• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Penurunan Resiko Kejadian Mual Muntah Paska Operasi Dengan Pemberian Midazolam 0,035 mg/kg/iv dan Ondansetron 4 mg/iv Pada Pasien Dengan Skor Apfel 3-4 yang Dilakukan Anestesi Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Penurunan Resiko Kejadian Mual Muntah Paska Operasi Dengan Pemberian Midazolam 0,035 mg/kg/iv dan Ondansetron 4 mg/iv Pada Pasien Dengan Skor Apfel 3-4 yang Dilakukan Anestesi Umum"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN PENURUNAN RESIKO KEJADIAN MUAL

MUNTAH PASKA OPERASI DENGAN PEMBERIAN

MIDAZOLAM 0,035 MG/KG/IV DAN

ONDANSETRON 4 MG/IV PADA PASIEN DENGAN SKOR

APFEL 3-4 YANG DILAKUKAN ANESTESI UMUM

TESIS

OLEH :

JUNITA HENRIETTE SILABAN

NIM : 097114016

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

(2)

PERBANDINGAN PENURUNAN RESIKO KEJADIAN MUAL

MUNTAH PASKA OPERASI DENGAN PEMBERIAN

MIDAZOLAM 0,035 MG/KG/IV DAN

ONDANSETRON 4 MG/IV PADA PASIEN DENGAN SKOR

APFEL 3-4 YANG DILAKUKAN ANESTESI UMUM

TESIS

OLEH :

JUNITA HENRIETTE SILABAN

NIM : 097114016

Pembimbing I : dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn, KAP, KMN

Pembimbing II : dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV

Tesis ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar Magister Kedokteran Klinik di bidang Anestesiologi dan

Terapi Intensif / M.Ked. (An)

PROGRAM MAGISTER KLINIK - SPESIALIS

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Dengan penuh kerendahan hati, saya menyampaikan puji dan syukur

kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya yang telah

memberikan akal budi, hikmat, dan pemikiran sehingga saya dapat menyelesaikan

tesis ini, sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh

gelar Spesialis dalam bidang Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, yang saya cintai dan banggakan

ini.

Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak

kekurangan, baik dari segi isi, penyampaian dan pembahasannya. Meskipun

demikian, saya berharap dan besar keinginan saya agar kiranya tulisan ini dapat

bermanfaat dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam penelitian di

bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya tentang “Perbandingan Penurunan Resiko Kejadian Mual Muntah Paska Operasi Dengan Pemberian Midazolam 0,035 mg/kg/iv dan Ondansetron 4 mg/iv Pada

Pasien Dengan Skor Apfel 3-4 yang Dilakukan Anestesi Umum”.

Dengan berakhirnya penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini pula

dari lubuk hati saya yang paling dalam, perkenankanlah saya untuk mengucapkan

terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi - tingginya kepada yang

terhormat : dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn, KAP, KMN dan dr. Akhyar H.

Nasution, SpAn, KAKV atas kesediaan untuk meluangkan waktunya menjadi pembimbing penelitian saya, serta kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes,

yang telah menyediakan waktu luangnya di tengah-tengah kesibukan pekerjaanya

menjadi pembimbing statistik untuk penelitian saya ini. Dan dengan berakhirnya

pula masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, maka pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah juga saya

untuk menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya

(6)

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. DR. Dr.

H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM) SpA (K), Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD

(KGEH), atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti

program pendidikan dokter spesialis (PPDS) bidang Anestesiologi dan Terapi

Intensif di Fakultas Kedokteran USU Medan.

Yang terhormat Kepala Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi

Intensif FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan Prof. dr. Achsanuddin Hanafie,

SpAn, KIC, KAO dan dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC sebagai Ketua

Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn,

KAKV sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Dr.

dr. Nazaruddin Umar, SpAn, KNA sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi

dan Terapi Intensif, yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan, nasehat

dan dengan keikhlasan hati telah mendidik saya selama menjalani penelitian ini

serta memberikan kesempatan kepada saya dalam mengikuti pendidikan

spesialisasi di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga selesai.

Yang terhormat guru-guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan

Terapi Intensif FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. A. Sani P. Nasution,

SpAn, KIC; dr. Chairul M. Mursin, SpAn, KAO; dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn,

KAP, KMN; dr. Ade Veronica H. Y., SpAn, KIC; dr. Yutu Solihat, SpAn,

KAKV; dr. Soejat Harto, SpAn, KAP; (Alm.) dr. Nadi Zaini Bakri SpAn; (Alm)

dr. Muhammad A. R., SpAn, KNA; dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn; dr. Tumbur

Simanjuntak, SpAn; dr. Walman Sihotang, SpAn; Mayor (CKM) dr. Nugroho

Koento Subagio, SpAn; Kol.(CKM) Purn. dr. Tjahaya, SpAn, dr. Dadik W.

Wijaya, SpAn; dr. Mhd. Ihsan, SpAn, KMN; dr. Qodri F. Tanjung, SpAn,

KAKV; dr. Guido M. Solihin, SpAn, KAKV; dr. Rommy F. Nadeak, SpAn; dan

dr. Rr. Shinta Irina, SpAn, atas segala ilmu, ketrampilan dan bimbingannya

selama ini baik dalam bidang ilmu pengetahuan Anestesiologi dan Terapi Intensif

maupun pengetahuan umum lainnya sehingga menimbulkan rasa percaya diri dan

tanggung jawab saya terhadap pasien yang kiranya akan bermanfaat bagi saya di

(7)

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Bapak

Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit Tkt. II Putri Hijau Medan, Direktur

RS Haji Medan, Ibu Direktur RSUD Solok Selatan, yang telah mengizinkan,

memberikan bimbingan dan kesempatan kepada saya untuk belajar menambah

ketrampilan serta menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Kepada para perawat/paramedis dan seluruh karyawan / karyawati RSUP

H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, RS Haji Medan, Rumkit Tkt

II Putri Hijau Medan dan RSUD Solok Selatan yang telah banyak membantu dan

bekerjasama dengan baik selama ini dalam menjalani tugas pendidikan dan

pelayanan kesehatan, khususnya dalam bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif,

saya juga mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.

Sembah sujud, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga, saya

persembahkan kepada kedua orang tua saya tercinta, ayahanda Bona Dolok Silaban dan ibunda Rita Georgina Vőlke, yang dengan segala daya dan upaya telah membesarkan, membimbing, mendidik dan memberikan dorongan serta doa

yang tulus dengan penuh pengorbanan, kesabaran dan kasih sayang. Terima kasih

juga saya tujukan kepada kakak saya tercinta Natasha Sarah Amelia Silaban,

abang ipar saya Joseph Karel Stefanus dan calon suami yang saya cintai dan

kasihi Jainal Indra Gultom, S.T. yang selalu memberikan dorongan dan dukungan

moral maupun materiil, serta doanya yang tulus sehingga saya dapat

menyelesaikan tesis ini. Kiranya mereka semua diberikan limpahan berkat,

kesehatan dan umur yang panjang.

Kepada yang tercinta teman-teman saya satu angkatan penerimaan

Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran USU yaitu : dr. Rusdian Nurmadi, dr. Eko Waskito Wibowo, dr. Heru

Kurniawan, dr. Olivia Des Vinca A. Napitupulu, dr. Wulan Fadinie, dr. Andri

Yunafri, dr. Ahmad Yafiz Hasby, dan dr. Kiki Prayogi, yang telah bersama-sama

berbagi dalam suka maupun duka, saling membantu dan bekerja sama sejak awal

memasuki pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU,

(8)

Dan juga kepada teman-teman saya tercinta, baik di tingkat senior maupun

junior yang terlibat langsung dalam membantu dan menginspirasi saya selama

saya mengerjakan penelitian ini yaitu dr. Zulkarnaen Bus, dr. Ariati Isabella

Siahaan, dr. Yunita Dewani, dr. Dodi Iskandar, dr. Jeffri A. Pane, dr. Fadli Armi

Lubis, dr. Anna Millizia, dr. Wahyu Satria Kencana, dr. Benny Antomi, dr. Haryo

Prabowo, dr. David M. R. Silalahi, dr. Tasrif Hamdi, dr. Primta Bangun, dr. Budi

Harto Batubara, dr. Ruddy Hardiansyah, dr. Angga Permana Putra, dr. M. Fikri,

dr. M. Izhar, dr. Aryudina Dalimunthe, dr. Hafniana, dr. Anjangsari, dr. A. Fiza

Putra, dr. M. Riko Krisman, dr. Arwan Hasibuan, dr. Abdul Hakim Ritonga, dr.

Prawito Nurhidayat, dr. Fahmi Sani, dr. Riki Safrizal Lubis, dr. Arif Rahman, dr.

Matdhika Sakti, dr. Charles Leonard, dr. Mohammer Pasha, dr. Cwanestesia Z.

Sitohang, dr. Dewi Yuliana, dr. Awang Supriady, dr. Frans Joseph Tarigan, dr. M.

