PENGARUH KARAKTERISTIK PERSONAL DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT
PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI KOTA TANJUNG BALAI
TESIS
Oleh SITY SUFATMI
127032136/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH KARAKTERISTIK PERSONAL DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT
PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI KOTA TANJUNG BALAI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SITY SUFATMI 127032136/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK PERSONAL DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI KOTA TANJUNG BALAI
Nama Mahasiswa : Sity Sufatmi Nomor Induk Mahasiswa : 127032136
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Telah Diuji
pada Tanggal : 18 Juni 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.S
PERNYATAAN
PENGARUH KARAKTERISTIK PERSONAL DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN MINUM OBAT
PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI KOTA TANJUNG BALAI
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juni 2014
ABSTRAK
Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang menyebabkan kematian dan penyebaran serta penyembuhannya belum dapat dihentikan secara tuntas dalam masyarakat. faktor – faktor dukungan keluarga, karakteristik penderita memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB Paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB Paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar.
Jenis penelitian ini adalah menggunakan penelitian observasional yang bersifat analitik dengan rancangan potong lintang untuk menganalisa pengaruh karakteristik personal dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis (TB) paru di Kota Tanjung Balai. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis yang terdaftar di unit pelayanan kesehatan kota Tanjung Balai pada tahun 2012 sebanyak 189 orang dengan jumlah sampel 64 orang. Penelitian dilaksanakan mulai Januari sampai Juni 2014. Data diperoleh melalui wawancara dengan responden dan dianalisis dengan uji chi-square, fisher exact test dan regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pengetahuan (p = 0,002), sikap (p = 0,002), dukungan informasi (p = 0,045), dukungan emosional (p = 0,014), dukungan penilaian (p = 0,037) dan dukungan instrumental (p = 0,037) berhubungan dengan kepatuhan minum obat. Variabel yang memberikan pengaruh paling besar adalah dukungan penilaian dengan Odd Ratio (OR = 5,143).
Disarankan kepada Kepada Dinas Kesehatan Tanjung Balai disarankan untuk terus melakukan sosialisasi kepada penderita dan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan penderita TB paru tentang pentingnya kepatuhan berobat dan meningkatkan dukungan keluarga sehingga tingkat kesembuhan penderita semakin meningkat dan kepada keluarga penderita TB paru, disarankan untuk tetap memberikan dukungan termasuk dalam mengawasi penderita minum obat setiap hari.
ABSTRACT
Lung tuberculosis is a transmitted disease which causes death, and its spread and growth cannot be stopped completely. The factors of family support and patients’ characteristics influence lung tuberculosis medication. The rate of noncompliance in getting medication will cause the high rate of failure in the medication of lung tuberculosis patients and also cause more people to be affected by lung tuberculosis with BTA which is resistant to standard medication.
The research used observational analytic study with cross sectional design which was aimed to analyze the influence of personal characteristics and family support on lung tuberculosis’ compliance in taking medicines at Tanjung Balai. The population was 189 lung tuberculosis patients who were registered in the Health Care Unit at Tanjung Balai in 2012, and 64 of them were used as the samples. The research was conducted from January to June, 2013. The data were gathered by conducting interviews with respondents and analyzed by using chi-square test, fisher exact test, and multiple logistic regression tests at the reliability level of 95%.
The result of the research showed that the variables of knowledge (p = 0.002), attitude (p = 0.002), information support (p = 0.045), emotional support (p = 0.014), evaluation support (p = 0.037), and instrumental support (p = 0.037) were correlated with the compliance in taking medicines. The variable which had the most dominant influence was the variable of evaluation support at Odd Ratio (OR) = 143.
It is recommended that the Head of the Health Service at Tanjung Balai socialize to improve lung tuberculosis patients and families about the importance of taking medicines so that they will get better and better and improve family support so that they will get better and better. It is also recommended that the patients’ families give support and funds in monitoring patients taking medication every day.
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Karakteristik Personal dan Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjungbalai”.
Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan,
bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu
izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor
Universitas Sumatera Utara
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara
4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M sebagai ketua komisi pembimbing yang
meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga
penulisan tesis selesai.
5. Drs. Eddy Syahrial, M.S, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh
perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu
untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
6. Drs.Alam Bakti Keloko, M.Kes dan dr. Taufik Ashar, M.K.M., sebagai komisi
penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan
penulisan tesis ini.
7. Kepala BKD Kota Tanjungbalai dan jajarannya yang telah berkenan memberikan
kesempatan kepada penulis melanjutkan studi di jenjang S2.
8. Kepala Dinas Kesehatan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
melakukan penelitian di wilayah Kota Tanjungbalai
9. Kepala Bidang Program Dinas Kesehatan Kota tanjungbalai yang telah
memberikan Dukungan dan semangat dalam penyelesaian Program S2 ini
10. Kepala Dinas Kesehatan Asahan yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melakukan uji validasi kuesioner penelitian di wilayah Kabupaten Asahan
11. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
12. Orang Tua dan Mertua yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada
penulis agar bisa menyelesaikan pendidikan S2 ini.
13. Buat kakak dan abangku yang ada di Batam (Kak Sarah, Kak Ros dan Bang
Bandrik) yang telah banyak membantu penulis baik dalam materi maupun
14. Buat pengurus gereja GKPI Kota Tanjung Balai yang telah banyak mendukung
penulis dalam doa.
15. Teristimewa buat Suami tercinta, Sihol Maruli Tua Simbolon, ST dan Ketiga
Putraku tersayang, Kristo Simbolon, Albert Simbolon, Kevin Simbolon yang
penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta cinta yang dalam setia
menunggu, memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa
menyelesaikan pendidikan ini.
