• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial Dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat Di Pedesaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial Dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat Di Pedesaan"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN PEMIMPIN, KOHESI SOSIAL DAN KEBERHASILAN

PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PEDESAAN

MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

(3)

ABSTRAK

MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR. Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan. Dibawah bimbingan NURMALA K. PANDJAITAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan gaya kepemimpinan tokoh pemimpin dengan tingkat kohesi sosial yang ada pada masyarakat dalam pelaksanaan program pemberdayaan. Adapun kohesi sosial tersebut dianalisis hubungannya terhadap keberhasilan program pemberdayaan. Program pemberdayaan dalam penelitian ini adalah program air bersih PLPBK dimana program pemberdayaan yang menekankan masyarakat atau warga komunitas untuk terlibat secara partisipatif dari tahap perencanaan hingga keberlanjutan program. Metode penelitian dilakukan secara survey dan teknik pengambilan sampel yaitu cluster random sampling. Jumlah sampelsebanyak 60 responden dengan mengambil masing-masing 15 responden di empat wilayah bak-bak penampungan dari program air bersih PLPBK. Hasil penelitian menunjukan gaya kepemimpinan tokoh pemimpin tidak mempunyai korelasi pada tingkat kohesi sosial warga komunitas. Akan tetapi, tingkat kohesi sosial warga komunitas memiliki hubungan yang positif dan signifikan dalam keberhasilan program air bersih PLPBK.

Kata kunci: gaya kepemimpinan, kohesi sosial, partisipasi, pemberdayaan masyarakat

ABSTRACT

MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR. Role of Leader, Social Cohesiveness and Success of the Program for Community Empowerment in Rural Areas. Under the

guidance of NURMALA K. PANDJAITAN

This study aimed to analyze relationship between a leadership style of lead figur with level of community social cohesion in the implementation of empowerment program. As for social cohesion were analyzed relation to success of empowerment program. The empowerment program in this study is a clean water program PLPBK where empowerment programs that emphasize community or members of community to engage in a participatory planning phase to the sustainability of the program. The research method is survey and sampling technique that is cluster random sampling. Total sample of 60 respondents to take each of 15 respondents in the four regions of the storage tanks of clean water program PLPBK. Results showed prominent leader leadership style, has no correlation to level of social cohesion community residents. However, level of social cohesion community members have a positive and significant in the success of clean water program PLPBK.

(4)

PERANAN PEMIMPIN, KOHESI SOSIAL DAN KEBERHASILAN

PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PEDESAAN

MUHAMMAD MIRRZA ALAM AKBAR

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)
(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan” dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Nurmala K. Pandjaitan, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan masukan selama proses penulisan hingga selesai. Penulis juga menyampaikan penuh rasa hormat dan terima kasih kepada Bapak (Alm.) Syamsir Alam Achmad dan Ibu Winarsih karena mereka berdualah penulis bisa terus melangkah sampai saat ini. Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada teman seperjuangan penulis yaitu Vany Ardianto dan Hana Hilaly serta sahabat penulis yaitu Astrid Putri Indirawardani dan Bob Andri Nasution. Terimakasih juga penulis ucapkan untuk Rezka Hanandya yang selalu menyemangati penulis setiap harinya, teman-teman kontrakan penulis (The Kons Balio) dan mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) 49. Penulis menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak kesalahan untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Bogor, Juli 2016

(7)

DAFTAR ISI

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 12

Teknik Pengumpulan Data 13

Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data 13

Definisi Operasional 13

Gaya Kepemimpinan 14

Tingkat Kohesi Sosial 16

Tingkat Keberhasilan Program 18

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20

PROGRAM AIR BERSIH PLPBK 23

HASIL DAN PEMBAHASAN 27

Gaya Kepemimpinan Tokoh Pemimpin dalam Program Air Bersih PLPBK 27

Gaya Kepemimpinan Konsultatif 30

(8)

Hubungan Tingkat Kohesi Sosial dan Tingkat Keberhasilan Program 49

1 Pembagian lahan di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015 20 2 Prasarana sanitasi dan irigasi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun

2015 20

3 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian tahun 2015 21 4 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2015 22 5 Jumlah dan persentase prasarana pendidikan Desa Tugu Jaya, Kecamatan

Cigombong tahun 2015 22

6 Jumlah dan persentase responden berdasarkan gaya kepemimpinan tokoh

pemimpin 29

7 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kohesi sosial 32 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat sense of community 33 9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan indikator pada sense of

community 33

10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif 40 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keberhasilan program 44 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi 45 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keberlanjutan program 46 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sense of community dan

partisipasi 49

15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sense of community dan

keberlanjutan program 49

16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif dan partisipasi 50 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan aksi kolektif dan keberlanjutan

program 50

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan

Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan 11

(9)

8 Grafik bentuk keterlibatan warga komunitas dalam program air bersih PLPBK 42 9 Grafik peran warga komunitas dalam program air bersih PLPBK 43

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Lokasi Penelitian 58

2 Kerangka Sampling 59

3 Hasil Olahan Data 66

4 Instrumen Pengukuran Kinerja Pembukuan Sekretariat BKM / LKM 67

5 Dokumentasi Penelitian 72

(10)
(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Program pemberdayaan masyarakat merupakan suatu program yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dengan mengintegrasikan potensi dan masalah yang terdapat di masyarakat. Adanya program pemberdayaan masyarakat tidak lepas dari permasalahan utamanya yaitu belum berdayanya masyarakat terhadap kondisi ideal yang diharapkan seperti permasalahan kemiskinan. Pemerintah sendiri sudah banyak memberikan bantuan program pemberdayaan seperti penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), Tabungan Keluarga Sejahtera (TAKESRA) ataupun Inpres Desa Tertinggal (IDT). Akan tetapi, program-program tersebut relatif belum berhasil menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang ada disebabkan pendekatan yang selama ini dilakukan condong kepada pendekatan top down.

Masyarakat merasa tidak dilibatkan sepenuhnya dalam program sehingga masyarakat merasa kurang bertanggung jawab terhadap keberhasilan program. Hal ini menunjukkan pendekatan secara partisipatif perlu dilakukan guna menunjang keberhasilan program pemberdayaan. Contoh lain kegagalan program pemberdayaan dapat dilihat pada program UPP/P2KP (Urban Proverty Project) di daerah Aceh. Permasalahan utama terletak pada rusaknya struktur pemimpin informal akibat konflik yang berkepanjangan pasca tsunami. Selain itu, masyarakat sudah tidak percaya pada integritas pemerintah formal. Pada dasarnya, masyarakat Aceh sudah memiliki struktur sosial pada figur pemimpin informal yang telah terbukti mampu menghadapi berbagai konflik. Pak Geuchik (Kepala Desa), Tuha Peut (empat Petua Kampung) dan Tengku Imeum (Imam Menasah Kampung) merupakan tokoh-tokoh informal dengan gaya kepemimpinan yang sesuai keinginan masyarakat Aceh. Kenyataannya, potensi tersebut malah termarjinalkan dengan pemilihan para elit baru yang justru menjauhkan para tokoh informal dari masyarakat dan cenderung mengkebiri kearifan lokal yang ada.1

Maka pemberdayaan masyarakat berbasis kebutuhan masyarakat menjadi sebuah kegiatan yang strategis. Selain itu, kasus program UPP/P2KP di Aceh menunjukkan bahwa program pemberdayaan memerlukan tokoh pemimpin. Peranan tokoh pemimpin menjadi sangat penting terutama dalam mempengaruhi, memberi contoh, dan menggerakan seluruh warga masyarakat di lingkungannya guna mendukung keberhasilan suatu program (Yuliana 2013). Hal ini diperkuat asumsi bahwa seorang tokoh pemimpinlah yang memiliki wewenang di suatu desa atau komunitasnya. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2014 pasal 1 Bab 1 no. 2 menjelaskan bahwa “Kewenangan desa adalah kewenangan yang dimiliki desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan

(12)

pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa.”

Pemimpin menjadi seseorang yang mengetahui secara jelas tentang keadaan komunitasnya sehingga pemimpin mampu bertindak sesuai dengan pemahaman yang didapat dari komunitasnya. Tidak hanya itu, pemimpin dirasa mampu menciptakan keakraban dengan para warga komunitas. Bernadine R. Wirjana dan Susilo Supardo (2005) seperti yang dijelaskan oleh Wahyuni (2009) mendefinisikan kepemimpinan adalah suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas ataupun sasaran, dengan mengarahkan secara lebih kohesif. Hal ini membuat warga komunitas dapat bertindak secara lebih kohesif dan bersatu. Semua itu tidak lepas dari peran pemimpin yang mampu memupuk serta memelihara kebersamaan warga komunitas. Dengan adanya kebersamaan, keinginan warga komunitas untuk berperan dalam kemajuan komunitasnya menjadi lebih besar. Maka dari itu, pertanyaan dasar dari penelitian ini adalah bagaimana hubungan peranan pemimpin dan kohesi sosial warga komunitas dalam keberhasilan program pemberdayaan masyarakat?

