• Tidak ada hasil yang ditemukan

Characterization of Land Biophysical for Building Land Suitabilty for Cashew (Anacardium Occidentale L)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Characterization of Land Biophysical for Building Land Suitabilty for Cashew (Anacardium Occidentale L)"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI SIFAT FISIK LAHAN

UNTUK PEMBANGUNAN KRITERIA KESESUAIAN BIOFISIK

LAHAN

UNTUK JAMBU METE (

Anacardium occidentale

L.)

MUHAMMAD HIKMAT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “Karakterisasi Sifat

Fisik Lahan Untuk Pembangunan Kriteria Kesesuaian Biofisik Lahan

Untuk Jambu Mete (

Anacardium occidentale

L

)” adalah karya saya

sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD HIKMAT. Characterization of Land Biophysical for Building Land Suitabilty for Cashew (Anacardium Occidentale L.) Supervised by WIDIATMAKA as Chairman, ATANG SUTANDI and DJUANEDI ABDUL RACHIM as Members

Cashew is one of the prospective comodities. The agribusiness of it contributes to absorb labors, rehabilitate critical land and increase total export of agriculture commodities. However, there are many problems in developing this commodity. The main problem is its low productivity. One of the reasons is the use of unsuitable land for their growth. The available land suitability criteria for this comodity is still common criteria that based on data compilation and emphirical experiences. The objectives of the research were to reveal the most important land characteristic determining cashew growth and productivity, to build interaction model between biophysical charactheristic and productivity, and to propose the new land suitability criteria for cashew based on their productivity. The data of biophysical characteristics and productivity parameters were collected from four provinces and eleven districts. Boundary line method was used to develop the correlation model between cashew productivity and biophysical parameters. The equation models correlating biophysical charactheristic and productivity were developed using multivariate analyses. The results showed that there were six index factors affecting cashew growth and productivity significantly. They were built by elevent important land characteristics. The index factors consisted of soil particles, organic matter, water availability, terrain condition, soil alkalinity and nutrient retention. Based on their productivity values, the new land suitability criteria was developed. It was developed from 6 land qualities and 15 land characteristics. According to the productivity, the limit of cashew product between highly suitable (S1) and moderately suitable (S2) was 72,19 kgtree-1 year-1, the limit between S2 and marginally suitable (S3) was 54,15 kgtree-1 year-1, and the limit between S3 and not suitable (N) was 21,30 kg tree-1 year-1. The validity test of the new criteria showed that 80% of land evaluation results had close corelation with the expected productivity.

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD HIKMAT. Karakterisasi Sifat Fisik Lahan untuk Pembangunan Kriteria Kesesuaian Biofisik Lahan untuk Jambu Mete (Anacardium Occidentale L.). Dibimbing oleh WIDIATMAKA sebagai Ketua, ATANG SUTANDI dan DJUANEDI ABDUL RACHIM sebagai Anggota.

Jambu mete adalah salah satu komoditas perkebunan yang cukup prospektif. Komoditas ini berkontribusi penting dalam penyerapan tenaga kerja, rehabilitasi lahan-lahan kritis dan peningkatan total ekspor dari komoditas petanian. Di sisi lain terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan komoditas ini. Salah satu di antaranya adalah tingkat produksi yang masih rendah. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya produktifitas mete.

Pengembangan jambu mete memerlukan evaluasi kesesuaian lahan terlebih dahulu untuk memperoleh kepastian kondisi biofisik lahannya sesuai dengan persyaratan tumbuh tanamannya agar para pengembang terhindar dari resiko kegagalan akibat ketidakcocokan lahannya. Hal ini sangat penting mengingat jambu mete adalah jenis tanaman tahunan yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat memberikan hasil.

Kriteria kesesuaian lahan untuk pengembangan jambu mete yang sudah ada pada umumnya disusun berdasarkan hasil kompilasi data serta pengalaman empiris dan belum dikaitkan dengan perkiraan produksi tanaman yang mendalam. Agar dapat menduga potensi hasil pengembangan mete di suatu wilayah, maka dirasakan perlu adanya kriteria kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan pendekatan produktifitasnya.

(5)

lapangan. Untuk itu dilakukan eksplorasi data terhadap data-data dari empat provinsi yang mempunyai kondisi fisik lahan dan lingkungan yang berbeda-beda, yaitu Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan D.I. Yogyakarta. Data-data tersebut berupa data sekunder hasil penelitian terdahulu dan data primer yang diperoleh melalui survey lapangan.

Model interaksi sifat biofisik lahan dengan pertumbuhan dan produktifitas tanaman serta faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman dicari dengan menggunakan analisis PCA (Principal Components Analysis), analisis faktor dan analisis regresi berganda. Sedangkan dalam membangun kriteria kesesuaian lahan, metode boundary line digunakan sebagai pendekatan dalam melihat hubungan antara parameter sifat fisik lahan dengan produksinya. Kelas kesesuaian lahan dibagi ke dalam 4 kelas, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). Kriteria kelas kesesuaian lahan merupakan modifikasi dari kriteria FAO, yaitu tingkat produksi lahan kelas S1 adalah 80% - 100% dari produksi maksimum, lahan kelas S2 mempunyai tingkat 60 – 80%, lahan kelas S3 mempunyai tingkat produksi antara 60% sampai nilai ambang batas ekonomis pengusahaan, yaitu 23,6%. Sedangkan lahan kelas N mempunyai tingkat produksi <23,6%.

(6)

tanaman. Sedangkan terhadap pertumbuhan diameter batangnya, faktor indeks yang berkontribusi tinggi adalah partikel tanah dan kondisi terrain, sedangkan bahan organik, ketersediaan air, alkalinitas tanah dan retensi hara berkontribusi rendah.

Berdasarkan produktifitasnya, dibangun kriteria kesesuaian lahan yang tersusun dari 6 kualitas lahan dan 15 karakteristik lahan. Batas produksi antara kelas S1 dan S2 adalah 72,19 kg pohon-1 tahun-1, batas produksi antara S2 dan S3 adalah 54,15 kg pohon-1 tahun-1, dan batas produksi antara S3 and N adalah 21,30 kg pohon-1 tahun-1. Hasil uji validitas yang dilakukan dengan uji terap terhadap seluruh kriteria yang telah diperoleh menunjukkan bahwa 80% hasil evaluasi lahan sesuai dengan tingkat produksi yang diharapkan.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(8)

KARAKTERISASI SIFAT FISIK LAHAN

UNTUK PEMBANGUNAN KRITERIA KESESUAIAN BIOFISIK

LAHAN UNTUK JAMBU METE (

Anacardium occidentale

L.)

MUHAMMAD HIKMAT

A151070041

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Karakterisasi Sifat Fisik Lahan untuk Pembangunan Kriteria Kesesuaian Biofisik Lahan untuk Jambu Mete (Anacardium occidentale L.)

Nama : Muhammad Hikmat NRP : A151070041

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Widiatmaka, DAA. Ketua

Ir. Atang Sutandi, M.Si. Phd. Prof. Dr. Ir. Djunaedi Abdurrachim, M.S.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Tanah

Ir. Atang Sutandi, M.Si. Phd. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kesesuaian lahan untuk komoditas jambu mete, dengan judul Karakterisasi Sifat Fisik Lahan untuk Pembangunan Kriteria Kesesuaian Biofisik Lahan untuk Jambu Mete (Anacardium occidentale L.)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Widitamaka, DAA. Bapak Ir. Atang Sutandi, M.S. pHd., Bapak Prof. Dr. Ir. Djunaedi A. Rachim M.S. sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan saran-saran. Selain itu penghargaan penulis sampaikan juga kepada Bapak Ir. Usman Daras M.S., staf peneliti Balai Penelitian Tanaman Industri, Litbang Departemen Pertanian, yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini, serta Badan Litbang Departemen Pertanian yang telah membiayai penelitian ini melalui program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun 2008. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu saya, istri serta anak-anak saya atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cimahi, Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 10 Januari 1969 dari ayah Drs. Soedjana Wigandasasmita dan ibu Siti Hindasah. Penulis merupakan putera terakhir dari tujuh bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus SMA Negeri IV Bandung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih jurusan Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian dan berhasil menyelesaikan masa kuliahnya pada tahun 1992. Penulis melanjutkan sekolah program master pada tahun 2007. Setahun kemudian penulis menerima beasiswa pendidikan pascasarjana dari Departemen Pertanian Republik Indonesia.

(13)

DAFTAR ISI TINJAUAN PUSTAKA ... Sekilas Tentang Tanaman Jambu Mete... Evaluasi Lahan... Kualitas dan Karakteristik Lahan... METODOLOGI...

Lokasi dan Waktu Penelitian... Bahan dan Pealatan... Prosedur Penelitian dan Parameter Pengamatan... Analisis Data ……… HASIL DAN PEMBAHASAN...

Gambaran Umum Daerah Survey... Karakteristik Tanah-tanah Dominan di Daerah Survey... Karakteristik Sifat-sifat Biofisik Lahan Yang Terkait dengan Produktifitas dan Pertumbuhan Jambu Mete... Peneraan Berdasarkan Umur dan Jarak Tanam……...

