• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi dan Kualitas Telur Ayam ISA Brown yang diberi Ransum Rendah Protein pada Pemeliharaan Terintegrasi dengan Kolam Azolla untuk Mitigasi Amonia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi dan Kualitas Telur Ayam ISA Brown yang diberi Ransum Rendah Protein pada Pemeliharaan Terintegrasi dengan Kolam Azolla untuk Mitigasi Amonia"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR AYAM ISA Brown YANG

DIBERI RANSUM RENDAH PROTEIN PADA PEMELIHARAAN

TERINTEGRASI DENGAN KOLAM AZOLLA

UNTUK MITIGASI AMONIA

RIKARDO SILABAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi dan Kualitas Telur Ayam ISA Brown yang diberi Ransum Rendah Protein pada Pemeliharaan Terintegrasi dengan Kolam Azolla untuk Mitigasi Amonia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Rikardo silaban

(4)

RINGKASAN

RIKARDO SILABAN. Produksi dan Kualitas Telur Ayam ISA Brown yang diberi Ransum Rendah Protein pada Pemeliharaan Terintegrasi dengan Kolam Azolla untuk Mitigasi Amonia. Dibimbing oleh SUMIATI dan ADRIZAL.

Peternakan ramah lingkungan merupakan konsep yang sudah tidak asing dalam sektor peternakan di berbagai negara. Konsep ini diupaykan untuk peningkatan kualitas lingkungan disamping tetap mempertahankan produktivitas industri peternakan tersebut, namun terdapat komponen yang dapat mengganggu konsep tersebut diantaranya cemaran gas amonia (NH3) dari limbah yang dihasilkan. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mencegah dan meminimalisir dampak cemaran NH3 tersebut, baik dari hulu (strategi pakan) hingga hilir (strategi lingkungan) dan belum menunjukkan hasil yang optimal. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang lebih optimal dalam memitigasi NH3 tersebut disamping tetap memperhatikan standar keamanan minimum bagi ternak dalam proses penerapannya. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah dengan pemberian ransum yang mengandung protein rendah (low crude protein diet) yang disuplementasi asam amino esensial pada sistem pemeliharaan dengan kandang yang terintegrasi kolam azolla bertingkat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak pemberian ransum dengan protein rendah terhadap performa ayam, kualitas telur yang dihasilkan, penurunan NH3 dalam ekskreta, profil bakteri patogen dan non patogen dalam ekskreta, deskripsi azolla sebagai biofilter air limbah buangan, dan kualitas fisik air limbah buangan hasil pencucian ekskreta dalam kolam yang terintegrasi. Untuk mengetahui pengaruh pemberian ransum dengan protein rendah terhadap performa, kualitas fisik telur, kadar NH3 dalam ekskreta, serta profil bakteri patogen (E.Coli) dan non patogen (Lactobacillus sp.) dalam ekskreta digunakan ayam petelur ISA Brown berumur 22 minggu sebanyak 240 ekor yang dipelihara selama 8 minggu. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua perlakuan dan lima belas ulangan untuk pengamatan performa ayam, kualitas fisik telur, konsentrasi NH3, profil bakteri patogen dan non patogen dalam ekskreta, dan rancangan acak lengkap pola faktorial (RAL Faktorial) 2 x 2 x 4 dengan dua ulangan untuk pengamatan kualitas fisik air limbah buangan. Perlakuan yang diberikan adalah: (R17) ransum dengan protein kasar 17% dan (R15) ransum dengan protein kasar 15% yang disuplementasi asam amino esensial. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, produksi telur hen day, produksi massa telur, konversi ransum, berat telur, pertambahan berat badan, berat kerabang, persentase kerabang, tebal kerabang, kekuatan kerabang, luas permukaan kerabang telur, warna kuning telur, tinggi albumen, haugh unit, konsentrasi NH3 dalam ekskreta, N ekskreta, kadar air ekskreta, pH ekskreta, total koloni bakteri Eschericia coli dan Lactobacillus sp. dalam ekskreta, N biomassa azolla, TDS, suhu, pH air limbah buangan, dan analisis Income over feed cost

(IOFC).

(5)

Pemberian ransum dengan protein rendah dapat mempertahankan kualitas fisik telur yang meliputi berat kerabang, persentase kerabang, tebal kerabang, kekuatan kerabang, luas permukaan kerabang telur, warna kuning telur, tinggi albumen, dan

haugh unit. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa biomassa azolla yang dievaluasi dalam kolam yang terintegrasi dengan perlakuan mengalami peningkatan N biomassa sampai 29.1%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi ketiga faktor terhadap kualitas fisik air limbah buangan kecuali pada faktor deret kolam. Pemberian ransum dengan protein rendah pada pemeliharaan yang terintegrasi dengan kolam azolla menghasilkan kualitas fisik air limbah buangan yang tergolong aman berdasarkan baku mutu peruntukan dialirkan kepermukaan tanah. Berdasarkan perhitungan IOFC, pemberian ransum dengan protein rendah kurang tepat untuk meningkatkan performa produksi sehingga kurang menguntungkan dibandingkan dengan kontrol meskipun dapat memitigasi NH3.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penurunan protein kasar ransum sampai 15% yang disuplementasi asam amino esensial menurunkan produksi NH3 ekskreta, mempertahankan kualitas telur, dan menyebabkan penurunan produksi telur hen day serta meningkatkan konversi ransum. Penanaman azolla pada kolam air limbah buangan berperan sebagai filter air buangan yang dicerminkan oleh TDS, derajat keasaman (pH), temperatur, dan berpotensi sebagai bahan pakan ternak berprotein tinggi.

(6)

SUMMARY

RIKARDO SILABAN. Production and Egg Quality of ISA Brown Hens Fed Diets Containing Low Crude Protein Reared in the Farm Integrated with Pond-Grown Azolla in the Efforts of Ammonia Mitigation. Supervised by SUMIATI and ADRIZAL.

Poultry livestock base on environmental friendly is a concept that unisolate sector of livestock in many countries. All of the strategies made to realize the concept were aimed to improve the environmental quality while still maintaining the productivity of livestock. The expansion rate of livestock industries have to increase continuously and expected for concept implementation. The major component which can be break down the concept was ammonia emission (NH3) of waste. Many alternative of strategies have been observed and discussed regarding to NH3 mitigation from upstream (diets) to downstream (environment control) and showed the unoptimum result. Therefore, it is required the optimum strategy regarding NH3 mitigation beside kept on the minimum safety standards for animal before application. One of strategies that can be applied is feeding low crude protein diet with supplemented essential amino acid reared in the farm integrated with Pond-Grown azolla.

The objectives of this study were to evaluate whether feeding laying hen low crude protein (CP) diet would reduce ammonia (NH3) volatilization in excreta but with minimum effects on performances and egg quality of hens, bacterial counts of pathogen and non pathogen in excreta, capability azolla as biofilter of waste water, and physical quality of waste water of pond integrated reared in the farm. This study used 240 ISA Brown hens of 22-week old and were raised for eight weeks to analyzed the effect of feeding hens low crude protein diet on the performances, egg quality of hens, excreta NH3, and bacterial counts of pathogen (E.Coli) and non pathogen (Lactobacillus sp.). This study used a completely randomized design with two treatments and fifteen replications to measure performances, egg quality of hens, excreta NH3, bacterial counts of pathogen and non pathogen in excreta, and used factorial completely randomized design with three factor experiments 2x2x4 with two replications to measure physical quality of waste water. The treatment diets were: R17 diet contain 17% crude protein and R15 diet contain 15% crude protein with supplemented essential amino acid. Parameters measured were feed intake, hen day production, egg mass production, feed conversion, egg weight, body weight gain, eggshell weight, shell percentage, eggshell thickness, egg surface area, egg yolk color score, albumen height, haugh unit, excreta NH3, excreta N, moisture, pH, bacterial counts of Eschericia coli and

Lactobacillus sp., N biomass azolla, TDS, temperature, pH of waste water, and analysis income over feed cost.

(7)

height, haugh unit. The results of proximate analysis showed that biomass of azolla whether evaluate in pond integrated reared in the farm had obtained the increasing biomass N to 29.1%. The results also showed that no interaction effects between three factor on physical quality of waste water except effects of terrace pond. Feeding laying hens low crude protein diet reared in the farm integrated with pond-grown azolla could produce physical quality of waste water belong to normal standard of waste water drained out on the ground. Base on IOFC analysis, feeding laying hens with low crude protein diet unappropriate to increase performances and unprofitable than control.

The conclusion of this study that feeding laying hens low crude protein (15%) diet with supplemented essential amino acid decreased excreta NH3, could maintain egg quality of hens, caused the decreasing of hen day production and increased feed conversion. Azolla was growed in pond integrated reared in the farm had a role as biofertilizer which showed on physical quality of waste water such as TDS, pH, temperature, and source of protein for animal feed potentially.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

RIKARDO SILABAN

PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR AYAM ISA Brown YANG

DIBERI RANSUM RENDAH PROTEIN PADA PEMELIHARAAN

(10)

2

(11)

3 Judul Tesis : Produksi dan Kualitas Telur Ayam ISA Brown yang diberi Ransum Rendah Protein pada Pemeliharaan Terintegrasi dengan Kolam Azolla untuk Mitigasi Amonia

Nama : Rikardo silaban

NIM : D251130331

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sumiati, MSc Ketua

Prof Ir Adrizal, MSc Ph.D Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

4

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah lingkungan, dengan judul Produksi dan Kualitas Telur Ayam ISA Brown yang diberi Ransum Rendah Protein pada Pemeliharaan Terintegrasi dengan Kolam Azolla untuk Mitigasi Amonia. Sebagian hasil penelitian ini telah disubmit dan dalam proses publikasi di jurnal ilmiah internasional Journal of British Poultry Science (BPS) dengan judul “Upstream and Downstream Strategy of Ammonia Mitigation in Curtain-Sided Laying Hen House: 1. Effect of Low Protein Diet at Early Age of Egg Production”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Sumiati, MSc dan Prof Ir Adrizal, MSc Ph.D selaku pembimbing tugas akhir yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, motivasi, dan segala bentuk bantuan materi maupun moral sehingga penelitian dan tesis ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Rukmiasih, MS sebagai dosen penguji luar komisi serta Bapak Ir Yusrizal, MSc Ph.D yang telah banyak membantu selama penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi melalui program Beasiswa Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) 2013. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof Ir Adrizal, MSc Ph.D atas bantuan finansial pada penelitian ini melalui dana proyek JSPS (Japan Society for the Promotion of Science) tahun 2013-2015. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf dosen program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan atas ilmu dan bimbingannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pak Supri dan Bu Ade serta seluruh staf dan pegawai pascasarjana khususnya program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan atas segala bantuan dan bimbingannya.

Penulis mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada ibunda Marintan Manalu yang telah memberikan doa, kasih sayang, nasehat, bimbingan moral maupun material serta kesabaran yang tiada hentinya kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua keluarga besarku yang tidak hentinya memberikan dukungan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Sartika manihuruk, SPt yang selalu memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang yang tulus sampai saat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman keluarga besar INP 2013, sahabat-sahabat Gitaswara Pascasarjana IPB, keluarga kecil Gerobak Pasir IPB dan Dalem barokah, serta sahabat terbaikku (Pretti Pujioktari, SPt, Yelly Mulik, SPt, dan Dipa Argadiasto, SPt) atas doa, bantuan, dan kebersamaannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(13)

5

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 2 METODE Waktu dan Tempat 3 Materi 3 Metode 3 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ransum perlakuan terhadap performa ayam ISA Brown umur 24-29 minggu Konsumsi ransum 9

Produksi telur hen day dan produksi massa telur 10

Berat telur 13

Konversi ransum 13

Pengaruh ransum perlakuan terhadap kualitas fisik telur ayam umur 24-29 minggu Kualitas fisik kerabang telur 14

Luas permukaan telur 15

Skor warna kuning telur 16

Tinggi putih telur dan haugh unit 16

Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi amonia, pH, kadar air, ekskresi nitrogen, dan total koloni bakteri dalam ekskreta Konsentrasi amonia (NH3) 17

Kadar air dan pH ekskreta 19

Ekskresi nitrogen 19

Total koloni bakteri dalam ekskreta 20

IOFC 20

Kandungan BK, N biomassa azolla dan kualitas fisik air limbah Bahan kering dan nitrogen biomassaa azolla 21

Kualitas fisik air limbah buangan 22

4 SIMPULAN DAN SARAN 23

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 30

(14)

6

DAFTAR TABEL

1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan 4

2 Performa ayam petelur ISA Brownumur 24-29 minggu yang diberi ransum perlakuan 9

3 Konsumsi energi dan protein ayam petelur ISA Brownumur 24-29 minggu 10

4 Kualitas telur ayam ISA Brownumur 25 minggu dan umur 29 minggu yang diberi ransum dengan protein kasar 17% dan 15% 15

5 Profil ekskreta ayam petelur ISA Brown yang diberi ransum dengan protein kasar 17% dan 15% 17

6 Rataan income over feed cost ayam selama 6 minggu penelitian 20

7 Kandungan bahan kering dan nitrogen biomassa Azolla pinnata 21

8 Kualitas fisik air limbah buangan hasil pencucian ekskreta ayam dalam kolam azolla yang terintegrasi 22

DAFTAR GAMBAR

1 Desain kandang penelitian dan Azolla pinnata 7

2 Rataan produksi telur ayam hen day (%) umur 24-29 minggu 11

3 Metabolisme prostaglandin 12

4 Rataan produksi massa telur ayam umur 24-29 minggu 12

5 Rataan berat telur ayam minggu ke 24-29 13

6 Angka konversi ransum ayam petelur umur 24-29 minggu 14

7 Warna kuning telur antar perlakuan umur 25 minggu dan 29 minggu 16 8 Perombakan asam urat menjadi amonia (NH3) secara aerob dalam ekskreta ayam petelur 18

DAFTAR LAMPIRAN

9 Analisis ragam bobot badan awal ayam umur 22 minggu 30

10 Analisis ragam pertambahan bobot badan ayam 30

11 Analisis ragam konsumsi ransum ayam umur 24-29 minggu 30

12 Analisis ragam konsumsi energi dan protein ayam umur 24-29 minggu 31

13 Analisis ragam produksi telur hen day ayam umur 24-29 minggu 32

14 Analisis ragam konversi ransum ayam umur 24-29 minggu 32

15 Analisis ragam produksi massa telur ayam umur 24-29 minggu 33

16 Analisis ragam berat telur ayam umur 24-29 minggu 34

17 Analisis ragam kualitas fisik telur ayam minggu ke-25 36

18 Analisis ragam kualitas fisik telur ayam minggu ke-29 37

(15)

7

20 Analisis ragam pH ekskreta 38

21 Analisis ragam kadar air ekskreta 39

22 Hasil analisa laboratorium kandungan nitrogen ekskreta 39

23 Analisis ragam total koloni bakteri Eschericia coli pada ekskreta 40

24 Analisis ragam total koloni bakteri Lactobacillus sp. pada ekskreta 40

25 Hasil analisa laboratorium bahan kering dan total nitrogen biomassa azolla 40

26 Metode pengukuran amonia mengacu alat kitagawa gas aspirating pump AP-20 40

27 Pengukuran total koloni bakteri ekskreta dengan metode tuang (pour plate) 41

28 Rataan suhu kandang selama 6 minggu penelitian 42

29 Analisis ragam kualitas fisik air limbah buangan 43

30 Uji lanjut pengaruh deret kolam terhadap nilai TDS 44

(16)

8

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan ramah lingkungan merupakan konsep yang sudah tidak asing dalam sektor peternakan di berbagai negara. Konsep ini terus diupayakan dalam setiap usaha peternakan, dari mulai skala besar (industri) dan skala kecil (peternakan rakyat). Semua upaya yang dilakukan untuk mencapai konsep tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan disamping tetap mempertahankan produktivitas industri peternakan. Indonesia dengan laju peningkatan industri peternakan sampai 27% per tahun dari berbagai ragam industri yang ada (Ditjenak 2015) mendorong pentingnya penerapan konsep tersebut. Apabila tidak diterapkan manajemen yang baik dalam proses industri, tentunya akan menghasilkan dampak yang tidak baik pula terhadap lingkungan. Salah satu dampak buruk yang ditimbulkan dari proses industri peternakan ini adalah cemaran limbah yang dihasilkan seperti emisi gas toksik khususnya amonia (NH3). Industri perunggasan merupakan subsektor industri peternakan yang sangat cepat dalam pemenuhan pangan hewani bagi manusia dengan peningkatan populasi berkisar 6%-13% setiap tahunnya (Ditjenak 2015). Disamping itu limbah yang dihasilkan juga terus meningkat yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan jika tidak dikelola dengan tepat.

Asam urat merupakan prekursor utama sintesis amonia (NH3) oleh bakteri pengurai, baik secara aerobik maupun anaerobik (Koerkamp et al. 1994). Akumulasi manur pada area terbuka merupakan sumber NH3 yang berpotensi mencemari lingkungan baik karena tercuci air (Nobuyuki dan Shunji 2001) maupun terbawa angin (Bittman dan Mikkelsen 2009). Studi keseimbangan nitrogen menunjukkan bahwa 40% nitrogen yang dikonsumsi ayam petelur terbuang dalam bentuk gas amonia (NH3) (Patterson dan Lorenz 1996) dan 25 % melalui kotoran (ekskreta). Jika ayam mengkonsumsi 3.4 g nitrogen (N) hari-1, maka diperkirakan 0.85 g N ekor-1 hari-1 akan terbuang bersama manur serta 1,36 g N ekor-1 hari-1 akan terbuang ke udara dalam bentuk NH3 (Adrizal 2013). Gas amonia dari ekskreta tersebut dapat mengganggu produktivitas ayam sepertihalnya menyebabkan penurunan produksi telur. Oleh sebab itu, usaha mitigasi NH3 perlu mendapat perhatian serius.

(17)

9 azolla seringkali digunakan sebagai pakan suplemen protein (Basak et al. 2002; Akter et al. 2011; Sujatha et al. 2013). Dengan demikian potensinya sebagai penyaring air limbah sekaligus N terlarut sangat mungkin meningkatkan kandungan nitrogennya. Kemampuan tanaman ini dalam menyaring logam berat terlarut juga pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Alalade et al. 2007).

Pilihan strategi yang tersedia untuk usaha mitigasi NH3 sudah banyak dilakukan peneliti dan dibahas cukup detail dalam Patterson dan Adrizal (2005) mulai dari hulu (ransum) hingga ke hilir (pengendalian lingkungan). Ulasan ini juga diperkuat dengan hasil-hasil penelitian berikutnya, misalnya dengan penurunan kadar protein ransum (Roberts et al. 2007a), penambahan enzim dalam ransum (Adrizal et al. 2011a; Adrizal et al. 2011b), stimulasi antibodi ayam (Adrizal et al. 2011a), dan penangkapan NH3 udara dengan tanaman (Adrizal et al. 2008). Pada ayam petelur, pengurangan kadar protein ransum dari 17% menjadi 15% dilaporkan masih menunjukkan pemanfaatan N dengan baik (Meluzzi et al. 2001). Penelitian lain menunjukkan bahwa pengurangan 1% protein ransum ayam petelur menyebabkan penurunan ekskresi N dan produksi telur (Roberts et al. 2007b). Pada periode awal produksi, meskipun utilisasi N diprioritaskan untuk produksi telur, namun diduga masih dimanfaatkan untuk perkembangan organ reproduksi (Summers et al. 1991). Pemeliharaan unggas pada kondisi tropis dalam kandang dengan sistem ventilasi terbuka juga mempengaruhi efisiensi utilisai nutrien (Rama Rao et al. 2011). Hal ini juga berpengaruh terhadap efisiensi metabolisme N, ekskresi N, dan volatilisasi NH3. Tingkat volatilisasi NH3 pada periode awal produksi masih rendah. Secara keseluruhan penerapan strategi yang tepat untuk mitigasi NH3 sangat tergantung pada situasi biaya (Patterson dan Adrizal 2005). Kombinasi berbagai strategi diduga akan memberikan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu, mitigasi ekskresi N (NH3 atau NH4+) dari ekskreta ayam yang dipelihara dengan kombinasi strategi pengurangan konsumsi N dan filtrasi N (dengan tanaman air) akan menjadi strategi yang potensial.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengevaluasi pengaruh pemberian ransum mengandung protein 15% (rendah) terhadap produksi dan kualitas telur yang dihasilkan, produksi gas NH3, kandungan nitrogen, pH, kadar air, dan total koloni bakteri dalam ekskreta.

2. Mengevaluasi pengaruh filterisasi buangan manur dari ayam yang mendapat ransum rendah protein terhadap kandungan nitrogen, bahan kering azolla, dan kualitas fisik air limbah buangan.

Ruang Lingkup Penelitian

(18)

10

2 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Juni 2014. Pemeliharaan dilakukan di Farm Fakultas Peternakan UNJA (Universitas Negeri Jambi). Analisis nutrien pakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, sedangkan analisis NH3 dan mikroba ekskreta di Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Pengembangan Agribisnis Terpadu (PPA-T) UNJA.

Materi

1. Bahan baku pakan

Bahan baku pakan yang digunakan adalah jagung, dedak padi, bungkil kedelai, bungkil inti sawit, minyak sawit, DMetionin, Lisin HCL, L-Isoleusin, L-Valin, Monokalsium fosfat, CaCO3, NaCl, natrium bikarbonat, dan vit-min premix.

2. Ternak

Ternak yang digunakan adalah ayam petelur ISA Brown umur 22 minggu sebanyak 240 ekor dengan bobot rata-rata 1.34 kg ekor-1. Ayam dipelihara sampai umur 29 minggu dalam kandang individual yang berukuran 36cm x 32cm x 35cm x 40cm.

3. Ransum

Ransum disusun isoenergi dengan perlakuan kandungan protein kasar 15% dan 17% (Tabel 1). Kandungan nutrien esensial lainnya terutama asam amino dibuat mencukupi untuk kebutuhan ayam sesuai rekomendasi NRC (1994) dan Commercial Management Guide (Hy-Line 2005-2007).

Metode

(19)

11 Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan

Komposisi Bahan1 Perlakuan

R17 R15

...(%)...

Jagung kuning 45.56 53.22

Dedak padi 5.47 5.96

Bungkil kedelai 23.37 17.18

Bungkil sawit (1.5 mm mesh) 12.00 11.00

Monokalsium fosfat 0.82 0.86

CaCO3 8.45 8.45

NaCl 0.20 0.20

Natrium bikarbonat 0.30 0.30

Vit-min premix2 0.20 0.20

Total 100 100

Kandungan Zat Makanan3:

Energi Metabolis (kkal/kg) 2750.00 2750.03

Protein kasar (%) 17.00 15.01 bungkil sawit) dianalisis proksimat sebelum formulasi ransum, 2Tiap kg ransum mengandung; vitami A 2500 IU, vitamin D3 500 IU, vitamin E 1,5 IU, vitamin K3

0,4 mg, vitamin B1 0,3 mg, vitamin B2 1 mg, vitamin B6 1 mg, vitamin B12 2,4 mg,

vitamin C 6 mg, kalsium-D-pantotenat 1 mg, niasin 7 mg, metionin 7 mg, lisin 7 mg, Mn 20 mg, Fe 5 mg, Iod 0,04 mg, Zn 20 mg, Co 0,04 mg, Cu 0,6 mg, dan antioksidan 2 mg, 3Kandungan zat makanan berdasarkan hasil perhitungan sesuai rekomendasi NRC (1994) dan Hy-Line Variety Brown-Commercial Management Guide (2005-2007), R15: ransum dengan kandungan protein kasar 15%, R17: ransum dengan kandungan protein kasar 17%.

Perlakuan

(20)

12

R17 = Ransum dengan kandungan protein kasar 17% (kontrol)

R15 = Ransum dengan kandungan protein kasar 15% (low crude protein diet) Pada pengamatan kualitas fisik air kolam, perlakuan yang diberikan adalah: Faktor A (limbah buangan ekskreta) yaitu:

A1 =Limbah buangan pencucian ekskreta dari ayam yang mengkonsumsi ransum dengan protein 17%

A2 =Limbah buangan pencucian ekskreta dari ayam mengkonsumsi ransum dengan protein 15%

Faktor B (azolla) yaitu:

B1 = Kolam tanpa ditanami Azolla pinnata

B2 = Kolam yang ditanami Azolla pinnata

Faktor C (deret kolam) yaitu: C1 = Kolam pertama C2 = Kolam kedua C3 = Kolam ketiga C4 = Kolam keempat

Rancangan Percobaan dan Model Matematika

Untuk data performa ayam, kualitas telur, amonia ekskreta, dan mikroba ekskreta (i) menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 15 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 8 ekor ayam. Untuk data kualitas fisik air limbah buangan (ii) menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 2 x 2 x 4 dengan 2 ulangan. Faktor A adalah limbah buangan hasil pencucian ekskreta dari ayam yang mengkonsumsi ransum dengan protein 15% dan 17%. Faktor B adalah kolam dengan dan tanpa ditanami azolla. Faktor C adalah deret kolam 1, 2, 3, dan 4. Adapun model matematika yang digunakan adalah:

Yij = μ + αi +εij....(i)

Keterangan:

Yij = Respon pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = Nilai rataan umum hasil pengamatan

αi = Pengaruh perlakuan ke-i; i = 15 % dan 17 %

εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Yijk = μ +Ai +Bj +(A*B)ij +Ck +(A*C)ik +(B*C)jk +(A*B*C)ijk +εijk ....(ii)

Keterangan:

Yijk = Respon pengamatan dari perlakuan A ke-i, B ke-j, C ke-k, dan ulangan ke-l

μ = Nilai rataan umum hasil pengamatan

Ai = Pengaruh limbah buangan hasil pencucian ekskreta ayam yang mendapat protein ke-i (i=15%,17%)

(21)

13 (A*B)ij = Pengaruh interaksi limbah buangan hasil pencucian ekskreta

dengan penanaman azolla

(A*C)ik = Pengaruh interaksi limbah buangan hasil pencucian ekskreta dengan deret kolam

(B*C)jk = Pengaruh interaksi azolla dengan deret kolam

(A*B*C)ijk= Pengaruh interaksi limbah buangan hasil pencucian ekskreta, azolla, dan deret kolam

εijk = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-l

Analisis Data

Untuk data performa ayam, kualitas telur dan mikroba ekskreta dianalisis statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) satu arah. Data kualitas fisik air kolam azolla meggunakan analisis ragam (ANOVA) dua arah dan apabila terdapat perbedaan rataan antar perlakuan (P<0.05), diuji lanjut menggunakan uji Tukey (SAS 2008). Parameter tanaman air (azolla) dianalisis secara deskriptif karena kemampuan tumbuh azolla yang tidak merata pada setiap kolam dan tidak bertahan lama sehingga sampel dikompositkan berdasarkan perlakuan (Catatan: endapan ekskreta yang melebihi kapasitas kolam menyebabkan terhambatnya pertumbuhan azolla bahkan dalam tempo beberapa minggu azolla sudah mati).

