FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
SKRIPSI
ANALISIS ECONOMIC VALUE ADDED (EVA) DALAM MENILAI KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PADA
PT. UNILEVER INDONESIA, TBK
OLEH:
NAMA : Z U L F A U Z I
NIM : 040503121
DEPARTEMEN : AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
“Analisis Economic Value Added (EVA) dalam Menilai Kinerja Keuangan Perusahaan pada PT. Unilever Indonesia, Tbk”
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan judul yang dimaksud belum pernah dimuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan Skripsi level program S-1 Reguler Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Semua sumber data informasi yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas, benar apa adanya dan apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Universitas.
Medan, 9 Juli 2008
Yang membuat pernyataan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kasih dan
karunia-Nya, serta senantiasa memberikan kesehatan, kemampuan, dan kekuatan
kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Analisis Economic Value Added (EVA) dalam Menilai Kinerja Keuangan Perusahaan pada PT. Unilever Indonesia, Tbk”.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda dan Ayahanda penulis yang
telah dengan susah payah membesarkan dan mendidik penulis sehingga penulis
bisa seperti sekarang ini.
Selama proses penyusunan Skripsi ini penulis banyak memperoleh
bimbingan, dorongan, semangat, nasehat, dan bantuan lain baik secara moril
maupun materil dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si., Ak., selaku Ketua Departemen Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc., Ak, selaku Sekretaris
Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Syahrul Rambe, SE, MM, Ak., selaku Dosen Pembimbing yang telah
5. Bapak M. Utama Nasution, SE, MM, Ak ., selaku Dosen Pembanding I yang
telah memberikan banyak masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.
6. Bapak Syahrurrahman, SE, Ak., selaku Dosen Pembanding II yang telah
banyak memberikan saran kepada penulis.
7. Bapak Drs. Sucipto, MM., selaku dosen Wali serta seluruh staf pengajar dan
pegawai FE-USU terutama Departemen Akuntansi yang telah mengajar dan
membimbing penulis selama perkuliahan.
8. Bapak Darmin, SE, MBA., terima kasih atas ilmu yang telah diajarkannya
dalam program Financial Quotient.
9. Keluargaku tercinta, Ibunda dan Ayahanda tercinta, adikku AL yang selalu
menemaniku nonton One Piece dan kalau malam suka buat nasi goreng,
adikku Ridha yang hobi banget buat kue, sepupuku yang lagi nakal-nakalnya,
Om Khalid yang baru dapet momongan (sukses ya Om), dan Om Edi yang
suka ngasi duit buat jajan.
10.Teman-teman seperjuangan Efendi (thanks ya Fen data BEInya), Ferriza yang
udah minjemin koleksi DVDnya, Jaka yang sering gua pinjem komiknya pas
lagi kuliah, Okta (Bro... makan KFC paket Attack nyok!), Martinus yang udah
ngajarin trik maen game Naruto, Rangga (Ketua GASU), Cicil (Ibu Negara),
Dani (Thanks Laptopnya ya Dan), Mul (Makasih atas saran-saran anehnya),
Ramli (Thanks Naruto Shimpuddennya bro), Yogi Marshal, Erni, Katrin,
Luga, Francisca, wah kayaknya masih banyak lagi, pokoknya semua temen-
11.Seniorku Adam yang udah ngebolehin download game PSP di rumahnya,
Dedi temen suka dan duka klo lagi nginep di rumah Adam, dan Faisal yang
hobi banget cari Saham di Internet.
12.Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Sebagai manusia yang selalu memiliki kekurangan, penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun bahasanya, karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Untuk itu dengan segala kerendahan hati,
penulis menerima setiap kritik yang membangun bagi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Medan, 9 Juli 2008
Penulis
ZULFAUZI
NIM. 040503121
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu 50
DAFTAR GAMBAR
ABSTRACT
The purpose of this research is to know the financial performance of PT. Unilever Indonesia, Tbk which is measured by Economic Value Added (EVA). Variable which is needed to compute The EVA are Net Profit After Tax (NOPAT), Cost of Capital (CoC), and Economic Value Added (EVA). EVA concept is different with another financial performance instruments. Because in computing EVA, Cost of Capital is included. That’s why accounting profitable company doesn’t mean it has positive EVA.
Data of this research are secondary data. They are documentation data during 2004 to 2006. This research is classified as descriptive research and replication to former research by using quantitative analysis technique.
The result indicates that PT. Unilever Indonesia, Tbk during 2004 to 2006 had gained value added for the company and its stock holders. The company had gained positive EVA and the value relatively increasing every year. In 2004 the EVA was Rp 794,279 billion, in 2005 it’s increasing significantly to Rp 1,171 trillion, and in 2006 the EVA was Rp 993,057 billion. This fact shows good financial performance of PT. Unilever Indonesia, Tbk by using The EVA concept.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja PT. Unilever Indonesia, Tbk dengan menggunakan alat ukur Economic Value Added (EVA). Variabel yang dihitung dalam memperoleh nilai EVA adalah Net Operating Profit After Tax (NOPAT) atau laba bersih setelah pajak, Cost of Capital (CoC) atau biaya modal dan Economic Value Added (EVA) atau nilai tambah ekonomis. Konsep EVA berbeda dengan alat ukur kinerja keuangan lainnya karena dalam penghitungan EVA biaya modal telah dikurangkan, sedangkan dengan alat ukur berdasarkan akuntansi, biaya modal diabaikan. Dengan demikian perusahaan yang berlaba secara akuntansi belum tentu memiliki nilai EVA yang positif.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara dokumentasi selama periode 2004-2006. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan teknik analisis kuantitatif dan merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya.
Berdasarkan hasil penelitian, PT. Unilever Indonesia, Tbk selama tahun 2004-2006 mampu menciptakan nilai tambah bagi perusahaan dan para pemegang sahamnya. Perusahaan ini berhasil mencapai nilai EVA yang positif, bahkan nilainya cenderung terus meningkat. Pada tahun 2004 nilai EVA perusahaan sebesar Rp 794,279 miliar, pada tahun 2005 meningkat tajam menjadi Rp 1,171 triliun, dan pada tahun 2006 terjadi sedikit penurunan menjadi Rp 993,057 miliar. Fakta ini menunjukkan kinerja keuangan PT. Unilever Indonesia, Tbk baik dengan menggunakan alat ukur EVA.
ABSTRACT
The purpose of this research is to know the financial performance of PT. Unilever Indonesia, Tbk which is measured by Economic Value Added (EVA). Variable which is needed to compute The EVA are Net Profit After Tax (NOPAT), Cost of Capital (CoC), and Economic Value Added (EVA). EVA concept is different with another financial performance instruments. Because in computing EVA, Cost of Capital is included. That’s why accounting profitable company doesn’t mean it has positive EVA.
Data of this research are secondary data. They are documentation data during 2004 to 2006. This research is classified as descriptive research and replication to former research by using quantitative analysis technique.
The result indicates that PT. Unilever Indonesia, Tbk during 2004 to 2006 had gained value added for the company and its stock holders. The company had gained positive EVA and the value relatively increasing every year. In 2004 the EVA was Rp 794,279 billion, in 2005 it’s increasing significantly to Rp 1,171 trillion, and in 2006 the EVA was Rp 993,057 billion. This fact shows good financial performance of PT. Unilever Indonesia, Tbk by using The EVA concept.
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja PT. Unilever Indonesia, Tbk dengan menggunakan alat ukur Economic Value Added (EVA). Variabel yang dihitung dalam memperoleh nilai EVA adalah Net Operating Profit After Tax (NOPAT) atau laba bersih setelah pajak, Cost of Capital (CoC) atau biaya modal dan Economic Value Added (EVA) atau nilai tambah ekonomis. Konsep EVA berbeda dengan alat ukur kinerja keuangan lainnya karena dalam penghitungan EVA biaya modal telah dikurangkan, sedangkan dengan alat ukur berdasarkan akuntansi, biaya modal diabaikan. Dengan demikian perusahaan yang berlaba secara akuntansi belum tentu memiliki nilai EVA yang positif.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara dokumentasi selama periode 2004-2006. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan teknik analisis kuantitatif dan merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya.