(14)

Halaman Karakteristik Lahan yang Paling Berpengaruh terhadap Produksi dan

Pertumbuhan Jambu Mete... Model Hubungan Interaksi Sifat Biofisik Lahan Dengan Pertumbuhan dan Produktifitas Jambu Mete... Pengembangan Model Kesesuaian Biofisik Lahan... Kriteria Kesesuaian Biofisik Lahan………..………… Hasil Uji Validitas... Perbandingan Kriteria yang Dihasilkan dengan Kriteria Puslitbangtanak (2003)……… SIMPULAN... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN………..…...

72 75 82 100 102

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Analisis Laboratorium Sifat Fisik dan Kimia Tanah... 2. Jumlah dan Jenis Data dari Berbagai Daerah yang Digunakan dalam Penelitian …... 3. Sebaran Kelas Kemiringan Lereng di Kabupaten Flores Timur... 4. Sebaran Luasan Formasi Geologi di Kabupaten Flores Timur... 5. Data Rata-rata Suhu, Kelembaban, Tekanan Udara dan Kecepatan Angin di Lokasi

Studi Tahun 2006-2007. ... 6. Sebaran Kemiringan Lereng di Wilayah Gunung Kidul... 7. Sebaran Jenis Tanah di Wilayah Gunung Kidul... 8. Sebaran Formasi Geologi di Wilayah Gunung Kidul ... 9. Data Rata-Rata Suhu, Kelembaban, Tekanan Udara dan Kecepatan Angin di

Stasiun Adisucipto Tahun 2006-2007... 10.Hasil Analisis Mineral Fraksi Pasir pada Tanah-tanah Dominan di Kabupaten

Flores Timur... 11.Ringkasan Sifat-sifat Morfologi dan Kimia Tanah di Kabupaten Flores Timur... 12.Hasil Analisis Mineral Fraksi Pasir pada Tanah-tanah Dominan di Kabupaten

Gunung Kidul ………... 13.Ringkasan Sifat-sifat Morfologi dan Kimia Tanah di Kabupaten Gunung Kidul... 14.Kadar C-Organik, N, C/N Rasio dan P Tanah pada Beberapa Titik Pengamatan di

Kabupaten Flores Timur dan Sikka, Nusa Tenggara Timur ... 15.Sebaran K, Ca, Mg dan Na pada Beberapa Titik Pengamatan di Kabupaten Flores

Tumur dan Sikka, Nusa Tenggara Timur... 16.Sebaran Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) di

Kabupaten Flores Timur dan Sikka, Nusa Tenggara Timur... 17.Nilai pH Tanah di Beberapa Titik Pengamatan di Kabupaten Flores Timur dan

Sikka, Nusa Tenggara Timur... 18.Kadar C-Organik, N, C/N Rasio dan P Tanah di Beberapa Titik Pengamatan di

Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri... 19.Sebaran K, Ca, Mg dan Na pada Beberapa Titik Pengamatan di Gunung Kidul dan

Wonogiri... 20.Sebaran Kapasitas Nilai Tukar Kation (KTK), dan Kejenuhan Basa (KB) di

(16)

Halaman 21.Nilai pH Tanah di Beberapa Titik Pengamatan di Kabupaten Gunung Kidul dan

Wonogiri... 22.Nilai Faktor Loading Dirotasi yang Diurutkan Berdasarkan Hasil Analisis Faktor

dengan Metode PCA dari Parameter Biofisik Lahan... 23.Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Elevasi Lahan untuk Tanaman

Jambu Mete... 24.Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Ketersediaan Air untuk Tanaman

Jambu Mete... 25. Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kondisi Daerah Perakaran untuk

Tanaman Jambu Mete... 26. Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Retensi Hara untuk Tanaman Jambu

Mete... 27. Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Ketersediaan Hara untuk Tanaman

Jambu Mete... 28.Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kondisi Terrain untuk Tanaman

Jambu Mete... 29.Kriteria Baru Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jambu Mete... 30.Hasil Uji Validitas Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Jambu Mete ... 31.Kriteria Klasifikasi Kesesuaian Lahan untuk tanaman jambu Mete

(Puslitbangtanak, 2003)... 32.Perbandingan Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan antara Kriteria yang baru

Dihasilkan dengan Kriteria Puslitbangtanak (2003)... 64 73 85 88 92 96 98 100 101 102

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Diagram Skematik Respon Tanaman terhadap Sejumlah Faktor Pembatas (Dikutip

dari Sumner dan Farina, 1986)... 2. Bagan Alir Metodologi dan Prosedur Penelitian... 3. Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Flores Timur... 4. Peta sebaran Formasi Geologi di Wilayah Kabupaten Flores Timur... 5. Sebaran Hujan di Lokasi Studi Flores Timur... 6. Peta Lokasi Penelitian di Wilayah Penelitian Gunung Kidul... 7. Peta Sebaran Formasi Geologi di Daerah Kabupaten Gunung Kidul……….. 8. Sebaran Curah Hujan Bulanan di Lokasi Studi Gunung Kidul ……… 9. Hasil Analisis X-Ray Diffraction pada Tanah-tanah Dominan di Kabupaten Flores Timur... 10.Hasil analisis X-Ray Diffraction pada Tanah-tanah Dominan di Kabupaten Gunung

Kidul... 11.Grafik Hubungan antara Diameter Batang dengan Umur Tanaman dan Faktor Jarak Tanam... 12.Grafik Hubungan antara Tinggi Tahun Tanaman dengan Umur dan Faktor Jarak

Tanam... 13.Hubungan Umur Tanaman Dengan Faktor Jarak Tanam dengan Produksi

Aktual... 14.Scree Plot dari Eigenvalue Faktor-faktor yang Dianalisis………...………… 15.Hubungan Produksi Gelondong Teraan dengan Elevasi Lahan………... 16.Hubungan Produksi Gelondong Teraan dengan Curah Hujan, Jumlah Bulan Kering dan Bulan Basah... 17.Hubungan Produksi Teraan dengan Kedalaman Tanah, Kadar Fraksi Pasir dan

(18)

Halaman 18.Hubungan antara Produksi Teraan Jambu Mete dengan Reaksi Tanah, Kadar

C-Organik , KTK dan Kejenuhan Basa Tanah... 19.Hubungan antara Produksi Jambu Mete dengan Ketersediaan Hara... 20.Hubungan antara Produksi Jambu Mete dengan Kondisi Terain...

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Karakteristik Lingkungan pada Titik-titik Pengamatan... 2. Parameter Pertumbuhan Jambu Mete... 3. Parameter Produktivitas Tanaman Jambu Mete... 4. Data-data Aktual dan Teraan dari Produksi, Diameter Batang dan Tinggi Tajuk

Tanaman... 5. Uraian Morfologi Tanah... 6. Hasil Analisis Laboratorium Tanah-tanah Dominan di Kabupaten Flores Timur dan

Gunung Kidul... 7. Hasil Analisis Mineral Fraksi Pasir pada Tanah-tanah Dominan di Kabupaten

Flores Timur dan Gunung Kidul... 8. Hasil Analisis Difraksi X-Ray pada Tanah-tanah Dominan di Kabupaten Flores

Timur dan Gunung Kidul... 9. Hasil Analisis PCA dari Data Karakteristik Lahan... 10.Hasil Analisis Faktor dengan Metode PCA……... 11.Hasil Analisis Regresi ……….…… .

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia, terutama ditinjau dari aspek penyediaan lapangan kerja. Potensi sumber daya lahan untuk pengembangan pertanian di Indonesia cukup besar. Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional (2001) luas daratan di Indonesia sekitar 188,2 juta ha dan 100,8 juta ha di antaranya berpotensi untuk pengembangan pertanian. Masalahnya adalah bagaimana memanfaatkan potensi sumberdaya lahan yang besar bagi pengembangan pertanian sehingga dapat menjawab tujuan pembangunan pertanian Indonesia, yaitu untuk meningkatkan ketahanan pangan, menyediakan lapangan kerja, mensejahterakan petani dan meningkatkan devisa.

Sektor perkebunan mempunyai peranan yang besar di bidang ekonomi, terutama berkontribusi dalam penyediaan lapangan kerja, ekspor dan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pengalaman selama krisis ekonomi juga menunjukkan bahwa sektor ini telah membuktikan ketangguhannya. Hal ini terlihat dari indikator pertumbuhan ekonomi yang bernilai positif (yaitu 3,1 %), dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang sempat mengalami pertumbuhan negatif.

Jambu mete merupakan salah satu komoditas perkebunan yang cukup prospektif, khususnya sebagai alternatif komoditas pada lahan-lahan kritis. Selain berperan menyerap tenaga kerja, pengembangan komoditas ini juga berkontribusi positif terhadap total ekspor komoditas pertanian. Kontribusi ekspor jambu mete terhadap total ekspor komoditas perkebunan meskipun relatif kecil, tetapi mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Selain itu pengembangan jambu mete juga telah menunjukkan peranan yang cukup penting dalam penyerapan tenaga kerja, terutama pada daerah-daerah kritis.

(21)

tepat sangat relevan dengan pemecahan beberapa masalah pembangunan di Indonesia sekaligus menjadikannya sebagai isu-isu relevan dalam pengembangan pertanian.