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati adalah 1. Konsumsi ransum (g ekor-1)

Konsumsi ransum diukur setiap minggu dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum selama 1 minggu.

2. Produksi telur hen day (%)

Hen day (%) = Jumlah telur pada hari itu (butir) x 100% Jumlah ayam pada hari itu

3. Produksi massa telur (g ekor-1)

Massa telur dihitung dengan menimbang semua telur yang dihasilkan setiap harinya.

4. Konversi ransum

Konversi Ransum = Konsumsi ransum Produksi massa telur 5. Berat telur (g butir-1)

Berata telur dihitung dengan menimbang setiap telur yang dihasilkan selama penelitian.

6. Pertambahan berat badan (g ekor-1)

Pertambahan berat badan dihitung dengan cara mengurangi berat badan akhir dengan berat badan awal.

7. Income Over Feed Cost (IOFC)

(22)

14

8. Kualitas fisik telur: kualitas kerabang telur (berat, tebal, persentase, dan kuat kerabang), luas permukaan kerabang telur berdasarkan teori Paganelli

et al. (1974) dengan rumus Luas permukaan telur= 4.835 x W0.662, dimana W adalah berat telur (g butir-1), warna kuning telur, tinggi albumen dan

haugh unit.

9. Kadar NH3, pH, kadar air, nitrogen dan total koloni bakteri patogen (E.Coli/Coliform) dan bakteri nonpatogen (Lactobacillus sp.) dalam ekskreta.

10. Bahan kering dan nitrogen biomassa azolla.

Bahan kering dan nitrogen biomassa azolla dihitung dengan menggunakan rumus: Bahan kering (%) = 100% - kadar air,

Nitrogen (%) = (K-J) x Norm NaOH x 0.014 x 100%

i

Keterangan: K= titer blanko, J= nilai titrasi dan i= Berat sampel. 11. Kualitas fisik air limbah buangan hasil pencucian ekskreta ayam meliputi

suhu, pH, dan TDS (Total Dissolved Solids).

Prosedur penelitian

Model kandang penelitian yang terintegrasi dengan kolam azolla untuk filterisasi limbah ekskreta dapat dilihat dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Desain kandang penelitian (a) dan Azolla pinnata (b)

Pengukuran kualitas fisik telur; pada perlakuan minggu ke 4 dan ke 8 selama 3 hari berturut-turut diambil 2 butir telur dari masing-masing ulangan untuk analisis kualitas fisik telur. Pengukuran kualitas fisik telur menggunakan serangkaian alat egg analyzer (Orka Food Technology Product Ltd, Jepang). Kualitas fisik yang diamati meliputi berat telur, berat kerabang telur, tebal kerabang, kekuatan kerabang, tinggi albumen, warna kuning telur, haugh unit, kecuali luas permukaan telur menggunakan rumus menurut Paganelli et al.

(23)

15

Koleksi ekskreta dan pengukuran gas amonia, kadar air, pH, serta nitrogen; koleksi ekskreta dilakukan pada hari ke-27 dan ke-54. Sebelum di subsampel ekskreta dihomogenkan terlebih dahulu untuk kemudian dibawa ke laboratorium. Pengukuran NH3 mengacu pada prosedur yang dijelaskan dalam Yusrizal et al. (2013). Secara ringkas, sebanyak 50 g ekskreta dimasukkan ke dalam gelas piala ukuran 400 mL, diratakan permukaannya, lalu diinkubasi 24 jam dan 48 jam. Amonia ekskreta diukur dengan menggunakan pompa model

Kitagawa Gas Aspirating Pump AP-20 dan tube NH3 skala 0 sampai 260 ppm model 105SC (Komyo Rikagaku Kogyo, Jepang). Pada setiap pengukuran, volume gas yang disedot setara dengan 1 skala. Setiap kali setelah pengukuran NH3, dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan pH meter model HI98128 (Woonsocket, RI), yakni dengan mencelupkan pH meter kedalam gelas piala yang berisi sampel eksreta. Pengukuran dilakukan pada 2 titik yang berbeda dengan tujuan agar rataan data pH yang diperoleh lebih akurat. Setelah pengukuran pH, sebanyak 1 g ekskreta diambil dari gelas diatas untuk pengukuran kadar air dan nitrogen (AOAC 2005).

Pengukuran koloni bakteri patogen (E.coli/Coliform) dan non patogen

(Lactobacillus sp.) dalam eksreta (Yusrizal et al. 2013); sampel ekskreta (1

gram) untuk penumbuhan dan perhitungan bakteri diambil dari sampel yang sama dengan pengukuran NH3, yakni segera setelah pengukuran pH. Jenis bakteri yang dihitung yaitu enteropatogen (E.coli/Coliform) yang dibiakkan dalam agar MacConkey (MCA, Difco, Becton, Dickinson Co., Spark, MD ) dan nonpatogen yaitu Lactobacillus sp. yang dibiakkan dalam Manrogosa (MRSA, Difco Laboratories Inc., Detroit, MI). Penghitungan koloni dilakukan dengan metode cawan hitung (pour plate). Cawan berisi media dan sampel yang telah diinkubasi selama 24 jam dan 48 jam dimasukkan ke dalam ProtoCOL 2

Automated Colony Counter (Synbiosis Product Ltd, Inggris) untuk menghitung total koloni bakteri Eschericia coli dan Lactobacillus sp.

Pengukuran bahan kering dan nitrogen biomassa Azolla pinnata; tepung azolla kering udara disubsampel untuk analisis bahan kering secara proksimat dan nitrogen biomassa azolla dengan metode kjeldahl (AOAC 2005). Biomassa azolla yang dianalisis merupakan hasil dekomposit berdasarkan perlakuan. Biomassa azolla yang ditanam dalam kolam yang tidak mendapat limbah hasil pencucian ekskreta ayam juga dianalisis untuk keperluan koreksi perubahan kandungan nitrogen biomassa azolla yang ditanam dalam kolam yang terintegrasi dengan perlakuan ransum rendah protein dalam upaya mitigasi amonia.

(24)

16

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Performa Ayam ISA Brown Umur 24-29 Minggu

Performa ayam petelur ISA Brown umur 24-29 minggu yang meliputi konsumsi ransum, produksi telur hen day, produksi massa telur, konversi ransum, berat telur, dan pertambahan berat badan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Performa ayam petelur ISA Brown umur 24 sampai 29 minggu yang diberi ransum dengan protein kasar 15% dan 17%

Parameter R17 R15 P

Konsumsi ransum kumulatif (g ekor-1) 24289±665 25873±644 0.10 Konsumsi ransum (g ekor-1 hari-1) 94.89±1.3 98.54±1.5 0.20 Produksi telur hen day (%) 42.4±2.8a 33.3±2.7b 0.03 Berat telur (g butir-1) 49.8±0.4 50.3±0.4 0.37 Produksi massa telur (g ekor-1) 5273±414 4473±401 0.18

Konversi ransum 4.6±0.4a 5.8±0.5b 0.01

Pertambahan berat badan (g ekor-1) 245.7±4.3 243.1±6.0 0.89

Keterangan: a-bSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05), P: nilai probabilitas (signifikansi), R15: ransum dengan kandungan protein kasar 15%, R17: ransum dengan kandungan protein kasar 17%.

Konsumsi Ransum

Berdasarkan Tabel 2, rataan konsumsi ransum ayam selama enam minggu penelitian (umur 24-29 minggu) pada semua perlakuan berkisar 3778-4773 gram ekor-1. Perlakuan R15 tidak menurunkan konsumsi ransum ayam, kecuali pada umur 26 minggu. Perubahan suhu lingkungan cenderung meningkat pada minggu ini, menyebabkan konsumsi energi dari pakan juga meningkat. Menurut Bell and Weaver (2002), pakan yang dikonsumsi unggas diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan, pertumbuhan bulu, dan produksi telur. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan harian pada unggas dibagi menjadi dua kelompok. Faktor yang berpengaruh dominan adalah kandungan energi pakan dan suhu lingkungan. Faktor yang berpengaruh minor adalah strain unggas, berat tubuh, bobot telur harian, pertumbuhan bulu, derajat stress, dan aktivitas. Perlakuan R17 tidak menunjukkan penurunan konsumsi ransum setiap minggunya yang artinya tidak terjadi perbedaan palatabilitas oleh ayam terhadap kedua ransum tersebut. Wahju (2004) menyatakan bahwa selain bentuk, bau, dan warna ransum, palatabilitas juga mempengaruhi perubahan tingkat konsumsi ransum pada ayam.

(25)

17 pertumbuhan, produksi bulu, dan produksi telur (Amrullah 2003). Konsumsi energi dan protein yang tidak memenuhi standar menjadi faktor penyebab rendahnya produksi telur hen day. Konsumsi energi dan protein tidak berbeda antara perlakuan R17 dengan R15 (Tabel 3). Konsumsi energi metabolis ayam pada penelitian ini berkisar antara 231.15-237.67 kkal ekor-1 hari-1 dan konsumsi protein berkisar antara 14.92-15.63 g ekor-1 hari-1. Konsumsi energi metabolis dan protein tersebut lebih rendah daripada rekomendasi Leeson dan Summers (2005), bahwa kebutuhan energi metabolis untuk ayam petelur umur 18-32 minggu adalah 260 kkal ekor-1 hari-1 dan kebutuhan protein sebesar 20 g ekor-1 hari-1.

Tabel 3. Rataan konsumsi energi dan konsumsi protein ayam petelur ISA Brown umur 24-29 minggu

Keterangan: P= nilai probabilitas (signifikansi), R15: ransum dengan kandungan protein kasar 15%, R17: ransum dengan kandungan protein kasar 17%.

Produksi Telur Hen Day dan Produksi Massa Telur

(26)

18

Menurut Li et al. (2012) yakni dengan penurunan protein ransum sampai 15% tidak menunjukkan penurunan produksi telur disamping penurunan amonia yang signifikan.

Gambar 3.2 Rataan produksi telur hen day (%) umur 24-29 minggu. ─♦─R17 (ransum dengan kandungan protein kasar 17%), ---■---R15 (ransum dengan kandungan protein kasar 15%).

Menurut British Nutrition foundation’s (1994), arakidonat merupakan cikal bakal terbentuknya hormon prostaglandin (PGE2) yang berperan dalam sistem reproduksi. Hormon prostaglandin akan mempengaruhi sekresi hormon

folicel stimulating hormone (FSH) dan leutinizing hormone (LH) yang berfungsi dalam proses pembentukan dan pematangan sel telur. Pemberian mineral Zn yang cukup dalam ransum dengan kadar protein rendah dapat meningkatkan proses aktivasi enzim karboksipeptidase dan aminopeptidase untuk menyediakan asam amino yang cukup untuk pembentukan telur (Sitindaon 2005). Menurut Wathes et al. (2007), asam lemak tak jenuh rantai panjang EPA (eikosapentaenoat) dan AA (asam arakhidonat) merupakan prekursor penting pada pembentukan prostaglandin, prostacycline (PGI2), thromboxane A2 (TXA2), thromboxane B2 (TXB2) dan leukotrine. Arachidonate merupakan prekursor penting dalam sintesis eicosanoid yang merupakan bahan utama dalam pembentukan prostaglandins dan thromboxanes (Gropper et al. 2005). Prostaglandin (PGE2) seperti folicel stimulating hormone (FSH) dan leutinizing hormone (LH) berperan penting dalam berbagai fungsi reproduksi (ovulasi dan fertilisasi) (Abayasekara dan Wathes 1999; Lands 2005).

(27)

19

Gambar 3.3 Metabolisme prostaglandin. HETEs (hydroxy eicosatetraenoic acids), EETs (epoxyeicosatrienoic acids), prostaglandin (PGE2, PGF2α, PGI2 (prostacyline)), TXA2 (thromboxane A2), TXB2 (thromboxane) (Abayasekara dan Wathes 1999)

Gambar 3.4 Rataan produksi massa telur ayam umur 24-29 minggu. ─♦─R17 (ransum dengan kandungan protein kasar 17%), ---■---R15 (ransum dengan kandungan protein kasar 15%).

(28)

20

Berat Telur

Rataan berat telur hasil penelitian berkisar antara 49.8 – 50.3 g butir-1 (Tabel 2). Berat telur terendah dihasilkan oleh perlakuan R17 yaitu sebesar 49.8 g butir-1. Berat telur yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan berat telur standar ISA Brown umur 24-29 minggu yaitu 57.0- 61.6 g butir-1 serta standar ayam petelur komersial yaitu 63.2 g butir-1 (Amrullah 2003; Hendrix 2007). Berat telur terbesar dihasilkan oleh perlakuan R15 yaitu 50.3 g butir-1. Walaupun berat telur yang diperoleh dibawah standar, namun upaya penambahan beberapa asam amino esensial dalam ransum yang rendah protein mampu meningkatkan berat telur yang dihasilkan. Bobot telur yang tidak menyamai standar diakibatkan oleh rendahnya asupan protein yang hanya 14.92 g ekor-1 hari-1, sedangkan menurut Leeson dan Summers (2005) rata-rata konsumsi protein ayam petelur umur 24-29 minggu adalah 20 g ekor-1 hari-1. Protein dan asam amino (terutama metionin) merupakan zat makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran telur, disamping genetik dan ukuran tubuh unggas (Leeson and Summers 2005). Berdasarkan hasil analisis statistik, berat telur antara perlakuan tidak berbeda nyata, namun penambahan asam amino esensial pada ransum dengan protein 15% dapat mempertahankan berat telur dan mengakibatkan kecenderungan berat telur yang semakin besar setiap minggunya.

Gambar 3.5 Rataan berat telur ayam minggu ke 24-29. ---×--- R17 (ransum dengan kandungan protein kasar 17%), ─■─ R15 (ransum dengan kandungan protein kasar 15%).

Konversi Ransum

(29)

21 ransum ayam petelur umur 24 minggu sampai 29 minggu yang diberi ransum dengan protein 15% berturut-turut yaitu 7.52, 7.34, 6.25, 5.30, 3.79, dan 3.51. Menurut Campbell et al. (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik ternak, umur, produksi telur, kandungan energi dalam ransum, bobot badan, kandungan nutrisi dalam pakan, temperatur udara, dan palatabilitas ransum. Rataan konversi ransum pada perlakuan ransum kontrol (R17) yaitu 4.6 dan tertinggi dicapai pada perlakuan ransum dengan protein 15% (R15) yaitu sebesar 5.8. Penurunan kadar protein ransum sebesar 2% nyata (P<0.05) meningkatkan angka konversi ransum. Hal ini disebabkan karena produksi telur harian perlakuan R15 lebih rendah dibandingkan R17. Nilai konversi ransum selama enam minggu dapat dilihat pada Gambar 3.5

Gambar 3.6 Angka konversi ransum ayam petelur umur 24-29 minggu. ─♦─R17 (ransum dengan kandungan protein kasar 17%) dan ---■---R15 (ransum dengan kandungan protein kasar 15%)

Pengaruh Ransum Perlakuan Terhadap Kualitas Fisik Telur Ayam Umur 24-29 Minggu

Kualitas Fisik Kerabang Telur

(30)

22

tercukupi maka kualitas kerabang menjadi rendah (Keshavarz 2003). Persentase kerabang telur yang dihasilkan berkisar 13.45% - 13.62% (Tabel 4), dan ini tergolong sangat baik jika dirujuk kepada pendapat Bell dan Weaver (2002) yang menetapkan kisaran normal persentase kerabang telur adalah 10% - 12% dari bobot telur.

Luas Permukaan Telur

Rataan luas permukaan telur hasil penelitian berkisar antara 62.28 - 67.86 cm2 (Tabel 4). Pada umur 25 minggu, luas permukaan telur terendah dihasilkan oleh kontrol yaitu sebesar 62.28 cm2. Pada umur 29 minggu, luas permukaan telur terendah dihasilkan oleh perlakuan R15 yaitu sebesar 67.15 cm2. Luas permukaan telur hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan standar yaitu 68 cm2 (Paganelli et al. 1974). Luas permukaan telur merupakan komponen yang menggambarkan kualitas telur melalui hubungan bobot telur yang dihasilkan dengan bobot telur metabolik. Pada dasarnya parameter ini dijadikan indikator untuk mengukur kualitas kerabang jika ingin mengevaluasi ketahanannya dalam memproteksi embrio terhadap panas, gas hasil metabolis, dan aktifitas air (Aw) (Paganelli et al. 1974). Terdapat hubungan linear antara berat telur dengan luas permukaan telur (egg surface area) yakni semakin tinggi berat telur yang dihasilkan maka luas permukaan telur juga meningkat.