16. Buat pengurus kelas, Adik kami Arif Kristian Lawolo, Kak Free Agustina
Sinaga, Eka Saudur Sihombing dan rekan-rekan mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku tahun 2012 yang tidak
bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan semangat dalam
menjalani dan menyelesaikan pendidikan di Program Magister IKM FKM-USU.
Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,
semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Juni 2014 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Sity Sufatmi Silalahi Lahir pada tanggal 06 Maret 1976 di Tanjungbalai, anak
ke 7 dari 7 bersaudara dari pasangan ayahanda Julius Silalahi dan ibunda Rumenta Br
Marpaung.
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar
methodist selesai tahun 1988, Sekolah Menengah Pertama katolik selesai tahun 1991,
Sekolah Menengah Atas Negeri 2 selesai tahun 1994, DIII Akademi Perawat RS
POLRI Kramajati Jakarta Timur selesai tahun 1997 , Fakultas Kesehatan Masyarakat
UIEU Jakarta Barat selesai tahun 2002.
Penulis bekerja sebagai perawat di RS Mitra Menteng Afiah Jakarta dari
tahun1998 sampai dengan tahun 2000, sebagai perawat RS Mitra Kemayoran Jakarta
dari tahun 2001 sampai tahun 2003, sebagai dosen tetap di Prima Husada Batam
tahun 2004 sampai tahun 2006, sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan
Kota Tanjungbalai dari tahun 2010 sampai dengan sekarang.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2012 dan akan menyelesaikan
DAFTAR ISI
2.1.4. Tinngkat Pendapatan Keluarga ... ... 13
2.1.5. Jarak Tempuh ke Unit Pelayanan Kesehatan ... ... 13
2.1.6. Transportasi yang Digunakan Menuju Unit Pelayanan Kesehatan ... ... 14
2.2. Dukungan Keluarga ... ... 14
2.2.1. Fungsi Dukungan Keluarga ... ... 15
2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga ... . 16
2.3. Penyakit Tuberkulosis ... ... 18
2.3.1. Cara Penularan ... ... 18
2.3.2. Risiko Penularan ... ... 19
2.3.3. Gejala-gejala Tuberkulosis ... ... 19
2.3.4. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru ... ... 20
2.3.5. Diagnosis Tuberkulosis Paru ... ... 21
2.3.6. Klasifikasi Penyakit ... ... 21
2.3.7. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru ... ... 22
2.3.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru ... ... 23
2.4. Kepatuhan ... ... 28
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... ... 42
3.5.1. Variabel ... ... 42
4.2.2. Gambaran Pengetahuan Responden ... 51
4.2.3. Gambaran Sikap Responden ... 53
4.2.4. Gambaran Dukungan Keluarga Responden ... 56
4.2.5. Gambaran Kepatuhan Responden ... 63
4.3. Analisis Bivariat ... 63
4.3.1. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 63
4.3.2. Hubungan Sikap dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 64
4.3.3. Hubungan Pendidikan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 65
4.3.4. Hubungan Pengahasilan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 65
4.3.6. Hubungan Transportasi dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung
Balai ... 67
4.3.7. Hubungan Dukungan Informasi dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 67
4.3.8. Hubungan Dukungan Emosional dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 68
4.3.9. Hubungan Dukungan Penilaian dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 69
4.3.10. Hubungan Dukungan Instrumental dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 70
4.4. Analisis Multivariat ... 71
BAB 5. PEMBAHASAN ... 73
5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis ... 73
5.2. Pengaruh Sikap terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis ... 74
5.3. Pengaruh Pengdidikan terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis ... 75
5.4. Pengaruh Pengahasilan terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis ... 76
5.5. Pengaruh Jarak terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis ... 77
5.6. Pengaruh Transportasi terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis ... 78
5.7. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis ... 79
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85
6.1. Kesimpulan ... 85
6.2. Saran ... 85
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
3.1. Aspek Pengukuran Variabel Penelitian ... 44
4.1. Pembagian Kecamatan dan Kelurahan Kota Tanjungbalai ... 48
4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan dan Status Perkawinan ... 50
4.3. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 51
4.4. Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 52
4.5. Distribusi Frekuensi Sikap Responden terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 53
4.6. Distribusi Tingkat Sikap Responden terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 56
4.7. Distribusi Frekuensi Dukungan Informasi Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 56
4.8. Distribusi Kategori Dukungan Informasi Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 58
4.9. Distribusi Frekuensi Dukungan Emosional Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 58
4.10. Distribusi Kategori Dukungan Emosional Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 59
4.12. Distribusi Kategori Dukungan Penilaian Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 61
4.13. Distribusi Frekuensi Dukungan Instrumental Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 61
4.14. Distribusi Kategori Dukungan Instrumental Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 63
4.15. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 63
4.16. Tabulasi Silang Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 64
4.17. Tabulasi Silang Sikap dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 64
4.18. Tabulasi Silang Pendidikan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 65
4.19. Tabulasi Silang Penghasilan dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 66
4.20. Tabulasi Silang Jarak dengan Kepatuhan Minum Obat pada Psien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 66
4.21. Tabulasi Silang Transportasi dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 67
4.22. Tabulasi Silang Dukungan Informasi dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 68
4.23. Tabulasi Silang Dukungan Emosional dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 68
4.24. Tabulasi Silang Dukungan Penilaian dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai ... 69
4.26. Hasil Seleksi Bivariat antara Karakteristik Personal dan Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru ... 71
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1. Kerangka Teori... 36
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 89
2. Kuesioner Penelitian ... 90
3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 95
4. Hasil Output Penelitian ... 99
5. Dokumentasi Penelitian ... 128
ABSTRAK
Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang menyebabkan kematian dan penyebaran serta penyembuhannya belum dapat dihentikan secara tuntas dalam masyarakat. faktor – faktor dukungan keluarga, karakteristik penderita memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB Paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB Paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar.
Jenis penelitian ini adalah menggunakan penelitian observasional yang bersifat analitik dengan rancangan potong lintang untuk menganalisa pengaruh karakteristik personal dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis (TB) paru di Kota Tanjung Balai. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis yang terdaftar di unit pelayanan kesehatan kota Tanjung Balai pada tahun 2012 sebanyak 189 orang dengan jumlah sampel 64 orang. Penelitian dilaksanakan mulai Januari sampai Juni 2014. Data diperoleh melalui wawancara dengan responden dan dianalisis dengan uji chi-square, fisher exact test dan regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pengetahuan (p = 0,002), sikap (p = 0,002), dukungan informasi (p = 0,045), dukungan emosional (p = 0,014), dukungan penilaian (p = 0,037) dan dukungan instrumental (p = 0,037) berhubungan dengan kepatuhan minum obat. Variabel yang memberikan pengaruh paling besar adalah dukungan penilaian dengan Odd Ratio (OR = 5,143).
Disarankan kepada Kepada Dinas Kesehatan Tanjung Balai disarankan untuk terus melakukan sosialisasi kepada penderita dan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan penderita TB paru tentang pentingnya kepatuhan berobat dan meningkatkan dukungan keluarga sehingga tingkat kesembuhan penderita semakin meningkat dan kepada keluarga penderita TB paru, disarankan untuk tetap memberikan dukungan termasuk dalam mengawasi penderita minum obat setiap hari.
ABSTRACT
Lung tuberculosis is a transmitted disease which causes death, and its spread and growth cannot be stopped completely. The factors of family support and patients’ characteristics influence lung tuberculosis medication. The rate of noncompliance in getting medication will cause the high rate of failure in the medication of lung tuberculosis patients and also cause more people to be affected by lung tuberculosis with BTA which is resistant to standard medication.
The research used observational analytic study with cross sectional design which was aimed to analyze the influence of personal characteristics and family support on lung tuberculosis’ compliance in taking medicines at Tanjung Balai. The population was 189 lung tuberculosis patients who were registered in the Health Care Unit at Tanjung Balai in 2012, and 64 of them were used as the samples. The research was conducted from January to June, 2013. The data were gathered by conducting interviews with respondents and analyzed by using chi-square test, fisher exact test, and multiple logistic regression tests at the reliability level of 95%.
The result of the research showed that the variables of knowledge (p = 0.002), attitude (p = 0.002), information support (p = 0.045), emotional support (p = 0.014), evaluation support (p = 0.037), and instrumental support (p = 0.037) were correlated with the compliance in taking medicines. The variable which had the most dominant influence was the variable of evaluation support at Odd Ratio (OR) = 143.
It is recommended that the Head of the Health Service at Tanjung Balai socialize to improve lung tuberculosis patients and families about the importance of taking medicines so that they will get better and better and improve family support so that they will get better and better. It is also recommended that the patients’ families give support and funds in monitoring patients taking medication every day.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan taraf kehidupan yang disetujui oleh para
pemimpin dunia pada millenium summit (pertemuan tingkat tinggi millenium) pada
bulan september 2000. Pertemuan ini dihadiri oleh 189 negara yang menghasilkan
millenium declaration yang mengandung 8 poin yang harus dicapai sebelum tahun
2015. Delapan poin MDGs yang disetujui tersebut salah satunya adalah
pemberantasan atau perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular
lainnya, termasuk Tuberkulosis (TBC), dimana target ditahun 2015 adalah untuk
menghentikan dan memulai pencegahan pengobatan dengan menurunkan angka
prevalensi penyakit (United Nations Development Program [UNDP], 2009).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi
dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. TB paru yang disebabkan
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyakit kronis (menahun) yang telah lama
dikenal oleh masyarakat luas dan ditakuti karena menular (Depkes, 2008).
Sekitar 75% penderita TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan
pendapatan tahunan keluarganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka
akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis,
TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial karena stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat (BTKLPP Medan, 2013).
Berdasarkan Global Report WHO (2010), jumlah penderita TB paru di dunia
sebanyak 14,4 juta kasus. Penderita TB paru terbanyak terdapat pada lima negara,
yaitu : India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. Di negara-negara miskin,
tingkat kematian akibat penyakit TB atau case fatality rate (CFR) sebesar 25% dari
seluruh jumlah kematian. Wilayah Asia Tenggara menanggung bagian terberat TB
paru global yakni sekitar 38% dari kasus TB paru dunia. Penyakit TB paru
merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernafasan dan merupakan nomor satu terbesar penyebab kematian
dalam kelompok penyakit infeksi.
Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007
menyatakan jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada
di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2009,
mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC
sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun
2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO, 2010). Pada
tahun 2010 didapatkan prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis sebesar 725 per
100.000 penduduk di Indonesia. Provinsi dengan prevalensi TB tertinggi yaitu Papua
penduduk, dan Sulawesi Utara sebesar 1.221 per 100.000 penduduk. Sedangkan
prevalensi terendah terdapat di Provinsi Lampung sebesar 270 per 100.000 penduduk,
diikuti oleh Bali sebesar 306 per 100.000 penduduk, dan DI Yogyakarta sebesar 311
per 100.000 penduduk. Sampai saat ini, belum satupun negara di dunia yang terbebas
dari TB Paru. Bahkan untuk negara maju yang pada mulanya angka tuberkulosis
sudah menurun, belakangan naik lagi mengikuti peningkatan penderita HIV positif
dan AIDS (Depkes, 2012).
Berdasarkan jumlah penderita TB Paru di Indonesia tahun 2010, Sumatera
Utara menempati urutan ke-7. Jumlah penderita TB Paru klinis di Sumatera Utara
pada tahun 2010 sebanyak 104.992 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang
diobati sebanyak 13.744 orang serta yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar
68,32% (Dinkes Prov Sumatera Utara, 2011). Jumlah kasus TB paru meningkat pada
tahun 2012, secara klinis sebanyak 123.790 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan
yang diobati sebanyak 16.392 orang serta yang sembuh sebanyak 12.154 orang atau
sekitar 74,15%. Kabupaten/kota yang mempunyai prevalensi TB Paru tertinggi di
Sumatera Utara antara lain yaitu kabupaten Tapanuli Selatan, Sibolga, Nias, Tanjung
Balai, Madina, Padang Lawas, Pematang Siantar dan Gunungsitoli (Dinkes Prov
Sumatera Utara, 2012).
Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kabupaten/kota yang mempunyai
jumlah penderita terbanyak. Pada tahun 2010, Tanjung Balai menduduki peringkat
empat. Salah satu kendala yang dihadapi adalah masyarakat penderita TB Paru belum
strategi Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) (BTKLPP Medan,
2013).
Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai didapatkan
bahwa jumlah penemuan pasien TB paru BTA positif dan mendapatkan pengobatan
pada tahun 2011 sebanyak 184 pasien. Berdasarkan evaluasi pengobatan yang
dilakukan diketahui bahwa jumlah pasien yang meninggal sebanyak 6 pasien (3,26%)
dan yang drop out sebanyak 26 pasien (14,13%) (Dinas Kesatan Kota Tanjung Balai,
2012). Tahun 2012 jumlah penderita mengalami peningkatan menjadi 189 pasien
dengan jumlah yang meninggal sebanyak 4 pasien (2,12%) dan yang drop out
sebanyak 43 pasien (22,75%) dan tahun 2013 sebanyak 189 pasien. Penderita TB
Paru yang mendapatkan pengobatan tersebut tersebar dalam 10 unit pelayanan
kesehatan (UPK), yakni RSUD dr. T. Mansyur, Lapas Tanjung Balai, Puskesmas
Datuk Bandar, Puskesmas Semula Jadi, Puskesmas Mayor Umar Damanik,
Puskesmas Kampung Baru, Puskesmas Kampung Persatuan, Puskesmas Sei Tualang
Raso, Puskesmas Sipori-pori, dan Puskesmas Teluk Nibung (Dinas Kesehatan Kota
Tanjung Balai, 2014).
Faktor-faktor kepatuhan, pengetahuan, dukungan keluarga, motivasi minum
obat dan KIE yang rendah memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru.
Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka
kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan
penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini
beban pemerintah. Dari berbagai faktor penyebab ketidakpatuhan minum obat
penderita TB Paru, faktor manusia dalam hal ini penderita TB paru sebagai penyebab
utama dari ketidak patuhan minum obat.
Kepatuhan terhadap pengobatan adalah kesetiaan mengikuti program yang
direkomendasikan sepanjang pengobatan dengan pengambilan semua paket obat yang
ditentukan untuk keseluruhan panjangnya waktu yang diperlukan Untuk mencapai
kesembuhan diperlukan kepatuhan atau keteraturan berobat bagi setiap penderita.
Berbagai pengetahuan yang benar tentang tuberculosis perlu diketahui oleh para
penderita dan keluarganya serta masyarakat luas pada umumnya. Penderita dan
keluarganya tentu perlu tahu seluk-beluk penyakit ini agar kesembuhan dapat dicapai
(Aditama, 2004).
Dalam hal kepatuhan terhadap pengobatan TB Paru, dukungan keluarga
memiliki peranan yang besar dalam hal memberikan dorongan berobat kepada pasien.
Keluarga adalah orang yang pertama yang tahu tentang kondisi sebenarnya dari
penderita TB Paru dan orang yang paling dekat serta berkomunikasi setiap hari
dengan penderita. Dorongan anggota keluarga untuk berobat secara teratur dan
adanya dukungan keluarga yang menjalin hubungan yang harmonis dengan penderita
membuat penderita diuntungkan lebih dari sekedar obat saja, melainkan juga
membantu pasien tetap baik dan patuh meminum obatnya. Pengaruh peran keluarga
terhadap kepatuhan minum obat penderita sangat besar. Namun sebaliknya, penderita
memiliki alasan tersendiri untuk tidak melanjutkan pengobatan. Pada umumnya
besar-besar, merasa sudah sembuh yang ditandai dengan batuk berkurang, perasaan
sudah enak badan, sesak napas berkurang, nafsu makan baik.
Penelitian yang dilakukan Limbu dan Marni (2004) tentang ketidakpatuhan
pasien TB Paru dalam hal pengobatan menemukan bahwa pengobatan pasien TB Paru
yang tidak lengkap disebabkan oleh peranan anggota keluarga yang tidak sepenuhnya
mendampingi penderita. Akibatnya penyakit yang diderita kambuh kembali dan dapat
menular kepada anggota keluarga yang lain. Penelitian Zuliana (2009) tentang
faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru
menunjukkan bahwa pendidikan, pengetahuan, dan pendapatan keluarga berpengaruh
signifikan terhadap ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru dan yang paling
dominan adalah faktor pendidikan.
Sehubungan dengan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis, penelitian Hutapea (2009) menunjukkan dukungan keluarga dapat
meningkatkan kepatuhan minum obat penderita TB Paru. Perhatian atas kemajuan
pengobatan memiliki pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan kepatuhan
minum obat penderita paru.
Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena kurang
pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurang pengetahuan
penatalaksanaan pengobatan dan upaya pencegahan penularan penyakit. Apabila
penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta pengobatan penderita TB Paru
positif tidak teratur atau droup out pengobatan maka resiko penularan pada
keberhasilan pengobatan, oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dilakukan strategi
DOTS (Directly Observed Treatmen Shortcourse). Strategi ini merupakan yang
paling efektif untuk mengontrol pengobatan tuberkulosis.
Faktor penting lainnya adalah pendidikan penderita. Pendidikan rendah
mengakibatkan pengetahuan rendah. Masih banyak penderita berhenti berobat karena
keluhan sakit sudah hilang, padahal penyakitnya belum sembuh. Ini terjadi karena
kurangnya pemahaman tentang apa yang diterangkan oleh petugas. Penelitian lainnya
yang berkaitan dengan TB Paru yaitu yang dilakukan oleh Wulandari (2011) di RSUP
H. Adam Malik Medan, diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan
pendidikan responden terhadap keteraturan minum obat. Lamanya waktu pengobatan
TB paru yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh
penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh Karakteristik Personal dan Dukungan Keluarga terhadap
Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjung Balai”.
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengaruh karakteristik
personal dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh karakteristik
personal dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada pasien
tuberkulosis paru di Kota Tanjung Balai
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh karakteristik personal dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan
minum obat pada pasien tuberkulosis paru di Kota Tanjung Balai.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai, sebagai informasi mengenai
masalah yang berkaitan dengan karakteristik dan dukungan keluarga terhadap
kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis paru di Kota Tanjung Balai.
b. Bagi keluarga, sebagai acuan dalam rangka peningkatan dukungan keluarga
serta memberikan motivasi kepada penderita TB Paru dalam rangka
kesembuhanterhadap pengobatan TB Paru
c. Secara teoritis dapat mendukung pengembangan ilmu promosi kesehatan dan
ilmu perilaku, serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Personal
Faktor personal adalah perbedaan individu dengan individu yang lainnya,
setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda. Faktor personal yang
memengaruhi perilaku kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru meliputi :
2.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan manusia yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengalaman manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Penglihatan atau kognitif merupakan dominan
yang sangat penting dalam bentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang
dalam melakukan penginderaan dalam suatu rangsang tertentu. Pengetahuan kognitif
merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(overt behavior). Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seseorang terhadap suatu
rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan 6 tingkatan, yakni:
a. Tahu (Know)
Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk
ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik
dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh
b. Memahami (Comprehension)
Merupakan suatu kemampuan nutuk menjelaskan secara benar obyek yang
diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap
objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Application)
Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan
kondisi yang sebenarnya.
d. Analisis (Analysis)
Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam
komponen-komponen, dan masuk ke dalam struktur organisasi tersebut.
e. Sintesis (Synthesis)
Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek
(Notoatmodjo, 2010).
Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan
belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada
ini inovasi diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti
tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka masyarakat
tidak merasa memerlukan inovasi tadi. Rogers menyatakan bahwa untuk
menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media
massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih
cepat mengetahui keberadaan suatu inovasi.
b. How-to-knowlegde (pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang
bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang
pengetahuan jenis ini penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih
meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki
pengetahuan ini dengan cukup tentang penggunaan inovasi ini.
c. Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip
keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat
bekerja.
2.1.2. Sikap
Sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan, pemikiran, dan
predisposisi tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya
(Azwar, 2007). Menurut Notoatmodjo (2010) sikap merupakan reaksi atau respon
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
a. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan sti ulus yang
diberikan (objek).
b. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas
pekerjaan itu benar atau salah, adalah bahwa orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala resiko
merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2010).
2.1.3. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan
mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah
orang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka seseorang akan
cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media
yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat kaitannnya dengan
pendidikan dimana semakin tinggi maka semakin luas pengetahuan seseorang
(Danim, 2004).
2.1.4. Tingkat Pendapatan Keluarga
Pemenuhan kebutuhan keluarga berkaitan dengan tingkat pendapatan. Tingkat
pendapatan adalah besarnya penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan yang
dilakukan. Kepatuhan seseorang terhadap pengobatan TB Paru sering kali dihadapkan
dengan masalah rendahnya pendapatan yang selanjutnya mengarah kepada kurang
terpenuhinya gizi dan kurangnya kepedulian terhadap hal-hal yang perlu dilakukan
untuk pengobatan TB Paru. Tidak terpenuhinya pengobatan TB Paru secara teratur
disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah (Setiadi, 2008).
2.1.5. Jarak Tempuh ke Unit Pelayanan Kesehatan
Sarana dan prasarana yang tersedia mendukung tercapainya program
pemerintah dalam hal pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat. Pemerintah
membangun rumah sakit dengan fasilitas yang memadai bertujuan untuk peningkatan
kesehatan masyarakat. Demikian halnya dengan puskesmas yang dibangun dengan
tenaga medis dan sarana serta prasarana yang terus diupayakan mengalami
perkembangan. Dalam hal perawatan kesehatan terutama bagi kaum ekonomi kelas
bawah, jarak tempuh dari tempat tinggal mereka ke unit pelayanan kesehatan
merupakan salah satu kendala dalam hal kepatuhan mereka menjalankan pengobatan.
Pada akhirnya mereka tidak mematuhi aturan pengobatan yang dianjurkan (Setiadi,
2.1.6. Transportasi yang Digunakan Menuju Unit Pelayanan Kesehatan
Kemudahan sampai ke unit pelayanan kesehatan untuk melakukan
pemeriksaan dan pengobatan. Tersedianya transportasi yang memadai memiliki
peranan penting terhadap penderita. Dengan banyaknya transportasi yang tersedia
tentunya membuat penderita berkeinginan melakukan pengobatan terhadap penderita
yang dialaminya. Sebaliknya, transportasi yang sulit ke puskesmas membuat si
penderita sering mengurungkan niatnya dalam melakukan pengobatan ditambah lagi
faktor waktu dan biaya yang dikeluarkan. Apabila penderita harus mengeluarkan
uang yang lumayan besar untuk mencapai ke puskesmas, maka kemungkinan besar
penderita tidak mematuhi aturan yang diberikan kepadanya dengan pertimbangan
keuangan yang mereka miliki (Setiadi, 2008).
2.2. Dukungan Keluarga
Menurut Friedman dalam Setiadi (2008), dukungan keluarga adalah sikap,
tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga
memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Jenis dukungan keluarga ada empat yaitu :
dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan penilaian , dan dukungan
emosional. Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengnyimpulkan bahwa
dukungan sosial, baik dukungan- dukungan yang bersifat eksternal maupun internal
2.2.1. Fungsi Dukungan Keluarga
Caplan dalam Setiadi (2008), menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa
fungsi dukungan yaitu:
a. Dukungan Informasional
Dukungan informasional didefinisikan sebagai suatu bentuk bantuan dalam
wujud pemberian informasi tertentu. Informasi yang disampaikan tergantung dari
kebutuhan seseorang. Dukungan informasional dapat bermanfaat untuk
menanggulangi persoalan yang dihadapi keluarga, meliputi pemberian nasehat,
ide-ide dan informasi yang dibutuhkan. Keluarga berfungsi sebagai sebuah
kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan
tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan
mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat
menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat
menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam
dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
b. Dukungan Emosional
Dukungan emosional berupa dukungan simpatik dan empati, cinta, kepercayaan
dan penghargaan. Dengan dukungan ini mendorong keluarganya untuk
mengkomunikasikan segala kesulitan pribadi Keluarga sebagai tempat yang
aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan
diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan
dan didengarkan.
c. Dukungan Penilaian
Dukungan penilaian merupakan bentuk penghargaan yang diberikan seseornag
kepada orang lain sesuai dengan kondisinya. Peran keluarga ketika memberikan
dukungan penilaian adalah keluarga membimbing dan menengahi pemecahan
masalah sebagai sumber indentitas anggota keluarga di antaranya dengan
memberikan support, penghargaan dan perhatian.
d. Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya
kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat,
terhindarnya penderita dari kelelahan. Tujuan bantuan instrumental adalah
mempermudah seseorang menjalankan aktifitasnya. Aktifitas yang dimaksud
adalah aktifitas yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi atau
menolong secara langsung masalah yang dihadapi sehingga bentuk dukungan
istrumental ini dapat langsung dirasakan oleh pihak yang ditolong.
2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga
Menurut Ahmadi (2004), faktor-faktor yang memengaruhi dukungan keluarga
1. Faktor internal, merupakan faktor yang muncul dari diri individu.
a. Faktor emosi
Emosi merupakan manifestasi perasaan yang disertai komponen fisiologik,
berlangsung tidak lama dan dapat mengarahkan perilaku seseorang. Emosi
berkaitan denga keadaan psikologis seseorang, dalam hal ini terkait dengan
dua jenis dukungan sosial yaitu dukungan emosional dan penilaian.
a. Pendidikan dan tingkat pengetahuan
Berkaitan dengan seberapa besar pengetahuan tentang suatu penyakit. Hal ini
berkaitan dengan jenis dukungan sosial keluarga yaitu dukungan
informasional.
2. Faktor eksternal, merupakan faktor luar selain dari diri individu. Memiliki
pengaruh lebih kecil dibanding faktor internal.
a. Latar belakang budaya, meliputi ras, suku, adat istiadat, persepsi atau cara
pandang terhadap sesuatu.
b. Struktur keluarga
Struktur keluarga menunjuk kepada bagaimana keluarga diorganisasikan, cara
keluarga tersebut ditata, dan bagaimana komponen keluarga berhubungan satu
sama lain. Dimensi struktural keluarga meliputi peran (peran formal dan
informal), struktur kekuasaan, pola dan proses komunikasi keluarga, serta
sistem nilai.
Menurut Friedman (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial
meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan orang
tua. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan lebih demokratis dan adil
mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih
otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai
tingkat dukungan, efeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi dari pada orang tua
dengan kelas sosial bawah.
2.3. Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini berbentuk basil dengan ukuran 0,3μ-0,6μ. Sebagian besar
kuman terdiri dari asam (lipid) sehingga kuman ini tahan terhadap asam. Ada dua
spesies Mycobakterium yang menyerang manusia yaitu mycobacterium tuberculosis
(the human strain) dan mycobacterium bovis (Hard dan Mukty, 2008). Kuman
mycobacterium masuk kedalam tubuh manusia melalui udara, masuk kedalam saluran
pernapasan, terus keparu paru dan menetap di sana, atau dapat menyebar keseluruh
tubuh melalui pembuluh darah atau saluran pembuluh limfe (Crofton, 2002).
2.3.1. Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif yang belum diobati.
Kuman TB menyebar dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei), pada waktu
penderita batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak. Percikan dahak dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Kemungkinan seseorang
terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes, 2008).
2.3.2. Risiko Penularan
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)
yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar
1 %, berarti diantara 1000 penduduk terdapat sepuluh orang terinfeksi setiap tahun.
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3 %. Kemungkinan seseorang menjadi
penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS
dan malnutrisi/gizi buruk (Depkes, 2008).
2.3.3. Gejala-gejala Tuberkulosis
Keluhan yang dirasakan penderita TB Paru dapat bermacam macam atau
malah tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang terbanyak adalah (Hard dan Mukty,
2008).
1. Demam
Penderita TB Paru sering mengalami demam, yang kadang-kadang panas badan
dapat mencapai 40-410 C. Demam dapat hilang/timbul sehingga penderita tidak
2. Batuk
Batuk yang terus menerus dan berdahak 3 minggu atau lebih terjadi karena
adanya iritasi pada bronkus. Batuk dapat bersifat kering (non produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).
Keadaan lebih lanjut adalah batuk bercampur darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah, hal ini terjadi pada kavitas atau pada ulkus dan dinding
bronkus.
3. Sesak Nafas
Pada penyakit ringan (baru kambuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasi sudah terjadi
setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang
sudah sampai pada pleura, sehingga menimbulkan pleuritis.
Badan Lemah (Malaise), nafsu makan berkurang, tidak enak badan,
berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, serta berat badan menurun,
demam mering lebih dari sebulan.
2.3.4. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru
Menurut Depkes (2008), penemuan penderita merupakan langkah pertama
dalam kegiatan program penanggulangan TB Paru yang terdiri dari penjaringan
suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan
tersangka penderita dilakukan di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) didukung dengan
penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita TB. Selain itu, semua kontak
penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
2.3.5. Diagnosis Tuberkulosis Paru
Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga
patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua,
hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada specimen
penderita dengan cara pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ketiga, pemeriksaaan rontgen dada yang
akan memperlihatkan gambaran paru yang akan diperiksanya. Selain ketiga patokan
tersebut kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan
darah atau pemeriksaan tambahan lain (Aditama, 2002).
2.3.6. Klasifikasi Penyakit
1. Tuberkulosis (TB ) Paru
Menurut Depkes (2008), Tuberkulosis (TB ) Paru adalah tuberculosis yang
menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam :
a. TB Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)
hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto
b. TB Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto toraks
menunjukkan gambaran TB. Tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika dan non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).
2. Tuberkulosis (TB ) Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura
(selaput paru), selaput otak, pericardium (selaput jantung), kelenjar lymfe, tulang,
ginjal dan lain-lain. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu :
a. TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar lymfe, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra paru berat, misalnya Meningitis millier, perikarditis, TB tulang
belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes, 2008).
2.3.7. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru
Menurut Depkes (2008), tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu :
1. Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
2. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
3. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah penderita yang telah berobat
dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Gagal (Failure) adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau lebih selama pengobatan.
5. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang dipindahkan dari Unit Pelayanan
Kesehatan (UPK) yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6. Lain-lain adalah kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk Kasus Kronis, yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
2.3.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru
2.3.8.1. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru
Menurut Depkes (2008), OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal
(intensif) dan lanjutan.
1. Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap awal (Intensif) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi (kekebalan). Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka
waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment
Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (Depkes RI, 2002).
2.3.8.2. Hasil Pengobatan
1. Sembuh
Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan Penderita
pemeriksaan ulang dahak sebelum akhir pengobatan dan pada akhi pengobatan
hasilnya negatif.
2. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi
tidak ada pemeriksaan sputum, khususnya pada akhir pengobatan sehingga tidak
diketahui apakah sembuh atau gagal.
3. Meninggal
Adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
4. Pindah
5. Drop Out
Penderita yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
6. Gagal
Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan (Depkes, 2008).
2.3.9. Penanggulangan TB
2.3.9.1. Rencana Global Penanggulangan TB
Menurut Depkes (2006), Rencana Global 2006-2015 mencakup enam elemen
utama dalam strategi baru Stop TB-WHO yang terdiri dari :
1. Memperluas meningkatkan penemuan kasus dan kesembuhan melalui pendekatan
ekspansi DOTS yang berkualitas, terfokus pada penderita agar pelayanan DOTS
yang berkualitas dapat menjangkau seluruh penderita, khususnya kelompok
masyarakat yang miskin dan rentan.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya, dengan cara
meningkatkan kolaborasi TB/HIV, DOTS-Plus dan pendekatan lainnya.
3. Berkontribusi dalam memperkuat sistem kesehatan melalui kerjasama dengan
berbagai program dan pelayanan kesehatan lainnya, misalnya dalam memobilisasi
sumber daya manusia dan finansial untuk implementasi dan mengevaluasi
hasilnyaserta pertukaran informasi dalam keberhasilan pencapaian dalam program
4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan swasta, dengan cara memperluas pendekatan berbasis
public-private mix (PPM).
5. Melibatkan penderita TB dan masyarakat untuk memberikan kontribusi dalam
penyediaan pelayanan yang efektif. Hal ini meliputi perluasan pelayanan TB di
masyarakat, menciptakan kebutuhan masyarakat akan pelayanan TB, advokasi
yang spesifik; komunikasi dan mobilisasi sosial; serta mendukung pengembangan
piagam pasien TB dalam masyarakat, dan memberdayakan dan meningkatkan
penelitian operasional.
2.3.9.2. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah
direkomendasikan oleh WHO, yang dimulai pelaksanaannya di Indonesia pada Tahun
1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB
Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS
diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru
BTA positif yang ditemukan (Aditama, 2002).
Pengertian DOTS dimulai dengan keharusan pengelola program TB untuk
memfokuskan perhatian dalam usaha menemukan penderita. Dalam arti deteksi kasus
dengan pemeriksaan mikroskopik, yaitu dengan keharusan mendeteksi kasus secara
baik dan akurat. Kemudian, setiap pasien harus diobservasi dalam memakan obatnya,
setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Pasien juga harus
penyediaan obat secara baik. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik,
artinya pengobatan jangka pendek standard yang telah terbukti ampuh secara klinik.
Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang penanggulangan TB mendapat
prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002).
Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita
agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan
pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan.
Strategi DOTS mempunyai lima komponen :
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
2. Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3. Membuat program.
4. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
5. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
6. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB.
2.4. Kepatuhan
2.4.1. Definisi Kepatuhan
Menurut Drennan (2000), kepatuhan (Compliance) dalam pengobatan dapat
diartikan sebagai perilaku pasien yang mentaati semua nasehat dan petunjuk yang
dilakukan untuk mencapai tujuan pengobatan, salah satu diantaranya adalah
kepatuhan dalam minum obat. Hal ini merupakan syarat utama tercapainya
keberhasilan pengobatan yang dilakukan. Sarafino (2006) mendefinisikan kepatuhan
(ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang
disarankan oleh dokternya atau yang lain.
Kepatuhan terhadap pengobatan adalah kesetiaan mengikuti program yang
direkomendasikan sepanjang pengobatan dengan pengambilan semua paket obat yang
ditentukan untuk keseluruhan panjangnya waktu yang diperlukan Untuk mencapai
kesembuhan diperlukan kepatuhan atau keteraturan berobat bagi setiap penderita.
Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara
teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan,
sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat dan minum obat bila frekuensi
minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang ditetapkan. Penderita dikatakan
lalai jika datang lebih dari 3 hari - 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop
out jika lebih dari 2 bulan terturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi
petugas ksehatan (Depkes, 2002).
Faktor karakteristik personal dan dukungan keluarga memiliki pengaruh
terhadap pengobatan TB Paru. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan
mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan
menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten
dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB
penyebab ketidakpatuhan minum obat penderita TB Paru, dapat disimpulkan bahwa
faktor manusia, dalam hal ini penderita TB paru sebagai penyebab utama dari ketidak
patuhan minum obat.
Pada umumnya alasan responden menghentikan pengobatan karena paket obat
terlalu banyak dan besar-besar, merasa sudah sembuh yang ditandai dengan batuk
berkurang,perasaan sudah enak badan, sesak napas berkurang, nafsu makan baik.
Secara umum, hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat kepatuhan
adalah bahwa:
1. Pasien memerlukan dukungan, bukan disalahkan.
2. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tidak
tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan.
3. Peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat.
4. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai
efektifitas suatu sistem kesehatan.
5. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam penanganan
secara efektif suatu penyakit kronis.
6. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai
tantangan baru.
7. Diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan masalah
2.4.2. Faktor - faktor yang Memengaruhi Kepatuhan
Dalam hal kepatuhan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak
mampu lagi mempertahankan kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak
patuh. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya:
a. Pemahaman tentang Instruksi
Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang
diberikan padanya. Ley dan Spelman dalam Crofton (2002) menemukan bahwa
lebih dari 60% responden yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter
salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Kadang kadang
hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional dalam memberikan informasi
lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang
harus diingat oleh penderita.
Menurut Niven (2002), pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan
penderita antara lain :
a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.
b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain.
c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus
diingat maka akan ada efek “keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat
hal-hal yang pertama kali ditulis.
d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal
1. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dengan penderita merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan
interaksi profesional kesehatan dengan penderita adalah suatu hal penting untuk
memberikan umpan balik pada penderita setelah memperoleh informasi tentang
diagnosis. Penderita membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa
penyebabnya dan apa yang mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.
2. Isolasi Sosial dan Keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang
program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi
dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga
yang sakit.
3. Keyakinan, Sikap, Kepribadian
Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara
pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data
kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang
gagal. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami
depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego
yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada
Menurut Niven (2002), faktor yang berhubungan dengan ketidaktaatan, secara
sejarah, riset tentang ketaatan penderita didasarkan atas pandangan tradisional
mengenai penderita sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh. Penderita
yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan masalahnya mengidentifikasi
kelompok-kelompok penderita yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi,
pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Pendidikan penderita dapat meningkatkan
kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif
seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh penderita secara mandiri. Usaha-usaha
ini sedikit berhasil, seorang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan.
Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional dan penderita sebagai
peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan sering diartikan
sebagai suatu usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika hal
tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya.
Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan :
1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan
Perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat
buruk yang segera dirasakan atau risiko yang jelas), sarana mengenai gaya hidup
umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan
efek samping, perilaku yang tidak pantas.
Menurut Sarafino (2006), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk
78% untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang tingkat
tersebut menurun sampai 54%.
2. Komunikasi antara penderita dan dokter.
Berbagai aspek komunikasi antara penderita dengan dokter memengaruhi tingkat
ketidakpuasan terhadap informasi aspek hubungan dengan pengawasan
emosional yang kurang, dengan dokter, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang
diberikan.
3. Variabel-variabel sosial
Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari. Secara umum,
orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan, perhatian, dan
pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya
cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis, daripada penderita yang kurang
mendapat dukungan sosial. Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang
sangat penting dalam pengelolaan medis. Misalnya, penggunaan pengaruh
normatif pada penderita, yang mugkin mengakibatkan efek yang memudahkan
atau menghambat perilaku ketaatan.
4. Ciri-ciri individual
Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan.
Sebagai contoh : di Amerika serikat, kaum wanita, kaum kulit putih, dan orang