• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERITAHUAN JENIS DAN JUMLAH BARANG IMPOR DALAM DOKUMEN KEPABEANAN SECARA SALAH (STUDI PUTUSAN NO: 757/PID.B/2012/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERITAHUAN JENIS DAN JUMLAH BARANG IMPOR DALAM DOKUMEN KEPABEANAN SECARA SALAH (STUDI PUTUSAN NO: 757/PID.B/2012/PN.TK)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERITAHUAN JENIS DAN JUMLAH BARANG IMPOR DALAM

DOKUMEN KEPABEANAN SECARA SALAH (STUDI PUTUSAN NO: 757/PID.B/2012/PN.TK)

Oleh

IVAN SAVERO, EKO RAHARJO, RINALDY AMRULLAH (Email: ivan.savero@yahoo.com )

Pelaku tindak pidana pemberitahuan jenis dan jumlah barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana, seperti dalam Putusan Nomor : 757/PID.B/2012/PN.TK. Tindak pidana ini tercantum dalam Undang – Undang No. 17 Tahun 2006 jo. Undang– Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Permasalahan dalam penelitian ini: Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku terhadap tindak pidana pemberitahuan jenis dan jumlah barang impor dalam dokumen kepabeanan dan Apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana berdasarkan Putusan Nomor : 757/PID.B/2012/PN.TK. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi lapangan.

Pertanggungjawaban pidana pelaku Putusan Nomor: 757/PID.B/2012/PN.TK terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena perbuatannya melanggar Pasal 102 huruf H Undang – Undang RI Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Majelis Hakim menjatuhi pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan membayar denda sebesar RP 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) subsider pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. Yang menjadi dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa terdiri dari aspek yuridis dan nonyuridis

(2)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERITAHUAN JENIS DAN JUMLAH BARANG IMPOR DALAM

DOKUMEN KEPABEANAN SECARA SALAH (STUDI PUTUSAN NO : 757/PID.B/2012/PN.TK)

OLEH

IVAN SAVERO

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

BAGIAN HUKUM PIDANA Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(3)
(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Liwa pada tanggal 22 Agustus 1993. Penulis merupakan anak Ketiga dari empat bersaudara buah hati dari pasangan Bapak H. Sumarjo dan Ibu Hj. Yulia Erni.

Penulis mengawali jenjang Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1999-2005 di Sekolah Dasar Negeri 02 Way Mengaku Lampung Barat. Pada tahun 2005-2008 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 4 Bandar Lampung dan Pada tahun 2008-2011 penulis melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 10 Bandar Lampung.

(7)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirabbil’alamin Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala

rahmat dan karunianya. Kupersembahkan dengan segala kerendahan hati karya

ini untuk keluargaku semoga menjadi sebuah kebanggaan.

Papaku H. Sumarjo dan Mamaku Hj. Yulia Erni

Yang selalu senantiasa memberikan dukungan, usaha dan segala kasih sayang

terutama do’a yang tiada henti untuk keberhasilan ini,

Kakakku Hendri Sasmita S.H, dr. Ike Chandra, Evy Pratidina Virgoriza S.H,

dan adikku Annisa Zhafira Putri, terima kasih atas dukungannya serta doa

yang telah diberikan,

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan

dukungan doa untuk keberhasilanku, terima kasih atas persahabatan yang

indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama

(8)

Bertindak bukan untuk mencoba tapi untuk berusaha

Sesungguhnya ALLAH SWT tidak akan memberikan suatu ujian kepada

umat-Nya diluar batas kemampuan umat-umat-Nya dan ALLAH SWT tidak akan

mengubah keadaan suatu kaum-Nya jika kaum-Nya tidak berusaha untuk

mengubah keadaannya sendiri

(9)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji hanya milik Allah SWT, Rabb semesta alam, atas limpahan nikmatnya sehingga penulis diberikan kemampuan untuk menyelesaikan karya kecil ini, shalawat serta salam kepada manusia termulia, kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW, skripsi dengan judul “ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERITAHUAN JENIS DAN BARANG IMPOR DALAM DOKUMEN KEPABEANAN

SECARA SALAH ( STUDI PUTUSAN PENGADILAN NO

757/PID.B/2012/PN.TK )” ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah berperan dalam studi dan proses penyusunan skripsi saya ini, khususnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

(10)

nasehatnya dalam proses penyelesaian skripsi ini;

4. Bapak Rinaldy Amrullah S.H., M.H., selaku Pembimbing Dua atas waktu, ilmu, kesediannya memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik

6. Bapak Dr. Heni Siswanto S.H., M.H selaku Pembahas Satu sekaligus Penguji Utama pada Ujian Skripsi yang telah banyak membantu dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak Ahmad Irzal S.H., M.H., selaku Pembahas Dua yang telah banyak membantu dan memberi saran dalam penulisan skripsi ini;

8. Kedua orang tuaku tersayang yang dengan cinta kasihnya selalu berjuang untuk mencukupi kebutuhan penulis, menguatkan disaat penulis membutuhkan dukungan, serta yang tak pernah luput mendoakan kesuksesan dan kebahagiaan penulis. Terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanan serta jasa papa dan mama yang telah menghantarkan ke depan pintu gerbang kesuksesan. Untuk segala sesuatu yang tak mungkin dapat aku balas, semoga kelak dikemudian hari dapat membahagiakan dan menjadi kebanggaan kalian;

(11)

studiku;

11. Teman-teman yang mengerti dalam susah dan senang menjadi mahasiswa Gilang, Kurniawan (bakur), Fitri Tejo, Bayu Tejo, Bayu Andrian, Egi, Fannyza (om mbot) yang telah memberikan bantuan dan do’a dalam penulisan skripsi ini;

12. Sahabat seperjuangan, Bung Riki, Jaendra, Elisabet, Syeh, Julian, Syendi, Syahrun, Gito, Fadel, Zaki, Theo, Gusti, Komang dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan do’a dalam penulisan skripsi ini;

13. Teman-teman satu perjuangan KKN di Pesisir Barat, kec. Pulau Pisang, Johanes, Rio, Widi, Gama, Bakur, Winda, Yenni, Cintia dan Viktor ;

14. Teman-teman semasa SMA, Ari, Feby, Jundi, Ziggy, Gendon, Winda, Rose, Yulisa dan Anggarani yang memberikan semangat dan do’a;

15. Teman-teman sepermainan, Eriza, Nabila, Nanda, Loli dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan semangatnya;

(12)

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan sehingga penulis dapat menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Penulis berharap skripsi ini, semoga dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Terima Kasih

Bandar Lampung, Maret 2015 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 15

B. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur – Unsur Tindak Pidana .... 16

C. Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi……… 19

D. Tinjauan Tata Laksana Kepabeanan di Bidang Impor ... 29

E. Tata Kerja Ditjen Bea dan Cukai ... 31

F. Tinjauan Tentang Bea Masuk ... 32

G. Tindak Pidana Kepabeanan ... 33

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 39

B. Sumber dan Jenis Data ... 40

C. Penentuan Narasumber... 41

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 42

E. Analisis Data ... 43

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemberitahuan Jenis Dan Jumlah Barang Impor Dalam Dokumen Kepabeanan ... 44

(14)

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan perdagangan internasional yang menyangkut kegiatan di bidang impor maupun ekspor akhir- akhir ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pesatnya kemajuan di bidang tersebut ternyata menuntut diadakannya suatu sistem dan prosedur kepabeanan yang lebih efektif dan efisien serta mampu meningkatkan kelancaran arus barang dan dokumen.