Tabel 4. Kualitas telur ayam ISA Brown umur 25 dan umur 29 minggu yang diberi ransum dengan protein kasar 17% dan 15%

Parameter1 R17 R15 P

Minggu ke- 25

Berat kerabang telur (g butir-1) 6.46±0.11 6.45±0.10 0.94 Persentase kerabang telur (%) 13.62±0.18 13.51±0.17 0.69

Tebal kerabang (mm) 0.47±0.01 0.47±0.01 0.90

Kekuatan kerabang (kg cm-2) 4.14±0.17 4.54±0.16 0.11 Luas permukaan telur (cm2) 62.28±0.57 62.46±0.54 0.83

Warna kuning telur 5.74±0.25 5.94±0.23 0.58

Tinggi albumen (mm) 4.10±0.12 4.08±0.12 0.70

Haugh unit 65.28±1.20 65.86±1.13 0.74

Minggu ke-29

Berat kerabang telur (g butir-1) 7.32±0.38 7.16±0.39 0.29 Persentase kerabang telur (%) 13.54±0.64 13.45±0.60 0.67

Tebal kerabang (mm) 0.50±0.03 0.50±0.03 0.84

Kekuatan kerabang (kg cm-2) 4.28±0.16 4.71±0.16 0.07 Luas permukaan telur (cm2) 67.86±1.73 67.15±1.80 0.28

Warna kuning telur 7.07±0.14 7.20±0.14 0.66

Tinggi albumen (mm) 5.14±0.26 4.89±0.46 0.19

Haugh unit 71.65±5.87 70.01±5.84 0.34

(31)

23

Skor Warna Kuning Telur

Rataan skor warna kuning telur penelitian adalah 5.74 – 7.20 (Tabel 4). Seluruh perlakuan tidak mempengaruhi skor warna kuning telur, meskipun skor warna kuning telur yang dihasilkan tidak terlalu tinggi. Warna kuning telur dipengaruhi oleh xanthophylls dalam pakan. Jika pakan mengandung banyak

xanthophylls warna kuning telur adalah merah oranye (Castan et al. 2005). Jagung kuning memiliki kandungan xanthophylls yang tinggi yaitu sekitar 17 mg/kg (Moros et al. 2002). Penggunaan jagung dalam ransum rendah protein (R15) sampai 53.22% dapat menghasilkan skor warna kuning telur sebesar 7.20 dan tidak berbeda nyata dengan ransum kontrol yang menggunakan jagung sebesar 45.56%. Skor warna kuning telur yang dihasilkan tidak mencapai standar dengan penggunaan jagung diatas 40% dalam ransum yaitu 8-9 (Leeson and Summers 2005). Warna kuning telur hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7 Warna kuning telur antar perlakuan umur 25 minggu dan 29 minggu

Tinggi Putih Telur dan Haugh Unit

Rataan tinggi putih telur penelitian adalah 4.08 - 5.14 mm. Rata-rata tinggi putih telur relatif sama untuk semua perlakuan. Tinggi putih telur sangat dipengaruhi oleh proporsi putih telur dari sebutir telur. Semakin tinggi berat putih telur maka tinggi putih telur juga semakin meningkat (Budiman dan Rukmiasih 2007). Penyusun utama putih telur menurut Stadelman dan Cotteril (1995) adalah air (88%) dan protein (9.7% - 10.6%) serta komponen lipid dalam jumlah yang sedikit. Penurunan protein kasar ransum menjadi 15% tidak menyebabkan penurunan tinggi putih telur. Bila ayam mendapat ransum dengan protein rendah tanpa disuplementasi asam amino esensial memang dapat berakibat pada lamanya proses plumping dan chalaza (Novak et al. 2006; Adeyemo et al. 2012). Proses ini merupakan bagian yang penting dalam pembentukan putih telur dalam pembentukan sebutir telur.

(32)

24

tergolong normal menurut Bell dan Weaver (2002). Nilai haugh unit tersebut dikategorikan sebagai telur yang berkualitas A. Nilai haugh unit lebih dari 72 dikategorikan sebagai telur yang berkualitas AA, haugh unit 60-72 sebagai telur berkualitas A, nilai haugh unit 31-60 sebagai telur berkualitas B dan nilai haugh unit kurang dari 31 dikategorikan sebagai telur berkualitas C (Bell dan Weaver 2002). Faktor yang mempengaruhi haugh unit adalah umur penyimpanan, strain unggas, umur, molting, nutrisi pakan, dan penyakit (Roberts 2004). Pengukuran

haugh unit pada penelitian ini dilakukan pada masa penyimpanan dan suhu yang relatif sama sehingga hasilnya cenderung seragam. Nilai haugh unit hasil penelitian yang tidak terlalu tinggi disebabkan oleh pengukuran yang dilakukan tidak langsung pada telur segar melainkan setelah mengalami proses penyimpanan selama 1 hari.

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi Amonia (NH3), pH, Kadar Air, Nitrogen Ekskreta, dan Total Koloni Bakteri (E.Coli/Coliform dan

Lactobacillus sp.)

Konsentrasi amonia, pH, kadar air, nitrogen, dan total koloni bakteri dalam ekskreta ayam akibat perlakuan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Profil ekskreta ayam petelur ISA Brown yang diberi ransum dengan protein kasar 17% dan 15%

Parameter Pengukuran

(jam setelah inkubasi)

R17 R15 P

NH3, ppm1 24 65.9±4.2 53.8±4.6 0.14

48 181.7±7.1a 132.6±7.1b 0.03

Ph 24 7.5±0.5 7.4±0.4 0.54

48 7.9±0.8 7.6±0.6 0.27

Kadar air, % 24 81.0±1.8 79.4±1.7 0.02

48 80.7±1.1 79.9±2.1 0.20

Nitrogen, % 14.5±1.4 12.5±1.2 0.81

Eschericia coli, log10 CFU g-1 ekskreta segar 7.16±0.4 7.13±0.2 0.74

Lactobacillus sp., log10 CFU g-1 ekskreta segar 11.79±0.2 11.80±0.2 0.86

Keterangan: a-bSuperskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05), P: nilai probabilitas (signifikasi), 1Diukur dengan menggunakan gas aspirating pump (1 strok skala 0.5) dengan amonia tube (skala 0 sampai 260 ppm) di laboratorium Pusat Pengembangan Agribisnis Terpadu (PPA-T) UNJA, R15: ransum dengan kandungan protein kasar 15%, R17: ransum dengan kandungan protein kasar 17%.

Konsentrasi Amonia (NH3)

(33)

25 penurunan protein ransum mampu menurunkan produksi NH3 ekskreta berkisar 18.4%-27.0%. Penurunan gas NH3 ekskreta penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh Roberts et al. (2007a) yaitu persentase penurunan produksi gas NH3 sebesar 10%. Pemberian ransum dengan protein kasar 15% menyebabkan penurunan NH3 ekskreta (P<0.05), khususnya pada inkubasi 48 jam (Tabel 5). Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya (Meluzzi et al. 2001; Bregendahl et al. 2002; Roberts et al. 2007a). Secara teori, penurunan NH3 adalah akibat penurunan aktivitas bakteri pengguna N dan pembentuk NH3 (Li dan Xin 2010) sebagai akibat penurunan substrat (N ekskreta), penurunan pH ataupun adanya kompetisi antara bakteri pembentuk NH3 dengan bakteri lainnya terutama golongan Lactobacillus sp. (Koutsos dan Arias 2006) dengan nonpatogen (Wu-Haan et al. 2007). Data penurunan populasi Lactobacillus sp. belum terlihat nyata. Penurunan protein ransum yang tidak menyebabkan penurunan ekskresi N merupakan faktor penentu aktivitas kedua populasi bakteri tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh diduga terdapat kompetisi yang kuat antara bakteri nonpatogen dengan patogen terkait pemanfaatan substrat (sumber nitrogen protein) sehingga dapat menyebabkan populasi berbeda dan sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada keunggulan memanfaatkan N lebih utama oleh bakteri golongan nonpatogen relatif terhadap patogen (Khempaka et al. 2011; Yusrizal et al. 2013). Proses perombakan asam urat menjadi amonia (NH3) yang berlangsung secara aerob dapat dilihat pada Gambar 3.8.

Gambar 3.8 Perombakan asam urat menjadi amonia (NH3) secara aerob dalam ekskreta ayam petelur (Koerkamp 1994)

(34)

26

untuk produksi banyak senyawa nitrogen yang bersifat toksik dan merupakan gas lintas batas (dapat terbawa angin hingga sejauh 10-20 km dari sumbernya) (Bittman dan Mikelsen 2009). Menurut Koerkamp (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan amonia dalam ekskreta yaitu nitrogen ekskreta (biasanya dalam bentuk asam urat), patogenesa, lingkungan, dan waktu akumulasi ekskreta (manure accumulation time).