Rizki Alfian dan dr. Virat Kumar, terima kasih saya ucapkan atas bantuan dan

kerja samanya baik secara moril, tenaga, pikiran, dan perhatiannya selama saya

menjalankan penelitian ini.

Akhirnya izinkanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon

maaf yang setulus-tulusnya atas segala kekurangan selama saya mengikuti masa

pendidikan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara. Semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang

diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan

yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Medan, Juli 2014

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...

DAFTAR SINGKATAN………

DAFTAR GAMBAR ...

DAFTAR TABEL ………...………..

DAFTAR LAMPIRAN………..

ABSTRAK……….

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian ...

1.2. Rumusan Masalah ………...

1.3. Hipotesis ……….……….

1.4. Tujuan Penelitian ………...

1.4.1 Tujuan Umum ...

1.4.2 Tujuan Khusus ...

1.5. Manfaat Penelitian ………...

1.5.1 Bidang Akademik ………...…

1.5.2 Bidang Pelayanan Masyarakat ………...………

1.5.3 Bidang Penelitian ………...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Mual Muntah Paska Operasi ...

i

ix

xi

xii

xiv

xv

1

1

8

8

9

9

9

9

9

10

10

(10)

2.2. Anatomi dan Fisiologi Mual Muntah ...

2.3. Etiologi dan Faktor Resiko ...

2.4. Aplikasi Sistem Skoring...

2.5. Penatalaksanaan ………..………

2.5.1 Pencegahan ……….

2.5.2. Kontrol PONV ………...……….

2.6. Ondansetron ...

2.6.1 Mekanisme Kerja ..…………..………...………

2.6.2 Farmakokinetik ..………...………

2.6.3 Penggunaan Klinis ………...…...…………...…………

2.6.4 Efek Samping …………...…...………

2.6.5 Kontraindikasi ..………...………...………

2.7. Midazolam ……….

2.7.1 Mekanisme Kerja ………..……….

2.7.2 Farmakokinetik ………..………

2.7.3 Penggunaan Klinis ………..………...

2.7.4 Efek Samping ………..………...

2.7.5 Kontraindikasi ………..………..

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ………...

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...

(11)

3.4 Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Putus Uji ...

3.5 Informed Consent ……...

3.6 Alat, Bahan dan Cara Kerja...

3.6.1 Alat ...………..………...………

3.6.2 Bahan ……….……….……….

3.6.3 Cara Kerja ………..………...………

3.7 Identifikasi Variabel ...

3.7.1 Variabel Bebas ……….…..………...………

3.7.2 Variabel Tergantung …………..………..………….

3.8 Cara Pengukuran Variabel Tergantung ……….…………..

3.8.1 Mual Muntah Paska Operasi (PONV) …………...………...…..…..

3.8.2 Sedasi ………...………….

3.8.3 Nyeri paska operasi……….………...………...

3.9 Definisi Operasional ………...………..

3.10 Rencana Manajemen dan Analisis Data ...

3.11 Masalah Etika...

3.12 Alur Penelitian...

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik sampel penelitian pada kedua kelompok penelitian…….……

4.2 Jenis operasi pada kedua kelompok penelitian………..

4.3 Angka kejadian mual muntah pada kedua kelompok penelitian…………...

4.4 Urutan dan hubungan jenis operasi terhadap kejadian mual muntah setelah

(12)

operasi diantara kedua kelompok penelitian………...

4.5 Hubungan lama operasi terhadap kejadian mual muntah setelah operasi

diantara kedua kelompok penelitian………..

4.6 Hubungan faktor resiko mual muntah terhadap kejadian mual muntah

setelah operasi………...…………...

4.7 Efek samping kejadian sakit kepala pada kedua kelompok penelitian ……..

4.8 Tingkat sedasi setelah operasi pada kedua kelompok penelitian…………...

4.9. Pemakaian opioid setelah operasi pada kedua kelompok penelitian……….

BAB V PEMBAHASAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan………

6.2 Saran………..

DAFTAR PUSTAKA

58

59

59

61

62

62

63

72

72

73

(13)

DAFTAR SINGKATAN

ADH Anti Diuretic Hormone

ASI Air susu ibu

AUC Area under curve

AV block Atrioventricular block

BMI Body Mass Index

COX2 Cyclooxygenase type 2 CTZ Chemoreceptor Trigger Zone

CYP Cytochrome P450

CYP1A1 Cytochrome P450 type 1A1 CYP1A2 Cytochrome P450 type 1A2

CYP2D6 Cytochrome P450 type 2D6

CYP3A Cytochrome P450 type 3A D2 Dopamine type 2

EKG Elektrokardiografi

ETT Endotracheal Tube

FiO2 Oxygen fraction

GABAA Gamma-amino butyricacid type A H2 Hystamine type 2

5HT3 5-hydroxytryptamine type 3

(14)

5HT1C 5-hydroxytryptamine type 1C IMT Indeks Massa Tubuh

LMA Laryngeal Mask Airway

M1 Muscarinic type 1

M Midazolam

O Ondansetron

OAA/S Observer's Assesment of Alertness/Sedation

PACU Post Anesthesia Care Unit

PCA Patient-Controlled Analgesia

PONV Post Operative nausea and vomiting

PS ASA Physical Status American Society of Anaesthesiology

RCT Randomized Controlled Trial

SD Standar deviasi

SSP Sistem saraf pusat

TIVA Total Intravenous Anaesthesia

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2-1 : Jalur muntah dan obat-obatan antiemetik yang umum

digunakan ……….. 12

Gambar 2.2-2 : Lokasi anatomi area postrema dan pusat muntah …... 14

Gambar 2.6-1 : Rumus bangun ondansetron ………..… 28

Gambar 2.7-1 : Rumus bangun midazolam …..………..… 30

Gambar 2.7-2 : Kerangka teori ……….………….….. 34

Gambar 2.7-3 : Kerangka konsep ……….………..….. 35

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.3-1 : Faktor resiko PONV dan kategori berdasarkan bukti yang

signifikan ……….. 19

Tabel 2.4-1 : Cara identifikasi faktor resiko PONV yang sederhana ... 20

Tabel 2.4-2 : Hubungan antara faktor resiko dengan tingkat resiko PONV ... 21

Tabel 2.5-1 : Rekomendasi strategi untuk meminimalisir kejadian PONV ... 23

Tabel 2.5-2 : Reseptor antiemetik spesifik dan efeknya ………... 26

Tabel 3.6.3-1 : Daftar dosis midazolam berdasarkan berat badan ... 45

Tabel 3.8.2-1 : Skor sedasi berdasarkan modifikasi skala Observer's Assesment of Alertness/Sedation (OAA/S) ... 48

Tabel 3.9-1 : Faktor resiko PONV berdasarkan Apfel ………... 49

Tabel 4.1-1 : Data karakteristik umum ..………...………... 54

Tabel 4.1-2 : Data karakteristik umum ………...………... 55

Tabel 4.2-1 : Jenis operasi subjek penelitian ... 56

Tabel 4.3-1 : Angka kejadian mual muntah pada jam ke-0, 2, 4, 8 dan 24 setelah operasi ……….………….. 57

Tabel 4.4-1 : Urutan dan hubungan jenis operasi terhadap kejadian mual muntah setelah operasi diantara kedua kelompok penelitian ... 58

(17)

operasi diantara kedua kelompok penelitian …...……... 59

Tabel 4.6-1 : Hubungan faktor resiko mual muntah terhadap kejadian mual

muntah setelah operasi ………...……. 60

Tabel 4.7-1 : Efek samping sakit kepala pada jam ke-0, 2, 4, 8 dan 24 jam

setelah operasi ... 61

Tabel 4.9-1 : Pemakaian opioid setelah operasi pada kedua kelompok

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Riwayat Hidup Peneliti ……….. 80

Lampiran 2 : Jadwal Pentahapan Penelitian ………... 81

Lampiran 3 : Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian ……..… 82

Lampiran 4 : Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ………..… 86

Lampiran 5 : Lembar Observasi Pasien ………...…….………….….. 88

Lampiran 6 : Lembar Persetujuan Komite Etik …………..……..….. 92

Lampiran 7 : Tabel Angka Random ...…...………..…... 93

Lampiran 8 : Daftar Pasien ……….…………..……...….. 94

(19)

ABSTRAK

Latar Belakang: Mual dan muntah adalah komplikasi yang paling sering terjadi sesudah tindakan pembedahan dengan anestesi umum. Angka kejadian mual muntah paska operasi (PONV) pada pasien dengan resiko rendah adalah 20-30% sedangkan pada pasien dengan resiko tinggi sebesar 70-80% selama 24 jam sesudah operasi.

Tujuan: Mendapatkan obat pilihan lain untuk mengurangi resiko kejadian mual muntah pada pasien dengan skor prediksi resiko tinggi dan sangat tinggi mengalami PONV berdasarkan skor Apfel dan membandingkan penurunan resiko kejadian mual muntah paska operasi sesudah pemberian midazolam 0,035 mg/kgbb/iv dan ondansetron 4 mg/iv 30 menit sebelum ekstubasi pada pasien yang dilakukan anestesi umum.