Masalah Penelitian

Banyaknya masyarakat yang masih belum mampu mengakses potensi yang mereka miliki menjadi permasalahan yang hingga saat ini belum terselesaikan sepenuhnya. Pemerintah pun sudah mencoba berbagai cara dengan memberikan berbagai program pemberdayaan. Namun program pemberdayaan yang selama ini terlaksana cenderung gagal disebabkan program berjalan tidak sesuai dengan konsep pemberdayaan yakni “community based concept”. Masyarakat perlu dilibatkan sebab masyarakat merupakan komponen terpenting di dalam program pemberdayaan. Selain itu pemberdayaan akan berhasil jika masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk bersama-sama mengubah keadaan lingkungannya saat ini menjadi lebih baik. Perasaan tersebut yang membentuk kohesi sosial di dalam masyarakat. Kohesi sosial tersebut tidak serta muncul begitu saja. Adapun terdapat faktor pemimpin dengan gaya kepemimpinan tertentu secara langsung maupun tidak langsung mampu mempengaruhi kohesi sosial yang ada di masyarakat maka bagaimana hubungan antara gaya kepemimpinan dan kohesi sosial?

(13)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjelasan rumusan masalah diatas maka penulisan skripsi berjudul “Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan” memiliki beberapa tujuan:

1. Menganalisis hubungan antara gaya kepemimpinan dan tingkat kohesi sosial

2. Menganalisis hubungan tingkat kohesi sosial dan keberhasilan program pemberdayaan masyarakat di pedesaan

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain: 1. Peneliti dan Akademisi

Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman langsung terkait program pemberdayaan masyarakat yang terjadi di lapangan. Selain itu, untuk menambah wawasan peneliti dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dalam program pemberdayaan masyarakat sehingga mampu membentuk kohesi sosial dari para anggotanya. Sedangkan untuk akademisi, hasil penelitian dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai hubungan gaya kepemimpinan yang berhubungan dengan tingkat kohesi sosial dalam program pemberdayaan masyarakat di pedesaan.

2. Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai program pemberdayaan masyarakat.

3. Masyarakat

(14)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Kepemimpinan

Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain dalam rangka mencapai suatu tujuan. Pemimpin berfungsi untuk memupuk dan memelihara kebersamaan anggota-anggota di dalam komunitasnya. Jika ada kebersamaan diantara anggota komunitas maka dalam melaksanakan pekerjaan pada komunitas akan terasa lebih mudah. Bernadine R. Wirjana dan Susilo Supardo (2005) seperti yang dijelaskan oleh Wahyuni (2009) kepemimpinan adalah suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas atau sasaran, dan mengarahkan dengan cara yang lebih kohesif dan masuk akal. Berdasarkan definisi diatas maka kita dapat simpulkan bahwa kepemimpinan mempunyai sebuah peran sebagai pemberi arahan dalam kegiatan-kegiatan komunitasnya. Menurut Wahjosumijo (1984) seperti yang dijelaskan oleh Randhita (2009) dalam prakteknya, memimpin mengandung konotasi yaitu menggerakkan, mengarahkan, membina, melindungi, memberi teladan, serta memberikan bantuan. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasi melalui pendekatan berbasis masyarakat dan pemberian motivasi yang tepat, sehingga mereka sebagai pengikut dapat bergerak tanpa adanya rasa takut, mau bekerja sama, dan dapat mencapai segala yang menjadi tujuan-tujuan komunitas. Maka disinilah, kepemimpinan menjadi kunci keberhasilan suatu komunitas dalam usaha mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan merupakan suatu aspek yang penting dalam upaya pengelolaan komunitas, sebab kemampuan untuk memimpin sangat menentukan berhasil atau tidaknya komunitas dalam mencapai tujuan. Kotter (1990) seperti yang dijelaskan oleh Utami (2007) menyebutkan bahwa memimpin harus dimulai dari menetapkan arah dan merancang visi komunitas.

(15)

Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah suatu cara, tindakan maupun tingkah laku tokoh pemimpin yang dapat terlihat secara keseluruhan dalam mempengaruhi orang lain. Setiap pemimpin pastilah memiliki cara atau gaya tertentu dalam mengarahkan dan memimpin anggotanya untuk mencapai suatu tujuan di dalam komunitasnya. Terdapat tiga klasifikasi gaya kepemimpinan menurut White dan Lippit (1960) seperti yang telah dijelaskan oleh Rakhmat (2005), yaitu:

a. Gaya kepemimpinan otokratis

Gaya kepemimpinan dicirikan dengan pengambilan keputusan dan kebijakan dilakukan oleh pemimpin sendiri tanpa melibatkan anggota. Gaya kepemimpinan ini menimbulkan suasana permusuhan dan ketergantungan yang besar dari anggota kepada pemimpin. Ciri-ciri gaya kepemimpinan otokratis adalah sebagai berikut:

1. Pemimpin menentukan segala sesuatu secara sepihak

2. Anggota sama sekali tidak diikutsertakan dalam proses perumusan tujuan ataupun aktivitas untuk mencapai tujuan

3. Pemimpin tidak terlibat dalam interaksi sosial dengan anggota dan seolah-olah terpisah dari anggota

b. Gaya kepemimpinan demokratis

Gaya kepemimpinan dicirikan dengan pemimpin membantu, mengarahkan dan membimbing anggota dalam memutuskan kebijakan. Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis adalah sebagai berikut:

1. Pemimpin mengajak anggota dalam merumuskan tujuan dan langkah- langkah untuk mencapainya

2. Pemimpin secara aktif memberikan saran dan petunjuk

3. Pemimpin mengikutsertakan anggota dalam kegiatan-kegiatan dan terlibat dalam interaksi sosial dengan anggota

c. Gaya kepemimpinan laissez faire

Gaya kepemimpinan yang ditandai dengan pemimpin memberikan kebebasan penuh kepada anggota untuk mengambil keputusan. Gaya kepemimpinan ini hanya ada sedikit partisipasi dari pemimpin. Ciri-ciri gaya kepemimpinan laissez faire adalah sebagai berikut:

1. Pemimpin menjalankan perannya secara pasif

2. Penentuan tujuan dan langkah-langkah untuk mencapainya dilakukan oleh anggota sepenuhnya. Pemimpin hanya menyediakan sarana dan prasaranan yang dibutuhkan

3. Pemimpin tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan komunitas

(16)

harus segera terpenuhi. Ibrahim (2002) juga menjelaskan bahwa kepemimpinan seorang pemimpin akan berjalan efektif jika disesuaikan dengan keadaan dalam berkomunikasi dengan bawahan. Kepemimpinan tersebut dikenal sebagai kepemimpinan situsional dimana kepemimpinan yang menekankan kepada perilaku antara pemimpin dan bawahannya. Terdapat beberapa gaya kepemimpinan situsional (Ibrahim 2002) seperti:

1. Gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan)

Pemimpin memberikan instruksi atau petunjuk tentang tujuan dan peranan bawahannya. Pemimpin mengawasi tugas yang dilakukan bawahan secara ketat. Proses komunikasi antara pimpinan dengan bawahan banyak didominasi oleh komunikasi satu arah.

2. Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi (menjajakan)

Pemimpin menjelaskan keputusan dan kebijakan yang diambil tetapi pemimpin juga mau menerima pendapat bawahan. Pengarahan dan pengawasan tetap dilakukan secara ketat. Gaya konsultasi ini dilakukan karena bawahan mempunyai tingkat kematangannya yang cukup baik.