Di samping beberapa keunggulannya, pengembangan komoditas jambu mete di Indonesia mempunyai beberapa permasalahan. Salah satu permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan komoditas ini di Indonesia adalah tingkat produktifitas yang masih rendah. Rata-rata hasil produksi gelondong mete masih berkisar antara 200-370 kg/ha (Kurniati dan Hadad, 1996; Simanungkalit, 1997). Sedangkan rata-rata produksi di India berkisar antara 800-1.100 kg/ha, sedangkan di Vietnam sekitar 700 kg/ha (Rao, Chau dalam Daras, 2002). Kondisi fisik lahan yang kurang sesuai dengan pesyaratan tumbuh tanaman menjadi salah satu penyebab rendahnya produktifitas tersebut di samping masalah lemahnya budidaya dan varitas yang digunakan. Permasalahan kesesuaian lahan untuk pengembangan jambu mete merupakan hal yang ingin dijawab melalui penelitian ini.

Rumusan Permasalahan

(22)

Kriteria-kriteria kesesuaian lahan yang ada untuk berbagai komoditas pertanian umumnya masih berdasarkan perkiraan sifat lahan secara relatif dan belum dikaitkan dengan perkiraan produksi tanaman yang mendalam, termasuk jambu mete. Untuk memperoleh gambaran hasil yang diharapkan, maka kriteria kesesuaian fisik lahan yang digunakan seharusnya dibangun dengan pendekatan produktifitas lahan. Artinya pengkelasan dalam penilaian kesesuaian lahan tersebut dapat memberikan gambaran potensi produksi yang akan dicapai bila pengembangan dilakukan. Agar dapat digunakan secara luas, data yang digunakan harus diambil di berbagai tempat yang cukup luas dan representatif atau mewakili keragaman kondisi fisik wilayah di Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu kriteria kesesuaian fisik lahan untuk jambu mete yang sejalan dengan produksinya dan dapat digunakan secara luas, sehingga dapat diketahui faktor-faktor karakteristik lahan dan kualitas lahan yang menentukan produktifitas tanamannya.

Tujuan

1. Karakterisasi sifat-sifat biofisik lahan yang terkait dengan produktifitas dan pertumbuhan jambu mete.

2. Mengetahui karakteristik lahan yang paling berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan jambu mete.

3. Mengetahui model hubungan interaksi sifat fisik lahan dengan pertumbuhan dan produktifitas jambu mete.

4. Penyusunan kriteria kesesuaian fisik lahan untuk jambu mete yang dikaitkan dengan produktifitas lahannya

Manfaat

1. Diperolehnya model hubungan antara sifat-sifat biofisik lahan dengan beberapa parameter produksi dan pertumbuhan pada tanaman jambu mete. 2. Diperoleh kriteria kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan pendekatan

(23)

Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) tahapan kegiatan utama, yaitu: 1) Pengumpulan data, dan 2) Analisis data.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Sekilas Tentang Tanaman Jambu Mete

Jambu mete (Anacardium occidentale) merupakan jenis tanaman buah dari keluarga Anacardiaceae. Hasil utama dari tanaman ini adalah kacang mete. Tanaman ini berasal dari Brasil Tenggara dan dibawa ke India oleh pelaut Portugis sekitar 425 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke berbagai negara di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia. Di antara sekian banyak negara produsen, Brasil, Kenya, dan India merupakan negara pemasok utama jambu mete dunia. Indonesia tercatat sebagai negara produsen dan konsumen yang ketiga terbesar di dunia.

Di Indonesia jambu mete dikenal dengan berbagai nama. Di Sumatera Barat tanaman ini dikenal dengan sebutan jambu erang/jambu monyet, di Lampung dijuluki gayu, di daerah Jawa Barat dinamakan jambu mede, di Jawa Tengah dan Jawa Timur diberi nama jambu monyet, di Bali dinamakan jambu jipang atau

jambu dwipa, dan di Sulawesi Utara disebut sebagai buahyaki.

Jambu mete merupakan tanaman mempunyai banyak manfaat. Selain biji mete (kacang mete) sebagai hasil utama yang dapat dikonsumsi sebagai makanan bergizi tinggi, dari buah semunya dapat dibuat menjadi beberapa hasil olahan seperti sari buah mete, anggur mete, manisan kering, selai, atau buah kalengan. Selain itu bagian kulit kayu jambu mete mengandung cairan yang dapat digunakan untuk bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna. Bagian kulit batang mete berkhasiat sebagai obat kumur atau obat sariawan. Bagian batang pohon mete menghasilkan gum atau blendok untuk bahan perekat. Akar jambu mete dikenal berkhasiat sebagai pencuci perut. Daun yang masih muda dapat dikonsumsi sebagai lalap, sedangkan daun tuanya sebagai obat luka bakar (Abdullah dan Las, 1985).

(25)

anggur, dan selai, dan (iv) kulit ari biji mete berguna sebagai bahan pakan ternak. Selama ini produk utama yang dihasilkan dari tanaman jambu mete berupa kacang mete. Namun apabila produk lainnya mampu dikelola dapat memberikan nilai tambah pendapatan, sumber lapangan pekerjaan dan devisa negara.

Dalam sejarah pengembangan tanaman jambu mete di Indonesia, pada awalnya penanaman komoditas ini lebih ditujukan untuk program penghijauan (reboisasi) lahan-lahan kritis. Pergeseran pengembangan jambu mete dari semata-mata sebagai tanaman konservasi menjadi komoditas yang bernilai ekonomi muncul pada Pelita II (1974-1979) seiring dengan harga gelondong mete yang semakin membaik di pasar domestik maupun pasar internasional.

Jambu mete telah meyebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Namun produktifitasnya sangat beragam. Hal ini terkait dengan kondisi fisik wilayah yang beragam, di samping teknik budidaya yang diterapkan masih belum seragam. Beberapa sentra penanaman jambu mete terdapat di Jawa Tengah (Jepara, Wonogiri), Jawa Timur (Bangkalan, Sampang, Sumenep, Pasuruan, dan Ponorogo), dan Yogyakarta (Gunung Kidul, Bantul, dan Sleman). Di luar Pulau Jawa jambu mete banyak ditanam di Bali (Karangasem), Sulawesi Selatan (Kepulauan Pangkajene, Sidenreng, Soppeng, Wajo, Maros, Sinjai, Bone, dan Barru), Sulawesi Tenggara (Muna), NTB (Sumbawa Besar, Dompu, dan Bima) dan NTT (Sikka dan Flores Timur).

Jambu mete mempunyai puluhan varitas, di antaranya ada yang berkulit putih, merah, merah muda, kuning, hijau kekuningan dan hijau. Beberapa pustaka telah menyajikan indikasi pewilayahan yang cocok untuk pengembangan komoditas jambu mete. Meskipun demikian, sebagian besar dari indikasi kecocokan tersebut disajikan dalam bentuk deskriptif, sehingga terkadang menyulitkan untuk melakukan evaluasi secara obyektif untuk wilayah yang luas (Prihatman, 2000).

(26)

lempung berpasir, liat berdebu, pasir berlempung, debu, lempung liat berdebu sampai lempung berdebu. Reaksi tanah (pH) berkisar antara 4,5 - 8,5, dengan pH optimum antara 5,5 – 7,0 (Djaenudin et al., 2000).

Sebagai komoditas perdagangan, kontribusi jambu mete terhadap total ekspor komoditas perkebunan mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari nilai ekspor yang terus bergerak naik, dari 29.666 ton dengan nilai US$ 19.152.000 pada tahun 1997 menjadi 59.372 ton dengan nilai US$ 58.187.000 pada tahun 2004 (Ditjen Perkebunan, 2006). Pada tahun 1997 sampai 2007, peningkatan volume ekspor rata-rata sebesar 19,20% per tahun (Ditjenbun, 2009).

Pengembangan jambu mete juga telah menunjukkan peranan yang cukup penting dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 1998 dalam pengembangan jambu mete (on farm) telah terserap 216 ribu tenaga kerja, dan pada tahun 2002 penyerapan tenaga kerja itu telah meningkat menjadi 220 ribu tenaga kerja.

Pengusahaan jambu mete sebagian besar berupa perkebunan rakyat. Dari total areal seluas 570.409 ha pada tahun 2007, seluas 570.156 ha lahan di antaranya atau hampir seluruhnya (99,96%) merupakan areal rakyat dengan produksi sebesar 146.025 ton (99,86%). Sementara itu, areal perkebunan swasta hanya seluas 123 ha (0,04%) dengan produksi sebesar 217 ton (0,14%).

(27)

Rendahnya perhatian terhadap perawatan tanaman, termasuk jarangnya dilakukan pemupukan, diduga erat kaitannya dengan adanya persepsi yang berkembang bahwa tanaman mete dapat diusahakan pada sembarang tempat, dan tidak menuntut perawatan tanaman yang intensif. Akibatnya, banyak tanaman mete yang ditanam pada lahan-lahan sangat kurus (marjinal) yang secara teknis tidak dianjurkan. Kondisi lahan di beberapa lokasi pengembangan yang tidak mendukung (kurang sesuai) dan minimnya tingkat perawatan tanaman yang diberikan diperkirakan menjadi sebagian faktor penyebabnya.

Sampai sejauh ini, informasi atau hasil-hasil penelitian pemupukan pada tanaman mete, khususnya di Indonesia, masih sangat sedikit. Hal ini mungkin juga sebagai akibat, atau setidaknya cerminan dari persepsi umum terhadap tanaman mete. Dari referensi yang terbatas, perlakuan pemupukan pada tanaman mete memberikan hasil yang beragam.