Metode: Penelitian menggunakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap 86 pasien, usia 18-60 tahun, status fisik ASA 1 dan 2, indeks massa tubuh 18-30 kg/m2, skor Apfel 3 dan 4 yang menjalani operasi elektif. Pasien dibagi menjadi dua kelompok (M dan O) dan tiap kelompok terdiri dari 43 pasien. Kelompok M menerima midazolam 0.035 mg/kg/iv dan kelompok O menerima ondansetron 4 mg/iv. PONV dinilai dengan menggunakan skala numerik 3 poin dari 0 (tidak ada mual dan muntah), 1 (mual), 2 (muntah), 3 (mual lebih dari 30 menit atau muntah lebih dari 2 kali) pada jam ke-0, 2, 4, 8 dan 24 setelah operasi. Sedasi dinilai menggunakan skala numerik 6 poin berdasarkan modifikasi Observer's Assessment of Alertness/Sedation (OAA/S) dimana skor 0 = tidur dalam dan skor 5 = sadar/waspada. Efek samping sakit kepala dinilai pada jam ke-0, 2, 4, 8 dan 24 paska operasi. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji T-independent, uji Mann-Whitney, uji Chi-square, uji Kolmogorov-Smirnov 2 sample dan uji Fisher's Exact dengan tingkat kemaknaan 95% dan p<0,05 dianggap bermakna secara statistika.

Hasil: Ada penurunan resiko kejadian mual muntah sesudah pemberian midazolam 0,035 mg/kg dibandingkan ondansetron 4 mg selama 24 jam sesudah operasi (p<0,05). Tingkat sedasi setelah pemberian midazolam menunjukkan skor 5 (sadar/waspada) dan sakit kepala hanya terjadi setelah pemberian ondansetron. Kesimpulan: Pemberian midazolam 0,035 mg/kg/iv 30 menit dapat mengurangi mual dan muntah tanpa memperpanjang waktu pulih sadar pada pasien yang mempunyai resiko tinggi dan sangat tinggi untuk mengalami mual muntah sesudah operasi dengan anestesi umum.

(20)

ABSTRACT

Background: Nausea and vomiting are the most common complications that occur after surgery with general anesthesia. The incidence of postoperative nausea and vomiting (PONV) in patients with low risk is 20-30% while in patients with a high risk of 70-80% within 24 hours after surgery.

Objective: To obtain another pharmacological option that may reduce risk of nausea and vomiting in patients with high and very high based on Apfel prediction risk scores and compare the decrease risk of PONV after the administration of midazolam 0.035 mg/kg/iv and 4 mg/iv of ondansetron 30 minutes before extubation in patients who will undergo general anesthesia.

Methods: This study is randomized randomized double blind clinical trial which includes 86 patients, age 18-60 years, ASA physical status 1 and 2, body mass index 18-30 kg/m2, Apfel scores of 3 and 4 who undergone elective surgery. Patients are divided into two groups (M and O) and each group consist of 43 patients. M group received midazolam 0.035 mg/kg/iv and O group received ondansetron 4 mg/iv. PONV is measured using numerical 3 points scale of 0 (no nausea and vomiting), 1 (nausea), 2 (vomiting), 3 (nausea more than 30 minutes or vomiting more than 2 times) performed at 0, 2, 4, 8 and 24 hours after surgery. Sedation score was assessed using numerical 6 points based on modified Observer's Assessment of Alertness/Sedation (OAA/S) scale (0 = slept in and 5 = aware/alert). The side effect of headache was assessed at 0, 2, 4, 8 and 24 hours post surgery. The data were analyzed using independent T-test, Mann-Whitney test, Chi-square test, Kolmogorov-Smirnov 2 sample test and Fisher's Exact test with a confidence level of 95% and p<0.05 was considered statistically significant.

Results: There was a decrese risk of nausea and vomiting after the administration of midazolam 0.035 mg/kg/iv compared to ondansetron 4 mg/iv during first 24 hours after surgery (p<0,05). The level of sedation after administration of midazolam showed a score of 5 (aware/alert). Headache occur only after the administration of ondansetron.

Conclusion: Administration of midazolam 0.035 mg/kg/iv 30 minutes before extubation may reduce nausea and vomiting without causing prolongation of consciousness and recovery time in patients who have high and very high risk of nausea and vomiting after surgery with general anesthesia.

(21)

ABSTRAK

Latar Belakang: Mual dan muntah adalah komplikasi yang paling sering terjadi sesudah tindakan pembedahan dengan anestesi umum. Angka kejadian mual muntah paska operasi (PONV) pada pasien dengan resiko rendah adalah 20-30% sedangkan pada pasien dengan resiko tinggi sebesar 70-80% selama 24 jam sesudah operasi.

Tujuan: Mendapatkan obat pilihan lain untuk mengurangi resiko kejadian mual muntah pada pasien dengan skor prediksi resiko tinggi dan sangat tinggi mengalami PONV berdasarkan skor Apfel dan membandingkan penurunan resiko kejadian mual muntah paska operasi sesudah pemberian midazolam 0,035 mg/kgbb/iv dan ondansetron 4 mg/iv 30 menit sebelum ekstubasi pada pasien yang dilakukan anestesi umum.

Metode: Penelitian menggunakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap 86 pasien, usia 18-60 tahun, status fisik ASA 1 dan 2, indeks massa tubuh 18-30 kg/m2, skor Apfel 3 dan 4 yang menjalani operasi elektif. Pasien dibagi menjadi dua kelompok (M dan O) dan tiap kelompok terdiri dari 43 pasien. Kelompok M menerima midazolam 0.035 mg/kg/iv dan kelompok O menerima ondansetron 4 mg/iv. PONV dinilai dengan menggunakan skala numerik 3 poin dari 0 (tidak ada mual dan muntah), 1 (mual), 2 (muntah), 3 (mual lebih dari 30 menit atau muntah lebih dari 2 kali) pada jam ke-0, 2, 4, 8 dan 24 setelah operasi. Sedasi dinilai menggunakan skala numerik 6 poin berdasarkan modifikasi Observer's Assessment of Alertness/Sedation (OAA/S) dimana skor 0 = tidur dalam dan skor 5 = sadar/waspada. Efek samping sakit kepala dinilai pada jam ke-0, 2, 4, 8 dan 24 paska operasi. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji T-independent, uji Mann-Whitney, uji Chi-square, uji Kolmogorov-Smirnov 2 sample dan uji Fisher's Exact dengan tingkat kemaknaan 95% dan p<0,05 dianggap bermakna secara statistika.

Hasil: Ada penurunan resiko kejadian mual muntah sesudah pemberian midazolam 0,035 mg/kg dibandingkan ondansetron 4 mg selama 24 jam sesudah operasi (p<0,05). Tingkat sedasi setelah pemberian midazolam menunjukkan skor 5 (sadar/waspada) dan sakit kepala hanya terjadi setelah pemberian ondansetron. Kesimpulan: Pemberian midazolam 0,035 mg/kg/iv 30 menit dapat mengurangi mual dan muntah tanpa memperpanjang waktu pulih sadar pada pasien yang mempunyai resiko tinggi dan sangat tinggi untuk mengalami mual muntah sesudah operasi dengan anestesi umum.

(22)

ABSTRACT

Background: Nausea and vomiting are the most common complications that occur after surgery with general anesthesia. The incidence of postoperative nausea and vomiting (PONV) in patients with low risk is 20-30% while in patients with a high risk of 70-80% within 24 hours after surgery.

Objective: To obtain another pharmacological option that may reduce risk of nausea and vomiting in patients with high and very high based on Apfel prediction risk scores and compare the decrease risk of PONV after the administration of midazolam 0.035 mg/kg/iv and 4 mg/iv of ondansetron 30 minutes before extubation in patients who will undergo general anesthesia.

Methods: This study is randomized randomized double blind clinical trial which includes 86 patients, age 18-60 years, ASA physical status 1 and 2, body mass index 18-30 kg/m2, Apfel scores of 3 and 4 who undergone elective surgery. Patients are divided into two groups (M and O) and each group consist of 43 patients. M group received midazolam 0.035 mg/kg/iv and O group received ondansetron 4 mg/iv. PONV is measured using numerical 3 points scale of 0 (no nausea and vomiting), 1 (nausea), 2 (vomiting), 3 (nausea more than 30 minutes or vomiting more than 2 times) performed at 0, 2, 4, 8 and 24 hours after surgery. Sedation score was assessed using numerical 6 points based on modified Observer's Assessment of Alertness/Sedation (OAA/S) scale (0 = slept in and 5 = aware/alert). The side effect of headache was assessed at 0, 2, 4, 8 and 24 hours post surgery. The data were analyzed using independent T-test, Mann-Whitney test, Chi-square test, Kolmogorov-Smirnov 2 sample test and Fisher's Exact test with a confidence level of 95% and p<0.05 was considered statistically significant.