3. Gaya kepemimpinan dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan)

Pemimpin menyusun keputusan secara bersama-sama dengan bawahan dan mendukung usaha-usaha para bawahannya dalam menyelesaikan suatu tugas. Peran pemimpin menjadi aktif ketika mendengarkan pendapat para bawahannya. 4. Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi

(17)

Kohesi Sosial

Kohesi sosial dapat dipahami sebagai kesatuan, keutuhan dan kepaduan dalam suatu upaya agar anggota kelompok tetap bertahan di dalam komunitas. Kohesi sosial merupakan bagian dari modal sosial. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Pranadji (2006) yang menjelaskan kekuatan modal sosial menjadi faktor penting masyarakat di pedesaan masih bisa bertahan. Modal sosial masyarakat setempat bukan saja bisa menjadi inti kekuatan dalam program pemberdayaan namun juga mampu mengatasi masalah secara kolektif. Definisi lain tentang kohesi sosial dinyatakan Johnson dan Johnson (1991) seperti yang dijelaskan oleh Noorkamilah (2008) bahwa kohesi sosial dalam sebuah komunitas dapat terjadi ketika anggota-anggota komunitas saling menyukai dan menginginkan kehadiran satu dengan lainnya. Kohesi sosial juga dapat terbentuk dari rasa saling percaya diantara anggota komunitas. Salah satu fungsi penting dari kepercayaan (trust) ini dalam hubungan sosial masyarakat adalah pemeliharaan kohesi sosial (Mollering 2001 seperti yang dijelaskan oleh Primadona 2001).

Kepercayaan merekatkan setiap komponen sosial yang ada pada masyarakat sehingga komunitas dapat menjadi kesatuan yang tidak tercerai-berai. Selain itu menurut Faturochman (2006) seperti yang dijelaskan oleh Yuasidha dan Nurul Rhamadani (2014) terdapat faktor-faktor yang membentuk kohesi sosial yakni setiap anggota memiliki komitmen tinggi, interaksi didominasi kerjasama bukan persaingan, dan mempunyai tujuan yang terkait satu dengan yang lainnya. Tujuan yang sudah dirumuskan bersama-sama dapat meningkat sesuai dengan perkembangan jaman dan adanya ketertarikan antar anggota komunitas untuk berkembang. Ketertarikan ini menguatkan jaringan atau relasi sosial di dalam komunitas. Kohesi sosial juga dapat diartikan sebagai kekuatan baik positif maupun negatif, yang menyebabkan anggota komunitas tetap bertahan (Taylor et al. 2009 seperti yang dijelaskan oleh Wulansari et al. 2012).

Kohesi sosial pun dapat meningkat seiring dengan tingginya rasa suka antar anggota. Hal ini didukung pada hasil penelitian Ramdhan dan Matono (1996) mengenai kohesi sosial pada masyarakat miskin. Tingkat kohesi sosial yang paling tinggi terdapat pada anggota yang sudah ikut KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) selama dua tahun dibandingkan dengan anggota yang baru saja ikut dan belum ikut KSM. Perbedaan tingkat kohesi sosial tersebut karena adanya pembinaan dari sukarelawan, lamanya anggota tergabung dalam kelompok dan saling ketergantungan antara mereka. Prinsip tanggung renteng yang diterapkan dalam rangka mempererat saling ketergantungan antara anggota kelompok atau komunitas yang telah mengakar sebagai bentuk budaya dari masyarakat setempat.

Sense of Community

(18)

perasaan “we’re feeling” yang mempersatukan setiap anggota menjadi satu bagian. Rasa memiliki tersebut juga dapat membentuk kohesi sosial antar individu dalam suatu komunitas (Myers 2010 seperti yang dijelaskan oleh Kaslan 2009). Rasa memiliki yang membuat individu menyadari bahwa ia merupakan bagian dari komunitas. Teori rasa komunitas (sense of community) ini dibawakan oleh McMilan dan Chavis (1986) seperti yang dijelaskan oleh Chavis et al. (2008) dimana rasa komunitas memiliki persepsi dengan empat unsur yaitu keanggotaan, pengaruh, penguatan kebutuhan dan berbagi hubungan emosional. Hasil studi rasa komunitas tersebut telah menunjukkan bahwa sense of community menjadi indikator yang kuat dari suatu perilaku dari masyarakat.

Aksi Kolektif

Aksi kolektif merupakan tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat setempat dalam rangka mencapai suatu tujuan. Hal ini membutuhkan kerja sama antar masyarakat, pemangku kepentingan dan tokoh-tokoh masyarakat yang ada. Aksi kolektif menjadi salah satu penilaian dalam kohesi sosial dimana aksi kolektif menunjukkan keterlibatan masyarakat untuk menjadikan komunitasnya lebih baik lagi. Hasil penelitian Ramdhan dan Martono (1996) menambahkan bahwa saat masyarakat sudah berkohesif maka kepentingan individu sudah tidak diutamakan lagi dan kebutuhan kelompok menjadi utama. Kohesi sosial yang terbentuk mampu meningkatkan kemauan anggota untuk berpartisipasi dalam segala bentuk aktivitas yang dilaksanakan bersama. Kemauan yang timbul karena adanya ikatan yang kuat di dalam komunitas. Adapun aksi kolektif dapat dipengaruhi dari faktor intrinsik seperti kepemimpinan. Faktor kepemimpin (leadership) memegang peran untuk menarik partisipasi masyarakat dalam suatu aktivitas kolektif. (Sukamana, 2013)

Komunitas Pedesaan

(19)

proses sosial yang asosiatif masih dapat sering ditemukan di komunitas pedesaan. Berdasarkan penelitian Kulig et al. (2008) pada tiga komunitas yaitu komunitas petani, komunitas pertambangan dan komunitas perkotaan. Hasil menunjukkan bahwa pada komunitas petani, rasa memiliki lebih tinggi dibandingkan dengan kedua komunitas lain. Komunitas petani memiliki inisiatif yang tinggi dalam mengatasi masalah, sering membantu menanam dan panen serta interaksi sosial yang tinggi. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kesadaran masyarakat untuk mengaktualisasikan segala potensi yang mereka miliki. Pemberdayaan masyarakat menekankan pentingnya masyarakat untuk mandiri sebagai suatu unit yang dapat mengorganisir dirinya sendiri. Pemberdayaan masyarakat yang demikian perlu memberikan peran kepada setiap individu. Bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek dalam menentukan arah perubahan dalam komunitasnya. Hal ini didukung dengan pernyataan Surochiem (2001) yang menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep tersebut mencerminkan paradigma baru yakni people centered, participatory, empowering, dan sustainable.

Program pemberdayaan perlu melibatkan masyarakat sebagai subyek yang dapat melakukan perubahan, dengan membebaskan diri mereka dari segala peraturan (birokrasi) yang kaku. Proses inilah yang membuat masyarakat berdaya dengan mengembangkan pilihan-pilihan yang ada. Sementara penyusunan program pemberdayaan dapat dilakukan dengan cara menggali konsep pembangunan yang mandiri serta menumbuhkan nilai-nilai yang telah ada, sehingga masyarakat dapat terhindar dari berbagai bentuk konflik kepentingan dan ketimpangan. Maka program pemberdayaan masyarakat merupakan suatu bagian dari keikutsertaan masyarakat yang nyata dimana pemberdayaan dapat dimaknai sebagai proses dari tidak berdaya masyarakat menjadi mampu dan berdaya. Konsep empowerment juga dapat dipahami secara tepat melalui pemahaman pemberdayaan yang bersentuhan langsung dengan konsep kekuasaan, dimana pemberdayaan masyarakat dari masa ke masa masih banyak diakomodir oleh kepentingan-kepentingan yang ada. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kesiapan masyarakat desa untuk menjalani program serta kurangnya sosialisasi mengenai program tersebut.

(20)

dan harus menerima keputusan saja yang sudah diambil pihak luar sehingga partisipasi dapat dikategorikan pasif.

Adanya pemberdayaan yang sesuai kehidupan masyarakat dapat membuat program pemberdayaan menjadi lebih baik disebabkan pemberdayaan tersebut bertujuan pada peningkatan kesadaran dan kekuatan masyarakat untuk memperbaiki keadaan yang sebelumnya. Masyarakat juga dapat belajar untuk bertanggung jawab akan memanfaatkan potensi yang ada di desanya. Kesadaran masyarakat akan berkembang saat mereka mampu menerapkan pemberdayaan yang telah dilakukan. Kesadaran ini terjalin karena adanya rasa memiliki untuk saling menjaga lingkungan sekitar tanpa harus merusaknya. Hal tersebut menimbulkan kepercayaaan antar warga dalam menyikapi segala kejadian ataupun hambatan yang akan atau sedang dialami. Selain itu, antar pihak masyarakat mau bersinergi untuk melakukan pembangunan yang lebih baik. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam mengikut program pemberdayaan masyarakat. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam program pemberdayaan masyarakat yaitu kepemimpinan, dimana dalam menggerakkan partisipasi masyarakat perlu adanya pimpinan (Tjokroamidjojo 1979). Faktor kepemimpinan juga disinggung dalam hasil penelitian Girsang (2011) yang mengungkapkan bahwa kepemimpinan lokal merupakan faktor strategis dari keikutsertaan masyarakat. Peranan pemimpin seperti pemerintah, pengurus kelurahan (RT/RW), dan tokoh-tokoh masyarakat merupakan faktor eksternal yang mampu mempengaruhi keikutsertaan masyarakat dalam program pemberdayaan.