Berdasarkan hasil penelitian, PT. Unilever Indonesia, Tbk selama tahun 2004-2006 mampu menciptakan nilai tambah bagi perusahaan dan para pemegang sahamnya. Perusahaan ini berhasil mencapai nilai EVA yang positif, bahkan nilainya cenderung terus meningkat. Pada tahun 2004 nilai EVA perusahaan sebesar Rp 794,279 miliar, pada tahun 2005 meningkat tajam menjadi Rp 1,171 triliun, dan pada tahun 2006 terjadi sedikit penurunan menjadi Rp 993,057 miliar. Fakta ini menunjukkan kinerja keuangan PT. Unilever Indonesia, Tbk baik dengan menggunakan alat ukur EVA.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perusahaan merupakan suatu unit kegiatan produksi yang mengelola
sumber-sumber ekonomi untuk menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan agar dapat memuaskan
kebutuhan masyarakat. Perusahaan bertugas mengolah sumber-sumber ekonomi
atau sering disebut faktor-faktor produksi.
Tujuan utama didirikan perusahaan selaku entitas bisnis adalah
mendapatkan keuntungan yang digunakan untuk kelangsungan usaha. Modal
merupakan salah satu faktor yang dominan dalam kelangsungan usaha
perusahaan, dan modal disetor oleh investor dalam hal ini para pemegang saham.
Untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam mengelola modal yang disetor
oleh para investor dalam rangka kemajuan perusahaan, perlu adanya pengukuran
terhadap kinerja perusahaan. Berbagai aspek perlu dipertimbangkan dalam
pengukuran kinerja ini, terutama harapan dari pihak-pihak yang menginvestasikan
dananya. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana perusahaan mampu mengelola
dana yang berasal dari investor atau pemegang saham, dengan menilai dari
seberapa besar capital gain yang dapat dihasilkan oleh perusahaan. Semakin
tinggi tingkat capital gain yang diberikan oleh perusahaan kepada investor maka
efek. Kondisi ini biasanya terjadi pada perusahaan yang go public atau Perusahaan
Terbuka (Tbk), yang menjual saham di pasar modal atau bursa efek.
Perusahaan go public adalah perusahaan yang sudah menjual sahamnya ke
masyarakat umum. Go public merupakan proses timbal balik antara perusahaan
yang membutuhkan modal untuk meningkatkan kegiatan usahanya dengan
pemodal yang akan menanamkan modalnya kepada perusahaan. Dengan go
public, pemodal akan mempunyai kesempatan untuk menanamkan modalnya
dengan prospek hasil dan ikut menentukan kebijakan pengelolaan perusahaan
tersebut.
Selanjutnya, selain mempengaruhi persepsi investor terhadap kinerja
perusahaan, kinerja keuangan perusahaan dapat mempengaruhi harga saham
perusahaan di pasar modal. Harga saham merupakan ukuran indeks prestasi
perusahaan, yaitu seberapa jauh manajemen perusahaan telah berhasil mengelola
perusahaan atas nama para pemegang saham sehingga kekuatan pasar di bursa
ditunjukkan dengan adanya transaksi jual beli saham perusahaan tersebut di pasar
modal. Terjadinya transaksi jual beli tersebut didasarkan pada pengamatan para
investor terhadap kinerja perusahaan sehingga pada umumnya perusahaan yang
diketahui mempunyai kinerja yang bagus akan mempunyai prospek kenaikan
harga saham dengan cepat.
Tujuan yang ingin dicapai oleh para pemegang saham adalah untuk
memperoleh keuntungan dari kepemilikan saham berupa dividen kas (yaitu
pembagian sebagian laba perusahaan kepada para pemegang saham) atau capital
Dengan mempertimbangkan kinerja perusahaan para pemegang saham yang tidak
puas terhadap kinerja perusahaan akan menjual sahamnya dan menanamkannya
pada perusahaan lain.
Menurut Warsono (2003:24), ”ada lima macam alat ukur atau metode yang
bisa digunakan untuk mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan, yaitu
Analisis Rasio Keuangan, Analisis Rasio Keuangan yang Dimodifikasi, Analisis
EVA, Analisis CAMEL, dan Analisis Balance Score Card (BSC)”. Manajemen
dapat memilih metode yang paling sesuai untuk diterapkan di perusahaannya.
Kelima metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Jenis yang lazim yang dikenal dan digunakan oleh perusahaan adalah
Analisis Rasio Keuangan. Analisis ini dapat menjawab berbagai pertanyaan
mengenai keadaan keuangan perusahaan. Perhitungan rasio keuangan ini relatif
sederhana, selama data yang dibutuhkan lengkap/tersedia. Ada dua macam
standar rasio yang digunakan, yaitu rasio yang sama dari laporan keuangan dari
tahun-tahun yang lampau dan rasio dari perusahaan lain yang sejenis, atau disebut
dengan rata-rata rasio industri. Metode analisis ini sangat bergantung pada data
dan informasi akuntansi, yang berarti bergantung pula pada metode atau
perlakuan akuntansi yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan
perusahaan. Manajemen sebagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap
perusahaan, memiliki kontrol untuk memilih metode akuntansi yang yang dipakai.
Pemakaian metode akuntansi yang berbeda akan menghasilkan informasi yang
berbeda pula. Misalnya pemilihan metode penyusutan, metode penilaian
Akibatnya seringkali kinerja perusahaan terlihat baik dan meningkat yang diukur
dari perolehan laba akuntansi (accounting profit), padahal mungkin saja kinerja
yang sebenarnya tidak meningkat, bahkan kemungkinan menurun. Hal ini
menyebabkan Analisis Laporan Keuangan yang terutama terfokus pada laba
akuntansi dapat menjadi bias.
Kemudian, disadari bahwa rasio keuangan sebagai alat pengukuran kinerja
ini mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan utamanya adalah bahwa rasio
keuangan tersebut mengabaikan adanya biaya modal sehingga sulit untuk
mengetahui apakah perusahaan telah menciptakan nilai atau tidak. Selain itu,
dalam menganalisis setiap rasio di atas, angka-angka yang diperoleh dari
perhitungan tidak bisa berdiri sendiri. Rasio-rasio tersebut akan berarti bila
setidaknya satu dari dua hal berikut ini bisa terpenuhi, yaitu adanya perbandingan
dengan perusahaan sejenis yang mempunyai tingkat risiko yang hampir sama dan
juga harus diadakan analisis kecendrungan (trend) dari setiap rasio terhadap
rasio-rasio sebelumnya.
Mengingat keterbatasan analisis rasio keuangan tersebut sebagai alat
pengukur kinerja keuangan tersebut sebagai alat pengukur kinerja keuangan
perusahaan, maka ada pendekatan konsep baru yang disebut dengan Economic
Value Added (EVA). Konsep Economic Value Added adalah pengukuran kinerja
perusahaan harus mempertimbangkan harapan pada penyandang dana secara adil
dengan mempertimbangkan biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted Average
Cost of Capital, WACC). Dengan perhitungan Economic Value Added, investor
dapat mendukung penyajian laporan keuangan sehingga dapat mempermudah para
pemakai laporan keuangan dalam melakukan analisis terhadap kinerja perusahaan
dalam rangka pembuatan keputusan untuk berinvestasi.
Banyak perusahaan beralih pada pengukuran kinerja yang lebih menekankan
pada nilai/value (Value Based management) dan salah satunya adalah EVA atau
nilai tambah eknomis. Menurut Pradhono (2004:141),” VBM memiliki dua elemen
kunci. Pertama penciptaan nilai bagi pemegang saham (shareholders Value)
sebagai ukuran kinerja internal perusahaan yang mampu memotivasi manajemen
mengejar tujuan perusahaan”.
Konsep EVA secara sederhana menyatakan bahwa kinerja keuangan
dikatakan baik apabila berhasil memperoleh laba di atas semua biaya modalnya
(cost of capital). Secara matematis, EVA dihitung dari laba setelah pajak dikurangi
dengan cost of capital tahunan. Inilah perbedaan yang nyata antara laba akuntansi
dengan laba secara EVA karena pada laba akuntansi, biaya modal belum
dikurangkan. Sementara dengan metode EVA, laba telah dikurangi dengan biaya
modal yang meliputi biaya utang dan biaya ekuitas.