Results: There was a decrese risk of nausea and vomiting after the administration of midazolam 0.035 mg/kg/iv compared to ondansetron 4 mg/iv during first 24 hours after surgery (p<0,05). The level of sedation after administration of midazolam showed a score of 5 (aware/alert). Headache occur only after the administration of ondansetron.

Conclusion: Administration of midazolam 0.035 mg/kg/iv 30 minutes before extubation may reduce nausea and vomiting without causing prolongation of consciousness and recovery time in patients who have high and very high risk of nausea and vomiting after surgery with general anesthesia.

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Mual dan muntah paska operasi atau Post Operative Nausea and Vomitting (PONV) adalah komplikasi paling sering yang terjadi sesudah tindakan pembedahan dengan anestesi umum.1 Angka kejadian PONV pada pasien

dengan resiko rendah adalah 20-30% sedangkan pada pasien dengan resiko

tinggi sebesar 70-80% selama 24 jam sesudah operasi. Gejala awal PONV

dapat terjadi dalam 2-6 jam setelah pembedahan dan gejala lanjutan terjadi

dalam 24-48 jam setelah pembedahan.2,3 Cut Meliza Zainumi dari FK USU

(2011) melaporkan bahwa kejadian PONV di RSUP H. Adam Malik Medan

adalah sebesar 40%, dimana skor Apfel lebih efektif dalam memprediksi

kemungkinan PONV.4 Walaupun PONV jarang mengancam nyawa dan

bersifat self-limiting tetapi mual dan muntah dapat menyebabkan rasa tidak nyaman bahkan meningkatkan resiko pneumonia aspirasi akibat tertundanya

fungsi saluran nafas yang normal paska operasi, dehidrasi, ketidakseimbangan

elektrolit, wound dehiscence, ruptur esophagus, hematoma, hipertensi vena dan perdarahan. Kejadian PONV juga dapat meningkatkan lamanya masa

rawatan di ruang pemulihan dan bertambahnya biaya perawatan, kebutuhan

obat-obat antiemetik, dan cairan infus.2,5

Penyebab PONV multifaktorial dan sebagian besar dipengaruhi oleh

karakteristik pasien (umur, jenis kelamin, obesitas, riwayat PONV atau motion sickness sebelumnya), lama puasa, status hidrasi, nyeri, pemakaian opioid, lokasi dan jenis pembedahan (prosedur laparoskopi, ginekologi, genitourinaria

dan otolaringologi), teknik anestesi serta lama pembedahan.1,3 Seorang ahli

anestesi dituntut untuk mempunyai pengetahuan yang luas mengenai

(24)

2

meminimalisir kejadian PONV dan memberikan profilaksis serta pengobatan

yang efektif.

Belakangan ini skor resiko PONV telah digunakan sebagai cara untuk

mengklasifikasikan pasien sesuai dengan prediksi resiko dan memberikan

profilaksis sesuai dengan klasifikasinya. Di negara Barat sudah dilakukan

berbagai penelitian dengan menggunakan analisis regresi yang logis untuk

mendapatkan model prediksi PONV. Eberhart dkk. pernah melakukan evaluasi akurasi terhadap tiga skor resiko PONV yang sering digunakan yaitu

Apfel, Koivuranta dan Palazzo-Evan untuk menentukan nilai area under curve

(AUC) dengan interval kepercayaan 95%. Dikatakan bahwa AUC untuk skor

Apfel 0,70 (0,67-0,72), Koivuranta 0,71 (0,69-0,73) dan Pallazo-Evan 0,68

(0,65-0,70) dan disimpulkan bahwa ketiga skor resiko tersebut mempunyai

akurasi sedang untuk prediksi PONV. Pada orang dewasa, skor Apfel dan

Koivuranta secara statistik menunjukkan predictive value yang lebih tinggi dibandingkan Palazzo dan Evans, pada penelitian ini nilai discriminating power skor Apfel lebih tinggi dibandingkan Koivuranta (0,68 dan 0,66).6 Pada penelitian lainnya, secara numerik skor Koivuranta lebih besar pada receiver operator curve (ROC) dibandingkan dengan skor Apfel.7

Saat ini sudah dikenal berbagai macam obat profilaksis PONV yang

dapat digunakan seperti antagonis reseptor serotonin (5-HT3), droperidol,

deksametason, metoklopramid, antikolinergik, promethazin, remifentanil,

propofol, midazolam, dll.1,8 Terapi profilaksis mono atau multi-modal dapat

diberikan untuk penderita dengan resiko PONV sedang dan terapi multi-modal

diberikan pada penderita dengan resiko PONV berat. Namun demikian,

beberapa obat antiemetik mempunyai kerugian dan keterbatasan seperti

antagonis 5HT3 (ondansetron, granisetron, dsb.) harganya relatif mahal dan

menyebabkan efek samping sakit kepala. Antagonis reseptor dopamin dapat

menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal dan sedasi yang berlebihan,

(25)

3

Beberapa penelitian tentang efek benzodiazepin melaporkan bahwa

lorazepam dapat mengurangi lama waktu dan perburukan mual dan muntah

tetapi kurang efektif karena mula kerja lambat dan lama kerja panjang

sehingga efek sedasi dan efek ansiolitik yang tidak diinginkan lainnya

berlangsung lebih lama.9,10 Sedangkan midazolam mempunyai mula kerja

yang cepat, lama kerja singkat dan lazim digunakan untuk premedikasi dan

induksi anestesi umum.11 Meskipun laporan kasus dan penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) sudah banyak dilakukan tetapi pemakaian midazolam sebagai antiemetik masih belum dapat diterima secara luas. Di Australia

pemakaian midazolam sangat populer dimana midazolam dosis rendah

digunakan untuk terapi PONV berat yang tidak berhasil dengan pemberian

antiemetik lainnya. Data yang dapat dipercaya tentang kemanjuran antiemetik

standar dan midazolam masih dibutuhkan, sejauh mana kemampuannya untuk

mencegah atau mengurangi PONV.11

Mohammed Reza Safavi dkk. membandingkan efek midazolam

premedikasi dan paska operasi untuk mengurangi PONV pada 60 pasien yang

menjalani pembedahan abdominal bagian bawah dengan anestesi umum. Dari

hasil penelitian dikatakan bahwa kelompok yang menerima midazolam 35

µg/kg/iv 30 menit sebelum ekstubasi lebih sedikit mengalami PONV (3%)

dibandingkan dengan kelompok yang menerima midazolam 35 µg/kg/iv 15

menit sebelum induksi anestesi (24%) dan kelompok plasebo (73%) tanpa

menyebabkan efek sedasi yang berlebihan.12

Sayed Morteza Heidaridkk. membandingkan midazolam 0,075 mg/kg

dan kombinasi midazolam 0,075 mg/kg dengan deksametason 0,05 mg/kg

pada 66 pasien yang menjalani pembedahan elektif telinga bagian tengah

dengan anestesi umum. Dari hasil penelitian dikatakan bahwa kombinasi

deksametason dengan midazolam secara bermakna efektif untuk mencegah

PONV dan mengurangi pemakaian metoklopramid sampai 24 jam sesudah

(26)

4

Naeem K. Makhdoom dkk. melakukan penelitian pada 80 wanita yang

menjalani pembedahan telinga bagian tengah dengan anestesi umum,

menyimpulkan bahwa kombinasi midazolam 0,075 mg/kg dengan

deksametason 10 mg lebih efektif mengurangi PONV (3%) dibandingkan

midazolam atau deksametason tunggal dengan dosis yang sama (kejadian

PONV masing-masing sebesar 25% dan 35%).14

Jae Hyun Ha dkk. melakukan penelitian untuk membandingkan

kejadian PONV pada 119 wanita yang menjalani operasi thyroidektomi

dengan anestesi umum dimana 41 pasien menerima midazolam 0,075 mg/kg,

39 pasien menerima ondansetron 4 mg dan 39 pasien menerima plasebo. Dari

penelitian diperoleh hasil bahwa kelompok midazolam paling sedikit

mengalami PONV (34%) dibandingkan kelompok ondansetron (46%) dan

kelompok plasebo (64%) sedangkan skor sedasi dan skor nyeri paska operasi

pada ketiga kelompok tidak berbeda bermakna.15

Penelitian Y. Lee dkk.terhadap 90 pasien yang menjalani pembedahan

minor histeroskopi dan ureteroskopi dengan anestesi umum inhalasi dan

Laryngeal Mask Airway (LMA) mengatakan bahwa baik ondansetron 4 mg maupun midazolam 2 mg intravena yang diberikan 30 menit sebelum operasi

berakhir mempunyai efek yang sama untuk mengurangi PONV tanpa

pemanjangan efek sedasi dan lama waktu pemulihan akibat midazolam.