Kerangka Pemikiran

(21)

Hipotesis Penelitian

1. Diduga terdapat hubungan positif antara gaya kepemimpinan partisipatif dan tingkat kohesi sosial

2. Diduga terdapat hubungan positif antara tingkat kohesi sosial dan tingkat keberhasilan program pemberdayaan masyarakat

Keterangan

: berhubungan

Tingkat Keberhasilan Program

Partisipasi

Keberlanjutan program

Gaya Kepemimpinan

Gaya Instruktif Gaya Konsultatif Gaya Partisipatif Gaya Delegatif

Tingkat Kohesi Sosial

Sense of Community

Pemenuhan kebutuhan Keterlibatan menjadi anggota Memberikan pengaruh Berbagi kontak emosional Aksi Kolektif

Jenis keterlibatan Bentuk keterlibatan Peran

(22)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan kuisioner kepada responden. Kuesioner disusun sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah dibuat sebelumnya. Data kualitatif diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan. Selain itu, dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat untuk memperjelas informasi dan gambaran tentang keadaan sosial di lapangan.

Jenis dan Sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapangan melalui metode survey dengan alat instrumen berupa kuisioner. Kuisioner diisi responden dengan pendampingan. Data sekunder juga diperlukan seperti profil desa, data monografi desa, dan data dari Badan Pusat Statistik mengenai potensi desa.

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa Tugu jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian tersebut dipilih secara sengaja (purposive). Lokasi dipilih dengan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut terdapat program pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas berbentuk program air bersih PLPBK (Penataan Lingkungan Pemukiman Berbasis Komunitas). Program pemberdayaan dari pemerintah dimana air bersih menjadi kebutuhan bersama masyarakat yang ingin segera terpenuhi. Masyarakat ikut terlibat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan pembangunan hingga pengelolaan hasil dari program ini.

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

(23)

Teknik Pengumpulan Data

Responden diwawancarai dengan menggunakan kuisioner, namun untuk mengatasi kesulitan responden dalam memahami data yang diminta maka dalam mengisi kuisioner didampingi bersama peneliti. Untuk mendapatkan data kualitatif dilakukan wawancara pada beberapa informan yang tahu mengenai program air bersih PLPBK.

Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data

Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas dan data diperoleh dari rumah tangga. Data yang diperoleh berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif akan diolah menggunakan Microsoft Excel dan aplikasi SPSS for windows 20.0 dengan pengodean dan memberikan nilai dari jawaban-jawaban yang terdapat dalam kuisioner. Uji korelasi rank spearman digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antar gaya kepemimpinan dan tingkat kohesi sosial. Kemudian hubungan antara tingkat kohesi sosial dan tingkat keberhasilan program. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk memperdalam analisis pada data-data kuantitatif.

Definisi Operasional

1. Usia adalah lamanya hidup seseorang dan terhitung sejak ia dilahirkan sampai pada saat menjadi responden dalam penelitian ini. Pembulatan angka usia dihitung sejak hari kelahiran sampai saat ulang tahun terakhir responden yang dinyatakan dalam satuan tahun.

2. Tingkat pendidikan adalah jenjang proses belajar formal yang pernah ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan responden dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur dalam skala ordinal menjadi:

a. Tidak sekolah b. Tamat SD c. Tamat SMP d. SMA keatas

3. Jenis pekerjaan adalah sumber nafkah bagi suatu keluarga. Jenis pekerjaan akan dibagi dua bagian menjadi pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan.

4. Tingkat pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh responden dalam sebulan. Tingkat pendapatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur dalam skala ordinal menjadi:

a. <Rp. 500.000,00

(24)

Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau pola tindakan seorang pemimpin dalam menggunakan kewenangannya untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu komunitas. Gaya kepemimpinan dapat dibedakan menjadi gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan), gaya konsultasi (menjajakan), gaya partisipasi (mengikutsertakan) dan delegasi. Gaya kepemimpinan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi:

a. Tidak sama sekali (diberi skor 1) b. Jarang (diberi skor 2)

c. Sering (diberi skor 3) d. Selalu (diberi skor 4) 1. Gaya kepemimpinan instruktif

Gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan) dicirikan dengan tokoh pemimpin tidak melibatkan masyarakat dalam pengambil keputusan dan pemimpin hanya sekedar memberikan instruksi tentang pelaksanaan tugas. Gaya kepemimpinan dengan gaya instruksi (memberitahukan) ditandai oleh:

a. Pemimpin memberikan instruksi tanpa mendengarkan keluhan dan pendapat warga komunitas dan cenderung memerintah saja

b. Hanya pemimpin yang merancang program

c. Pengambilan keputusan hanya berasal dari usulan pemimpin

d. Dalam forum diskusi, pemimpin lebih banyak menguasai pembicaraan e. Pemimpin membatasi hubungan sosial dengan warga komunitas

Hasil pengukuran gaya kepemimpinan instruksi dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi:

Rendah : skor 5-12 Tinggi : skor 13-20 2. Gaya kepemimpinan konsultatif

Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi (menjajakan) dicirikan dengan tokoh pemimpin mengambil keputusan dan kebijakan setelah berkonsultasi dan menerima pendapatan masyarakat. Gaya kepemimpinan dengan gaya konsultasi (menjajakan) ditandai oleh:

a. Pemimpin memberikan instruksi setelah mau mendengar keluhan dan pendapat warga komunitas

b. Proses komunikasi antara pemimpin dengan warga komunitas terjadi dua arah c. Pengambilan keputusan diambil oleh pemimpin setelah berkonsultasi dengan para warga komunitas

d. Hubungan interaksi dengan warga komunitas lebih banyak mengarahkan daripada memerintah

(25)

Hasil pengukuran gaya kepemimpinan konsultasi dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi:

Rendah : skor 5-12 Tinggi : skor 13-20 3. Gaya kepemimpinan partisipatif

Gaya kepemimpinan dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan) dicirikan dengan tokoh pemimpin melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta menerima adanya saran, pendapat dan keluhan dari masyarakat. Gaya kepemimpinan dengan gaya partisipasi (mengikutsertakan) ditandai oleh:

a. Pemimpin memberikan kesempatan warga komunitas untuk berpendapat sebelum memberikan instruksi

b. Proses komunikasi antara pemimpin dengan warga komunitas lebih banyak dengan bermusyawarah

c. Pengambilan keputusan diambil oleh pemimpin dengan melibatkan warga komunitas

d. Pemimpin memberikan aspirasi kepada warga komunitas

e. Pemimpin sering melakukan pendekatan dengan warga komunitas

Hasil pengukuran gaya kepemimpinan partisipasi dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi:

Rendah : skor 5-12 Tinggi : skor 13-20 4. Gaya kepemimpinan delegatif

Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi dicirikan dengan tokoh pemimpin memberikan kesempatan yang luas pada masyarakat untuk memutuskan masalah dan menjalankan tugasnya. Gaya kepemimpinan dengan gaya delegasi ditandai oleh: a. Pemimpin lebih banyak memberikan saran daripada terjun ke lapangan b. Proses komunikasi dengan warga komunitas jarang

c. Pemimpin memberikan wewenang penuh kepada warga komunitas untuk mengambil keputusan

d. Hubungan interaksi dengan warga komunitas pasif

e. Pemimpin menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan program kepada warga komunitas

Hasil pengukuran gaya kepemimpinan delegasi dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari kelima pernyataan diatas menjadi:

(26)

Tingkat Kohesi Sosial

Kohesi sosial adalah kesatuan, keutuhan, dan kepaduan dalam upaya untuk mendorong anggota tetap bertahan dalam sebuah komunitas. Tingkat kohesi sosial dilihat rasa komunitas (sense of community) dan aksi kolektif dari masyarakat. Hasil pengukuran tingkat kohesi sosial dapat dikategorikan dengan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari sense of community dan aksi kolektif menjadi:

Rendah : jumlah skor 2-3 Tinggi : jumlah skor 4-5 Sense of Community

Sense of community diukur dengan menggunakan empat indikator yaitu Reinforcement of Needs (pemenuhan kebutuhan), Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas), Influence (memberikan pengaruh) dan Shared Emotional Connection (berbagi kontak emosional). Terdapat 24 pernyataan yang disadur dari teori Sense of Community Index version 2 (SCI-2) (Chavis et al. 2008) pada penelitian ini dengan dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi:

a. Tidak sama sekali (diberi skor 1) b. Jarang (diberi skor 2)

c. Sering (diberi skor 3) d. Selalu (diberi skor 4)

a. Reinforcement of Needs (pemenuhan kebutuhan) adalah kondisi dimana anggota komunitas mendapatkan apa yang mereka butuhkan karena telah menjadi bagian dari komunitas. Indikator pemenuhan kebutuhan memiliki enam buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator pemenuhan kebutuhan dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi:

Rendah : skor 6-15 Tinggi : skor 16-24

b. Membership (keterlibatan sebagai anggota komunitas) adalah orang-orang yang tergabung dalam komunitas dan anggota komunitas meluangkan banyak waktu dan usaha mereka untuk menjadi bagian dari komunitas. Indikator keterlibatan menjadi anggota memiliki enam buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator keterlibatan sebagai anggota komunitas dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi:

Rendah : skor 6-15 Tinggi : skor 16-24

(27)

Rendah : skor 6-15 Tinggi : skor 16-24

d. Shared Emotional Connection (berbagai kontak emosional) adalah anggota-anggota komunitas menikmati kebersamaan di dalam komunitas dan berbagai kejadian penting bersama seperti syukuran. Indikator berbagi kontak emosional memiliki enam buah pernyataan Adapun hasil pengukuran indikator berbagai kontak emosional dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pertnyataan menjadi:

Rendah : skor 6-15 Tinggi : skor 16-24

Hasil pengukuran variabel tingkat kohesi sosial pada rasa komunitas (sense of community) dapat dibedakan menggunakan skala ordinal dengan kategori rendah (24-47) diberi skor 1, sedang (48-71) diberi skor 2, dan tinggi (72-96) diberi skor 3. Aksi Kolektif

Aksi kolektif adalah tindakan bersama yang dilakukan oleh warga komunitas selama program. Dalam mengukur aksi kolektif dapat jenis keterlibatan dalam aksi kolektif, bentuk keterlibatan dalam aksi kolektif dan peran warga komunitas dalam aksi kolektif. Aksi kolektif dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi:

a. Tidak sama sekali (diberi skor 1) b. Jarang (diberi skor 2)

c. Sering (diberi skor 3) d. Selalu (diberi skor 4)

Jenis keterlibatan dalam aksi kolektif adalah jenis kegiatan yang dilakukan oleh warga komunitas secara bersama-sama dalam komunitas. Terdapat jenis-jenis aksi kolektif sebagai berikut.

a. Gotong royong b. Musyawarah c. Tolong menolong d. Lainnya ….

Bentuk keterlibatan adalah keikutsertaan atau suatu tindakan yang dilakukan oleh warga komunitas dalam kegiatan komunitas. Bentuk keterlibatan dicirikan dengan: a. Menyumbangkan uang

b. Menyumbangkan tenaga

(28)

Peran adalah tindakan maupun posisi warga komunitas selama pelaksanaan program ini. Peran dalam aksi kolektif dicirikan dengan:

a. Mengumpulkan para warga untuk ikut serta dalam kegiatan program b. Terlibat aktif dalam pelaksanaan kegiatan program

c. Hanya hadir dalam pelaksanaan kegiatan program d. Pulang sebelum kegiatan program selesai

Hasil pengukuran variabel tingkat kohesi sosial pada aksi kolektif dapat dibedakan menggunakan skala ordinal dengan kategori rendah (10-24) diberi skor 1 dan tinggi (25-40) diberi skor 2.

Tingkat Keberhasilan Program

Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat adalah suatu kondisi dimana seluruh tujuan dari adanya kegiatan pemberdayaan dapat tercapai. Pada program pemberdayaan, terdapat keikutsertaan masyarakat untuk menjalankan program serta adanya manfaat program yang terus dirasakan hingga sekarang. Dalam mengukur keberhasilan program dapat dilihat dari beberapa indikator seperti partisipasi dan kerlanjutan program yang dirasakan oleh masyarakat. Keberhasilan program dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori dan diukur skala ordinal menjadi:

a. Tidak sama sekali (diberi skor 1) b. Jarang (diberi skor 2)

c. Sering (diberi skor 3) d. Selalu (diberi skor 4) 1. Partisipasi

Partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat selama pelaksanaan program. Pada variabel partisipasi terdapat tahap pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi. Indikator partisipasi memiliki delapan buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator partisipasi dalam keberhasilan program pemberdayaan masyarakat dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi:

Rendah : skor 8-19 Tinggi : skor 20-32 2. Keberlanjutan program

Keberlanjutan program adalah kondisi dimana program tersebut dapat terus beroperasi dan outputnya dapat dikelola dengan baik oleh masyarakat. Indikator keberlanjutan program memiliki lima buah pernyataan. Adapun hasil pengukuran indikator keberlanjutan dalam keberhasilan program pemberdayaan masyarakat dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal berdasarkan jumlah skor dari semua pernyataan menjadi:

(29)

Hasil pengukuran variabel keberlanjutan program dapat dikategorikan menggunakan skala ordinal dengan berdasarkan jumlah skor dari semua pertanyaan menjadi:

(30)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis

Desa Tugu Jaya merupakan salah satu desa yang secara administrasi masuk di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 505.643 Ha. Desa Tugu Jaya sendiri terbagi menjadi 11 rukun warga (RW) dan 44 rukun tetangga (RT). Batas wilayah desa pada bagian utara dibatasi dengan Desa Cisalada dan Desa Pasirjaya, bagian selatan berbatasan dengan Desa Kutajaya, Kec. Cicurug, Kab. Sukabumi, bagian barat berbatasan dengan kawasan Gunung Salak, dan bagian timur berbatasan langsung dengan Kecamatan Cigombong. Desa Tugu Jaya terletak pada jarak dua km dari Kecamatan Cigombong. Perjalanan yang ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat ditempuh dengan waktu sepuluh sampai lima belas menit. Jarak dari Desa Tugu Jaya ke pusat pemerintahan Kabupaten Bogor yaitu 50 km. Adapun pembagian lahan di Desa Tugu Jaya tahun 2015 sebagai berikut.

Tabel 1. Pembagian lahan di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015

Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015

Tabel 1 menunjukkan lahan perkebunan menjadi lahan paling luas di Desa Tugu Jaya sebesar 193.752 Ha. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat memanfaatkan pekarangan rumah mereka sebagai kebun dengan sebagian hasilnya dijual ataupun untuk konsumsi rumah tangga. Pembagian lahan lainnya sebesar 306.335 Ha digunakan untuk rumah-rumah warga dan jalan utama di dalam desa. Selain itu, Desa Tugu Jaya juga memiliki prasarana sanitasi dan irigasi untuk persawahan masyarakat sebagai berikut.

Tabel 2. Prasarana sanitasi dan irigasi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015

Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015

(31)

Tabel 2 menunjukkan Desa Tugu Jaya sangat sedikit memiliki MCK umum sebanyak 10 buah saja. Jumlah MCK umum yang sedikit ini disebabkan mayoritas penduduk Desa Tugu Jaya sudah memiliki MCK pribadi di dalam rumahnya. Sementara itu saluran irigasi hanya sepanjang empat meter dimana panjang saluran irigrasi tersebut tergolong kecil dibandingkan dengan luas lahan persawahan di Desa Tugu Jaya.

Kondisi Sosial

Berdasarkan Data Potensi Desa Tugu Jaya tahun 2015, jumlah penduduk desa sebanyak 15.051 jiwa. Sebaran penduduk meliputi laki-laki sebanyak 7.761 orang dan perempuan sebanyak 7.290 orang. Usia 0-17 tahun berjumlah 5.136 jiwa dan usia 18-56 tahun berjumlah 7.865 jiwa serta usia diatas 56 tahun berjumlah 934 jiwa. Jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) berjumlah 15.450 jiwa. Kemudian untuk kepala keluarga (KK) berjumlah 3.627 KK. Adapun jenis pekerjaan masyarakat Desa Tugu Jaya umumnya sebagai petani, buruh tani dan pedagang berupa warung, dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian tahun 2015

Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015

Berdasarkan data dari Tabel 3 terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Desa Tugu Jaya bermata pencaharian sebagai buruh yakni sebanyak 6.955 orang dan petani sebanyak 2.985 orang. Hal ini disebabkan masih banyaknya lahan kebun yang sering digarap oleh masyarakat. Kemudian pedagang masuk pada urutan ketiga terbesar setelah buruh dan petani sebanyak 898 orang. Selain mengelola lahan yang ada, masyarakat memilihi profesi sebagai pedagang disebabkan berdagang bisa dilakukan dengan membuka warung di depan rumahnya.

Kondisi Pendidikan

Tingginya jumlah petani dan buruh tani salah satu faktornya disebabkan oleh tingkat pendidikan mereka, dimana mayoritas masyarakat hanya lulusan pendidikan

Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

(32)

Sekolah Dasar (SD). Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Tugu Jaya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2015

Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015

Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat di Desa Tugu Jaya adalah lulusan tingkat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 6.450 orang. Salah satu faktor penyebabnya adalah jumlah fasilitas sekolah seperti SMP dan SMA yang masih sedikit di Desa Tugu Jaya. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah dan persentase prasarana pendidikan Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015

Diolah dari Data Potensi Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015

Tabel 5 menunjukkan bahwa prasarana pendidikan di Desa Tugu Jaya paling banyak terdapat pada bangunan Sekolah Dasar (SD) sebanyak delapan buah, sedangkan untuk bangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak ada dan bangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP), PAUD, dan Taman Kanak-kanak berjumlah empat buah. Jumlah prasarana pendidikan yang masih sedikit dan tidak menunjang menjadi salah satu penyebab para remaja desa jarang untuk melanjutkan pendidikan dan memilihi untuk bekerja.

Lulusan Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

Sekolah Dasar 6.450 42.85

Sekolah Menengah Pertama 3.169 21.05

Sekolah Menengah Atas

Prasarana Pendidikan Jumlah (buah) Persentase (%)

(33)

PROGRAM AIR BERSIH PLPBK

Program PLPBK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas) merupakan lanjutan transformasi sosial dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). P2KP dan PLPBK adalah agenda pembangunan masyarakat dimana fokus utama program guna menanggulangi kemiskinan melalui pembangunan pada bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. Program PLPBK fokus kepada kegiatan penataan lingkungan permukiman melalui pendekatan secara komprehensif dan terpadu.2 Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas atau

PLPBK pertama kali digulirkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya pada tahun 2008. Secara umum, program dijalankan berdasarkan petunjuk teknis yang diperuntukkan bagi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau kota, konsultan dan masyarakat yang digunakan sebagai acuan proses seleksi sasaran program PLPBK. Menurut Petunjuk Teknik, pelaksanaan program PLPBK memiliki tujuan yaitu mewujudkan proses pemilihan dan penetapan lokasi penerima kegiatan sesuai kriteria lokasi yang dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Adapun tahapan persiapan dan kriteria lokasi penerima program PLPBK dilakukan dengan penyiapan Surat Pemberitahuan dan Pengumuman Seleksi. Kemudian pembentukan TS (Tim Seleksi) tingkat pusat dan sosialisasi pelaksanaan melalui kegiatan seleksi yang akan diselenggarakan bersama. Hal ini melibatkan jajaran pemerintah daerah, KMW dan Korkot (Koordinator Kota) serta perwakilan dari calon lokasi penerima program PLPBK.3 Program pun diberikan kepada wilayah

yang kumuh dan padat penduduk dengan jumlah keluarga miskin masih tinggi. Total bantuan sebesar satu miliar yang berasal dari pemerintah pusat. PLPBK juga merupakan program reward bagi BKM atau LKM yang terpilih dengan pembukuan keuangan PNPM Mandiri yang baik dalam pengelolaannya serta peran aktif BKM atau LKM dalam mengelola dana bantuan program PNPM Mandiri yang telah diberikan. Desa Tugu Jaya terpilih untuk mendapatkan program PLPBK disebabkan kinerja BKM Tugu Jaya Mandiri dalam mengelola keuangan PNPM Mandiri paling baik se-Kabupaten Bogor.4

“Jadi ini kan program reward untuk BKM-BKM di Kabupaten Bogor yang ditinjau pertama kali dari setiap adanya pinjaman bergulir nah kami masuk tingkat pengembaliannya bagus. BKM Tugu Jaya Mandiri itu masuk kategori terbaik dari lainnya (desa lain) maka kami masuk calon mendapatkan program ini. Setelah itu, tentu ada tim penilai yah dari tingkat provinsi sampai bagian infrastruktur turun. Hasilnya alhamdulillah Tugu Jaya itu dari sekian yang masuk nominasi dari beberapa kecamatan, beberapa desa juga se-Kabupaten Bogor kami

2Berdasarkan keterangan pada www.p2kp.org/datapnpmdetail.asp?mid=41&catid=29&

3Tersedia pada: http://www.p2kp.org/pustaka/files/FA_Juknis_Tata_Cara_Seleksi_PLPBK_Mei_ 2013_rev050613.pdf

(34)

masuk jadi nomor satu mendapatkan program PLPBK dengan skor 8 dari 10 maka dari itu, masyarakat disuruh mengusulkan program apa yang mereka butuhkan maka perwakilan-perwakilan di masing-masing wilayah mengadakan konsolidasi dengan warga, dicrosscheck apa kira-kira kebutuhan yang paling prioritas. Data itu dikumpulkan berbarengan dengan perwakilan di setiap RT/RW datang ke balai desa. Disana dipilih kebutuhan yang sangat mendesak ternyata hasilnya masyarakat butuh air bersih.” (YD, 52 tahun, Ketua UPL (Unit Pengelolaan Lingkungan) Desa Tugu Jaya)

Program LPBK sendiri tidak langsung diputuskan oleh pihak BKM Tugu Jaya Mandiri namun diadakan rembug desa yang dihadiri oleh setiap perwakilan RW/RT dan tokoh-tokoh masyarakat di balai desa. “Awalnya gak langsung dikasih mas, jadi ditanya ‘siap gak nih Desa Tugu Jaya buat program PLPBK ini?’” (SN, 47 tahun, Koordinator BKM Tugu Jaya Mandiri). Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor menjadi desa yang pertama kali mendapatkan bantuan program PLPBK di Kabupaten Bogor.5

“Desa Tugu Jaya, desa percobaan mas. Desa lain mah gak rumit, kita doang (yang rumit). Tapi itu jadi panutan buat desa lain.” (NND, 56 tahun, Ketua BPAB (Badan Pengelolaan Air Bersih) Desa Tugu Jaya)

Setelah perwakilan masyarakat menyatakan siap, tidak serta merta bantuan berbentuk dana satu miliar dari pemerintah langsung datang. Awal berjalannya PLPBK, pihak BKM mengikuti prosedur yang sudah dibuat dari pemerintah pusat dengan membentuk beberapa kelompok kerja seperti TIPP (Tim Inti Perencanaan Partisipatif), perekrutan TAP (Tenaga Ahli Perencanaan), dan pembentukan Pokja (Kelompok Kerja) yang terdiri dari Pokja Lingkungan Hidup, Pokja Pendidikan dan Kesehatan, Pokja Sarana dan Prasarana, dan Pokja Pelayanan Publik. BKM bersama kelima Pokja melakukan transek sosial dan musyawarah di tingkat RT maupun RW. Transek sosial dilakukan untuk melihat potensi dan masalah yang ada di masyarakat. Hasil dari transek sosial menunjukkan bahwa air bersih menjadi kebutuhan utama masyarakat. Saat itu, masyarakat merasa sulit untuk memperoleh air bersih khususnya pada RW 02, RW 03, dan RW 04. Memang tidak semua RW (rukun warga) atau kampung yang mengusulkan air bersih disebabkan beberapa RW atau kampung sudah memiliki sumber air bersihnya sendiri seperti dari sumur namun atas kesepakatan bersama, akhirnya masyarakat Desa Tugu Jaya memutuskan air bersih sebagai prioritas utama mereka dalam program PLPBK.

(35)

RW-RW yang mendapatkan bantuan air bersih dalam program PLPBK yaitu RW 2, RW 3, RW 4, RW 6, RW 10, dan RW 11. Pada RW 10 dan RW 11, masyarakat sudah memiliki sumber air tetapi kualitas airnya tidak memenuhi standar baik atau kualitas air tanahnya sangat buruk.

“Dari warga airnya banyak zat besi, kuning gitu mas kalau diangkat abis dicuci nguning gitu, makanya air bersih dipasang. Ngobrol sama bapak-bapak di kampung ini bair langsung pasang.” (SPT, 42 tahun, responden)

Terpilihnya air bersih sebagai kebutuhan pada program PLPBK merupakan hasil kesepakatan bersama masyarakat Desa Tugu Jaya. Masyarakat melihat masih banyak yang sangat kesulitan untuk menjangkau air bersih. Program PLPBK di Desa Tugu Jaya telah memberi kemudahan bagi masyarakat untuk menikmati air bersih dari potensi lingkungan atau komunitasnya sendiri secara lebih luas. “Disini 20 meter digali juga gak keluar airnya. Susah air mas.” (ARS, 46 tahun, responden) Tidak adanya sungai di Desa Tugu Jaya juga menjadi salah satu kendala. Maka kegiatan pemberdayaan pun difokuskan pada pembangunan jalur air bersih dari Gunung Salak langsung dan membangun swadaya masyarakat untuk mau menyumbangkan dana ataupun tenaga. Dana yang datang secara berskala dan tidak secara penuh membuat masyarakat berswadaya agar program air bersih PLPBK ini tetap dapat berjalan. Pemasangan paralon sendiri di rumah-rumah warga memakan biaya sebesar seratus ribu rupiah.

“Warga pinginnya air bersih. Jadinya diajuin ke balai desa, seratus ribu buat masangnya dulu di rumah-rumah warga.”(EKM, 52 tahun, responden)

Selanjutnya, TPP (Tim Pelaksana Pembangunan) melakukan tugasnya dalam pelaksanaan langsung di lapangan seperti pemasangan pipa langsung dari Gunung Salak dan melakukan berbagai pendekatan dengan masyarakat seperti masalah perizinan tanah yang bisa digunakan.

“Cari sumber air lain, dulu SGT sama saya yang turun langsung ke lapangan, minta konfirmasi dulu yang punya disitu. Di kampung ini (Kampung Batu Karut) gak bisa sembarangan karena harus minta izin sama masyarakat yang udah biasa ngambil air disitu maka diaturlah baiknya gimana.” (DD, 47 tahun, relawan desa)

(36)

dapat terus dimanfaatkan masyarakat. Berikut adalah bagan kepanitian program air bersih PLPBK Desa Tugu Jaya. (Gambar 2)

Sumber: Hasil wawancara dengan Kordinator BKM Tugu Jaya Mandiri

Kemudian agar program ini dapat terus berjalan, setiap bulan masyarakat atau masyarakat atau warga komunitas perlu menyisihkan uang mereka sebesar tiga ribu rupiah dan membayar tujuh ratus rupiah per kubiknya. Besarnya biaya tersebut merupakan hasil musyawarah warga komunitas. Dana yang sudah terkumpul dipergunakan oleh BPAB (Badan Pengelolaan Air Bersih) untuk biaya operasi mesin dan perbaikan paralon bila terdapat kerusakan dan lainnya. Keberhasilan program PLPBK hanya dapat diperoleh dengan adanya komitmen penuh dari semua pihak.

Gambar 2. Bagan kepanitiaan program air bersih PLPBK Desa Tugu Jaya

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gaya Kepemimpinan Tokoh Pemimpin dalam Program Air Bersih PLPBK

Pada dasarnya, tokoh pemimpin merupakan orang yang telah dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin dalam rangka mencapai suatu tujuan. Tokoh pemimpin ini dipilih karena tokoh pemimpin memiliki karakter yang arif dan sudah begitu dikenal oleh warga komunitas. Berbicara tokoh pemimpin dalam rangka program pemberdayaan masyarakat pada komunitas terdapat asumsi bahwa tokoh pemimpin harus mampu melibatkan partisipasi masyarakat atau warga komunitas selama pelaksanaan program. Biasanya tokoh pemimpin tersebut merupakan orang lokal yang lahir dan besar di dalam komunitas tersebut. Tokoh pemimpin dalam program ini adalah SGT (50 tahun). Tokoh pemimpin SGT merupakan pemimpin lokal yang lahir dan besar di Desa Tugu Jaya. Pada program air bersih PLPBK, tokoh pemimpin SGT menjabat sebagai Ketua Tim Pelaksana Pembangunan atau disingkat TPP. Sebelum menjadi Ketua TPP, tokoh pemimpin SGT merupakan mantan Ketua RW 06 di Desa Tugu Jaya. Tokoh pemimpin SGT dikenal baik oleh warga komunitas Desa Tugu Jaya, sebagai sosok yang memiliki kepemimpinan yang bagus dan aktif selama di karang taruna. Sewaktu muda, tokoh pemimpin SGT sering tergabung di dalam acara-acara kepemudaan.

“Pak SGT memang bagus kerjanya. Alhamdulillah di lurah sebelumnya juga dia yang pegang. Ikut kepemudaan dari dulu dia, disegani juga sama para warga.”(SS, 57 tahun, mantan Ketua RW 01)

Tokoh SGT sangat dikenal, terutama pada RW 02. Hal ini disebabkan RW 02 merupakan RW yang paling banyak mendapatkan manfaat dari program air bersih PLPBK. Warga komunitas RW 02 juga termasuk aktif dalam pelaksanaan program ini. Hal tersebut membuat warga komunitas RW 02 memiliki kedekatan dengan tokoh SGT. Peranan tokoh pemimpin SGT lebih banyak dirasa warga komunitas ketimbang Kepala Desa Tugu Jaya saat itu disebabkan pendekatan kepada warga lebih sering dilakukan oleh tokoh SGT ketimbang tokoh-tokoh formal di dalam desa. Pendekatan yang dilakukan pun tidak sebatas pada RW-RW yang mendapatkan manfaat dari program air bersih PLPBK tetapi kepada RW-RW lain juga sehingga warga menaruh harapan kepada sosok SGT.

Alhamdulillah diterima baik sama warga sini. Biasanya Pak SGT itu sudah dekat sekali dengan para warga di kampung ini dan banyak sodaranya. Jadi saking dekatnya, warga udah biasa saja gitu, seperti sodara sendiri.” (DNJ, 63 tahun, Ketua RW 09)

(38)

”Nah lihat sikap Pak SGT kayak gitu, respon masyarakat bagus. Yah makanya lihat atasannya kerja, masyarakat yang gak mau turun juga jadi kerja bareng, malu gitu mas. Jadinya kerja beresnya lebih cepet. Masyarakat merespon, Ketua RT/RW juga datang ke balai desa buat rapat. Kalau gak ada rapat di balai desa, masyarakat kumpul di rumah koordinator.”(ARY, 57 tahun, Ketua RW 03)

Tokoh SGT tergabung dalam BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) Tugu Jaya Mandiri selama kurang lebih 10 tahun. BKM Tugu Jaya Mandiri merupakan lembaga masyarakat yang mewadahi dan menindaklanjuti segala bentuk bantuan program dari pemerintah untuk Desa Tugu Jaya. Hal ini membuat tokoh pemimpin SGT sudah memahami tata cara pelaksanaan suatu program pemberdayaan untuk Desa Tugu Jaya.

“Dia aktif selama di BKM. Dia sebagai ketua pelaksana program ini ke masyarakat, menjelaskan masalah lingkungan, masalah ekonomi juga. SGT orangnya berpengaruh di mata masyarakat, ke tokoh-tokoh juga. Jadi banyak yang berharap sama dia pada program ini. Turun langsung dia. Disamping itu, dia melakukan pendekatan-pendekatan ke tiap RT/RW.”(MAP, 67 tahun, mantan Kepala Desa Tugu Jaya)

(39)

Tabel 6. Jumlah dan persentase responden berdasarkan gaya kepemimpinan tokoh pemimpin dalam program air bersih PLPBK

Kategori Gaya Kepemimpinan

Gaya Kepemimpinan

Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif n % n % n % n % Rendah 60 100.0 16 26.7 4 6.7 58 96.7 Tinggi 0 0.0 44 73.3 56 93.3 2 3.3 Total 60 100.0 60 100.0 60 100.0 60 100.0

Hasil Tabel 6 menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan instruktif memiliki persentase terbesar pada kategori rendah sebesar 100 persen sedangkan pada gaya kepemimpinan partisipatif memiliki persentase terbesar pada kategori tinggi sebesar yaitu 93.3 persen. Gaya kepemimpinan konsultatif memiliki presentase terbesar pada kategori tinggi sebesar 73.3 persen dan gaya kepemimpinan delegatif memiliki presentase terbesar pada kategori rendah sebesar 96.7 persen. Hal ini menunjukkan gaya kepemimpinan instruktif paling tidak tampak dan gaya kepemimpinan partisipatif paling dirasakan oleh warga komunitas dalam kepribadian tokoh pemimpin, maka dapat diketahui bahwa gaya kepemimpinan yang telah diterapkan oleh tokoh pemimpin SGT adalah gaya kepemimpinan partisipatif dan berkolaborasi dengan gaya kepemimpinan konsultatif.

Tokoh pemimpin SGT menerapkan gaya kepemimpinan partisipatif pada pelaksanaan program air bersih PLPBK. Gaya kepemimpinan partisipatif menjadi sangat jelas dalam membangun hubungan kerja dengan warga komunitas. Tokoh pemimpin SGT bersama-sama warga komunitas terlibat di dalam musyawarah maupun terjun ke lapangan. Selain itu, tokoh pemimpin SGT menggunakan gaya kepemimpinan konsultatif untuk menanyakan kebutuhan warga komunitas di dalam program dan mengetahui kondisi warga komunitas di lapangan. Gaya kepemimpinan konsultatif ini memberikan kesempatan kepada warga komunitas untuk memberi masukan dan keluhan kepada tokoh pemimpin SGT. Penerapan gaya kepemimpinan konsultatif oleh tokoh pemimpin SGT menekankan kesempatan bagi warga komunitas untuk berinteraksi secara langsung dengan tokoh pemimpin SGT. Hal ini dilakukan agar terciptanya kenyamanan dengan warga komunitas serta terpenuhinya kebutuhan warga komunitas.

(40)

pengambilan keputusan, tokoh pemimpin SGT menanyakan terlebih dahulu apakah air bersih dibutuhkan di lingkungan tersebut.

“Ditanya dulu ke warganya. Yah instalasi dari usaha warga juga. Jadi pas pemasangan suka nanya dia ‘mau gak nih (airnya)?’”(HSN, 47 tahun,responden)

Tokoh pemimpin SGT mengajak warga komunitas yang tinggal di lingkungan tersebut untuk bermusyawarah. Musyawarah dilakukan guna keputusan dalam program tidak hanya berasal dari usulan tokoh pemimpin SGT namun kesepakatan bersama-sama dengan warga komunitas, sehingga manfaat dari program dapat tepat sasaran dan memenuhi kebutuhan warga komunitas. Tokoh pemimpin SGT juga mengajak warga komunitas untuk membuat jalur air bersih di rumah-rumah warga agar bisa dijangkau sampai lingkungan itu.

Gaya Kepemimpinan Konsultatif

Gaya kepemimpinan konsultatif merupakan gaya kepemimpinan dari tokoh pemimpin dengan cara berkonsultasi kepada warga komunitas sebelum melaksanakan program. Hal ini dilakukan guna mempertimbangkan semua masukan atau usulan dari warga komunitas atau warga komunitas. Program air bersih PLPBK merupakan program pemberdayaan warga komunitas berbasis komunitas dimana warga komunitas menentukan sendiri kebutuhan apa yang paling mendesak untuk segera dipenuhi. Gaya kepemimpinan konsultatif dirasa perlu untuk dilakukan. Seorang tokoh pemimpin akan bias dalam mengetahui kebutuhan warga komunitasnya jika tidak berkonsultasi atau berdiskusi dengan warga komunitas terlebih dahulu. Hasil pada Tabel 7 telah menunjukkan gaya kepemimpinan konsultatif menjadi salah satu gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh tokoh pemimpin SGT dengan persentase sebesar 73.3 persen.

Pada pelaksanaannya, tokoh pemimpin SGT lebih banyak mengarahkan daripada memerintah. Warga komunitas diberikan kesempatan untuk berpendapat atau hanya sekedar memberikan masukan. Masukan yang disampaikan oleh warga komunitas ditampung dengan baik dan yang nantinya keputusan akhir tetap di tangan SGT. Tokoh pemimpin SGT juga sering menanyakan apa yang dibutuhkan para warga komunitas selama pelaksanaan program. Disinilah terjadi komunikasi dua arah antara pemimpin dan warga komunitas. Namun tidak semua warga komunitas dapat berinteraksi secara langsung dengan tokoh pemimpin SGT. Biasanya tokoh pemimpin SGT menanyakan kebutuhan yang belum terpenuhi dalam pelaksanaan program kepada perwakilan-perwakilan di setiap RT atau RW. Hal itu tentu tidak membatasi hubungan tokoh pemimpin SGT dengan para warga komunitas.

(41)

Gaya Kepemimpinan Delegatif

Gaya kepemimpinan delegatif termasuk pada kategori rendah dengan presentase sebesar 96.7 persen. Gaya kepemimpinan delegatif merupakan gaya kepemimpinan dimana tokoh pemimpin menyerahkan sepenuhnya pelaksanaan program kepada warga komunitas. Peran tokoh pemimpin menjadi pasif disebabkan berjalannya program sudah diserahkan kepada warga komunitas. Program air bersih PLPBK sendiri dilaksanakan di empat lokasi atau kampung yang membutuhkan. Hal ini membuat tokoh pemimpin SGT tidak mampu mengurusi semua lokasi pembangunan. Akhirnya tokoh pemimpin SGT beserta perwakilan setiap RT/RW menyekapati dibentuknya kepanitiaan dalam program. Namun selama pelaksanaan tidak sepenuhnya dilepaskan oleh SGT begitu saja.

“Emang SGT gak bisa mantauin semua, soalnya masang paralon, pipa itu dari gunung langsung dan di banyak lokasi. Jadi dibagi-bagi ke warga, diserahin juga tuh ke RT/RW buat ngurusin air ini. Tapi gak sepenuhnya SGT lepas tangan, dia bareng warga masang-masang.” (UPN, 46 tahun, responden)

Pernyataan diatas menunjukkan tokoh pemimpin SGT memang menyerahkan pelaksanaan program kepada warga komunitas. Akan tetapi, tidak sepenuhnya SGT lepas tangan dari pelaksanaan program. Tokoh pemimpin SGT juga tidak hanya sekedar memberikan saran tetapi ikut terjun ke lapangan juga. Tokoh pemimpin SGT dapat dikatakan tidak pasif selama program berlangsung. Pada pengambilan keputusan, tokoh pemimpin SGT memberikan wewenang kepada para warga komunitas untuk mengambil keputusan yang mereka perlukan saat program air bersih PLPBK berlangsung.

Gaya Kepemimpinan Instruktif

Gaya kepemimpinan instruktif merupakan gaya kepemimpinan yang dirasa warga komunitas tidak diterapkan oleh tokoh pemimpin SGT selama pelaksanaan program air bersih PLPBK. Seluruh responden atau warga komunitas masuk pada kategori rendah dalam penilaian gaya kepemimpinan instruktif. Pada gaya kepemimpinan ini, tokoh pemimpin mempengaruhi warga komunitas dengan cara memerintah tanpa adanya proses komunikasi dua arah antara pemimpin dan warga komunitas atau warga komunitas. Pemimpin membatasi berhubungan dengan warga komunitas dan cenderung hanya memerintah saja (top down).

“Dia orangnya gak sombong dek. Semua untuk warga. Gak pernah ngebatasi hubungan sama warganya.”(EN, 35 tahun, responden)

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran Peranan Pemimpin, Kohesi Sosial dan Keberhasilan Program Pemberdayaan Masyarakat di Pedesaan
Tabel 1. Pembagian lahan di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong tahun 2015
Tabel 3. Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan mata pencaharian tahun 2015
Tabel 4. Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara untuk mendapatkan suntikan modal adalah dengan melalui penarikan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) apabila persediaan tabungan di

muatan cinematherapy dengan kelompok yang tidak diberikan layanan informasi. dengan muatan cinematherapy, juga menghasilkan panduan

Hasil perhitungan kadar ALP secara statistik menunjukkan adanya pengaruh penggunaan deksametason terhadap tikus jika dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol.. Hal ini

Demikian, atas perhatian Saudara kami sampaikan terima

aspirasi atau dalam berperilaku.. Ringkasan Hasil Wawancara dengan Narasumber, Kategori, Pola dan Variabel berkenaan dengan Persoalan Penelitian

Novel ini menceritakan kisah realita kehidupan masyarakat menengah kebawah yang diwakili oleh tokoh utama dari novel tersebut yaitu Dinarsih dan Sudarmin. Dinarsih

[r]

Aplikasi ini dapat dijalankan di semua pemutar video yang mendukung file Flash seperti: Web Browser yang sudah terinstal Flash Player , ponsel dan komputer.. 5.2