EVA adalah alat ukur yang paling sesuai untuk mengukur kinerja yang
berkaitan langsung dengan kemakmuran pemegang saham sepanjang waktu,
karena EVA mempertimbangkan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh
pemegang saham. Tingkat pengembalian (return) yang diharapkan oleh para
pemegang saham adalah merupakan biaya bagi perusahaan, karena para
pemegang saham juga mendapatkan hasil atau keuntungan jika mereka melakukan
cost). dan EVA telah memperhitungkannya, sehingga dihasilkanlah laba ekonomis
atau economic profit. Laba ekonomis adalah laba yang sebenarnya dari sebuah
perusahaan, karena telah memperhitungkan semua komponen biaya yang
dikeluarkan untuk menghasilkan laba tersebut.
Dengan perhitungan biaya modal pada metode EVA, para penyandang dana
akan mengetahui dan dapat memilih investasi yang paling tepat. Dana yang ada
dapat digunakan dengan optimal, sehingga nilai perusahaan akan terus meningkat,
berarti kekayaan atau kemakmuran para pemegang saham juga meningkat. Dana
kemakmuran pemegang saham ini tercermin dari peningkatan harga saham yang
dimilikinya. Jadi jelas bahwa penggunaan metode EVA dalam penilaian kinerja
keuangan perusahaan berkaitan langsung dengan kemakmuran para pemegang
saham sepanjang waktu.
Dengan perhitungan biaya modal dalam metode EVA, maka meskipun
perusahaan secara akuntansi dinyatakan berlaba, belum tentu memiliki nilai EVA
yang positif. Jika EVA positif, berarti perusahaan berlaba secara ekonomis,
mampu menutupi semua komponen biaya yang dikeluarkan serta kinerja
keuangan bagus.
Konsep EVA secara sederhana dapat dinyatakan sebagai ukuran perhitungan
riil dari operasi perusahaan. EVA diperoleh dari laba operasi bersih sesudah pajak
(NOPAT) dikurangi biaya modal (cost of capital), yaitu jumlah dana yang tersedia
bagi perusahaan yang merupakan jumlah dari total utang dan modal saham
Perusahaan yang akan diteliti oleh penulis adalah PT. Unilever Indonesia,
Tbk. Perusahaan ini bergerak di bidang barang konsumsi. Perusahaan bergerak
dalam bidang produksi sabun, deterjen, margarin, minyak sayur dan makanan
yang terbuat dari susu, es krim, makanan ringan dan minuman dari teh, dan
produk-produk kosmetik.
Dalam laporan keuangan tahunan PT. Unilever Indonesia,Tbk penulis tidak
menemui perhitungan EVA perusahaan tersebut. PT. Unilever Indonesia, Tbk
hanya mencantumkan perhitungan rasio-rasio keuangan. Dari segi net income, PT.
Unilever Indonesia, Tbk menunjukkan kecendrungan meningkat dari tahun ke
tahun. Dari fakta ini secara akuntansi perusahaan tersebut berlaba dan memenuhi
ekspektasi stakeholders. Apakah laba yang terus meningkat itu diimbangi dengan
kenaikan EVA? Sebagaimana kita tahu laba akuntansi tidak lepas dari
distorsi-distorsi akuntansi seperti metode penyusutan, pengakuan pendapatan, estimasi,
dan lain sebagainya.
Penulis mengamati bahwa pergerakan harga saham PT. Unilever Indonesia,
Tbk sangat baik. Perusahaan ini juga cukup rajin membayar dividen. Disamping
itu perusahaan ini juga melaksanakan dua kali stock split, yaitu:
1. Pada 6 November 2000, stock split 1:10. Artinya satu lembar saham dipecah
menjadi 10 saham dan nilai nominal menjadi sepersepuluhnya yaitu Rp 100
2. Pada 3 September 2003, stock split 1:10. Berarti nilai nominal saham tersebut
menjadi Rp 10 per lembar. Sebelum di pecah harga pasar saham UNVR (kode
PT. Unilever Indonesia, Tbk pada Bursa Efek Indonesia) Rp 27.800 per
Pada Desember 2006 saham UNVR ditutup pada harga Rp 6.600 per
lembar. Bila tidak terjadi stock split maka pada akhir Desember 2006 harga saham
UNVR setidaknya Rp 6.600 x 100 yaitu Rp 660.000 per lembar. Harga yang
cukup fantastis mengingat nilai nominalnya Rp 1000 per lembar dan dijual pada
saat IPO Rp 3.175 per lembar. Dari prestasi ini, penulis tertarik untuk
menganalisis kinerja keuangan PT. Unilever Indonesia, Tbk dengan alat ukur
EVA.
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, diketahui bahwa
perusahaan yang berlaba secara akuntansi belum tentu berlaba secara ekonomis
atau memiliki nilai EVA yang positif. Kinerja keuangan yang baik dengan analisis
rasio keuangan belum tentu baik dengan analisis EVA. Kedua alasan ini telah
menarik penulis untuk membahas konsep EVA ini lebih lanjut dalam sebuah
skripsi dengan judul
“Analisis Economic Value Added (EVA) dalam Menilai Kinerja
Keuangan Perusahaan pada PT. Unilever Indonesia, Tbk”
B. Perumusan dan Batasan Masalah
1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
”Bagaimana Kinerja Keuangan PT. Unilever Indonesia, Tbk selama Tahun
2. Batasan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah, penulis membatasi masalah sebagai
berikut :
1. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan
perusahaan PT. Unilever Tbk adalah Economic Value Added.
2. Data yang digunakan berdasarkan laporan keuangan PT. Unilever
Indonesia, Tbk dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja keuangan PT. Unilever Indonesia,
Tbk dengan alat ukur EVA
2. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang ilmu ekonomi,
terutama di bidang analisis kinerja keuangan perusahaan melalui alat
analisis Economic Value Added (EVA) serta bagaimana menggunakan
EVA sebagai alat untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan.
Dengan adanya penelitian ini akan membantu pihak perusahaan untuk
memahami bagaimana mengevaluasi kinerja bisnis yang
mempertimbangkan tujuan investor pada umumnya.
3. Bagi Investor
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada investor
maupun calon investor untuk mengambil keputusan dalam menanamkan
modalnya di perusahaan.
4. Bagi Perguruan Tinggi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan
D. Kerangka Konseptual
Gambar 1.1
PT. Unilever Indonesia, Tbk
Laporan Keuangan Perusahaan
Analisis EVA
Kinerja Keuangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Laporan Keuangan
Laporan keuangan bagi suatu perusahaan merupakan hasil akhir dari
pekerjaan bagian pembukuan. Selanjutnya laporan keuangan tersebut digunakan
untuk menentukan atau menilai posisi keuangan perusahaan tersebut, dimana
dengan hasil analisis tersebut pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengambil
keputusan. Dengan demikian untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan serta
hasil-hasil yang telah dicapai oleh perusahaan diperlukan adanya laporan
keuangan dari perusahaan bersangkutan.
Pengertian laporan keuangan menurut SAK no.1 (2002:2) adalah:
Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya sebagai arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga.
Menurut Munawir (2000:2) menyatakan bahwa “Laporan keuangan adalah
hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk
berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan
pihak-pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut.”
Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi atau suatu
perusahaan. Dalam proses ini diidentifikasikan berbagai transaksi atau peristiwa
yang merupakan aktivitas ekonomi perusahaan yang dilakukan melalui
pengukuran, pencatatan, penggolongan dan pengikhtisaran sedemikian rupa
sehingga hanya informasi yang relevan dan saling berhubungan satu dengan yang
lainnya mampu memberikan gambaran secara layak tentang keadaan keuangan
perusahaan.
1. Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan dibuatnya laporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi
yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu
perusahaan yang bermanfaat bagi para pemakai laporan keuangan dalam
mengambil keputusan.
Menurut Mamduh (2004:79) tujuan laporan keuangan adalah sebagai
berikut:
a. Menyajikan informasi sebagai dasar untuk pengambilan keputusan b. Memberikan informasi yang bermanfaat untuk pemakai eksternal
untuk memperkirakan jumlah, waktu, dan ketidakpastian (yang berarti risiko) penerimaan kas yang berkaitan .
c. Memberikan informasi yang bermanfaat untuk membantu pihak eksternal untuk memperkirakan jumlah, waktu, dan ketidak pastian aliran kas masuk bersih perusahaan.
d. Memberikan informasi mengenai sumber daya ekonomi perusahaan dan klaim-klaim atas sumber daya tersebut yang meliputi: hutang dan modal saham.
e. Memberikan informasi mengenai prestasi perusahaan selama periode tertentu untuk membantu pihak eksternal menetukan harapannya (expectation) mengenai prestasi perusahaan pada masa-masa mendatang. Atau dengan kata lain memberikan informasi mengenai pendapatan dan komponen-komponennya.
permodalan termasuk dividen yang dibayarkan dan mengenai faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi likuiditas perusahaan.
2. Manfaat Laporan Keuangan
Manfaat laporan keuangan berdasarkan pihak penggunanya dapat dibagi dua
yaitu:
a. Manfaat internal dari hasil interpretasi laporan keuangan dapat berupa
tingkat kesehatan keuangan perusahaan untuk pemilik perusahaan, kondisi
kesehatan keuangan perusahaan dibandingkan dengan perusahaan saingan,
efektivitas manajemen dalam pengoperasian dan lain sebagainya tingkat
kesehatan keuangan perusahaan dapat diketahui melalui analisis atau
interpretasi terhadap laporan keuangan. Dari hasil analisis tersebut dapat
diketahui potensi-potensi dan kelemahan-kelemahan yang dimiliki
perusahaan sehingga pihak-pihak internal yang berkepentingan dengan
perusahaan dapat mempergunakannya sebagai pertimbangan dalam
pengabilan keputusan.
b. Manfaat eksternal dari hasil interpretasi laporan keuangan misalnya bagi
investor, untuk membantu pengambilan keputusan untuk menanamkan atau
menarik modalnya pada perusahaan sedangkan bagi kreditur untuk
membantu dalam pengambilan keputusan dalam hal pemberian pengamana
B. Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan perusahaan adalah sampai sejauh mana prestasi
peningkatan posisi kesehatan atau performance dari nilai perusahaan yang diukur
melalui laporan keuangan baik melalui neraca, maupun laporan laba rugi yang
dibutuhkan oleh pihak-pihak tertentu.
Bagi pihak investor, informasi mengenai kinerja perusahaan dapat
digunakan untuk melihat apakah mereka akan mempertahankan investasi mereka
di perusahaan tersebut atau harus mencari alternative investasi lain. Selain itu,
kinerja juga memperlihatkan kepada penanam modal maupun pelanggan atau
masyarakat secara umum bahwa perusahaan memiliki kredibilitas yang baik.
Kinerja perlu diukur, dievaluasi untuk menentukan sejauh mana
keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuan tertentu. Dua aspek yang sering
digunakan dalam menilai kinerja adalah efisiensi dan efektivitas. Efisiensi
menggambarkan hubungan antara input dan output, sedangkan efektivitas
mencerminkan hubungan output pada suatu tujuan tertentu.
Pengukuran kinerja merupakan kunci penting dalam infrastruktur organisasi.
Istilah tersebut mencakup suatu set kebijakan organisasional, sistem dan praktek
yang mengkoordinasi tindakan serta transfer informasi untuk mendukung seluruh
siklus manajemen. Manajemen menggunakan sistem pengukuran sebagai
1. Alat Ukur Penilaian Kinerja
Salah satu langkah di dalam tahap persiapan penilaian kinerja adalah
menentukan kriteria penilaian yang dibuat untuk para mananjer perusahaan.
Menurut Warsono (2003:24), “ Analisis laporan keuangan merupakan analisis
dengan menggunakan laporan keuangan dan informasi keuangan lainnya untuk
mengatahui posisi dan kinerja keuangan serta menilai kinerja keuangan di masa
depan”. Analisis laporan keuangan dapat menggunakan beberapa alat ukur yang
disesuaikan dengan kondisi perusahaan, seperti:
a. Analisis Rasio Keuangan
b. Analisis Laporan Keuangan yang dimodifikasi
c. Economic Value Added (EVA)
d. Analisis CAMEL
e. Balanced Scorecard
Pengukuran kinerja keuangan perusahaan bergantung pada sudut pandang
yang diambil dan tujuan analisis. Tujuan umum penilaian kinerja perusahaan
adalah untuk mengevaluasi perubahan-perubahan atas sumber daya yang dimiliki
perusahaan.
Rudianto (2006:313) terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja secara kuantitatif yaitu :
a. Kriteria tunggal, yaitu ukuran penilaian kinerja yang hanya menggunakan suatu patokan saja. Misalnya, jumlah penjualan bagi manajer pemasaran, volume produksi bagi manajer produksi, dan sebagainya. Kelemahan dari motode ini adalah diabaikannya ukuran kinerja lainnya, seperti mutu produksi, dan pemeliharaan peralatan bagi manajer produksi.
beragam adalah supaya manajer divisi mengarahkan kinerjanya pada berbagai ukuran kinerja seperti profitabilitas, pangsa pasar, pengembangan karyawan, tanggungjawab masyarakat dan sebagainya. Masing-masing ukuran diberikan penilaian yang tersendiri dan terpisah.
c. Kriteria gabungan, yaitu ukuran penilaian kinerja dengan menggunakan metode penilaian gabungan antara beberapa ukuran seperti profitabilitas dan pangsa pasar untuk manajer pemasaran. Bobot kinerja profitabilitas ditetapkan sebesar 4 dan pangsa pasar sebesar 6. Dengan ukuran nilai 80 untuk profitabilitas dan 70 untuk pangsa pasar maka masing-masing nilai dikalikan dengan bobotnya, dan kemudian dijumlahkan sebagai dasar penilaina keseluruhan
Adapun kriteria yang digunakan perusahaan di dalam menilai kinerja para
manajernya, sebaiknya hal tersebut dipahami dan disepakati dengan baik oleh
seluruh anggota organisasi yang terlibat.
2. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam
proses perencanaan dan pengendalian. Melalui pengukuran kinerja, perusahaan
dapat melakukan perencanaan serta memilih strategi yang akan dilaksanakan
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Secara umum, tujuan suatu perusahaan dalam mengadakan pengukuran
kinerja adalah sebagai berikut:
a. Menentukan kontribusi masing-masing divisi atau perusahaan secara
keseluruhan atau atas kontribusi masing-masing sub divisi dari suatu divisi
(evaluasi ekonomi atau evaluasi segmen).
b. Memberikan daftar untuk mengevaluasi kualitas kerja masing-masing
c. Memotivasi para manajer divisi supaya konsisten mengoperasikan
divisinya sehingga sesuai dengan tujuan pokok perusahaan (evaluasi
operasi).
Penilaian kinerja pada suatu organisasi sebaiknya menjadi syarat mutlak
bagi penempatan sumber daya ketika akan melaksanakan kegiatan baru,
memperhitungkan pendapatan dan biaya serta investasi suatu proyek.
Menurut Mulyadi (2001:415), penilaian kinerja dimanfaatkan oleh
manajemen untuk:
a. Mengelola organisasi secara efektif dan efisien melalui memotivasi karyawan secara maksimal.
b. Membantu pengambilan keputusan yang berhubungan dengan karyawan seperti promosi, transfer dan pemberhentian.
c. Menidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
d. Menyediakan umpan balik bagi karyawan bagaimana atasan menilai kinerja mereka.
e. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.
3. Tahapan Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja dilaksanakan dalam dua tahap utama, yaitu tahap persiapan
dan tahap penilaian.
Tahap persiapan terdiri dari:
a. Penentuan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang
bertanggungjawab.
b. Penetapan kriteria yang dipakai untuk mengukur kinerja.
Sedangkan tahap penilaian terdiri dari:
a. Pembandingan kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan
sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya.
b. Penentuan penyebab timbulnya penyimpangan kinerja sesungguhnya dari
yang ditetapkan dalam standar.
c. Penegakan perilaku yang diinginkan dan tindakan yang digunakan untuk
mencegah perilaku yang tidak diharapakan.
Pembahasan berikutnya adalah kinerja keuangan perusahaan, maka
persiapan penilaian kinerja dilakukan pada saat pertanggungjawaban laporan
keuangan.
C. Economic Value Added (EVA)
Menurut Stewart III (1990:118), pencetus EVA pertama kali, mendefinisikan
EVA sebagai berikut:
EVA is a residual income measure that substracts the cost of capital from the operating profits generated in the business. It’s measure to account properly for all of the ways in which corporate value may be added or lost. EVA will increase if operating profit can be made to grow without tying up any more capital, if new capital is diverted or liquidated from business activities that do not cover their cost of capital.
Definisi EVA menurut Dess (1996:12) adalah “EVA or the wealth a firm’s
creates fork’s owners is simply the traditional financial measure of after tax
operating profits minus the total cost of capital”.
Menurut Rudianto (2006:340), “EVA adalah suatu sistem manajemen
keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang
memenuhi semua biaya operasi (operating cost) dan biaya modal (cost of capital).
Hansen (2005:829) menyatakan bahwa “ nilai tambah ekonomi (EVA) merupakan
laba operasi setelah pajak dikurang total biaya modal”.
Menurut Young (2001:32) “EVA merupakan suatu aliran, sebab ia
mengukur laba dan semua pengukuran laba merupakan aliran”.
Laba ekonomis menurut Young (2001:95) “adalah laba yang diperoleh dari
suatu tindakan ekonomis bertentangan dengan perspektif akuntansi yang
mensyaratkan perusahaan dapat menetapkan tidak hanya biaya operasi tetapi juga
biaya modal”. Perbedaan utama EVA dengan pengukuran laba konvensional
adalah:
1. Menurut Young (2001:32),” EVA merupakan laba ekonomi kebalikan dari
laba akuntansi”.
2. Menurut Brigham (2006:96),” EVA memperhitungkan pengurangan biaya
modal, sedangkan pengukuran laba konvensional tidak
memperhitungkannya”.
3. Menurut Djawahir (2005:30):
EVA memasukkan semua investasi baik berwujud maupun tidak berwujud dalam neraca, sedangkan para akuntan menghapus investasi tidak berwujud pada tahun tertentu dengan pencatatan sebagai biaya bukan sebagai asset atau dalam EVA dilakukan juga penyesuaian akuntansi seperti akuntansi upaya berhasil (successful efforts accountants), penelitian dan pengembangan (R&D), pajak yang ditangguhkan, depresiasi goodwill, dan lain-lain yang ditujukan untuk perhitungan yang lebih akurat jika penyesuaian-penyesuaian tersebut materil.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa EVA
atau dengan kata lain EVA merupakan pengukuran pendapatan sisa (residual
income) yang mengurangi biaya modal terhadap laba operasi. EVA ditentukan
oleh dua hal yaitu laba bersih setelah pajak dan tingkat biaya modal. Laba operasi
setelah pajak menggambarkan hasil penciptaan value dalam perusahaan,
sedangkan biaya modal dapat diartikan sebagai pengorbanan yang dikeluarkan
dalam penciptaan value tersebut.
1. Sejarah Economic Value Added (EVA)
Gagasan mengenai EVA telah lama ada, pada tahun 1920-an, Alfred Sloan
melaksanakan sistem seperti EVA (mengurangi biaya modal dari laba yang
diperoleh) untuk divisi operai GM. Matsushita menciptakan sistem serupa pada
tahun 1930-an sebagaimana halnya GE pada tahun 1950. pada zaman tersebut
disebut dengan pendapatan residual (residual income) atau laba ekonomi
(economic profit). Konsep EVA pertama kali diperkenalkan oleh Gorge Bennet
Stewart III, salah seorang managing partner dari sebuah parusahaan konsultan
management terkemuka yaitu Stern Stewart and Company yang berkantor pusat di
New York yang termuat dalam bukunya yang berjudul “The Quest for Value”
pada tahun 1980.
Perusahaan pertama yang sukses menerapkan EVA adalah Coca Cola
Company pada tahun 1990. Berkat penerapan EVA perusahaan tersebut dapat
meningkatkan efisiensi operasi sehingga harga sahamnya naik dari US$ 3 menjadi
US$ 42 atau naik sebesar 14 kali lipat. Tahun 1995 perusahaan SPX juga
sebelumnya mengalami kinerja buruk selama bertahun-tahun dengan laba rendah,
berubah menjadi pencipta nilai yang tinggi. Tahun 1996 perusahaan tersebut
berhasil mencetak EVA sebesar US$ 27 juta. Kemudian pada tahun 1998
meningkat menjadi US$ 60 juta dan tahun 1999 naik lagi menjadi US$ 130.
perusahaan ini berhasil memperbaiki kinerja dengan menerapkan konsep EVA.
EVA banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat.
Beberapa diantaranya yaitu Briggs and Statton, AT&T, CSX, Quaker Oats
(Nasser 2003:25). Di Indonesia konsep EVA juga telah diterapkan oleh beberapa
perusahaan untuk menilai kinerja manajemennya. Perusahaan yang pertama kali
menerapkan EVA di Indonesia adalah PT. United Tractors, Tbk pada tahun 1996.
2. Elemen-elemen EVA
a. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Bodie (2005) menjelaskan bahwa Capital Asset Pricing Model (CAPM)
merupakan hasil utama dari ekonomi keuangan modern. Capital Asset Pricing
Model (CAPM) memberikan prediksi yang tepat antara hubungan risiko sebuah
aset dan tingkat harapan pengembalian (expected return). Walaupun Capital Asset
Pricing Model belum dapat dibuktikan secara empiris, Capital Asset Pricing
Model sudah luas digunakan karena Capital Asset Pricing Model akurasi yang
cukup pada aplikasi penting.
Capital Asset Pricing Model mengasumsikan bahwa para investor adalah
perencana pada suatu periode tunggal yang memiliki persepsi yang sama
Capital Asset Pricing Model juga mengasumsikan bahwa pasar saham yang ideal
adalah pasar saham yang besar, dan para investor adalah para price-takers, tidak
ada pajak maupun biaya transaksi, semua aset dapat diperdagangkan secara
umum, dan para investor dapat meminjam maupun meminjamkan pada jumlah
yang tidak terbatas pada tingkat suku bunga tetap yang tidak berisiko (fixed risk
free rate). Dengan asumsi ini, semua investor memiliki portofolio yang risikonya
identik. Capital Asset Pricing Model menyatakan bahwa dalam keadaan
ekuilibrium, portofolio pasar adalah tangensial dari rata-rata varians portofolio.
Sehingga strategi yang efisien adalah passive strategy. Capital Asset Pricing
Model berimplikasi bahwa premium risiko dari sembarang aset individu atau
portofolio adalah hasil kali dari risk premium pada portofolio pasar dan koefisien
beta.
Keinginan utama dari investor adalah meminimalkan risiko dan
meningkatkan perolehan (minimize risk and maximize return). Asumsi umum
bahwa investor individu yang rasional adalah seorang yang tidak menyukai risiko
(risk aversive), sehingga investasi yang berisiko harus dapat menawarkan tingkat
perolehan yang tinggi (higher rates of return), oleh karena itu investor sangat
membutuhkan informasi mengenai risiko dan pengembalian yang diinginkan.
Capital Asset Pricing Model (CAPM) mencoba untuk menjelaskan
hubungan antara risk dan return. Dalam penilaian mengenai risiko biasanya
saham biasa digolongkan sebagai investasi yang berisiko. Risiko sendiri berarti
(possibility), sedangkan derajat risiko (degree of risk) adalah jumlah dari
kemungkinan fluktuasi (amount of potential fluctuation).
Saham berisiko dapat dikombinasi dalam sebuah portfolio menjadi investasi
yang lebih rendah risiko daripada saham biasa tunggal. Diversifikasi akan
mengurangi risiko sistematis (systematic risk), tetapi tidak dapat mengurangi
risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk). Unsystematic risk adalah bagian
dari risiko yang tidak umum dalam sebuah perusahaan yang dapat dipisahkan.
Systematic risksystematic risk adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan yang
berhubungan dengan seluruh pergerakan pasar saham dan tidak dapat dihindari.
Informasi keuangan mengenai sebuah perusahaan dapat membantu dalam
menentukan jumlah
Investor biasanya menghindari risiko, investor menginginkan perolehan
tambahan (additional returns) untuk menanggung risiko tambahan (additional
risks). Saham berisiko tinggi (High-risk securities) harus mempunyai harga yang
menghasilkan perolehan lebih tinggi daripada perolehan yang diharapkan dari
saham berisiko lebih rendah
b. Net Operating Profit After Tax (NOPAT)
Menurut Stewart III (1991:86) Net Operating Profit After Tax (NOPAT)
didefenisikan sebagai berikut: “NOPAT is the profit derived from company’s after
taxes but before financing cost and non cash-book-keeping entries. As such,
NOPAT also is the total poll of profits available to provide a cash return to all
Peak (2001:6) menjelaskan NOPAT sebagai Net Operating Income
(NOI),”NOI is the amount of money generated exclusively from operation.” Peak
menjelaskan bahwa Net Operating Income adalah jumlah uang yang khusus atau
hanya dihasilkan dari operasi utama perusahaan, tanpa ada tambahan lainnya yang
sifatnya tidak rutin seperti penjualan asset.
Dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa laba bersih dari operasi
setelah pajak atau NOPAT adalah laba yang didapatkan dari operasi perusahaan
setelah pajak tetapi belum membiayai biaya-biaya (costs) dan memasukkan
pembukuan yang bukan tunai. Dengan demikian, NOPAT adalah jumlah laba yang
tersedia untuk memberikan pengembalian (return) tunai kepada penyedia dana
untuk modal perusahaan.
c. Capital dan Invested Capital
Dalam konsep EVA, nilai capital terdiri atas ekuitas (nilai buku ekuitas dan
cadangan) ditambah utang berbunga (interest bearing debt) yang diambil dari
pasiva neraca (tidak termasuk utang dagang dan biaya terutang; accrued
expenses).
Menurut Sartono (2001:101), “Invested capital merupakan hasil reorganisasi
neraca untuk melihat besarnya capital yang diinvestasikan dalam perusahaan oleh
kreditor dan pemodal”. Dilihat dari segi investor, jumlah modal yang ditanamkan
mengidikasikan besarnya nilai yang ditanam oleh investor di dalam perusahaan
Semakin besar jumlah yang diinvestasikan, semakin besar pula tingkat
pengembalian yang diharapkan oleh investor.
d. Rate of Return (r)
Menurut Stewart III (1991:85) yang dimaksud dengan rate of return (r)
dalam konsep EVA adalah,”Rate of return is the return that should be used to
assets corporate performance. Computed by dividing a firm’s net operating profit
after tax (NOPAT) by the total capital employed in operating.” Dari defenisi ini,
rate of return dihitung dengan cara membagi laba operasi perusahaan setelah
pajak (NOPAT) dengan total modal yang digunakan dalam operasi perusahaan.
Rate of return ini mengukur produktivitas modal yang digunakan tanpa
memandang metode pembiayaan dan terbebas dari distorsi akuntansi yang timbul
dari pencatatan akuntansi akrual, dan kecenderungan untuk menilai modal terlalu
rendah. Rumusnya adalah sebagai berikut
e. Biaya Modal (Cost of Capital)
Konsep cost of capital dimaksudkan untuk dapat menentukan besarnya
biaya riil dari penggunaan modal dari masing-masing sumber dana untuk
kemudian menetukan biaya modal rata-rata (average cost of capital) dari
keseluruhan dana yang digunakan di dalam perusahaan yang merupakan tingkat
biaya penggunaan modal perusahaan (the firm’s cost of capital).
Pengertian cost of capital menurut Young (2001:148) menjelaskan biaya
modal sebagai berikut:
1) Biaya modal berdasarkan pengembalian yang diharapkan, bukan pada
pengembalian histories
2) Biaya modal adalah biaya kesempatan yang mencerminkan pengembalian
yang diharapkan investor dari investasi lain dengan risiko yang serupa
Biaya modal perusahaan merupakan opportunity cost yaitu total
pengembalian yang diharapkan oleh penanam modal perusahaan jika uang mereka
diinvestasikan dalam saham dan obligasi yang memiliki tingkat risiko yang
sebanding. Biaya modal didasari oleh trade off antara risiko dan keuntungan.
Semakin besar risiko perusahaan yang ditanggung investor, semakin besar pula
tingkat pengembalian yang harus dicapai.
Jenis-jenis biaya modal menurut Houston (2006:589) adalah sebagai
berikut:
1) Cost of Debt (Kd)
Biaya penggunaan utang (cost of debt) adalah tingkat bunga yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan bila mendapatkan dana dengan melakukan
pinjaman dari pihak lain. Untuk menghitung besarnya biaya penggunaan
utang (Kd), maka kita harus mencari nilai Kb (cost of debt before tax) dari
Kb = Ct M
Maka
Kd = Kb (1 - T)
Keterangan:
Kb : biaya utang sebelum pajak
T : tingkat pajak
Ct : besarnya bunga yang harus dibayar per tahun
M : nilai jatuh tempo dari utang
Kd : biaya bunga setelah pajak
2) Cost of Common Stock (Ks)
Biaya modal saham berkaitan dengan trade off risiko dan imbalan yang
diharapkan dalam investasi, artinya suatu perusahaan harus
mengkompensasikan pemegang saham dengan pengembalian ekonomi dalam
peramalan di masa mendatang yang mungkin berbeda dengan masa lalu.
Alasan perhitungan biaya modal saham biasa lebih sulit karena adanya unsur
ketidakpastian atas pembayaran dividen kepada pemegang saham biasa. Cost
of Common Stock untuk perusahaan-perusahaan yang normal dalam arti tidak
mengalami pelonjakan harga saham yang signifikan,
menggunakan rumus Capital Asset Pricing Model (CAPM) sebagai berikut:
Ks = Rf + β (Rm – Rf )
Ks : required return of common stock
Rf : tingkat bunga bebas risiko
Rm : Perkiraan tingkat harga minimum dalam pasar secara keseluruhan
β : Koefisien beta
Untuk perusahaan yang mengalami lonjakan harga saham yang signifikan
(booming), rumus yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
D1 : dividen yang harus dibayar
P : harga saham
g : tingkat pertumbuhan dividen
3) Cost of Preffered Stock (Kp)
Saham preferen memiliki karakteristik campuran antara utang dengan saham
biasa. Seperti halnya utang, saham preferen mengandung kewajiban yang
tetap, yaitu mengadakan pembayaran secara periodik dan apabila perusahaan
dilikuidasi, maka pemegang saham preferen memiliki hal didahulukan
sebelum para pemegang saham biasa.
Cost of Preffered Stock (Kp) dapat dirumuskan sebagai berikut:
Kp = dp Np Ks = D1 x g
Keterangan:
Kp : cost of preffered stock
Dp : dividen yang dibayar
Np : net proceeed (penerimaan bersih dari jumlah saham preferen)
4) Cost of Retained Earning (Kr)
Apabila perusahaan menggunakan dana yang berasal dari laba ditahan
(retained earning), maka biaya modalnya adalah sebesar rate of return yang
diharapkan akan diterima oleh investor saham biasa apabila mereka
menginvestasikan sendiri dana tersebut sebesar rate of return yang mereka
harapkan dari sahammnya.
f. Weighted Average Cost of Capital (WACC)
Para investor membutuhkan pengembalian yang lebih tinggi untuk
pembelian saham dalam suatu perusahaan tertentu daripada ketika mereka
memberikan pinjaman karena investasi dalam saham lebih berisiko. Oleh karena
itu biaya modal suatu perusahaan tidak hanya bergantung pada biaya utang dan
pembiayaan ekuitas tetapi juga seberapa banyak dari masing-masing itu dimiliki
struktur modal. Tujuan pokok menghitung biaya modal rata-rata tertimbang
adalah untuk digunakan dalam mengambil keputusan tentang investasi modal baru
yang dinilai berdasarkan standar pengembalian yang cukup memadai untuk
WACC adalah tingkat return minimum berdasarkan porsi masing-masing
instrumen pembiayaan dalam struktur modal perusahaan yang harus dihasilkan
perusahaan untuk memenuhi ekspektasi dari kreditur dan pemegang saham selaku
penyedia modal. Pembobotan dilakukan berdasarkan jenis pembiayaan dalam
perusahaan karena setiap pembiayaan memiliki risiko yang berbeda-beda bagi tiap
investor. Umumnya pembiayaan terdiri dari dua kelompok yaitu utang dan
ekuitas. Hubungan ini digabungkan dalam biaya modal rata-rata tertimbang
(WACC) dari perusahaan tersebut yang dihitung dengan rumus:
WACC = Wd x Kd + Ws x Ks + Wp x Kp
Keterangan:
WACC : biaya modal rata-rata tertimbang
Wd : bobot utang jangka panjang dalam struktur modal
Kd : cost of debt
Ws : bobot jumlah saham dalam struktur modal
Ks : cost of common stock
Wp : bobot jumlah saham preferen dalam struktur modal
Kp : cost of preffered stock
g. Sruktur Modal
Struktur modal merupakan komposisi antara sumber dana jangka panjang
beruapa utang jangka panjang dan ekuitas. Struktur modal ini menunjukkan
perusahaan besar umumnya struktur sebagian berasal dari pihak luar perusahaan
apakah dari investor maupun kreditur.
Struktur modal perusahaan berbeda-beda, tetapi pada umumnya struktur
modal sebuah perusahaan terdiri atas utang dan modal sendiri dalam bentuk
saham. Perbedaan struktur modal ini mengakibatkan biaya modal yang berbeda
pula. Karena masing-masing memiliki biaya dalam penggunaanya yaitu bunga
pinjaman apabila modal berbentuk utang dan return atau tingkat pengembalian
yang diharapkan investor jika modal berbentuk saham.
Menurut Warsono (2003:236), faktor-faktor yang mempengaruhi struktur
modal perusahaan adalah sebagai berikut:
1) Laju pertumbuhan dan kemantapan penjualan di masa yang akan datang
2) Struktur kompetitif dalam industri 3) Struktur asset dari perusahaan sendiri 4) Risiko bisnis yang dihadapi perusahaan
5) Status kendali dari para pemilik dan manajemen
6) Sikap para kreditor modal terhadap industri dan perusahaan 7) Posisi pajak perusahaan
8) Fleksibilitas keuangan atau kemampuan untuk menerbitkan modal dalam kondisi yang tidak baik
9) Konservatisme dan agresivitas manajerial.
Hal-hal tersebut akan mempengaruhi keputusan manajemen dalam
3. Penghitungan EVA
Berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya, maka
penghitungan EVA mencakup tiga variabel penting, yaitu NOPAT, CoC, dan EVA
itu sendiri. Langkah-langkah atau proses penghitungan EVA adalah sebagai
berikut:
a. NOPAT (Net Operating Profit After Tax)
NOPAT atau laba bersih setelah pajak dapat dihitung dengan rumus:
NOPAT = EBIT (1 – Tax)
EBIT adalah Earning Before Interest and Tax atau laba sebelum bunga dan
beban pajak. Dalam penghitungan EVA terlebih dahulu kita harus mengetahui
nilai NOPAT perusahaan yang diteliti. Jika pada laba akuntansi laba dikurang
dengan biaya operasional saja, maka EVA mengurangkan laba setelah pajak
dengan biaya hutang dan biaya modal. Sehingga semua biaya yang dikeluarkan
untuk operasi benar-benar telah dihitung.
b. WACC (Weighted Average Cost of Capital)
WACC dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
WACC = Ki x Wi + Ke x We
WACC atau biaya modal rata-rata adalah rata-rata biaya modal yang
dikeluarkan perusahaan sesuai dengan struktur modalnya. Young (2001:149)
mengatakan untuk menghitung WACC perlu diketahui hal-hal berikut:
2) Jumlah ekuitas dalam struktur modal, pada nilai pasar
3) Biaya utang
4) Tingkat pajak
5) Biaya ekuitas
Struktur modal perusahaan sudah tentu pasti berbeda satu dengan yang lain.
Pada umumnya struktur modal perusahaan terdiri dari hutang dan modal sendiri
dalma bentuk saham, untuk saham ada yang saham biasa (common stock) dan
saham preferen. Perbedaan struktur modal ini mengakibatkan biaya modal yang
berbeda pula. Karena masing-masing ada biaya dalam penggunaannya, yaitu
bunga pinjaman untuk modal yang berasal dari utang, dan expected return atau
tingkat pengembalian yang diharapkan untuk modal yang berasal dari saham.
Menurut Warsono (2003:236), faktor-faktor yang mempengaruhi struktur
modal perusahaan adalah sebagai berikut:
1) Laju pertumbuhan dan kemantapan penjualan di masa yang akan datang.
2) Struktur kompetitif dalam industri. 3) Susunan aset dari perusahaan sendiri. 4) Risiko bisnis yang dihadapi perusahaan.
5) Status kendali dari para pemilik dan manajemen.
6) Sikap para kreditor modal terhadap industri perusahaan. 7) Posisi pajak perusahaan.
8) Fleksibilias keuangan perusahaan atau kemampuan untuk menerbitkan modal dalam kondisi yang tidak baik.
9) Konservatisme atau agresivitas manajerial
c. Biaya Utang
Young (2001:150) menyatakan bahwa “biaya utang adalah tingkat
perusahaan memiliki beberapa sumber pembiayaan utang, masing-masing dengan
tingkat berbeda, biaya utang yang digunakan adalah rumus WACC”.
Menurut Warsono (2003:239),” Utang perusahaan dapat berupa utang pada
bank atau utang obligasi. Biaya utang bank adalah sebesar bunga yang
dibayarkan. Dan perlu diingat bahwa penghitungan bunga secara umum ada dua,
yaitu simple interest dan compund interest (bunga berbunga)”. Secara umum
biaya utang dapat dihitung dengan rumus:
Kd = Beban Bunga x 100% Jumlah Utang
Kd : Biaya utang sebelum pajak
Sedangkan untuk utang yang berasal dari obligasi, rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut (Martono:204)
Kdo =
1+(N-Nb)/n Nb+N/2
Keterangan:
Kdo : Biaya utang obligasi
N : Harga nominal obligasi atau nilai obligasi pada akhir umurnya.
N : Jangka waktu obligasi
I : Bunga obligasi satu tahun dalam Rupiah
Rumus ini tidak memasukkan beban pajak. Besarnya biaya utang setelah
pajak menurut Brigham (2006:470) adalah:
Ki = Kd (1-T)
Keterangan:
Ki : Biaya utang setelah pajak
Kd : Biaya utang sebelum pajak
T : Tingkat pajak
Indonesia menganut sistem pajak progresif berlapis dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Laba sebelum pajak < Rp 25,00 juta = 10 %
2. Kelebihan laba sebelum pajak antara Rp 25,00 juta – Rp 50,00 juta = 15%
3. Kelebihan laba sebelum pajak > Rp 50,00 juta = 30%
d. Biaya Ekuitas
Menurut Young (2005:150), “biaya ekuitas adalah pengembalian yang
diminta oleh investor untuk membuat investasi ekuitas dalam perusahaan itu”.
Selain dari menerbitkan obligasi perusahaan juga dapat menggunakan laba
ditahan (retained earning) dan menerbitkan saham biasa yang baru sehingga biaya
ekuitas dapat berasal dari modal saham baik saham biasa maupun saham preferen
e. Saham Preferen
Saham preferen memiliki ciri-ciri yang khusus, yaitu mirip dengan utang
karena adanya penghasilan tetap bagi para pemiliknya walaupun perusahaan
tersebut tidak berlaba atau rugi. Pendapatan ini berupa dividen saham yang harus
dibayarkan setiap tahun. Saham preferen tidak ada masa jatuh temponya seperti
yang dimiliki oleh obligasi. Biaya untuk saham preferen dapat dihitung dengan
rumus:
Keterangan:
Kps : tingkat pengembalian minimum yang diisyaratkan oleh pemegang saham
Preferen
Dps : dividen saham preferen
Vps : Harga saham preferen
Menurut Tampubolon (2005:175), ada tiga teknik pendekatan dalam
menghitung biaya modal saham biasa sebagai ekuitas di dalam perusahaan, yaitu:
1) The Gordon’s Growth Model
Keterangan:
Po : Nilai saham biasa
DI : Penerimaan dividen dalam satu tahun
r : Rate of return yang diinginkan investor
Kps = Dps Vps
g : Growth yaitu tingkat pertumbuhan yang diasumsikan konstan
setiap tahun.
2) Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh William Sharpe dengan
mengembangkan teori keseimbangan yang menghubungkan antara risiko dan
return. Menurut Martono (2001:11),” return suatu saham merupakan fungsi
dari tingkat keuntungan bebas risiko (risk free rate), tingkat keuntungan yang
diisyaratkan agar portofolio pasar (market return ) dan koefisien β (beta)”.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Ke = Rf + {(Rm – Rf) x β }
Keterangan:
Ke : Biaya ekuitas perusahaan
Rf : Pengembalian bebas risiko, pada penelitian ini digunakan
besarnya Rata-rata SBI selama satu tahun
Rm : Tingkat pengembalian pasar, yang dihitung dengan cara
Menjumlahkan return pasar selama satu tahun
β : Risiko sistematis (risiko individual) saham perusahaan yang
dihitung dengan cara mencari nilai rata-rata beta saham untuk
satu tahun.
Tingkat pengembalian suatu saham biasa yang diinginkan investor sama
merupakan alat ukur risiko individual saham yang dikaitkan dengan tingkat return
yang diinginkan atau diharapkan investor.
Menurut Naftali (2007:4), “β adalah ukuran dari hubungan paralel dari
sebuah saham biasa dengan seluruh tren dalam pasar saham. Bila β > 1.00 artinya
saham cenderung naik dan turun lebih tinggi daripada pasar. β < 1.00 artinya
saham cenderung naik dan turun lebih rendah daripada indek pasar secara umum
(general market index)”. Bila nilai β = 1 artinya adanya hubungan yang sempurna
dengan kinerja seluruh pasar seperti yang diukur indek pasar (market index),
Rumus yang digunakan untuk mencari nilai β suatu saham adalah:
Rm = IGSG t - IHSG t-1 IHSG t-1
Ri = Pn - Pn-1 + Dn Pn - 1
Keterangan:
n : Banyaknya periode pengamatan
x : tingkat pengembalian pasar (Rm)
y : Tingkat pengembalian saham i pada periode t (Ri)
IGSG t : IHSG pada tahun t
IHSG t-1 : IHSG pada tahun t-1
Pn : Harga saham pada periode t
Pn-1 : Harga saham pada periode t-1
Dn : Dividen yang diperoleh
3) The Bond Plus Approach
Ke = Long Term Bond + Risk Premium
Ke = Kd (1-T) + Risk Premium
Keterangan:
Ke : Biaya Ekuitas
Kd : Biaya utang sebelum pajak
T : Tax atau pajak
f. Laba Ditahan
Menurut Warsono (2003:146), ”ada tiga pendekatan untuk menghitung
biaya laba ditahan. Penghitungan biaya laba ditahan hampir sama dengan
penghitungan biaya saham biasa”. Tetapi dalam penerapannya ada kemungkinan
menghasilkan biaya laba ditahan yang berbeda karena menggunakan dasar dan
asumsi yang berbeda. Untuk menjustifikasinya maka dicari hasil perhitungan
1) Model Arus Diskonto
Keterangan:
Ks : Biaya laba ditahan
D1 : Dividen yang diharapakan (expected) pada tahun pertama
Po : Harga pasar saham biasa
G : Tingkat pertumbuha dividen tahunan
2) Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Ks = Rf + { ( Rm – Rf ) x β
Keterangan:
Ks : Biaya laba ditahan
Rf : Tingkat pengembalian bebas risiko
β : Beta, yaitu risiko sistematis saham
Rm : Tingkat pengembalian pasar
3) Model Premi Risiko
Ks = Ki + RP
Keterangan:
Ks : Biaya laba ditahan
Ki : Biaya utang setelah pajak
RP : Risk Premium atau premi risiko.
Ks = D1 + g
Setelah biaya utang dan biaya ekuitas diperoleh, maka biaya modal rata-rata
tertimbang dapat kita hitung. Langkah-langkah dalam menghitung biaya modal
rata-rata tertimban (WACC) adalah sebagai berikut:
1) Penentuan komponen biaya modal
Komponen biaya modal ditentukan berdasarkan pada rencana sumber
pembiayaan yang akan digunakan. Komponen biaya modal terdiri dari biaya
modal, biaya saham preferen, dan biaya saham biasa.
2) Penentuan besarnya proporsi dari setiap sumber pembelanjaan.
Penentuan proporsi masing-masing komponen biaya dalam pembelanjaan
suatu perusahaan dapat digambarkan sebagai berikut:
Proporsi Utang Bank = Utang Bank Total Modal
Proporsi Utang Obligasi = Utang Obligasi Total Modal
Proporsi Modal Saham Preferen = Modal Saham Preferen Total Modal
Proporsi Modal Saham Biasa = Modal Saham Biasa Total Modal
Penentuan Biaya Modal Rata-rata Tertimbang
Menurut Warsono (2003:153), biaya modal rata-rata tertimbang dapat
dihitung dengan rumus:
WACC = Ki x Wi + Ke x We
Keterangan:
Ki : Biaya utang setelah pajak
Wi : Proporsi utang jangka panjang atas kewajiban dan ekuitas
Ke : Biaya ekuitas
We : Proporsi ekuitas atas kewajiban dan ekuitas
g. Cost of Capital
Tampubolon (2005:170),” biaya modal (the cost of capital) adalah sebagai
tingkat pengembalian (rate of return) berdasarkan nilai pasar dari suatu korporasi
yang dilihat dari saham yang beredar (price of the firm’s stock)”. Cost of capital
adalah biaya modal dalam bentuk nominal yang diperoleh dengan mengalikan
biaya modal rata-rata tertimbang dengan jumlah utang dan ekuitas yang dimiliki
sebuah perusahaan.
CoC = WACC x Jumlah utang dan Ekuitas
Keterangan:
CoC : Besarnya biaya modal tertimbang perusahaan dalam nilai nominal
h. Economic Value Added (EVA)
EVA dapat dihitung dengan rumus:
EVA = NOPAT - CoC
Keterangan:
EVA : Economic Value Added
NOPAT : Laba bersih setelah pajak
CoC : Biaya modal
Hasil dari penghitungan tersebut akan diperoleh nilai EVA. Hasil penelitian
kinerja suatu perusahaan dengan menggunakan ukuran EVA menurut Rudianto
(2006:348) dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori yang berbeda, yaitu:
1) Nilai EVA > 0 atau EVA bernilai positif
Pada posisi ini berarti manajemen perusahaan telah berhasil menciptakan nilai tambah ekonomis bagi perusahaan
2) Nilai EVA = 0
Pada posisi ini berarti manajemen perusahaan berada pada dalam titik impas. Perusahaan tidak mengalami kemunduran tetapi tidak mengalami kemajuan secara ekonomi
3) Nilai EVA < 0 atau EVA bernilai negatif
4. Keunggulan dan Kelemahan EVA
a. Keunggulan EVA
Beberapa alasan mengapa Economic Value Added lebih tepat digunakan
adalah:
1) Konsep ini dapat berdiri sendiri tanpa perlu dibandingkan dengan
perusahaan sejenis ataupun membuat suatu analisis kecenderungan dengan
tahun sebelumnya.
2) Konsep ini menyajikan ukuran yang secara adil mempertimbangkan
harapan-harapan kreditur dan pemegang saham
3) Konsep ini sangat membantu dalam memberikan pertimbangan keputusan
manajemen secara tepat seperti penetapan tujuan, penganggaran modal,
penilaian kinerja, dan komunikasi dengan karyawan, lebih tepatnya EVA
dapat digunakan sebagai dasar untuk menerapkan sistem manajemen
keuangan yang terintegrasi secara lengkap.
Menurut Rudianto (2006:352) keunggulan yang dimiliki EVA antara lain
sebagai berikut:
1) EVA dapat menyelaraskan tujuan manajemen dalam kepentingan pemegang saham dimana EVA digunakan sebagai ukuran operasional dari manajemen yang mencerminkan keberhasilan perusahaan dalam menciptakan nilai tambah bagi pemegang saham atau investor.
2) EVA memberikan pedoman bagi manjemen untuk meningkatkan laba operasi tanpa tambahan dana/modal, mengeksposur pemberian pinjaman (piutang), dan menginvestasikan dana yang memberikan imbalan tinggi.