Dalam hal ini ondansetron yang harganya lebih mahal ternyata tidak lebih

superior dibandingkan midazolam.16

Waleed Riad dkk. melakukan penelitian pada 100 anak yang menjalani

operasi strabismus elektif dengan anestesi umum untuk mengurangi PONV

menggunakan kombinasi granisetron 10 µg/kg dengan deksametason 0,5

mg/kg, dibandingkan kombinasi ondansetron 50 µg/kg dengan deksametason

0,5 mg/kg, kombinasi midazolam 50 µg/kg dengan deksametason 0,5 mg/kg

dan plasebo yang diberikan setelah induksi anestesi dan sebelum operasi

(27)

5

deksametason tidak didapatkan kejadian mual dan muntah sedangkan pada

kelompok plasebo kejadian mual dan muntah adalah 48% dan 52%,

kelompok kombinasi granisetron dengan deksametason 8% dan 12%, dan

kelompok kombinasi ondansetron dengan deksametason 12% dan 4%.17,18

Nasrin Shirdashtzadeh dkk. telah membandingkan efek midazolam,

promethazin dan plasebo yang diberikan 5 menit sebelum operasi untuk

mengurangi PONV pada 75 pasien yang menjalani operasi appendektomi

dengan anestesi umum. Dari hasil perbandingan dikatakan tidak ada

perbedaan yang bermakna antara midazolam 0,05 mg/kg dibandingkan

dengan promethazin 1 mg/kg ataupun plasebo dimana kejadian PONV pada

kelompok midazolam 19,2%, kelompok promethazin 0% dan kelompok

plasebo 81,8%.19199,2%____________

Eun Young Park dkk. dalam penelitiannya pada 126 wanita bukan

perokok yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan anestesi umum

membandingkan kelompok yang diberikan midazolam 50 µg/kg sebelum

induksi anestesi dengan NaCl 0,9% 5 ml 30 menit sebelum operasi berakhir

dan kelompok yang diberikan NaCl 0,9% 5 ml sebelum induksi anestesi

dengan midazolam 50 µg/kg 30 menit sebelum operasi berakhir dan

kelompok yang diberikan NaCl 0,9% 5 ml sebelum induksi anestesi dan 30

menit sebelum operasi berakhir. Kemudian ketiga kelompok menerima

ramosetron 0,3 mg/iv sesudah operasi. Dikatakan bahwa midazolam dengan

ramosetron lebih efektif mengurangi PONV (71-73%) dibandingkan NaCl

0,9% dengan ramosetron (44%).20

Penelitian Azim Honarmand dkk. dalam hal mengurangi PONV pada

80 pasien yang menjalani operasi telinga bagian tengah bertujuan untuk

membandingkan haloperidol 2 mg, midazolam 2 mg, kombinasi haloperidol 2

mg dengan midazolam 2 mg intravena dan plasebo. Dari hasil penelitian

(28)

6

midazolam mengalami lebih sedikit PONV dibandingkan 3 kelompok lainnya

selama 0-24 jam sesudah operasi.21

Ayman Abdul Azim meneliti efek profilaksis midazolam,

deksametason, kombinasi midazolam dengan deksametason, haloperidol dan

plasebo untuk mengurangi PONV pada 150 wanita yang menjalani

laparoskopi ginekologi dengan anestesi umum. Dari penelitian tersebut

diperoleh hasil bahwa kelompok haloperidol 1 mg dan kelompok kombinasi

midazolam 50 µg/kg dengan deksametason 50 µg/kg mengalami mual 3,3%

dan muntah 0%, kelompok midazolam 50 µg/kg mengalami mual 16,66%

dan muntah 13,33%, kelompok deksametason 50 µg/kg mengalami mual

33,3% dan muntah 23,33% dan kelompok plasebo mengalami mual 63,3%

dan muntah 40%.22

Hakki Unlugenc dkk. membandingkan efek antiemetik propofol 15

mg, midazolam 1 mg, midazolam 2 mg dan ondansetron 4 mg intravena pada

120 pasien yang mengalami PONV dari 453 pasien yang menjalani

pembedahan ginekologi dan abdominal elektif. Dari hasil perbandingan

diperoleh hasil bahwa dosis subhipnotik propofol dan midazolam mempunyai

efek yang sama dengan ondansetron untuk mengurangi PONV dengan efek

sedasi yang lebih singkat dibandingkan efek antiemetiknya.23

Ji Sung Jang dkk. melakukan penelitian PONV pada 60 pasien yang

menjalani myringoplasti dan diberikan sedasi kontinu paska operasi dengan

kombinasi midazolam dengan remifentanil dibandingkan midazolam tunggal.

Dari hasil penelitian dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna,

dimana 3 dari 30 pasien yang menerima midazolam mengalami PONV dan 4

dari 30 pasien yang menerima kombinasi midazolam dengan remifentanil

mengalami PONV.24

Dae Seong Kim dkk. juga melakukan penelitian pada 90 pasien yang

(29)

7

menerima fentanil 20 µg/kg ditambah ondansetron 16 mg, 30 pasien

menerima fentanil 20 µg/kg ditambah midazolam 5 mg dan 30 pasien

menerima ondansetron 16 mg ditambah midazolam 5 mg. Kejadian PONV

pada kelompok ondansetron ditambah midazolam (16,7%) dan kelompok

fentanil ditambah midazolam (16,7%), secara bermakna lebih rendah

dibandingkan kelompok fentanil ditambah ondansetron (43,3%) sedangkan

skor sedasi dan skor VAS tidak berbeda bermakna pada semua kelompok.25

Young Hoon Jeon dkk. meneliti 90 wanita yang menjalani

histerektomi total abdominal dengan anestesi umum, mengatakan bahwa

kelompok yang diberikan morfin 5 mg bolus intravena diikuti PCA yang

berisi morfin 1 mg/ml mengalami PONV lebih banyak (70%) dibandingkan

kelompok yang diberikan campuran midazolam 1 mg dengan morfin 5 mg

bolus intravena diikuti PCA yang berisi campuran midazolam 0,4 mg tiap 1

mg morfin (27%) atau kelompok yang diberikan campuran ondansetron 4 mg

dengan morfin 5 mg bolus intravena diikuti pemberian PCA yang berisi

ondansetron 0,4 mg tiap 1 mg morfin (36%). Dari penelitian ini mereka

menyimpulkan bahwa midazolam sama efektifnya dengan ondansetron untuk

mencegah PONV tanpa menyebabkan sedasi yang dalam.26

Berdasarkan penelitian di atas mengenai perbandingan midazolam dan

berbagai antiemetik standar lainnya untuk mencegah atau mengurangi PONV

serta penelitian mengenai berbagai dosis midazolam untuk mengurangi

PONV dikatakan bahwa midazolam mempunyai efek antiemetik selain efek

ansiolitiknya dan dosis 0,035 mg/kg/iv merupakan dosis terendah yang

pernah diteliti dan efektif mengurangi mual muntah serta pemberiannya 30

menit sebelum ekstubasi lebih baik dibandingkan bila diberikan sebagai

premedikasi dan tidak menyebabkan pemanjangan waktu pulih sadar. Selain

itu, midazolam mudah diperoleh dan rutin digunakan pada teknik anestesi

umum serta harganya relatif murah. Sedangkan pemberian ondansetron 4-8

(30)

8

berdasarkan konsensus penatalaksanaan PONV namun harganya relatif

mahal.

Selain itu, hanya beberapa penelitian saja yang menerapkan skor

prediksi resiko untuk PONV. Seharusnya untuk mengetahui ada atau

tidaknya penurunan resiko kejadian PONV dengan obat-obat antiemetik

maka penelitian harus dilakukan pada populasi yang mempunyai prediksi

resiko tinggi untuk mengalami PONV.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut :

Apakah ada perbedaan penurunan resiko kejadian mual muntah paska operasi

sesudah pemberian midazolam 0,035 mg/kgbb/iv dibandingkan ondansetron

4 mg/iv 30 menit sebelum ekstubasi pada pasien dengan skor Apfel 3-4 yang

akan dilakukan anestesi umum?

1.3. HIPOTESIS

Ada perbedaan penurunan resiko kejadian mual muntah paska operasi

sesudah pemberian midazolam 0,035 mg/kgbb/iv dibandingkan ondansetron

4 mg/iv 30 menit sebelum ekstubasi pada pasien dengan skor Apfel 3-4 yang

(31)

9

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan obat pilihan lain yang dapat mengurangi resiko

kejadian PONV pada pasien dengan skor prediksi resiko tinggi dan sangat

tinggi mengalami PONV berdasarkan Apfel.

1.4.2.Tujuan Khusus

1. Mendapatkan angka kejadian PONV sesudah pemberian midazolam

0,035 mg/kgbb/iv 30 menit sebelum ekstubasi.

2. Mengetahui tingkat sedasi yang terjadi sesudah pemberian midazolam

0,035 mg/kgbb/iv 30 menit sebelum ekstubasi.

3. Mendapatkan angka kejadian PONV sesudah pemberian ondansetron 4

mg/iv 30 menit sebelum ekstubasi.

4. Mendapatkan angka kejadian sakit kepala sesudah pemberian

ondansetron 4 mg/iv 30 menit sebelum ekstubasi.