Masalah birokrasi di bidang kepabeanan yang berbelit-belit merupakan persoalan yang nantinya akan semakin tidak populer. Adanya kondisi tersebut, tentunya tidak terlepas dari pentingnya pemerintah untuk terus melakukan berbagai kebijaksanaan di bidang ekonomi terutama dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

(16)

masing 164 dan 118 dengan kerugian Negara masing-masing Rp11,6 Milyar dan Rp20,2 Milyar.1

Badan Pemerintahan yang bergerak di bawah Kementerian Keuangan yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bertugas untuk menjamin kelancaran arus barang dan dokumen dengan efisien dan efektif, tidak ada ekonomi biaya tinggi, mendorong peningkatan perdagangan dan daya saing. Ada dua fungsi penting yang diemban oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai2 yaitu :

1. Fungsi pengawasan lalu lintas barang dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat dari upaya-upaya memasukkan barang yang dapat merusak kesehatan dan meresahkan masyarakat, merugikan konsumen, dan membahayakan keamanan negara. Pengawasan juga mengandung makna tugas pemerintah yang dalam hal ini DJBC untuk melindungi industri dalam negeri dari masuknya barang-barang ilegal dan dumping, serta tugas untuk melancarkan ekspor Indonesia, dan mencegah ekspor ilegal baik fisik ataupun hanya dokumen.3

2.

3. Fungsi pemungutan adalah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari Bea Masuk & PDRI (Pajak Dalam Rangka Impor), serta mencegah kebocoran penerimaan negara, agar target yang sudah ditetapkan APBN tercapai. Dengan demikian jelas betapa besar dan berat tugas dan tanggungjawab DJBC, khususnya dalam mencegah dan menindak tegas pelanggaran dan tindak pidana kepabeanan yang dapat menimbulkan kerugian Negara dalam arti luas, yaitu finansial, keamanan, kesehatan, gangguan perdagangan dan industri atau investasi dalam negeri, serta kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Pada saat ingin melakukan kegiatan impor barang importir dikenakan dengan bea masuk barang sesuai dengan apa yang ada di dokumen impor barang. Kewajiban dari importir barang jika ingin mengimpor barang adalah dengan cara mengajukan pemberitahuan impor barang (PIB) yang dilengkapi dengan invoice, packing list, bill of lading, polis asuransi , dan bukti pembayaran bea masuk.

1

Data Bea dan Cukai 2

Andrian Sutendi, Aspek Hukum Kepabeanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm, 24 3

(17)

Pengenaan bea masuk untuk barang impor bergantung pada jenis barang apa yang akan dimasukan ke suatu wilayah pabean, pengenaan tarif masuk barang impor ini di lakukan dengan standar yang diberikan oleh Kementerian Keuangan selaku pemegang kekuasaan dari proses impor barang. Setiap bea masuk akan dikenakan sesuai dari nilai barang tersebut dan akan ditambahkan dengan nilai pajak barang dan pajak bea masuk dan otomatis hal ini menjadikan bea masuk ke wilayah pabean menjadi sangat mahal.

Mahalnya bea masuk barang impor menimbulkan adanya celah bagi importir nakal dalam memasukan barang impor dengan cara memberitahu jenis dan jumlah barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah, sebagaimana tercantum dalam pasal 102 huruf h Undang–Undang No 17 Tahun 2006 jo Undang–Undang No 10 Tahun 1995. Modus ini sering digunakan importir dalam menghindari besarnya atau mahalnya bea masuk barang impor terutama bagi barang mewah dan minuman beralkohol, dimana kedua barang tersebut dikenai bea masuk yang tinggi.

Pemberitahuan jenis dan barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah dilakukan karena dalam mengeluarkan barang impor dari wilayah pabean terdapat beberapa jalur prioritas diantaranya :4

1. Jalur merah adalah jalur prioritas yang hanya melakukan pemeriksaan fisik dan dokumen.

2. Jalur kuning adalah jalur prioritas yang hanya melakukan pemeriksaan dokumen sebelum pengeluaran barang.

3. Jalur hijau adalah jalur prioritas yang hanya melakukan pemeriksaan dokumen setelah pengeluaran barang.

4

(18)

4. Jalur non prioritas adalah jalur prioritas yang tidak dilakukan cek fisik, hal ini berlaku pada importir yang sudah mendapat rekomendasi Ditjen Bea dan Cukai.

5. Jalur prioritas adalah jalur prioritas yang tidak dilakukan pemeriksaan layaknya jalur merah dan jalur hijau.

Berdasarkan dari beberapa prioritas diatas para impotir melakukan pemalsuan dokumen pemberitahuan jenis dan barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah dengan cara memilih jalur hijau guna menghindari cek fisik pada barang yang di impor. Sehingga barang yang mereka impor bisa keluar dari tempat penimbunan berikat, dan hal ini lah yang digunakan impotir nakal untuk memasukan barang impor yang berbea masuk tinggi tetapi dapat diakali dengan membayar bea masuk yang murah atau rendah.5

Salah satu contoh kasus pemberitahuan jenis dan barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah di kawasan Pabeanan Pelabuhan Panjang adalah Putusan Pengadilan No 757/PID.B/2012/PN.TK.

Pada tahun 2011 modus memanipulasi data pada dokumen pemberitahuan nilai pabean dengan maksud ia dapat membayar bea masuk dan pajak yang rendah terjadi di kawasan pabean pelabuhan panjang. Importir melakukan manipulasi data dengan cara mengubah uraian barang atau spesifikasi teknis barang sehingga data tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam hal ini importir memanfaatkan celah dari jalur non prioritas, dimana pemeriksaan fisik dikesampingkan tetapi dalam hal tertentu dapat dilakukan pemeriksaan fisik. 6

5

Andrian Sutendi, Op.Cit, hlm 168 6

(19)

Pada bulan September tahun 2011 terjadi kasus yang melibatkan seorang pimpinan dari PT. Alam Tirta Gemilang yang bergerak pada bidang impor. R. Bambang Widagdo selaku pimpinan dari perusahaan tersebut merencanakan melakukan impor barang dari Singapura melalui Pelabuhan Panjang Bandar Lampung. Atas dasar tersebut pegawai Ditjen Bea dan Cukai membuatkan dokumen pemberitahuan barang dan impor.

Isi dari dokumen pemberitahuan impor tersebut memuat jika barang yang di impor adalah satu kontainer yang berisi segala macam alat tulis kantor. Tetapi isi dari kontainer tersebut tidak sesuai dengan isi yang tertera pada isi dokumen pemberitahuan impor. Pada saat dilakukan pemeriksaan oleh pegawai penyidik negeri sipil Ditjen Bea dan Cukai, isi dari kontainer tersebut adalah minuman beralkohol yang berkadar diatas (10%) sepuluh persen dan beberapa bales pakaian wanita dan pria.

Setelah terjadi perbedaan data pada dokumen impor barang dengan fakta fisik di lapangan, Ditjen Bea dan Cukai melakukan penghitungan, dimana bea yang harus dibayarkan oleh terdakwa atau bapak R Bambang Widagdo sebesar Rp 1.288.123.000 (satu milyar dua ratus delapan puluh delapan juta seratus dua puluh tiga ribu rupiah) bukan sebesar Rp65.627.000 (enam puluh lima juta enam ratus dua puluh tujuh ribu rupiah) seperti yang terdakwa setorkan ke pihak Bea dan Cukai.

(20)

dipercaya Ditjen Bea dan Cukai untuk melakukan impor barang. Tetapi dengan kepercayaan Ditjen Bea dan Cukai ia mencoba untuk mengimpor barang yang tidak sesuai dengan apa yang tertera pada dokumen impor, dan tentunya akibat perbuatannya negara mengalami kerugian yang besar.

Berdasarkan dari hal – hal diatas penulis ingin mengkaji mengenai “ Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemberitahuan Jenis dan Jumlah Barang Impor dalam Dokumen Kepabeanan Secara Salah ( Studi Putusan Pengadilan No 757/Pid.B/2012/PN.TK ).”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Pemasalahan

Berdasarkan uraian singkat diatas maka ada indikasi tindak pidana pemberitahuan jenis dan jumlah barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah yang perlu dipertanggungjawabkan secara hukum oleh si pelaku.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini ialah :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku terhadap tindak pidana pemberitahuan Jenis dan Jumlah Barang Impor dalam Dokumen Kepabeanan?

(21)

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan dari uraian latar belakang diatas maka yang menjadi ruang lingkup dari penelitian ini ada pada bidang ilmu hukum pidana terkait tindak pidana pemberitahuan jenis dan barang secara salah dalam dokumen kepabeanan berdasarkan Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2006, Lokasi penelitian dilaksankan pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan Putusan Nomor : 757/PID.B/2012/PN.TK dan Bea Cukai Lampung.

C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana oleh pelaku mengenai tindak pidana pemberitahuan jenis dan barang impor secara salah dalam dokumen kepabeanan.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhi sanksi pada tindak pidana pemberitahuan jenis dan barang impor secara salah dalam dokumen kepabeanan.

2. Kegunaan Penelitian

Secara garis besar kegunaan penelitian ini adalah : a. Kegunaan teoritis

(22)

b. Kegunaan praktis

Kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan yang dapat diberikan dalam rangka pengabdian pada masyarakat yang dilakukan para penegak hukum.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Berdasarkan latar belakang, dapat kita lihat sejumlah unsur perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau tindak pidana dalam bidang kepabeanan, serta beberapa pendekatan yang dilakukan oleh hakim guna menjatuhi pidana pada pelaku.

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar undang – undang dan apabila kita melakukannya maka yang melakukan akan dipidana.7 Tindak pidana pemberitahuan jenis dan barang secara salah dalam dokumen kepabeanan tercantum dalam Pasal 102 huruf H Undang–Undang No 17 Tahun 2006, unsur – unsur tindak pidananya :

a. Setiap orang. b. Dengan sengaja.

c. Memberitahukan jenis dan atau jumlah barang impor. d. Dalam pemberitahuan pabeanan secara salah

7

(23)

Dari empat poin tersebut seseorang dapat dikenai sanksi pidana. Sehingga syarat – syarat orang dapat dipidana :8

1. Memenuhi rumusan undang – undang. 2. Bersifat melawan hukum.

3. Kesalahan.

4. Mampu bertanggungjawab. 5. Tidak ada alasan pemaaf.

Selain dari semua syarat tersebut, ada beberapa teori mengenai pertanggungjawaban pidana yang dijelaskan oleh beberapa ahli hukum, diantaranya :9

a. Teori pertanggungjawaban pidana menurut Moeljatno Bahwa orang dapat dipidana jika memenuhi unsur-unsur: 1) Bersifat melawan Hukum.

2) Mampu bertanggungjawab. 3) Mengandung kesalahan 4) Tidak adanya alasan pemaaf.

b. Teori pertanggungjawaban pidana menurut Sudarto Sudarto berpendapat bahwa orang dapat dipidana jika ia : 1) Mampu bertanggungjawab.

2) Ada kesalahan. 3) Dolus atau culpa.

4) Tidak ada alasan pemaaf.

Pada saat menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku, hakim harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat menggunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan itu dituntut untuk memenuhi teori

8

Tri Andarisman, Hukum Pidana, Unila Lampung, 2004, hlm 55 9

(24)

pembuktian, yaitu saling memiliki hubungan antara bukti yang satu dengan yang lainnya.

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menintervensi hakim dalam menjatuhi sanksi pidana pada pelaku kejahatan. Hakim dalam menjatuhi putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa , tingkat perbuatan dan kesalahan pelaku, kepentingan korban, dan rasa keadilan masyrakat.

Menurut Mackenzie ada beberapa teori pendekatan yang dilakukan oleh para hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan pada suatu perkara yaitu sebagai berikut :10

a. Teori keseimbangan

Teori ini berisi mengenai keseimbangan antara syarat – syarat yang ditentukan oleh undang – undang dan kepentingan yang berperkara.

b. Teori Pendektan Seni dan Intuisi

Proses penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim.

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak teori ini dalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati – hatian khususnya dalam kaitan dengan putusan – putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim dapat membantunya dalam menghadapi perkara yang dihadapinya sehari – hari.

e. Teori Racio Decidendi

Teori ini berdasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan perkara yang disengketakan.

10

(25)

f. Teori Kebijaksanaan

Teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara dipengadilan anak, dimana peran pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab membimbing dan melindungi anak.

Selain dari beberapa teori yang disebutkan sebelumnya, ada beberapa doktrin dan asas yang terkait mengenai penegakan hukum pidana pada bidang korporasi diantaranya ialah :

a. Doktrin Fiduciary Duty

Doktrin fiduciary duty merupakan salah satu areal terpenting dalam hukum perseroan, berasal dan mempunyai akar-akarnya dalam dalam hukum romawi, tetapi banyak dikembangkan oleh system hukum Anglo Saxon,

hal ini masuk kedalam berbagai bidang hukum, termasuk ke dalam hukum perusahaan dengan mengintrodusirnya sebagai tugas fiduciary dari direksi.

Tugas fiduciary duty merupakan sebuah amanah di pundak direksi. Berdasarkan arti dari kata fiduciary yang berarti kerpercayaan, maka direksi memegang kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh perusahaan. Dengan amanah fiduciary, direksi wajib dengan itikad baik menjalankan tugasnya dan funsinya yaitu dalam fungsi manajemen dan fungsi representasi.11

b. Doktrin Business Judgement Rule

Business Judgement Rule merupakan salah satu doktrin dalam hukum perusahaan yang menetapkan bahwa direksi suatu perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu indakan pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat hati-hati. Dengan prinsip ini, direksi mendapatkan perlindungan, sehingga tidak perlu memperoleh justifikasi dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan mereka dalam pengelolaan perusahaan. Pada umumnya prinsip ini telah di anut dalam dunia bisnis di indonesia dan hal tersebut di sebutkan secara eksplisit dalam Pasal 97 Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.12 c. Doktrin Vicarious Liability.

Doktrin ini merupakan suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatannya. Dengan demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan, bahkan dalam hal tertentu, ia dipertanggungjawabkan sebagai pelaku. Sebagai pertanggungjawaban menurut hukum vicarious liability diartikan sebagai seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain merupakan

11

http://abdulrohimabdul.blogspot.com, diakses pada tanggal 9 Februari 2015 pukul 18.30

12

(26)

bentuk pertanggungjawaban sebagai pengecualian dari asas kesalahan

vicarious liability, dalam hukum pidana dapat digambarkan sebagai pengenaan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang dalam kapasitas pelaku utama, berdasarkan atas perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.13

d. Doktrin Strict Liability.

Doktrin strict liability, dimana seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan, dalam praktek pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap, jika ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktek pula melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya cukup dengan strict liability.14

e. Asas identifikasi

Asas yang berisi pembebanan kesalahan pidana pada korporasi, dengan syarat:

1) Tindakan yang dilakukan mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan pada mereka.

2) Merupakan penipuan yang dilakukan pada perusahaan lain. 3) Ditujukan untuk menghasilkan keuntungan bagi korporasi.

Tetapi jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka kesalahan dijatuhi pada pejabat korporasi secara pribadi.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep khusus yang merupakan kumpulan dari istilah yang diteliti. Batasan pengertian istilah yang dipakai ialah:

a. Analisis adalah suatu penyelidikan pada peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.15

b. Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan bertanggungjawab atas suatu perbuatan pidana. 16

13

I Made Widyana, Asas – Asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta,2010, hlm 63 14

Ibid.

15

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, Yrama Widya, Bandung 2009, Hlm 21

16

(27)

c. Putusan peradilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntuan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 11 KUHAP.

d. Dokumen adalah surat – surat penting bukti tertulis. 17

e. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan lalu lintas barang serta pemungutan bea masuk dan bea keluar, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No 17 Tahun 2006.

E. Sistematika Penulisan

Memudahkan dalam memahami isi penelitian ini, maka penulis membaginya kedalam 5 bab dengan rincian sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi uraian tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar terhadap pembahasan yang berisikan tentang segala hal yang berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana pada tindak pidana pemberitahuan jenis dan barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah.

17

(28)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang langkah - langkah dalam penulisan yang meliputi pendekatan masalah, jenis dan sumber data, penetuan narasumber dan sampel, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Di dalam bab ini dikemukakan hasil dari penelitian mengenai permasalahn dari bagaimana pertanggungjawaban pidana pada pelaku pemberitahuan jenis dan barang impordalam dokumen kepabeanan secara salah. Faktor – faktor apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku pemberitahuan jenis dan barang impordalam dokumen kepabeanan secara salah.

V. PENUTUP

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya pertanggungjawaban pidana yang menyatakan dengan tegas tidak ada pidana tanpa ada kesalahan untuk menetukan apakah pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawaban pidana yang menjurus kepada pemidanaan apakah seorang yang terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi. Sehingga definisi dari pertanggungjawaban pidana suatu perbuatan yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud apakah seorang terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan.18

Pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya berbicara mengenai soal hukum semata, tetapi juga menyangkut soal – soal nilai moral dan kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat luas. Van Hamel menyatakan bahwa pertanggungjawaban adalah keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk :19

18

Evy Pratidina, Analisis Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pengusaha Kosmetik Palsu, Fakultas Hukum Universitas Lampung 2007, hlm 21

19

(30)

a. Memahami arti dan akibat perbuatannnya sendiri.

b. Memahami bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan dan dilarang oleh masyarakat.

c. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan – perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bawha pertanggungjawaban mengandung pengertian kemampuan dan kecakapan.

Pemberian pertanggungjawaban pidana pada pelaku harus menjadi contoh dalam penegakan hukum kepabeanan, sehingga dapat menimbulkan efek jera pada pelakunya dan menjadi contoh dalam penanggulangan kejahatan kepabeanan selanjutnya.

B. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur - Unsur Tindak Pidana

Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.20 Dilihat dari pengertian hukum pidana maka dapat dirumuskan bahwa pengertian hukum pidana adalah keseluruhan aturan yang mengatur tentang:

1. Perbuatan yang dilarang

2. Orang yang melanggar larangan tersebut 3. Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh undang – undang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana selain perbuatan tersebut

20

(31)

dilarang dan diancam hukum pidana tentunya harus bersifat melawan hukum. Kecuali ada alasan pembenar.21

Adapun beberapa tokoh yang memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang istilah strafbaarfeit atau tindak pidana, antara lain :

a) Simons berpendapat bahwa tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.22

b) Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang merujuk pada dua kejadin yang konkret, yaitu :23

1. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang.

2. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Jadi pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.24

c) Pompe berpendapat, Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

21

Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung 1996, hlm 27

22

Tongat.Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang, UMM Press, 2009, hlm 105.

23

Suharto RM., Hukum Pidana Materil, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hlm 29 24

(32)

umum sebagai de normovertreding (verstoring de rechtsorde), waarandeovertrederschuldheeft en waarvan de bestraffing is voor de

handhaving der rechtsorde en de behartiging van het algemeenwelzijn.25

d) Van Hattum, Perkataan Strafbaar itu berarti voorsraaf in aanmerkingkomend

atau straafverdienend yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan strafbaarfeit seperti yang telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidanai itu secara eliptis haruslah diartikan sebagai suatu tindakan, yang karena telah melakukan tindakan sema cam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum atau suatu feitterzake van hetwelkeenpersonstrafbaar is.26

e) Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.27

f) Menurut Vos, Peristiwa pidana (strafbaar feit) adalah suatu kelakuan manusia (menselijke gerdragring) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman.28

g) Menurut Hukum Positif, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan hukuman.29

25

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hlm182 26

Ibid,.hlm 184. 27

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1994, hlm 89 28

E Utrecht, Hukum Pidana 1, Bandung, Pustaka Tinta Mas, 1986, hlm, 251 29

(33)

Arti penting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari salah satu sistem hukum yang berlaku di Indonesia terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri dimana tujuannya ialah menciptakan tata tertib di dalam masyarakat itu sendiri, sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung secara aman damai dan tentram.

Cara kerja hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan tata tertib itu ditempuh melalui apa yang ada dalam ilmu hukum pidana yang dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian pidana.

C. Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi

(34)

melahirkan pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani proses peradilan.

Baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act) serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia

(35)

selanjutnya hukum pidana umum juga semakin sering dengan masalah tersebut. Semakin banyak perundang-undangan dan peraturan administratif baru yang bermunculan. Dalam aturan-aturan tersebut, pembuat undang-undang merujuk pada pengemban hak-hak warga yang banyak berbentuk korporasi. Bilamana suatu kewajiban tidak dipenuhi, maka beranjak dari sistem perundang-undangan yang ada, korporasI juga dimungkinkan untuk dipandang sebagai pelaku. Di Belanda, kemungkinan ini sudah lama dikenal dalam waterschapsverordening

(peraturang tentang tata guna dan lalu lintas perairan) yang sering mewajibkan pemilik tanah yang terletak disamping kali atau saluran air untuk membersihkan atau menjaga kebersihan—kewajiban yang diancam dengan sanksi pidana apabila dilalaikan.30

Dalam praktek common law, Pengadilan Inggris pertama kali memberlakukan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya bagi kasus-kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh korporasi-korporasi quasi-public yang hanya bersifat pelanggaran ketertiban umum (public nuisance). Sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah dan peranan korporasi, pengadilan memperluas pertanggungjawaban pidana korporasi pada bentuk-bentuk pelanggaran atau kejahatan yang tidak terlalu serius yang tidak memerlukan pembuktian mens rea

atau criminal intent (offenses that did not require criminal intent), yang didasarkan pada doktrin vicarious liability. Hal ini diikuti oleh pengadilan di Amerika Serikat yang turut memberlakukan ketetapan yang serupa.

30

(36)

Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap kejahatan yang memerlukan pembuktian mens rea baru dilakukan setelah melalui waktu dan perkembangan yang lambat. Di Amerika Serikat, penerapan corporate criminal liability pertama kali diterapkan dalam kasus New York Central & Hudson River Railroad Company v. United States, dimana pemerintah Amerika Serikat mendakwa perusahaan New York Central telah melanggar Elkins Actsection I.

a) Mala In Se

Tindakan yang dilakukan seseorang diduga melakukan kejahatan dapat diuji berdasarkan kaedah hukum yang dilanggar apakah tindakan seseorang tersebut termasuk kategori tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya. Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya aturan-aturan lalu lintas di jalan raya, aturan-aturan administrasi internal suatu lembaga. Apabila tindakan seseorang itu termasuk perbuatan mala in prohibita, ada kemungkinan dia hanya melanggar aturan administrasi dan tidak dapat dikenakan hukuman pidana melainkan hanya tindakan administratif.

(37)

kaedah hukum apa yang dilanggar, apakah tindakan tersebut termasuk melanggar kaedah hukum bahwa seseorang tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa hak seperti pada pencurian, penipuan atau perampokan maka selanjutnya di telusuri pula unsur lainnya seperti adanya mens rea dan actus reus.31

b) Mens Rea dan Actus Reus

Dalam wacana common law, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi.

1.

Identification Tests / Directing Mind Theory

Berdasarkan teori identifikasi atau directing minds theory, kesalahan dari anggota direksi atau organ perusahaan/korporasi yang tidak menerima perintah dari tingkatan yang lebih tinggi dalam perusahaan, dapat dibebankan kepada perusahaan/ korporasi.

Suatu korporasi adalah sebuah abstraksi. Ia tidak punya akal pikiran sendiri dan begitu pula tubuh sendiri, kehendaknya harus dicari atau ditemukan dalam diri seseorang yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai agen atau perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan (directing mind and will) dari korporasi tersebut. Orang yang bertindak bukan berbicara atau bertindak atas nama perusahaan. Ia bertindak sebagai perusahaan, dan akal pikirannya yang mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari

31

(38)

perusahaan. Jika akal pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan. Dengan kata lain unsur mens rea dari pertanggungjawaban pidana korporasi terpenuhi dengan dipenuhinya unsur mens rea pengurus korporasi atau perusahaan tersebut. Begitu pula dengan actus reus yang diwujudkan oleh pengurus korporasi yang berarti merupakan actus reus

perusahaan. Dari case law ini, muncul beberapa prinsip atau konsep yang penting, diantaranya :

a) Directing mind dari suatu korporasi atau perusahaan tidak terbatas hanya satu individu saja. Sejumlah pejabat korporasi atau anggota direksi bisa membentuk directing mind.

b) Faktor geografis tidak berpengaruh. Fakta bahwa suatu korporasi memiliki banyak operasi atau cabang di daerah yang berbeda-beda tidak akan mempengaruhi penentuan individu-individu yang mana yang menjadi

directing minds korporasi. Dengan demikian, seseorang tidak dapat menghindar dari tanggung jawab hanya karena ia tidak ditempatkan atau bertugas di daerah dimana perbuatan melawan hukum dilakukan.

c) Korporasi tidak bisa lari dari tanggung jawab dengan berkilah bahwa individu-individu tersebut melakukan perbuatan melawan hukum meskipun telah ada instruksi untuk melakukan tindakan lain yang sah (tidak melawan hukum). Anggota direksi dan pejabat korporasi lainnya memiliki kewajiban untuk mengawasi tindak tanduk para pegawai lebih dari sekedar menetapkan panduan umum yang melarang tindakan illegal. d) Untuk dapat dinyatakan bersalah melakukan perbuatan melawan hukum,

(39)

Directing mind dan mens rea ada pada individu yang sama. Namun dalam teori identifikasi, anggota direksi atau pejabat korporasi lain yang merupakan directing mind korporasi tidak bisa dikenakan tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan tanpa mereka sadari. e) Untuk dapat menerapkan teori identifikasi harus dapat dibuktikanbahwa

tindakan seorang directing mind adalah : i) berdasarkan tugas atau instruksi yang ditugaskan padanya, ii) bukan merupakan penipuan (fraud) yang dilakukan terhadap perusahaan, dan iii) dimaksudkan untuk dapat mendatangkan keuntungan bagi perusahaan.

f) Tanggung jawab korporasi memerlukan analisa kontekstual. Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan berdasarkan case-to-case basis. Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak secara otomatis menjadikannya bertanggungjawab. Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk menetapkan kebijakan korporasi atau keputusan korporasi yang penting harus dilakukan dalam konteks keadaan yang tertentu (particular circumstances).

(40)

kemudian mengalami perkembangan. Pengadilan Kanada mengidentifikasi dan membuka kemungkinan bahwa directing mind berada pada level atau golongan karyawan yang lebih rendah yang menjalankan perintah atau memiliki kewenangan yang sifatnya delegatif.32

Dengan melihat penerapan teori ini oleh Kanada untuk menyiasati kekurangan yang ditimbulkan dalam aplikasinya, penerapan teori ini harus dilakukan dengan berdasarkan pada case-by-case basis dan fact-specific basis.

2. Doktrin Vicarious Liablility

Doktrin yang pada mulanya diadopsi di Inggris ini sebagaimana disebutkan di penjelasan sebelumnya, menyebutkan bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi. Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol. Berdasarkan hal ini, teori ini dikritik karena tidak mempedulikan unsur

mens rea (guilty mind) dari mereka yang dibebankan pertanggungjawaban. Pengadilan di Inggris dan Kanada telah menolak doktrin ini, dan mengadopsi teori identifikasi. Namun, pendekatan doktrin ini masih digunakan di pengadilan federal Amerika Serikat. Di Indonesia, doktrin ini diterapkan dalam Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Lingkungan.

32

(41)

3. The Corporate Culture Model

Pendekatan jenis ini digunakan oleh Australia. Istilah corporate culture dapat kita lihat dalam Australian Criminal Code Act 1995 (Undang-undang Pidana Australia) yang didefinisikan sebagai berikut :

an attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the body

corporate generally or in the part of the body corporate in which the relevant

activities take place”.

Yaitu suatu bentuk sikap, kebijakan, aturan, rangkaian perbuatan atau praktek yang pada umumnya terdapat dalam tubuh korporasi atau dalam bagian tubuh korporasi dimana kegiatan-kegiatan terkait berlangsung. Sehingga tanggung jawab pidana bisa dijatuhkan apabila terbukti bahwa :

a) Dewan direksi korporasi dengan sengaja atau dengan tidak hati-hati (ceroboh) melakukan tindakan-tindakan (conduct) yang relevan, atau secara terbuka, secara diam-diam atau secara tidak langsung mengesahkan (authorize) atau mengizinkan (permit) perwujudan perbuatan pelanggaran atau kejahatan.

(42)

c) Ada budaya atau kebiasaan dalam tubuh korporasi yang menginstruksikan, mendorong, atau mengarahkan dilakukannya tindakan-tindakan pelanggaran (non compliance) terhadap peraturan-peraturan tertentu. d) Korporasi gagal membentuk dan mempertahankan budaya yang menuntut

kepatuhan (compliance) terhadap peraturan-peraturan tertentu.

3. Aggregation Test

Menurut teori ini, dengan cara menjumlahkan (aggregating) tindakan (acts) dan kelalaian (omission) dari dua atau lebih orang perorangan yang bertindak sebagai perusahaan, unsur actus reus dan mens rea dapat dikonstruksikan dari tingkah laku

(conduct) dan pengetahuan (knowledge) dari beberapa individu. Inilah yang disebut dengan Doctrine of Collective Knowledge atau Doktrin Pengetahuan Kolektif.

4. Blameworthiness Test

Gobert menyatakan bahwa jika suatu korporasi tidak melakukan tindakan pencegahan atau melakukan due diligence guna menghindari melakukan suatu tindak pidana, maka hal ini akan tampak dari budaya dan kepercayaannya yang tercermin dari struktur, kebijakan, praktek dan prosedur yang ditempuh oleh korporasi tersebut.

Teori ini menolak pemikiran bahwa korporasi harus diperlakukan sama seperti halnya orang perorangan dan mendukung bahwa harus ada konsep hukum lain untuk menyokong pertanggungjawaban subyek-subyek hukum fictitious

(43)

umumnya terdesentralisasi dan dimana kejahatan tidak terlalu dikaitkan dengan perbuatan jahat atau kelalaian individual, tetapi lebih kepada sistem yang gagal untuk mengatasi permasalahan pengawasan dan pengaturan resiko.

D. Tinjauan Tentang Tata Laksana Kepabeanan di bidang Impor

Direktorat Jendral Bea Cukai (DJBC) mengadakan acara sosialisasi fasilitas jalur prioritas. Fasilitas ini dipandang cukup efisien baik dalam hal waktu maupun dalam hal biaya, sampai saat ini fasilitas ini dinikmati hanya oleh kalangan importir produsen saja. Sehingga hal ini memberikan kenyaman bagi importir dalam mengimpor barang.

Fasilitas jalur prioritas adalah fasilitas yang diberikan kepada importir yang memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk mendapatkan pelayanan khusus, sehingga penyelesaian importnya dapat dilakukan lebih sederhana dan cepat. Sementara importir jalur prioritas adalah importir yang ditetapkan sebagai importir penerima jalur prioritas berdasarkan keputusan Direktorat Jendral Bea dan Cukai.

Seiring dengan berjalannya waktu fasilitas jalur prioritas mendapat perubahan yang signifikan baik yang berasal dari internal DJBC, maupun dari pihak yang menggunakan jasa jalur prioritas. Agar keinginan tersebut direalisasikan maka dibentuklah tim pengkaji jalur prioritas yang intinya membuat suatu rancangan keputusan mengenai jalur prioritas.

(44)

umum pun dapat menikmatinya sesuai dengan kepututsan yang ada. Selain itu, ketetapan ini tadinya hanya berpayung hukum pada Keputusan Ditjen No 7 Tahun 2003 Tentang Tata Laksana Kepabeanan Dibidang Impor, dimana jalur prioritas ini ada di dalamnya.

Kini dengan adanya ketetapan tersendiri maka kekuatan jalur prioritas akan semakin kuat dan tentunya menjadi semakin berguna bagi kalangan industri. Dalam rancangan ketetapan ada 21 pasal dan setiap pasalnya telah disesuaikan pada keadaan lapangan dari kepabeanan Indonesia, sehingga persyaratan yang telah ada kini lebih diperketat lagi guna menghindari tindak pidana di bidang kepabeanan.

(45)

E. Tata Kerja Ditjen Bea dan Cukai

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 32/KMK.01/1998 tertanggal 4 Februari 1998, disebutkan bahwa salah satu fungsi Ditjen Bea dan Cukai adalah pelaksanaan intelijen, patroli dan operasi pencegahan pelanggaran peraturan perundang – undangan, penindakan dan penyidikan tindak pidana dalam bidang kepabeanan dan cukai, serta pengawasan barang hasil penindakan dan barang bukti.

Pada bidang pencegahan dan penyidikan hanya disebutkan adanya fungsi koordinasi dan pengendalian atas pelanggaran peraturan perundang – undangan pabean dan cukai. Sedangkan untuk fungsi pengawasan, fungsi pengawasan adalah kegiatan untuk mencegah penyimpangan yang terjadi maka dikirimkan petugas kantor Bea Cukai untuk memeriksa barang ditempat barang impor berada.

(46)

F. Tinjauan Tentang Bea Masuk

Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar menghitung bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Di dalam sistem self-asessment, besarnya nilai pabean harus diberitahukan oleh importir dalam suatu pemberitahuan pabean yang jujur. Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung bea masuk.

Kegunaan penentuan nilai kepabeanan bagi pihak pabean adalah untuk meneliti nilai pabean oleh importir adalah benar dan tidak mengada - ada, maka benar penghitungan bea masuk dan pajak bagi barang impor. Importir yang nakal cenderung untuk memanipulasi data pemberitahuan nilai pabean ini dengan maksud ia dapat membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang rendah. Caranya ialah dengan memalsukan pelengkap pabeanan berupa invoice

atau mengubah uraian dari barang atau spesifikasi teknis batang yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.33

Pihak pabean, yaitu Direktorat Jendral Bea dan Cukai sebagai salah satu institusi dibawah Kementerian Keuangan adalah salah satu institusi yang bergerak dibidang fiskal di Indonesia sesuai dengan tugas dan fungsinya untuk mengawasi pemasukan barang impor untuk tujuan memaksimalkan penerimaan negara dari penerimaan bea masuk dan pajak barang impor. Dimana salah satu perannya ialah meneiliti benar atau tidak dokumen pemberitahuan nilai pabean dari importir.

Pasal 16 Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2006 jo Undang–Undang 10 Tahun 1995 menyebutkan, bahwa Pejabat Bea dan Cukai berwenang mengenakan tarif

33

(47)

dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sebelum diajukan pemberitahuan pabean atau dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak pemberitahuan pabean.

Ditingkat internasional, masalah nilai pabean lambat laun menjadi isu yang sangat penting didalam arus perdagangan antarnegara.34 Dengan melalui mekanisme penetapan nilai pabean yang tinggi, suatu barang dapat dihambat pemasukannya ke negara lain. Bahkan nilai pabean dapat digunakan sebagai sarana antidumping.

Sebelum adanya kesepaktan internasional tentang nilai pabean, pengaturan nilai pabean antarnegara berbeda - beda. Masing - masing negara mengatur sendiri sesuai dengan kondisi dari suatu negara tersebut. Kondisi tentunya memunculkan ketidak sesuaian antara nilai barang dengan bea masuk impor barang. Oleh sebab itu Organisasi Perdagangan Dunia WTO memandang perlunya ada pengaturan yang seragam di bidang nilai pabean bagi semua anggota.

Indonesia adalah salah satu anggota Organisasi Perdagangan Dunia WTO, telah memuat mengenai nilai pabean dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 jo Undang-Undang 10 Tahun 1995 yang sesuai dengan ketentuan – ketentuan WTO

valuation agreement dan mulai berlaku di Indonesia sejak tanggal 1 April 2005.

G. Tindak Pidana Kepabeanan

Akibat dari adanya sosialisasi jalur impor dari Ditjen Bea Cukai, memang dirasa oleh para importir dan eksportir sangat membantu dan sangat memudahkan mereka dalam lalu lintas perdagangan barang antarnegara, sayangnya niat baik dari pemerintah dalam mempermudah kelancaran arus lalu lintas barang antarnegara turut juga dimanfaatkan oleh para importir nakal yang memasukan

34

(48)

barang ke wilayah kepabeanan Indonesia yang tidak sesuai atau di larang oleh pemerintah. Berlakunya Undang–Undang no 17 Tahun 2006 jo Undang–Undang 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan dalam praktik penegakan hukumnya dirasa kurang optimal di lapangan. Pada Pasal Undang–Undang no 17 tahun 2006 jo Undang–Undang 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan tertulis mengenai tindak pidana penyelundupan, jika diterapkan pada wilayah pabean, dimana wilayah pabean itu berupa pelabuhan laut, bandar udara, dan tempat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai kawasan pabean, tidak dapat berfungsi dengan efektif dan maksimal.35

Menurut pendapat dari Andi Hamzah:

Istilah penyelundupan dan menyelundup sebenarnya bukan istilah yuridis, serta merupakan gejala sehari – hari dimana seseorang secara diam – diam memasukan barang kea tau dari luar negeri dengan latar belakang tertentu. Latar belakang dari perbuatan tersebut ialah untuk menghindari Bea dan Cukai, menghindari larangan pemerintah seperti senjata, amunisi, narkotika, sehingga penyelundupan ini diarikan secara luas.36

Ada banyak cara – cara atau modus untuk menghindari pengenaan bea masuk yang tinggi ataupun larangan impor atau ekspor dari pemerintah, tetapi modus yang paling sering digunakan dalam impor atau ekspor ialah penyelundupan dan memberi data palsu. Akibat dari seringnya timbul tindak pidana kepabeanan perlu diperkuat lagi mengenai pengawasan dalam kepabeanan.

35

Andi Hamzah, Delik Penyelundupan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1991, hlm 66 36

(49)

Pengawasan pabean adalah salah satu cara dalam mencegah dan mendeteksi adanya tindak pidana kepabeanan.37 Pengawasan yang efektif memungkinkan Bea dan Cukai mengurangi terjadinya pelanggaran tindak pidana kepabeanan.

Menurut WCO Hanbook For Commercial Fraund Investigators ada 16 (enam belas) tipe tindak pidana kepabeanan :38

1. Penyelundupan.

Yang dimaksud dengan penyelundupan ialah mengimpor atau mengekspor di luar tempat kedudukan Bea dan Cukai atau mengimpor dan mengekspor dalam kedudukan Bea dan Cukai tetapi dengan cara menyembunyikan barang dalam alas atau dinding – dinding palsu atau di badan penumpang.

2. Uraian barang tidak benar.

Uraian barang tidak benar yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan dari bea masuk yang rendah atau menghindari peraturan larangan dan pembatasan.

3. Pelanggaran nilai barang.

Dapat terjadi nilai barang sengaja dibuat lebih rendah guna menghindari bea masuk atau sengaja dibuat lebih tinggi untuk mendapat resitusi yang lebih besar.39

37

Ali purwito, Kepabeanan dan Cukai ( Pajak Lalu Lintas Barang Konsep dan Aplikasi ), Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2010, hlm 376

38

Andrian Sutendi, Op,Cit hlm 70 39

(50)

4. Pelanggaran negara asal barang.

Memberitahu negara asal barang dengan tidak benar, hal ini dilakukan guna mendapat preferensi tarif di negara tujuan.

5. Pelanggaran fasilitas keringanan bea masuk atas barang yang diolah. Yaitu tidak mengekspor barang yang tidak diolah dari bahan impor yang memperoleh keringan bea masuk.

6. Pelanggaran impor sementara.

Tidak mengekspor barang seperti dalam keadaan semula. 7. Pelanggaran perizinan impor atau ekspor.

Memperoleh izin mengimpor barang yang ternyata di jual ke pasar bebas sebagai barang konsumsi.

8. Pelanggaran transit barang.

Barang yang diberitahukan transit ternyata di impor guna menghindari bea.

9. Pemberitahuan jumlah barang tidak benar.

Tujuannya agar mendapat bea masuk yang lebih rendah atau untuk menghindari kuota.

10.Pelanggaran tujuan masuk.

Misalkan dengan memperoleh pembebasan bea masuk dalam rangka penanaman modal asing tetapi dijual untuk pihak lain.40

11.Pelanggaran spesifikasi barang dan perlindungan konsumen.

Pemberitahuan barang yang menyesatkan untuk menghindari persyaratan dalam Undang – Undang Spesifikasi Barang dan Perlindungan Konsumen.

40

(51)

12.Barang melanggar hak atas kekayaan intelektual. Yaitu berupa barang palsu atau bajakan.

13.Transaksi gelap.

Transaksi yang tidak tercatat dalam pembukuan perusahaan untuk menyembunyikan kegiatan ilegal. Pelanggaran ini dapat diketahui dengan mengaudit ke perusahaan terkait.

14.Pelanggaran pengembalian bea.

Klaim palsu untuk memperoleh pengembalian bea dengan mengajukan dokumen yang tidak benar.

15.Usaha fiktif.

Usaha fiktif diciptakan untuk mendapatkan keringanan pajak secara tidak sah. Contohnya alamat perusahaan ekspor tidak di temukan.41 16.Likuidasi palsu.

Perusahaan beroperasi dalam periode singkat untuk meningkatkan pendapatan dengan cara tidak membayar pajak. Kalau pajak terhutang sudah menumpuk kemudian menyatakan bangkrut untuk menghindari pembayaran, sehingga pemilik mendirikan perusahaan baru. Di Indonesia praktik semacam ini digunkan untuk bisa memperoleh jalur hijau.42

Selain tindak pidana seperti yang dikemukakan di atas, undang-undang ini juga mengancam mereka yang membuat, menyetujui, atau turut serta menambah data palsu ke dalam buku atau catatan, seperti diatur dalam Pasal 103 butir c.

41

ibid

42

(52)
(53)

III.METODE PENELITIAN

Metode sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian agar dapat bermanfaat dan berhasil guna untuk dapat memecahkan masalah yang akan dibahas berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.43 Data yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini dilakukan dalam langkah – langkah berikut :

A. Pendekatan Masalah

Penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan masalah secara: 1. Pendekatan yuridis normatif

Pendekatan utama yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menelaah bahan – bahan sekunder berupa peraturan yang berlaku dan literatur yang berhubungan dengan kasus terkait.

2. Pendekatan yuridis empiris

Pendekatan yang dilakukan dengan cara melihat hukum berdasarkan kenyataan melalui sikap, perilaku, pendapat, berdasarkan informasi lapangan tentang tindak pidana pemalsuan dokumen kepabeanan

43

(54)

dengan cara memberitahu jenis dan barang secara salah dalam dokumen kepabeanan.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data ialah tempat dimana data tersebut kita peroleh. Sumber data dan Jenis data yang digunakan oleh penulis menggunakan data primer dan data sekunder yatu:

1. Data primer

Data – data yang diperoleh dari hasil penelitian langsung dilapangan yang berupa keterangan dari responden yang dilakukan dengan cara wawancara dan observasi secara langsung.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang didapat dari studi kepustakaan dengan cara mengutip dan menelaah bahan – bahan yang berhubungan dengan pokok bahasan di atas. Pada umumnya terbagi menjadi data sekunder dapat digunakan dengan segera.44

a. Bahan hukum primer

1) Undang–Undang No 17 Tahun 2006 jo Undang–Undang 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

2) Undang–Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas 3) KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana)

4) KUHAP (Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana)

44

(55)

b. Bahan hukum sekunder 1) Buku ilmu hukum 2) Majalah hukum 3) Jurnal hukum

4) Media cetak dan elektronik c. Bahan hukum tersier

1) Kamus besar Bahasa Indonesia

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang menjadi sumber informasi.45 Adapun yang menjadi narasumber adalah Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, PPNS Ditjen Bea Cukai dan Akademisi Hukum Universitas Lampung.

Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang. 1 orang 2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. 1 orang 3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditjen Bea dan Cukai. 1 orang 4. Akademisi Hukum Universitas Lampung . 1 orang

+

Total 4 orang

45

(56)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur pengumpulan data

a. Studi kepustakaan

Yaitu untuk mendapatkan dan memperoleh data melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan cara membaca dan mengutip bahan – bahan perundang – undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.

b. Studi lapangan

Yaitu untuk memperoleh data dengan cara serangkaian kegiatan studi lapangan pada ruang lingkup Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, PPNS Ditjen Bea Cukai dan Akademisi Hukum Universitas Lampung dengan cara malakukan wawancara yang telah disusun terlebih dahulu oleh peneliti.

2. Prosedur Pengolahan Data

Mengolah data adalah suatu usaha yang nyata untuk membuat data berbicara dan member data yang sesuai dengan keinginan penulis. Setelah data terkumpul baik data primer maupun data sekunder, maka selanjutnya akan dilakukan pengolahan data dengan cara :

a. Seleksi data berupa proses memilih data yang sesuai dengan pokok bahasan yang akan diteliti.

(57)

c. Sistematika data berupa penyususnan data dengan sistematis dan tersusun sesuai konsep yang ada pada pokok bahasan.

E. Analisis Data

Setelah data diperoleh dan diolah, maka selanjutnya data tersebut dianalisis secara kualitatif yaitu dengan cara diuraikan dalam kalimat yang tesusun secara sistematis dengan mendeskripsikan data yang akan dihasilkan dari penelitian tersebut, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian di lapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum.

(58)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis pertanggungjawaban pidana pelaku pemberitahuan jenis dan jumlah barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

(59)

merupakan pidana karena terdakwa sehat akalnya. Terdakwa melakukan tindak pidana pemberitahuan jenis dan jumlah barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah dengan adanya kehendak yang memenuhi unsur kesalahan. Pertanggungjawaban pidana dalam kasus pemberitahuan jenis dan jumlah barang impor dalam dokumen kepabeanan secara salah yang dilakukan oleh terdakawa didasarkan pada ketentuan pidana dalam Pasal 102 huruf h Undang–Undang RI Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan. Pertanggungjawaban pidana harus ditanggung terdakwa adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000. Berdasarkan ketentuan ini hakim memutus terdakwa R. Bambang Widagdo Bin Adhyarso dijatuhkan sanksi pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp.1.000.000.000,- hal ini didasarkan pada terdakwa telah memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam Pasal 102 huruf h Undang–Undang RI Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan. Selain dasar seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi jika tindakan yang dilakukan oleh direktur itu dilakukan merupakan perbuatan melanggar hukum, sebagaimana tercantum pada asas identifikasi :

a. Tindakan yang dilakukan berada dalam batas tugas atau instruksi pimpinan b. Merupakan penipuan yang dilakukan pada perusahaan lain

c. Dimaksudkan untuk mendatangkan keuntungan bagi korporasi

(60)
(61)

B. Saran

1. Diharapkan agar hakim mempertimbangkan aspek pertanggungjawaban pidana korporasi agar dalam proses menjatuhi hukuman memenuhi rasa keadilan dan hakim juga diharapkan mempertimbangkan penjatuhan sanksi pidana mengingat kerugian yang dialami Negara tidak sedikit.

(62)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Andrisman, Tri, 2004, Hukum pidana. Unila. Lampung.

Charity Scott, “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the

Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal,

(Vol. 17, 1989)

Dine, Janet, 2001, Company Law- Sweet &Maxwell’s Textbook Series, Sweet & Maxwell. Boston

Hamzah, Andi, 1994, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineke Cipta, Jakarta.

____________, 1991, Delik Penyelundupan, Akademika Pressindo, Jakarta. Handayani, Puthot Tunggal, 2003 Kamus Bahasa Indonesia, Giri Utama,

Surabaya.

Kansil, C.S.T., 1989, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Keenan, Denis & Josephine Biscare, 1996, Smith & Keenan’s Company Law

For Students, Financial Times, Pitman Publishing. Texas

Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Made Widyana, I, 2010, Asas – Asas Hukum Pidana, Fika Hati Aneska, Jakarta. Moeljatno, 2008, Asas – Asas Hukum Pidana, cetakan kedelapan, Rineke Cipta,

Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

a. Besarnya gaji yang dibayar kepada setiap pegawai harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tingkat pendidikan, jabatan pekerja,

Pada akhir pembelajaran dan pengajaran murid dapat; a) Menyatakan cara pergaulan yang bersopan dalam kalangan..

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

This course will cover the basic concepts of semiotics including the nature of signs, models of signs, the signification process, typology of signs, value

Pada awalnya toko Le Galleria juga sudah mulai menjual produk-produk Apple lewat internet dengan melalui beberapa forum internet yang bisa dibilang cukup besar penggunanya..

Populasi dari penelitian ini adalah data rekam medis pasien yang menjalani kuretase di RSUD Ungaran pada tahun 2010-2011.. Sampel penelitian adalah seluruh populasi yaitu 51

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini