FUNGSI IKATAN PERSAUDARAAN MUSLIM
SOCFINDO (IPMS) DALAM MEMBANGUN
HUBUNGAN SOSIAL DENGAN MASYARAKAT
SEKITAR
(Studi Deskriptif Di Perkebunan PT. Socfindo Kebun Aek Loba Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan)
OLEH:
090901032 HENNY SUSANTI
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Penulisan skripsi yang berjudul “Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar” berawal dari ketertarikan penulis dalam melihat interaksi sosial masyarakat perkebunan yang secara general cenderung lebih bersifat geselschaft yang mengakibatkan kurangnya keharmonisan antara individu dengan individu lainnya dan individu dengan masyarakat sekitar. Selain itu cara berinteraksi masyarakat perkebunan dengan masyarakat sekitar sangat minim yang dikarenakan sistem kerja perusahaan PT Socfindo kebun Aek Loba yang tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu masyarakat perkebunan khususnya karyawan perkebunan membuat lembaga yang tujuannya untuk meningkatkan tali silaturrahmi dengan masyarakat sekitar yang bernama Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dengan cara membuat beberapa program yang bersifat membangun hubungan sosial yang lebih harmonis yang bersifat sosial keagamaan karena masyarakat di perkebunan Aek Loba mayoritas beragamakan Islam .
Jenis penelitan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data yang jelas serta terperinci mengenai fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dalam membangun hubungan sosial dengan masyarakat sekitar di kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan, serta melihat secara langsung bagaimana kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh lembaga tersebut.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul “Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo
(IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar” disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana di
departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara. Secara ringkas skripsi ini mendeskripsikan dalam melihat fungsi lembaga
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) dalam membangun hubungan
sosial dengan masyarakat sekitar di perkebunan PT. Socfindo kebun Aek Loba
Kecamatan Aek Kuasan Kabupaten Asahan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak
skripsi ini tidak akan terselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orang tua yaitu ayahanda
tersayang Sujiran dan ibunda tercinta Juminem yang telah melahirkan dan
membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran
dalam mendidik anak. Inilah persembahan yang dapat penulis berikan sebagai tanda
ucapan terima kasih dan tanda bakti penulis kepada kedua orang tua.
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan
terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian
skripsi ini kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Sumatera Utara.
Ilham Saladin, M.Sp, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Sismujito, M.Si, selaku dosen
pembimbing skripsi penulis yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga,
ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal hingga penyelesaian
penulisan skripsi ini.
4. Terima kasih kepada Bapak Drs. Henry Sitorus, M.si selaku dosen penguji skripsi
penulis.
5. Terima kasih kepada para dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik terutama
dosen departemen Sosiologi yang telah membimbing, memberikan sumbangsih
pemikiran dalam aspek sosiologis serta pengalaman penelitian dari proses
pembuatan proposal penelitian lalu terjun langsung di lapangan dalam melihat
realitas sosial, serta pengolahan data penelitian sejak awal perkuliahan hingga
selesai kepada penulis.
6. Terima kasih kepada seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa,Kak Sugi Astuti dan Kak Betty
yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal
administrasi.
7. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga saya ucapkan kepada ayah penulis
Sujiran dan ibu Jum yang sangat penulis sayangi dan cintai, yang telah
mencurahkan kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya, selalu
memberikan doa, semangat, nasehat, dan mendidik penulis dengan dukungan
moril maupun materil pada masa kuliah.
Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai kekurangan
yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis
sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir
kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada
semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.
Medan, Oktober 2013 (Penulis)
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II Kajian Pustaka... 11
2.1. Organisasi Sosial ... 11
2.2. Interaksi Sosial ... 18
2.3. Masyarakat Perkebunan ... 28
2.4. Defenisi Konsep ... 31
BAB III Metode Penelitian ... 33
3.1. Jenis Penelitian ... 33
3.2. Lokasi Penelitian ... 33
3.3. Unit Analisis dan Informan ... 34
3.3.1. Unit Analisis ... 34
3.3.2. Informan ... 34
3.3.2.1. Informan Kunci ... 34
3.3.2.2. Informan Tambahan ... 35
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 35
3.5. Interpretasi Data ... 37
3.6. Jadwal Kegiatan ... 38
BAB IV Deskripsi Wilayah ... 39
4.1. Sejarah PT. Socfin Indonesia (Socfindo) ... 39
4.3. Sarana Dan Prasarana PT. Socfindo Kebun Aek loba ... 42
4.3.1. Sarana Pendidikan ... 43
4.3.2. Sarana Kesehatan ... 43
4.3.3. Sarana Olahraga ... 44
4.3.4. Sarana Tempat Ibadah ... 45
4.3.5. Kondisi Jalan Dan Transportasi ... 45
4.4. Struktur Tenaga Kerja PT. Socfindo Kebun Aek Loba ... 46
4.5. Organisasi Pemerintahan ... 47
BAB V Temuan Data Dan Interpretasi Data ... 48
5.1. Karakteristik Informan ... 48
5.1.1. Profil Informan Kunci ... 48
5.1.2. Profil Informan Tambahan ... 57
5.2. Sejarah Lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Kebun Aek Loba ... 62
5.2.1. Struktur Organisasi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Kebun Aek Loba... 64
5.2.1.1. Dewan Penasehat ... 66
5.2.1.2. Sekretaris ... 66
5.2.1.3. Bendahara ... 67
5.2.1.4. Bidang PHBI ... 67
5.2.1.5. Bidang STM ... 68
5.2.1.6. Bidang Seni ... 68
5.2.1.8. Ketua Ranting ... 69
5.2.1.9. Anggota ...69
5.3. Program Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Kebun Aek Loba Dalam Menjalin Silaturrahmi Kepada Masyarakat…... 72
5.3.1. Pengajian Rutin (Tabligh Akbar) ... 72
5.3.2. Pengajian Rutin Al-Munawwaroh ... 73
5.3.3. Pengajian Rutin Az-Zidiniyyah ... 74
5.3.4. Upah-Upah Calon Jamaah Haji ... 75
5.3.5. Safari Ramadhan ... 76
5.3.6. Sunat Massal ... 77
5.3.7. Santunan Anak Yatim ... 78
5.3.8. Membentuk Panitia Lembaga Amil Zakat (LAZ) ... 79
5.3.9. Perayaan Hari Besar Islam ... 80
5.4. Interaksi Sosial Masyarakat Perkebunan Dengan Masyarakat Sekitar Dalam Mengikuti Kegiatan Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Kebun Aek Loba ... 82
BAB VI Kesimpulan Dan Saran …... 93
6.1. Kesimpulan ... 93
6.2. Saran ... 94
ABSTRAK
Penulisan skripsi yang berjudul “Fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) Dalam Membangun Hubungan Sosial Dengan Masyarakat Sekitar” berawal dari ketertarikan penulis dalam melihat interaksi sosial masyarakat perkebunan yang secara general cenderung lebih bersifat geselschaft yang mengakibatkan kurangnya keharmonisan antara individu dengan individu lainnya dan individu dengan masyarakat sekitar. Selain itu cara berinteraksi masyarakat perkebunan dengan masyarakat sekitar sangat minim yang dikarenakan sistem kerja perusahaan PT Socfindo kebun Aek Loba yang tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Oleh sebab itu masyarakat perkebunan khususnya karyawan perkebunan membuat lembaga yang tujuannya untuk meningkatkan tali silaturrahmi dengan masyarakat sekitar yang bernama Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dengan cara membuat beberapa program yang bersifat membangun hubungan sosial yang lebih harmonis yang bersifat sosial keagamaan karena masyarakat di perkebunan Aek Loba mayoritas beragamakan Islam .
Jenis penelitan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data yang jelas serta terperinci mengenai fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dalam membangun hubungan sosial dengan masyarakat sekitar di kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan, serta melihat secara langsung bagaimana kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh lembaga tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena
tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Young:1959,
dalam Soerjono Soekanto, 2001:67). Bertemunya orang perorangan secara
badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok
sosial. Pergaulan semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan
atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya
untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan
lain sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses
sosial, pengertian mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
Dilihat pada aspek interaksi sosial tersebut dapat diartikan bahwa suatu
individu tidak bisa hidup sendirian, sebab jika hanya sendirian ia tidak menjadi
manusia. Dalam pergaulan hidup, manusia menduduki fungsi yang
bermacam-macam. Di satu sisi ia menjadi anak buah, tetapi di sisi lain ia adalah pemimpin.
Di satu sisi ia adalah ayah atau ibu, tetapi di sisi lain ia adalah anak. Di satu sisi ia
adalah kakak, tetapi di sisi lain ia adalah adik. Demikian juga dalam posisi guru
dan murid, kawan dan lawan, buruh dan majikan, besar dan kecil, mantu dan
mertua dan seterusnya. Begitu juga masyarakat perkebunan yang berdampingan
langsung dengan masyarakat desa di sekitarnya. Mereka perlu saling berinteraksi
dan menjalin hubungan sosial yang baik agar tidak terjadi konflik karena
Dalam proses interaksi sosial, suatu individu memiliki pengaruh terhadap
perubahan yang terjadi di setiap lapisan masyarakat, baik itu perubahan ke arah
yang lebih maju maupun berubah ke arah yang biasa-biasa saja. Pengaruh
kedekatan sosial maupun kedekatan geografis terhadap keterlibatan suatu individu
dalam sebuah kelompok tidak bisa diukur dengan kasat mata. Karena masyarakat
membentuk kelompok bermain dengan orang-orang di sekitarnya dan mereka
bergabung dengan kelompok kegiatan sosial lokal lainnya. Kelompok tersusun
atas individu-individu yang saling berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis
antara dua orang, semakin mungkin mereka saling melihat, berbicara, dan
bersosialisasi. Singkatnya, kedekatan fisik meningkatkan peluang interaksi dan
bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan terbentuknya kelompok sosial.
Jadi, kedekatan menumbuhkan interaksi yang memainkan peranan penting
terhadap terbentuknya kelompok pertemanan. Pembentukan kelompok sosial tidak
hanya tergantung pada kedekatan fisik tetapi juga kesamaan di antara
anggota-anggotanya. Sudah menjadi kebiasaan orang lebih suka berhubungan dengan
orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan yang dimaksud adalah
kesamaan minat, kepercayaan, nilai, usia, tingkat intelejensi, atau
karakter-karakter personal lain. Kesamaan juga merupakan faktor utama dalam memilih
calon pasangan untuk membentuk kelompok sosial yang disebut keluarga.
Kedekatan suatu individu dengan individu, individu dengan kelompok,
maupun kelompok dengan kelompok dapat menumbuhkan sebuah interaksi sosial
yang matang dan positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sosial,
pendidikan, dan budaya. Menurut Ferdinand Tonnies (dalam Soerjono Soekanto,
Gemeinschaft (paguyuban) atau Gesellschaft (patembayan). Gemeinschaft adalah
bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan
batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Sedangkan Gesellschaft
merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek,
bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka serta strukturnya bersifat
mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Seperti halnya
pada masyarakat pedesaan, perkotaan, maupun pada masyarakat perkebunan yang
memiliki pola interaksi yang berbeda-beda. Kalau masyarakat pedesaan biasanya
diidentikan pada solidaritas masyarakat yang kuat dan kedekatan hubungan
emosional yang bersifat kekeluargaan. Sedangkan masyarakat perkotaan
diidentikkan dengan kedekatan hubungan dan kedekatan hubungannya dengan
sesama memiliki interaksi sosial yang hanya bersifat sementara.
Interaksi sosial terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Seperti halnya
masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, masyarakat perkebunan juga
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya baik itu dengan sesama masyarakat
perkebunan ataupun dengan masyarakat bukan perkebunan. Dan kalau masyarakat
perkebunan hampir sama dengan masyarakat pedesaan, hanya saja masyarakat
perkebunan memiliki keterikatan dengan suatu perusahaan sehingga masyarakat
perkebunan tidak dapat bergerak bebas dan memiliki sifat yang sedikit tetutup
dikarenakan kesibukan mereka dalam bekerja demi mencukupi kebutuhan
ekonomi.
Hal di atas sesuai dengan tulisan M. Situmorang (2011) dalam sebuah
artikel online yang mengatakan bahwa masyarakat perkebunan merupakan
dalam berinteraksi antar sesama masyarakat perkebunan bahkan pada masyarakat
luar. Buruh perkebunan misalnya, yang merupakan bagian organik dari kelompok
masyarakat sipil (Civil Society). Meskipun secara struktural mereka adalah bagian
tak terpisahkan dari perusahaan, tetapi kesatuan fundamental historis, secara
kongkrit tidak tergabung dan tidak dapat bersatu. Karena mereka adalah
sekelompok golongan masyarakat sipil yang menjadi subordinat atau golongan
subyek dominan bagi kelompok-kelompok dominan. Kelompok-kelompok
dominan itu adalah suatu kekuatan yang senantiasa eksis dalam sejarah
masyarakat post kolonial meskipun bukan dalam bentuk aslinya. Struktur
dikotomi masyarakat post kolonial adalah elite dan subaltern. Yang dimaksud elit
adalah kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing. Yang asing
bisa pemilik industri, pemilik perkebunan yang pribumi dibagi menjadi dua yang
beroperasi di tingkat nasional (pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka
yang beroperasi di tingkat lokal (pegawai pribumi di birokrasi lokal, birokrasi
perkebunan). Pola interaksi dan interrelasi ketiga pilar tersebut tidak selalu
berjalan secara harmonis. Bagaimanapun pola interaksi dan interelasi mereka
berjalan secara dinamik, di mana merupakan arena pertarungan kekuasaan
sepanjang masa. Konflik kepentingan dan kontelasi masing-masing aktor tersebut
terjadi antara kekuatan yang dominan dan yang didominasi. Dialektika dominasi
dan resistensi seperti ini berlangsung terus menerus dalam konteks sejarah, sosial
dan politik yang berubah-ubah.
Dari pernyataan di atas terlihat bahwa interaksi yang terjadi berbeda satu
sama lain tergantung di wilayah mana suatu masyarakat berada, atau dengan kata
lain terdapat pengelompokan-pengelompokan di dalam struktur organisasi
masyarakat perkebunan yang juga mempengaruhi proses interaksi sosialnya.
Misalnya karyawan hanya bisa bergaul dengan sesama karyawan, atau buruh
bergaul dengan sesama buruh saja. Hal ini menumbuhkan sebuah interaksi yang
kaku serta menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan masyarakat
perkebunan. Masyarakat perkebunan yang sangat bergantung dengan mata
pencahariannya pada perusahaan kemudian jadi sulit berkembang apalagi bergaul.
Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh para karyawan perkebunan membuat
mereka kurang berinteraksi dengan masyarakat lainnya dikarenakan sebagian
besar waktu mereka gunakan untuk bekerja. Tentu saja ini kemudian membuat
masyarakat perkebunan menjadi tertutup. Keterikatan akan kontrak kerja dengan
perusahaan membuat para buruh perkebunan menjadi kurang ruang gerak dan
pemikirannya sehingga berdampak pada kurangnya kesempatan untuk
mengembangkan diri atau mensejahterakan diri dan keluarganya ke arah yang
lebih baik melalui jalan lain. Bahkan mereka lebih memilih anak dan seluruh
keluarganya bekerja di perkebunan juga. Selain itu, kehidupan masyarakat
perkebunan yang terikat ini juga mempengaruhi pola interaksinya, baik itu
terhadap sesama masyarakat perkebunan maupun dengan masyarakat sekitar yang
notabenenya bukan masyarakat perkebunan. Karena jarang sekali bertemu dan
bersosialisasi, hal ini tentu saja kemudian menciptakan hubungan yang tidak
Dalam perjalanannya, masyarakat di wilayah perkebunan sudah mulai
kritis dan mulai berkembang pola pikirnya terhadap keberlangsungan hidupnya
tidak hanya dalam hal ekonomi akan tetapi juga pergaulan dengan masyarakat
lainnya. Oleh karena itu kemudian muncullah lembaga-lembaga yang mendukung
dan mengatur pola-pola interaksi tidak hanya pada masyarakat perkebunan tetapi
juga masyarakat bukan perkebunan yang ada di sekitarnya agar berlangsung
harmonis sehingga dapat menguntungkan satu sama lain. Lembaga sosial dalam
wilayah perkebunan diharapkan mampu menjadi sebuah wadah yang dapat
mengelola dengan baik hubungan-hubungan sosial masyarakatnya. Salah satu
lembaga kemasyarakatan di suatu wilayah perkebunan adalah lembaga Ikatan
Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) yang ada di badan perkebunan PT.
Socfindo.
Pemukiman masyarakat perkebunan pada umumnya terpisah dari
masyarakat desa lainnya. Hal ini dilakukan pihak perkebunan agar para karyawan
bisa fokus bekerja dan mudah ditemui. Akan tetapi hal berbeda terjadi di
perkebunan PT. Socfindo kebun Aek Loba, pemukiman masyarakat perkebunan
terlihat saling berdampingan dengan masyarakat desa di sekitarnya bahkan berada
dalam satu wilayah. Selain itu, pihak pemerintah desa dan kecamatan tidak
membedakan perlakuan terhadap masyarakat perkebunan yang ada di wilayahnya.
Mereka dianggap sama dengan masyarakat desa yang bukan merupakan karyawan
perekebunan, sehingga kemudian mengaburkan perbedaan status sosial di antara
kedua lapisan masyarakat ini. Hal ini juga mempermudah lembaga Ikatan
mengikutsertakan seluruh masyarakat baik itu yang merupakan bagian dari
perkebunan maupun bukan.
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) adalah lembaga independen
yang ada dalam perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Socfindo yang berdiri
pada tahun 1997 dan berpusat di Medan. Lembaga ini ada di tiap-tiap cabang
perkebunan PT. Socfindo yaitu di provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Di provinsi
Nangroe Aceh Darussalam yaitu lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo
(IPMS) perkebunan Sei Liput, perkebunan Seu Nagan, perkebunan Seu Mayam,
dan perkebunan Lae Butar. Sedangkan di provinsi Sumatera Utara yaitu lembaga
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) perkebunan Matapao, perkebunan
Lima Puluh, perkebunan Aek Loba, perkebunan Aek Ledong, perkebunan Negeri
Lama, perkebunan Tanah Betsi, perkebunan Aek Pamingke, perkebunan Tanah
Gambus, perkebunan Halimbe, perkebunan Bangun Bandar, dan perkebunan
Tanjung Maria. Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) merupakan sebuah
lembaga sosial keagamaan yang dibentuk oleh seluruh jajaran pekerja di
perkebunan PT. Socfindo. Lembaga ini bertujuan untuk menjalin hubungan sosial
antar sesama karyawan perkebunan, buruh, staf pegawai perkebunan, asisten
manager, maupun manager yang beragama Islam. Adapun bentuk kegiatan
sosialnya tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat Muslim di perkebunan PT.
Socfindo tetapi juga pada masyarakat bukan perkebunan yang tinggal di
sekitarnya. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi perbedaan yang tampak di antara
lapisan-lapisan jabatan warga perkebunan sehingga mereka bisa saling membantu
tanpa terganggu dengan struktur organisasi tenaga kerja yang bersifat kolonial
bukan perkebunan tersebut diharapkan mampu menciptakan hubungan yang
harmonis di antara keduanya.
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek loba adalah
salah satu lembaga sosial keagamaan yang rutin melaksanakan kegiatan-kegiatan
sosial. Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan adalah memberikan bantuan
hidup bagi anak yatim piatu, bantuan pendidikan berupa beasiswa bagi anak
warga perkebunan yang tidak mampu, wirid akbar sekecamatan, sunat massal,
safari ramadhan, perayaan hari besar Islam, serta pengajian rutin.
Program-program kegiatan yang dilakukan oleh Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo
(IPMS) kebun Aek Loba juga tidak terbatas pada masyarakat perkebunan saja,
tetapi juga mengikutsertakan masyarakat desa yang ada di sekitarnya. Tentu saja
hal ini membuat interaksi antara masyarakat perkebunan maupun masyarakat
sekitar yang merupakan bukan karyawan perkebunan semakin banyak. Dan pada
akhirnya akan mengaburkan perbedaan dan kesenjangan sosial yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat.
Misalnya pada bulan Januari 2013 lalu lembaga Ikatan Persaudaraan
Muslim Socfindo (IPMS) kebun Lae Butar di Aceh Singkil membuat kegiatan
sunatan massal gratis. Para peserta yang mengikuti sunatan massal berasal dari
anak karyawan perkebunan dan anak-anak dari desa sekitar. Panitia pelaksana
kegiatan sunatan massal sebenarnya menyediakan tempat untuk seratus orang
peserta, akan tetapi peserta yang mendaftar hanya sebanyak 80 (delapan puluh)
orang. Padahal panitia sudah menyiapkan bingkisan bagi para peserta yang
diadakannya kegiatan sosial ini
Maret 2013 pukul 21:49 WIB).
Kegiatan yang tersebut di atas menggambarkan bagaimana proses interaksi
terjadi. Misalnya ketika para orang tua melihat anaknya sedang disunat, ada
suasana yang membuat orang tua merasa lucu dan was-was dengan tingkah laku
peserta yang ketakutan. Perasaan itu kemudian diceritakan kepada orang tua yang
lain sehingga proses interaksi terjadi. Dari contoh kasus tersebut maka peneliti
kemudian tertarik untuk melakukan penelitian mengenai fungsi lembaga Ikatan
Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) di tempat lain yaitu di kebun Aek Loba
kecamatan Aek Kuasan, kabupaten Asahan dalam membangun hubungan sosial
dengan masyarakat sekitarnya.
1.2. Rumusan Masalah
Sebuah penelitian harus memiliki batasan-batasan permasalahan yang
harus diteliti. Selain agar permasalahan yang berkaitan dapat terjawab juga agar
penelitian tidak lari dari jalur yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu berdasarkan
uraian permasalahan yang telah dijelaskan dalam latar belakang di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana fungsi
lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba dalam
membangun hubungan sosial dengan masyarakat sekitar di kecamatan Aek
Kuasan kabupaten Asahan?”
1.3. Tujuan Penelitian
Setelah merumuskan masalah yang akan diteliti pada sebuah penelitian,
rumusan masalah penelitian. Adapun yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan
perumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui bagaimana fungsi lembaga
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) dalam membangun hubungan
sosial serta interaksi dengan masyarakat desa sekitarnya.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan sesuatu yang diharapkan ketika sebuah
penelitian sudah selesai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini
adalah:
a. Manfaat teoritis
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan
sumbangan pemikiran bagi peneliti lain sebagai bahan rujukan untuk
perbandingan atas masalah yang sama terutama dalam bidang ilmu
sosiologi khususnya tentang studi masyarakat perkebunan yang sangat
sedikit referensinya.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam
membuat karya tulis ilmiah melalui penelitian ini. Selain itu hasil
penelitian juga nantinya diharapkan dapat memberi manfaat bagi peneliti
selanjutnya dalam menjadikan sebuah referensi tentang fungsi organisasi
dalam meningkatkan hubungan sosial antara masyarakat perkebunan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Organisasi Sosial
Organisasi adalah institusi masyarakat yang dominan di dalam kehidupan
manusia. Seseorang mungkin dilahirkan di rumah sakit, dididik di sekolah formal,
mencari nafkah dengan bekerja di suatu perusahaan, mengadakan kegiatan sosial
dengan aktif di organisasi kemasyarakatan, mengikuti perkumpulan yang
menyalurkan hobi tertentu, mengikuti salah satu partai politik, dan pada saat
meninggal kematiannya diatur oleh organisasi tertentu. Organisasi telah meliputi
hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Setiap hari seseorang hampir selalu
berhubungan dengan berbagai organisasi dan sebagian besar waktunya dihabiskan
dalam aktivitas organisasi. Hanya masyarakat primitif dan terasing saja yang tidak
mempunyai organisasi (Ibrahim, 2003:63).
Menurut Stephen Robbins (dalam Sobirin, 2007:5) organisasi adalah unit
sosial yang sengaja didirikan untuk jangka waktu yang relatif lama,
beranggotakan dua orang atau lebih yang bekerja bersama-sama dan
terkoordinasi, mempunyai pola kerja tertentu yang terstruktur, dan didirikan untuk
mencapai tujuan bersama atau satu set tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Organisasi sosial dapat diartikan sebagai perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum,
yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa
dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia
dapat mereka capai sendiri. Organisasi sosial merupakan tata cara yg telah
diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia dalam sebuah wadah yang
disebut dengan Asosiasi. Asosiasi memiliki seperangkat aturan, tata tertib,
anggota dan tujuan yang jelas, sehingga berwujud kongkrit.
Menurut Schein (dalam Ibrahim, 2003:67) bahwa di dalam organisasi ada
koordinasi, tujuan bersama, pembagian kerja, dan integrasi. Koordinasi muncul
dari adanya kenyataan bahwa setiap individu tidak akan dapat memenuhi
kebutuhan dan harapannya seorang diri, setelah beberapa orang mengkoordinir
usaha bersama maka mereka merasa lebih banyak berhasil daripada kalau mereka
melakukan sendiri-sendiri. Tentu saja organisasi sudah mendarah daging menjadi
suatu wadah yang dapat menampung segala aspirasi dan tujuan kelompok
masyarakat yang nantinya akan menimbulkan keharmonisan dalam
bermasyarakat.
Alvin L. Bertrand (1980:25) mengemukakan pengertian organisasi sosial
dalam arti luas adalah tingkah laku manusia yang berpola kompleks serta luas
ruang lingkupnya di dalam setiap masyarakat. Organisasi sosial dalam arti khusus
adalah tingkah laku dari para pelaku di dalam sub-sub unit masyarakat misalnya
keluarga, bisnis dan sekolah. Selanjutnya Robin Williams (dalam Bertrand,
1980:26) mengemukakan bahwa organisasi sosial menunjuk pada tindakan
manusia yang saling memperhitungkan dalam arti saling ketergantungan. Ia
selanjutnya menjelaskan bahwa pada saat individu melakukan interaksi
berlangsung terus dalam jangka waktu tertentu, maka akan timbul pola-pola
tingkah laku. JBAF Maijor Polak (1985:254) mengemukakan bahwa organisasi
mempunyai tujuan tertentu, kepentingan tertentu, menyelenggarakan kegemaran
tertentu atau minat-minat tertentu.
Masalah organisasi terletak pada keberadan tujuan sebuah organisasi.
Thompson (dalam Liliweri:1997), tujuan organisasi adalah suatu objek yang
bersifat abstrak dari organisasi, dia merupakan cita-cita ideal yang harus dicapai
oleh semua anggota organisasi. Tujuan organisasi merupakan pikiran yang
mendominasi masa depan, dominasi itu yang mendorong anggota organisasi
mengadakan koalisi. Tanpa adanya sebuah tujuan dalam pembentukan organisasi
maka tidak akan ada manfaat dari sebuah organisasi. Karena tujuan organisasi
merupakan bentuk mutlak yang ada dalam struktur keorganisasian agar dapat
berdiri tegak sesuai dengan keinginan para anggotanya.
Berdasarkan definisi organisasi sosial seperti yang telah disebutkan di atas,
menurut Sobirin (2007) organisasi pada dasarnya mempunyai lima karakteristik
utama yaitu sebagai berikut :
1. Unit atau entitas sosial, meski bukan sebagai realitas fisik, bukan
berarti bahwa organisasi tidak membutuhkan fasilitas fisik. Fasilitas
fisik seperti gedung, peralatan kantor, maupun mesin-mesin masih
tetap dibutuhkan (meski tidak harus dimiliki) karena dengan fasilitas
fisik inilah sebuah organisasi bisa melakukan kegiatannya. Di samping
itu dari fasilitas fisik ini pula orang luar mudah mengenali adanya
entitas sosial.
2. Beranggotakan minimal dua orang, siapapun yang mendirikan
sebagai unsur utama dari organisasi. Sebab tanpa keterlibatan unsur
manusia sebuah entitas sosial tidak bisa dikatakan sebagai organisasi.
Dengan kata lain salah satu persyaratan agar sebuah entitas sosial
disebut sebagai organisasi adalah harus beranggotakan dua orang atau
lebih agar kedua orang tersebut bisa saling bekerja sama, melakukan
pembagian kerja dan agar terdapat spesialisasi dalam pekerjaan.
3. Berpola kerja yang terstruktur, untuk dikatakan sebagai organisasi
sebuah unit sosial harus bernaggotakan minimal dua orang di mana
keduanya bekerja secara terkoordinasi dan mempunyai pola kerja yang
terstruktur. Penjelasan ini menegaskan bahwa berkumpulnya dua orang
atau lebih belum dikatakan sebuah organisasi manakala berkumpulnya
dua orang atau lebih tersebut tidak terkoordinasi dan tidak mempunyai
pola kerja yang terstruktur. Tanpa koordinasi dan pola kerja yang
terstruktur, kumpulan dua orang atau lebih hanyalah sekedar kumpulan
orang bukan organisasi.
4. Mempunyai tujuan, organisasi didirikan bukan untuk siapa-siapa dan
bukan tanpa tujuan. Organisasi didirikan karena manusia sebagai
makhluk sosial, sukar mencapai tujuan individualnya jika segala
sesuatu harus dikerjakan sendirian. Kalau dengan bekerja sendiri
tujuan individual tersebut bisa tercapai tetapi akan lebih efisien dan
efektif jika cara pencapaiannya dilakukan dengan bantuan orang lain
melalui organisasi. Artinya tujuan didirikannya sebuah organisasi
lebih mudah mencapai tujuannya ketimbang mereka harus bekerja
sendiri-sendiri.
5. Mempunyai identitas diri, jika sekelompok manusia diorganisir untuk
melakukan kegiatan maka jadilah sekelompok manusia tersebut entitas
sosial yang berbeda dengan entitas sosial lainnya. Identitas diri sebuah
organisasi secara formal misalnya bisa diketahui melalui akte
pendirian organisasi tersebut yang menjelaskan siapa yang menjadi
bagian dari organisasi dan siapa yang bukan, kegiatan apa yang
dilakukan, bagaimana organisasi tersebut diatur atau siapa yang
mengaturnya. Di samping itu organisasi juga dapat diidentifikasikan
melalui variabel yang sifatnya informal dan sulit dipahami tetapi
keberadaannya tidak diragukan. Variabel tersebut biasa disebut sebagai
budaya.
Organisasi sosial disebut juga dengan lembaga kemasyarakatan, pranata
sosial atau institusi sosial. Menurut Koentjaraningrat (dalam Ibrahim, 2003:87),
lembaga kemasyarakatan (pranata sosial) adalah suatu sistem dan norma khusus
yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu
keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat. Soerjono Soekanto
(dalam Ibrahim, 2003:87) mendefenisikan lembaga kemasyarakatan sebagai
himpunan dari norma-norma segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan
pokok manusia di dalam kehidupan masyarakat.
Gillin dan Gillin (dalam Basrowi, 2005:99) dalam bukunya General
Features Of Social Institutions mengatakan bahwa ciri umum lembaga
1. Merupakan suatu organisasi yang berisi pola-pola pemikiran dan pola-pola
perilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan
hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan dalam hal ini berisi tata
kelakuan, adat istiadat, kebiasaan, serta unsur-unsur kebudayaan yang
secara langsung atau tidak tergabung dalam satu unit fungsional.
2. Mempunyai tingkat kekekalan tertentu. Dalam hal ini sistem kepercayaan
dan tindakan yang lain baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan
setelah melewati waktu yang relatif lama.
3. Mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Sebagai contoh, suatu
lembaga persaingan bebas dalam kehidupan ekonomi yang bertujuan agar
produksi berjalan secara efektif oleh karena para individu akan terpaut
pada keuntungan yang akan diperolehnya kepada orang-orang yang
mempunyai pengaruh serta mengetahui cara-caranya.
4. Mempunyai alat-alat perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan
lembaga yang bersangkutan, misalnya peralatan penggunaannya biasanya
akan berlainan untuk masing-masing masyarakat.
5. Mempunyai lambang-lambang yang berbeda, yang menggambarkan tujuan
dan fungsi lembaga tersebut. Misalnya sekolah-sekolah mempunyai
lambang yang merupakan ciri khas sekolah tersebut.
6. Mempunyai tradisi yang tertulis maupun tidak tertulis, yang merumuskan
tujuannya, tata tertib yang berlaku.
Selanjutnya Gillin dan Gillin (dalam Basrowi, 2005:100) juga
1. Dari sudut perkembangannya, dibedakan menjadi crescive institution dan
enacted institution. Crescive institution disebut sebagai lembaga primer,
yaitu lembaga yang tak sengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat.
Enacted institution, yaitu lembaga kemasyarakatan yang sengaja dibentuk
untuk memenuhi tujuan tertentu.
2. Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat dibagi menjadi
basic institution dan subsidiary institution. Basic institution adalah
lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan
mempertahankan tata tertib dalam masyarakat, misalnya keluarga dan
sekolah, sedangkan subsidiary institution adalah lembaga kemasyarakatan
yang dianggap kurang penting, misalnya rekreasi.
3. Dari sudut penerimaan masyarakat, dibagi menjadi social
sanctioned-institutions (approved) dan uninstitutions. Social
sanctioned-institutions adalah lembaga yang diterima masyarakat, misalnya sekolah.
Dan unsanctioned-institutions adalah lembaga yang ditolak masyarakat,
misalnya kelompok penjahat.
4. Dari sudut penyebarannya, dibagi menjadi general institutions dan
restricted institution. General institution adalah lenbaga kemasyarakatan
yang dikenal hampir semua masyarakat di dunia, misalnya agama.
Sedangkan restricted institution adalah lembaga yang dianut oleh suatu
masyarakat tertentu, misalnya agama Islam, Kristen, Hindu, Budha.
5. Dari sudut fungsinya, dibagi menjadi operative institutions dan regulative
institutions. Operative institutions adalah lembaga kemasyarakatan yang
untuk mencapai tujuan lembaga tersebut, misalnya lembaga industrialisasi.
Sedangkan regulative institutions adalah lembaga kemasyarakatan yang
berfungsi untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan yang tidak
menjadi bagian yang mutlak dari lembaga tersebut, misalnya pengadilan.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996) menyebutkan bahwa lembaga
sosial memiliki dua fungsi yaitu :
1. Fungsi manifes, yaitu fungsi yang diharapkan oleh banyak orang akan
dipenuhi oleh lembaga itu sendiri, misalnya lembaga keluarga harus
memelihara anak, lembaga pendidikan harus mendidik siwa-siswanya.
Fungsi manifes ini bersifat jelas dan diakui.
2. Fungsi laten, merupakan dampak atau akibat dari adanya fungsi manifes,
seperti efek samping dari suatu kebijakan, program, lembaga-lembaga atau
asosiasi yang tidak dikehendaki. Misalnya, lembaga ekonomi tidak hanya
memproduksi dan mendistribusikan kebutuhan pokok, tetapi terkadang
juga meningkatkan pengangguran dan perbedaan kekayaan.
2.2. Interaksi Sosial
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang sejak dilahirkan
sudah membutuhkan pergaulan dengan orang-orang untuk memenuhi
kebutuhannya (Gerungan, 2000:24). Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari
hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang
berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma
yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika
adanya kesadaran atas pribadi masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak
dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari-hari
tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu dengan yang
lainnya, ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk
dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran. Interaksi sosial merupakan kunci
semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar
satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang
saling berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk
kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi. Maka dari itu dapat disebutkan
bahwa interaksi merupakan dasar dari suatu bentuk proses sosial karena tanpa
adanya interaksi sosial, maka kegiatan-kegiatan antar satu individu dengan yang
lain tidak dapat disebut interaksi (Soerjono Soekanto, 2001).
Interaksi Sosial menurut menurut Shaw (dalam Ali, 2004:87) merupakan
suatu pertukaran antarpribadi yang masing- masing orang menunjukkan
perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka dan masing- masing perilaku
mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini, tindakan yang dilakukan seseorang
dalam suatu interaksi merupakan stimulus bagi individu lain yang menjadi
pasangannya. Dan pada akhirnya mereka akan saling berperilaku sama lain untuk
menunjukkan adanya kegiatan timbal balik yang saling berhubungan.
Menurut Narwoko (2007:20) interaksi sosial adalah hubungan timbal balik
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antara kelompok
dengan kelompok. Interaksi sosial merupakan proses komunikasi di antara
orang-orang untuk saling mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan. Interaksi sosial
tersebut menimbulkan reaksi individu yang lain. Interaksi sosial terjadi jika dua
orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, berbicara, berjabat tangan atau
bahkan terjadi persaingan dan pertikaian. Manusia dalam kehidupannya tidak
dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang
sepanjang hidupnya bersosialisasi dengan orang lain dalam proses interaksi.
Interaksi sosial menghasilkan banyak bentuk sosialisasi.
Menurut Soerjono Soekanto (2001:71), interaksi sosial tidak mungkin
terjadi tanpa adanya dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi.
1). Kontak Sosial
Kata “kontak” (Inggris: “contact") berasal dari bahasa Latin con atau cum
yang artinya bersama-sama dan tangere yang artinya menyentuh. Jadi, kontak
berarti bersama-sama menyentuh. Dalam pengertian sosiologi, kontak sosial tidak
selalu terjadi melalui interaksi atau hubungan fisik, sebab orang bisa melakukan
kontak sosial dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, misalnya bicara melalui
telepon, radio, atau surat elektronik. Oleh karena itu, hubungan fisik tidak menjadi
syarat utama terjadinya kontak. Kontak sosial memiliki sifat-sifat berikut.
a. Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif. Kontak sosial positif
mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negatif
mengarah pada suatu pertentangan atau konflik.
b. Kontak sosial dapat bersifat primer atau sekunder. Kontak sosial primer
terjadi apabila para peserta interaksi bertemu muka secara langsung.
Misalnya, kontak antara guru dan murid di dalam kelas, penjual dan
Sementara itu, kontak sekunder terjadi apabila interaksi berlangsung
melalui suatu perantara. Misalnya, percakapan melalui telepon. Kontak
sekunder dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Kontak
sekunder langsung misalnya terjadi saat ketua RW mengundang ketua RT
datang ke rumahnya melalui telepon. Sementara jika Ketua RW menyuruh
sekretarisnya menyampaikan pesan kepada ketua RT agar datang ke
rumahnya, yang terjadi adalah kontak sekunder tidak langsung.
2). Komunikasi
Komunikasi merupakan syarat terjadinya interaksi sosial. Hal terpenting
dalam komunikasi yaitu adanya kegiatan saling menafsirkan perilaku
(pembicaraan, gerakan-gerakan fisik, atau sikap) dan perasaan-perasaan
yang disampaikan. Ada lima unsur pokok dalam komunikasi yaitu sebagai
berikut.
a). Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan, perasaan, atau
pikiran kepada pihak lain.
b). Komunikan, yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan,
pikiran, atau perasaan.
c). Pesan, yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator. Pesan dapat
berupa informasi, instruksi, dan perasaan.
d). Media, yaitu alat untuk menyampaikan pesan. Media komunikasi
dapat berupa lisan, tulisan, gambar, dan film.
e). Efek, yaitu perubahan yang diharapkan terjadi pada komunikan, setelah
Proses komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam menjalin
proses interaksi sosial. Ada tiga tahap penting dalam proses komunikasi. Ketiga
tahap tersebut adalah sebagai berikut.
a. Encoding
Pada tahap ini, gagasan atau program yang akan dikomunikasikan
diwujudkan dalam kalimat atau gambar. Dalam tahap ini, komunikator
harus memilih kata, istilah, kalimat, dan gambar yang mudah dipahami
oleh komunikan. Komunikator harus menghindari penggunaan kode-kode
yang membingungkan komunikan.
b. Penyampaian
Pada tahap ini, istilah atau gagasan yang sudah diwujudkan dalam bentuk
kalimat dan gambar disampaikan. Penyampaian dapat berupa lisan, tulisan,
dan gabungan dari keduanya.
c. Decoding
Pada tahap ini dilakukan proses mencerna dan memahami kalimat serta
gambar yang diterima menurut pengalaman yang dimiliki.
Komunikasi-komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana menurut
Johnson (dalam Narwoko, 2007:16) adalah bentuk paling elementer dan yang
paling pokok dalam komunikasi. Tetapi, pada masyarakat ‘isyarat’ komunikasi
yang dipakai tidaklah terbatas pada bentuk komunikasi ini. Hal ini disebabkan
karena manusia mampu menjadi objek untuk dirinya sendiri (dan juga sebagai
subjek yang bertindak) dan melihat tindakan-tindakannya seperti orang lain dapat
melihatnya. Dengan kata lain manusia dapat membayangkan dirinya secara sadar
dapat mengonsentrasikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe
respon tertentu dari orang lain.
Dalam sebuah organisasi komunikasi menjadi sangat penting karena di
dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain yaitu
manusia. Nimran (dalam Komang dkk:2008) mengatakan bahwa ada
bermacam-macam paradigma atau cara pandang yang dapat dipakai untuk membedakan
berbagai bentuk komunikasi.
1. Dari aspek lingkup organisasi.
a. Komunikasi intern, komunikasi yang terjadi antara pihak-pihak
internal.
b. Komunikasi ekstern, komunikasi antara suatu organisasi dengan pihak
eksternal.
2. Dari aspek sudut arahnya.
a. Komunikasi searah, komunikasi yang ditandai oleh adanya satu pihak
yang aktif yaitu penyampai informasi sedangkan pihak lainnya pasif
dan menerima.
b. Komunikasi dua arah, komunikasi yang ditandai peran aktif kedua
belah pihak baik pemberi atau penerima informasi.
3. Dari aspek tingkatan organisasi.
a. Komunikasi vertikal adalah komunikasi yang berlangsung antara
bawahan dengan atasan dalam hirarki organisasi.
b. Komunikasi horisontal adalah komunikasi yang terjadi di antara
pejabat yang sederajat.
a. Komunikasi dari atas ke bawah, komunikasi yang mengalir dari
manajer ke bawah atau ke para karyawan.
b. Komunikasi dari bawah ke atas, komunikasi yang mengalir ke atas
yakni dari karyawan ke manajer.
c. Komunikasi horizontal yaitu komunikasi yang terjadi di anatara semua
karyawan di tingkatan organisasi yang sama.
d. Komunikasi diagonal, komunikasi antara orang-oranng yang
mempunyai hirarki berbeda dan tidak memiliki hubungan wewenang
secara langsung.
5. Dari aspek media atau alat yang digunakan.
a. Komunikasi visual, komunikasi yang memakai alat tertentu untuk
mengirim pesan yang dapat ditangkap oleh mata.
b. Komunikasi audial, komunikasi yang menggunakan alat tertentu yang
dapat ditangkap oleh telinga.
c. Komunikasi audio visual, komunikasi yanng memakai alat tertentu
yang pesannya ditangkap oleh mata dan telinga secara bersamaan.
6. Dari aspek cara penyampaian.
a. Komunikasi verbal, komunikasi yang pesan-pesannya disampaikan
dengan memakai kata-kata yang dapat dimengerti baik lisan maupun
tulisan.
b. Komunikasi nonverbal, komunikasi yang pesan-pesannya disampaikan
melalui simbol, isyarat, atau perilaku tertentu.
a. Komunikasi koersif, komunikasi yang dengan cara memaksa agar
komunikan dapat menerima pesan yang disampaikan.
b. Komunikasi persuasif, komunikasi dengan melibatkan aspek
psikologis komunikan, sehingga ia tidak saja menerima dan
menyetujui tetapi mau melaksanakannya dalam bentuk kegiatan atau
tindakan sebagaimana yang dikehendaki oleh komunikator.
8. Dari aspek jaringan di mana informasi mengalir.
a. Komunikasi informal, komunikasi yang tidak resmi sumber dan
maksudnya.
b. Komunikasi formal, komunikasi yang berkaitan denga tugas dan
mengikuti rantai wewenang.
9. Dari aspek manajerial.
a. Komunikasi interpersonal, yaitu komunikasi antara dua orang atau
lebih.
b. Komunikasi organisasi, yaitu semua pola,jaringan, dan sistem
komunikasi dalam suatu organisasi .
Konsep lain yang juga perlu diperhatikan mengenai interaksi sosial ialah
konsep definisi situasi. Menurut W. I. Thomas (dalam Kamanto:2004) definisi
situasi yang dibuat oleh masyarakat itu merupakan aturan yang mengatur interaksi
manusia. Selanjutnya Hall (dalam Kamanto:2004) dalm bukunya The Hidden
Dimension mengemukakan bahwa di dalam interaksi dijumpai aturan tertentu
dalam hal penggunaan ruang. Pengamatan terhadap penggunaan ruang beserta
menyimpulkan bahwa dalam situasi sosial orang cenderung menggunakan empat
macam jarak yaitu :
1. Jarak intim, berkisar antara 0-18 inci (0-45 cm), keterlibatan dengan tubuh
orang lain disertai keterlibatan intensif dari pancaindera.
2. Jarak pribadi berkisar antara 4-12 kaki (45 cm-1.22 m), interaksi pada
tahap dekat dalam jarak ini cenderung dijumpai di antara orang-orang
yang hubungannya dekat, misalnya suami isteri.
3. Jarak sosial berkisar antara 4-12 kaki (1.22 m-3.66 m), orang yang
berinteraksi dapat berbicara secara normal dan tidak saling menyentuh.
4. Jarak publik (di atas 12 kaki atau 3.66 m) dipelihara oleh orang yang harus
tampil di depan umum seperti politikus dan aktor.
Menurut Ferdinand Tonnies (dalam Soerjono Soekanto, 2001:144-146)
bahwa suatu masyarakat memiliki hubungan-hubungan positif satu sama lainnya.
Adapun bentuk hubungan tersebut dibedakan atas dua yaitu paguyuban
(gemeinschaft) dan patembayan (Gesellschaft). Paguyuban (Gemeinschaft) adalah
bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan
batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan
tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan.
Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis, sebagaimana dapat
diumpamakan dengan organ tubuh manusia atau hewan. Bentuk paguyuban
terutama akan dapat dijumpai di dalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun
tetangga dan lain sebagainya. Sebaliknya patembayan (Gesellschaft) merupakan
ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai
sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Bentuk Gesellschaft
terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal
balik, misalnya ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik atau
industri dan lain sebagainya.
Di dalam Gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu kemauan bersama
(common will), ada suatu pengertian serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan
sendirinya dari kelompok tersebut. Apabila terjadi pertentangan antara anggota
suatu paguyuban, maka pertentangan tersebut tidak akan dapat dibatasi dalam
suatu hal saja. Hal itu disebabkan karena adanya hubungan yang menyeluruh
antara anggota-anggotanya. Tak mungkin suatau pertentangan yang kecil diatasi,
oleh karena pertentangan tersebut, akan menjalar ke bidang-bidang lainnya.
Keadaan yang sedikit berbeda akan dijumpai pada patembayan atau Geselschaft,
dimana terdapat public life yang artinya bahwa hubungannya bersifat untuk semua
orang; batas-batas antara “kami” dengan “bukan kami” kabur.
Pertentangan-pertentangan yang terjadi antara anggota dapat dibatasi pada bidang-bidang
tertentu, karena suatu persoalan dapat dilokalisasi (Basrowi, 2005:54). Menurut
Tonnies (dalam Soekanto, 2001:146), di dalam setiap masyarakat selalu dapat
dijumpai salah satu di antara tiga tipe paguyuban, yaitu:
a. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu
Gemeinschaft atau paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan
pada ikatan darah atau keturunan, contohnya keluarga, dan kelompok
kekerabatan.
b. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban
dapat saling tolong-menolong, contohnya rukun tetangga, rukun warga,
dan arisan.
c. Paguyuban karena jiwa fikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan
suatu Gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tidak
mempunyai hubungan darah atau tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan
tetapi mereka mempunyai jiwa dan fikiran yang sama dan ideologi yang
sama. Paguyuban semacam ini biasanya ikatannya tidak sekuat paguyuban
karena darah atau keturunan.
Dari teori yang dikemukakan Ferdinand Tonnies tersebut terlihat bahwa
hubungan masyarakat saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya baik itu
dari ikatan darah, keluarga, maupun saudara jauh. Begitu juga dengan lembaga
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) yang berperan sebagai suatu
kelompok sosial dalam bidang keagamaan yang dapat mendekatkan masyarakat
perkebunan dari berbagai status sosial dan ekonominya.
2.3. Masyarakat Perkebunan
Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia memang sangat
ditentukan oleh politik kolonial penjajah, terutama Belanda.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diterapkan dari waktu ke waktu telah mewarnai wajah
perkebunan di Indonesia hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini. Dimulai
dari sejak berkuasanya VOC yang menerapkan sistem monopoli dan pungutan
paksa terhadap usaha kebun di Indonesia, kemudian Daendels dan Raffles dengan
pandangan liberal, disusul kemudian oleh berkuasanya Gubernur Jenderal Van
perkebunan di Indonesia, hingga dikeluarkannya Agrarische wet tahun 1870
(Mubyarto, 1992:16).
Kehadiran perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap perubahan pola
pekerjaan, yang diikuti dengan peningkatan penghasilan masyarakat. Konsekuensi
lain adalah berpengaruh terhadap pola hidup dan hubungan sosial yang ditandai
dengan pergeseran berbagai irama kehidupan, perubahan pola interaksi sosial
yang sederhana dan bercorak lokal berubah ke pola interaksi yang kompleks serta
menembus batas pedesaan, bertambahnya penduduk sehingga berbagai pola
kehidupan saling mempengaruhi.
Secara umum pembagian tenaga kerja perkebunan dibedakan dalam empat
golongan yaitu administratur, pegawai staf, pegawai nonstaf, dan terakhir adalah
buruh perkebunan. Dalam struktur organisasi perkebunan terdapat pembagian
tugas yang jelas dengan penempatan tenaga kerja menurut golongan.
Pengelompokan berdasarkan perbedaan bangsa, warna kulit dan ras, ternyata juga
sangat mewarnai startifikasi pekerja perkebunan. Di dalam pengelompokannya,
kelompok pertama selalu terdiri dari pegawai berkebangsaan Belanda dan Inggris
serta beberapa orang Cina, sedangkan kelompok di bawahnya adalah pegawai
pribumi. Pejabat administratur, pegawai staf dan nonstaf perkebunan biasanya
termasuk dalam kelompok pertama, sedangkan bangsa pribumi senantiasa hanya
menempati posisinya sebagai buruh rendahan. Dalam satu unit perkebunan,
tanggung jawab terbesar dipegang oleh seorang administratur. Sebagai pucuk
pimpinan, administratur dibantu oleh seorang penasihat dan kontrolir yang lazim
disebut pegawai staf karena kedudukan mereka yang tidak terjun langsung
bagian antara lain kepala bagian tanaman, bagian teknik, bagian pabrik dan staf
administrasi, yang masih termasuk pegawai staf. Masing-masing kepala bagian
membawahi seorang asisten yang langsung diberi wewenang di lapangan. Dalam
melaksanakan tugas dan pengawasan langsung di lapangan, seorang asisten
dibantu oleh beberapa orang mandor sesuai dengan jenis-jenis pekerjaan mereka,
misalnya mandor tanam, panen, pengolahan, sortasi, pengepakan, dan sebagainya.
Lapisan terbawah dalam hirarki perkebunan adalah para buruh, baik buruh kebun
maupun buruh pabrik. Di samping itu di setiap perkebunan dipekerjakan
polisi-polisi khusus penjaga perkebunan yang bertanggung jawab langsung dengan
kontrolir. Para mandor biasanya adalah penduduk pribumi yang berasal dari
keluarga penguasa desa yang bekerja di perkebunan (Mubyarto, 1992:115-116).
Dalam tradisi kolonialis, sistem ini memang sengaja dibangun untuk
mengefektifkan proses produksi dan untuk mengakumulasikan keuntungan yang
sebanyak-banyaknya. Sistem semacam ini merupakan perpaduan antara sistem
kapitalisme yang menghambakan pada pemupukan modal dan sistem feodalisme
yang menghambakan ketaatan pada sang penguasa. Sistem masyarakat semacam
ini masih banyak menjadi fenomena di masyarakat perkebunan sekarang ini.
Tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan dalam masyarakat
perkebunan dari masa kolonial hingga sekarang. Secara geografis mereka terisolir,
akses untuk informasi dan pendidikan sangat minim. Pagar pembatas atau palang
pintu untuk masuk dan keluar perkebunan dijaga ketat oleh security. Letak
perumahan yang masih sangat membedakan antara kelas administratur dengan
buruh perkebunan. Perilaku elit adiministratur yang kurang manusiawi yang
2.4. Defenisi Konsep
Konsep adalah suatu hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang
merujuk ke kenyataan nyata ke alam empiris, dan bukan merupakan refleksi
sempurna. Dalam sosiologis, konsep menegaskan dan menetapkan apa yang akan
di observasi (Suyanto, 2005:49). Defenisi konsep adalah rangkuman peneliti
dalam menjelaskan peristiwa yang akan diteliti nantinya. Konsep yang digunakan
sesuai konteks penelitian ini antara lain:
1. Fungsi adalah sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama
berdasarkan sifat atau pelaksanaannya. Fungsi merupakan manfaat dari
suatu sistem terhadap sistem lainnya yang saling berkaitan.
2. Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) adalah sebuah lembaga
sosial keagamaan milik masyarakat perkebunan PT. Socfindo yang
bertujuan untuk mempererat tali silaturrahmi antar sesama karyawan,
pegawai staf, pegawai nonstaf, dan buruh di perkebunan PT. Socfindo.
3. Hubungan sosial adalah suatu kegiatan yang menghubungkan kepentingan
antarindividu, individu dengan kelompok atau antar kelompok yang secara
langsung ataupun tidak langsung dapat menciptakan rasa saling pengertian
dan kerja sama yang cukup tinggi, keakraban, keramahan, serta
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Masyarakat perkebunan adalah sekumpulan orang atau warga yang
merupakan karyawan perkebunan yang tinggal dan menetap di wilayah
yang disediakan oleh perkebunan serta melakukan interaksi secara
5. Masyarakat sekitar perkebunan adalah masyarakat yang bukan merupakan
karyawan perkebunan atau pensiunan perkebunan dan tinggal di sekitar
wilayah perkebunan tetapi bukan di tanah milik perkebunan, sehingga
mereka memiliki banyak ruang untuk saling berinteraksi dengan warga
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kulitatif adalah
metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan
lain-lain secara holistik dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam bentuk
kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah (Meleong, 2006:6). Dengan menggunakan metode
kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data
yang jelas serta terperinci mengenai fungsi Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo
(IPMS) kebun Aek Loba dalam membangun hubungan sosial dengan masyarakat
sekitar di kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan, serta melihat secara
langsung bagaimana kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh lembaga
tersebut.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di perkebunan PT. Socfindo kebun Aek Loba
kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan. Alasan peneliti memilih lokasi ini
karena di perkebunan tersebut terdapat sebuah lembaga sosial keagamaan yang
aktif melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang bermanfaat tidak hanya bagi
masyarakat perkebunan akan tetapi juga masyarakat sekitarnya. Selain itu
berdampingan sehingga semakin banyak kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan
oleh Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) turut melibatkan masyarakat
sekitarnya dan membuat intensitas hubungan sosial semakin meningkat.
3.3. Unit Analisis dan Informan
3.3.1. Unit Analisis
Sasaran penelitian tidak tergantung pada judul dan topik penelitian, tetapi
secara konkrit tergambarkan dalam rumusan masalah penelitian. Sedangkan
informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian
sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami informasi objek penelitian
sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin,
2007:76). Unit analisis pada penelitian ini adalah seluruh pengurus Ikatan
Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba, masyarakat perkebunan,
dan masyarakat sekitarnya di kecamatan Aek Kuasan kabupaten Asahan yang
telah mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Ikatan Persaudaraan
Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba.
3.3.2. Informan
Adapun yang menjadi informan sebagai sumber informasi bagi peneliti
adalah sebagai berikut:
3.3.2.1Informan kunci :
1. Ketua Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba.
2. Pengurus Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba.
3. Karyawan perkebunan/anggota Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo
a. Sering mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Ikatan Persaudaraan
Muslim Socfindo (IPMS).
b. Mengetahui sejarah Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS)
kebun Aek Loba.
c. Bekerja di perkebunan PT. Socfindo kebun Aek Loba sebelum Ikatatan
Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) dibentuk.
3.3.2.2Informan tambahan
1. Pemerintah Kecamatan Aek Kuasan.
2. Tokoh agama kecamatan Aek Kuasan yang sering mengikuti kegiatan
Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek Loba.
3. Masyarakat sekitar perkebunan yang sering mengikuti kegiatan yang
diadakan oleh Ikatan Persudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek
Loba.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, peneliti akan menggunakan beberapa
teknik pengumpulan data agar mendapatkan kesesuaian penelitian dengan fokus
dan kebutuhan peneliti dalam mengolah data dan informasi yang diperoleh
nantinya. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi
dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.
a) Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek
penelitian melalui observasi dan wawancara baik secara partisipatif
primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara penelitian
lapangan, yaitu sebagai berikut:
1. Observasi atau pengamatan yaitu kemampuan seseorang untuk
menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta
dibantu dengan panca indera lainnya. Metode observasi adalah metode
pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian
melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2007:115). Dengan
observasi peneliti dapat melihat secara langsung kegiatan-kegiatan sosial
yang dilakukan Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo (IPMS) kebun Aek
Loba dalam menciptakan keharmonisan dan membangun hubungan sosial
dengan masyarakat sekitarnya.
2. Wawancara mendalam, yaitu proses tanya jawab secara langsung
ditujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan
pedoman wawancara serta menggunakan alat bantu perekam jika memang
dibutuhkan. Dalam hal ini peneliti nantinya akan mewawancarai informan
yang menjadi subjek penelitian guna mengetahui bagaimana fungsi
lembaga Ikatan Persaudaran Muslim Socfindo (IPMS) dalam membangun
hubungan sosial dengan masyarakat sekitarnya.
b) Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek
penelitian. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara penelitian
kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi
situs-situs internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti sehingga
memudahkan peneliti dalam menuliskan laporan penelitian.
3.5. Interpretasi Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh
data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan (observasi)
yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen resmi, foto, dan
sebagainya. Setelah data tersebut dibaca, dipelajari, dan ditelaah maka langkah
selanjutnya adalah mengadakan reduksi data dengan cara abstraksi. Abstraksi
merupakan rangkuman yang terperinci dan merujuk ke inti temuan data dengan
cara menelaah pernyataan-pernyataan yang diperlukan sehingga tetap berada
dalam fokus penelitian. Setelah itu data tersebut disusun dan dikategorisasikan
serta diinterpretasikan secara kualitatif sesuai dengan metode penelitian yang telah
3.6.Jadwal Kegiatan
Tabel 1
No Kegiatan Bulan ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pra Observasi √
2 Acc Penelitian √
3 Penyusunan Proposal Penelitian √ √ √
4 Seminar Desain Penelitian √
5 Revisi Proposal Penelitian √
6 Penelitian Lapangan √ √ √
7 Pengumpulan Data Dan Analisis Data √ √ √ √
8 Bimbingan √ √ √
9 Penilisan Laporan Akhir √ √ √
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
4.1. Sejarah PT. Socfin Indonesia (Socfindo)
PT. Socfin Indonesia (Socfindo) didirikan pada tahun 1924 dengan
komoditi utama adalah tumbuhan kelapa sawit (Elais Guenensis jacq). Perusahaan
ini pada awalnya dimiliki oleh perusahaan Belgia yaitu Socfin Medan, Sumatera
Utara yang hak konsensinya di bawah naungan pemerintah Hindia-Belanda. Pada
tahun 1942, PT. Socfindo diambil alih secara paksa oleh pemerintah Jepang.
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia (tahun 1945), perusahaan ini
diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia dan kemudian dikembalikan
pada PT. Socfin pada tahun 1950. Dari tahun 1965 sampai dengan tahun 1967,
perusahaan ini dikuasai dan dipegang sepenuhnya oleh pemerintah Republik
Indonesia yang mengadakan nasionalisasi perusahaan asing menjadi sebuah
perusahaan milik negara. Namun, pada tahun 1968 perusahaan ini berubah
menjadi sebuah perusahaan swasta nasional dalam bentuk Joint enterprise
(patungan) dengan nama PT. Socfin Indonesia (Socfindo) dengan perbandingan
saham yang dimiliki antara pemerintah Republik Indonesia dan perusahaan Belgia
pada saat itu adalah 40%:60%, akan tetapi saat ini saham terbesar dipegang oleh
perusahaan Belgia yaitu sekitar 90% dan 10% sisanya dimiliki oleh pemerintah
Republik Indonesia.
Visi dan misi perusahaan PT. Socfindo yaitu mempertahankan
keseimbangan dalam arti yang sehat dan berkembang di masa yang akan datang
dengan mengelola dan mengembangkan agroindustri serta usaha-usaha yang
penghasilan daerah, serta mengurangi angka pengangguran di lingkungan
setempat.
4.2. Deskripsi Wilayah PT. Socfindo Kebun Aek Loba
PT. Socfindo kebun Aek Loba merupakan salah satu cabang perkebunan
dari PT. Socfin Indonesia (Socfindo) yang berada di kabupaten Asahan, Sumatera
Utara. PT. Socfindo perkebunan Aek Loba merupakan yang terbesar dan terluas
dari cabang-cabang perkebunan yang lainnya. PT. Socfindo kebun Aek Loba
memiliki 8 (delapan) divisi yang sedikit berjauhan satu sama lainnya tergantung
luasnya wilayah perkebunan sawit di tiap-tiap divisi. Adapun luas masing-masing
divisi keseluruhan di PT. Socfindo kebun Aek Loba dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 2. Luas Wilayah PT. Socfindo Kebun Aek Loba Per Divisi
No Divisi Luas Kebun (Ha) Luas Lahan Lain (Ha) Total (Ha)
Sumber : Arsip Kantor Perkebunan PT. Socfindo Kebun Aek Loba Tahun 2013
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa total luas lahan perkebunan yang ditanami
sawit adalah 9.471,82 Ha yang tersebar di 8 (delapan) Divisi dan luas lahan lain