5. Mendapatkan obat antiemetik yang dapat mengurangi resiko PONV

dengan harga yang relatif murah tetapi dengan efek samping minimal.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Manfaat Dalam Bidang Akademik

a. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi untuk penelitian

selanjutnya

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan

acuan untuk penanganan mual dan muntah paska operasi akibat

(32)

10

1.5.2. Manfaat Dalam Bidang Pelayanan Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pilihan terapi dalam

mencegah mual dan muntah akibat tindakan anestesi umum pada pasien

dengan resiko tinggi mengalami PONV.

1.5.3. Manfaat Dalam Bidang Penelitian

Sebagai data untuk penelitian lanjutan midazolam dibandingkan obat

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI MUAL MUNTAH PASKA OPERASI

Mual dan muntah paska operasi atau Postoperative Nausea and Vomitting

(PONV) adalah komplikasi yang tidak menyenangkan yang dapat terjadi selama

24 jam sesudah tindakan operasi dengan anestesi baik anestesi umum maupun

regional.27 Flagg menyatakan bahwa PONV dapat disebabkan oleh berbagai faktor

selain anestesi dan paling sedikit ada 3 (tiga) macam muntah yaitu yang

disebabkan pemakaian eter, respon refleks dan pemakaian opioid.28

PONV meliputi 3 (tiga) gejala yang dapat terjadi secara terpisah atau

bersamaan. Mual adalah sensasi subjektif yang berasal dari tenggorokan dan

epigastrium serta bersifat urgensi untuk muntah tanpa adanya pergerakan otot

untuk mengeluarkan isi lambung. Apabila memberat maka rasa mual dapat

meningkatkan sekresi air liur, gangguan vasomotor dan berkeringat. Muntah

didefinisikan sebagai refleks paksa untuk mengeluarkan isi lambung melalui

mulut akibat aktifitas otot abdomen, interkosta, laring dan faring termasuk

kontraksi retrograde yang besar dari usus, relaksasi fundus lambung, penutupan glottis dan elevasi palatum lunak. Aktivitas muntah berhubungan dengan

peningkatan denyut jantung, laju nafas dan keringat. Retching adalah usaha untuk muntah tanpa ada isi lambung yang keluar walaupun dengan kekuatan otot untuk

mengeluarkannya.2

2.2. ANATOMI DAN FISIOLOGI MUAL MUNTAH

Mual dan muntah merupakan suatu fenomena yang dapat dipicu oleh berbagai

(34)

12

Gambar 2.2-1. Jalur muntah dan obat-obat antiemetik yang umum digunakan (Rahman MH, Beattie J. Post-operative Nausea and Vomitting, The Pharmaceutical Journal, 2004, Vol. 273) 29

Kontrol primer untuk mual dan muntah berasal dari pusat muntah di

formasi lateral reticular medulla oblongata. Ada 6 (enam) jalur aferen primer

yang terlibat dalam stimulasi pusat muntah, seperti : 28,29

 Pusat kortikal tertinggi (sistem limbik, olfaktorius, korteks visual, dll) dan thalamus di dalam SSP (yang berhubungan dengan rasa,

penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa takut)  Chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema

[image:34.595.119.544.118.462.2]
(35)

13

 Jalur mukosa vagal (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)

 Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik)

 Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag reflex) Stimulasi salah satu jalur aferen ini dapat memicu aktifitas muntah di sentral

melalui reseptor kolinergik (muskarinik), dopaminergik, histaminergik, opioid

atau serotonergik.29,30

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus

emetik dari usus berasal dari dua tipe serabut saraf aferen vagus, yaitu :

a) Mekanoreseptor : berlokasi pada otot dinding usus dan diaktifkan oleh

kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama

operasi.

b) Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif

terhadap stimulus kimia (substansi noksius) dalam lingkungan

luminal.28

CTZ berada di dasar ventrikel IV dalam area postrema batang otak.27 Area

postrema mempunyai kemampuan untuk mendeteksi toksin yang beredar dalam

CSF dan mengaktivasi pusat muntah di medulla oblongata. Komponen motorik

refleks muntah diperantarai oleh sensasi autonomik dan somatik dan diatur oleh

sistem muntah di batang otak. Neuron vagal motorik yang mensuplai usus dan

jantung berasal dari nukleus vagal motorik dorsal dan nukleus ambigu. Kelompok

respiratori dorsal dan ventral selain merupakan neuron parasimpatis juga untuk

mempertahankan tonus simpatis jantung dan pembuluh darah dan bertugas

mengatur keluaran nervus frenikus dari spinal servikal dalam batang otak.

Keluarandari nukleus ini diatur untuk menghasilkan model fisiologis muntah.

CTZ kaya akan reseptor dopamin dan 5-hydroxytryptamin (D2 dan 5HT3).

(36)

14

stimulus-stimulus (cth. obat-obatan dan toksin). CTZ juga dipengaruhi oleh agen

anestesi, opioid dan faktor humoral (cth. 5HT) yang dilepas sewaktu operasi.

Sistem vestibular dapat menstimulasi PONV akibat operasi pada telinga bagian

tengah atau gerakan pasien sesudah operasi. Gerakan tiba-tiba dari kepala pasien

sesudah sadar menyebabkan gangguan vestibular di telinga bagian tengah dan

menambah kejadian PONV. Asetilkolin dan histamin berhubungan dengan

transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat muntah. Pusat kortikal tertinggi

(cth. sistem limbik) juga berhubungan terutama jika ada riwayat PONV. Selain

itu, pusat muntah di medulla oblongata letaknya sangat dekat dengan pusat viseral

[image:36.595.119.544.335.534.2]

lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor.28,29

Gambar 2.2-2. Lokasi anatomi area postrema dan pusat muntah (Naylor RJ, Inall FC. The physiology and pharmacology of postoperative nausea and vomiting. Anesthesia, 1994, Vol. 49, Hal. 2-5) 31

Refleks muntah dibagi menjadi 2 (dua) fase yaitu : 28

1. Fase pre-ejeksi : mempunyai karakteristik berupa sensasi mual yang

berhubungan dengan dingin, berkeringat, dilatasi pupil, hipersalivasi dan

takikardi yang diperantarai oleh nervus simpatis dan parasimpatis.

(37)

15

2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO 28,30,32-34

Etiologi muntah pada PONV merupakan multifaktorial. Faktor-faktor

penyebabnya dapat diklasifikasikan berdasarkan rangkaian waktu yang dapat

diamati pada pasien yaitu :

1. Faktor – faktor pasien

a. Umur : kejadian PONV 5% pada bayi, 25% pada anak usia

dibawah 5 tahun, 42 – 51% pada anak umur 6 – 16 tahun dan 14 – 40% pada orang dewasa.

b. Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali lebih sering dibandingkan laki – laki, kemungkinan disebabkan hormon pada perempuan.

c. Obesitas (BMI ≥ 30 kg/m2) : pada pasien gemuk lebih mudah terjadi PONV karena jaringan lemak yang berlebihan dapat

menyimpan obat – obat anestesi atau karena produksi estrogen yang berlebihan oleh jaringan lemak.

d. Motion sickness : pasien yang mudah mengalami motion sickness merupakan predisposisi untuk PONV.

e. Pemanjangan waktu pengosongan lambung : pasien dengan

gangguan intra abdominal, diabetes melitus, hipotiroid,

kehamilan, peningkatan tekanan intrakranial, banyak menelan

darah dan lambung penuh meningkatkan resiko terjadinya

PONV.

f. Perokok : pasien yang bukan perokok akan lebih cenderung

mengalami PONV.

2. Faktor – faktor praoperatif

a. Puasa : puasa yang lama atau baru saja makan akan

meningkatkan kejadian PONV.

b. Ansietas : stres dan kecemasan secara fisiologi dapat

(38)

16

c. Alasan operasi : operasi dengan peningkatan tekanan

intrakranial, obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, atau

pasien dengan kemoterapi dapat meningkatkan kejadian

PONV.

d. Premedikasi : atropin sulfat akan memperpanjang waktu

pengosongan lambung dan mengurangi tonus esofageal. Opioid

(cth. morfin dan pethidin) dapat meningkatkan sekresi asam

lambung, menurunkan motilitas saluran cerna dan

memperlambat pengosongan lambung. Hal-hal di atas akan

menstimulasi CTZ dan menambah pelepasan 5HT3 dari sel-sel

enterochromaffin disertai pelepasan ADH.

3. Faktor – faktor intraoperatif a. Faktor anestesi

i. Intubasi : stimulasi mekanoreseptor aferen faring dapat

menyebabkan muntah.

ii. Anestetik : anestesi yang terlalu dalam atau inflasi

lambung sewaktu ventilasi tekanan positif dengan

masker dapat menyebabkan muntah.

iii. Anestesia : gerakan kepala pasien setelah sadar

menyebabkan perangsangan vestibular yang tiba-tiba

dan meningkatkan kejadian PONV.

iv. Obat – obat anestesi : opioid yang diberikan sebagai premedikasi mempunyai reseptor di CTZ,

meningkatkan efek inhibisi GABA, menurunkan

aktifitas dopaminergik dan menyebabkan pelepasan

5HT3 di otak sehingga meningkatkan kejadian PONV.