Evaluasi Lahan

Dalam mendukung pengembangan tanaman jambu mete di Indonesia, aspek lahan dan iklim sangat penting untuk dipertimbangkan. Sebagaimana komoditas pertanian pada umumnya, jambu mete merupakan tanaman yang memerlukan persyaratan tertentu untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Karena itu evaluasi lahan sangat perlu dilakukan sebelum diambil keputusan mengembangkan jambu mete dalam suatu wilayah. Salah satunya adalah dengan melakukan penilaian kesesuaian lahan.

(28)

dengan kemampuannya selain dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan dan lingkungannya, juga dapat menimbulkan masalah kemiskinan dan masalah-masalah sosial dan ekonomi lainnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Berbagai metode evaluasi lahan telah banyak dikembangkan di Indonesia. Soil Conservation Service, USDA memperkenalkan sistem kemampuan lahan (Klingebiel dan Montmogomerry, 1961). Dalam sistem ini lahan dikelompokkan ke dalam delapan kelas (I sampai VIII) berdasarkan daya dukungnya untuk memproduksi tanaman-tanaman pertanian, kehutanan dan rumput makanan ternak tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Selanjutnya FAO (1976) dan Framework of Land Evaluation memperkenalkan sistem klasifikasi kesesuaian lahan (land suitiability classification) untuk jenis penggunaan lahan yang spesifik. Dalam sistem ini, klasifikasi kesesuaian lahan dibagi ke dalam ordo sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Ordo S dibagi lagi menjadi sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marjinal (S3). Kedua sistem di atas banyak dianut dan dikembangkan di Indonesia, khususnya di sektor pertanian dan kehutanan.

Di dalam kegiatan evaluasi lahan, sering dijumpai perbedaan dalam hasil penilaian kesesuaian lahan tersebut. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (1) perbedaan terhadap faktor-faktor yang dinilai yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, (2) perbedaan pengharkatan dalam penilaian karakteristik lahan, (3) perbedaan dalam sistem yang digunakan dan (4) perbedaan dalam metode pengambilan keputusan, antara lain dengan metode penghambat maksimum atau parametrik (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Di samping itu juga kriteria kesesuaian lahan yang ada masih bersifat umum dan disusun berdasar pengalaman empiris yang belum dikaji berdasarkan data-data penelitian atau dikorelasikan dengan dengan produksi tanamannya.

(29)

Sebuah kriteria yang disusun akan bermanfaat besar jika dapat diterapkan di daerah lain yang belum ada pengembangan komoditas yang sama melalui pedotransfer. Untuk itu sebaiknya merupakan kriteria yang berlaku umum dan disusun berdasarkan sebaran data yang cukup banyak. Untuk itu, penelitian berlakunya kriteria di suatu lokasi, harus dilanjutkan dengan validasi untuk melakukan generalisasi penggunaan kriteria. Setelah sebuah kriteria kesesuaian lahan sudah diyakini validitasnya, maka kriteria tersebut dapat diterapkan penggunaannya di tempat lain.

Dari beberapa referensi yang biasa digunakan untuk evaluasi lahan di Indonesia, kriteria untuk kesesuaian lahan untuk pertumbuhan jambu mete belum terlalu umum. Beberapa peneliti atau institusi telah mempublikasikan kriteria kesesuaian lahan untuk komoditas ini, antara lain adalah Rosman dan Lubis (1996), dan Djaenudin et al. (2000, 2003) yang menerbitkan buku Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Namun demikian, sebagaimana kriteria untuk komoditas-komoditas lainnya, kriteria tersebut barulah disusun berdasarkan pengamatan visual dan pengalaman empiris, dan belum berdasarkan data penelitian yang mendalam dan ditujukan untuk penyusunan kriteria.

Kualitas dan Karakteristik Lahan

Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan tujuan evaluasi dan persyaratan penggunaan lahan dari suatu tipe penggunaan lahan tertentu yang dihubungkan dengan kualitas lahan. Kualitas lahan adalah sifat lahan yang berpengaruh langsung terhadap penggunaan lahan di suatu wilayah. Kualitas ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karaktersitik lahan (FAO, 1976).

(30)

Demikian pula setiap jenis penggunaan lahan tertentu akan dipengaruhi oleh berbagai kualitas lahan.

Karakteristik lahan didefinisikan sebagai sifat tanah yang dapat diukur di lapangan. Kriteria kesesuaian lahan digunakan untuk menilai atau memprediksi potensi atau kelas kesesuaian lahan dari wilayah yang bersangkutan. Persyaratan penggunaan lahan dalam pengertian kualitas lahan meliputi persyaratan tumbuh tanaman, persyaratan pengelolaan dan konservasi lahan. Setiap tipe penggunaan lahan memerlukan persyaratan penggunaan lahan yang berbeda untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal.

(31)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 1 (satu) tahun, dimulai pada bulan September 2008. Pengambilan data dilakukan di beberapa lokasi pada wilayah-wilayah yang memiliki keragaman kondisi fisik dan lingkungan yang berbeda. Lokasi-lokasi ini mewakili beberapa wilayah agroekologi yang berbeda, yaitu daerah Jawa Barat (mewakili daerah iklim basah dan relatif subur), Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (berbahan volkan beriklim kering), dan DI Yogyakarta (mewakili daerah beriklim kering dengan bahan induk batukapur).

Data-data yang berasal dari Kabupaten Flores Timur (Nusa Tenggara Timur) dan Kabupaten Gunung Kidul (DI Yogyakarta) adalah data primer, sedangkan data yang berasal dari Propinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat merupakan data sekunder yang diambil pada saat penelitian terdahulu (Krisnohadi, 2008) dan diolah kembali dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan yang baru.

Bahan dan Peralatan

Bahan-bahan pendukung penelitian terdiri atas data pustaka, peta tanah, peta geologi, peta Rupa Bumi Indonesia dan data-data hasil penelitian terdahulu. Peralatan penelitian yang diperlukan untuk pengambilan data di lapangan adalah: bor tanah tipe Belgia, Buku Munsell Soil Color Chart untuk menetapkan warna tanah, altimeter, alat GPS (Global Positioning System ), pH-meter, meteran, serta beberapa alat kelengkapan lainnya. Seluruh data hasil pengamatan lapang tersebut, baik data parameter biofisik lahan maupun parameter pertumbuhan dan produksi tanaman dicatat dalam formulir pengamatan lapang.

(32)

Prosedur Penelitian dan Parameter Pengamatan

Pendekatan

Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan pendekatan survey. Analisis statistik yang digunakan untuk melihat faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktifitas tanaman adalah analisis multivariat, yaitu analisis faktor dengan menggunakan PCA (principal component analysis).

Penentuan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman jambu mete melalui pendekatan boundary line. Persamaan boundary line dibangun berdasarkan analisis regresi sederhana (simple regression) dengan menggunakan data titik-titik terluar dari sebaran data-data yang diperoleh melalui survey.

Dalam membangun kriteria kesesuaian biofisik lahan untuk tanaman jambu mete dengan mempertimbangkan potensi produksinya, metodologi penelitian ini dilakukan dengan mengadopsi metoda DRIS (Diagnostic Recommended Integrated System) (Walworth et al., 1986), yang disesuaikan untuk keperluan pengembangan kriteria kesesuaian lahan, untuk mencari karakteristik lahan mana yang menjadi pembatas dan paling menentukan produktifitas tanaman,

(33)

Gambar 1. Diagram Skematik Respon Tanaman terhadap Sejumlah Faktor Pembatas (Dikutip dari Sumner dan Farina, 1986).

Pengumpulan data

Berdasarkan sumbernya, jenis data yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh melalui observasi lapangan dan analisis laboratorium, dan data sekunder yang dikumpulkan hasil-hasil penelitian terdahulu maupun berupa bahan-bahan pendukung pnelitian. Jenis data primer dikumpulkan dari lapangan melalui pendekatan survey lapangan dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan D. I. Yogyakarta.

Jenis data yang dikumpulkan di lapangan berupa data parameter biofisik lahan, dan parameter pertumbuhan dan produktifitas jambu mete. Data diambil pada contoh tanah/lahan dan tanaman yang mempunyai karakteristik dan tingkatan produksi beragam, dari tingkat produksi yang paling tinggi sampai paling rendah. Sebagian data digunakan untuk penyusunan kriteria kesesuaian biofisik lahan sedangkan sebagian lainnya untuk validasi.

Sedangkan jenis-jenis data sekunder yang dikumpulkan meliputi data parameter biofisik lahan, pertumbuhan dan produksi tanaman hasil penelitian terdahulu yang sama jenisnya dengan data-data primer. Data-data sekunder tersebut berasal dari Provinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Di samping

n = No. of limiting factors n - 1

n = No. of limiting factors n - 1 n = No. of limiting factors

(34)

itu juga digunakan data sekunder berupa bahan-bahan pendukung penelitian seperti data sosial ekonomi, peta geologi, peta rupa bumi, peta tanah dan peta penggunaan lahan.

Secara lebih terperinci, jenis data yang dikumpulkan dalam kegiatan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

Parameter Sifat Biofisik lahan

Dalam penelitian ini, sifat-sifat biofisik lahan dan lingkungan dari tempat tumbuh jambu mete diekstrak, baik dari data sekunder maupun hasil survai lapangan. Data-data ini berasal dari daerah yang mempunyai kondisi agroekologi yang berbeda-beda. Parameter-parameter sifat biofisik lahan yang dikumpulkan terdiri dari beberapa karakteristik lahan yang mewakili kualitas lahan tertentu, yaitu:

1. Temperatur tanah: elevasi lahan.

2. Ketersediaan air: curah hujan tahunan, jumlah bulan kering per tahun. 3. Media perakaran: tekstur, kedalaman tanah.

4. Retensi hara: kapasitas tukar kation (KTK) tanah, kejenuhan basa, pH tanah, kadar C-organik

5. Hara tersedia: N-total, kadar P-tersedia, kadar K-dapat tukar. 6. Kondisi terrain: kadar batuan di permukaan, dan lereng.

(35)

Tabel 1. Analisis Laboratorium Sifat Fisik dan Kimia Tanah

No. Sifat Tanah Metoda

1. Tekstur tanah Pipet

2. Kapasitas tukar kation NH4OAc

3. pH tanah pH (H2O)

4. Kadar C-organik Walkley & Black

5. Total N Kjeldahl

6. Kadar P2O5 Bray/Olsen

7. K-dapat tukar NH4OAc

Data-data iklim yang terkait dengan lokasi pengamatan diperoleh dari data sekunder, diambil dari stasiun pengamat iklim yang terdekat dengan lokasi-lokasi penelitian.

Pengamatan Profil Tanah

Karakterisasi lahan dilakukan dengan pengamatan terhadap tubuh tanah (profil tanah) berdasarkan horison-horison dan faktor fisik lingkungannya, disertai dengan pengambilan contoh tanah. Pengamatan tubuh tanah dilakukan terhadap tanah-tanah yang berkembang dari bahan batukapur dan batuan volkan. Sifat-sifat morfologi lahan yang diamati meliputi kedalaman tanah, drainase, keadaan batuan di dalam penampang, serta sifat-sifat horison tanah yang meliputi: tebal dan batas horison, warna, tekstur, struktur, konsistensi, keadaan perakaran dan pH tanah. Deskripsi profil tanah mengacu kepada Guideline for Soil Profile Description

(FAO, 1978), Soil Survey Manual (Soil Survey Staff, 1993) dan Penuntun Pengamatan Tanah di Lapang (LPT, 1969). Contoh tanah setiap horison diambil untuk keperluan analisis sifat kimia dan mineralogi tanah fraksi pasir dan liat.

(36)

diperlukan untuk penetapan bahan induk, komposisi dan cadangan mineral. Analisis mineral liat menggunakan alat difraksi sinar–X untuk penetapan jenis dan jumlah mineral liat di dalam tanah (Grim, 1968). Pengklasifikasian tanah dilakukan dengan menggunakan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah tahun 2006. Parameter Produktifitas dan Pertumbuhan Jambu Mete

Pengambilan contoh parameter produktifitas dan pertumbuhan jambu mete mengikuti pengamatan parameter sifat biofisik lahan. Parameter-parameter yang diekstrak meliputi :

1. Diameter batang setinggi dada 2. Tinggi tajuk tanaman

3. Jumlah produksi buah gelondong per pohon

Dari parameter-parameter tersebut, 2 parameter pertama merupakan parameter pertumbuhan tanaman, sedangkan parameter terakhir merupakan parameter produktifitas.

Pendugaan Produksi Jambu Mete

Salah satu masalah yang perlu mendapatkan perhatian dalam penelitian terhadap jenis tanaman pepohonan adalah pengukuran produksi. Terkait dengan karakteristik produksi buah jambu mete yang unik, masalah pengukuran/pendugaan produksi di lapangan menjadi masalah tersendiri dalam penelitian ini.

Jambu mete memiliki masa produksi yang cukup lama, yaitu sekitar 3 bulan. Puncak produksi tidak sama untuk masing-masing contoh tanaman yang diambil, baik antar tanaman dalam suatu wilayah dan terlebih lagi antar tanaman di wilayah pengambilan contoh yang berbeda. Di sisi lain petani memanen mete dengan cara membiarkan buahnya jatuh dan kemudian memungutnya setiap hari. Berat gelondong mete juga tidak seragam untuk setiap pohonnya, sehingga harus dilakukan penimbangan untuk setiap buah dari masing-masing pohon.

(37)

dilakukan secara cepat dengan menghasilkan data produksi yang cukup akurat akurat. Metoda pengukuran secara cepat yang dikembangkan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pada setiap lokasi dan titik pengambilan contoh, dilakukan pemilihan pohon yang sedang berbunga dan sebagian sudah berbuah. Setelah dipilih pohon yang akan diukur, hitung beberapa parameter sebagaimana di bawah ini:

(a) Jumlah rataan tandan tandan bunga per cabang, misalkan rataan jumlah tandan bunga adalah: f.

(b) Proporsi tandan bunga yang berhasil menjadi buah, dicatat sebagai: s.

(c) Diambil 10 tandan buah dan dihitung rataan buah pada setiap tandannya, misalkan: b.

(d) Diambil minimal 10 buah gelondong dan ditimbang, misalkan: g gram. Dengan pendekatan tersebut, dugaan produksi setiap pohonnya adalah sebagai berikut:

Produksi gelondong kering (kg pohon-1) = 0.01 x (c x f x s x b x g)

Dalam metode tersebut, belum diperhitungkan besar kemungkinan jumlah bunga yang gugur dan tingkat kegagalan berbuah.

Analisis Data

Data-data yang terkumpul dianalisis untuk pemodelan interaksi antara sifat biofisik lahan dan lingkungan dengan parameter sifat pertumbuhan dan produktifitas jambu mete, serta untuk pembangunan model kriteria kesesuaian biofisik lahan untuk budidaya jambu mete. Agar data parameter pertumbuhan dan produktifitas jambu mete setiap tanaman dapat diperbandingkan satu sama lain, maka data-data tersebut terlebih dahulu ditera berdasarkan umur dan jarak tanamnya.

Peneraan Umur dan Jarak Tanam

(38)

mempunyai usia optimum untuk berproduksi secara maksimal. Produktifitas jambu mete meningkat dengan semakin bertambahnya umur tanaman sampai usia optimum tertentu, selanjutnya produksi menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Produktifitas tanaman juga dipengaruhi oleh cara budidayanya, di antaranya adalah jarak tanam yang diterapkan oleh petani. Selain terhadap produkfitasnya, kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap parameter sifat vegetatif tanaman. Oleh karena itu, data produksi maupun parameter pertumbuhan tanaman lainnya perlu ditera sehingga data yang diperoleh benar-benar merupakan refleksi dari sifat-sifat biofisik lahan dan lingkungannya. Dengan demikian data yang diperoleh dari setiap tanaman dapat diperbandingkan satu sama lainnya. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang dijadikan sebagai bahan untuk menera produksi tanaman maupun parameter-parameter pertumbuhan tanaman adalah umur tanaman (t) dan jarak tanam (s). Metode peneraan produksi tanaman yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

Ŷ = f(t,s)

dimana:

Ŷ = produksi dugaan berdasarkan umur dan jarak tanam, t = umur (tahun)

s = jarak tanam

Y teraan = Ῡ + (Yi –Ŷ), di mana:

Y teraan = produksi teraan

Ῡ = rataan umum Yi = produksi aktual

Ŷ = produksi dugaan berdasarkan umur dan jarak tanam

Pemodelan interaksi sifat biofisik lahan dan lingkungan dengan parameter sifat pertumbuhan dan produktifitas jambu mete.

(39)

analisis faktor dan analisis regresi berganda untuk mencari faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.

Pembangunan kriteria kesesuaian fisik lahan untuk budidaya jambu mete

Kelas Kesesuaian Lahan

Kriteria Kelas kesesuaian lahan ditetapkan dengan mengacu pada kelas kesesuaian lahan dari FAO, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marjinal) dan N (tidak sesuai). Definisi kelas-kelas tersebut secara kualitatif adalah sebagai berikut:

1. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar dalam pengelolaannya, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.

2. Kelas S2: cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

3. Kelas S3: sesuai marjinal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan dan akan mengurangi produksi dan keuntungan, atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan

4. Kelas N: tidak sesuai (not suitable). Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

(40)

Pendugaan Selang Kesesuaian

Penarikan batas dilakukan berdasarkan dengan Boundary Line Method

yang dasar pemikirannya telah disajikan pada paragraf terdahulu.

a. Diagram selular hubungan antara produksi dan karakteristik lahan dibungkus oleh garis batas (boundary line) yang membatasi data aktual yang ditemukan di lapang. Dengan demikian, sangat kecil peluang akan ditemukannya data di luar garis tersebut.

b. Garis tersebut berupa satu atau dua garis persamaan regresi sederhana (simple regression) yang dibangun dari titik-titik terluar dari sebaran data hubungan antara karakteristik lahan dan produksi tanaman.

c. Garis batas ini berkaitan dengan peningkatan atau penurunan produksi, sesuai dengan karakter lahan yang sedang dinilai.

d. Sebagai batasan untuk selang kriteria, digunakan asumsi produktifitas sebagai fungsi dari karakteristik fisik lahan. Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari FAO (1986). Dalam batasan dari kriteria FAO tersebut, tingkat produksi pada lahan pada kelas S1 adalah 80% sampai 100% dari produksi maksimum. Lahan dengan tingkat produksi 60% sampai 80% mempunyai tingkat kesesuaian lahan S2. Lahan dengan kelas kesesuaian S3, mempunyai tingkat produksi 40% - 60%. Sedangkan pada tingkat produksi di bawah angka 40% dari produksi maksimum, lahan dianggap N atau tidak sesuai. Dalam penelitian ini, tingkat produksi untuk kelas kelas S1 dan S2 sama dengan kriteria FAO. Sedangkan tingkat produksi kelas S3 adalah antara 60% dan nilai produksi pada nilai ambang batas ekonomis pengusahaan (break even point – BEP), yang dihitung dengan menggunakan data rata-rata selama 25 tahun, dan tingkat produksi untuk kelas N ada di bawah nilai BEP. Nilai BEP yang ditetapkan pada penelitian ini mengacu pada hasil penelitian Krisnohadi (2008), yaitu 23,6% dari nilai maksimum.

BEP dihitung dengan rumus:

BEP = Modal rata-rata per pohon (Rp)/harga gelondong per kg (Rp)

(41)

Gambar 2. Bagan Alir Metodologi dan Prosedur Penelitian Analisis PCA 

Sifat biofisik yang paling  berpengaruh  Validasi

kriteria kesesuaian  sifat fisik  lahan untuk 

jambu mete

Studi Pendahuluan (Data Sekunder)

Survei Lapangan

Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur  (Fisik lahan, pertumbuhan dan produksi)

Analisis Laboratorium 

Data primer  

Pemodelan korelasi sifat fisik  lahan– produktifitas dan 

pertumbuhan 

Data Sekunder  ‐  Jawa Barat 

‐  Nusa Tenggara Barat 

Integrasi data 

Penyusunan kriteria  kesesuaian sifat fisik  lahan 

untuk jambu mete 

kriteria kesesuaian  sifat fisik  lahan untuk 

jambu mete

pangkalan data 

Model korelasi  sifat  biofisik lahan– produktifitas  dan 

(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, data yang digunakan berupa data primer berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan analisis laboratorium, serta data sekunder yang dikumpulkan berdasarkan hasil penelitian terdahulu. Data-data tersebut berasal dari empat provinsi, yaitu provinsi Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan D.I. Yogyakarta. Jenis data yang dikumpulkan adalah parameter-parameter biofisik lahan dan tanaman, serta data profil tanah. Data-data parameter-parameter sifat biofisik tanah dan tanaman digunakan sebagai bahan untuk melihat karakteristik lahan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman jambu mete, dan untuk menyusun kriteria kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman jambu mete. Sedangkan data yang berasal dari profil tanah digunakan sebagai bahan untuk mempelajari sifat-sifat tanah yang dominan di lokasi penelitian. Jenis data profil tanah ini merupakan data primer yang diambil dari di Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I. Yogyakarta.

Perincian jumlah dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah dan Jenis Data dari Berbagai Daerah yang Digunakan dalam Penelitian.

Keterangan: * data primer ** data sekunder

No Provinsi Parameter sifat biofisik lahan dan tanaman

Profil Tanah

1 Jawa Barat 18** -

2 Nusa Tenggara Barat 26** -

3 Nusa Tenggara Timur 40* 3*

4 D. I. Yogyakarta 28* 2*

(43)

Gambaran Umum Daerah Survey

Data-data yang dianalisis dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Pengambilan data-data primer dilakukan melalui survey lapangan pada tahun 2008. Data-data tersebut diambil di dua lokasi yang mempunyai kondisi fisik wilayah berbeda, yaitu: (i) Kabupaten Flores Timur dan Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan (ii) Kabupaten Gunung Kidul Provinsi D.I. Yogyakarta sampai ke perbatasan kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Sedangkan data sekunder berasal dari hasil penelitian tahun 2007 yang diambil dari daerah Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat.

Gambaran umum kondisi fisik lahan dari daerah survey, yaitu kabupaten Flores Timur, provinsi Nusa Tenggara Timur, dan kabupaten Gunung Kidul, provinsi D.I. Yogyakarta diuraikan sebagai berikut:

Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur Geografis dan Administrasi

Kabupaten Flores Timur terletak di bagian timur Pulau Flores dengan cakupan wilayah seluas 1,752.83 km2. Secara geografis, letak kabupaten ini berada di antara 122037’30” - 123022’30” BT dan 8003’15” - 8037’30” LS. Ibukota kabupaten Flores Timur terletak di Larantuka. Secara administratif kabupaten ini termasuk dalam wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur dan terdiri dari 18 kecamatan. Peta Lokasi Penelitian di kabupaten Flores Timur disajikan pada Gambar 3. Batas-batas administratif kabupaten Flores Timur adalah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Laut Flores - Sebelah Selatan : Laut Sawu

(44)

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Flores Timur Topografi

(45)

luas kabupaten Flores Timur. Sebaran lahan di wilayah kabupaten Flores Timur berdasarkan kemiringan lereng disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran Kelas Kemiringan Lereng di Kabupaten Flores Timur

No. Lereng (%) Luas

Ha %

1 0 – 3 9.982,14 5,78

2 3 – 8 24.131,66 13,96

3 8 – 15 34.915,41 20,20

4 15 – 25 42.032,96 24,32

5 25 – 40 40.068,61 23,18

6 >40 21.701,24 12,56

Total 172.832,02 100,00

Sumber: Puslittanak (1997)

Geologi. Kondisi geologi kabupaten Flores Timur dapat dideskripsi berdasarkan Peta Geologi skala 1:250.000 yaitu pada Lembar Ende (2004). Sebaran formasi-formasi geologi di daerah ini disajikan pada Gambar 4, sedangkan luasannya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Sebaran Luasan Formasi Geologi di Kabupaten Flores Timur

No

Formasi Geologi Luas (Ha) Simbol Formasi

1 Qac Aluvium dan Endapan Pantai 1785, 84 2 Qhvb Hasil Gunungapi Muda : Burak 6256, 64 3 Qhvl Hasil Gunungapi Muda : Lomotobi Perempuan 9972, 79 4 Qhvw Hasil Gunungapi Muda : Watuomi 1932, 98

5 Ql Batugamping Koral 12862, 86

6 QTv Hasil Gunungapi Tua 155, 53

7 QTva Hasil Gunungapi Tua : Waikerawak 27675, 72 8 QTvl Hasil Gunungapi Tua : Berapan 8349, 10 9 QTvn Hasil Gunungapi Tua : Nubi 17743, 05 10 QTvw Hasil Gunungapi Tua : Wukah 28089, 43

11 Tmn Formasi Nangapanda 152, 40

12 Tmpw Formasi Waihekang 230, 42

(46)

permukaan terdiri dari aluvium dan endapan pantai, batugamping koral dan undak pantai.

(47)

Aluvium dan endapan pantai (Qac). Formasi aluvium dan endapan pantai terbentuk pada kala Holosen (Zaman Kwarter), mengandung kerakal dan kerikil dari andesit, basal dan granit, serta pasir, lumpur dan lanau. Formasi ini umumnya membentuk topografi yang datar sampai melandai, tersebar di sebelah selatan wilayah kabupaten Flores, yaitu di Teluk Tongu dan Pulau Solor.

Batugamping terumbu (Ql). Formasi batugamping terumbu terbentuk pada kala Holosen (Zaman Kwarter), mengandung sedikit ganggang, bewarna putih kekuningan, pejal, tidak berlapis. Formasi ini umumnya berupa perbukitan angkatan dengan bentuk memanjang dengan puncak-puncak hampir datar dan penyebarannya di dekat pantai bagian barat.

Hasil Gunung Api Muda (Qhv). Formasi gunungapi muda terbentuk pada kala Holosen (Zaman Kwarter) dan merupakan batuan gunungapi yang tersusun atas lava, breksi dan aglomerat, bersusunan andesit dan basal, bersisipan tufa dan pasir gunungapi. Penyebaran formasi ini dijumpai pada volkan muda yang masih aktif di bagian selatan dan tengah dari wilayah kabupaten Flores Timur, yaitu Gunung Lewotobi dan Gunung Lewoloro.

Hasil Gunung Api Tua (Qtv). Formasi gunung api tua merupakan formasi yang paling luas sebarannya di kabupaten Flores Timur. Formasi ini terbentuk pada kala Pleistosen (Zaman Kwarter) dan merupakan gunungapi yang tersusun atas lava, breksi, aglomerat, tufa pasiran perselingan dengan tufa batuapung. Lava bewarna kelabu muda sampai tua, bersusunan andesit piroksen. Breksi dan aglomerat berkomponen andesit piroksen dan andesit hornblenda, perekat breksi tufa pasiran yang mudah lepas. Tufa pasiran berbutir halus sampai kasar, umumnya besusunan andesit. Secara keseluruhan formasi ini merupakan hasil kegiatan gunungapi Pilo-Pleistosen, antara lain Ili Nubi, Ili Berapan, Wai Kerawak dan Wukah.

(48)

Tanah

Berdasarkan Laporan Survai dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Pulau Flores (Puslittanak, 1997), lebih dari separuh wilayah kabupaten Flores Timur tergolong dalam Ordo Mollisol. Beberapa ordo tanah lainnya yang dijumpai di kabupaten ini adalah Inceptisol, Entisol, Alfisol dan Andisol. Deskripsi ordo-ordo tanah tersebut diuraikan secara singkat di bawah ini.

MOLLISOL. Mollisol adalah ordo tanah yang mempunyai penyebaran paling luas di kabupaten Flores Timur. Tanah ini menyebar dari bagian barat sampai ke timur dan menempati lahan dengan relief datar (lereng 0-1%) sampai bergunung (lereng >40%). Tanah Mollisol merupakan tanah yang mempunyai perkembangan profil yang dicirikan oleh epipedon molik dan mempunyai horison penciri kambik atau argilik. Epipedon molik umumnya tebal dan dapat mencapai

≥60 cm (sifat Pachic), kecuali pada daerah tererosi atau berbatu. Sifat-sifat morfologi tanah ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan bahan induk dan relief/posisi. Pada daerah upland sifat morfologi tanahnya lebih banyak dipengaruhi oleh posisi/letak dan tingkat erosi. Rejim kelembaban tanah tergolong ustik, artinya pada tahun-tahun normalnya bagian penampang control tanah berada dalam keadaan kering selama 3 – 6 bulan secara kumulatif. Di daerah penelitian ini, pada beberapa tanah dijumpai horison argilik sehingga berdasarkan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah diklasifikasikan ke dalam grup Argiustoll. Sedangkan Mollisol lainnya yang tidak mempunyai ciri khusus diklasifikasikan ke dalam grup Haplustoll. Kedua grup tanah ini menyebar luas baik di daerah aluvio-koluvial, daerah volkan, maupun daerah karst, umumnya dijumpai berasosiasi dengan ordo-ordo tanah lainnya, baik dari Inceptisol, Alfisol, Entisol maupun Andisol.

(49)

Di daerah volkan tua, tanah ini umumnya berdrainase baik. Sifat-sfat lainnya seperti ketebalan epipedon molik, kedalaman tanah, tekstur, struktur dan konsistensi sangat bervariasi. Sebagian tanah ini yang berkembang dari lava banyak mengandung batuan atau fragmen batuan, berada di atas batuan kukuh dan bersolum dangkal. Sedangkan tanah yang berkembang dari bahan abu volkanik umumnya mempunyai epipedon molik cukup tebal dan dapat mencapai 50 cm.

Tanah yang berkembang dari residu batugamping umumnya bersolum sedang-dangkal, tekstur umumnya halus, struktur gumpal, konsistensi sangat teguh, dan reaksi tanah netral. Batugamping banyak muncul di permukaan.

INCEPTISOL. Inceptisol adalah ordo tanah yang dicirikan dengan terdapatnya tanda-tanda perkembangan struktur dan dicirikan dengan terbentuknya horison kambik. Penyebaran Inceptisol di kabupaten Flores Timur cukup luas dibandingkan dengan ordo-ordo tanah lainnya kecuali Mollisol. Tanah ini dijumpai terutama pada grup landform volkan, aluvio-koluvial, dan tektonik. Di daerah aluvio-koluvial, tanah berkembang dari endapan halus dan kasar, sedangkan di daerah perbukitan dan pegunungan, tanahnya berkembang dari bahan tuf intermedier, lava intermedier dan basis, serta intrusi granit-granodiorit.

Dalam tingkat grup, berdasarkan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah tahun 1992, sebagian besar tanah ini tergolong dalam Ustropept dan sebagian lainnya Tropaquept. Pada tahun 2006, nama grup Ustropept tidak digunakan lagi dan diganti menjadi Haplustepts, sedangkan Tropaquept berubah menjadi Endoaquept atau Epiaquepts. Haplustept adalah Inceptisol yang mempunyai rejim kelembaban ustik dan tidak mempunyai penciri khusus lainnya. Tanah ini umumnya terdapat pada daerah kering dengan relief datar maupun berlereng serta mempunyai solum dan tekstur yang bervariasi. Pada daerah berlereng curam, tanah umumnya dangkal dan berkerikil/berbatu, kecuali tanah yang berkembang dari bahan tuf/abu volkan mempunyai solum dalam. Sedangkan tekstur tanah bervariasi dari sedang sampai halus dan reaksi tanah masam sampai netral.

(50)

dihitung dari permukaan tanah mineral. Sedangkan Epiaquept mempuyai tipe penjenuhan episaturation, dimana di dalam kedalaman 200 cm dari permukaan tanah mineral terdapat satu atau lebih lapisan tanah jenuh air. Umumnya tanah ini terdapat pada dataran aluvio-koluvial dan mempunyai drainase agak terhambat sampai terhambat. Tekstur tanah umumnya agak halus sampai halus dan reaksi tanah tergolong agak masam sampai netral.

ENTISOL. Entisol merupakan tanah-tanah yang masih muda yang ditandai dengan belum terdapatnya perkembangan struktur tanahnya. Penampang profilnya umumnya mempunyai susunan horison AC atau AR dan bersolum tipis. Di wilayah kabupaten Flores Timur, penyebaran tanah ini sebagian besar dijumpai pada grup landform volkan, dan sebagian lainnya dijumpai pada daerah koluvial dan perbukitan tektonik. Pada grup volkan, tanah ini berkembang dari bahan tuf intermedier serta lava intermedier dan basis. Pada daerah koluvial tanah berkembang dari bahan endapan halus dan kasar, sedangkan pada perbukitan tektonik tanah berkembang dari bahan batugamping dan sedimen kasar masam.

Dalam tingkat grup, Entisol yang dijumpai tergolong dalam Usthorthent dan Ustipsamment. Rejim kelembaban tanahnya tergolong ustik. Usthorthent tidak mempunyai sifat penciri yang khusus, sedangkan Ustipsamment dicirikan dengan tekstur yang kasar (pasir berlempung atau lebih kasar). Tanah-tanah ini menyebar dari daerah datar sampai bergunung, dan berasosiasi dengan ordo-ordo tanah lainnya.

ALFISOL. Alfisol adalah tanah yang telah mengalami perkembangan profil lanjut yang dicirikan oleh terbentuknya horison argilik, selaput liat/organik jelas, berstruktur cukup kuat dan mempunyai nilai KB >35%. Tanah ini berkembang dari bahan volkan (abu/tuf dan Lava) dan batugamping. Penyebarannya di kabupaten Flores Timur ini tidak begitu luas, namun dijumpai pada daerah dengan lereng beragam, dari datar sampai bergunung.

(51)

struktur kuat (gumpal bersudut), konsistensi teguh, reaksi tanah agak masam sampai netral, C-organik sedang sampai rendah, KTK dan KB tinggi.

Tanah yang berkembang dari lava atau breksi umumnya bewarna agak gelap (coklat tua-coklat), dangkal sampai sedang, banyak mengandung fragmen batuan baik dalam penampangnya maupun di permukaan. Kelas drainase tergolong baik, tekstur agak halus sampai halus, konsistensi teguh, reaksi tanah agak masam sampai netral.

Tanah yang berkembang dari batugamping umumnya dangkal, mengandung fragmen batugamping, bewarna agak gelap di lapisan atas dan coklat kuat-coklat kemerahan di lapisan bawah, tekstur halus, konsistensi teguh, reaksi tanah netral sampai alkalis. Tanah ini diklasifikasikan ke dalam subgrup Haplustalf Litik.

ANDISOL. Andisol berkembang dari bahan induk abu/tuf volkan muda (kwarter) yang mempunyai sifat-sifat andik setebal ≥36 cm pada penampang 0 sampai 6 cm dari permukaan tanah. Di lapangan sifat andik diduga dengan pengukuran pH NaF, estimasi kandungan gelas volkan, tekstur dan sifat smeary. Tanah ini diklasifikasikan ke dalam grup Haplustand dengan penyebaran paling sempit dibanding tanah-tanah lainnya, yaitu pada daerah bergunung di lereng volkan bagian tengah dan atas di sekitar G. Lewotobi.

Haplustand di kabupaten Flores Timur berkembang dari tuf intermedier dan lava basis. Tanahnya mengandung pasir ≥30% dengan tekstur bervariasi dari berlempung sampai berpasir (pseudosand), kandungan Al +0,5 (ekstraksi asam oksalat) >0,4%, retensi fosfat >25% dan kandungan gelas volkan >5%. Tanah bersolum dalam, gembur, dan kadar basa tergolong tinggi.

Iklim

(52)
(53)

Tabel 5. Data Rata-Rata Suhu, Kelembaban, Tekanan Udara dan Kecepatan Angin di Lokasi Studi Tahun 2006-2007.

Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I. Yogyakarta

Geografis dan Administrasi. Kabupaten Gunung Kidul dengan cakupan wilayah seluas 1.470,39 km2, terletak di bagian tenggara provinsi D.I. Yogyakarta. Secara geografis, posisi kabupaten ini berada di antara 110003’15” - 110040’00” BT dan 07052’30” - 08034’30” LS. Ibukota kabupaten Gunung Kidul terletak di Wonosari. Secara administratif, kabupaten ini terdiri dari 14 kecamatan.

Batas-batas administratif kabupaten Gunung Kidul adalah sebagai berikut : ƒ Sebelah utara : Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah ƒ Sebelah timur : Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah

ƒ Sebelah selatan : Samudera Indonesia

ƒ Sebelah barat : Kabupaten Sleman dan Bantul, Provinsi D.I. Yogyakarta

No. Bulan Suhu (°C) Kelembaban

(%)

Tekanan Udara (mb)

Kecepatan Angin (knot)

1 Januari 27,9 83 1008,9 20

2 Februari 27,7 85 1009,9 14

3 Maret 27,2 87 1008,4 17

4 April 27,8 83 1010,3 25

5 Mei 27,9 78 1011,7 19

6 Juni 26,9 75 1011,3 22

7 Juli 25,8 72 1013,4 18

8 Agustus 26,3 68 1013,4 24

9 September 27,2 68 1012,8 21

10 Oktober 28,5 70 1012,2 18

11 November 29,8 71 1010,0 13

12 Desember 28,6 81 1008,7 20

(54)

 

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Gunung Kidul

Topografi

Secara topografis, wilayah kabupaten Gunung Kidul tersebar mulai daerah pinggiran pantai dengan ketinggian mulai dari 0 sampai ketinggian lebih dari 700 m dpl. Wilayah yang tinggi terletak di bagian utara dan timur yang berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah. Semakin ke selatan, ketinggian semakin menurun menuju arah pantai. Sementara itu, ketinggian juga semakin meningkat ke arah Gunung Merapi di bagian barat daya.

(55)

Tabel 6. Sebaran Kemiringan Lereng di Wilayah Gunung Kidul

No Lereng (%) Luas

Ha %

1 0-3 25.877,88 17,60

2 3-8 62.536,03 42,53

3 8-15 36.154,93 24,59

4 15-25 14.364,06 9,77

5 25-40 6.311,97 4,29

6 >40 1.794,71 1,22

Total 147.039,58 100,00

Berdasarkan kemiringan lerengnya, wilayah kabupaten Gunung Kidul dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelas. Lahan dengan kemiringan lereng 0–3%, meliputi areal 17,60% dari total luas wilayah kabupaten Gunung Kidul. Lahan berlereng 3–8%, meliputi areal 42,3% dari total luas wilayah. Lahan berlereng 8– 15%, meliputi areal 24,59% dari total luas wilayah. Lahan berlereng 15–25%, kurang lebih 9,77% dari total luas wilayah. Lahan berlereng 25–40%, kurang lebih 4,29% dari total luas wilayah. Sedangkan lahan berlereng >40% hanya sebagian kecil yaitu kurang dari 1,22% dari seluruh luas kabupaten Gunung Kidul.

Tanah

Berdasarkan Peta Tanah Provinsi D.I. Yogyakarta (1971) tanah-tanah di kabupaten Gunung Kidul dikelompokkan ke dalam beberapa macam, yaitu Litosol, Regosol Kelabu, Grumusol, Mediteran dan Latosol, atau sepadan dengan ordo-ordo tanah Entisol, Mollisol, Vertisol, Alfisol dan Inceptisol pada sistem klasifikasi Taksonomi Tanah tahun 2006.

(56)

Tabel 7. Sebaran Jenis Tanah di Wilayah Gunung Kidul

SPT Macam Tanah Bahan Induk Fisiografi Luas (Ha)

1 Litosol Campuran batuan endapan, tuf dan batuan volkan

Bukit Lipatan

23.630,21

2 Kompleks Litosol Campuran batukapur dan napal

Bukit Lipatan

79.170,02

3 Kompleks Regosol Kelabu dan Grumusol Kelabu Tua

Batukapur dan napal Bukit Lipatan

4.010,37

4 Grumusol Hitam Napal dan tuf volkan intermedier

Dataran 9.106,69

5 Kompleks Mediteran Coklat Kemerahan dan Litosol

Batukapur dan napal Bukit Angkatan

Total Luasan 147.039,58

Sumber: Peta Tanah Provinsi D.I. Yogyakarta (Soepraptohardjo et al., 1971)

Geologi

Berdasarkan Peta Geologi lembar Yogyakarta (1995) dan lembar Surakarta - Girotontro (1992), di wilayah kabupaten Gunung Kidul terdapat 12 formasi geologi (Gambar 7). Sebagian besar dari formasi-formasi tersebut berumur Tersier yang terbentuk pada masa Eosen, Oligosen-Miosen sampai Pliosen. Sebagian lainnya berumur Kwarter yang terbentuk pada masa Holosen. Uraian mengenai formasi-formasi tersebut disajikan di bawah ini.

Aluvium (Qa) merupakan formasi yang berumur Kwarter dan terbentuk pada masa Holosen. Formasi ini terdiri dari kerakal, pasir, lanau dan lempung. Luasan formasi ini relatif sempit terletak sebelah selatan Karangmodjo, bagian utara kabupaten Gunung Kidul.

Batuan Gunung Merapi (Qvm) merupakan formasi yang berumur Kwarter dan terbentuk pada masa Holosen. Formasi ini terdiri dari breksi gunung api, lava dan tuf. Di wilayah kabupaten Gunung Kidul luasan formasi ini relatif sempit, terletak di bagian utara yang merupakan daerah kaki Ginung Merapi.

(57)

pasiran, batulempung dan lensa batugamping. Cakupan luasan formasi ini tergolong sempit, terletak di bagian utara wilayah kabupaten Gunung Kidul.

Gambar 7. Peta Sebaran Formasi Geologi di Daerah Kabupaten Gunungkidul

Formasi Nglanggran (Tmng) merupakan formasi yang berumur Tersier dan terbentuk pada masa miosen awal sampai pertengahan. Formasi ini terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat dan lava andesit-basal, dan tuf. Cakupan wilayahnya cukup luas dan memanjang di bagian utara dari arah barat ke timur.

(58)

batugamping konglomeratan. Cakupan wilayahnya cukup luas terletak di bagian utara kabupaten Gunung Kidul.

Formasi Kepek (Tmpk) merupakan formasi yang berumur Tersier dan terbentuk pada masa miosen akhir sampai masa Pliosen. Formasi ini terdiri dari napal dan batugamping berlapis. Cakupan wilayahnya relatif sempit terletak di bagian barat kabupaten Gunung Kidul.

Formasi Semilir (Tms) berumur Tersier dan terbentuk pada masa miosen awal sampai pertengahan. Cakupan wilayahnya cukup luas dengan posisi memanjang di bagian timur laut dari arah barat ke timur. Formasi ini terdiri dari tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir tufan dan serpih.

Tabel 8. Sebaran Formasi Geologi di Wilayah Gunung Kidul

No Geologi Luas

Simbol Formasi Ha %

1 Qa Aluvium 943,29 0,64

2 Qvm Batuan Gunungapi Merapi 65,98 0,04 3 Tew Formasi Gamping Wungkal 49,33 0,03 4 Tmng Formasi Nglanggran 5.369,39 3,65

5 Tmo Formasi Oyo 8.793,82 5,98

6 Tmpk Formasi Kepek 3.529,39 2,40 7 Tms Formasi Semilir 15.158,49 10,31 8 Tmss Formasi Sambipitu 3.679,09 2,50

9 Tmw Formasi Wuni 179,51 0,12

10 Tmwl Formasi Wonosari- Punung 105.019,50 71,42 11 Tomk Formasi Kebobutak 4.214,45 2,87 12 Tomm Formasi Mandalika 37,33 0,03

Total 147.039,58 100,00

Formasi Sambipitu (Tmss) berumur Tersier dan terbentuk pada masa miosen awal sampai pertengahan. Posisinya memanjang dari arah barat ke timur, dijumpai di bagian utara kabupaten Gunung Kidul. Formasi ini terdiri dari batupasir dan batulempung, dan mempunyai cakupan wilayah yang cukup luas.

Formasi Wuni (Tmw) merupakan formasi yang berumur Tersier dan terbentuk pada masa miosen tengah. Formasi ini terdiri dari aglomerat bersisipan batupasir tufan dan batupasir kasar. Cakupan wilayahnya tergolong sempit terletak berbatasan dengan pantai selatan, di bagian selatan kabupaten Gunung Kidul.

Gambar

Gambar 1. Diagram Skematik Respon Tanaman terhadap Sejumlah Faktor
Gambar 2. Bagan Alir Metodologi dan Prosedur Penelitian
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Flores Timur
Tabel 3. Sebaran Kelas Kemiringan Lereng di Kabupaten Flores Timur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kolaka Tahun Anggaran 2016 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada Paket tersebut diatas sebagai berikut :.. Nama Penyedia

Hasil tingkat kesesuaian antara kepuasan dan harapan diperoleh nilai sebesar 90,48% sehingga dapat disimpulkan konsumen sudah merasa puas terhadap pelayanan

PENGARUH TOTAL SOLID DAN TOTAL ALKALI AKTIF PADA BLACK LIQOUR (LINDI HITAM ) TERHADAP KUALITAS PULP YANG DIHASILKAN

Kinerja UKM di INdonesia Ceramah bervariasi, diskusi, dan Tanya jawab Mendengarka n, dan bersikap interaktif Menjelaskan, memberikan pengarahan dan bimbingan LCD, Papan

P.. antar sektor, tingkat pendidikan, peran pemerintah, kontribusi swasta, jumlah nelayan, hasil produksi, biaya operasional, biaya tetap, keterjangkauan harga,

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru menghubungkan antara materi pelajaran yang

Pajak merupakan kewajiban bagi setiap warga negara dan atau lembaga yang memiliki kategori masuk ke dalam wajib pembayar pajak. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan

Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang yang dengan rela memberikan bekal ilmu pengetahuan bagi penulis untuk menjalani kehidupan