca indera yang lemah

menentukan arti ketika pesan-pesan sampai pada seseorang.

Faktor sosiologis juga menentukan bentuk persepsi akhir dari seseorang.

Faktor ini berkaitan dengan kondisi dari psikologis kita atau keadaan

lingkungan yang berada disekitar kita dimana ada kelemahan dari alat indera

kita dalam mengamati suatu objek atau peristiwa. Keadaan atau kelemahan

dari alat indera kita sering memberikan pengertian tentang suatu objek karena

pengaruh lingkungan atau obyek yang diamati. Banyak peristiwa yang terjadi

dalam kehidupan kita. Dalam hal mempersepsikan setiap peristiwa itu,

keadaan alat indera kita berperan dalam memberi pengertian terhadap suatu

objek. Adakalanya indera-indera kita mengalami distorsi atau gangguan, tidak

berfungsi dengan baik, maka ini bisa berakibat pada perbedaan persepsi

terhadap hal yang kita amati.

2. Faktor-Faktor Struktural

Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan

efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Faktor struktural

persepsi dipengaruhi oleh pendidikan, kebudayaan dan pengalaman. Krech

dan Crutchfield (Rakhmad, 2000) menyatakan dalam dalil persepsi yang

(42)

pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini,

jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang

berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan

kelompoknya dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras.

Kemudian dalil persepsi yang keempat bahwa objek atau peristiwa yang

berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain cenderung

ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Dalil ini umumnya benar-benar

bersifat struktural dalam mengelompokkan objek-objek fisik.

Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni struktural sebab apa yang

dianggap sama atau berdekatan oleh individu tidaklah dianggap sama atau berdekatan

oleh individu lain. Misalnya, seseorang menyebutkan definisi televisi, komputer,

radio, emas dan baju adalah barang-barang berharga. Perbedaan pengelompokan ini

timbul karena perbedaan pendidikan.

Perbedaan persepsi yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan menjadi salah

satu faktor yang mempengaruhi persepsi. Seseorang yang memiliki pendidikan lebih

rendah akan mempersepsikan sesuatu berbeda dengan seseorang yang memiliki

pendidikan lebih tinggi.

Kebudayaan juga berperan dalam melihat kesamaan. Pada masyarakat yang

menitikberatkan kekayaan, orang akan membagi masyarakat yang mengutamakan

pendidikan, orang mengenal dua kelompok masyarakat pada dua kelompok; orang

kaya dan orang miskin. Pada masyarakat yang mengutamakan pendidikan, orang

(43)

Kelompok kultural erat kaitannya dengan label dan yang kita beri label yang sama

cenderung dipersepsikan berbeda antara orang kaya dan orang miskin, orang yang

terdidik dan yang tidak terdidik, orang pribumi dan non pribumi.

Dalam komunikasi, dalil kesamaan dan kedekatan ini sering dipakai oleh

komunikator kredibilitasnya. Orang menjadi terhormat karena duduk berdampingan

dengan anggota kabinet atau bersalaman dengan presiden. Sebaliknya, kredibilitas

berkurang karena duduk berdampingan dengan orang yang nilai kredibilitasnya

rendah pula.

Selain faktor pendidikan dan kultur budaya, faktor pengalaman individu juga

mempengaruhi persepsi. Seseorang akan mempersepsikan sesuatu juga berdasarkan

pengalaman yang ada pada dirinya.

2.5. Defenisi Konsep 2.5.1. Persepsi

Jalaludin Rakhmad (2000) menjelaskan persepsi sebagai pemahaman tentang

objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan yang diterima. Wirawan (1995) menyatakan bahwa

persepsi adalah proses pemahaman terhadap apa yang terjadi di lingkungan. Proses

persepsi adalah hasil hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kemudian

diproses dalam alam kesadaran (kognisi) yang dipengaruhi ingatan tentang

pengalaman masa lampau, minat, sikap dan intelegensi. Hasil pengamatan terhadap

(44)

Dalam penelitian ini persepsi disimpulkan sebagai pemahaman dan

pengetahuan masyarakat yang lahir dari proses interaksi yang terjadi dengan kawasan

hutan terhadap keberadaan hutan mangrove dan fungsi-fungsinya serta pengelolaan

hutan mangrove terutama setelah terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di

Kabupaten Simeulue.