Kadar Air dan pH Ekskreta

Rataan kadar air ekskreta setelah perlakuan baik sebelum inkubasi maupun setelah inkubasi yaitu 79.4% - 81.0% (Tabel 5). Rataan pH yang dihasilkan yaitu 7.4-7.9 (Tabel 5). Kadar air maupun pH ekskreta terendah dihasilkan oleh perlakuan R15 yakni kadar air sebesar 79.4% dan derajat keasaman (pH) sebesar 7.4. Untuk meminimalisir dampak dekomposisi oleh bakteri patogen, kadar air serta pH yang dihasilkan masih lebih tinggi dibandingkan standar kadar air dan pH dalam ekskreta ayam petelur fase awal bertelur yaitu 75%-77% dengan derajat keasaman ≤ 7 (Leeson and Summers 2005). Kadar air dan pH ekskreta hasil penelitian sejalan dengan pendapat Reece et al. (1985), bahwa pelepasan NH3 sebagai hasil perombakan asam urat oleh bakteri patogen lebih dominan terjadi pada pH diatas 7.1. Kadar air dalam ekskreta dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang tinggi yang menyebabkan konsumsi air meningkat dan berdampak pada ekskresi air dalam ekskreta terus meningkat (Leeson et al. 1995). Menurut North dan Bell (1990), tingkat stress ayam terhadap perubahan suhu lingkungan berdampak awal pada kenaikan konsumsi air minum seiring kenaikan ekskresinya bersama ekskreta. Pada suhu 210C, ayam akan minum 2 kg untuk 1 kg ransum yang dikonsumsi, dan 60%-65% air yang dikonsumsi akan terdapat pada ekskreta.

Ekskresi Nitrogen

Nitrogen merupakan indikator dalam menilai kecernaan protein kasar didalam tubuh ternak yang bersumber dari pakan yang dikonsumsi. Semakin besar ekskresi nitrogen maka semakin meningkat pula akumulasi nitrogen output

yang artinya dalam kondisi nitrogen unequilibrium (keseimbangan nitrogen tubuh tidak tercapai, dimana nitrogen yang dikonsumsi lebih kecil daripada

(35)

27

Total Koloni Bakteri (E.Coli/Coliform dan Lactobacillus sp.)

Rataan total koloni bakteri Eschericia coli/colliform penelitian ini yaitu berkisar 7.13-7.16 log10 CFU g-1 ekskreta segar, sedangkan total koloni bakteri

Lactobacillus sp. berkisar 11.79-11.80 log10 CFU g-1 ekskreta segar (Tabel 5). Total koloni bakteri E.Coli penelitian ini masih berada pada kisaran normal dalam ekskreta ayam yang sehat yakni 3.22-7.94 log10 CFU g-1 ekskreta segar (Bayu et al. 2012; A. Abdelqader et al. 2013) sedangkan total koloni bakteri

Lactobacillus sp. yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan nilai normal yakni 5.96-6.39 log10 CFU g-1 ekskreta segar (A. Abdelqader et al. 2013). Tingginya total koloni bakteri Lactobacillus sp. ini diduga akibat penggunaan BIS dalam ransum yang merupakan sumber MOS sebagai prebiotik yang dapat meningkatkan jumlahnya di dalam saluran pencernaan (Tafsin et al. 2007; Yusrizal et al. 2013). Strategi menurunkan protein ransum sebesar 2% dapat menurunkan populasi bakteri patogen meskipun tidak nyata. Selain nitrogen dari makanan, bakteri patogen juga memanfaatkan nitrogen yang terdifusi oleh darah kepermukaan dinding usus sebelum diekskresikan. Nitrogen dalam bentuk asam urat merupakan prekursor utama dalam sintesis NH3 oleh bakteri patogen (Bregendahl et al. 2002). Pada dasarnya kelompok bakteri fermentatif (Lactobacillus sp.) akan mensintesis asam laktat dan asam lemak rantai pendek dari oligosakarida ingesta yang masih terdapat didalam usus besar maupun didalam ekskreta (Yusrizal et al. 2013). Total populasi kedua bakteri yang tidak berbeda mengisyaratkan kompetisi yang kuat terkait pemanfaatan substrat N oleh keduanya.

Income Over Feed Cost (IOFC)

Pengaruh perlakuan terhadap rataan income over feed cost dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan income over feed cost ayam selama 6 minggu penelitian

Peubah R17 R15

Harga pakan (Rp/kg)* 5185.0 6987.0

Harga jual telur (Rp/kg)** 15000.0 15000.0

Konsumsi pakan (kg/ekor) 4.05 4.31

Produksi telur (kg/ekor) 5.27 4.47

Biaya pakan (Rp/ekor) 20989.74 30129.11

Pendapatan(Rp/ekor) 79095.00 67095.00

IOFC (Rp/ekor/selama pemeliharaan) 58105.3 36965.9

Keterangan: *Harga pakan pada bulan Maret-Juni 2014, **Harga telur pada bulan Juni 2014, R15: ransum dengan kandungan protein kasar 15%, R17: ransum dengan kandungan protein kasar 17%.

(36)

28

cost. Besar kecilnya nilai income over feed cost juga dipengaruhi oleh harga telur pasaran pada waktu tertentu. Dari Tabel 6, dapat dilihat bahwa harga pakan perlakuan tertinggi pada R15 (Rp. 6987.0 /kg) dan terendah pada pakan R17 (Rp. 5185.0 /kg). Harga jual telur hasil kedua perlakuan sama yaitu Rp. 15.000/kg. Biaya IOFC tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pakan yang mengandung protein 17% (kontrol) yaitu sebesar Rp. 58105.3 /ekor/selama penelitian. Strategi penurunan ransum menjadi 15% dengan upaya penyisipan beberapa asam amino esensial yang harganya mahal menyebabkan kenaikan harga ransum. Jumlah telur yang dihasilkan sangat sedikit menyebabkan efisiensi dalam penggunaan ransum untuk menghasilkan telur yang banyak tidak tercapai. Dari segi ekonomi, ransum dengan protein 15% kurang tepat untuk diaplikasikan karena kurang menguntungkan. Namun untuk tujuan mitigasi NH3 ekskreta, penggunaan ransum dengan protein 15% sangat tepat untuk diaplikasikan.

Kandungan Bahan Kering, Nitrogen Biomassa Azolla pinnata dan Kualitas Fisik Air Limbah Buangan dalam Kolam setelah Terintegrasi dengan

Pemeliharaan Perlakuan Ransum Rendah Protein

Bahan Kering dan Nitrogen Biomassa Azolla

Kandungan bahan kering dan nitrogen biomassa azolla disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kandungan bahan kering dan nitrogen biomassa Azolla pinnata1

Perlakuan Bahan kering (%) Nitrogen (%)

Tanpa integrasi 44.40 3.44

R15 33.70 4.46

R17 37.72 4.43

Keterangan: 1Hasil analisis di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2014), Tanpa integrasi: biomassa azolla yang diperoleh dari kolam yang tidak terintegrasi perlakuan protein ransum (sebagai pembanding), R15: biomassa azolla yang diperoleh dari kolam yang terintegrasi perlakuan R15, R17: biomassa azolla yang diperoleh dari kolam yang terintegrasi perlakuan R17.

(37)

29 logam berat, dan berpotensi sebagai pakan ternak (Forni et al. 2001; Alkar et al. 2007), namun hasil observasi selama penelitian menunjukkan bahwa desain kolam yang digunakan untuk pertumbuhan azolla belum optimal baik dari sisi luas kolam, airase, maupun kapasitas tampung kolam dengan air limbah yang masuk sehingga mengakibatkan azolla tidak mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama.

Kualitas Fisik (Suhu, pH, dan TDS/Total Dissolved Solids) Air Limbah Buangan Hasil Pencucian Ekskreta Ayam dalam Kolam yang Terintegrasi

Kualitas fisik air limbah buangan dalam kolam meliputi total dissolved solids (TDS), suhu air kolam, dan derajat keasaman (pH) disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Kualitas fisik air limbah buangan hasil pencucian ekskreta ayam dalam kolam azolla yang terintegrasi

Keterangan: a-bSuperskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01), SNBerpengaruh sangat nyata (P<0.01), NBerpengaruh nyata (P<0.05), A= Faktor buangan ekskreta ayam yang mengkonsumsi ransum dengan protein 15% dan 17%, B= Faktor azolla dengan dan tanpa ditumbuhkan dalam kolam, C= Faktor deret kolam. 4Nilai peubah hasil pengukuran minggu ke-4, 8Nilai peubah hasil pengukuran minggu ke-8, Faktor A, B, dan Interaksi tidak berpengaruh terhadap kualitas fisik air kolam azolla, C1= Deret kolam pertama, C2= Deret kolam kedua, C3= Deret kolam ketiga, dan C4= Deret kolam keempat.

(38)

30

hasil penelitian berturut-turut yaitu TDS berkisar 302.4-1470 ppm, pH berkisar 6.4-8.2, dan suhu berkisar 26.9-27.3 0C. Jika air limbah buangan ini diperuntukkan mencuci lantai tempat pemeliharaan ayam, media tumbuh tanaman air, dan akan diteruskan kepermukaan tanah maka masih aman berdasarkan standar baku mutu kualitas air limbah domestik untuk ketiga parameter ini yakni TDS ≤ 2000 ppm, pH 6-9, dan suhu ≤ 35 0C (WHO 2003; Depkel RI 2007; Ary et al. 2008; Johanan et al. 2014). Upaya selektifikasi beberapa tanaman air sebagai biofilter dalam kolam seperti Azolla pinnata tidak nyata mempengaruh kualitas fisik air limbah buangan meskipun dapat menyebabkan penurunan kadar TDS berkisar 17%-30% (Tabel 8). TDS atau

total dissolved solids merupakan padatan terlarut (diameter <10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm – 10-3 mm) yang dapat berupa senyawa kimia dan bahan-bahan lain (Effendi dan Hefni 2003). Tingginya nilai TDS perairan dipengaruhi oleh kualitas limbah antropogenik (limbah domestik) yang mencemari perairan, temperatur, dan pH serta rendahnya oksigen terlarut (Dissolved oxigen/DO) (Effendi dan Hefni 2003). TDS sangat berhubungan dengan oksigen terlarut yang merupakan komponen penting bagi biota aquatik. TDS yang tinggi akan menunjukkan rendahnya DO air. Hal ini disebabkan oleh dominasi pemanfaatan DO oleh mikroorganisme yang merombak bahan organik dalam air sehingga ketersediaannya semakin kecil (Wardhana 2004).

(39)

31

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Penurunan protein kasar ransum sampai 15% yang disuplementasi asam amino esensial dapat menurunkan NH3 ekskreta, mempertahankan kualitas telur yang dihasilkan, dan menyebabkan penurunan produksi telur hen day

sebesar 21.5%.

2. Penanaman azolla pada kolam air buangan berperan sebagai filter air buangan yang dicerminkan oleh TDS, derajat keasaman (pH), dan temperatur yang berpotensi sebagai bahan pakan ternak berprotein tinggi.

Saran

(40)

32

DAFTAR PUSTAKA

Abayasekara DRE, Wathes DC. 1999. Effects of altering dietary fatty acid composition on prostaglandin synthesis and fertility. Harcourt Publishers Ltd. 61(5): 275-287.

Abdelqader A, Al-fataftah A, Das G. 2013. Effects of dietary Bacillus subtilis

and inulin supplementation on performance, eggshell quality, intestinal morphology and microflora composition of laying hens in the late phase of production. Anim Feed Sci & Tech. 179(2013): 103-111.

Adeyemo GO, Abioye SA, Aderemi FA. 2012. The effect of varied dietary crude protein levels with balanced amino acids on performance and egg quality characteristics of layers at first laying phase. Food & Nutr Sci. 03(04):526-529.

Adrizal, Patterson PH, Hulet RM, Bates RM, Despot DA, Wheeler EF, Topper PA, Anderson DA, Thompson JR. 2008. The potential for plants to trap emissions from farms with laying hens: 2. Ammonia and Dust. J Appl PoultRes. 17(3):398-411.

Adrizal A, Patterson PH, Cravener T, Hendricks GL. 2011a. Egg yolk and serum antibody titers of broiler breeder hens immunized with uricase and or urease. Poult Sci. 90(10):2162-2168.

Adrizal A, Yusrizal Y, Fakhri S, Haris W, Ali E, Angel CR. 2011b. Feeding native laying hens diets containing palm kernel meal with or without enzyme supplementations: 1. Feed conversion ratio and egg production. J ApplPoult Res. 20(1):40-49.

Akter M., Chowdhury SD, Akter Y, Khatan MA. 2011. Effect of duckweed (Lemna minor) meal in the diet of laying hen and their performance.

Bangladesh Res Pub J. 5(3): 251-261.

Alalade OA, Iyayi EA, Alalade TO. 2007. The nutritive value of azolla (Azolla pinnata) meal in diets for growing pullets and subsequent effect on laying performance. J Poult Sci. 44(3):273-277.

Alkar RU, Virendra KM, Sudhir KP, Triphati BD. 2007. Biofiltration of secondary treated municipal wastewater in a tropical city. Ecological Engineering. 30(2007): 9-15.

Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan Ketiga. Lembaga Satu. Gunung budi, Bogor.

[AOAC] Association of Analytical Communities. 2005. Official Method of Analysis of AOAC International. Arlington (US): Association of Official Analytical Chemical. Ed ke-18.

Ary P, Mahendra MS, Sundra IK. 2008. Studi kualitas perairan pantai di kawasan industri perikanan, Desa pengambengan, kecamatan negara, kabupaten jembrana, Tesis, Universitas Udayana. Bali.

Basak BMD, Paramanik AH, Rahman MS. 2002. Azolla (Azolla pinnata) as a feed ingredient in broiler ration. Intl J Poult Sci. 1:29-34.

(41)

33 Bell DD, Weaver WD. 2002. Commercial Chicken Production Meat and Egg.

5th ed. Massachusetts (US): Kluver Academic.

Bennicelli R, Ostrowski J. 2004. The ability of Azolla caroliniana to remove heavy metals [Hg(II), Cr (III), Cr (IV)] from municipal waste water.

Chemosphere 55, 141-146.

Bittman S, Mikkelsen R. 2009. Ammonia emissions from agricultural operations: livestock. Better Crops.93:28-31.

Bregendahl K, Sell J, Zimmerman D. 2002. Effect of low-protein diets on growth performance and body composition of broiler chicks. Poult Sci. 81(8):1156-1167.

[BNF] British Nutrition Foundation's. 1994. Unsaturated fatty acid, nutritional and physiological significance. The Report of The British Nutrition Foundation's task Force. Chapman and Hall, London. 35-39.

Budiman, Rukmiasih. 2007. Karakteristik putih telur itik tegal. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Campbell JR, Kenealy MD, Campbell KL. 2009. Animal science: The Biology Care and Production of Domestic Animals. Ed: 4th. New York (US): McGraw-Hill.

Castan MP, Hirschler EM, Samsa AR. 2005. Skin pigmentation evaluation in broilers fed natural and synthetic pigments. Poult Sci Association Inc. Chen H, Huang RL, Zhang HX, Di KQ, Pan D, Hou YG. 2007. Effects of

photoperiod on ovarian morphology and carcass traits at sexual maturity in pullets. Poult Sci. 86(5):917-920.

Costa ML, Santos MCR, Carrapico F, Pereira AL. 2009. Azolla–Anabaena’s behaviour in urban wastewater and artificial media – Influence of combined nitrogen. Water Research. 43(2009): 3743-3750.

[Depkel] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2007. Laporan bulanan direktorat pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan bulan Januari 2007. Jakarta.

[Ditjenak-Keswan] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015.

Statistik Populasi Unggas Tahun 2014 di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan.

Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pertanian. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Forni C, Cascone A, Cozzolino S, Migliore L. 2001. Drugs uptake and degradation by aquatic plants as a bioremediation technique. Minerva Biotecnol. 13: 151-152.

Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2005. Advance Nutrition and Human Metabolism. 5th Ed. Belmont (US): Wadsworth Cengage Learning. Hardianto, Suarjana IGK, Rudyanto MD. 2012. Pengaruh suhu dan lama

penyimpanan terhadap kualitas telur ayam kampung ditinjau dari angka lempeng total bakteri. Indon medic veter 1(1): 71-84 ISSN: 2301-7848. Hyline International. 2007. Hy-Line Variety Brown-Commercial Management

Guide 2005–2007. Hy-Line Int., West Des Moines, IA.

Gambar

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan
Gambar 2.1 Desain kandang penelitian (a) dan Azolla pinnata (b)
Gambar 3.2 Rataan produksi telur hen day (%) umur 24-29 minggu. ─♦─R17
Gambar 3.4 Rataan produksi massa telur ayam umur 24-29 minggu.  ─♦─R17
+6

Referensi

Dokumen terkait

Keragaman genetik yang luas untuk beberapa karakter pada populasi ini disebabkan latar belakang genetik populasi yang berbeda dan seleksi akan diarahkan kepada

Penggunaan Fuzzy AHP adalah untuk mengakomodir sifat samar ( uncertainty ) yang terjadi ketika mengambil keputusan Berdasarkan hasil perhitungan yang sudah dilakukan

Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan salah satu upaya mengimplementasi Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan menjadi kegiatan pembelajaran

Sharp Elektronik Indonesia Cabang Palembang yang mampu menginput data pemesanan, data toko, data pengiriman serta output laporan pengiriman, cetak bukti

Berdasarkan hasil penelitian ini, keterkaitan eksploitasi dengan keragaan pertumbuhan dan reproduksi adalah eksploitasi yang tinggi menyebabkan ukuran ikan lebih

Kajian ini menunjukkan sebahagian daripada pemakai kanta sentuh tidak mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai risiko dan bahaya ke atas mata mereka kerana ketidakpatuhan pada

 Kawasan peruntukan permukiman perdesaan, penetapan lokasi sebagai fungsi kawasan peruntukan permukiman perdesaan meliputi seluruh desa di Kecamatan Loceret,

Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah dareah, disebutkan bahwa “ untuk pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat akan