• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar (Studi Deskriptif di Perkebunan PT. Socfindo Kebun Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar (Studi Deskriptif di Perkebunan PT. Socfindo Kebun Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI IKATAN PERSAUDARAAN MUSLIM

SOCFINDO (IPMS) DALAM MEMBANGUN

HUBUNGAN SOSIAL DENGAN MASYARAKAT

SEKITAR

(Studi Deskriptif Di Perkebunan PT. Socfindo Kebun Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan)

OLEH:

090901032 HENNY SUSANTI

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar” berawal dari ketertarikan penulis dalam melihat interaksi sosial masyarakat perkebunan yang secara general cenderung lebih bersifat geselschaft yang mengakibatkan kurangnya keharmonisan antara individu dengan individu lainnya dan individu dengan masyarakat sekitar. Selain itu cara berinteraksi masyarakat perkebunan dengan masyarakat sekitar sangat minim yang dikarenakan sistem kerja perusahaan PT Socfindo kebun Aek Loba yang tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu masyarakat perkebunan khususnya karyawan perkebunan membuat lembaga yang tujuannya untuk meningkatkan tali silaturrahmi dengan masyarakat sekitar yang bernama Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dengan cara membuat beberapa program yang bersifat membangun hubungan sosial yang lebih harmonis yang bersifat sosial keagamaan karena masyarakat di perkebunan Aek Loba mayoritas beragamakan Islam .

Jenis penelitan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data yang jelas serta terperinci mengenai fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dalam membangun hubungan sosial dengan masyarakat sekitar di kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan, serta melihat secara langsung bagaimana kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh lembaga tersebut.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan

rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini. Skripsi yang berjudul “Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo

(IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar” disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana di

departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara. Secara ringkas skripsi ini mendeskripsikan dalam melihat fungsi lembaga

Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) dalam membangun hubungan

sosial dengan masyarakat sekitar di perkebunan PT. Socfindo kebun Aek Loba

Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak

skripsi ini tidak akan terselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orang tua yaitu ayahanda

tersayang Sujiran dan ibunda tercinta Juminem yang telah melahirkan dan

membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran

dalam mendidik anak. Inilah persembahan yang dapat penulis berikan sebagai tanda

ucapan terima kasih dan tanda bakti penulis kepada kedua orang tua.

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan

terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian

skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Sumatera Utara.

(4)

Ilham Saladin, M.Sp, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Sismujito, M.Si, selaku dosen

pembimbing skripsi penulis yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga,

ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal hingga penyelesaian

penulisan skripsi ini.

4. Terima kasih kepada Bapak Drs. Henry Sitorus, M.si selaku dosen penguji skripsi

penulis.

5. Terima kasih kepada para dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik terutama

dosen departemen Sosiologi yang telah membimbing, memberikan sumbangsih

pemikiran dalam aspek sosiologis serta pengalaman penelitian dari proses

pembuatan proposal penelitian lalu terjun langsung di lapangan dalam melihat

realitas sosial, serta pengolahan data penelitian sejak awal perkuliahan hingga

selesai kepada penulis.

6. Terima kasih kepada seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa,Kak Sugi Astuti dan Kak Betty

yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal

administrasi.

7. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga saya ucapkan kepada ayah penulis

Sujiran dan ibu Jum yang sangat penulis sayangi dan cintai, yang telah

mencurahkan kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya, selalu

memberikan doa, semangat, nasehat, dan mendidik penulis dengan dukungan

moril maupun materil pada masa kuliah.

Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai kekurangan

(5)

yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis

sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir

kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada

semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, Oktober 2013 (Penulis)

(6)

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II Kajian Pustaka... 11

2.1. Organisasi Sosial ... 11

2.2. Interaksi Sosial ... 18

2.3. Masyarakat Perkebunan ... 28

2.4. Defenisi Konsep ... 31

BAB III Metode Penelitian ... 33

3.1. Jenis Penelitian ... 33

3.2. Lokasi Penelitian ... 33

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 34

3.3.1. Unit Analisis ... 34

3.3.2. Informan ... 34

3.3.2.1. Informan Kunci ... 34

3.3.2.2. Informan Tambahan ... 35

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 35

3.5. Interpretasi Data ... 37

3.6. Jadwal Kegiatan ... 38

BAB IV Deskripsi Wilayah ... 39

4.1. Sejarah PT. Socfin Indonesia (Socfindo) ... 39

(7)

4.3. Sarana Dan Prasarana PT. Socfindo Kebun Aek loba ... 42

4.3.1. Sarana Pendidikan ... 43

4.3.2. Sarana Kesehatan ... 43

4.3.3. Sarana Olahraga ... 44

4.3.4. Sarana Tempat Ibadah ... 45

4.3.5. Kondisi Jalan Dan Transportasi ... 45

4.4. Struktur Tenaga Kerja PT. Socfindo Kebun Aek Loba ... 46

4.5. Organisasi Pemerintahan ... 47

BAB V Temuan Data Dan Interpretasi Data ... 48

5.1. Karakteristik Informan ... 48

5.1.1. Profil Informan Kunci ... 48

5.1.2. Profil Informan Tambahan ... 57

5.2. Sejarah Lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Kebun Aek Loba ... 62

5.2.1. Struktur Organisasi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Kebun Aek Loba... 64

5.2.1.1. Dewan Penasehat ... 66

5.2.1.2. Sekretaris ... 66

5.2.1.3. Bendahara ... 67

5.2.1.4. Bidang PHBI ... 67

5.2.1.5. Bidang STM ... 68

5.2.1.6. Bidang Seni ... 68

(8)

5.2.1.8. Ketua Ranting ... 69

5.2.1.9. Anggota ...69

5.3. Program Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Kebun Aek Loba Dalam Menjalin Silaturrahmi Kepada Masyarakat…... 72

5.3.1. Pengajian Rutin (Tabligh Akbar) ... 72

5.3.2. Pengajian Rutin Al-Munawwaroh ... 73

5.3.3. Pengajian Rutin Az-Zidiniyyah ... 74

5.3.4. Upah-Upah Calon Jamaah Haji ... 75

5.3.5. Safari Ramadhan ... 76

5.3.6. Sunat Massal ... 77

5.3.7. Santunan Anak Yatim ... 78

5.3.8. Membentuk Panitia Lembaga Amil Zakat (LAZ) ... 79

5.3.9. Perayaan Hari Besar Islam ... 80

5.4. Interaksi Sosial Masyarakat Perkebunan Dengan Masyarakat Sekitar Dalam Mengikuti Kegiatan Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Kebun Aek Loba ... 82

BAB VI Kesimpulan Dan Saran …... 93

6.1. Kesimpulan ... 93

6.2. Saran ... 94

(9)

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar” berawal dari ketertarikan penulis dalam melihat interaksi sosial masyarakat perkebunan yang secara general cenderung lebih bersifat geselschaft yang mengakibatkan kurangnya keharmonisan antara individu dengan individu lainnya dan individu dengan masyarakat sekitar. Selain itu cara berinteraksi masyarakat perkebunan dengan masyarakat sekitar sangat minim yang dikarenakan sistem kerja perusahaan PT Socfindo kebun Aek Loba yang tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu masyarakat perkebunan khususnya karyawan perkebunan membuat lembaga yang tujuannya untuk meningkatkan tali silaturrahmi dengan masyarakat sekitar yang bernama Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dengan cara membuat beberapa program yang bersifat membangun hubungan sosial yang lebih harmonis yang bersifat sosial keagamaan karena masyarakat di perkebunan Aek Loba mayoritas beragamakan Islam .

Jenis penelitan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data yang jelas serta terperinci mengenai fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dalam membangun hubungan sosial dengan masyarakat sekitar di kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan, serta melihat secara langsung bagaimana kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh lembaga tersebut.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena

tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Young:1959,

dalam Soerjono Soekanto, 2001:67). Bertemunya orang perorangan secara

badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok

sosial. Pergaulan semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan

atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya

untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan

lain sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses

sosial, pengertian mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis.

Dilihat pada aspek interaksi sosial tersebut dapat diartikan bahwa suatu

individu tidak bisa hidup sendirian, sebab jika hanya sendirian ia tidak menjadi

manusia. Dalam pergaulan hidup, manusia menduduki fungsi yang

bermacam-macam. Di satu sisi ia menjadi anak buah, tetapi di sisi lain ia adalah pemimpin.

Di satu sisi ia adalah ayah atau ibu, tetapi di sisi lain ia adalah anak. Di satu sisi ia

adalah kakak, tetapi di sisi lain ia adalah adik. Demikian juga dalam posisi guru

dan murid, kawan dan lawan, buruh dan majikan, besar dan kecil, mantu dan

mertua dan seterusnya. Begitu juga masyarakat perkebunan yang berdampingan

langsung dengan masyarakat desa di sekitarnya. Mereka perlu saling berinteraksi

dan menjalin hubungan sosial yang baik agar tidak terjadi konflik karena

(11)

Dalam proses interaksi sosial, suatu individu memiliki pengaruh terhadap

perubahan yang terjadi di setiap lapisan masyarakat, baik itu perubahan ke arah

yang lebih maju maupun berubah ke arah yang biasa-biasa saja. Pengaruh

kedekatan sosial maupun kedekatan geografis terhadap keterlibatan suatu individu

dalam sebuah kelompok tidak bisa diukur dengan kasat mata. Karena masyarakat

membentuk kelompok bermain dengan orang-orang di sekitarnya dan mereka

bergabung dengan kelompok kegiatan sosial lokal lainnya. Kelompok tersusun

atas individu-individu yang saling berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis

antara dua orang, semakin mungkin mereka saling melihat, berbicara, dan

bersosialisasi. Singkatnya, kedekatan fisik meningkatkan peluang interaksi dan

bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan terbentuknya kelompok sosial.

Jadi, kedekatan menumbuhkan interaksi yang memainkan peranan penting

terhadap terbentuknya kelompok pertemanan. Pembentukan kelompok sosial tidak

hanya tergantung pada kedekatan fisik tetapi juga kesamaan di antara

anggota-anggotanya. Sudah menjadi kebiasaan orang lebih suka berhubungan dengan

orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan yang dimaksud adalah

kesamaan minat, kepercayaan, nilai, usia, tingkat intelejensi, atau

karakter-karakter personal lain. Kesamaan juga merupakan faktor utama dalam memilih

calon pasangan untuk membentuk kelompok sosial yang disebut keluarga.

Kedekatan suatu individu dengan individu, individu dengan kelompok,

maupun kelompok dengan kelompok dapat menumbuhkan sebuah interaksi sosial

yang matang dan positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sosial,

pendidikan, dan budaya. Menurut Ferdinand Tonnies (dalam Soerjono Soekanto,

(12)

Gemeinschaft (paguyuban) atau Gesellschaft (patembayan). Gemeinschaft adalah

bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan

batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Sedangkan Gesellschaft

merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek,

bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka serta strukturnya bersifat

mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Seperti halnya

pada masyarakat pedesaan, perkotaan, maupun pada masyarakat perkebunan yang

memiliki pola interaksi yang berbeda-beda. Kalau masyarakat pedesaan biasanya

diidentikan pada solidaritas masyarakat yang kuat dan kedekatan hubungan

emosional yang bersifat kekeluargaan. Sedangkan masyarakat perkotaan

diidentikkan dengan kedekatan hubungan dan kedekatan hubungannya dengan

sesama memiliki interaksi sosial yang hanya bersifat sementara.

Interaksi sosial terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Seperti halnya

masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, masyarakat perkebunan juga

berinteraksi antara satu dengan yang lainnya baik itu dengan sesama masyarakat

perkebunan ataupun dengan masyarakat bukan perkebunan. Dan kalau masyarakat

perkebunan hampir sama dengan masyarakat pedesaan, hanya saja masyarakat

perkebunan memiliki keterikatan dengan suatu perusahaan sehingga masyarakat

perkebunan tidak dapat bergerak bebas dan memiliki sifat yang sedikit tetutup

dikarenakan kesibukan mereka dalam bekerja demi mencukupi kebutuhan

ekonomi.

Hal di atas sesuai dengan tulisan M. Situmorang (2011) dalam sebuah

artikel online yang mengatakan bahwa masyarakat perkebunan merupakan

(13)

dalam berinteraksi antar sesama masyarakat perkebunan bahkan pada masyarakat

luar. Buruh perkebunan misalnya, yang merupakan bagian organik dari kelompok

masyarakat sipil (Civil Society). Meskipun secara struktural mereka adalah bagian

tak terpisahkan dari perusahaan, tetapi kesatuan fundamental historis, secara

kongkrit tidak tergabung dan tidak dapat bersatu. Karena mereka adalah

sekelompok golongan masyarakat sipil yang menjadi subordinat atau golongan

subyek dominan bagi kelompok-kelompok dominan. Kelompok-kelompok

dominan itu adalah suatu kekuatan yang senantiasa eksis dalam sejarah

masyarakat post kolonial meskipun bukan dalam bentuk aslinya. Struktur

dikotomi masyarakat post kolonial adalah elite dan subaltern. Yang dimaksud elit

adalah kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing. Yang asing

bisa pemilik industri, pemilik perkebunan yang pribumi dibagi menjadi dua yang

beroperasi di tingkat nasional (pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka

yang beroperasi di tingkat lokal (pegawai pribumi di birokrasi lokal, birokrasi

perkebunan). Pola interaksi dan interrelasi ketiga pilar tersebut tidak selalu

berjalan secara harmonis. Bagaimanapun pola interaksi dan interelasi mereka

berjalan secara dinamik, di mana merupakan arena pertarungan kekuasaan

sepanjang masa. Konflik kepentingan dan kontelasi masing-masing aktor tersebut

terjadi antara kekuatan yang dominan dan yang didominasi. Dialektika dominasi

dan resistensi seperti ini berlangsung terus menerus dalam konteks sejarah, sosial

dan politik yang berubah-ubah.

(14)

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa interaksi yang terjadi berbeda satu

sama lain tergantung di wilayah mana suatu masyarakat berada, atau dengan kata

lain terdapat pengelompokan-pengelompokan di dalam struktur organisasi

masyarakat perkebunan yang juga mempengaruhi proses interaksi sosialnya.

Misalnya karyawan hanya bisa bergaul dengan sesama karyawan, atau buruh

bergaul dengan sesama buruh saja. Hal ini menumbuhkan sebuah interaksi yang

kaku serta menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan masyarakat

perkebunan. Masyarakat perkebunan yang sangat bergantung dengan mata

pencahariannya pada perusahaan kemudian jadi sulit berkembang apalagi bergaul.

Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh para karyawan perkebunan membuat

mereka kurang berinteraksi dengan masyarakat lainnya dikarenakan sebagian

besar waktu mereka gunakan untuk bekerja. Tentu saja ini kemudian membuat

masyarakat perkebunan menjadi tertutup. Keterikatan akan kontrak kerja dengan

perusahaan membuat para buruh perkebunan menjadi kurang ruang gerak dan

pemikirannya sehingga berdampak pada kurangnya kesempatan untuk

mengembangkan diri atau mensejahterakan diri dan keluarganya ke arah yang

lebih baik melalui jalan lain. Bahkan mereka lebih memilih anak dan seluruh

keluarganya bekerja di perkebunan juga. Selain itu, kehidupan masyarakat

perkebunan yang terikat ini juga mempengaruhi pola interaksinya, baik itu

terhadap sesama masyarakat perkebunan maupun dengan masyarakat sekitar yang

notabenenya bukan masyarakat perkebunan. Karena jarang sekali bertemu dan

bersosialisasi, hal ini tentu saja kemudian menciptakan hubungan yang tidak

(15)

Dalam perjalanannya, masyarakat di wilayah perkebunan sudah mulai

kritis dan mulai berkembang pola pikirnya terhadap keberlangsungan hidupnya

tidak hanya dalam hal ekonomi akan tetapi juga pergaulan dengan masyarakat

lainnya. Oleh karena itu kemudian muncullah lembaga-lembaga yang mendukung

dan mengatur pola-pola interaksi tidak hanya pada masyarakat perkebunan tetapi

juga masyarakat bukan perkebunan yang ada di sekitarnya agar berlangsung

harmonis sehingga dapat menguntungkan satu sama lain. Lembaga sosial dalam

wilayah perkebunan diharapkan mampu menjadi sebuah wadah yang dapat

mengelola dengan baik hubungan-hubungan sosial masyarakatnya. Salah satu

lembaga kemasyarakatan di suatu wilayah perkebunan adalah lembaga Ikatan

Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) yang ada di badan perkebunan PT.

Socfindo.

Pemukiman masyarakat perkebunan pada umumnya terpisah dari

masyarakat desa lainnya. Hal ini dilakukan pihak perkebunan agar para karyawan

bisa fokus bekerja dan mudah ditemui. Akan tetapi hal berbeda terjadi di

perkebunan PT. Socfindo kebun Aek Loba, pemukiman masyarakat perkebunan

terlihat saling berdampingan dengan masyarakat desa di sekitarnya bahkan berada

dalam satu wilayah. Selain itu, pihak pemerintah desa dan kecamatan tidak

membedakan perlakuan terhadap masyarakat perkebunan yang ada di wilayahnya.

Mereka dianggap sama dengan masyarakat desa yang bukan merupakan karyawan

perekebunan, sehingga kemudian mengaburkan perbedaan status sosial di antara

kedua lapisan masyarakat ini. Hal ini juga mempermudah lembaga Ikatan

(16)

mengikutsertakan seluruh masyarakat baik itu yang merupakan bagian dari

perkebunan maupun bukan.

Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) adalah lembaga independen

yang ada dalam perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo yang berdiri

pada tahun 1997 dan berpusat di Medan. Lembaga ini ada di tiap-tiap cabang

perkebunan PT. Socfindo yaitu di provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Di provinsi

Nangroe Aceh Darussalam yaitu lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo

(IPMS) perkebunan Sei Liput, perkebunan Seu Nagan, perkebunan Seu Mayam,

dan perkebunan Lae Butar. Sedangkan di provinsi Sumatera Utara yaitu lembaga

Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) perkebunan Matapao, perkebunan

Lima Puluh, perkebunan Aek Loba, perkebunan Aek Ledong, perkebunan Negeri

Lama, perkebunan Tanah Betsi, perkebunan Aek Pamingke, perkebunan Tanah

Gambus, perkebunan Halimbe, perkebunan Bangun Bandar, dan perkebunan

Tanjung Maria. Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) merupakan sebuah

lembaga sosial keagamaan yang dibentuk oleh seluruh jajaran pekerja di

perkebunan PT. Socfindo. Lembaga ini bertujuan untuk menjalin hubungan sosial

antar sesama karyawan perkebunan, buruh, staf pegawai perkebunan, asisten

manager, maupun manager yang beragama Islam. Adapun bentuk kegiatan

sosialnya tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat Muslim di perkebunan PT.

Socfindo tetapi juga pada masyarakat bukan perkebunan yang tinggal di

sekitarnya. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi perbedaan yang tampak di antara

lapisan-lapisan jabatan warga perkebunan sehingga mereka bisa saling membantu

tanpa terganggu dengan struktur organisasi tenaga kerja yang bersifat kolonial

(17)

bukan perkebunan tersebut diharapkan mampu menciptakan hubungan yang

harmonis di antara keduanya.

Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek loba adalah

salah satu lembaga sosial keagamaan yang rutin melaksanakan kegiatan-kegiatan

sosial. Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan adalah memberikan bantuan

hidup bagi anak yatim piatu, bantuan pendidikan berupa beasiswa bagi anak

warga perkebunan yang tidak mampu, wirid akbar sekecamatan, sunat massal,

safari ramadhan, perayaan hari besar Islam, serta pengajian rutin.

Program-program kegiatan yang dilakukan oleh Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo

(IPMS) kebun Aek Loba juga tidak terbatas pada masyarakat perkebunan saja,

tetapi juga mengikutsertakan masyarakat desa yang ada di sekitarnya. Tentu saja

hal ini membuat interaksi antara masyarakat perkebunan maupun masyarakat

sekitar yang merupakan bukan karyawan perkebunan semakin banyak. Dan pada

akhirnya akan mengaburkan perbedaan dan kesenjangan sosial yang ada dalam

kehidupan bermasyarakat.

Misalnya pada bulan Januari 2013 lalu lembaga Ikatan Persaudaraan

Muslim Socfindo (IPMS) kebun Lae Butar di Aceh Singkil membuat kegiatan

sunatan massal gratis. Para peserta yang mengikuti sunatan massal berasal dari

anak karyawan perkebunan dan anak-anak dari desa sekitar. Panitia pelaksana

kegiatan sunatan massal sebenarnya menyediakan tempat untuk seratus orang

peserta, akan tetapi peserta yang mendaftar hanya sebanyak 80 (delapan puluh)

orang. Padahal panitia sudah menyiapkan bingkisan bagi para peserta yang

(18)

diadakannya kegiatan sosial ini

Maret 2013 pukul 21:49 WIB).

Kegiatan yang tersebut di atas menggambarkan bagaimana proses interaksi

terjadi. Misalnya ketika para orang tua melihat anaknya sedang disunat, ada

suasana yang membuat orang tua merasa lucu dan was-was dengan tingkah laku

peserta yang ketakutan. Perasaan itu kemudian diceritakan kepada orang tua yang

lain sehingga proses interaksi terjadi. Dari contoh kasus tersebut maka peneliti

kemudian tertarik untuk melakukan penelitian mengenai fungsi lembaga Ikatan

Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) di tempat lain yaitu di kebun Aek Loba

kecamatan Aek Kuasan, kabupaten Asahan dalam membangun hubungan sosial

dengan masyarakat sekitarnya.

1.2. Rumusan Masalah

Sebuah penelitian harus memiliki batasan-batasan permasalahan yang

harus diteliti. Selain agar permasalahan yang berkaitan dapat terjawab juga agar

penelitian tidak lari dari jalur yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu berdasarkan

uraian permasalahan yang telah dijelaskan dalam latar belakang di atas, maka

yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana fungsi

lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dalam

membangun hubungan sosial dengan masyarakat sekitar di kecamatan Aek

Kuasan kabupaten Asahan?”

1.3. Tujuan Penelitian

Setelah merumuskan masalah yang akan diteliti pada sebuah penelitian,

(19)

rumusan masalah penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan

perumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui bagaimana fungsi lembaga

Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) dalam membangun hubungan

sosial serta interaksi dengan masyarakat desa sekitarnya.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan sesuatu yang diharapkan ketika sebuah

penelitian sudah selesai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini

adalah:

a. Manfaat teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan

sumbangan pemikiran bagi peneliti lain sebagai bahan rujukan untuk

perbandingan atas masalah yang sama terutama dalam bidang ilmu

sosiologi khususnya tentang studi masyarakat perkebunan yang sangat

sedikit referensinya.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam

membuat karya tulis ilmiah melalui penelitian ini. Selain itu hasil

penelitian juga nantinya diharapkan dapat memberi manfaat bagi peneliti

selanjutnya dalam menjadikan sebuah referensi tentang fungsi organisasi

dalam meningkatkan hubungan sosial antara masyarakat perkebunan

(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Organisasi Sosial

Organisasi adalah institusi masyarakat yang dominan di dalam kehidupan

manusia. Seseorang mungkin dilahirkan di rumah sakit, dididik di sekolah formal,

mencari nafkah dengan bekerja di suatu perusahaan, mengadakan kegiatan sosial

dengan aktif di organisasi kemasyarakatan, mengikuti perkumpulan yang

menyalurkan hobi tertentu, mengikuti salah satu partai politik, dan pada saat

meninggal kematiannya diatur oleh organisasi tertentu. Organisasi telah meliputi

hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Setiap hari seseorang hampir selalu

berhubungan dengan berbagai organisasi dan sebagian besar waktunya dihabiskan

dalam aktivitas organisasi. Hanya masyarakat primitif dan terasing saja yang tidak

mempunyai organisasi (Ibrahim, 2003:63).

Menurut Stephen Robbins (dalam Sobirin, 2007:5) organisasi adalah unit

sosial yang sengaja didirikan untuk jangka waktu yang relatif lama,

beranggotakan dua orang atau lebih yang bekerja bersama-sama dan

terkoordinasi, mempunyai pola kerja tertentu yang terstruktur, dan didirikan untuk

mencapai tujuan bersama atau satu set tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Organisasi sosial dapat diartikan sebagai perkumpulan sosial yang dibentuk oleh

masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum,

yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa

dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia

(21)

dapat mereka capai sendiri. Organisasi sosial merupakan tata cara yg telah

diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam sebuah wadah yang

disebut dengan Asosiasi. Asosiasi memiliki seperangkat aturan, tata tertib,

anggota dan tujuan yang jelas, sehingga berwujud kongkrit.

Menurut Schein (dalam Ibrahim, 2003:67) bahwa di dalam organisasi ada

koordinasi, tujuan bersama, pembagian kerja, dan integrasi. Koordinasi muncul

dari adanya kenyataan bahwa setiap individu tidak akan dapat memenuhi

kebutuhan dan harapannya seorang diri, setelah beberapa orang mengkoordinir

usaha bersama maka mereka merasa lebih banyak berhasil daripada kalau mereka

melakukan sendiri-sendiri. Tentu saja organisasi sudah mendarah daging menjadi

suatu wadah yang dapat menampung segala aspirasi dan tujuan kelompok

masyarakat yang nantinya akan menimbulkan keharmonisan dalam

bermasyarakat.

Alvin L. Bertrand (1980:25) mengemukakan pengertian organisasi sosial

dalam arti luas adalah tingkah laku manusia yang berpola kompleks serta luas

ruang lingkupnya di dalam setiap masyarakat. Organisasi sosial dalam arti khusus

adalah tingkah laku dari para pelaku di dalam sub-sub unit masyarakat misalnya

keluarga, bisnis dan sekolah. Selanjutnya Robin Williams (dalam Bertrand,

1980:26) mengemukakan bahwa organisasi sosial menunjuk pada tindakan

manusia yang saling memperhitungkan dalam arti saling ketergantungan. Ia

selanjutnya menjelaskan bahwa pada saat individu melakukan interaksi

berlangsung terus dalam jangka waktu tertentu, maka akan timbul pola-pola

tingkah laku. JBAF Maijor Polak (1985:254) mengemukakan bahwa organisasi

(22)

mempunyai tujuan tertentu, kepentingan tertentu, menyelenggarakan kegemaran

tertentu atau minat-minat tertentu.

Masalah organisasi terletak pada keberadan tujuan sebuah organisasi.

Thompson (dalam Liliweri:1997), tujuan organisasi adalah suatu objek yang

bersifat abstrak dari organisasi, dia merupakan cita-cita ideal yang harus dicapai

oleh semua anggota organisasi. Tujuan organisasi merupakan pikiran yang

mendominasi masa depan, dominasi itu yang mendorong anggota organisasi

mengadakan koalisi. Tanpa adanya sebuah tujuan dalam pembentukan organisasi

maka tidak akan ada manfaat dari sebuah organisasi. Karena tujuan organisasi

merupakan bentuk mutlak yang ada dalam struktur keorganisasian agar dapat

berdiri tegak sesuai dengan keinginan para anggotanya.

Berdasarkan definisi organisasi sosial seperti yang telah disebutkan di atas,

menurut Sobirin (2007) organisasi pada dasarnya mempunyai lima karakteristik

utama yaitu sebagai berikut :

1. Unit atau entitas sosial, meski bukan sebagai realitas fisik, bukan

berarti bahwa organisasi tidak membutuhkan fasilitas fisik. Fasilitas

fisik seperti gedung, peralatan kantor, maupun mesin-mesin masih

tetap dibutuhkan (meski tidak harus dimiliki) karena dengan fasilitas

fisik inilah sebuah organisasi bisa melakukan kegiatannya. Di samping

itu dari fasilitas fisik ini pula orang luar mudah mengenali adanya

entitas sosial.

2. Beranggotakan minimal dua orang, siapapun yang mendirikan

(23)

sebagai unsur utama dari organisasi. Sebab tanpa keterlibatan unsur

manusia sebuah entitas sosial tidak bisa dikatakan sebagai organisasi.

Dengan kata lain salah satu persyaratan agar sebuah entitas sosial

disebut sebagai organisasi adalah harus beranggotakan dua orang atau

lebih agar kedua orang tersebut bisa saling bekerja sama, melakukan

pembagian kerja dan agar terdapat spesialisasi dalam pekerjaan.

3. Berpola kerja yang terstruktur, untuk dikatakan sebagai organisasi

sebuah unit sosial harus bernaggotakan minimal dua orang di mana

keduanya bekerja secara terkoordinasi dan mempunyai pola kerja yang

terstruktur. Penjelasan ini menegaskan bahwa berkumpulnya dua orang

atau lebih belum dikatakan sebuah organisasi manakala berkumpulnya

dua orang atau lebih tersebut tidak terkoordinasi dan tidak mempunyai

pola kerja yang terstruktur. Tanpa koordinasi dan pola kerja yang

terstruktur, kumpulan dua orang atau lebih hanyalah sekedar kumpulan

orang bukan organisasi.

4. Mempunyai tujuan, organisasi didirikan bukan untuk siapa-siapa dan

bukan tanpa tujuan. Organisasi didirikan karena manusia sebagai

makhluk sosial, sukar mencapai tujuan individualnya jika segala

sesuatu harus dikerjakan sendirian. Kalau dengan bekerja sendiri

tujuan individual tersebut bisa tercapai tetapi akan lebih efisien dan

efektif jika cara pencapaiannya dilakukan dengan bantuan orang lain

melalui organisasi. Artinya tujuan didirikannya sebuah organisasi

(24)

lebih mudah mencapai tujuannya ketimbang mereka harus bekerja

sendiri-sendiri.

5. Mempunyai identitas diri, jika sekelompok manusia diorganisir untuk

melakukan kegiatan maka jadilah sekelompok manusia tersebut entitas

sosial yang berbeda dengan entitas sosial lainnya. Identitas diri sebuah

organisasi secara formal misalnya bisa diketahui melalui akte

pendirian organisasi tersebut yang menjelaskan siapa yang menjadi

bagian dari organisasi dan siapa yang bukan, kegiatan apa yang

dilakukan, bagaimana organisasi tersebut diatur atau siapa yang

mengaturnya. Di samping itu organisasi juga dapat diidentifikasikan

melalui variabel yang sifatnya informal dan sulit dipahami tetapi

keberadaannya tidak diragukan. Variabel tersebut biasa disebut sebagai

budaya.

Organisasi sosial disebut juga dengan lembaga kemasyarakatan, pranata

sosial atau institusi sosial. Menurut Koentjaraningrat (dalam Ibrahim, 2003:87),

lembaga kemasyarakatan (pranata sosial) adalah suatu sistem dan norma khusus

yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu

keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Soerjono Soekanto

(dalam Ibrahim, 2003:87) mendefenisikan lembaga kemasyarakatan sebagai

himpunan dari norma-norma segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan

pokok manusia di dalam kehidupan masyarakat.

Gillin dan Gillin (dalam Basrowi, 2005:99) dalam bukunya General

Features Of Social Institutions mengatakan bahwa ciri umum lembaga

(25)

1. Merupakan suatu organisasi yang berisi pola-pola pemikiran dan pola-pola

perilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan

hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan dalam hal ini berisi tata

kelakuan, adat istiadat, kebiasaan, serta unsur-unsur kebudayaan yang

secara langsung atau tidak tergabung dalam satu unit fungsional.

2. Mempunyai tingkat kekekalan tertentu. Dalam hal ini sistem kepercayaan

dan tindakan yang lain baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan

setelah melewati waktu yang relatif lama.

3. Mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Sebagai contoh, suatu

lembaga persaingan bebas dalam kehidupan ekonomi yang bertujuan agar

produksi berjalan secara efektif oleh karena para individu akan terpaut

pada keuntungan yang akan diperolehnya kepada orang-orang yang

mempunyai pengaruh serta mengetahui cara-caranya.

4. Mempunyai alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan

lembaga yang bersangkutan, misalnya peralatan penggunaannya biasanya

akan berlainan untuk masing-masing masyarakat.

5. Mempunyai lambang-lambang yang berbeda, yang menggambarkan tujuan

dan fungsi lembaga tersebut. Misalnya sekolah-sekolah mempunyai

lambang yang merupakan ciri khas sekolah tersebut.

6. Mempunyai tradisi yang tertulis maupun tidak tertulis, yang merumuskan

tujuannya, tata tertib yang berlaku.

Selanjutnya Gillin dan Gillin (dalam Basrowi, 2005:100) juga

(26)

1. Dari sudut perkembangannya, dibedakan menjadi crescive institution dan

enacted institution. Crescive institution disebut sebagai lembaga primer,

yaitu lembaga yang tak sengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat.

Enacted institution, yaitu lembaga kemasyarakatan yang sengaja dibentuk

untuk memenuhi tujuan tertentu.

2. Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat dibagi menjadi

basic institution dan subsidiary institution. Basic institution adalah

lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan

mempertahankan tata tertib dalam masyarakat, misalnya keluarga dan

sekolah, sedangkan subsidiary institution adalah lembaga kemasyarakatan

yang dianggap kurang penting, misalnya rekreasi.

3. Dari sudut penerimaan masyarakat, dibagi menjadi social

sanctioned-institutions (approved) dan uninstitutions. Social

sanctioned-institutions adalah lembaga yang diterima masyarakat, misalnya sekolah.

Dan unsanctioned-institutions adalah lembaga yang ditolak masyarakat,

misalnya kelompok penjahat.

4. Dari sudut penyebarannya, dibagi menjadi general institutions dan

restricted institution. General institution adalah lenbaga kemasyarakatan

yang dikenal hampir semua masyarakat di dunia, misalnya agama.

Sedangkan restricted institution adalah lembaga yang dianut oleh suatu

masyarakat tertentu, misalnya agama Islam, Kristen, Hindu, Budha.

5. Dari sudut fungsinya, dibagi menjadi operative institutions dan regulative

institutions. Operative institutions adalah lembaga kemasyarakatan yang

(27)

untuk mencapai tujuan lembaga tersebut, misalnya lembaga industrialisasi.

Sedangkan regulative institutions adalah lembaga kemasyarakatan yang

berfungsi untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan yang tidak

menjadi bagian yang mutlak dari lembaga tersebut, misalnya pengadilan.

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996) menyebutkan bahwa lembaga

sosial memiliki dua fungsi yaitu :

1. Fungsi manifes, yaitu fungsi yang diharapkan oleh banyak orang akan

dipenuhi oleh lembaga itu sendiri, misalnya lembaga keluarga harus

memelihara anak, lembaga pendidikan harus mendidik siwa-siswanya.

Fungsi manifes ini bersifat jelas dan diakui.

2. Fungsi laten, merupakan dampak atau akibat dari adanya fungsi manifes,

seperti efek samping dari suatu kebijakan, program, lembaga-lembaga atau

asosiasi yang tidak dikehendaki. Misalnya, lembaga ekonomi tidak hanya

memproduksi dan mendistribusikan kebutuhan pokok, tetapi terkadang

juga meningkatkan pengangguran dan perbedaan kekayaan.

2.2. Interaksi Sosial

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang sejak dilahirkan

sudah membutuhkan pergaulan dengan orang-orang untuk memenuhi

kebutuhannya (Gerungan, 2000:24). Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari

hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang

berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma

yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika

(28)

adanya kesadaran atas pribadi masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak

dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari-hari

tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu dengan yang

lainnya, ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk

dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran. Interaksi sosial merupakan kunci

semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar

satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang

saling berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk

kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi. Maka dari itu dapat disebutkan

bahwa interaksi merupakan dasar dari suatu bentuk proses sosial karena tanpa

adanya interaksi sosial, maka kegiatan-kegiatan antar satu individu dengan yang

lain tidak dapat disebut interaksi (Soerjono Soekanto, 2001).

Interaksi Sosial menurut menurut Shaw (dalam Ali, 2004:87) merupakan

suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan

perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka dan masing- masing perilaku

mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan seseorang

dalam suatu interaksi merupakan stimulus bagi individu lain yang menjadi

pasangannya. Dan pada akhirnya mereka akan saling berperilaku sama lain untuk

menunjukkan adanya kegiatan timbal balik yang saling berhubungan.

Menurut Narwoko (2007:20) interaksi sosial adalah hubungan timbal balik

antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antara kelompok

dengan kelompok. Interaksi sosial merupakan proses komunikasi di antara

orang-orang untuk saling mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan. Interaksi sosial

(29)

tersebut menimbulkan reaksi individu yang lain. Interaksi sosial terjadi jika dua

orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, berbicara, berjabat tangan atau

bahkan terjadi persaingan dan pertikaian. Manusia dalam kehidupannya tidak

dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang

sepanjang hidupnya bersosialisasi dengan orang lain dalam proses interaksi.

Interaksi sosial menghasilkan banyak bentuk sosialisasi.

Menurut Soerjono Soekanto (2001:71), interaksi sosial tidak mungkin

terjadi tanpa adanya dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi.

1). Kontak Sosial

Kata “kontak” (Inggris: “contact") berasal dari bahasa Latin con atau cum

yang artinya bersama-sama dan tangere yang artinya menyentuh. Jadi, kontak

berarti bersama-sama menyentuh. Dalam pengertian sosiologi, kontak sosial tidak

selalu terjadi melalui interaksi atau hubungan fisik, sebab orang bisa melakukan

kontak sosial dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, misalnya bicara melalui

telepon, radio, atau surat elektronik. Oleh karena itu, hubungan fisik tidak menjadi

syarat utama terjadinya kontak. Kontak sosial memiliki sifat-sifat berikut.

a. Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif. Kontak sosial positif

mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negatif

mengarah pada suatu pertentangan atau konflik.

b. Kontak sosial dapat bersifat primer atau sekunder. Kontak sosial primer

terjadi apabila para peserta interaksi bertemu muka secara langsung.

Misalnya, kontak antara guru dan murid di dalam kelas, penjual dan

(30)

Sementara itu, kontak sekunder terjadi apabila interaksi berlangsung

melalui suatu perantara. Misalnya, percakapan melalui telepon. Kontak

sekunder dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Kontak

sekunder langsung misalnya terjadi saat ketua RW mengundang ketua RT

datang ke rumahnya melalui telepon. Sementara jika Ketua RW menyuruh

sekretarisnya menyampaikan pesan kepada ketua RT agar datang ke

rumahnya, yang terjadi adalah kontak sekunder tidak langsung.

2). Komunikasi

Komunikasi merupakan syarat terjadinya interaksi sosial. Hal terpenting

dalam komunikasi yaitu adanya kegiatan saling menafsirkan perilaku

(pembicaraan, gerakan-gerakan fisik, atau sikap) dan perasaan-perasaan

yang disampaikan. Ada lima unsur pokok dalam komunikasi yaitu sebagai

berikut.

a). Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan, perasaan, atau

pikiran kepada pihak lain.

b). Komunikan, yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan,

pikiran, atau perasaan.

c). Pesan, yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator. Pesan dapat

berupa informasi, instruksi, dan perasaan.

d). Media, yaitu alat untuk menyampaikan pesan. Media komunikasi

dapat berupa lisan, tulisan, gambar, dan film.

e). Efek, yaitu perubahan yang diharapkan terjadi pada komunikan, setelah

(31)

Proses komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam menjalin

proses interaksi sosial. Ada tiga tahap penting dalam proses komunikasi. Ketiga

tahap tersebut adalah sebagai berikut.

a. Encoding

Pada tahap ini, gagasan atau program yang akan dikomunikasikan

diwujudkan dalam kalimat atau gambar. Dalam tahap ini, komunikator

harus memilih kata, istilah, kalimat, dan gambar yang mudah dipahami

oleh komunikan. Komunikator harus menghindari penggunaan kode-kode

yang membingungkan komunikan.

b. Penyampaian

Pada tahap ini, istilah atau gagasan yang sudah diwujudkan dalam bentuk

kalimat dan gambar disampaikan. Penyampaian dapat berupa lisan, tulisan,

dan gabungan dari keduanya.

c. Decoding

Pada tahap ini dilakukan proses mencerna dan memahami kalimat serta

gambar yang diterima menurut pengalaman yang dimiliki.

Komunikasi-komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana menurut

Johnson (dalam Narwoko, 2007:16) adalah bentuk paling elementer dan yang

paling pokok dalam komunikasi. Tetapi, pada masyarakat ‘isyarat’ komunikasi

yang dipakai tidaklah terbatas pada bentuk komunikasi ini. Hal ini disebabkan

karena manusia mampu menjadi objek untuk dirinya sendiri (dan juga sebagai

subjek yang bertindak) dan melihat tindakan-tindakannya seperti orang lain dapat

melihatnya. Dengan kata lain manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar

(32)

dapat mengonsentrasikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe

respon tertentu dari orang lain.

Dalam sebuah organisasi komunikasi menjadi sangat penting karena di

dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain yaitu

manusia. Nimran (dalam Komang dkk:2008) mengatakan bahwa ada

bermacam-macam paradigma atau cara pandang yang dapat dipakai untuk membedakan

berbagai bentuk komunikasi.

1. Dari aspek lingkup organisasi.

a. Komunikasi intern, komunikasi yang terjadi antara pihak-pihak

internal.

b. Komunikasi ekstern, komunikasi antara suatu organisasi dengan pihak

eksternal.

2. Dari aspek sudut arahnya.

a. Komunikasi searah, komunikasi yang ditandai oleh adanya satu pihak

yang aktif yaitu penyampai informasi sedangkan pihak lainnya pasif

dan menerima.

b. Komunikasi dua arah, komunikasi yang ditandai peran aktif kedua

belah pihak baik pemberi atau penerima informasi.

3. Dari aspek tingkatan organisasi.

a. Komunikasi vertikal adalah komunikasi yang berlangsung antara

bawahan dengan atasan dalam hirarki organisasi.

b. Komunikasi horisontal adalah komunikasi yang terjadi di antara

pejabat yang sederajat.

(33)

a. Komunikasi dari atas ke bawah, komunikasi yang mengalir dari

manajer ke bawah atau ke para karyawan.

b. Komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi yang mengalir ke atas

yakni dari karyawan ke manajer.

c. Komunikasi horizontal yaitu komunikasi yang terjadi di anatara semua

karyawan di tingkatan organisasi yang sama.

d. Komunikasi diagonal, komunikasi antara orang-oranng yang

mempunyai hirarki berbeda dan tidak memiliki hubungan wewenang

secara langsung.

5. Dari aspek media atau alat yang digunakan.

a. Komunikasi visual, komunikasi yang memakai alat tertentu untuk

mengirim pesan yang dapat ditangkap oleh mata.

b. Komunikasi audial, komunikasi yang menggunakan alat tertentu yang

dapat ditangkap oleh telinga.

c. Komunikasi audio visual, komunikasi yanng memakai alat tertentu

yang pesannya ditangkap oleh mata dan telinga secara bersamaan.

6. Dari aspek cara penyampaian.

a. Komunikasi verbal, komunikasi yang pesan-pesannya disampaikan

dengan memakai kata-kata yang dapat dimengerti baik lisan maupun

tulisan.

b. Komunikasi nonverbal, komunikasi yang pesan-pesannya disampaikan

melalui simbol, isyarat, atau perilaku tertentu.

(34)

a. Komunikasi koersif, komunikasi yang dengan cara memaksa agar

komunikan dapat menerima pesan yang disampaikan.

b. Komunikasi persuasif, komunikasi dengan melibatkan aspek

psikologis komunikan, sehingga ia tidak saja menerima dan

menyetujui tetapi mau melaksanakannya dalam bentuk kegiatan atau

tindakan sebagaimana yang dikehendaki oleh komunikator.

8. Dari aspek jaringan di mana informasi mengalir.

a. Komunikasi informal, komunikasi yang tidak resmi sumber dan

maksudnya.

b. Komunikasi formal, komunikasi yang berkaitan denga tugas dan

mengikuti rantai wewenang.

9. Dari aspek manajerial.

a. Komunikasi interpersonal, yaitu komunikasi antara dua orang atau

lebih.

b. Komunikasi organisasi, yaitu semua pola,jaringan, dan sistem

komunikasi dalam suatu organisasi .

Konsep lain yang juga perlu diperhatikan mengenai interaksi sosial ialah

konsep definisi situasi. Menurut W. I. Thomas (dalam Kamanto:2004) definisi

situasi yang dibuat oleh masyarakat itu merupakan aturan yang mengatur interaksi

manusia. Selanjutnya Hall (dalam Kamanto:2004) dalm bukunya The Hidden

Dimension mengemukakan bahwa di dalam interaksi dijumpai aturan tertentu

dalam hal penggunaan ruang. Pengamatan terhadap penggunaan ruang beserta

(35)

menyimpulkan bahwa dalam situasi sosial orang cenderung menggunakan empat

macam jarak yaitu :

1. Jarak intim, berkisar antara 0-18 inci (0-45 cm), keterlibatan dengan tubuh

orang lain disertai keterlibatan intensif dari pancaindera.

2. Jarak pribadi berkisar antara 4-12 kaki (45 cm-1.22 m), interaksi pada

tahap dekat dalam jarak ini cenderung dijumpai di antara orang-orang

yang hubungannya dekat, misalnya suami isteri.

3. Jarak sosial berkisar antara 4-12 kaki (1.22 m-3.66 m), orang yang

berinteraksi dapat berbicara secara normal dan tidak saling menyentuh.

4. Jarak publik (di atas 12 kaki atau 3.66 m) dipelihara oleh orang yang harus

tampil di depan umum seperti politikus dan aktor.

Menurut Ferdinand Tonnies (dalam Soerjono Soekanto, 2001:144-146)

bahwa suatu masyarakat memiliki hubungan-hubungan positif satu sama lainnya.

Adapun bentuk hubungan tersebut dibedakan atas dua yaitu paguyuban

(gemeinschaft) dan patembayan (Gesellschaft). Paguyuban (Gemeinschaft) adalah

bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan

batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan

tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan.

Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis, sebagaimana dapat

diumpamakan dengan organ tubuh manusia atau hewan. Bentuk paguyuban

terutama akan dapat dijumpai di dalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun

tetangga dan lain sebagainya. Sebaliknya patembayan (Gesellschaft) merupakan

ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai

(36)

sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk Gesellschaft

terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal

balik, misalnya ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik atau

industri dan lain sebagainya.

Di dalam Gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu kemauan bersama

(common will), ada suatu pengertian serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan

sendirinya dari kelompok tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara anggota

suatu paguyuban, maka pertentangan tersebut tidak akan dapat dibatasi dalam

suatu hal saja. Hal itu disebabkan karena adanya hubungan yang menyeluruh

antara anggota-anggotanya. Tak mungkin suatau pertentangan yang kecil diatasi,

oleh karena pertentangan tersebut, akan menjalar ke bidang-bidang lainnya.

Keadaan yang sedikit berbeda akan dijumpai pada patembayan atau Geselschaft,

dimana terdapat public life yang artinya bahwa hubungannya bersifat untuk semua

orang; batas-batas antara “kami” dengan “bukan kami” kabur.

Pertentangan-pertentangan yang terjadi antara anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang

tertentu, karena suatu persoalan dapat dilokalisasi (Basrowi, 2005:54). Menurut

Tonnies (dalam Soekanto, 2001:146), di dalam setiap masyarakat selalu dapat

dijumpai salah satu di antara tiga tipe paguyuban, yaitu:

a. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu

Gemeinschaft atau paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan

pada ikatan darah atau keturunan, contohnya keluarga, dan kelompok

kekerabatan.

b. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban

(37)

dapat saling tolong-menolong, contohnya rukun tetangga, rukun warga,

dan arisan.

c. Paguyuban karena jiwa fikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan

suatu Gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tidak

mempunyai hubungan darah atau tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan

tetapi mereka mempunyai jiwa dan fikiran yang sama dan ideologi yang

sama. Paguyuban semacam ini biasanya ikatannya tidak sekuat paguyuban

karena darah atau keturunan.

Dari teori yang dikemukakan Ferdinand Tonnies tersebut terlihat bahwa

hubungan masyarakat saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya baik itu

dari ikatan darah, keluarga, maupun saudara jauh. Begitu juga dengan lembaga

Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) yang berperan sebagai suatu

kelompok sosial dalam bidang keagamaan yang dapat mendekatkan masyarakat

perkebunan dari berbagai status sosial dan ekonominya.

2.3. Masyarakat Perkebunan

Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia memang sangat

ditentukan oleh politik kolonial penjajah, terutama Belanda.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diterapkan dari waktu ke waktu telah mewarnai wajah

perkebunan di Indonesia hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini. Dimulai

dari sejak berkuasanya VOC yang menerapkan sistem monopoli dan pungutan

paksa terhadap usaha kebun di Indonesia, kemudian Daendels dan Raffles dengan

pandangan liberal, disusul kemudian oleh berkuasanya Gubernur Jenderal Van

(38)

perkebunan di Indonesia, hingga dikeluarkannya Agrarische wet tahun 1870

(Mubyarto, 1992:16).

Kehadiran perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap perubahan pola

pekerjaan, yang diikuti dengan peningkatan penghasilan masyarakat. Konsekuensi

lain adalah berpengaruh terhadap pola hidup dan hubungan sosial yang ditandai

dengan pergeseran berbagai irama kehidupan, perubahan pola interaksi sosial

yang sederhana dan bercorak lokal berubah ke pola interaksi yang kompleks serta

menembus batas pedesaan, bertambahnya penduduk sehingga berbagai pola

kehidupan saling mempengaruhi.

Secara umum pembagian tenaga kerja perkebunan dibedakan dalam empat

golongan yaitu administratur, pegawai staf, pegawai nonstaf, dan terakhir adalah

buruh perkebunan. Dalam struktur organisasi perkebunan terdapat pembagian

tugas yang jelas dengan penempatan tenaga kerja menurut golongan.

Pengelompokan berdasarkan perbedaan bangsa, warna kulit dan ras, ternyata juga

sangat mewarnai startifikasi pekerja perkebunan. Di dalam pengelompokannya,

kelompok pertama selalu terdiri dari pegawai berkebangsaan Belanda dan Inggris

serta beberapa orang Cina, sedangkan kelompok di bawahnya adalah pegawai

pribumi. Pejabat administratur, pegawai staf dan nonstaf perkebunan biasanya

termasuk dalam kelompok pertama, sedangkan bangsa pribumi senantiasa hanya

menempati posisinya sebagai buruh rendahan. Dalam satu unit perkebunan,

tanggung jawab terbesar dipegang oleh seorang administratur. Sebagai pucuk

pimpinan, administratur dibantu oleh seorang penasihat dan kontrolir yang lazim

disebut pegawai staf karena kedudukan mereka yang tidak terjun langsung

(39)

bagian antara lain kepala bagian tanaman, bagian teknik, bagian pabrik dan staf

administrasi, yang masih termasuk pegawai staf. Masing-masing kepala bagian

membawahi seorang asisten yang langsung diberi wewenang di lapangan. Dalam

melaksanakan tugas dan pengawasan langsung di lapangan, seorang asisten

dibantu oleh beberapa orang mandor sesuai dengan jenis-jenis pekerjaan mereka,

misalnya mandor tanam, panen, pengolahan, sortasi, pengepakan, dan sebagainya.

Lapisan terbawah dalam hirarki perkebunan adalah para buruh, baik buruh kebun

maupun buruh pabrik. Di samping itu di setiap perkebunan dipekerjakan

polisi-polisi khusus penjaga perkebunan yang bertanggung jawab langsung dengan

kontrolir. Para mandor biasanya adalah penduduk pribumi yang berasal dari

keluarga penguasa desa yang bekerja di perkebunan (Mubyarto, 1992:115-116).

Dalam tradisi kolonialis, sistem ini memang sengaja dibangun untuk

mengefektifkan proses produksi dan untuk mengakumulasikan keuntungan yang

sebanyak-banyaknya. Sistem semacam ini merupakan perpaduan antara sistem

kapitalisme yang menghambakan pada pemupukan modal dan sistem feodalisme

yang menghambakan ketaatan pada sang penguasa. Sistem masyarakat semacam

ini masih banyak menjadi fenomena di masyarakat perkebunan sekarang ini.

Tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan dalam masyarakat

perkebunan dari masa kolonial hingga sekarang. Secara geografis mereka terisolir,

akses untuk informasi dan pendidikan sangat minim. Pagar pembatas atau palang

pintu untuk masuk dan keluar perkebunan dijaga ketat oleh security. Letak

perumahan yang masih sangat membedakan antara kelas administratur dengan

buruh perkebunan. Perilaku elit adiministratur yang kurang manusiawi yang

(40)

2.4. Defenisi Konsep

Konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang

merujuk ke kenyataan nyata ke alam empiris, dan bukan merupakan refleksi

sempurna. Dalam sosiologis, konsep menegaskan dan menetapkan apa yang akan

di observasi (Suyanto, 2005:49). Defenisi konsep adalah rangkuman peneliti

dalam menjelaskan peristiwa yang akan diteliti nantinya. Konsep yang digunakan

sesuai konteks penelitian ini antara lain:

1. Fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama

berdasarkan sifat atau pelaksanaannya. Fungsi merupakan manfaat dari

suatu sistem terhadap sistem lainnya yang saling berkaitan.

2. Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) adalah sebuah lembaga

sosial keagamaan milik masyarakat perkebunan PT. Socfindo yang

bertujuan untuk mempererat tali silaturrahmi antar sesama karyawan,

pegawai staf, pegawai nonstaf, dan buruh di perkebunan PT. Socfindo.

3. Hubungan sosial adalah suatu kegiatan yang menghubungkan kepentingan

antarindividu, individu dengan kelompok atau antar kelompok yang secara

langsung ataupun tidak langsung dapat menciptakan rasa saling pengertian

dan kerja sama yang cukup tinggi, keakraban, keramahan, serta

menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Masyarakat perkebunan adalah sekumpulan orang atau warga yang

merupakan karyawan perkebunan yang tinggal dan menetap di wilayah

yang disediakan oleh perkebunan serta melakukan interaksi secara

(41)

5. Masyarakat sekitar perkebunan adalah masyarakat yang bukan merupakan

karyawan perkebunan atau pensiunan perkebunan dan tinggal di sekitar

wilayah perkebunan tetapi bukan di tanah milik perkebunan, sehingga

mereka memiliki banyak ruang untuk saling berinteraksi dengan warga

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi

deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kulitatif adalah

metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan

lain-lain secara holistik dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam bentuk

kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan

berbagai metode ilmiah (Meleong, 2006:6). Dengan menggunakan metode

kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data

yang jelas serta terperinci mengenai fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo

(IPMS) kebun Aek Loba dalam membangun hubungan sosial dengan masyarakat

sekitar di kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan, serta melihat secara

langsung bagaimana kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh lembaga

tersebut.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di perkebunan PT. Socfindo kebun Aek Loba

kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan. Alasan peneliti memilih lokasi ini

karena di perkebunan tersebut terdapat sebuah lembaga sosial keagamaan yang

aktif melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang bermanfaat tidak hanya bagi

masyarakat perkebunan akan tetapi juga masyarakat sekitarnya. Selain itu

(43)

berdampingan sehingga semakin banyak kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan

oleh Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) turut melibatkan masyarakat

sekitarnya dan membuat intensitas hubungan sosial semakin meningkat.

3.3. Unit Analisis dan Informan

3.3.1. Unit Analisis

Sasaran penelitian tidak tergantung pada judul dan topik penelitian, tetapi

secara konkrit tergambarkan dalam rumusan masalah penelitian. Sedangkan

informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian

sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami informasi objek penelitian

sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin,

2007:76). Unit analisis pada penelitian ini adalah seluruh pengurus Ikatan

Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba, masyarakat perkebunan,

dan masyarakat sekitarnya di kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan yang

telah mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Ikatan Persaudaraan

Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba.

3.3.2. Informan

Adapun yang menjadi informan sebagai sumber informasi bagi peneliti

adalah sebagai berikut:

3.3.2.1Informan kunci :

1. Ketua Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba.

2. Pengurus Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba.

3. Karyawan perkebunan/anggota Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo

(44)

a. Sering mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Ikatan Persaudaraan

Muslim Socfindo (IPMS).

b. Mengetahui sejarah Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS)

kebun Aek Loba.

c. Bekerja di perkebunan PT. Socfindo kebun Aek Loba sebelum Ikatatan

Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) dibentuk.

3.3.2.2Informan tambahan

1. Pemerintah Kecamatan Aek Kuasan.

2. Tokoh agama kecamatan Aek Kuasan yang sering mengikuti kegiatan

Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba.

3. Masyarakat sekitar perkebunan yang sering mengikuti kegiatan yang

diadakan oleh Ikatan Persudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek

Loba.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, peneliti akan menggunakan beberapa

teknik pengumpulan data agar mendapatkan kesesuaian penelitian dengan fokus

dan kebutuhan peneliti dalam mengolah data dan informasi yang diperoleh

nantinya. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi

dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.

a) Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek

penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipatif

(45)

primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian

lapangan, yaitu sebagai berikut:

1. Observasi atau pengamatan yaitu kemampuan seseorang untuk

menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta

dibantu dengan panca indera lainnya. Metode observasi adalah metode

pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian

melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2007:115). Dengan

observasi peneliti dapat melihat secara langsung kegiatan-kegiatan sosial

yang dilakukan Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek

Loba dalam menciptakan keharmonisan dan membangun hubungan sosial

dengan masyarakat sekitarnya.

2. Wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab secara langsung

ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan

pedoman wawancara serta menggunakan alat bantu perekam jika memang

dibutuhkan. Dalam hal ini peneliti nantinya akan mewawancarai informan

yang menjadi subjek penelitian guna mengetahui bagaimana fungsi

lembaga Ikatan Persaudaran Muslim Socfindo (IPMS) dalam membangun

hubungan sosial dengan masyarakat sekitarnya.

b) Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek

penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara penelitian

kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi

(46)

situs-situs internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti sehingga

memudahkan peneliti dalam menuliskan laporan penelitian.

3.5. Interpretasi Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh

data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan (observasi)

yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, foto, dan

sebagainya. Setelah data tersebut dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah

selanjutnya adalah mengadakan reduksi data dengan cara abstraksi. Abstraksi

merupakan rangkuman yang terperinci dan merujuk ke inti temuan data dengan

cara menelaah pernyataan-pernyataan yang diperlukan sehingga tetap berada

dalam fokus penelitian. Setelah itu data tersebut disusun dan dikategorisasikan

serta diinterpretasikan secara kualitatif sesuai dengan metode penelitian yang telah

(47)

3.6.Jadwal Kegiatan

Tabel 1

No Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi √

2 Acc Penelitian √

3 Penyusunan Proposal Penelitian √ √ √

4 Seminar Desain Penelitian √

5 Revisi Proposal Penelitian √

6 Penelitian Lapangan √ √ √

7 Pengumpulan Data Dan Analisis Data √ √ √ √

8 Bimbingan √ √ √

9 Penilisan Laporan Akhir √ √ √

(48)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1. Sejarah PT. Socfin Indonesia (Socfindo)

PT. Socfin Indonesia (Socfindo) didirikan pada tahun 1924 dengan

komoditi utama adalah tumbuhan kelapa sawit (Elais Guenensis jacq). Perusahaan

ini pada awalnya dimiliki oleh perusahaan Belgia yaitu Socfin Medan, Sumatera

Utara yang hak konsensinya di bawah naungan pemerintah Hindia-Belanda. Pada

tahun 1942, PT. Socfindo diambil alih secara paksa oleh pemerintah Jepang.

Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia (tahun 1945), perusahaan ini

diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia dan kemudian dikembalikan

pada PT. Socfin pada tahun 1950. Dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1967,

perusahaan ini dikuasai dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Republik

Indonesia yang mengadakan nasionalisasi perusahaan asing menjadi sebuah

perusahaan milik negara. Namun, pada tahun 1968 perusahaan ini berubah

menjadi sebuah perusahaan swasta nasional dalam bentuk Joint enterprise

(patungan) dengan nama PT. Socfin Indonesia (Socfindo) dengan perbandingan

saham yang dimiliki antara pemerintah Republik Indonesia dan perusahaan Belgia

pada saat itu adalah 40%:60%, akan tetapi saat ini saham terbesar dipegang oleh

perusahaan Belgia yaitu sekitar 90% dan 10% sisanya dimiliki oleh pemerintah

Republik Indonesia.

Visi dan misi perusahaan PT. Socfindo yaitu mempertahankan

keseimbangan dalam arti yang sehat dan berkembang di masa yang akan datang

dengan mengelola dan mengembangkan agroindustri serta usaha-usaha yang

(49)

penghasilan daerah, serta mengurangi angka pengangguran di lingkungan

setempat.

4.2. Deskripsi Wilayah PT. Socfindo Kebun Aek Loba

PT. Socfindo kebun Aek Loba merupakan salah satu cabang perkebunan

dari PT. Socfin Indonesia (Socfindo) yang berada di kabupaten Asahan, Sumatera

Utara. PT. Socfindo perkebunan Aek Loba merupakan yang terbesar dan terluas

dari cabang-cabang perkebunan yang lainnya. PT. Socfindo kebun Aek Loba

memiliki 8 (delapan) divisi yang sedikit berjauhan satu sama lainnya tergantung

luasnya wilayah perkebunan sawit di tiap-tiap divisi. Adapun luas masing-masing

divisi keseluruhan di PT. Socfindo kebun Aek Loba dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 2. Luas Wilayah PT. Socfindo Kebun Aek Loba Per Divisi

No Divisi Luas Kebun (Ha) Luas Lahan Lain (Ha) Total (Ha)

Sumber : Arsip Kantor Perkebunan PT. Socfindo Kebun Aek Loba Tahun 2013

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa total luas lahan perkebunan yang ditanami

sawit adalah 9.471,82 Ha yang tersebar di 8 (delapan) Divisi dan luas lahan lain

Gambar

Tabel 1 No
Tabel 2. Luas Wilayah PT. Socfindo Kebun Aek Loba Per Divisi
Tabel 3. Jumlah Tenaga Kerja PT. Socfindo Kebun Aek Loba Berdasarkan
Tabel 4. Keadaan Sarana Pendidikan PT. Socfindo Kebun Aek Loba
+4

Referensi

Dokumen terkait