2.5.2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam suatu proses

pembangunan. Pengertian partisipasi dalam suatu proses pembangunan (kehutanan) dapat

mempunyai pengertian luas dan sempit. Sehingga menurut Awang (2003) partisipasi dapat

dilihat dari tiga sudut pandang yaitu: cara pandang dimana partisipasi merupakan kegiatan

pembagian dari hasil-hasil pembangunan, cara pandang dimana masyarakat secara massal

telah menyumbangkan jerih payah dalam pembangunan, dan bahwa partisipasi harus terkait

dengan proses pengambilan keputusan dalam pembangunan.

Arti kata partisipasi yang di rangkum FAO, pengertian partisipasi dapat

diterjemahkan sebagai keterlibatan mental, pikiran dan emosi seseorang dalam situasi

kelompok yang mendorongnya memberikan sumbangan kepada kelompok dalam pencapaian

tujuan serta ikut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Dalam penelitian ini

partisipasi masyarakat diartikan sebagai peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan

kawasan hutan mangrove yang didorong oleh pandangan dan pemahaman masyarakat

terhadap pentingnya keberadaan fungsi-fungsi hutan mangrove bagi kehidupan sosial

(45)

2.5.2 Pengelolaan

Pengelolaan adalah proses memberikan pengawasan pada semua hal yang

terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan. Pengelolaan meliputi

proses perencanaan, pelaksanaan dan pengontrolan kebijakan yang dilakukan dalam

kawasan hutan mangrove.

2.5.3 Hutan

Pengertian hutan dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 adalah

merupakan suatu ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati

yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, satu dengan lainnya

tidak dapat dipisahkan (Arief, 2001). Istilah hutan mempunyai pengertian sebagai suatu

asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didominasi oleh pepohonan atau

vegetasi kayu, yang mempunyai luasan tertentu sehingga berpengaruh dalam pembentukan

(46)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan pada enam Kecamatan di Kabupaten Simeulue

Propinsi Aceh. Kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Alafan, Salang, Simeulue Barat, Teluk Dalam, Simelue Timur, dan Teupah Selatan. Dasar pemilihan lokasi penelitian

ini karena Kabupaten Simeulue adalah satu daerah kepulauan yang memiliki

ekosistem mangrove dan terkena bencana gempa bumi dan tsunami pada akhir tahun

2004 dan 2005, dan ke-enam kecamatan tersebut merupakan tempat berlangsungnya

pengelolaan kawasan ekosistem mangrove di Kabupaten Simeulue.

Waktu pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Juli sampai dengan

pertengahan Bulan Agustus 2008. Pengolahan data dan penulisan laporan

dilaksanakan pada akhir Bulan Agustus 2008 sampai Maret 2009.

3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekplorasi dengan

melakukan pengumpulan data primer melalui wawancara, penyebaran kuisioner dan

pengumpulan data sekunder. Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan data dari

sejumlah variabel pada suatu kelompok melalui wawancara langsung dan

(47)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Penelitian ini menggunakan populasi manusia yang bermukim di daerah yang

mempunyai ekosistem mangrove adalah sebanyak lebih kurang 3342 KK (Kepala

Keluarga) yang tersebar di 27 (dua puluh tujuh) desa (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi Kecamatan dan Desa Pesisir dengan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue

No Desa Kecamatan Kepala Keluarga Jumlah

1 Lafakha

(48)

3.3.2. Sampel

Secara sederhana sampel dapat diartikan sebagai bagian dari populasi yang

menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Sampel adalah sebahagian dari

jumlah atau karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiono, 2001). Unit

analisis dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga (KK) yang bermukim di sekitar

kawasan mangrove di Kabupaten Simeuleu. Untuk menentukan jumlah sampel yang

akan di teliti digunakan teknik pengambilan Purposive Sampling, dimana kelompok

subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang ada hubungan yang

erat dengan ciri atau sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya. Sampel atau

responden dalam penelitina ini adalah kepala keluarga yang bermukim di 27 desa

yang berada di 6 kecamatan pada kabupaten Simeulue. .

Jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10 sampai 15 % atau 20

sampai 25 % atau lebih (Arikunto, 2002). Berdasarkan hal tersebut maka daam

penelitian ini sampel yang diambil adalah sebesar 10 % dari populasi yang ada. Maka

Sampel representatif yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 334 KK.

Jumlah ini adalah 10% dari populasi yang ada dan dipandang cukup mewakili

pengumpulan data dari populasi yang ada.

Selanjutnya berdasarkan dari jumlah sampel sebanyak 334 KK tersebut, maka

dilakukan pendistribusian sampel dengan cara penghitungan rumus alokasi

(49)

n = Ni x n

Maka didapat jumlah sampel untuk masing-masing desa sebagai berikut:

Tabel 3. Distribusi Penggenapan Sampel

No Desa Jumlah No Desa Jumlah

Dari tabel tersebut terlihat jumlah sampel yang diambil dari masing-masing

(50)

3.4. Variabel Yang Diamati

Varibel-varibel yang diamati dalam penelitian ini meliputi : (1) Tingkat

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, (2) Persepsi

Masyarakat (3) Umur, (4) pendidikan, (5) pekerjaan, (6) jumlah tanggungan, (7)

lama bermukim, (8) pengalaman dan (9) harapan. Ke-sembilan variabel tersebut

dibagi atas tiga bagian bagian, yaitu variabel tak bebas (Y), variabel bebas (X) dan

variabel Antara Y dalam penelitian ini adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan ekosistem Mangrove, sedangkan X adalah persepsi masyarakat meliputi;

pemahaman masyarakat terhadap lokasi, manfaat, dan rencana pengelolaan. Variabel

antaranya meliputi; Umur, pendidikan, pekerjaan, jumlah tanggungan, lama

bermukim, pengalaman dan harapan.

3.5. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menyajikan data dan menganalisis secara

mendalam. Penyajian data dilakukan secara kuantitatif digunakan untuk mencari

hubungan antara nilai tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem

mangrove dengan persepsi dan karakteristik seperti umur, pendidikan, pekerjaan,

jumlah tanggungan, lama bermukim, pengalaman dan harapan.

Hubungan antara variabel tidak bebas (tingkat partisipasi) dengan variabel

bebas: diuji dengan menggunakan uji koefisien korelasi Rank Spearman (Sugioyono,

2001). Pemilihan uji koefisien korelasi Rank Spearman ini didasarkan pada; (1)

(51)

bebas, (2) dalam menormalkan data yang dilakukan melalui urutan rangking, dan (3)

mudah dipelajari dan diterapkan baik untuk data nominal dan ordinal. Uji koefisien

Rank Spearman bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antara variabel bebas

(X) dengan variabel tak bebas(Y) dengan rumus : rs = 1 -

rs = koefisien korelasi Rank Spearman di = Perbedaan antra kedua ranking (Rx-R1) N = banyaknya Sampel/Subjek

Jika didapatkan nilai korelasi dari pengolahan data lebih besar dari nol (rs >

0), itu berarti arah korelasinya mengarah positif. Dalam artian antar variabel memiliki

hubungan. Sebaliknya jika nilai korelasi lebih kecil dari nol (rs< 0), dapat dipastikan

tidak ada hubungan antar variabel

Arah korelasi (direction)

Y Y

rs>0 rs<0

(52)

Untuk melihat dan mengukur kuat atau tidaknya hubungan yang terjadi antara

persepsi dan partisipasi masyarakat, maka digunakan klasifikasi kekuatan korelasi

(Purnomo, 2006), yaitu : Kekuatan korelasi (magnitude)

Tidak ada Sangat Lemah Sedang Kuat Sangat Sempurna Korelasi lemah Kuat

*---*---*---*---*---*---* r

0 0,1 0,25 0,5 0,75 0,9 1

Selain dengan menggunakan klasifikasi diatas, untuk melihat dan mengukur

nilai koefisien korelasi antara persepsi dan partisipasi dapat juga dilihat dengan tabel

kekuatan korelasi seperti yang dibawah ini.

Tabel 4. Kekuatan Korelasi

Nilai Koefisien Kekuatan Korelasi

0 Tidak ada korelasi

0,1 Sangat lemah

0,25 Lemah

0,5 Sedang

0,75 Kuat

0,9 Sangat kuat

(53)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan identitas responden

yang berkaitan dengan umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, jumlah

tanggungan, lama bermukim, dan harapan responden terhadap kawasan mangrove.

A. Umur

Umur masyarakat pesisir di Kabupaten Simeulue yang menjadi responden

berkisar antara umur lebih dari 25 tahun sampai dengan lebih dari 65 tahun.

Umur responden diklasifikasikan dalam lima kategori yaitu kategori pertama

berada diantara umur 20 tahun sampai dengan 29 tahun, kategori kedua antara

umur 30 tahun sampai dengan 39 tahun, kategori ketiga antara umur 40 tahun

sampai dengan umur 49 tahun, kategori keempat berada antara umur 50 tahun

sampai dengan 59 tahun. Kategori kelima berada diatas umur 60 tahun.

Pengklasifikasian umur responden dilakukan berdasarkan usia produktif

dengan mempertimbangkan aspek kemampuan dalam pemanfaatan sumber

daya alam dan kemampuan dalam mengambil keputusan terkait dengan

keterlibatan dalam pengelolaan kawasan mangrove yang dilakukan.

Dari hasil survei yang dilakukan ditemukan sebesar 94,2% persen responden

berada dalam umur yang produktif, diantaranya 13 % responden yang berumur pada

(54)

kategori ketiga, dan 16,4% responden pada kategori keempat. Sedangkan hanya 5,8%

persen responden yang berada dalam umur yang tidak produktif lagi (Tabel 5).

Walaupun dalam kenyataannya responden yang berada dalam kategori umur yang

tidak produktif lagi masih mampu dan dapat melaksanakan tugas-tugasnya dalam

kegiatan perekonomian dan pengelolaan kawasan mangrove serta pembangunan.

Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Umur

Umur Frekuensi Persentase

20 – 29 tahun 44 13

Pendidikan responden diklasifikasikan dalam lima kategori, dimana kategori

pertama yaitu tidak sekolah, kategori kedua adalah responden yang tidak

tamat SD, kategori ketiga responden yang tamat SD, kategori keempat

responden yang mengikuti pendidikan sampai tingkat SMP, kategori kelima

responden yang mengikuti pendidikan sampai tingkat SMA. Mengenai

pendidikan informal dari keseluruhan responden yang ada, terdapat hanya 54

orang yang pernah mengikuti pendidikan luar sekolah, diantaranya pelatihan

pertanian organik, pelatihan budi daya ikan, pelatihan koperasi dan penataran

kepala desa.

Sebesar 0,3 persen responden tidak sekolah sedangkan sebagian lagi memiliki

(55)

tamat SD, serta 52,4 persen yang pernah dan menamatkan SMP. Untuk pendidikan

kelas menengah terdapat 29,7 persen responden yang pernah sekolah dan

menamatkan pendidikan sampai SMA (Tabel 6).

Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase

Tidak sekolah 1 0,3

Sebagian besar responden berpendidikan atau pernah mengecap pendidikan

diatas sekolah dasar atau setara dengan sekolah dasar. Ini berarti bahwa kesadaran

masyarakat untuk sekolah cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan hanya 2,1% saja dari

semua responden yang ada yang hanya tidak sekolah dan tidak lulus sekolah dasar.

Hal ini berarti juga sebagian besar responden yang ada merasa bahwa pendidikan

merupakan hal yang penting. Jika diperhatikan dari alasan yang dikatakan responden

yang tidak melanjutkan pendidikan, hampir semua mengungkapkan bahwa

pertimbangan biaya menorong responden tidak bisa melanjutkan pendidikan.

C. Pekerjaan

Pekerjaan responden dikategorikan dalam enam kategori. Kategori pertama

yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan, kategori kedua sebagai petani,

kategori ketiga sebagai buruh, kategori keempat sebagai pedagang atau

wirausaha, kategori kelima sebagai pegawai negeri, dan kategori yang keenam

Gambar

Tabel 2.  Distribusi Kecamatan dan Desa Pesisir dengan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Simeulue
Tabel 3. Distribusi Penggenapan Sampel
Tabel 4. Kekuatan Korelasi
Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat peranan pemerintah yang didukung oleh lembaga donor dalam pelaksanaan program rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam sebagai kegiatan

Persepsi nelayan Kabupaten Simeulue dari lima Kecamatan yang diteliti terhadap program pemberdayaan masyarakat nelayan melalui penyaluran bantuan sarana penangkapan ikan disambut

BAB IV TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN MANGROVE DI DESA MOJO, KECAMATAN ULUJAMI 4.1.. Kegiatan atau Program Pengelolaan Hutan Mangrove

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Lamayang Kecamatan Simeulue Tengah Kabupaten Simeulue ibu hamil berjumlah 15 responden, yang melakukan senam hamil 9

Manfaat secara teoretik yang diharapkan dari hasil kegiatan penelitian ini adalah diperolehnya pembuktian tentang persepsi masyarakat Desa Air Dingin Kecamatan

Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Penyakit Malaria Di Desa Suka Karya Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh, Skripsi,

Kelompok Usaha Bersama (KUB) Aneuk La’ot adalah kelompok nelayan penangkap ikan yang beralamat di Desa Kampung Aie Kecamatan Simeulue Tengah Kabupaten

Pengamatan dan pengukuran kondisi terumbu karang setelah satu (1) tahun kejadian gempa dan tsunami dilakukan di sepanjang pesisir Pulau Simeulue meliputi lima (5)