Pemakaian etomidat dan methohexital juga

berhubungan dengan tingginya angka kejadian PONV

(39)

17

v. Agen inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan kejadian PONV yang tinggi karena pelepasan

katekolamin. Sevofluran, enfluran, desfluran dan

halothan berhubungan dengan rendahnya derajat

PONV. N2O mempunyai peranan yang bermakna untuk

terjadinya PONV. Mekanisme muntah akibat N2O

terjadi karena kerjanya pada reseptor opioid sentral,

perubahan tekanan dari telinga bagian tengah, stimulasi

saraf simpatis dan distensi lambung.

b. Teknik anestesi

Kejadian PONV diprediksi lebih rendah dengan

anestesi spinal dibandingkan dengan anestesi umum

karena tidak menggunakan N2O dan anestesi inhalasi.

Pada anestesi regional, emesis intraoperasi dan paska

operasi berhubungan dengan pemakaian opioid

neuraksial dan hipotensi.

c. Faktor pembedahan :

i. Lokasi operasi : berhubungan dengan tingginya

kejadian dan keparahan PONV. Sebagai contoh operasi

abdomen, mata, THT, gigi, orthopedic shoulder, laparoskopi, ginekologi, payudara, plastik, bedah saraf

dan operasi pada pasien-pasien anak seperti strabismus,

adenotonsilektomi dan orchidopexy.

ii. Lama operasi : setiap penambahan waktu operasi 30

menit akan meningkatkan resiko PONV sampai 60%

sehingga resiko yang awalnya hanya 10% meningkat

(40)

18

4. Faktor – faktor paska operatif

Nyeri, pusing, pasien bedah rawat jalan, pemberian diet yang terlalu

cepat dan konsumsi opioid paska operasi.

Pemberian rutin profilaksis untuk mencegah PONV pada semua pasien

yang menjalani pembedahan tidak direkomendasikan karena tidak semua pasien

yang menjalani pembedahan akan timbul PONV. Pemberian profilaksis

kadang-kadang justru menimbulkan efek samping dari obat sehingga biaya pengobatan

bertambah besar. Oleh sebab itu, kita harus selektif dalam memilih pasien yang

beresiko untuk mengalami PONV.35 Bagaimanapun, pengertian mengenai faktor

resiko PONV belumlah lengkap. Untuk mengerti tentang patofisiologi dan faktor

resiko PONV menjadi sulit oleh karena banyaknya faktor yang mempengaruhi,

seperti banyaknya reseptor dan stimulus mual muntah. Setidaknya ada 7

neurotransmiter yang telah diketahui berperan dalam terjadinya PONV seperti

serotonin, dopamin, muskarinik, asetilkolin, neurokinin-1, histamin dan opioid.

Pengertian mengenai faktor resiko PONV mengalami peningkatan sejak awal

1990-an dengan adanya analisis stastistik yang lebih baik dan stratifikasi.

Perkembangan prediksi PONV menggunakan sistem skoring berdasarkan

penelitian dan publikasinya dalam menentukan antiemetik profilaksis, menuntun

(41)
[image:41.595.117.522.200.467.2]

19

Tabel 2.3-1.

Faktor resiko PONV dan kategori berdasarkan bukti yang signifikan (Apfel CC, Roewer N. Postoperative Nausea and Vomitting, Anaesthetist, 2004, Vol. 53, Hal. 377-389) 34

2.4. APLIKASI SISTEM SKORING

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor resiko

terjadinya PONV dengan menggunakan analisis regresi yang logis oleh Palazzo

dan Evans, Koivuranta dkk., Apfel dkk., Sinclair dkk., dan Stadler dkk. Faktor

resiko yang paling sering adalah wanita, riwayat PONV sebelumnya, riwayat

motion sickness, tidak merokok, pemakaian opioid paska operasi, anestesi inhalasi dan N2O.7 Apfel dkk. menciptakan skor resiko PONV yang sederhana dalam 4

(empat) faktor resiko primer untuk PONV pada pasien yang menerima anestesi

inhalasi balance, yaitu : wanita, tidak merokok, mempunyai riwayat PONV atau

(42)

20

Koivuranta dkk. menunjukkan bahwa : wanita, riwayat PONV sebelumnya, lama

operasi > 60 menit, riwayat motion sickness dan bukan perokok adalah lima prediktor terkuat untuk terjadinya PONV.36,37 Stadler dkk. menemukan perbedaan

faktor resiko untuk mual dan muntah. Gender wanita, tidak merokok, dan anestesi

umum merupakan prediksi untuk mual dan muntah, sementara riwayat migren dan

tipe operasi merupakan faktor utama yang menyebabkan mual.27

Menurut Apfel dan Koivuranta, penambahan satu atau lebih faktor resiko

hanya sedikit atau tidak sama sekali menambah akurasi. Sistem skoring yang

sederhana menyingkirkan perhitungan yang sulit dan mengurangi perlunya

anamnesa yang lebih rinci namun menunjukkan kekuatan yang lebih atau sama

bila dibandingkan dengan formula yang lebih kompleks. Pada pasien dewasa, skor

Apfel dan Koivuranta secara statistika menunjukkan predictive value yang lebih tinggi dibandingkan skor Palazzo-Evan dan nilai discriminating power skor Apfel lebih tinggi dibandingkan Koivuranta (0,68 dan 0,66).38 Sistem Apfel secara

signifikan menunjukkan akurasi yang lebih dibandingkan dengan Sinclair pada

penelitian pasien dewasa. Namun belum ada penelitian yang membandingkan

kedua skor ini.39

Tabel 2-4.1.

Cara identifikasi faktor resiko PONV yang sederhana (American Society of Peri Anesthesia Nurses (ASPAN). ASPAN. ASPAN’s evidence-based clinical practice guideline for the prevention and/or management of PONV/PDNV.

Journal of Peri Anesthesia Nursing 2006; 21 (4): 230-50) 38 Apfel et al

Risk Factors Points

Female gender 1

Non-smoker 1

History of PONV/motion sickness 1

Postoperative opioids 1

(43)

21

Penggunaan sistem skoring memberikan alasan rasional sebagai strategi

dalam memilih antiemetik. Namun demikian, ada saja kritik yang menentang

pemakaian skor resiko tersebut. Tidak satu pun model skor resiko yang dapat

memprediksi dengan tepat apakah seseorang akan mengalami PONV atau tidak.

Sebagai tambahan, belum ada kesepakatan dalam pemakaian berbagai sistem

skoring yang berbeda tersebut. Penelitian terakhir terhadap 1388 pasien yang

dilakukan oleh Van den Bosch dkk. menggunakan dua dari sistem skoring (Koivuranta dan Apfel) untuk memprediksi resiko PONV selama 24 jam sesudah

[image:43.595.109.517.116.286.2]

operasi.29

Tabel 2.4-2.

Hubungan antara faktor resiko dengan tingkat resiko PONV (American Society of Peri Anesthesia Nurses (ASPAN). ASPAN. ASPAN’s evidence-based clinical practice guideline for the prevention and/or management of

PONV/PDNV. Journal of Peri Anesthesia Nursing 2006; 21 (4): 230-50) 38 Koivuranta et al

Risk Factors Points

Female gender 1

Non-smoker 1

History of PONV 1

History of motion sickness 1

Duration of surgery > 60 minutes 1

(44)

22

Apfel dkk. menemukan bahwa tipe operasi bukanlah faktor resiko

independen untuk PONV. Walaupun terdapat hubungan antara tipe operasi

dengan PONV, namun masih menjadi tanda tanya karena tingginya kejadian

PONV setelah operasi tertentu mungkin disebabkan oleh faktor resiko yang lain,

seperti teknik anestesi, lama operasi dan pemakaian opioid paska operasi. Sebagai

tambahan, pada penelitian multisenter terbesar yang terakhir terhadap 5000 lebih

pasien, Apfel dkk. tidak dapat menemukan interaksi antara intervensi antiemetik dengan tipe operasi. Namun demikian, seorang ahli anestesi tidak boleh terlalu

percaya terhadap sistem skoring yang ada karena belum tentu ideal untuk suatu

populasi pasien tertentu.27

2.5. PENATALAKSANAAN

2.5.1. Pencegahan

Untuk kasus resiko tinggi PONV maka propofol adalah agen induksi dan

pemeliharaan pilihan pada operasi yang berlangsung sampai 2 jam. Dosis induksi

propofol adalah 2-2,5 mg/kgbb dan dosis pemeliharaan adalah 50-100

mg/kgbb/menit. Profilaksis droperidol (dewasa) atau metoklopramid 10 mg atau

ondansetron (dewasa) 0,1 mg/kgbb (dosis maksimal 4 mg) dapat diberikan 15-30

menit sebelum operasi berakhir.28 Fentanil dan sufentanil kurang menyebabkan

PONV dibandingkan morfin dan petidin tetapi mempunyai lama kerja yang

pendek.29 Dosis neostigmin > 2,5 mg sebagai reversal obat pelumpuh otot non depolarisasi sebaiknya dihindari.30 Prehidrasi dengan karbohidrat oral 2 jam

sebelum operasi atau resusitasi cairan intravena baik dengan kristaloid atau koloid

akan mengurangi kejadian PONV.40 Untuk operasi besar sebaiknya dilakukan

pemberian regimen di bawah ini : 27,28

1. Pastikan lambung kosong dengan puasa preoperasi

2. Ranitidin 2 mg/kgbb dan metoklopramid 0,2 mg/kgbb intravena

diberikan 45 menit sebelum operasi

(45)

23

4. Intubasi endotrakea dengan ETT cuff sesudah pemberian obat

pelumpuh otot non depolarisasi bersamaan dengan melakukan tekanan

[image:45.595.115.517.290.628.2]

krikoid (manuver Sellick)

Tabel 2.5-1.

Rekomendasi strategi untuk meminimalisir kejadian PONV (Gan TJ. Postoperative Nausea and Vomitting – Can It Be Eliminated?, JAMA 2002; 287:10) 5

Rekomendasi strategi untuk meminimalisir kejadian PONV 1. Identifikasi pasien yang mempunyai resiko tinggi

2. Cegah stimulus emetogenik:  Etomidat

 Anestesi inhalasi  Opioid

3. Terapi multimodal :

 Antiemetik (terapi kombinasi)  Propofol (TIVA)

 Hidrasi yang adekuat

 Analgesia efektif seperti anestesi lokal dan inhibitor cyclooxygenase-2 (COX2)

 Ansiolitik (benzodiazepin)

 Suplementasi oksigen intraoperasi (FiO2 ≥ 0,8)  Teknik non farmakologi

Walaupun opioid bersifat emetogenik, namun analgesia yang optimal sebaiknya

dapat dicapai dengan melakukan edukasi preoperasi dan pemberian anestesi

(46)

24

2.5.2. Kontrol PONV

Farmokologi 1,29,32,33

a) Antagonis Serotonin :

Antagonis reseptor serotonin seperti Ondansetron, Dolasetron,

Granisetron, dan Tropisetron terbukti mempunyai efek untuk mengatasi

mual dan muntah. Antagonis serotonin terutama menghambat reseptor

5HT3 baik di perifer pada usus (reseptor 5HT3 pada nervus aferen vagal)

dan di sentral pada CTZ. Obat ini efektif bila diberikan pada saat akhir

pembedahan. Ondansetron mempunyai efek anti muntah yang lebih besar

dari pada efek anti mual.

b) Antagonis Dopamin :

Dopamin mempunyai reseptor di CTZ dan bila reseptor ini dirangsang

akan terjadi muntah. Contoh antagonis dopamin adalah benzamid

(metoklopramid dan domperidon), phenotiazin (chlorpromazin dan

prochlorperazin), dan butirophenon (haloperidol dan droperidol). Kerja

antagonis dopamin terutama menghambat agen yang menstimulasi CTZ

seperti opioid.

c) Antihistamin :

Promethazin dan siklizin memblok reseptor H2 dan reseptor muskarinik di

pusat muntah. Pemakaian antihistamin terutama efektif dalam

penatalaksanaan PONV yang berhubungan dengan aktifasi jalur vestibular

(cth. operasi telinga bagian tengah) tetapi hanya mempunyai sedikit efek

untuk muntah akibat perangsangan langsung pada CTZ. Akibat aktifitas

antimuskariniknya, antihistamin dapat memperlihatkan efek samping

seperti mengantuk dan sedasi. Siklizin sebaiknya hati-hati digunakan pada

(47)

25

d) Antikolinergik :

Hyoscin hydrobromida atau skopolamin mencegah rangsangan di pusat

muntah dengan memblok kerja asetilkolin di reseptor muskarinik pada

sistem vestibular. Efek samping antikolinergik adalah mengantuk,

pandangan kabur, retensi urin dan mulut kering.

e) Steroid :

Obat yang sering digunakan adalah deksametason. Deksametason berguna

sebagai profilaksis PONV dengan cara menghambat pelepasan

prostaglandin. Efek samping pemakaian berulang deksametason adalah

peningkatan infeksi, supresi kelenjar adrenal tetapi tidak pernah dilaporkan

efek samping pada pemakaian dosis tunggal. Obat ini juga menurunkan

motilitas lambung dan rangsangan aferen di pusat muntah, efek samping

yang sering terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur, retensi urin,

mulut kering dan mengantuk.

Non Farmakologi

Ada berbagai macam teknik non farmakologikal termasuk akupunktur,

rangsangan saraf transkutaneus, stimulasi listrik akupoin, akupresur. Stimulasi

listrik manual pada titik akupunktur P-6 (Neiguan) menggunakan jarum akan

menghasilkan penurunan kejadian PONV sampai 6 jam. Tekanan pada titik P-6

setiap 2 jam dapat memberikan efek antiemetik selama 24 jam.29,30

Kombinasi Antiemetik

Pemberian antiemetik yang bekerja pada 1 (satu) reseptor hanya

mengurangi kejadian PONV sebesar 30%. Dengan menggunakan kombinasi anti

(48)

26

Tabel 2.5-2. Reseptor antiemetik spesifik dan efeknya (Saeeda Islam, P.N. Jain. Postoperative nausea and Vomitting (PONV) – a review article, Indian J. Anaesth, 2004; 48 (4) : 253-258) 30

Group and drugs Mechanism of action Side effects

D2 M H2 5HT3

PHENOTIAZINES 1. Fluphenazine 2. Chlorpromazine 3. Prochlorperazine 4. Promazine 5. Perphenazine 6. Trifluperazin + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Sedation Extrapyramidal side effects Cholestatic jaundice Hemolytic abnormalities Skin sensitization Hypotension ANTIHISTAMINIC 1. Diphenydramine 2. Dimenhydrinate 3. Promethazine 4. Cyclizine 5. Meclizine 6. Hydroxyzine + + + + + + + - + + + + + + + + - Sedation Drowsiness Depression Drymouth BUTYROPHENONES 1. Haloperidol 2. Droperidol 3. Domperidone + + + + - + + + + + + - + - + + + + - Drowsiness Restlessness, hallucinations Extrapyramidal side Effects ANTICHOLINERGICS Hyoscine/ scopolamine/ atropine

+ + + + + + - Dryness of mouth,

tachycardia, mydriasis,

retention of urine,

(49)

27

Group and drugs

PROKINETICS 1. Benzamides Metoclopramide 2. Thiobenzamides 3. Benzimidazole derivatives Domperidone 4. Benzamide derivatives Cisapride/Alizaprid/ Clebopride 5. Substituted Benzamide Batanopride/ Zacropride

Mechanism of action

D2 M1 H2 5HT3

+ + + + - + + + Side effect Dysrrithmias, galactorrhoea Gynaecomastia, Amenorrhoea, Constipation/diarrhoea Extrapyramidal side effects, drowsiness, hypertensive crisis

5HT3 ANTAGONIST

 Ondansetron  Granisetron  Tropisetron  Dolasetron OTHERS 1. Corticosteroids Dexamethasone and methylprednisolone 2. Cannabinoids

- D9 tetrohydro

cannabinoid - Dronabidol - Nabilone 3. Benzodiazepins - Lorazepam - Alprazolam

4. Clonidine and

ephedrine

- - - + + + +

They enhances the anti-emetic efficacy of

other drugs

Sedative, anxiolytics

Amnesia, enhance

Gambar

Gambar 2.2-1. Jalur muntah dan obat-obat antiemetik yang umum digunakan (Rahman MH, Beattie J
Gambar 2.2-2. Lokasi anatomi area postrema dan pusat muntah (Naylor RJ, Inall FC. The physiology and pharmacology of postoperative nausea and vomiting
Tabel 2.3-1.
Tabel 2.4-2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat ini cara pendekatan linier dalam banyak hal telah diganti oleh dua aliran pemikiran ekonomi, yang pertama adalah model neo-klasik perubahan struktural (

- Acceptance to this Purchase Order is subject to the Buyer's standard terms &amp; condition... DEFINISI : Sepanjang dipergunakan dalam Syarat-Syarat dan Ketentuan-Ketentuan Umum

bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 05 Tahun 1999 sebagaimana diubah

Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis 2 dalam penelitian ini diterima, yang artinya bahwa secara parsial variabel Stres kerja mempunyai pengaruh positif dan

Guru juga menjelaskan bahwa masalah rendahnya sikap tanggung jawab pada mata pelajaran PKn berdampak pada prestasi belajar siswa, hal ini dilihat dari hasil

Dengan menyebut nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji dan syukur kehadirat Alloh atas petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Di dalam pembahasan susut daya pada jaringan tegangan menengah di tiap-tiap penyulang di Prabumulih cukup besar karna panjang saluran di Prabumulih cukup panjang dari

Berdasarkan ketentuan Pasal 184 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau